TEKNIK PREPARASI NANOPARTIKEL KITOSAN MELALUI METODE GELASI IONIK DENGAN PENAMBAHAN TRIPOLIFOSFAT SEBAGAI CROSS-LINKER DAN KARAKTERISASINYA

(1)

TEKNIK PREPARASI NANOPARTIKEL KITOSAN DENGAN MELALUI METODE GELASI IONIK DENGAN PENAMBAHAN

TRIPOLIFOSFAT SEBAGAI CROSS-LINKER DAN KARAKTERISASINYA

Oleh

Ivan Halomoan

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

ABSTRAK

TEKNIK PREPARASI NANOPARTIKEL KITOSAN MELALUI METODE GELASI IONIK DENGAN PENAMBAHAN TRIPOLIFOSFAT SEBAGAI

CROSS-LINKER DAN KARAKTERISASINYA

Oleh

IVAN HALOMOAN

Telah dilakukan preparasi nanopartikel kitosan dengan menggunakan metode gelasi ionik yang melibatkan polianion tripolifosfat sebagai cross-linker. Ketiga sampel kitosan yang digunakan pada penelitian ini diperoleh melalui proses deasetilasi bertingkat. Ketiga sampel kitosan ini didegradasi dengan menggunakan H2O2 menghasilkan Low Molecular Weight Chitosan (LWCS). Melalui alat

viscotester, diperoleh bahwa ketiga LWCS ini memiliki nilai viskositas yang lebih

rendah dari kitosan awal. Dan melalui thermogravimetric analysis, diperoleh bahwa LWCS memiliki stabilitas termal yang lebih rendah dari kitosan yang menandakan bahwa LWCS telah terdegradasi dan memiliki berat molekul yang rendah dibandingkan kitosan. Ketiga LWCS ini direaksikan dengan tripolifosfat untuk memperoleh nanopartikel kitosan. Melalui PSA, ukuran partikel rata-rata yang diperoleh pada nanopartikel kitosan A, B, dan C berturut-turut sebesar 8,297

μm, 0,716 μm, dan 0,652 μm. Hasil SEM menunjukkan hasil morfologi dari

nanopartikel kitosan A dan C berbentuk bulat, sedangkan nanopartikel kitosan B berbentuk cluster-cluster yang saling tumpang tindih.


(3)

ABSTRACT

PREPARATION TECHNIQUE OF CHITOSAN NANOPARTICLES BY IONIC GELATION METHOD WITH ADDING TRIPOLYPHOSPHATE

AS A CROSS-LINKER AND ITS CHARACTERIZATION

By

IVAN HALOMOAN

A chitosan nanoparticle preparation has been done by ionic gelation method that involved tripolyphosphate polyanion as a cross-linker. These three chitosan samples that has been used in this research is gained through gradual steps of deacetylation. The samples were degraded by H2O2, resulting in Low Molecular

Weight of Chitosan (LWCS). The viscosity value of these LWCS is lower than chitosan samples using viscotester. LWCS has a lower thermal stability than chitosan due to degradation and the average molecular weight of LWCS decreased through Thermo-gravimetric Analysis. These LWCS samples reacted with tripolyphosphate gain chitosan nanoparticles. The distribution size of chitosan

nanoparticle A, B, and C respectively 8,297 μm, 0,716 μm, and 0,652 μm by

Particle Size Analyzer. Scanning Electron Microscope result shows morphology of chitosan nanoparticles A and C with round shape, while chitosan nanoparticle B has an overlapping clusters shape.

Keywords: Chitosan Nanoparticles, Gradual steps of Deacetylation, Ionic Gelation, PSA, SEM


(4)

TEKNIK PREPARASI NANOPARTIKEL KITOSAN MELALUI METODE GELASI IONIK DENGAN PENAMBAHAN

TRIPOLIFOSFAT SEBAGAI CROSS-LINKER

DAN KARAKTERISASINYA (Skripsi)

Oleh Ivan Halomoan

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 29 Oktober

1993, yang merupakan anak keenam dari enam bersaudara

dari Bapak K. Aritonang dan L. Manurung.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 09

Kalideres, Jakarta pada tahun 2005, pendidikan tingkat

menengah di SMP Negeri 204 Pegadungan, Jakarta pada

tahun 2008. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 95 Jakarta

dan menyelesaikannya pada tahun 2011. Selama SMA, penulis aktif dalam

berbagai organisasi seperti OSIS dan Ekstrakurikuler Teater. Pada tahun yang

sama, penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan kimia FMIPA Universitas

Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri

(SNMPTN) tertulis.

Selama menjadi mahasiswa, penulis memperoleh beasiswa bidik misi selama

2013-2015. Aktivitas organisasi penulis dimulai sejak menjadi Kader Muda

HIMAKI (Himpunan Mahasiswa Kimia) tahun 2011-2012. Penulis juga pernah

menjadi anggota Biro Penerbitan HIMAKI FMIPA UNILA tahun 2012-2013 dan

anggota Bidang Sains dan Penalaran Ilmu Kimia (SPIK) pada tahun 2013-2014.

Selain itu penulis juga aktif dalam Persekutuan Oikumene Mahasiswa MIPA


(8)

penulis juga pernah menjadi asisten praktikum kimia dasar jurusan

agroekoteknologi Fakultas Pertanian UNILA pada tahun 2014 dan asisten

praktikum kimia dasar jurusan Kimia FMIPA UNILA pada tahun 2015. Penulis

pernah melakukan kerja praktik yang berjudul “Sintesis dan Karakterisasi Nanopartikel Kitosan dengan Menggunakan Particle Size Analyzer (PSA)” di


(9)

pengabdian, serta bentuk pelayananku

Kepada

TUHAN YESUS KRISTUS,

yang selalu memberikan

kasih karunia, kesanggupan, dan kemampuan selama

perkuliahan, penelitian dan bahkan sampai karya ini

tuntas selesai dan TOV.

KEDUA ORANGTUAKU, yang selalu menjadi sumber

semangat dan motivasi utama selama ini dalam

pelaksanaan karya ini, yang juga selalu memberikan doa,

semangat, serta bantuannya selama ini.

ABANG DAN KAKAK-KAKAKKU, yang selalu

mendukung perkuliahanku baik dalam dana, dukungan,

dan doa selama ini hingga karya ini dapat terselesaikan.

SAHABAT DAN TEMAN-TEMAN, yang selalu

membantu dan sama-sama berjuang selama ini.

DAN ALMAMATER TERCINTA


(10)

MOTTO

“For I know the thoughts that I think toward you, saith the Lord,

thoughts of peace, and not of evil, to give you an expected end.”

(KJV Jeremiah 29:11)

“A Blessing is on the man who puts his faith in the Lord, and whose

hope

the Lord is.” (

BBE Jeremiah 17:7)

“Percayalah kepada Tuhan dengan Segenap hatimu, dan

janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia

dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”

(Amsal 3:5-6).

“Tetapi Karena kasih karunia

Allah aku adalah sebagaimana aku

ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya

kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras

dari-pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih


(11)

jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab

kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih

payahmu tidak sia-sia.

” (

1 Korintus 15:58).

“I will praise

Thee; for i am fearfully and wonderfully made:

marvelous are Thy works; and that my soul knoweth right well”

(KJV Psalms 139:14)

“I am just an ordinary man without God, but in Him I become an


(12)

SANWACANA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, Tuhan Yesus

Kristus atas segala hikmat, kasih karunia, kesanggupan, dan kemampuan sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “Teknik Preparasi Nanopartikel Kitosan melalui

Metode Gelasi Ionik dengan Menggunakan Tripolifosfat sebagai Cross-linker

dan Karakterisasinya” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Sains pada Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan

kepada:

1. Prof. Dr. John Hendri, M.S. selaku Pembimbing Utama yang telah

memberikan bimbingan, pengetahuan, wawasan, dan arahan selama

penulisan skripsi ini.

2. Prof. Wasinton Simanjuntak, Ph. D. selaku Pembimbing Pembantu yang

telah memberikan masukan, saran, kritik, serta petunjuk selama

penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. Rudy T. M. Situmeang, M. Sc. Selaku Pembahas yang telah


(13)

bimbingannya selama ini kepada penulis

5. Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M. T. selaku ketua jurusan Kimia Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung

6. Prof. Dr. Suharso, Ph. D. selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

7. Kedua Orang tuaku K. Aritonang dan L. Manurung untuk setiap nasihat,

dukungan, semangat, dan doa yang tak pernah putus yang diberikan kepada

penulis. Dan juga untuk abang dan kakak-kakakku untuk setiap dukungan

baik lewat doa maupun dana selama penyelesaian studi penulis.

8. My Princess, Terima kasih untuk semua dukungan, motivasi, semangat, dan

doa yang tidak pernah habis-habisnya diberikan kepada penulis dan telah

memberikan waktu yang berharga kepada penulis selama penyelesaian tugas

akhir ini. God Bless You Princess…

9. Kak Raffel Stevano, M. Si. dan Pak Iip Sugiharta, M. Si. untuk setiap

dukungan, saran, dan kebersamaan yang selama ini telah terjalin.

10. Partner penelitian Ramos Vicher, S. Si. untuk setiap saran, kritik, dukungan,

kebersamaan yang telah kita jalani selama penelitian ini. Terima kasih ya,

semoga sukses di kemudian hari dan Tuhan Yesus Memberkati

11. Kedua Adik-adikku, Jelita Purnamasari Saroinsong dan Eva Dewi Novianthi

Sirait untuk setiap dukungan, semangat, canda, dan tawa selama ini. Tetap

semangat ya buat kalian. Tetap berdoa dan andalkan Tuhan dalam setiap hal


(14)

12. Adik-adik Biopolimer Sofian, Dela, Arya, dan Edi untuk kebersamaan yang

selama ini telah terjalin dan tetap semangat untuk kalian.

13. Kelompok Kecil JIR, Romario Sihombing dan Joshua Z.P. Hutagalung untuk setiap kebersamaan yang telah kita lalui dalam pengenalan akan

firman Tuhan dan bertumbuh bersama dalam Tuhan Kita. Biar kalian terus

bertumbuh dan bertumbuh serta melayani Tuhan dengan segenap hati

kalian.

14. Sahabat-sahabat, Julianser Nicho dan Juliana Marina Nainggolan, S. E.

untuk setiap canda, tawa, suka, dan senang yang telah kita alami bersama.

Tetap semangat ya terutama untuk Jeje dalam penyelesaian penelitiannya,

biar Tuhan yang ikut campur tangan dalam setiap kegiatan yang dilakukan.

Dan untuk Kajul, Semangat dalam mencari pekerjaan, andalkan Tuhan biar

diberikan pekerjaan yang sesuai dan bisa memuliakan nama-Nya. Tuhan

Memberkati kalian.

15. Abang-abang dan Kakak-kakak POM MIPA Ka Riri Napitupulu, S. Si., Kak

Lenny Warlina Sihombing, S. Si., Kak Eni Napitupulu, S. Si., Kak Wanti

Simanjuntak, S. Si., Kak Evi Rawati Sijabat, S. Si., Kak Santi Nababan, S.

Si., Bang Benny Sianipar, S. Si., Bang Nando Siagian, S. Si., Bang Ventus,

Bang Abe Loupatty, S. Kom., Bang Berto, Bang Berry Sinaga, S. Si., Bang

Johar Sitohang, S. Si. untuk setiap dukungan, semangat, saran,

kebersamaan, canda, dan tawa yang telah diberikan kepada penulis selama

penyelesaian studi ini.

