Preparasi Nanopartikel Sambung Silang Kitosan- Tripolifosfat yang Mengandung Ginsenosida

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PREPARASI NANOPARTIKEL SAMBUNG SILANG

KITOSAN-TRIPOLIFOSFAT YANG MENGANDUNG

GINSENOSIDA

SKRIPSI

DINA PERMATA WIJAYA 109102000002

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

2013 M / 1434 H


(2)

ii

PREPARASI NANOPARTIKEL SAMBUNG SILANG

KITOSAN-TRIPOLIFOSFAT YANG MENGANDUNG

GINSENOSIDA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Far)

DINA PERMATA WIJAYA 109102000002

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

2013 M / 1434 H


(3)

(4)

(5)

(6)

vi

Nama : Dina Permata Wijaya

Program Studi : Farmasi

Judul :Preparasi Nanopartikel Sambung Silang

Kitosan-Tripolifosfat yang Mengandung Ginsenosida

Telah dibuat nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida sebagai bahan bioaktif untuk mengatasi kerontokan. Kitosan merupakan polimer alam yang bersifat kationik yang dapat berinteraksi melalui ikatan sambung silang dengan tripolifosfat yang bersifat anionik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari preparasi nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida dengan metode gelasi ionik serta mengkarakterisasi nanopartikel yang terbentuk yang meliputi ukuran partikel, zeta potensial, dan efisiensi enkapsulasi. Nanopartikel dibuat dalam tiga formula dengan memvariasikan konsentrasi larutan kitosan antara lain 0,1%, 0,2%, dan 0,3% yaitu F1, F2, dan F3. Nanopartikel F1, F2, dan F3 memiliki karakteristik dengan ukuran partikel pada hari ke-0 berturut-turut 2,5±0,9 nm, 60,9±19,5 nm, dan 1,5±0,3 nm, ukuran partikel pada hari ke-22 berturut-turut 14,9±8,1 nm, 33,2±7,6 nm, dan 43,4±13,4 nm, zeta potensial berturut-turut -44,08 mV, -36,93 mV, dan -42,57 mV, efisiensi enkapsulasi berturut-turut 100%, 100%, dan 88,47%. Nanopartikel sambung silang kitosan F1, F2, dan F3 belum menunjukkan stabilitas ukuran partikel yang baik setelah diuji pada hari ke-22.


(7)

vii

ABSTRACT

Name : Dina Permata Wijaya

Program Study : Pharmacy

Title :Preparation of Cross-Linked Chitosan-Tripolyphosphate

Nanoparticles Containing Ginsenoside

It has been cross-linked chitosan-tripolyphosphate nanoparticles which contain ginsenoside as bioactive materials to hair loss. Chitosan is a cationic natural polymers which has a cross-linked interaction with tripolyphosphate which is an anionic polymer. The purpose of this research were to study the preparation of cross-linked chitosan nanoparticles which contain ginsenoside with ionic gelation method and to characterize the cross linked chitosan nanoparticles which contain ginsenoside which include particle size, zeta potential, and effiency encapsulation. Nanoparticles were made in three formulas by varying the concentration of chitosans including 0,1%, 0,2%, and 0,3% were F1, F2, and F3. The nanopaticles F1, F2, and F3 has characterization with particle size on day 0 were 2,5±0,9 nm, 60,9±19,5 nm, and 1,5±0,3 nm, particle size on day 22 were 14,9±8,1 nm, 33,2±7,6 nm, and 43,4±13,4 nm, zeta potential were 44,08 mV, 36,93 mV, and -42,57, and efficiency encapsulation were 100%, 100%, and 88,47%. The cross-linked chitosan nanoparticles F1, F2, and F3 have not showed a nanoparticles

stability after evaluated until the 22nd day.

Keywords : ginsenoside, nanoparticle, chitosan, tripolyphosphate, ionic


(8)

viii

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

(1) Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu Ofa

Suzanti Betha, M.Si., Apt selaku pembimbing kedua, yang memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyelesaian tugas akhir saya ini, semoga segala bantuan dan bimbingan ibu mendapat imbalan yang lebih baik disisi-Nya.

(2) Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp. And. selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(3) Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(4) Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan

dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(5) Kedua orang tua, Ayahanda Komali Wijaya, Ibunda Juliani, kakakku tercinta

Ronald dan adik-adikku tersayang Ullan dan Nia, yang telah memberikan semangat, doa dan dukungan baik moral maupun material hingga terwujudnya skripsi ini.

(6) Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan


(9)

ix

(7) Kakak-kakak laboran FKIK, Ka Eris, Mba Lilis, Ka Liken, Mba Rani, Ka

Lisna, Ka Yopi, Ka Tiwi, dan Ka Rachmadi, Mba Hima atas dukungan dan kerjasamanya selama kegiatan penelitian.

(8) Nova Yanti, Mutia Sari Wardana dan teman-teman satu laboratorium terima

kasih atas kerjasamanya, bantuan semangat dan kebersamaannya.

(9) Rekan-rekan Farmasi angkatan 2009, khususnya untuk kelas A, atas

dukungan, pertemanan dan kerjasamanya.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Jakarta, 24 Juli 2013 Penulis


(10)

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Nanopartikel ... 4

2.2 Manfaat Pembuatan Nanopartikel ... 6

2.3 Preparasi Nanopartikel ... 6

2.4 Karakteristik Nanopartikel ... 8

2.5 Kitosan ... 9

2.6 Tripolifosfat ... 10

2.7 Sambung Silang Kitosan Secara Ionik ... 11

2.8 Ginseng ... 12

2.9 Ginsenosida ... 14

2.10 Rambut ... 14

2.11 Folikel dan Perkembangan Rambut ... 15


(12)

xii

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

3.2 Alat dan Bahan ... 21

3.3 Prosedur Kerja ... 22

3.4 Evaluasi Karakterisasi Nanopartikel ... 24

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Preparasi Nanopartikel ... 26

4.2 Karakteristik Nanopartikel Ginsenosida ... 29

4.3 Efisiensi Enkapsulasi ... 34

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

5.1 Kesimpulan ... 36

5.2 Saran ... 36


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Kitosan ... 9

Gambar 2.2 Struktur Natrium Tripolifosfat ... 10

Gambar 2.3 Taut Silang Ionik Kitosan-Tripolifosfat ... 12

Gambar 2.4 Panax Ginseng ... 12

Gambar 2.5 Ginsenosida ... 13

Gambar 2.6 Anatomi Kulit ... 14

Gambar 2.7 Anatomi Rambut ... 15

Gambar 2.8 Siklus Pertumbuhan Rambut ... 18

Gambar 4.1 Hasil Preparasi Nanopartikel... 28

Gambar 4.2 Hubungan Ukuran Partikel dengan Formula... 30

Gambar 4.3 Hubungan Zeta Potensial dengan Formula ... 31

Gambar 4.4 Hubungan Persentase Transmitan dan Waktu... 32

Gambar 4.5 Hasil Nanopartikel Setelah 18 Hari ... 33


(14)

xiv

Tabel 3.1 Formulasi Nanopartikel Ginsenosida ... 22 Tabel 4.1 Karakteristik Nanopartikel ... 29 Tabel 4.2 pH Larutan Kitosan dan Formula Nanopartikel... 29


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Penelitian ... 41

Lampiran 2. Evaluasi Karakteristik Nanopartikel Ginsenosida ... 42

Lampiran 3. Grafik Distribusi Ukuran Partikel ... 44

Lampiran 4. Panjang Gelombang Ginsenosida dalam Aquadest ... 46

Lampiran 5. Kurva Kalibrasi Ginsenosida ... 47

Lampiran 6. Evaluasi Efisiensi Enkapsulasi ... 48

Lampiran 7. Contoh Perhitungan Efisiensi Enkapsulasi Nanopartikel ... 49

Lampiran 8. Sertifikat Analisa Ginsenosida ... 50

Lampiran 9. Sertifikat Analisa Kitosan Larut Air... 51


(16)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.1 Latar Belakang

Manusia yang mempunyai sifat suka dengan keindahan, menjadikan rambut sebagai penunjang penampilan seseorang sehingga berusaha untuk menjaga kesehatan rambut dari kerusakan ataupun kerontokan (Dalimartha & Soedibyo, 1999). Kerontokan rambut adalah kehilangan rambut berkisar lebih dari

100 helai perhari dan bila kerontokan ini berlanjut dapat menyebabkan alopecia

(kebotakan) (Brown, Graham, &Tony, 2007). Kerontokan rambut dapat dipengaruhi secara fisiologik dan patologik antara lain status gizi, hormonal, pemakaian obat, stres dan lainnya (Soepardiman, 2002).