16. Teman-teman sepelayanan Shella, Marlina, Nindy, Mery, Ka Wida, dan


(15)

Lampung dan telah menjadi wadah untuk dapat melayani Tuhan

bersama-sama.

17. Teman-teman Laboratorium Polimer Endah Pratiwi, S. Si., Lusi Meliyana,

S. Si., Mbak Faradilla Syani, S. Si., Vevi, Umi, Kak Hanif Amrulloh, S. Si.,

Ferdinand, Ruli, Tiurma Debora, Venti, Yunitri, Vero, Hermayana, dll.

Untuk setiap saran, dukungan, dan semangat yang telah diberikan kepada

penulis.

18. Teman-teman Cheven (Chemistry Eleven), Ajeng, Ana, Anggino, April,

Ari, Arik, Asti, Ayu Berliana, Ayu Fitriani, Azies, Cindy, Daniar, Dewi,

Dia, Endah, Eva, Fatimah, Fatma, Febri, Fany, Irkham, Julianser, Jelita,

Junaidi, Lewi, Lusi, Mardian, Mega, Melli, Mely, Miftahur, Mirfat, Andri,

Yusry, Nico, Nira, Nopitasari, Gani, Ramos, Ridho, Rina, Rio

Febriyansyah, Rio Wicaksono, Yudha, Umi, Uswah, Vevi, Wagiran, Yulia,

Yunia. Terima kasih untuk persaudaraan dan kebersamaan selama penulis

menempuh pendidikan di Universitas Lampung.

19. Seluruh Keluarga Besar Jurusan Kimia Angkatan 2008, 2009, 2010, 2012,

2013, dan 2014.

20. Teman Teman KKN Desa Rejomulyo, Kabupaten Lampung Utara, Imam,

Mas Agus, Devi, Uswah, Koni, Odi, Hani, Pije, dan Eti. Terima kasih untuk

kebersamaan selama 38 hari.

21. Keluarga GKPB MDC Bandar Lampung, Terima kasih telah menerima

penulis selama 4 tahun ini dan telah menjadi wadah untuk melayani dan


(16)

22. Teman-teman Youth IMAGE MDC Cahaya Kemuliaan Hiskia Daely,

Debby Harefa, Kezia Setiawati, Alvany DPP, Shella Styles, Herna, Ka Esta,

Bang Sugih, Inggrit, dan lain-lain. Terima kasih untuk dukungan dan doa

selama ini.

23. Dan Semua pihak lain yang telah membantu penulis selama kuliah,

penelitian, hingga penulisan skripsi ini.

Semoga Tuhan selalu memberikan yang terbaik dan membalas segala kebaikan

yang telah diberikan kepada penulis. Mohon maaf apabila masih terdapat

kekurangan pada penulisan skripsi ini. Namun diharapkan agar skripsi ini dapat

berguna bagi penulis sendiri maupun orang lain.

Bandar Lampung, September 2015

Penulis


(17)

Tabel Halaman 1. Sifat Biologis dan Kimiawi Kitosan ... 21

2. Derajat Deasetilasi Kitosan A, B, dan C dengan Menggunakan metode baseline A dan B ... 55


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur Polimer Rantai Lurus dan Struktur Kitin ... 8

2. Struktur Polimer Rantai Bercabang dan Struktur Amilopektin ... 9

3. Struktur Polimer Jaringan dan Struktur Bakelit ... 10

4. Polimer Sindiotaktik ... 11

5. Polimer Isotaktik ... 11

6. Polimer Ataktik ... 12

7. Struktur Kitosan ... 17

8. Natrium Tripolifosfat ... 33

9. Jenis-jenis thermobalance pada Instrumen TGA ... 37

10. Termogram TG yang Disertai dengan DTA ... 38

11. Alat Particle Size Analyzer (PSA) Fritsch Analysette 22 ... 40

12. Skema Alat Scanning Electron Microscope (SEM) ... 43

13. Proses Deasetilasi Kitosan A ... 50

14. Spektrum FTIR Kitosan A ... 52

15. Spektrum FTIR Kitosan B ... 53

16. Spektrum FTIR Kitosan C ... 54

17. Reaksi Protonasi Kitosan dalam Larutan Asam ... 56

18. Bentuk Partikel LWCS A, B, dan C ... 57


(19)

20. Kurva Perbandingan Viskositas Larutan Kitosan B dan LWCS B .. 59

21. Kurva Perbandingan Viskositas Larutan Kitosan C dan LWCS C .. 60

22. Termogram TGA pada Kitosan dan LWCS ... 63

23. Kurva DTG Kitosan dan LWCS ... 65

24. Kurva Regresi Linier Kitosan A dan LWCS A ... 66

25. Proses Pembuatan Nanopartikel Kitosan ... 69

26. Suspensi Nanopartikel Kitosan ... 69

27. Interaksi Ionik Kitosan-TPP... 70

28. Distribusi Ukuran Nanopartikel Kitosan A ... 71

29. Distribusi Ukuran Nanopartikel Kitosan B ... 72

30. Distribusi Ukuran Nanopartikel Kitosan C ... 73

31. Morfologi Nanopartikel Kitosan A, B, dan C dengan Menggunakan SEM ... 75


(20)

iv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan ...86

2. Penentuan Viskositas Kitosan dan LWCS …………...89

3. Perhitungan Energi Aktivasi Kitosan dan LWCS ...95


(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 5

C. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Polimer ... 6

1. Klasifikasi Polimer ... 6

2. Reaksi Polimerisasi ... 12

B. Nanopartikel dan Nanoteknologi ... 14

C. Kitosan ... 16

1. Isolasi Kitosan ... 16

2. Sifat Kimia Fisika Kitosan ... 18

3. Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan dengan Menggunakan Fourier Transformed Infra Red... 20

4. Aplikasi Kitosan ... 23

D. Reaksi Degradasi Kitosan dengan H2O2 ... 24

E. Nanopartikel Kitosan ... 25

1. Pembuatan Nanopartikel Kitosan ... 25

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Nanopartikel Kitosan... 28

3. Aplikasi Nanopartikel Kitosan ... 30

F. Natrium Tripolifosfat ... 31

G. Bahan Pendegradasi Hidrogen Peroksida ... 32

H. Rotational Rheometer (Viscometer)... 33

I. Analisis Termal dengan Menggunakan TG/DTA (Thermo Gravimetric-Differential Thermal Analysis) ... 35

J. Karakterisasi Nanopartikel... 37

1. PSA (Particle Size Analyzer) ... 37


(22)

ii

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat ... 43 B. Alat dan Bahan ... 43 C. Prosedur Penelitian ... 44 1. Proses Deasetilasi Bertingkat ... 44 2. Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan ... 45 3. Pembuatan Kitosan Berbobot Molekul Rendah (LWCS) 45

a) Proses Degradasi Kitosan oleh H2O2 ... 45

b) Penentuan Viskositas LWCS ... 45 c) Analisis Termal Kitosan dan LWCS... 46 4. Pembuatan Nanopartikel Kitosan dengan Metode Gelasi

Ionik ... 46 5. Karakterisasi Nanopartikel Kitosan ... 46

a) PSA (Particle Size Analyzer) ... 46 b) SEM (Scanning Electron Microscope) ... 47

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

A. Proses Deasetilasi Kitosan Secara Bertingkat... 48 B. Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan ... 49 C. Pembuatan Kitosan Berbobot Molekul Rendah... 54 1. Reaksi Degradasi Kitosan dengan H2O2... 54

2. Penentuan Viskositas Low Molecular Weight Chitosan . 56 3. Analisis Termal Kitosan dan LWCS ... 59 D. Pembuatan Nanopartikel Kitosan dengan Menggunakan

Metode Gelasi Ionik... 67 E. Karakterisasi Nanopartikel Kitosan ... 69 1. PSA (Particle Size Analyzer)... 69 2. SEM (Scanning Electron Microscope)... 73

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(23)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Polimer saat ini telah berkembang sangat pesat. Berbagai aplikasi polimer

ditemukan sangat banyak dalam kehidupan sehari-hari, sehingga banyak orang

yang sudah mengenal senyawa ini. Polimer biasanya ditemukan dalam bentuk

plastik kemasan, karet, serat, dan lain sebagainya. Saat ini seperti yang kita

ketahui penggunaan plastik sangatlah banyak. Hampir semua alat-alat

kebutuhan rumah tangga terbuat dari plastik yang merupakan polimer. Namun,

saat ini polimer juga sudah banyak digunakan dalam dunia farmasi. Polimer ini

terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk nano dan digunakan dalam drug

targeted and delivery system. Pemanfaatan partikel nano dari polimer ini dapat

disebut sebagai nanoteknologi.

Nanoteknologi dipercaya akan semakin berkembang dan menjadi trendsetter di

dunia IPTEK. Nanoteknologi ini dipilih karena bidang aplikasi dari

nanoteknologi tersebut sangatlah luas dan menyentuh hampir seluruh aspek

kehidupan manusia. Oleh karena itu, para peneliti mengungkapkan bahwa

nanoteknologi ini akan menimbulkan konsep-konsep baru dalam berbagai

bidang IPTEK dan diyakini akan mengubah seluruh aspek kehidupan manusia


(24)

2

Polimer alam lebih banyak digunakan dalam nanoteknologi dibandingkan

dengan polimer buatan. Hal ini dikarenakan polimer alam memiliki banyak

keunggulan dibandingkan dengan polimer buatan. Salah satu kelebihan polimer

alam dibandingkan polimer sintetik adalah kelimpahannya. Contohnya,

selulosa merupakan polimer alam yang paling berlimpah di alam, sedangkan

kitin dan kitosan di posisi kedua setelah selulosa. Selain itu, polimer alam juga

memiliki sifat-sifat fisik dan kimia yang unik ketika berada dalam ukuran nano.

Kitosan merupakan suatu polisakarida dari turunan senyawa kitin yang

menjadi kerangka penunjang dari selulosa kelompok hewan Anthropoda,

Crustacea, Insecta, Mollusca, dan kelompok hewan lainnya. Kitosan ini

diperoleh melalui proses deasetilasi kitin dengan menggunakan senyawa alkali

kuat seperti NaOH atau KOH. Kitin dan kitosan telah diproduksi secara

komersial di berbagai negara maju. Hal ini dikarenakan kitin dan kitosan

memiliki banyak manfaat di berbagai industri seperti bidang farmasi, biokimia,

bioteknologi, kosmetika, biomedika, industri kertas, industri pangan, industri

tekstil, dan lain-lain (Hendri, 2013).

Nanopartikel kitosan adalah kitosan dengan ukuran partikel dibawah 100 nm.

Nanopartikel kitosan dapat dibuat melalui beberapa metode yang melibatkan

surfaktan dan agen cross-linking berbahaya dan tidak sederhana (Harahap,

2012). Metode pembuatan nanopartikel kitosan yang paling sering dilakukan

dan menarik perhatian adalah metode gelasi ionik (Mardliyati dkk, 2012).

Metode ini sederhana dan dapat dikontrol dengan mudah. Prinsip dari metode


(25)

pada kitosan dengan polianion yang membentuk struktur intramolekul tiga

dimensi (Agnihotri, 2004). Polianion yang paling sering digunakan pada

metode gelasi ionik ini adalah polianion tripolifosfat dalam larutan natrium

tripolifosfat karena bersifat non-toxic dan multivalen. Namun, kitosan yang

diisolasi melalui metode ini memiliki tingkat keseragaman yang rendah dan

kestabilannya kurang baik. Hal ini tentu saja tidak diharapkan pada berbagai

aplikasi nanopartikel kitosan. Maka dari itu, untuk dapat memperoleh

nanopartikel kitosan dengan keseragaman dan kestabilan yang baik masih

dikaji oleh peneliti hingga saat ini (Mardliyati dkk, 2012).

Ukuran nanopartikel kitosan ini sangat dipengaruhi oleh derajat deasetilasi dan

berat molekul kitosan. Semakin besar derajat deasetilasi kitosan maka berat

molekul kitosan akan semakin rendah (Ramadhan dkk, 2010). Semakin rendah

berat molekul kitosan maka ukuran nanopartikel kitosan akan semakin kecil

(Yang et al., 2012). Bila derajat deasetilasi kitosan rendah dan berat molekul

kitosan tinggi, maka akan terbentuk nanopartikel yang sedikit. Oleh karena itu,

berat molekul kitosan harus didegradasi terlebih dahulu agar diperoleh ukuran

nanopartikel kitosan yang rendah.

Dalam penelitian ini akan dibuat nanopartikel kitosan dengan menggunakan

metode gelasi ionik. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh pada percobaan

sebelumnya, diketahui bahwa besarnya derajat deasetilasi kitosan dan berat

molekul kitosan akan sangat mempengaruhi ukuran nanopartikel kitosan. Maka

dalam penelitian ini, kitosan akan diisolasi dengan proses deasetilasi bertingkat


(26)

4

dan akan diamati pengaruh perbedaan derajat deasetilasi ini terhadap ukuran

nanopartikel kitosan. Selain itu, kitosan yang digunakan juga akan diubah

menjadi kitosan dengan berat molekul rendah (Low Molecular Weight

Chitosan) dengan cara didegradasi dengan zat oksidator H2O2 (Fan et al,

2012).

Kitosan hasil degradasi tersebut akan dilanjutkan pada tahap pembuatan

nanopartikel kitosan, dimana komposisi yang digunakan pada metode ini

diambil dari beberapa jurnal penelitian (Yang et al., 2009; Rodrigues et al.,

2012) yang telah dilakukan pada kondisi optimum dan telah disesuaikan

dengan kondisi alat yang ada pada laboratorium.

Nanopartikel kitosan yang telah terbentuk selanjutnya akan dikarakterisasi

dengan menggunakan PSA (Particle Size Analyzer) untuk mengetahui

distribusi ukuran partikel rata-rata dari nanopartikel kitosan. Selanjutnya,

dikarakterisasi dengan SEM (Scanning Electron Microscope) untuk mengamati

bentuk morfologi dari nanopartikel kitosan. Terakhir dikarakterisasi dengan

FTIR (Fourier Transformed Infra Red) untuk mengkonfirmasi bahwa produk

yang dihasilkan adalah nanopartikel kitosan dan untuk mengamati ikatan yang


(27)

B.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang bervariasi dengan

menggunakan deasetilasi bertingkat.

2. Mempelajari pengaruh derajat deasetilasi dan berat molekul kitosan

terhadap ukuran nanopartikel kitosan yang akan dibuat.

3. Memperoleh nanopartikel kitosan dengan distribusi ukuran partikel rata-rata

di bawah 100 nm.

4. Mendapatkan nanopartikel kitosan dengan tingkat kestabilan yang baik.

C.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang

teknik preparasi nanopartikel kitosan yang menggunakan proses degradasi

kitosan menggunakan H2O2 agar diperoleh suatu kitosan dengan berat molekul

rendah (Low Molecular Weight Chitosan) yang sangat berpengaruh terhadap

ukuran nanopartikel kitosan. Selain itu, untuk memberikan informasi tentang

metode gelasi ionik yang digunakan agar diperoleh nanopartikel kitosan


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Polimer

Polimer merupakan suatu senyawa dengan berat molekul yang besar dan

tersusun atas unit-unit kecil berulang yang disebut monomer (Stevens, 2001).

Monomer-monomer ini saling terhubung satu sama lain melalui ikatan kovalen.

Meskipun struktur polimer bervariasi secara luas, struktur polimer dapat

dikombinasikan dengan jumlah unit-unit kecil yang berbeda; dalam banyak

kasus, satu unit monomer sudah cukup untuk mewakili keseluruhan molekul

polimer. Struktur polimer ini terbentuk melalui pengulangan dari satu atau

beberapa monomer yang merupakan karakteristik dasar dari senyawa polimer,

sehingga diistilahkan dengan “polimer” yang berarti “banyak anggota” (Flory, 1995).

1. Klasifikasi Polimer

Polimer yang terdapat di alam dapat diklasifikasikan berdasarkan

kategori-kategori tertentu. Kategori-kategori-kategori tersebut adalah berdasarkan asal, bentuk

struktur, sifat termal, geometri, dan fase. Berdasarkan sumbernya, polimer


(29)

a. Polimer alami (Biopolimer)

Polimer jenis ini terbentuk melalui proses alami yang terjadi di kehidupan

sehari-hari, contoh yang paling banyak dijumpai adalah protein, karbohidrat

dan turunannya (seperti pati, selulosa, kitin, dan kitosan), dan lain sebagainya.

b. Polimer Sintetik

Polimer jenis ini diperoleh melalui serangkaian proses reaksi kimia. Polimer

sintetik yang paling banyak ditemui adalah polipropilen, polistirena, nylon, dan

lain-lain (Stevano, 2013).

Berdasarkan struktur dari rantainya, polimer dapat dibedakan menjadi tiga

jenis, yaitu:

a. Polimer Rantai Lurus

Polimer jenis ini memiliki bentuk rantai yang tersusun dari monomer-monomer

yang saling berikatan membentuk suatu rantai lurus. Adapun gambar struktur

dari polimer rantai lurus ditunjukkan oleh gambar 1.A. Contoh dari polimer

rantai lurus adalah kitin, strukturnya ditunjukkan oleh gambar 1.B.

A B

Gambar 1. Struktur polimer rantai lurus (A) (Stevano, 2013) dan struktur kitin (B) (Nelson et al., 2004)


(30)

8

b. Polimer Bercabang

Gabungan dari beberapa jenis rantai lurus atau rantai bercabang yang dapat

digabungkan melalui ikatan silang (cross-linking). Adapun struktur dari

polimer rantai bercabang ditunjukkan oleh gambar 2.A dan contoh dari polimer

jenis ini ada amilopektin yang ditunjukkan oleh gambar 2.B.

A B

Gambar 2. Struktur polimer rantai bercabang (A) (Stevano, 2013) dan struktur amilopektin (B) (Nelson et al., 2004)

c. Polimer Jaringan

Jika ikatan silang terjadi ke berbagai arah maka terbentuk polimer sambung

silang tiga dimensi atau yang sering disebut polimer jaringan (Cowd, 1991).

Struktur polimer jaringan ditunjukkan oleh gambar 3.A dan contohnya adalah


(31)

A B

Gambar 3. Struktur polimer jaringan (A) (Stevano, 2013) dan struktur bakelit (B)

Berdasarkan sifat termal dari polimer tersebut, maka polimer dibedakan

menjadi dua jenis, yaitu:

a. Polimer Termoplastik

Jika dipanaskan, polimer jenis ini bersifat lunak dan meleleh (viscous) dan saat

didinginkan akan menjadi kaku (rigid). Contoh yang paling sering ditemui

adalah polietilen, polipropilen, dan lain-lain.

b. Polimer Termoset

Polimer termoset merupakan polimer yang akan melebur ketika dipanaskan

dan ketika didinginkan akan mengeras secara permanen. Polimer ini memiliki

bentuk struktur tiga dimensi (jaringan) sehingga polimer ini memiliki sifat


(32)

10

Berdasarkan geometrinya, polimer diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Sindiotaktik

Polimer jenis ini memiliki konfigurasi yang selang-seling antara monomer satu

dengan monomer lainnya. Adapun struktur dari polimer sindiotaktik ini

ditunjukkan pada gambar 4. berikut ini.

Gambar 4. Polimer Sindiotaktik (Stevens, 2001)

b. Isotaktik

Konfigurasi pada polimer ini sejajar antara monomer satu dengan monomer

lainnya. Struktur dari polimer isotaktik dapat dilihat pada gambar 5. di bawah

ini.


(33)

c. Ataktik

Konfigurasi pada polimer ini tidak teratur atau acak antara monomer satu

dengan monomer lainnya. Struktur polimer ataktik ini dapat ditunjukkan oleh

gambar 6. di bawah ini.

Gambar 6. Polimer Ataktik (Stevens, 2001)

Dan yang terakhir berdasarkan fasenya, polimer dibedakan menjadi tiga jenis,

yaitu:

a. Amorf

Polimer ini memiliki susunan yang tidak teratur dan memiliki suhu transition

glass (Tg). Contoh dari fase amorf ini adalah karet dan polietena yang dapat

dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

b. Kristalin

Polimer ini memiliki susunan rantai yang teratur dan memiliki titik leleh

(melting point). Contohnya yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari


(34)

12

2. Reaksi Polimerisasi

Reaksi polimerisasi merupakan suatu reaksi pembentukan polimer dengan cara

menggabungkan berbagai monomer-monomer baik yang sejenis maupun yang

tidak sejenis. Adapun reaksi polimerisasi dibedakan menjadi 2 jenis adalah

yakni polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi.

Polimerisasi Adisi

Polimerisasi adisi merupakan reaksi polimerisasi yang melibatkan pemutusan

ikatan rangkap pada monomer-monomer yang akan bergabung menjadi suatu

polimer. Reaksi polimerisasi ini menggabungkan monomer-monomer

penyusun polimer ini sehingga menjadi suatu rantai polimer yang sangat

panjang. Monomer-monomer ini biasanya merupakan suatu senyawa yang

memiliki ikatan rangkap yang kemudian akan bereaksi dengan inisiator

(radikal bebas) dan membentuk suatu spesi aktif. Spesi aktif ini selanjutnya

akan bereaksi dengan monomer lain untuk membentuk suatu polimer adisi

dengan cara memindahkan gugus aktif ke ujung rantai polimer. Gugus aktif ini

juga dapat bereaksi cepat dengan atom atau molekul lain yang tidak

diharapkan. Tahapan reaksi polimerisasi adalah sebagai berikut:

Inisiasi

Tahap ini merupakan tahap pembentukan radikal bebas yang berasal

dari pemicu (inisiator) yang terdekomposisi. Radikal bebas ini


(35)

menghasilkan suatu spesi aktif yang dapat menjadi pemicu terjadinya

reaksi polimerisasi adisi. Reaksi dari tahap ini adalah sebagai berikut:

I  2 R.

Propagasi

Setelah radikal bebas terbentuk pada tahap inisiasi, kemudian radikal

bebas ini akan menyerang seluruh monomer yang ada dan membentuk

suatu rangkaian karbon yang sangat panjang dan berlangsung terus

menerus dan akan berhenti hingga tahapan penghentian reaksi terjadi.

Tahapan ini disebut tahapan propagasi. Reaksi dari tahapan ini adalah

sebagai berikut:

Terminasi

Pada tahapan ini, reaksi propagasi akan dihentikan. Tahapan ini terjadi

hingga seluruh monomer telah habis bereaksi. Bila konsentrasi

monomer sistem menurun kemungkinan reaksi antara pusat aktif

dengan monomer menjadi kecil. Sebaliknya, pusat aktif akan


(36)

14

membentuk polimer yang mantap. Disamping ketiga reaksi di atas,

proses polimerisasi radikal selalu diikuti proses lain yang melibatkan

interaksi radikal dengan molekul di sekitar pelarut, aditif bahkan

monomer. Interaksi ini dikenal dengan proses alih rantai dan

membentuk radikal baru yang mantap. Reaksi dari tahapan terminasi ini

adalah sebagai berikut: (Cowd, 1991).