Penggunaan ekstrak tanaman dalam upaya pemeliharaan kesehatan dan membantu mengatasi kerontokan rambut meningkat dari tahun ke tahun. Minyak kelapa, minyak kemiri dan minyak cem-ceman telah digunakan secara turun-temurun dalam mengatasi kerontokan rambut, tetapi mekanisme kerjanya belum

jelas (Komiarsih, 2003). Panax ginseng C.A. Meyer atau ginseng telah digunakan

sebagai obat tradisional di banyak negara Asia untuk kerontokan rambut (Matsuda et al., 2003). Selain itu, Panax ginseng telah banyak ditambahkan pada produk perawatan rambut yang aman (Park, Shin, & Ho, 2011). Salah satu komponen

kimia ginseng adalah ginsenosida yang termasuk ke dalam golongan saponin

triterpenoid dan telah diidentifikasi sebagai senyawa paling aktif terkait untuk

mengatasi kerontokan rambut. Ginsenosida Rb1 menstimulasi proliferasi pada

dermal papila rambut (Choi et al., 2007).

Rute pemberian menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan untuk dapat mengoptimalkan kerja dari ginsenosida untuk mengatasi kerontokan rambut. Untuk mencapai dermal papila maka ginsenosida harus masuk melalui folikel

rambut yang dikenal dengan rute transfolikular (Asmara et al., 2012). Ukuran

partikel menjadi hal penting bagi suatu zat aktif untuk melalui folikel rambut yang mempunyai barier yaitu stratum korneum (Wosicka & Cal, 2010). Dengan demikian, perlu dilakukannya modifikasi fisik ginsenosida meliputi perubahan ukuran partikel yang mengarah ke bentuk nanopartikel (Wahyono, 2010).


(17)

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nanopartikel memiliki kemampuan untuk menembus folikel rambut dan

lapisan epidermis (Baroli et al, 2007). Vogt et al (2006) melaporkan bahwa

nanopartikel dengan ukuran 40 nm yang dapat masuk secara efisien sebagai pembawa melalui folikel rambut, namun tidak dengan molekul nanopartikel dengan ukuran lebih besar dari 750 nm dan 1500 nm. Bahan aktif yang masuk ke dalam folikel rambut akan berpartisipasi dan selanjutnya berdifusi ke dalam sebum yang terdapat di dalam folikel rambut hingga mencapai epitel pada bagian dalam folikel dan kemudian berdifusi menembus folikel. Selain itu dengan nanopartikel dapat mempertahankan sepuluh kali lebih lama keberadaan bahan

aktif di dalam folikel rambut dibandingkan terapi stratum korneum (Asmara et al.,

2012).

Pembentuk nanopartikel yang banyak digunakan adalah kitosan. Kitosan memiliki sifat biodegradabel, biokompatibel, dan tidak toksik. Selain itu kitosan memiliki kemampuan dalam mengontrol pengeluaran zat aktif, tidak perlu menggunakan pelarut organik karena kitosan larut di dalam asam. Dengan mempertimbangkan stabilitas ginsenosida di dalam nanopartikel maka pada penelitian ini digunakan kitosan larut air. Kitosan larut air mudah di modifikasi

sebagai pembawa atau barier agar zat aktif yang digunakan tetap stabil (Zhang et

al., 2010). Untuk membentuk nanopartikel sambung silang kitosan, bahan yang

digunakan adalah kitosan, tripolifosfat (TPP), dan surfaktan (Wahyono, 2010). Penambahan TPP bertujuan untuk membentuk sambung silang ionik antara

molekul kitosan sehingga dapat digunakan sebagai bahan penguat (Mi et al.,

1999).

Pada penelitian ini akan dibuat nanopartikel ginsenosida dengan pembawa kitosan larut air yang disambung silang dengan tripolifosfat dengan tujuan agar ginsenosida mencapai tujuan target yaitu terlokalisasi di dermal papila dan dalam upaya untuk mengatur pelepasan ginsenosida yang terdapat di dalam pembawa kitosan-tripolifosfat. Nanopartikel ini dibuat dengan metode sambung silang, di mana amin pada kitosan yang bersifat kationik akan membentuk ikatan silang dengan anionik yang terdapat pada tripolifosfat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dibahas tentang preparasi dan karakterisasi nanopartikel ginsenosida meliputi ukuran partikel,


(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta zeta potensial dan efisiensi enkapsulasi dengan pembawa kitosan larut air-tripolifosfat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana preparasi nanopartikel sambung silang kitosan yang

mengandung ginsenosida dengan metode gelasi ionik dengan variasi konsentrasi larutan kitosan ?

2. Bagaimana karakteristik nanopartikel sambung silang kitosan yang

mengandung ginsenosida yang meliputi ukuran partikel, zeta potensial, dan efisiensi enkapsulasi ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mempelajari preparasi nanopartikel sambung silang kitosan yang

mengandung ginsenosida dengan metode gelasi ionik dengan variasi konsentrasi larutan kitosan.

2. Mempelajari karakteristik nanopartikel sambung silang kitosan yang

mengandung ginsenosida yang meliputi ukuran partikel, zeta potensial, dan efisiensi enkapsulasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang preparasi nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida dengan variasi konsentrasi larutan kitosan dengan metode gelasi ionik serta karakterisasi nanopartikel yang meliputi ukuran partikel, zeta potensial, dan efisiensi enkapsulasi nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida.


(19)

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nanopartikel

Nanopartikel merupakan suatu teknik penyalutan bahan yang ukurannya sangat kecil, dengan diameter rata-rata 1-1000 nm (Singh & Deep, 2011). Nanopartikel didefinisikan sebagai suatu padatan pengantar obat yang berukuran

submikron (nano), dapat bersifat biodegradabel (Reis et al., 2006). Penelitian

nanopartikel sedang berkembang pesat karena dapat diaplikasikan secara luas seperti dalam bidang lingkungan, elektronik, optis, dan biomedis (Jain, 2008).

Pada dasarnya, nanopartikel dapat dibagi menjadi dua yaitu nanokristal dan nanocarier. Nanocarier memiliki berbagai macam jenis seperti nanotube,

liposom, nanopartikel lipid padat (solid lipid nanoparticles/SLN), misel,

dendrimer, nanopartikel polimerik dan lain-lain (Rawat et al., 2006).

2.1.1 Nanokristal

Nanokristal adalah penggabungan dari ratusan atau ribuan molekul yang membentuk kristal, terdiri dari senyawa obat murni dengan penyalutan tipis dengan menggunakan surfaktan. Pembuatan nanokristal disebut nanonisasi. Tidak

seperti nanocarier, nanokristal hanya memerlukan sedikit surfaktan untuk

stabilisasi permukaan karena gaya elektrostatik sehingga mengurangi

kemungkinan keracunan karena bahan tambahan untuk pembawa (Rawat et al.,

2006).

2.1.2 Nanocarier

a. Nanotube

Nanotube adalah lembaran atom yang diatur dalam bentuk tube atau struktur menyerupai benang dalam skala nanometer. Struktur ini memiliki rongga di tengah, dan memiliki struktur menyerupai sangkar yang berbahan dasar karbon


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Nanopartikel Lipid Padat (Solid Lipid Nanoparticles/SLN)

SLN merupakan pembawa koloidal berbahan dasar lipid padat berukuran submikronik (50-1000 nm) yang terdispersi dalam air atau dalam larutan surfaktan dalam air. SLN berisi inti hidrofob yang padat dengan disalut oleh fosfolipid lapis tunggal. Inti padat berisi senyawa obat yang dilarutkan atau didispersikan dalam matrik lemak padat yang mudah mencair. Rantai hidrofob fosfolipid ditanamkan pada matriks lemak. Emulgator ditambahkan pada sistem sebagai penstabil fisik

(Rawat et al., 2006).

c. Nanopartikel Polimerik

Nanopartikel adalah struktur koloidal berukuran nanometer yang terdiri dari polimer sintesis atau semisintesis dengan rentang ukuran 10-1000 nm. Nanopartikel polimerik meliputi nanokapsul dan nanosfer. Nanokapsul terdiri atas polimer yang membentuk dinding yang melingkupi inti dalam tempat dimana senyawa obat dijerat. Nanosfer dibuat matrik polimer padat dan didalamnya terdispersi senyawa obat (Delie & Blanco, 2005).