Polimerisasi Kondensasi

Polimerisasi kondensasi merupakan suatu reaksi polimerisasi yang melibatkan

gugus-gugus fungsi yang terdapat pada monomer-monomer penyusun polimer.

Reaksi ini akan menghasilkan suatu polimer berantai panjang dan disertai

dengan pelepasan molekul air melalui reaksi kondensasi. Reaksi kondensasi ini

dapat menghasilkan suatu produk polimer yang rigid dan memiliki struktur 3D

yang kompleks (Stevano, 2013).

B.Nanopartikel dan Nanoteknologi

Nanopartikel merupakan partikel koloid padat yang memiliki ukuran sekitar

1-100 nm. Nanopartikel ini sendiri terdiri dari makro molekul material yang

direduksi secara top down maupun secara bottom up. Top down mengacu pada

pembentukan nanopartikel dari bulk kemudian menjadi serbuk dan menjadi


(37)

dari partikel atom menjadi molekul lalu menjadi nanopartikel (Allemann,

1993).

Menurut Nagavarma et al., (2012), nanopartikel polimer merupakan

nanopartikel yang banyak dibuat dan memiliki peran penting dalam bidang

elektronik, fotonik, material konduktor, sensor, obat-obatan, bioteknologi, serta

teknologi penanganan polusi dan lingkungan. Nanopartikel ini sangat efektif

digunakan untuk membawa obat-obatan, protein, dan DNA ke dalam sel dan

organ target.

Nanoteknologi adalah ilmu yang mempelajari tentang desain, fabrikasi, dan

penggunaan material, struktur, dan peralatan dengan ukuran dibawah 100 nm.

Satu nm sepadan dengan 1 x 10-9 meter atau 50.000 kali lebih kecil dari

diameter rambut manusia. Para peneliti mengambil acuan pada dimensi 1-100

nm sebagai nanoscale, dan material dalam skala ini disebut nanomaterial.

Nanoscale ini unik karena banyak dari mekanisme biologi dan fisik bekerja

pada skala 0,1-100 nm. Rentang ukuran ini memperlihatkan fungsi fisiologi

yang berbeda-beda, sehingga banyak peneliti mengharapkan efek novel terjadi

pada kisaran nanoscale yang akan menjadi sebuah penemuan dan terobosan

baru dalam teknologi (Winarti, 2013).

Nanopartikel biasa digunakan dalam sistem penghantaran obat yang ada di

dalam bidang farmasi. Hal ini disebabkan karena ukuran partikel yang sangat

kecil dari nanopartikel dan sifat permukaannya yang dapat diatur dan diubah

dengan mudah. Hal ini yang membuat nanopartikel dapat mengatur dan


(38)

16

meningkatkan efek dari obat tersebut dan juga mengurangi efek samping.

Dengan nanopartikel ini, pelepasan obat dapat diatur dengan cara memilih

matriks penyusun yang tepat sehingga dapat menghasilkan sistem pelepasan

yang berbeda-beda (Rawat et al., 2006).

C.Kitosan

Kitosan merupakan suatu biopolimer yang memiliki struktur lurus dan tersusun

atas 2000-3000 monomer N-Glukosamin dalam ikatan -(1-4). Kitosan diperoleh melalui proses deasetilasi kitin dengan basa kuat seperti NaOH atau

KOH. Kitin merupakan senyawa penyusun pada kulit hewan crustacea

(Hendri, 2013). Adapun struktur kitosan ditunjukkan oleh gambar 7. berikut

ini.

Gambar 7. Struktur Kitosan (Rodrigues et al., 2012)

1. Isolasi Kitosan

Kitosan diisolasi melalui kitin yang telah diperoleh dari kulit udang yang telah

dibersihkan dan dihaluskan. Proses pembuatan kitin ini melibatkan 3 tahapan,


(39)

Tahap deproteinasi

Tahapan ini merupakan proses penghilangan protein dari kitin dengan

menggunakan larutan NaOH 20% dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 60

menit. Hal ini diperlukan karena kitin memiliki kadar protein sebanyak 30-35%

(Peter, 1995). Protein yang dihilangkan akan bereaksi dengan NaOH

membentuk Na-proteinat dan ketika diuji dengan menggunakan CuSO4 akan

menghasilkan larutan kompleks berwarna ungu pekat.

Tahap demineralisasi

Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan mineral-mineral pada kitin dengan

menggunakan larutan HCl 1,25 N dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 90

menit. Mineral-mineral utama yang terkandung dalam kitin adalah kalsium

fosfat, kalsium karbonat, dan magnesium karbonat. Mineral-mineral ini akan

bereaksi dengan HCl menghasilkan garam CaCl2 dan MgCl2. Garam-garam

yang terbentuk diuji dengan amonium oksalat menghasilkan endapan putih

keruh (Hendri, 2013).

Tahap depigmentasi

Tahapan ini berfungsi untuk menghilangkan zat warna yang berada pada kitin

dengan menggunakan aseton hingga warnanya menghilang dan dikeringkan.

Setelah itu, sampel diputihkan dengan NaOCl 0,5% selama 10 menit. Menurut

Hendri, dkk (2005) zat warna yang terkandung dalam kulit udang adalah


(40)

18

Produk yang dihasilkan dari ketiga tahapan tersebut adalah kitin. Pembuatan

kitosan dapat dilakukan dengan cara penghilangan gugus asetil pada kitin

menjadi gugus –NH2 dengan menggunakan basa kuat. Proses deasetilasi

kitosan biasanya menggunakan larutan NaOH 40-60% pada suhu yang tinggi

yaitu berkisar 100-150oC. Hal ini disebabkan karena kitin memiliki struktur

yang panjang dan ikatan antara ion nitrogen dan gugus asetil yang kuat

(Pramudita, 2013).

2. Sifat Kimia Fisika Kitosan

Kitosan merupakan turunan kitin yang paling bermanfaat, hal ini dikarenakan

kitosan memiliki sifat polielektrolit, berat molekul yang tinggi (sekitar 1,2 x 10

Dalton), keberadaan gugus fungsional, kemampuan membentuk gel, dan

kemampuan mengadsorbsi. Selain itu, kitosan juga dapat dimodifikasi baik

secara kimia maupun enzimatik. Terdapat 2 parameter yang dapat

mempengaruhi kelarutan, sifat-sifat fisikokimia, sifat biokompabilitas, dan

aktivitas imunitas suatu kitosan, dua parameter tersebut adalah berat molekul

dan tingkat deasetilasi (Utami, 2014).

Menurut Knoor (1984), banyaknya gugus asetil yang dapat dihilangkan dari

rendemen kitosan dinyatakan dalam derajat deasetilasi. Kualitas dari suatu

kitosan ditentukan oleh derajat deasetilasinya. Semakin besar derajat

deasetilasi kitosan, maka kualitas kitosan tersebut akan semakin bagus.

Besarnya derajat deasetilasi pada kitosan tergantung dari proses deasetilasi


(41)

Kitosan tidak larut dalam air, namun larut dengan baik dalam larutan asam

organik seperti, asam asetat, asam format, dan asam sitrat (Mekawati dkk,

2000). Kitosan juga tidak larut dalam basa kuat, asam mineral, dan beberapa

pelarut organik (alkohol, aseton, dimetil formamida, dan dimetil sulfoksida)

(Hendri, 2013).

Kitosan akan larut dalam larutan asam organik dengan pH di bawah 6.

Semakin rendah nilai pH, maka kelarutan kitosan akan meningkat. Hal ini

disebabkan karena gugus amino pada kitosan akan mendapatkan donor proton

(terprotonasi) yang berasal dari molekul asam sehingga menjadi polielektrolit

kationik yang akan berinteraksi dengan muatan negatif. Namun, jika pH

meningkat, maka gugus amino pada kitosan akan mengalami deprotonasi dan

menghasilkan polimer yang tidak larut dan bermuatan netral.

Kitosan memiliki sifat biodegradable dan biocompatible yang akan mudah

terdegradasi secara biologis dan tidak beracun. Kitosan dengan mudah

membentuk membran atau film atau gel. Pembentukan gel ini terjadi pada

medium asam yang disebabkan oleh sifat kationik kitosan. Semakin besar berat

molekul kitosan dan semakin rendah pH, maka nilai viskositas (kekentalan) gel

kitosan akan mengalami peningkatan (Zhang et al., 2004).

Kitosan merupakan salah satu polimer alam yang paling sering digunakan

dalam produksi nanomedicines, karena kitosan memiliki karakteristik yang

baik sebagai media penghantaran obat dan efektif ketika dijadikan bentuk


(42)

20

menjadi faktor yang menentukan kesuksesan dari polisakarida ini (Janes et al.,

2001).

Adapun sifat-sifat biologi dan kimiawi dari kitosan ditunjukkan oleh Tabel 1.

Tabel 1. Sifat biologis dan kimiawi kitosan

Sifat Biologis Sifat Kimiawi 1. Polimer alami, biokompatibel

2. Biodegradable oleh unsur tubuh

normal

3. Aman dan non toksik 4. Melekat pada mukosa 5. Hemostatik

6. Antimikrobal dan antiviral 7. Antitumoral

8. Mempunyai aktivitas

immunoadjuvan

9. Biaya terjangkau dan serbaguna

1. Poliamina kationik dengan densitas muatan yang tinggi pada pH <6,5

2. Berat molekul tinggi 3. Polielektrolit linear 4. Kondensasi asam nukleat 5. Khelat beberapa logam

transisional

6. Mudah dimodifikasi secara kimiawi

7. Gugus amino/hidroksi reaktif

(Hejazi, 2003).

3. Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan dengan Menggunakan Fourier Transformed Infra Red (FTIR)

Derajat deasetilasi kitosan dapat ditentukan dengan menggunakan FTIR. FTIR

merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk melihat atom-atom

dalam sebuah molekul melalui vibrasi-vibrasi yang ditimbulkan oleh atom

tersebut. Untuk dapat melihat atom-atom tersebut diperlukan suatu spektrum

IR yang diperoleh dengan cara menembakkan radiasi sinar infra merah ke

sampel menentukan fraksi apa yang terjadi saat melewatkan radiasi yang

terabsorpsi dengan energi khusus. Energi yang terdapat pada beberapa puncak

dalam sebuah spektrum absorpsi menunjukan kecocokan terhadap frekuensi


(43)

Fourier Transformed Infrared Spectroscopy (FTIR) telah menggantikan

instrumen-instrumen pendispersi lainnya pada banyak aplikasi karena

sensitivitas dan kecepatannya yang tinggi. FTIR memiliki kemampuan hebat

secara luas yang telah diaplikasikan dalam beberapa area yang sangat sulit dan

hampir tidak mungkin untuk dianalisis oleh instrumen-instrumen pendispersi

lainnya.

Prinsip dasar dari analisis spektrofotometri IR adalah penyerapan radiasi

elektromagnetik oleh gugus-gugus fungsi tertentu, sehingga dari spektrum

serapan yang terbaca kita mampu mengetahui gugus fungsi apa saja yang

terdapat pada suatu senyawa. Bila sinar inframerah dilewatkan melalui sebuah

cuplikan, maka sejumlah frekuensi diserap oleh cuplikan tersebut dan

frekuensi lainnya diteruskan atau ditransmisikan tanpa adanya penyerapan.

Hubungan antara persen absorbansi dengan frekuensi maka akan dihasilkan

sebuah spektrum inframerah (Hardjono, 1990).

Pada analisis dengan spektrofotometer FTIR diharapkan terlihat pita serapan

melebar dengan intensitas kuat pada daerah 3500-3000 cm-1 yang

menunjukkan karakteristik vibrasi ulur OH, pita serapan diatas 3300 cm-1 yang

menunjukkan karakteristik vibrasi ulur NH amina. Pita serapan lainnya yang

menunjukkan adanya vibrasi NH amina yaitu pada daerah 1650-1550 cm-1

yang menunjukkan vibrasi tekuk NH2 (amina primer), diharapkan muncul pita

serapan pada daerah 1250-1000 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur CN, pita

serapan pada daerah 3000-2850 cm-1 menunjukkan karakteristik vibrasi ulur


(44)

22

vibrasi tekuk CH, dan pita serapan pada daerah 1250-970 cm-1 yang

menunjukkan vibrasi tekuk C-O (Hendri, 2007).

Adanya kehadiran analisis menggunakan Spektrofotometri Inframerah saat ini

secara kesuluruhan memberikan dua keuntungan utama dari metode

konvensional lainnya, yaitu :

a. Mampu digunakan pada semua frekuensi dari sumber cahaya secara

bersamaan sehingga analisis dapat dilakukan lebih cepat daripada

menggunakan metode sekuensial atau scanning.

b. Analisis menggunakan metode spektrofotometri FTIR memiliki

sensitivitas yang lebih besar daripada metode dispersi. Hal ini dikarenakan

radiasi yang masuk ke sistem detektor lebih banyak karena tanpa harus

melalui celah (slitless) terlebih dahulu (Hsu, 1994).

Derajat deasetilasi kitosan ditentukan dengan menggunakan metode garis dasar

atau baseline. Metode garis dasar ini terdapat 2 jenis yaitu; metode baseline A

(Domzy dan Roberts, 1985) dan metode baseline B (Baxter et al., 1992).

Metode baseline A dapat digunakan untuk penentuan derajat deasetilasi kitosan

dengan cara membandingkan absorbansi pada bilangan gelombang 1655 cm-1

dengan absorbansi pada bilangan gelombang 3455 cm-1 dan mengalikannya

dengan suatu faktor yang bernilai 100/1,33. Maka rumus penentuan derajat

deasetilasi kitosan dengan menggunakan metode baseline A adalah sebagai

berikut:


(45)

Metode baseline B digunakan dengan cara membandingkan absorbansi pada

bilangan gelombang 1655 cm-1 dengan absorbansi pada bilangan gelombang

3455 cm-1 dan mengalikannya dengan suatu faktor yang bernilai 115. Adapun

rumus penentuan derajat deasetilasi kitosan dengan metode baseline B adalah

sebagai berikut:

%�� = − [�1 � 5]

(Sabnis and Block, 1997).

4. Aplikasi Kitosan

Berdasarkan atas sifatnya, kitosan memiliki aplikasi yang memungkinkan

dalam berbagai bidang seperti bidang kedokteran, perlakuan dalam limbah air,

kosmetik, pasta gigi, makanan, pertanian, kertas, dan industri tekstil. Dalam

industri tekstil kitosan ditemukan dalam pemanfaatannya pada produksi utama

serat (berguna sebagai benang pembedahan, pembalut luka dan lain-lain).

Kitosan juga ditemukan bermanfaat dalam pembuatan wool yang akan

meminimalisir permasalahan dalam kenyamanan menggunakan wool. Sifat

bioadhesive dan struktur kationik dari kitosan inilah yang memampukan untuk

melekat kuat pada serat dan mencegah serat menjadi kusut. Sedangkan

berdasarkan atas sifat antibakterialnya, kitosan mampu mencegah pakaian dari

bau busuk yang disebabkan oleh bakteri (Chattopadhyay, 2010).

Secara khusus kitosan digunakan untuk preparasi mucoadhesive yang berperan

untuk meningkatkan kelarutan bagi obat yang sulit untuk larut di dalam tubuh.

Kelarutan dari kitosan itulah yang berpengaruh dalam penggunaannya sebagai


(46)

24

D.Reaksi Degradasi Kitosan dengan H2O2

Berat molekul dari kitosan akan sangat mempengaruhi ukuran nanopartikel

kitosan yang akan dibuat. Maka dari itu, diperlukan suatu reaksi degradasi

untuk membentuk kitosan dengan berat molekul rendah atau yang disebut

dengan LWCS(Low Molecular Weight Chitosan). LWCS ini memiliki efek

yang lebih baik terhadap pembuatan nanopartikel kitosan dibandingkan dengan

kitosan biasa. Semakin kecil berat molekul kitosan maka ukuran nanopartikel

kitosan akan semakin kecil (Yang et al., 2009).

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat LWCS ini, seperti salah

satunya adalah degradasi kimiawi dengan zat oksidator kuat seperti H2O2. Zat

ini dapat memutus ikatan glikosidik pada kitosan sehingga kitosan dapat

menjadi LWCS. Sejumlah kecil hidrogen peroksida saja dapat mengurangi

berat molekul kitosan. Semakin besar konsentrasi hidrogen peroksida, maka

semakin kecil berat molekul kitosan yang didapat. Ketika konsentrasi H2O2

diatas 0,5 M, maka produk utamanya adalah LWCS.

Mekanisme dari degradasi kitosan ini dapat diamati pada reaksi di bawah ini:

R-NH2 + H2O2 R-NH3+ + HOO

-Anion HOO- ini sangat tidak stabil dan mudah terdekomposisi menjadi radikal

hidroksil (OH.) yang sangat reaktif. Selama proses reaksi degradasi, kitosan

bereaksi dengan ion H+ untuk memproduksi R-NH3+ dimana akan

menyebabkan kenaikan pH. Kemudian ion HOO- akan terdekomposisi menjadi


(47)

radikal OH. yang kemudian dapat membentuk produk yang larut dalam air

dengan berat molekul yang rendah (Tian et al., 2004).

E.Nanopartikel Kitosan

Nanopartikel kitosan merupakan partikel kitosan yang berukuran pada kisaran

1-100 nm. Nanopartikel kitosan ini sangat baik digunakan untuk media

penghantar obat. Partikel kitosan yang dibuat berukuran nano ini dapat

meningkatkan kemampuan penghantaran dari kitosan, memiliki stabilitas yang

tinggi, dan meningkatkan adsorpsi kitosan (Fan et al., 2012).

1. Pembuatan Nanopartikel Kitosan

Nanopartikel kitosan pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan yang bernama

Ohya dan para pekerjanya pada tahun 1994. Pada saat itu, nanopartikel kitosan

dibuat dengan bertujuan untuk menghantarkan suatu zat anti kanker yang

bernama 5-Fluorouacil ke dalam pembuluh darah. Sejak saat itulah, mulai

berkembang metode pembuatan kitosan yang dilakukan oleh para ahli untuk

mempelajari sistem penghantaran obat dengan menggunakan nanopartikel

kitosan (Grenha, 2012).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, telah

banyak sekali dilakukan pembuatan nanopartikel kitosan dengan berbagai

macam metode yang berbeda. Ada terdapat 3 metode yang paling sering


(48)

26

a. Metode Mikroemulsi

Pada metode ini, kitosan awalnya dilarutkan dalam glutaraldehid. Hal ini akan

menyebabkan gugus amino pada kitosan akan membentuk ikatan

sambung-silang (cross-linking) dengan gugus aldehid pada glutaraldehid. Kemudian

larutan kitosan-glutaraldehid ini dimasukkan ke dalam campuran

surfaktan-heksana sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer pada suhu

kamar. Pengadukan ini dilakukan selama semalam untuk menyempurnakan

proses cross-linking yang berlangsung, sehingga nanopartikel kitosan akan

mulai terbentuk. Pelarut organik yang terdapat dalam sampel diuapkan dan

surfaktan dihilangkan dengan cara pengendapan bersama CaCl2 dan presipitan

dipisahkan melalui proses sentrifugasi. Kemudian suspensi nanopartikel

diliofilisasi (freeze-drying). Metode ini dapat menghasilkan nanopartikel

kitosan dengan ukuran di bawah 100 nm dan ukurannya dapat diatur melalui

glutaraldehid yang divariasikan untuk mengubah derajat cross-linking. Namun,

metode ini memiliki kekurangan yaitu penggunaan pelarut organik, waktu

preparasi yang lama, dan proses pencucian yang rumit (Kurniawan, 2012).

b. Metode Emulsifikasi Difusi Pelarut

Hal spesifik dalam preparasi nanopartikel dengan menggunakan metode ini

adalah penambahan fase organik seperti campuran metilen klorida-aseton yang

mengandung gugus hidrofobik ke dalam campuran kitosan dengan stabilizer

(poloxamer dan lesitin) sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer.

Ini akan membentuk emulsi minyak/air yang akan dihomogenisasi pada


(49)

mengurangi tekanan pada suhu kamar. Pada tahap ini, aseton akan terdifusi ke

fase encer yang akan mengurangi kelarutan dari kitosan, sehingga nanopartikel

kitosan akan terbentuk melalui pengendapan. Untuk meningkatkan difusi

aseton, biasanya dilakukan penambahan air. Kelemahan dari metode ini adalah

penggunaan pelarut organik dan diperlukannya tekanan tinggi dalm proses

preparasi.

c. Metode Gelasi Ionik dan Komplek Polielektrolit

Kitosan memiliki gugus amino yang memiliki derajat protonasi yang cukup

tinggi dalam asam, hal ini menyebabkan kitosan memiliki kemampuan untuk

membentuk hidrogel dengan adanya polianion yang spesifik. Proses ini

disebabkan karena adanya ikatan sambung-silang intermolekular dan

intramolekular yang dilakukan oleh molekul anion. Metode gelasi ionik dan

kompleks polielektrolit menggunakan prinsip ini untuk membentuk

nanopartikel kitosan. Metode gelasi ionik ini sangat lebih disukai oleh para

peneliti karena proses gelasi kitosan ini dapat mengurangi ukuran partikel

kitosan dengan kehadiran molekul anion kecil seperti; fosfat, sulfat, dan sitrat.

Sedangkan kompleks polielektrolit dilakukan jika dalam proses pembuatan

nanopartikel kitosan tersebut digunakan molekul anion yang besar. Metode

gelasi ionik meliputi interaksi ionik antara muatan positif gugus amino pada

kitosan dengan muatan negatif pada polianion. Polianion yang paling sering

digunakan dalam metode gelasi ionik ini adalah tripolifosfat (TPP) yang juga

berperan sebagai cross-linker. Nanopartikel akan terbentuk kira-kira setelah


(50)

28

kecepatan pengadukan yang ringan pada suhu kamar. Pengadukan

dipertahankan selama 10 menit agar proses cross-linking dapat berlangsung

sempurna dan juga untuk menstabilkan nanopartikel yang telah terbentuk.