Material polimer memiliki sifat-sifat yang menguntungkan meliputi kemampuan terdegradasi dalam tubuh, modifikasi permukaan, dan fungsi yang dapat disesuaikan dengan keinginan. Sistem polimerik dapat mengatur sifat farmakokinetik dari obat yang dimuatkan yang mengakibatkan obat berada dalam keadaan stabil.

d. Nanopartikel Sambung Silang

Nanopartikel sambung silang merupakan nanopartikel yang terbentuk dari proses sambung silang antara elektrolit dengan pasangan ionnya. Ikatan sambung silang ini dapat terjadi secara ionik maupun kovalen. Pembuatan nanopartikel sambung silang dapat dilakukan dengan metode sambung silang konvensional menggunakan senyawa penyambung silang konvensional (misalnya glutaraldehid sebagai senyawa penyambung silang untuk kitosan) atau dengan menggunakan metode gelasi ionik (Vauthier, Bravo-Osuna, dan Ponchel, 2007).

Pembentukan nanopartikel dengan teknik gelasi ionik pertama

diperkenalkan oleh Calvo et al. dan telah diuji dan dikembangkan secara luas.

Mekanisme pembentukan nanopartikel kitosan didasarkan dengan interaksi elektrostatik antara amin dari kitosan dan muatan negatif dari polianion seperti


(21)

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tripolifosfat. Teknik ini sangat sederhana dan metode penyiapan dengan lingkungan yang mengandung air. Kitosan dapat dilarutkan dengan asam asetat atau dengan adanya zat penstabil, seperti poloxamer, yang bisa ditambahkan pada larutan kitosan sebelum dan setelah penambahan polianion. Polianion atau polimer anionik kemudian ditambahkan dan terbentuk nanopartikel secara spontan

dengan pengadukan magnetic stirrer pada suhu kamar (Sailaja, Amareshwar, &

Chakravarty, 2010).

2.2 Manfaat Pembuatan Nanopartikel

Manfaat dalam melakukan rancangan nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat adalah untuk mengatur ukuran partikel, sifat-sifat permukaan, dan pelepasan zat aktif pada tempat yang spesifik di dalam tubuh sebagai sasaran pengobatan. Kelebihan menggunakan nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat antara lain ukuran partikel dan karakteristik permukaan nanopartikel dapat dengan mudah dimanipulasi sesuai dengan target pengobatan, nanopartikel mengatur dan memperpanjang pelepasan obat selama proses transpor obat ke sasaran, obat dapat dimasukkan ke dalam sistem nanopartikel tanpa reaksi kimia dan sistem nanopartikel dapat diterapkan untuk berbagai sasaran pengobatan karena nanopartikel masuk ke dalam sistem peredaran darah dan dibawa oleh darah menuju target pengobatan (Mohanraj & Chen, 2006).

2.3 Preparasi Nanopartikel

Nanopartikel banyak dipreparasi dengan menggunakan 4 metode, yaitu :

1. Metode Penguapan Pelarut

Metode ini, polimer dilarutkan dalam pelarut organik seperti diklorometan, kloroform atau etil asetat dimana biasa digunakan juga sebagai pelarut dalam melarutkan obat yang bersifat hidrofob. Campuran dari polimer dan larutan obat ini lalu diemulsifikasi dalam larutan yang mengandung surfaktan dan menjadi bentuk emulsi minyak dalam air (o/w). Setelah terbentuk emulsi yang stabil, pelarut organik kemudian diuapkan dengan ditekan atau diputar secara terus menerus menggunakan pengaduk magnetik. Ukuran partikel dipengaruhi oleh tipe


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan konsentrasi penstabil yang digunakan, kecepatan homoginezer dan konsentrasi polimer (Mohanraj dan Chen, 2006).

2. Emulsifikasi Spontan

Metode ini merupakan modifikasi dari metode penguapan pelarut. Dalam metode ini air yang larut dalam pelarut dalam jumlah kecil dari air yang tidak larut dalam pelarut organik digunakan sebagai fase minyak. Karena difusi spontan dari pelarut menyebabkan turbulensi antarmuka antara 2 fase yang membentuk partikel kecil. Semakin banyak konsentrasi air yang larut dalam pelarut, ukuran dari partikel yang dihasilkan akan semakin kecil (Mohanraj dan Chen, 2006).

3. Metode Polimerisasi

Pada metode ini monomer-monomer dipolimerisasi menjadi bentuk nanopartikel di dalam larutan. Obat akan dimasukkan dengan cara dilarutkan dalam medium polimerisasi atau dengan adsorpsi ke dalam nanopartikel setelah polimerisasi selesai. Suspensi nanopartikel ini kemudian dimurnikan untuk menghilangkan aneka penstabil dan surfaktan yang digunakan untuk polimerisasi dengan cara ultrasentrifugasi (Mohanraj dan Chen, 2006).

4. Gelasi Ionik

Metode gelasi ionik melibatkan proses sambung silang antara polielektrolit dengan adanya pasangan ion multivalennya. Gelasi ionik seringkali diikuti dengan kompleksasi polielektrolit dengan polielektrolit yang berlawanan. Pembentukan ikatan sambung silang ini akan memperkuat kekuatan mekanis dari partikel yang terbentuk. Contoh pasangan polimer yang dapat digunakan untuk gelasi ionik ini antara lain kitosan dengan tripolifosfat dan kitosan dengan karboksimetilselulosa (Park dan Yeo, 2007).

Kitosan yang merupakan polimer kationik dapat bereaksi dengan anion multivalen seperti tripolifosfat. Pembentukan mikropartikel dengan metode gelasi ionik dapat dilakukan antara lain dengan pengerasan tetesan cair yang didispersikan pada fase minyak atau organik. Prosedur sederhana tersebut meliputi pencampuran dua fase cair dimana fase yang satu mengandung kitosan dan fase yang satu mengandung anion multivalen (Mohanraj dan Chen, 2006).


(23)

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.4 Karakteristik Nanopartikel

2.4.1 Ukuran dan Distribusi Partikel

Ukuran dan distribusi partikel merupakan karakteristik yang paling penting dalam sistem nanopartikel. Hal ini dapat digunakan untuk memperkirakan

distribusi secara in vivo, biologis, toksisitas dan kemampuan untuk targetting dari

sistem nanopartikel. Pelepasan obat juga dipengaruhi dari ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel maka semakin besar luas area permukaannya. Namun, semakin banyak obat yang bergabung menjadi atau mendekati permukaan partikel, akan meyebabkan pelepasan obat yang cepat. Bagaimanapun, partikel yang lebih besar memiliki inti yang besar dimana akan memungkinkan lebih banyak obat yang dapat dienkapsulasi dan sedikit demi sedikit berdifusi keluar. Partikel-partikel yang memiliki ukuran kecil juga memiliki resiko tinggi mengalami agregasi selama penyimpanan dan distribusi. Hal ini selalu menjadi tantangan dalam memformulasikan nanopartikel dengan ukuran yang paling kecil namun dengan stabilitas yang paling maksimum (Mohanraj dan Chen, 2006).

2.4.2 Zeta Potensial

Zeta potensial dari sebuah nanopartikel biasanya digunakan untuk mengkarakterisasi sifat muatan permukaan yang berkaitan dengan interaksi elektrostatik nanopartikel. Partikel-partikel yang terdiri dari molekul heteroatomik biasanya memiliki muatan permukaan, yang mungkin menjadi positif atau negatif, tergantung pada orientasi dan ionisasi komponen partikel. Interaksi elektrostatik antara partikel akan menentukan kecenderungan agregasi dan fenomena tolak menolak. Zeta potensial adalah ukuran permukaan muatan partikel yang tersebar dalam kaitannya dengan medium pendispersi. Partikel harus memiliki muatan atau zeta potensial yang tinggi dibandingkan dengan medium pendispersi untuk mencegah agregasi. Kekuatan tolak menolak yang dibawa oleh muatan ion serupa pada partikel permukaan akan mencegah gaya tarik menarik yang ditentukan oleh ikatan hidrogen dan ikatan van der waals. Dengan mengendalikan zeta potensial akan didapatkan kondisi yang ideal untuk terjadi agregasi (Vaughn dan Williams, 2007).