Suspensi nanopartikel yang telah diperoleh kemudian disentrifuse untuk

memisahkan nanopartikel dari kitosan dan TPP yang tidak bereaksi. Kemudian

nanopartikel dipisahkan dari filtrat dan dikeringkan (Grenha, 2012).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Nanopartikel Kitosan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fan et al., (2012) bahwa terdapat

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ukuran nanopartikel kitosan dalam

proses pembuatannya dengan metode gelasi ionik. Faktor-faktor tersebut antara

lain:

a. Pengaruh Konsentrasi Larutan Kitosan dan TPP

Ukuran nanopartikel kitosan akan semakin mengecil apabila konsentrasi

larutan kitosan dan TPP yang digunakan juga kecil. Setelah dilakukan

penelitian, pembentukkan nanopartikel kitosan dapat terjadi jika konsentrasi

larutan kitosan yang digunakan di bawah 1,5 mg/mL dan konsentrasi larutan

TPP di bawah 1,0 mg/mL. Pada rentang konsentrasi ini, konsentrasi larutan

kitosan dan TPP akan memiliki pengaruh yang kecil terhadap monodipersitas

dari nanopartikel kitosan. Telah diketahui pula bahwa dalam keadaan asam,

molekul kitosan memiliki gaya tolakan elektrostatik yang dikarenakan oleh

gugus amino yang terprotonasi pada kitosan. Disamping itu, terdapat juga


(51)

yang digunakan memiliki konsentrasi di bawah 1,5 mg/mL, maka gaya

tarik-menarik dari ikatan hidrogen intermolekular dan gaya tolakan elektrostatik

pada kitosan ini berada dalam kesetimbangan, sehingga molekul kitosan akan

mendekat satu sama lain secara terbatas yang mengakibatkan terjadinya

peningkatan yang terbatas pada ikatan sambung-silang intermolekular,

memang lebih besar namun dapat membentuk partikel-partikel berukuran nano.

b. Pengaruh Perbandingan Massa antara Kitosan dan TPP

Telah diketahui bahwa perbandingan massa antara kitosan dan TPP juga

memberikan pengaruh yang begitu signifikan. Semakin kecil perbandingan

massa antara kitosan dan TPP (dari 4:1 ke 2,9:1) yang dimasukkan maka

ukuran nanopartikel kitosan akan menurun. Namun, penurunan ukuran

nanopartikel ini tidak mutlak terjadi, pada satu kondisi (pada perbandingan

dibawah 3,03:1) ukuran nanopartikel ini meningkat secara dramatis. Pada

perbandingan massa di atas 4:1, Larutan reaksi akan menjadi berwarna jernih

yang menandakan bahwa volume TPP tidak memadai untuk melalukan reaksi

cross-linking dengan kitosan sehingga pembentukkan nanopartikel kitosan

tidak terjadi secara sempurna. Ketika perbandingan massa diperkecil (volume

TPP bertambah) ukuran nanopartikel kitosan akan berkurang dikarenakan

meningkatnya densitas cross-linking antara kitosan dan TPP. Ketika

perbandingan massanya lebih rendah dari 3,03:1, maka kitosan sudah ter-

cross-linking seluruhnya dan kelebihan TPP dapat menyebabkan ukuran partikel


(52)

30

c. Pengaruh pH Larutan Kitosan

Ketika pH larutan kitosan berada di bawah 4,5 maka tidak mudah untuk

membentuk nanopartikel kitosan dengan distribusi ukuran partikel unimodal.

Namun, ketika pH larutan berada di atas 5,2 maka mikropartikel akan segera

terbentuk di dalam larutan. pH larutan kitosan akan dapat mempengaruhi

derajat protonasi dari kitosan tersebut. Semakin tinggi pH larutan kitosan maka

akan semakin rendah derajat protonasi dari kitosan tersebut (Shu dan Zhu,

2002).

Ion TPP hanya dapat bereaksi dengan gugus amino yang terprotonasi pada

kitosan melalui reaksi cross-linking ionik. Jika pH larutan kitosan berada di

atas pH kritis, kitosan akan mengalami deprotonasi sehingga ion TPP tidak

dapat bereaksi dengan kitosan untuk membentuk nanopartikel kitosan. Jika pH

larutan berada pada sekitar pH kritis, ion TPP akan memberikan pengaruh pada

derajat protonasi kitosan sehingga ukuran dari partikel kitosan akan berkurang.

Sedangkan jika pH larutan kitosan berada di bawah pH kritis, ion TPP

memiliki pengaruh yang kecil terhadap derajat protonasi kitosan sehingga

kitosan masih terprotonasi sepenuhnya (Fan et al., 2012).

3. Aplikasi Nanopartikel Kitosan

Menurut Soutter (2013), Nanopartikel kitosan memiliki kegunaan dan aplikasi

sebagai berikut:

a) Sebagai agen anti bakteri, media penghantaran gen dan pelepasan


(53)

b) Digunakan sebagai zat pembantu vaksin, seperti vaksin influenza,

hepatitis B, dan tipes.

c) Digunakan untuk mengembangkan antigen yang diambil dari jaringan

limfoid mukosa dan menstimulasi kekuatan tanggap dari imun untuk

melawan antigen.

d) Digunakan untuk mencegah infeksi pada luka dan mempercepat proses

penyembuhan dengan cara meningkatkan pertumbuhan sel kulit.

e) Digunakan sebagai zat pengawet pada kemasan makan dan dapat juga

digunakan untuk mengurangi karies pada gigi.

F. Natrium Tripolifosfat (TPP)

Natrium tripolifosfat merupakan suatu senyawa yang berupa serbuk atau granul

berwarna putih dan memiliki sifat sedikit higroskopis. Tripolifosfat atau yang

biasa disebut sebagai TPP ini memiliki kelarutan yang sangat baik dalam air.

Namun, TPP tidak larut dalam etanol. TPP ini dalam nanopartikel berperan

sebagai cross-linker yang membentuk ikatan sambung-silang dengan kitosan.

TPP ini digunakan karena sifatnya sebagai anion multivalen dan hasil

nanopartikel yang diperoleh menjadi lebih stabil dan memiliki karakter

penembusan membran yang baik (Yu Shin et al., 2008). Berikut adalah struktur

dari natrium tripolifosfat:


(54)

32

Ikatan sambung-silang antara kitosan dengan TPP bergantung pada

ketersediaan gugus kation dan anion. Ikatan sambung-silang yang terbentuk ini

dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting yaitu konsentrasi kitosan, pH,

dan konsentrasi TPP. Pada medium asam, ion tripolifosfat akan berikatan

dengan ion NH3+ pada kitosan. Namun pada medium basa, dihasilkan ion OH

-dan tripolifosfat yang bersaing untuk dapat berinteraksi dengan ion NH3+ pada

kitosan.

Adapun reaksi disosiasi TPP dalam air adalah sebagai berikut (Lee et al.,

2001):

Na5P3O10 + 5 H2O  5 Na+ + H5P3O10 + 5 OH

-H5P3O10 + OH-  H4P3O10- + H2O

H4P3O10- + OH-  H3P3O102- + H2O

G.Bahan Pendegradasi Hidrogen Peroksida

Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan peroksida yang paling sederhana

(senyawa dengan ikatan oksigen-oksigen tunggal). Zat ini juga merupakan

oksidator kuat yang merupakan cairan bening dan sedikit lebih kental

dibandingkan dengan air. Dalam larutan encer, zat ini tampak tidak berwarna.

Karena memiliki sifat sebagai oksidator, hidrogen peroksida sering digunakan

sebagai pemutih atau bahan pembersih. Kapasitas oksidasi hidrogen peroksida

begitu kuat sehingga dianggap sebagai jenis oksigen yang sangat reaktif.

Hidrogen peroksida mempunyai kemampuan melepaskan oksigen yang cukup


(55)

antara lain tidak menghasilkan residu atau endapan, larutan hidrogen peroksida

menghasilkan produk yang putih bersih dan bahan organik yang diputihkannya

sedikit sekali mengalami kerusakan, bahkan tidak rusak sama sekali. Selain itu,

OOH- yang berperan dalam oksidasi bersifat ramah terhadap lingkungan.

Hidrogen peroksida dalam air akan terurai menjadi H+ dan OOH-. Ion OOH-

ini merupakan oksidator kuat. Hidrogen peroksida dapat memutus ikatan C

dan C dan mampu membuka cincin. Peroksida merupakan oksidan yang kuat

juga mempunyai kemampuan mengoksidasi senyawa fenolik, amina, eter

aromatik, dan senyawa aromatik polisiklik (Julianti, 2012).

H.Rotational Rheometer (Viscometer)

Rotational rheometer terdiri dari beberapa sistem sensor yang memungkinkan

untuk merancang suatu rheometer yang baik, mutlak, dan serbaguna. Alat ini

secara umum digunakan untuk mengamati parameter-parameter rheological

suatu cairan atau senyawa semi-padat. Parameter-parameter rheological

tersebut antara lain: viskositas, shear stress, dan shear rate. Shear stress

merupakan suatu gaya atau tegangan yang diterapkan ke suatu sistem yang

menjadi penghubung antara bagian atas wadah dengan bagian bawah larutan

dan mengarah ke aliran dalam lapisan cairan. Sedangkan shear rate merupakan

gradien kecepatan yang menyebabkan suatu fluida mengalir dalam pola yang

khusus.

Pada instrumen ini terdapat tiga jenis prinsip yang berdasarkan jenis sistem

sensornya yaitu: sistem sensor coaxial cylinder, cone and plate, dan


(56)

34

hasil dari kedua plat datar yang membungkuk dari parallel-plate. Cairan

sampel mengisi kesenjangan di antara dua silinder dapat terkena untuk geser

(shear) dalam beberapa waktu. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya aliran

yang berlapis sehingga data pengukuran dapat memberikan hasil uji shear

stress, shear rate, dan viskositas dalam unit fisik yang sesuai. Hal ini dapat

juga terjadi pada sistem sensor cone and plate maupun parallel-plate yang

memiliki area aplikasi yang khusus.

Dalam pengukuran viskositas, terdapat dua jenis cairan yang dikenal yaitu:

Newtonian fluid dan non-Newtonian fluid. Newtonian fluid merupakan suatu

cairan yang memiliki nilai viskositas tetap seiring dengan perubahan nilai

shear rate serta memenuhi aturan Newton. Contohnya adalah air, minyak,

aspal, dan lain-lain. Sedangkan non-Newtonian fluid merupakan cairan yang

tidak memenuhi aturan Newton, cairan ini memiliki nilai viskositas yang

berubah-ubah seiring dengan perubahan nilai shear rate (Schramm, 1998).

Larutan kitosan memiliki sifat non-Newtonian fluid. Wang and Xu (1993)

membuktikan bahwa larutan kitosan memiliki nilai viskositas yang

berubah-ubah pada nilai shear rate yang berubah-ubah pula. Mereka juga mengamati

bahwa nilai shear viscosity (Pa. s) atau yang bisa disebut juga dengan

viskositas dinamik berbanding lurus dengan viskositas intrinsik. Sehingga

dapat ditarik garis hubungan antara viskositas dinamik dengan viskositas

intrinsik dan berat molekul kitosan. Jika viskositas dinamik semakin besar,

maka viskositas intrinsik juga semakin besar dan jika viskositas intrinsik besar,


(57)

viskositas dinamik semakin besar, maka berat molekul juga akan semakin

besar.

I. Analisis Termal dengan Menggunakan TG/DTA (Thermo Gravimetric-Differential Thermal Analysis)

Thermo Gravimetric Analysis (TGA) merupakan suatu teknik eksperimental

dimana suatu berat atau massa diukur sebagai fungsi temperatur sampel atau

waktu. Sampel ini dipanaskan dengan laju alir panas (heat flow) yang konstan

atau dapat juga terjadi pada suhu yang konstan (pengukuran isotermal). Pilihan

pada temperatur program bergantung pada informasi yang dibutuhkan pada

sampel tersebut. Hasil dari pengukuran TGA ini biasanya ditampilkan dalam

bentuk termogram (kurva TGA) dimasa persen berat pada sampel diplotkan

terhadap temperatur dan/atau waktu. Selain kurva TGA diatas, dapat juga

dihasilkan suatu bentuk turunan pertama dari kurva TGA yang disesuaikan

terhadap temperatur dan waktu yang akan menunjukkan laju pada perubahan

massa yang disebut sebagai Differential Thermo Gravimetric atau kurva DTG.

Terdapat 3 jenis thermobalance yang digunakan pada instrumen TGA saat ini,

ketiga jenis thermobalance tersebut adalah horizontal arrangement, top

loading, dan hang down. Ketiga jenis thermobalance ini dapat diamati pada


(58)

36

Gambar 9. Jenis-jenis Thermobalance pada Instrumen TGA (Gabbott, 2008)

Pada beberapa thermobalance, sebuah pemanas eksternal diletakkan tidak

memiliki kontak dengan atmosfer, sehingga dapat bermanfaat untuk

eksperimen yang menggunakan gas hidrogen murni. Thermobalance modern

saat ini telah diperlengkapi agar dapat merekam sinyal DTA (Differential

Thermal Analysis) pada saat yang bersamaan ketika melakukan pengukuran

Thermo Gravimetric. Sinyal DTA ini dapat memperlihatkan efek termal yang

tidak dipengaruhi oleh perubahan berat sampel, contohnya titik leleh,

kristalisasi atau transisi gelas (glass transition). Data evaluasi ini hanya

terbatas pada temperatur awal dan temperatur puncak. Setiap proses yang

menyebabkan kehilangan berat pada sampel biasanya memberikan puncak

endotermik pada DTA yang disebabkan karena ekspansi kerja. Namun terdapat

pengecualian untuk hal ini, ketika gas mudah terbakar terbentuk pada

temperatur yang tinggi dan tersedia oksigen yang cukup, maka entalpi

pembakaran lebih besar dan reaksinya eksotermis. Berikut ini contoh

termogram yang dihasilkan pada instrumen TGA yang dilengkapi dengan DTA


(59)

Gambar 10. Termogram TG yang Disertai dengan DTA (Gabbott, 2008).

J. Karakterisasi Nanopartikel

1. PSA(Particle Size Analyzer)

Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel merupakan suatu karakteristik

khusus dalam sistem nanopartikel. Suatu materi dikatakan nanopartikel jika

memiliki ukuran partikel di bawah 100 nm. Ada banyak cara atau metode yang

digunakan untuk menentukan ukuran partikel dari nanopartikel. Cara yang

paling sering digunakan untuk menentukan ukuran suatu partikel adalah

dengan metode PCS (Photon Correlation Spectroscopy) dan DLS (Dynamic

Light Scattering). PCS dapat digunakan untuk menentukan ukuran partikel

dengan cara mendispersikan sampel dalam medium cair. Pada kondisi ini,

partikel-partikel sampel akan bergerak secara acak mengikuti aturan gerak

Brown. PCS akan mengukur ukuran partikel dengan cara menembakkan


(60)

38

menentukan distribusi ukuran partikel rata-ratanya, sedangkan DLS digunakan

untuk menentukan ukuran partikel dengan cara memasukkan partikel kecil di

dalam suspensi yang bergerak dalam pola acak. Pengukuran dilakukan dengan

prinsip bahwa partikel yang lebih besar akan bergerak dengan lambat

dibandingkan dengan partikel yang lebih kecil (Jahanshahi et al., 2008).

PSA merupakan suatu alat yang digunakan untuk menentukan ukuran partikel

yang berbasis PCS (Photon Correlation Spectroscopy) dan menggunakan

metode LAS (Laser Diffraction). Metode LAS ini dibagi menjadi 2 metode,

yaitu:

1. Metode basah (Wet Dispersion Unit), metode ini menggunakan media

pendispersi untuk mendispersikan material uji.

2. Metode kering (Dry Dispersion Unit), metode ini memanfaatkan udara

atau aliran udara untuk melarutkan partikel dan membawanya ke sensing

zone. Metode ini baik digunakan untuk ukuran yang kasar, dimana

hubungan antar partikel lemah dan kemungkinan untuk beraglomerasi

kecil.


(61)

Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA-DLS biasanya menggunakan

metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan

metode kering ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa

gambar. Terutama untuk sampel-sampel dalam orde nanometer dan submicron

yang biasanya memiliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi. Hal ini

dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak

saling beraglomerasi (menggumpal). Dengan demikian, ukuran partikel yang

terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu, hasil pengukuran

dimunculkan dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat

diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel (Susanti,

2013).

Hal yang diharapkan dari analisis ini adalah, distribusi ukuran nanopartikel

kitosan yang dihasilkan berada pada rentang nano (<100 nm) dan memiliki

keseragaman (homogenitas) ukuran yang baik.

Keunggulan penggunaan Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui

ukuran partikel adalah sebagai berikut:

a) Lebih akurat dan mudah digunakan, pengukuran partikel dengan

menggunakan PSA lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran

partikel dengan alat lain seperti TEM ataupun SEM. Hal ini dikarenakan

partikel dari sampel yang akan diuji didispersikan ke dalam sebuah media

sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle.


(62)

40

keseluruhan kondisi sampel, yang berarti penyebaran ukuran rata-rata

partikel dalam suatu sampel.

c) Rentang pengukuran dari 0,6 nanometer hingga 7 mikrometer

(Rusli, 2011).

2. SEM (Scanning Electron Microscope)

SEM merupakan alat yang sangat kuat untuk menguji, menginterpretasikan

mikro-struktur dari suatu material, dan secara luas digunakan pada

material-material sains. Mikroskop ini digunakan untuk mempelajari struktur

permukaan obyek, yang secara umum diperbesar antara 1.000-40.000 kali.

Prinsip dasar dari SEM ialah berdasarkan atas sebuah peristiwa interaksi antara

sinar elektron dengan spesimen padatan.

Gambar atau foto yang dihasilkan oleh SEM memiliki penampilan tiga dimensi

serta berguna dalam menentukan struktur permukaan dari sebuah sampel.

Sebuah filamen (electron gun) pada scanning electron microscope digunakan

untuk membangkitkan sinar elektron pada sebuah vakum yang dihasilkan

dalam sebuah kamar dimana sampel disimpan untuk dianalisis. Sinar tersebut

diarahkan dengan akurat oleh lensa kondensor elektromagnetik, difokuskan

oleh lensa objektif, dan dipindai melewati permukaan sampel oleh gulungan

pendeteksi elektromagnetik.

Metode penggambaran yang utama ialah dengan mengumpulkan elektron

sekunder yang dilepaskan oleh sampel. Elektron sekunder dideteksi oleh


(63)

Selanjutnya, kilat cahaya dideteksi dan diperkuat oleh sebuah photomultiplier

tube. Dengan menghubungkan posisi pemindaian sampel dengan sinyal yang

dihasilkan, maka dihasilkan gambar atau foto berwarna hitam putih (Ayyad,

2011).

Dalam prinsip pengukuran SEM dikenal ada dua jenis elektron, yaitu elektron

primer dan elektron sekunder. Elektron primer merupakan elektron berenergi

tinggi yang dipancarkan dari sebuah katoda (Pt, Ni, W) yang dipanaskan.

Katoda yang biasa digunakan adalah tungsten (W) atau lanthanum hexaboride

(LaB6). Tungsten digunakan sebagai katoda karena memiliki titik lebur yang

paling tinggi dan tekanan uap yang paling rendah dari semua meta, sehingga

memungkinkannya dipanaskan pada temperatur tinggi untuk emisi elektron.

Sedangkan elektron sekunder adalah elektron berenergi rendah, yang

dibebaskan oleh atom pada permukaan. Atom akan membebaskan elektron

sekunder setelah ditembakkan oleh elektron primer. Elektron sekunder inilah

yang akan ditangkap oleh detektor dan mengubah sinyal tersebut menjadi suatu

sinyal gambar.

Dari analisis ini, diharapkan ukuran partikel nanokitosan berada pada rentang

nano (<100 nm) dan memiliki morfologi yang cukup baik dan tidak terjadi

aglomerasi (penumpukkan) pada partikel-partikelnya.

SEM memiliki beberapa keunggulan, antara lain sebagai berikut:

1. Kemampuan untuk menggambar area yang besar secara komparatif dari


(64)

42

2. Kemampuan untuk menggambar materi bulk, dan berbagai mode

analitikal yang tersedia untuk mengukur komposisi dan sifat dasar dari

spesimen (Marlina, 2007).

Skema alat Scanning Electron Microscope disajikan pada gambar 12.


(65)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A.Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2014 sampai Mei 2015,

dengan tahapan kegiatan, yaitu: proses deasetilasi bertingkat, penentuan derajat

deasetilasi kitosan, pembuatan nanopartikel kitosan, karakterisasi TGA, PSA,

dan SEM yang dilakukan di UPT. Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi

Teknologi Universitas Lampung dan penentuan derajat deasetilasi kitosan

dengan menggunakan FTIR yang dilakukan di Laboratorium Kimia Organik

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

B.Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas yang

biasa digunakan dalam laboratorium, magnetic stirrer Wiggen HauserHPS

630, neraca analitik Kern ABT 220-4M, indikator pH, termometer, kertas

saring Whatmann, Viscotester HAAKE 550, Freeze-dryer SCANLAF Coolsafe

110-4, FTIR Shimadzu, Scanning Electron Microscopy (SEM) Zeiss EVO

series, SII TG/DTA 7300, dan Particle Size Analyzer ANALYSETTE 22


(1)

6. Melalui hasil analisis SEM, nanopartikel kitosan A dan C terlihat berbentuk bulat sedangkan nanopartikel kitosan B berbentuk cluster-cluster yang saling tumpang tindih.

B. Saran

Berdasarkan hasil pengamatan, maka ada beberapa hal yang perlu disarankan untuk penelitian ke depan, yaitu dalam preparasi nanopartikel kitosan, perlu dikaji ulang komposisi konsentrasi dan volume larutan kitosan dan TPP agar diperoleh nanopartikel kitosan dengan ukuran di bawah 100 nm dan memiliki keseragaman yang baik. Selain itu dikarenakan hasil ukuran nanopartikel kitosan yang

diperoleh diuji dengan PSA dalam bentuk suspensi, sedangkan pada SEM, nanopartikel kitosan terlebih dahulu dipisahkan dari supernatan dan diliofilisasi hingga kering. Ini sangat memungkinkan terjadinya aglomerasi dan membuat ukuran partikel yang terukur pada SEM tidak sesuai dengan PSA. Maka dari itu perlu dilakukan pengecilan ukuran dengan menggunakan grinder dan diayak agar diperoleh ukuran partikel yang seragam. Dan juga nanopartikel kitosan yang telah dikeringkan dengan freeze-dryer perlu diuji apakah dapat disuspensikan kembali dengan menggunakan TPP dan mempengaruhi ukuran nanopartikelnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Agnihotri, S. A. N., Malikarjuna, dan T. M. Aminabhavi. 2004. Recent Advances on Chitosan-Based Micro and Nanoparticles in Drug Delivery. J. of

Controlled Release. 100: 5-28.

Allemann, E., R. Gurny, dan E. Doelker. 1993. Drug-loaded Nanoparticles Preparation Methods and Drug Targeting Issues. J. of Pharm. Biopharm. 39: 173-191.