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.4.3 Efisiensi Enkapsulasi

Sebuah sistem nanopartikel yang sukses adalah yang memiliki kapasitas pembawa obat yang tinggi sehingga akan mengurangi jumlah material matriks

yang digunakan. Drug loading dan efisiensi enkapsulasi sangat bergantung pada

kelarutan obat yang stabil dalam material matriks atau polimer, dimana akan berkaitan dengan komposisi polimer, bobot molekul, dan interaksi antara obat dengan polimer (Mohanraj dan Chen, 2006).

2.5 Kitosan

Kitosan merupakan senyawa berbobot molekul besar yang memiliki

rantai polisakarida β(1-4)-2-amino-2-deoksi-D-glukosa dengan rumus kimia

(C6H11NO4)n. Gugus amino menggantikan –OH pada atom C2 (Muzzarelli et al.,

1997). Kitosan diperoleh dari limbah perikanan seperti kulit udang, kepiting, rajungan, dan lain-lain. Kitosan diketahui memiliki sifat yang istimewa yaitu biokompatibel, biodegradabel, dan non toksik, sehingga merupakan biomaterial yang menarik dikarenakan memiliki kemampuan sebagai bahan pembawa obat dan dapat dimodifikasi (Dong-Gon, 2006).

2.6

[Sumber : Wu Yan et al., 2005]

Gambar 2.1 Struktur Kitosan

Kitosan merupakan bahan yang tidak berbau, berupa serbuk atau serpihan berwarna krim sampai putih. Kitosan merupakan polisakarida yang terdiri dari kopolimer glukosamin dan N-asetil glukosamin. Derajat deasetilasi yang penting untuk mendapatkan kelarutan produk yang baik adalah sekitar 80-85%. Kitosan

secara komersial terdapat dalam berbagai tipe dan grade dengan beragam berat

molekul (antara 10.000 sampai 1.000.000), beragam derajat deasetilasi dan


(25)

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kitosan larut dalam sebagian besar larutan asam organik pada pH kurang dari 6,5 seperti formiat, asetat, tartarat, dan asam sitrat serta tidak larut dalam asam fosfat dan asam sulfat. Berat molekul dan derajat deasetilasi adalah faktor utama yang mempengaruhi ukuran partikel, pembentukan partikel dan agregasi (Tiyaboonchai, 2003). Meskipun kitosan merupakan polimer yang memiliki toksisitas rendah, kelarutan kitosan pada pH fisiologis adalah kendala utama untuk aplikasi. Kitosan merupakan basa lemah dengan nilai pKa 6,2-7,0. Kitosan larut dalam air pada pH lebih kecil dari 6,5 dimana hanya sebagian gugus amin yang terionisasi. Berbagai modifikasi kimia telah digunakan untuk meningkatkan kelarutan kitosan. Kitosan memiliki tiga gugus yang reaktif, yaitu gugus hidroksil primer di C-6 dan gugus hidroksil sekunder di C-3, dan gugus amino pada C-2 pada setiap gugus deasetilasi. Gugus-gugus reaktif tersebut telah mengalami modifikasi kimia yaitu dengan glisidil trimetilamonium klorida, karboksimetilasi, dan sulfonasi. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa modifikasi kimia

dapat meningkatkan kelarutan kitosan dalam air dengan berbagai pH (Tungtong et

al., 2012).

2.6 Tripolifosfat

[Sumber : Wu Yan et al., 2005]

Gambar 2.2 Struktur Natrium Tripolifosfat

Pembentukan ikatan silang ionik salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa tripolifosfat. Penggunaan tripolifosfat untuk pembentukan gel kitosan dapat meningkatkan mekanik dari gel yang terbentuk. Hal ini karena tripolifosfat memiliki muatan negatif yang tinggi sehingga interaksi dengan polikationik kitosan akan lebih besar (Shu & Zhu, 2002). Pembentukkan nanopartikel hanya terjadi pada konsentrasi tertentu kitosan dan TPP. Peran TPP sebagai zat pengikat silang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Yongmei & Yumin, 2003). Dengan semakin banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka kekuatan mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan menjadi semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (Wahyono, 2010).

2.7 Sambung Silang Kitosan Secara Ionik

Kitosan-tripolifosfat adalah senyawa turunan dari kitosan yang dihasilkan dari proses taut silang ionik kitosan dengan senyawa tripolifosfat, seperti natrium tripolifosfat. Proses modifikasi kitosan dengan natrium tripolifosfat bergantung pada beberapa faktor, yaitu konsentrasi kitosan, pH dan natrium tripolifosfat dan

waktu terjadinya taut silang (J.A. Ko et al., 2003).

Kitosan dengan pKa 6,5 merupakan polikationik, ketika dilarutkan dalam

asam, amin bebas dari kitosan akan terprotonasi menghasilkan –NH3+. Natrium

tripolifosfat dilarutkan dalam air hingga didapatkan ion hidroksil dan ion tripolifosfat. Ion tersebut dapat bergabung dengan struktur dari kitosan. Bhumkar dan Pokharkar (2006) menyatakan bahwa derajat taut silang kitosan dengan natrium tripolifosfat dipengaruhi oleh keberadaan sisi kationik dan senyawa anionik sehingga pH dari natrium tripolifosfat memiliki peran penting selama proses taut silang. Proses taut silang dilakukan pada dua kondisi pH, yaitu pH 3 dan 9. Pada pH 3 hanya dihasilkan ion tripolifosfat yang akan berinteraksi dengan

–NH3+ dari kitosan sehingga pada kondisi tersebut didapatkan kitosan-tripolifosfat

yang didominasi oleh interaksi ionik. Pada pH 9, dihasilkan ion hidroksil dan

tripolifosfat. Kedua ion tersebut berkompetisi untuk berinterkasi dengan –NH3+.

Pada kondisi tersebut, taut silang kitosan didominasi oleh deprotonasi oleh ion hidroksil (Bhumkar & Pokharkar, 2006).


(27)

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sumber: Bhumkar dan Pokharkar, 2006]

Gambar 2.3 Proses a) Deprotonasi b) Taut silang ionik kitosan-TPP 2.8 Ginseng

[Sumber: Arpia et al., 2007)

Gambar 2.4Panax ginseng

Ginseng diklasifikasikan sebagai berikut (T. Lakshmi, Roy, & R.V, 2011)

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Angiospermae

Kelas : Asterid

Ordo : Apiales

Famili : Araliaceae

Genus : Panax


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kata ginseng dari bahasa Cina yaitu jen dan shen. Jen berarti manusia,

kata ini dipakai karena bentuk akar ginseng menyerupai bentuk tubuh manusia. Shen berarti akar, akar merupakan bagian paling penting dan berguna. Akar ginseng yang masih muda bentuknya menyerupai bagian tubuh manusia, seperti tangan dan kaki dan kadang-kadang seperti organ reproduksi manusia (Moramarco, 1998).

Ginseng mengandung dua bahan aktif, yakni fitokimia dan nutrien. Fitokimia berupa betasitosterol, kampesterol, kariofilen, asam sinamik, escin, asam ferulik, asam fumarik, ginsenosides, kaempferol, asam oleanolik, asam

panasik, saponin, stigmasterol, asam vanilik. Nutrien yang dikandung adalah

kalsium, serat, folat, zat besi, magnesium, mangan, fosfor, potassium, silikon, zink, vitamin B1, B2, B3, B5, dan C. Ginsenosida merupakan elemen terpenting dari tanaman ginseng yang berguna bagi kesehatan (Samuel, 2000). Ginseng mengandung komponen serta kandungan kimia seperti lemak, protein, fenolik, vitamin, karbohidrat (Mazza & Oomah, 2000).

Komponen utama aktif dari Panax ginseng adalah 30 saponin triterpenoid

yang berbeda, atau disebut juga sebagai ginsenosida, yang bervariasi dari spesies yang berbeda dari ginseng. Berdasarkan struktur dammarane, lebih dari empat puluh ginsenosida telah diidentifikasi dan salah satunya adalah ginsenosida Ro, yang berasal dari asam olenoat. Saponin dammarane adalah turunan dari protopanaksadiol atau protopanaksatriol. Secara umum ekstrak ginseng biasanya mengandung ginsenosida. Ada 6 Ginsenosida terbanyak yang telah diidentifikasi

(Rb1, Re, Rc, Rd, Rb2, dan Rg1) yang merupakan standar dari produk ginseng


(29)

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9 Ginsenosida

[Sumber : Kim et al., 2011]

Gambar 2.5 Ginsenosida

Ginsenosida Rb1 adalah saponin yang merupakan salah satu komponen

dari ekstrak ginseng yang telah tercatat sebagai senyawa paling aktif yang

berhubungan dengan penumbuh rambut dalam pengobatan tradisional (Choi et al.,

2007). Total saponin pada Panax ginseng memiliki efek merangsang folikel

rambut menggunakan organ yang telah dikulturasi. Folikel rambut manusia dan

folikel vibrissa tikus diobati dengan total saponin pada Panax ginseng akan

meningkatkan penyerapan sistein. Sistein adalah komponen utama dari batang rambut yang kaya filamen keratin. Total saponin juga menunjukkan efek menstimulasi proliferasi pada dermal papila rambut manusia yang dikultur secara in vitro. Dermal papila merupakan turunan dari sel mesenkim yang berperan pada regulasi dalam menentukan jenis rambut yang diproduksi. Morfologi dari dermal papila dapat berubah melalui siklus pertumbuhan rambut, fase pertumbuhan (anagen), dan fase istirahat (telogen). Hal ini diakibatkan oleh perubahan jumlah

sel dan jumlah dari extracellular matrix (ECM) dalam dermal papila. Dengan

demikian proliferasi dari dermal papila dianggap salah satu parameter penting

dalam pertumbuhan rambut (Choi et al., 2007).

2.10 Rambut

Rambut termasuk salah satu dari adneksa kulit yang tumbuh berasal dari kulit. Rambut tumbuh dari akar rambut yang ada di dalam lapisan dermis kulit dan melalui saluran folikel rambut keluar dari kulit. Bagian rambut yang keluar dari


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [Sumber: Gawkrodger, 2002]

Gambar 2.6 Anatomi kulit

2.11 Folikel dan Perkembangan Rambut

Folikel rambut merupakan selubung yang terdiri atas sarung jaringan ikat di bagian luar (sarung akar asal dermis) yang berasal dari dermis dan sarung akar

asal epiteldi bagian dalam yang berasal dari epidermis. Sarung asal epitel terbagi

menjadi dua yaitu lapis dalam dan luar. Mengarah ke ujungnya, folikel mengembung membentuk bulbus rambut tempat akar rambut dan selubungnya menyatu sebagai massa sel-sel primitif yang disebut matriks. Dasar bulbus didesak oleh jaringan ikat papila dan yang berhubungan papilla tempat persatuan antara akar rambut dan selubungnya. Papila rambut, walaupun jauh lebih besar, strukturnya sama dengan papila dermis yang lain dan mengandung serat jaringan ikat halus, unsur sel dan kaya akan pembuluh darah serta saraf (Lesson T, Lesson C, & Paparo, 1990).

Struktur di dalam kulit yang dapat menumbuhkan rambut disebut folikel

rambut. Rambut mulai tumbuh pada pangkal folikel rambut (hair bulb) sebagai

hasil keratinisasi dari sel-sel epitelial. Sel-sel tersebut terdorong keluar permukaan

dikarenakan mitosis yang terjadi pada sel germinal matriks (hair bulb epithelium)


(31)

16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [Sumber : Gawkrodger, 2002]

Gambar 2.7 Anatomi rambut

Akar rambut adalah seluruh bagian rambut yang terbenam dalam kulit, akar rambut ini diselubungi oleh kantong yang disebut folikel. Pada dasar folikel terdapat dermal papila yang terdiri dari jaringan-jaringan penghubung dan dari sinilah dimulainya pertumbuhan rambut baru. Selama folikel rambut sehat dan berhubungan dengan dermal papila, rambut baru akan tumbuh. Folikel tidak tegak lurus pada permukaan kulit, tapi membentuk sudut sehingga bagian rambut di permukaan tumbuh merebah ke satu arah (Paulsen, 1980).

2.12 Siklus Rambut

Kecepatan pertumbuhan rambut di kulit kepala tidak seragam di sepanjang usia. Rambut akan tumbuh sekitar 1/3 milimeter setiap hari atau 1 cm per bulan. Rambut baru akan tumbuh terus secara aktif, tetapi pada suatu saat pertumbuhan itu akan berhenti, istirahat sebentar, dan rambut lama akan rontok, digantikan rambut baru yang telah disiapkan oleh papila rambut yang sama (Iswari & Latifah, 2007).

Fase rambut tumbuh disebut fase anagen, lamanya antara 2-5 tahun, dengan rata-rata 3,5 tahun (1.000 hari). Tetapi pada keadaan-keadaan tertentu atau dengan perawatan yang baik, fase anagen dapat diperpanjang. Fase istirahat yang disebut fase katagen (pendek), yaitu hanya beberapa minggu. Sedangkan fase kerontokan atau fase telogen berlangsung kurang lebih selama 100 hari (Iswari & Latifah, 2007).

Selama fase istirahat (katagen), rambut berhenti tumbuh, umbi rambut


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

atau rambut gada (club hair), tetapi rambut belum rontok. Sementara itu, papila

mulai membentuk rambut baru. Ketika rambut baru sudah cukup panjang dan akan keluar dari kulit, rambut lama terdesak dan rontok (Iswari & Latifah, 2007).

Folikel rambut memiliki siklus fase pertumbuhan rambut yang lama tiap fasenya tergantung dari tempat tumbuh rambut tersebut, umur, nutrisi, hormon, dan fisiologi serta faktor patologi. Siklus rambut tersebut dibagi menjadi 3 fase yang diantaranya adalah (Happle, 2000):

a. Fase Anagen

Selama fase anagen disebut juga fase aktif atau fase pertumbuhan, pada fase ini folikel berada di bagian dermis kulit dimana keadaan sel-sel matriks, lapisan batang rambut (medula, korteks, kutikula) dan selubung akar rambut

bagian dalam (kutikula, Huxley layer;s, Henle’s layer) dalam keadaan aktif.

b. Fase Katagen

Fase katagen merupakan fase disaat folikel rambut diubah dari keadaan aktif pada fase pertumbuhan ke fase istirahat. Selama fase katagen, folikel rambut mengalami perubahan morfologi dan fungsi. Pertumbuhan folikel berada pada lapisan kulit dermis yang mengalami penyusutan sekitar sepertiga dari panjangnya, sehingga struktur pertumbuhan rambut dieliminasi menjadi struktur baru berupa folikel rambut fase istirahat.

c. Fase Telogen

Selama fase telogen atau disebut juga fase istirahat, folikel rambut telah berada pada tahapan akhir yang stabil. Struktur rambut fase istirahat sangat berbeda sekali dari struktur rambut fase pertumbuhan. Struktur dan lapisan sel pada fase pertumbuhan seperti matriks, selubung akar rambut bagian dalam, selubung akar rambut bagian luar dan kutikula rambut berkurang, dermal papila

cenderung membentuk bulb yang terletak di bawah kapsul-kapsul germs cell.

Panjang rambut fase istirahat sekitar setengah sampai sepertiganya dari panjang rambut fase pertumbuhan.


(33)

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [Sumber : Cotsarelis et al., 2001]

Gambar 2.8 Siklus Pertumbuhan Rambut

2.13 Jalur Transfolikular

Bahan aktif yang masuk ke dalam folikel rambut akan berpartisipasi dan selanjutnya berdifusi ke dalam sebum yang terdapat di dalam folikel rambut hingga mencapai lapisan epitel pada bagian dalam folikel dan kemudian berdifusi

menembus epitel folikel hingga mencapai lapisan epidermis (Asmara et al., 2012).

Untuk mengetahui adanya penyerapan obat melalui jalur ini, digunakan

kombinasi teknik tape stripping dan cyanoacrylate surface biopsy. Dengan

menggunakan kombinasi teknik tersebut, kadar suatu zat di dalam folikel rambut

setelah diaplikasikan pada kulit dapat ditentukan (Asmara et al., 2012).

2.14 Sifat-Sifat Optik Koloid

Efek Faraday-Tyndall. Bila suatu berkas cahaya yang kuat dilewatkan melalui sol koloid, akan terlihat suatu kerucut yang dihasilkan dari pemendaran

cahaya oleh partikel-partikel koloid. Hal ini disebut Efek Faraday-Tyndall

(Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983).