Ayyad, O. D. 2011. Novel Strategies The Synthesis of Metal Nanoparticle and Nanostructure (Tesis).Universitas de Barcelona. Barcelona.

Baxter, A., M. Dillon, K. A. Taylor, G. A. Roberts. 1992. Improved Method for IR Determination of The Degree of N-Acetylation of Chitosan. J. Biol.

Macromol. 2: 166-169.

Chattopadhyay, D.P., M. S. Inamdar. 2010. Aqueous Behaviour of Chitosan. J. of polymer science. 2010: 1-7.

Chanifah, S. 2012. Nanoteknologi. sitichanifahfk2011.blog.unissula.ac.id. Diakses pada tanggal 12 Maret 2014 pukul 10.00 WIB.

Cowd, M. A. 1991. Kimia Polimer. Diterjemahkan oleh J. G. Stark. ITB Press. Bandung.

Domzy, J. G., dan Robert, G. A. F. 1985. Evaluation of Infrared Spectroscopic Techniques for Analyzing Chitosan. J. Macromol. Chem. 168: 1671-1677. Fan, W. dan W. Yan. 2012. Formation Mechanism of Monodisperse, Low

Molecular Weight Chitosan Nanoparticles by Ionic Gelation Technique. J. of Colloids and Surfaces B: Biointerfaces. 90: 21-27.

Flory, P. J. 1995. The Principles of Polymer Chemistry. Cornell University. New York.

Gabbott, P. 2008. Principles and Applications of Thermal Analysis. Blackwell Publishing. Oxford.

Grenha, A. 2012. Chitosan Nanoparticles: A Survey of Preparation Methods. J. of Drug Targetting. 2012: 1-37.


(3)

Harahap, Y. 2012. Preparasi dan Karakterisasi Nanopartikel Kitosan dengan Variasi Asam (Skripsi).Universitas Indonesia. Jakarta. 72 hlm.

Hardjono, S. 1990. Spektroskopi Inframerah. Liberti. Yogyakarta.

Hejazi, R., Amiji M. 2003. Chitosan Based-Gastroinestinal Delivery System. J. Cont. Release. 89: 151-65.

Hendri, J. D. Indriani, A. Laila, I. G. Suka. 2007. Pembuatan Asetilglukosamin Secara Enzimatik dari Kulit Udang dan Kepiting. Jurnal Ilmiah MIPA. Hendri, J dan A. Laila. 2013. Kitin Kitosan. Lembaga Penelitian Universitas

Lampung. Lampung.

Hien, N. Q., D. V. Phu, N. N. Duy, N. T. Kim Lan. 2011. Degradation of Chitosan in Solution by Gamma Irradiation in The Presence of Hydrogen Peroxide. J. of Carbohydrate Polymer. 87: 925-928.

Horowitz H. H., G. Metzger. 1963. A New Analysis of Thermogravimetric Traces. Esso Research and Engineering Co. Linden, N. J. 35: 1464-1468.

Hsu, C.P.S. 1994. Infrared Spectroscopy. Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry.

Jahanshahi dan Babaei. 2008. Protein Nanoparticle: A Unique System as Drug Delivery Vehicles. J. Biotechnology. 7: 4926-4934.

Janes, K. A., M. P. Fresneau, A. Marazuela, A. Fabra, and M. J. Alonso. 2001. Chitosan nanoparticles as delivery systems for doxorubicin. J. Control. Release 73: 255-267.

Julianti, S. 2012. Pembuatan Kitosan Oligomer Melalui Metode Degradasi

Oksidatif dengan Penambahan H2O2 dan Ultrasonic Bath dan Pengaruhnya

Terhadap Viskositas dan Berat Molekul (Skripsi). Universitas Sumatera Utara. Medan.

Knoor, D. 1984. Use of Chitinous Polymer in Food-A Challenge for Food Research and Development. J. of Food Technol. 38:85-97.

Koukaras, E. N., S. A. Papaditimitriou, D. N. Bikiaria, G. E. Froudakis. 2012. Insight on The Formation of Chitosan Nanoparticles Through Ionotropic Gelation with Tripolyphosphate. J. of Mol. Pharmaceutics. 9: 2856-2862. Kurniawan, E. 2012. Preparasi dan Karakterisasi Nanopartikel Sambung Silang

Kitosan-Natrium Tripolifosfat dalam Gel Verapamil Hidroklorida (Skripsi). Universitas Indonesia. Jakarta. 91 hlm.


(4)

Lee, S. T., Mi F. L., Shen Y. J., Shyu S. S. 2001. Equilibrium and Kinetic Studies of Copper (II) Ion Uptake by Chitosan Tripolyphosphate Chelating Resin. Polymer. 42:1879-1892.

Mardliyati, E., S. E. Muttaqien, dan D. R. Setyawati. 2012. Sintesis Nanopartikel Kitosan-Tripolyphosphate dengan Metode Gelasi Ionik: Pengaruh

Konsentrasi dan Rasio Volume Terhadap Karakteristik Partikel. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bahan. Pusat Teknologi Farmasi dan Medika. 2012: 90-93.

Marlina, L. 2007. Sintesis Nanopartikel Zinc Oxide (ZnO) untuk Aplikasi Sebagai Tinta Pengaman (Skripsi). FMIPA ITB. Bandung.

Mekawati, Fachriyah E.dan Sumardjo. 2000. Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal. Jurnal Sains dan Matematika. 8: 51-54.

Mulder, M. 1996. Basic Principle of Membrane Technology. Dordrecht. Kluwer. Muzzarelli, R. A. A. 1996. Chitin Enzimology. European Chitin Society. Ancona. Nagavarma, B. V. N., Hemant K. S. Yadav, Ayaz A., Vasudha L. S., Shifakumar

H. G. 2012. Different Techniques for Preparation of Polymeric

Nanoparticles-A Review. Asian J. of pharmaceutical and clinical research. 5: 16-23.

Nam, Y. S., W. H. Park, D. Ihm, S. M. Hudson. 2010. Effect of The Degree of Deacetylation on The Thermal Decomposition of Chitin and Chitosan Nanofibers. J. of Carbohydrate Polymer. 80: 291-295.

Nelson, D. L., M. M. Cox. 2004. Lehninger Principles of Biochemistry.W. H. Freeman.

Pramudita, I. R. N. 2013. Pembuatan dan karakterisasi Plastik Biodegradable Dari Campuran Limbah Plastik Polipropilen dan Kitosan Menggunakan Metode Tanpa Pelarut (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung.

Peter, M. G. 1995. Application and Environmental Aspect of Chitin and Chitosan. J. of Pure and Appl.Chem. 7: 629-640.

Qin, C. Q., Y. M. Du, L. Xiao. 2002. Effect of Hydrogen Peroxide Treatment on The Molecular Weight and Structure of Chitosan. J. of Polymer

Degradation and Stability. 76: 211-218.

Rabek, J. F. 1983. Experimental Method in Polymer Chemistry, Physical Principle and Application. A Wiley-Interscience Publication. New York.


(5)

Rahmat, S. 2008. Pengetahuan Bahan Polimer. Departemen Metalurgi dan Material. FT UI. Jakarta.

Ramadhan, L.O.A.N., C. L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, dan S. Valiyaveetiil. 2010. Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. 5: 17-21.

Rawat, M. Singh, D. Saraf S. 2006. Nanocarriers: Promising Vehicle for Bioactive Drugs. J. of Bio.Pharm Bull. 29: 1790-1798.

Rodrigues, S., A. Grenha, A. M. R. da Costa. 2012. Chitosan/Carragenan Nanoparticles:Effect of Cross-linking with Tripolyphosphate and Charge Ratios. J. of Carbohydrate Polymer. 89: 282-289.

Rusli, P. R. 2011. Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Titanium Dioksida Fasa Anatase dengan Metode Sol Gel (Skripsi). Universitas Negeri Medan. Medan.

Sabnis, S., dan L. H. Block. 1997. Improved Infrared Spectroscopic Method for The Analysis of Degree of N-Deacetylation of Chitosan. Polymer Bulletin. 39: 67-71.

Schramm, G. 1998. A Practical Approach to Rheology and Rheometry. Gebrueder HAAKE GmbH. Karlsruhe.

Shu, X. Y., K. J. Zhu. 2002. The Influence of Multivalent Phosphate Structure on The Properties of Ionically Cross-linked Chitosan Films for Controlled Drug Release. European Journal of Pharmaceutics. 54: 235-243. Soutter, W. 2013.Chitosan Nanoparticles Properties and Applications.

http://www.azonano.com/article.aspx?ArticleID=3232. Diakses pada tanggal 27 Maret 2014 pukul 11.22 WIB.

Stevano, R. 2013. Karakterisasi Plastik Biodegradable dari Campuran Kitosan dan Polivinil Alkohol Menggunakan Metode Tanpa Pelarut (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung.

Stevens, M. P. 2001. Kimia Polimer. Diterjemahkan oleh Iis Sofyan. Pradya Paramita. Jakarta.

Suhardi. 1992. Khitin dan Khitosan. PAU UGM. Yogyakarta.

Suhendra, H. 2013. Kesehatan:Hand Sanitizer Aman dan Halal dari Nanopartikel Kitosan. http://lifestyle.bisnis.com/read/20130425/220/10789/kesehatan-hand-sanitizer-aman-dan-halal-dari-nano-partikel-kitosan. Diakses pada tanggal 17 Februari 2014 pukul 11.23.


(6)

Susanti, L. 2013. Mengetahui Ukuran Partikel dengan Particle Size Analyzer (PSA). http://nanoherbal-technology.com/mengetahui-ukuran-partikel-dengan-particle-size-analyzer-psa. Diakses pada tanggal 24 Februari 2014 pukul 09.30 WIB.

Tahtat, D., M. Mahlous, S. Benamer, A. N. Khodja, S. L. Youcef. 2012. Effect of Molecular Weight on Radiation Chemical Degradation Yield of Chain Scission of γ-irradiated Chitosan in Solid State and in Aqueous Solution. Radiation Physics and Chemistry. 81: 659-665.

Tian, F., Y. Liu, K. Hu, B. Zhao. 2004. Study of The Depolymerization Behavior of Chitosan by Hydrogen Peroxide. J. of Carbohydrate Polymers. 57: 31-37. Utami, P. H. 2014. Penetapan Waktu Inkubasi Optimum Degradasi Kitin oleh

Kitinase dari Actinomycetes ANL-4 Secara Spektrofotometri UV-Vis (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung.

Wang, W dan D. Xu. 1993. Viscosity and Flow Properties of Concentrated Solutions of Chitosan with Different Degrees of Deacetylation. Int J. Biol. Macromol. 16: 149-152.

Winarti, L. 2013. Sistem Penghantaran Obat (Nanopartikel, Liposom, dan Drug Targetting). Universitas Jember. Jember.

Yang, H., W. Wang, K. Huang, M. Hon. 2009. Preparation and Application of Nanochitosan to Finishing Treatment with Microbial and Anti-Shrinking Properties. J. of Carbohydrate Polymer. 79: 176-179.

Yu Shin, L., Kirain S., Kurt M. L., Jyuhn H. J., Long F., Han Y., Hsing W. S. 2008. Multi-ion-crosslinked Nanoparticles with pH-Responsives

Characteristics for Oral Delivery of Protein Drugs. J. Cont. Rel. 134: 141-149.

Zhang, H., Oh M., Allen C. 2004. Monodisperse Chitosan Nanoparticles for Mucosal Drug Delivery. J. of Biomacromolecules. 5: 2461-2468.