Ultramikroskop; dikembangkan oleh Zsigmondy. Dengan alat ini dapat

diuji titik-titik cahaya yang menimbulkan kerucut Tyndall. Seberkas cahaya yang

kuat dilewatkan melalui sol yang berlatar belakang gelap dari sudut kanan ke bidang pengamatan. Walaupun partikel-partikel tidak dapat dilihat secara langsung, namun dapat diamati spot terang yang sesuai dengan partikel, serta dapat dihitung (Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983).


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mikroskop Elektron. Sekarang, penggunaan ultramikroskop sudah berkurang, karena ultramikroskop seringkali tidak dapat digunakan untuk melihat

koloid liofilik. Mikroskop elektron sekarang banyak digunakan untuk mengamati

ukuran, bentuk dan struktur partikel-partikel koloid. Mikroskop elektron mampu menghasilkan gambar partikel-partikel secara aktual, bahkan mendekati dimensi molekular (Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983).

Keberhasilan mikroskop elektron karena daya resolusinya yang tinggi,

yang bisa didefinisikan sebagai batasan d, jarak terkecil dua objek dipisahkan tapi

masih tetap dapat dibedakan. Makin kecil panjang gelombang radiasi yang

digunakan, makin kecil d dan makin besar daya resolusinya. Mikroskop optik

menggunakan cahaya tampak sebagai sumber sinar dan hanya sanggup meresolusi dua partikel yang dipisahkan oleh kira-kira 2000 A. Sumber sinar mikroskop elektron adalah seberkas elektron yang berenergi tinggi dan mempunyai panjang

gelombang pada daerah 0,1 A. Dengan peralatan tersebut, menghasilkan d

kira-kira 5 A, suatu kekuatan resolusi yang jauh meningkat melebihi mikroskop optik (Martin, Swarbrick, & Cammarata, 1983).

Pemendaran Cahaya (Light Scattering). Sifat ini berdasarkan efek Tyndall-Faraday dan merupakan metode yang banyak digunakan untuk menentukan berat molekul koloid. Sifat ini juga digunakan untuk memperoleh informasi seperti bentuk dan ukuran partikel. Pemendaran dapat diuraikan dalam

batasan kekeruhan, T, yakni penurunan fraksional intensitas karena pemendaran

ketika cahaya melewati 1 cm larutan. Pada suatu konsentrasi fase terdispers tertentu, kekeruhan sebanding dengan berat molekul koloid liofilik. Karena kebanyakan koloida liofilik mempunyai turbiditas (kekeruhan) rendah, maka relatif lebih mudah mengukur cahaya yang terpendar pada suatu sudut tertentu terhadap berkas sinar, bukan mengukur cahaya yang ditransmisikan (Martin, Swarbrick, & Cammarata, 1983).

Kekeruhan kemudian dapat dihitung dari intensitas cahaya yang tersebar dengan syarat dimensi partikel kecil dibandingkan dengan panjang gelombang yang digunakan. Bila molekul asimetris, intensitas cahaya tersebut bervariasi dengan berbedanya sudut pengamatan. Dengan data tersebut dapat diperkirakan bentuk dan ukuran partikel. Pemendaran sinar telah digunakan untuk menyelidiki


(35)

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta protein, polimer sintetis, koloid gabungan, dan sol liofobik (Martin, Swarbrick, & Cammarata, 1983).

Chang dan Cardinal menggunakan pemendaran sinar untuk mengkaji pola

penggabungan sendiri (self-association) dalam larutan air dari garam-garam

empedu, natrium deoksikolat dan natrium taurodeoksikolat. Analisis data menunjukkan bahwa garam-garam empedu bergabung membentuk dimer, trimer, dan tetramer serta agregat yang lebih besar dengan ukuran yang berbeda-beda.Warna mencolok dari kebanyakan koloid disebabkan oleh absorbansi cahaya dengan panjang gelombang tertentu (Martin, Swarbrick, & Cammarata, 1983).


(36)

21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pharmacy Bioavailability

Bioequivalency (PBB), Laboratorium Pharmacy Drug Research (PDR) Prodi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Multiguna Prodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Nanotech Indonesia Serpong.

3.1.2 Waktu Penelitian

Proses penelitian ini berlangsung selama Maret sampai Juni 2013.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Particle Size Analyzer (PSA) (Delsa Nano, Beckman coulter), zetasizer(Delsa Nano C, Beckman coulter), pengaduk magnetik (SRS 710 HA-ADVANTEC), spuit, Spektrofotometer UV-Vis (HITACHI), timbangan analitik (AND GH-120), peralatan gelas, membran dialisis 3,5 kDa.

3.2.2 Bahan

Ginsenosida 80% dari ekstrak Panax ginseng (PT. Phyto Nutraceutical

Inc-China), kitosan larut air (PT. Biochitosan Indonesia), natrium tripolifosfat (Wako-Japan), tween 80 (PT. Brataco), aquades.


(37)

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Penelitian Pendahuluan

a. Pemilihan Konsentrasi Larutan Kitosan pada Pembuatan Nanopartikel

Sambung Silang Kitosan yang Mengandung Ginsenosida

Dibuat laruran kitosan 0,2% b/v dalam aquades. Larutan kemudian disaring menggunakan vakum untuk menghilangkan partikel pengotor yang tidak larut, kemudian pH diperiksa. Natrium tripolifosfat sebanyak 10 mL ditambahkan ke dalam 50 mL larutan kitosan 0,2% b/v dengan menggunakan spuit sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit. Diamati perubahan larutan yang jernih menjadi larutan yang keruh.

b. Pemilihan Perbandingan Ginsenosida yang Digunakan pada Pembuatan

Nanopartikel Sambung Silang Kitosan yang Mengandung Ginsenosida

Dibuat larutan kitosan 0,2% b/v dalam aquades. Larutan kemudian disaring menggunakan vakum untuk menghilangkan partikel pengotor yang tidak larut. Kemudian ditambahkan beberapa perbandingan ginsenosida dan kitosan yang akan digunakan yaitu 5:1, 1:2, dan 1:5 dalam masing-masing 50 mL larutan kitosan. Natrium tripolifosfat sebanyak 10 mL ditambahkan ke dalam 50 mL larutan kitosan 0,2% b/v dengan menggunakan spuit sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit. Diamati larutan yang terbentuk secara visual.

3.3.2 Pembuatan Nanopartikel Ginsenosida dari Ekstrak Ginseng dengan

Pembawa Kitosan-Tripolifosfat

Tabel 3.1 Formulasi Nanopartikel Ginsenosida

Formula F1 F2 F3

Larutan Kitosan 0,1 % b/v 50 mL - -

Larutan Kitosan 0,2 %b/v - 50 mL -

Larutan Kitosan 0,3 %b/v - - 50 mL

Larutan Tripolifosfat 0,1 % 10 mL 10 mL 10 mL

Tween 80 0,5 mL 0,5 mL 0,5 mL

Ginsenosida 10 mg 20 mg 30 mg


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1. Pembuatan Larutan Kitosan 0,1%, 0,2%, 0,3% dengan Volume 200 mL

Kitosan ditimbang masing-masing sebanyak 0,2 gram, 0,4 gram, 0,6 gram dengan menggunakan kaca arloji, kemudian kitosan didispersikan ke dalam masing-masing gelas kimia yang berisi aquades sebanyak 50 mL dan kemudian ditambahkan aquades sampai 200 mL dan diaduk dengan pengaduk magnetik hingga larut. Setelah itu, larutan kitosan disaring dengan bantuan vacuum menggunakan corong porselen yang dilapisi kain.

2. Pembuatan Larutan Natrium Tripolifosfat 0,1% dengan Volume 100 mL

Natrium tripolifosfat 0,1 gram ditimbang dengan menggunakan kaca arloji, kemudian dilarutkan dengan aquadest 80 mL di dalam gelas kimia. Setelah itu, dimasukkan dalam labu ukur 100 mL dan digenapkan dengan aquadest sampai tanda batas.

3. Pembuatan Nanopartikel Sambung Silang Kitosan (blanko)

Masing-masing larutan kitosan 0,1%, 0,2%, 0,3% dimasukkan ke dalam gelas kimia sebanyak 50 mL. Kemudian tween 80 sebanyak 0,5 mL dilarutkan dalam larutan kitosan 0,1%, 0,2%, 0,3% menggunakan pengaduk magnetik. Setelah itu, ke dalam larutan kitosan ditambahkan 10 mL natrium tripolifosfat 0,1% tetes demi tetes dan sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit.

4. Pembuatan Nanopartikel Sambung Silang Kitosan yang Mengandung

Ginsenosida

Masing-masing larutan kitosan 0,1%, 0,2%, 0,3% dimasukkan ke dalam gelas kimia sebanyak 50 mL. Kemudian pada masing-masing konsentrasi larutan kitosan ditambahkan 0,5 mL tween 80 dan dihomogenkan dengan pengaduk magnetik. Kemudian ginsenosida dengan perbandingan 1:5 sebanyak 10 mg, 20 mg, 30 mg dilarutkan dalam larutan kitosan 0,1%, 0,2%, 0,3% menggunakan pengaduk magnetik. Setelah itu, ke dalam masing-masing konsentrasi larutan kitosan ditambahkan 10 mL natrium tripolifosfat 0,1% tetes demi tetes dan sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit.


(39)

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Ginsenosida

Pembuatan dilakukan dengan cara menimbang secara akurat 100 mg ginsenosida dengan menggunakan timbangan analitik kemudian dicukupkan dalam 100 mL aquades sehingga diperoleh larutan induk standar sebesar 1000 µg/mL. Dari larutan tersebut diambil sebanyak 5, 4, 3, 2, dan 1 mL kemudian dicukupkan volumenya hingga 100 mL, sehingga dihasilkan larutan standar

dengan konsentrasi 50, 40, 30, 20, dan 10 ppm. Selanjutnya larutan standar

ginsenosida ditentukan panjang gelombang maksimumnya dengan

menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 200-400 nm. Masing-masing konsentrasi larutan standar ginsenosida diukur absorbansinya pada panjang gelombang 203 nm sehingga diperoleh kurva kalibrasi ginsenosida yang linear.

3.4 Evaluasi Karakterisasi Nanopartikel

3.4.1 Ukuran Partikel (Saha, Goyal, & Rath, 2010)

Ukuran partikel diukur dengan menggunakan alat Particle Size Analyzer

(PSA). Sebanyak 5 mL nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung

gisenosida diukur diameternya menggunakan alat Particle Size Analyzer.

3.4.2 Zeta Potensial (Saha, Goyal, & Rath, 2010)

Sebanyak 5 mL nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung

ginsenosida diukur dengan alat zetasizer (Delsa Nano C, Beckman courter).

3.4.3 Persentase Transmitan (Winardi, Kusdianto, dan Widiyastuti, 2011)

Sebanyak 3 mL nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida masing-masing formula diukur persen transmitan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 540 nm. Persen transmitannya, diukur pada hari ke-0, 5, 7, 14, dan 18. Sebelum diukur persen transmitan nanopartikel ginsenosida diaduk dengan pengaduk magnetik.


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.4 Efisiensi Enkapsulasi (Rafeeq et al., 2010)

Sebanyak 5 mL nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida dimasukkan ke dalam kantung dialisis. Kemudian kantung dialisis direndam dalam 50 mL aquadest sebagai medium. Medium diaduk dengan pengaduk magnetik pada suhu kamar. Setelah 1 jam, 10 mL sampel medium diambil untuk mengukur ginsenosida yang tidak terenkapsulasi di dalam pembawa kitosan-tripolifosfat. Hasil yang diperoleh diukur dengan spektrofotometer UV

pada λmaks. Efisiensi enkapsulasi dihitung dengan persamaan:

4 5

Efisiensi enkapsulasi = jumlah total ginsenosida −jumlah ginsenosida bebas


(41)

26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nanopartikel didefinisikan sebagai partikel yang berbentuk padat dengan ukuran sekitar 1-1000 nm (Singh & Deep, 2011). Teknologi pembuatan nanopartikel ini sangat bergantung pada metode preparasi yang dilakukan, baik dalam bentuk nanopartikel, nanosphere, atau nanokapsul. Dalam sistem

penghantaran obat, nanopartikel berperan sebagai pembawa (carrier) dengan cara

melarutkan, menjebak, mengenkapsulasi obat di dalam matriksnya atau pembawanya. Tujuan utama dalam melakukan rancangan nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat adalah untuk mengatur ukuran partikel, sifat-sifat permukaan, dan pelepasan zat aktif pada tempat yang spesifik di dalam tubuh sebagai sasaran pengobatan. Kelebihan menggunakan nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat antara lain adalah ukuran partikel dan karakteristik permukaan nanopartikel dapat dengan mudah dimanipulasi sesuai dengan target pengobatan, nanopartikel mengatur dan memperpanjang pelepasan obat selama proses transpor obat ke sasaran, obat dapat dimasukkan ke dalam sistem nanopartikel tanpa reaksi kimia, dan sistem nanopartikel dapat diterapkan untuk berbagai sasaran pengobatan, karena nanopartikel masuk ke dalam sistem peredaran darah dan dibawa oleh darah menuju target pengobatan (Mohanraj & Chen, 2006). Pada akhir-akhir dekade ini penelitian mengenai nanopartikel kitosan telah banyak dikembangkan.

Nanopartikel bisa dibentuk secara top-down dan bottom up (Raval & Patel,

2011). Pada penelitian ini pembentukan nanopartikel secara bottom up yaitu

dengan cara merangkai atom atau molekul dengan menggabungkannya melalui reaksi kimia untuk membentuk nanopartikel (Raval & Patel, 2011).

4.1Preparasi Nanopartikel

Tahap pertama pada penelitian ini yaitu pembuatan nanopartikel dengan menggunakan metode gelasi ionik. Pencampuran polimer kitosan dan natrium tripolifosfat akan menghasilkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino kitosan dengan muatan negatif dari tripolifosfat. Penambahan natrium tripolifosfat


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bertujuan untuk membentuk ikatan silang ionik antarmolekul kitosan sehingga dapat digunakan sebagai bahan penjerap. Natrium tripolifosfat dianggap sebagai zat pengikat silang yang paling baik (Mohanraj & Chen, 2006). Muatan yang berlawanan antara kitosan dan tripolifosfat dapat menyebabkan pembentukan partikel secara spontan (Boonsongrit, Ampol, dan Bernd, 2006). Penambahan surfaktan berfungsi untuk menstabilkan suspensi partikel dalam larutan dengan cara mencegah timbulnya penggumpalan (aglomerasi) antarpartikel. Dengan adanya surfaktan, partikel-partikel kitosan di dalam larutan akan terselimuti dan terstabilkan satu dengan yang lain sehingga proses pembentukan nanopartikel akan semakin efektif.

Bahan yang digunakan pada preparasi nanopartikel adalah kitosan larut air, natrium tripolifosfat, dan tween 80 sebagai surfaktan. Pada tahap awal penentuan dari konsentrasi larutan kitosan yang dipakai dalam formula adalah dengan melakukan studi pendahuluan dengan membuat suatu formula nanopartikel kosong tanpa ginsenosida dengan konsentrasi kitosan 0,1%, 0,2%, dan 0,3% dengan konsentrasi tripoliposfat 0,1 % dan penambahan surfaktan tween 80 0,5 mL dengan volume larutan kitosan sebanyak 50 mL. Larutan kitosan yang dilarutkan di dalam aquades menghasilkan larutan yang jernih. Adapun hasil yang didapat bahwa larutan yang jernih menjadi larutan yang transparan translusen karena tidak terlihat mikropartikel yang terbentuk secara kasat mata karena terbentuk larutan koloidal dengan partikel yang sangat halus setelah tripolifosfat ditetesi ke dalam larutan kitosan dengan menggunakan spuit.

Setelah itu dilakukan juga studi pendahuluan pada perbandingan ginsenosida yang akan dipakai dalam preparasi nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida. Apabila banyaknya ginsenosida yang dimasukkan pada proses preparasi nanopartikel sebanyak 5:1 sesuai dosis terapi ginsenosida, maka larutan yang terbentuk menjadi keruh sehingga terlihat mikropartikel dengan kasat mata dan larutan yang terbentuk akan cepat teraglomerasi atau terjadinya agregasi karena ketidakmampuan konsentrasi kitosan untuk mengenkapsulasi ginsenosida yang memiliki konsentrasi lebih besar dibandingkan konsentrasi larutan kitosan. Nanopartikel yang terbentuk dengan perbandingan ginsenosida dan larutan kitosan 1:2 menghasilkan larutan yang transparan tranlusen namun


(43)

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta nanopartikel yang terbentuk cepat mengalami aglomerasi pada saat beberapa jam setelah proses pembuatan. Namun perbandingan ginsenosida dan kitosan 1:5 menghasilkan nanopartikel tidak cepat teraglomerasi. Perbandingan konsentrasi ginsenosida yang dipakai adalah 1:5. Menurut penelitian Singh & Deep (2011) pada perbandingan zat aktif dan kitosan 1:5 memiliki persen penjerapan (efisiensi enkapsulasi) yang baik.

Dari hasil uji pendahuluan ini diperoleh kondisi yang optimum untuk pembentukan ikatan sambung silang sehingga dihasilkan nanopartikel dengan kondisi larutan yang transparan tranlusen. Kondisi optimum tersebut yaitu konsentrasi larutan kitosan 0,1%, 0,2%, dan 0,3% dan larutan tripolifosfat 0,1%, dan perbandingan ginsenosida dengan kitosan yang dipakai yaitu 1:5.

Perubahan larutan dari jernih menjadi transparan translusen pada setiap formula berbeda-beda. Apabila dilihat dari tingkat kekeruhan F1 lebih keruh daripada F2 dan F3. Hal ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi larutan kitosan yang dipakai pada setiap formula dan kemampuan antara amin pada kitosan dan ion fosfat pada tripolifosfat untuk berikatan dan berinteraksi secara ionik.

Keterangan: F1: Larutan Kitosan 0,1%; F2: Larutan Kitosan 0,2%; F3: Larutan Kitosan 0,3%


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.2Karakteristik Nanopartikel Ginsenosida

Tabel 4.1 Karakteristik Nanopartikel Formula Ukuran Partikel (nm) Hari 0 Ukuran Partikel (nm) Hari 22 Indeks Polidispersitas Zeta Potensial (mV)

I 2,5±0,9 14,9±8,1 0,284 -44,08 mV

II 60,9±19,5 33,2±7,6 0,399 -36,93 mV

III 1,5±0,3 43,4±13,4 0,431 -42,57 mV

Distribusi ukuran partikel adalah karakteristik paling penting di dalam suatu sistem nanopartikel (Jahanshahi dan Babaei, 2008). Untuk melihat suatu formula menjadi nanopartikel dapat diketahui dengan melihat distribusi ukuran partikel

sampel tersebut. Hasil particle size analyzer (PSA) F1 dengan konsentrasi larutan

kitosan 0,1 % menunjukkan rerata distribusi ukuran partikel ± 2,2-2,8 nm dengan rata-rata ukuran partikel 2,5±0,9 nm. Hasil PSA F2 dengan konsentrasi larutan kitosan 0,2% menunjukkan rerata distribusi ukuran partikel ± 53,2-70,5 nm dengan rata-rata ukuran partikel 60,9±19,5 nm. Hasil PSA F3 dengan konsentrasi larutan kitosan 0,3 % menunjukkan rerata distribusi ukuran partikel ± 1,4-1,6 nm dengan rata-rata ukuran partikel 1,5±0,3 nm. Grafik distribusi ukuran partikel dapat dilihat pada lampiran 3.

Tabel 4.2 pH larutan kitosan Konsentrasi Larutan

Kitosan pH

0,1% 4,412

0,2% 4,155

0,3% 4,030

Perbedaan ukuran partikel dalam masing-masing formula dapat disebabkan oleh adanya perbedaan konsentrasi larutan kitosan yang dipakai pada setiap masing-masing formula. Hal ini juga dapat dipengaruhi perbedaan pH pada masing-masing konsentrasi larutan kitosan apabila konsentrasi larutan kitosan semakin besar maka pH yang dihasilkan semakin kecil. Pada pH <4 sebagian

besar gugus amino dari kitosan akan terprotonasi (Nystrom et al., 1999). Dengan


(45)

30

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta amino yang terprotonasi. Semakin banyaknya gugus amino yang terprotonasi maka semakin banyak juga gugus fosfat yang dibutuhkan untuk membentuk ikatan secara ionik. Namun pada penelitian ini banyaknya gugus fosfat yang ditambahkan pada setiap konsentrasi larutan kitosan sama banyaknya sehingga kemampuan fosfat berikatan dengan masing-masing konsentrasi larutan kitosan tidak sama. Gugus amin yang terprotonasi pada larutan kitosan F1 sedikit sehingga untuk berikatan secara ionik dengan fosfat juga lebih sedikit sehingga partikel yang terbentuk memiliki ukuran partikel yang kecil. Gugus amin yang terprotonasi pada larutan kitosan F2 semakin banyak dibandingkan dengan larutan kitosan pada F1 sehingga untuk berikatan secara ionik dengan fosfat akan lebih banyak sehingga partikel yang terbentuk juga semakin besar dan akan menghasilkan struktur partikel yang lebih kompak (rigid) (Liu & Gao, 2008). Gugus amin yang terprotonasi pada larutan kitosan F3 lebih banyak dibandingkan pada F1 dan F2 tetapi partikel yang terbentuk semakin kecil hal tersebut dikarenakan jumlah gugus fosfat yang ditambahkan terlalu sedikit sehingga tidak cukup untuk berikatan silang dengan gugus amin dan membentuk partikel yang tidak stabil (Liu & Gao, 2008). Ukuran partikel akan semakin besar jika gugus amin pada kitosan dan gugus fosfat pada natrium tripolifosfat berinteraksi secara intermolekul dibandingkan jika berinteraksi secara intramolekul.

Gambar 4.2 Hubungan ukuran partikel dengan formula nanopartikel ginsenosida 0 10 20 30 40 50 60 70

F1 F2 F3

Ukuran Partikel Nanopartikel Ginsenosida

0 Hari 22 Hari


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Distribusi ukuran partikel dinyatakan dalam indeks polidispersitas. Rentang indeks polidespersitas berada di antara 0 sampai dengan 1. Nilai indeks polidispersitas mendekati 0 menunjukkan dispersi ukuran yang homogen. Sedangkan indeks polidespersitas dengan nilai lebih dari 0,5 menunjukkan

heterogenitas yang tinggi (Avadi et al., 2010). Hasil dari ketiga formula ini

memiliki indeks polidispersitas sekitar 0,2-0,4 sehingga ketiga formula menunjukkan dispersi ukuran yang relatif homogen.

Zeta potensial diukur untuk mengetahui kestabilan dari koloid. Zeta potensial merupakan ukuran kekuatan tolak menolak antarpartikel. Nanopartikel dengan nilai zeta potensial lebih dari +/- 30 mV telah terbukti stabil dalam suspensi sebagai muatan permukaan yang mencegah agregasi (Mohanraj & Chen, 2006). Mengukur zeta potensial juga dapat menentukkan muatan permukaan pada nanopartikel.

Gambar 4.3 Hubungan zeta potensial dengan formula nanopartikel ginsenosida Dari hasil pengukuran setiap formulasi memiliki muatan permukaan negatif. Apabila nilai zeta potensial semakin tinggi maka semakin stabil koloid nanopartikel yang terbentuk. Hal ini berhubungan dengan pengikatan gugus anionik oleh gugus amin yang panjang dari kitosan untuk menjaga elektrik yang

tinggi sehingga dapat mencegah terjadinya agregasi (Avadi et al., 2010).

Penelitian ini menggunakan surfaktan non ionik sebagai bahan untuk mencegah terjadinya aglomerasi (agregasi). Golongan surfaktan memiliki mekanisme kerja menurunkan tegangan permukaan/antarpermukaan serta dapat membentuk lapisan film monomolekuler pada permukaan globul fase terdispersi. Dari hasil

10 20 30 40 50

Formula 1 Formula 2 Formula 3

Z e ta Po te n si a l ( -m V )

Zeta Potensial Nanopartikel Ginsenosida


(47)

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pengukuran zeta potensial maka F1 memiliki zeta potensial yang paling tinggi dibandingkan dengan zeta potensial pada F2 dan F3.

Untuk mengetahui tingkat kekeruhan nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida digunakan metode spektrofotometri yakni mengukur penurunan intensitas cahaya yang diteruskan akibat adanya hamburan. Penurunan intensitas tersebut disebabkan karena koloid memiliki efek penghamburan cahaya yang disebut efek tyndal ini cocok untuk mengukur koloid yang memiliki konsentrasi besar atau ukuran partikel yang besar. Tingkat kekeruhan nanopartikel ginsenosida diukur dengan cara menentukan persen transmitan pada masing-masing formula yang telah dibuat.

Gambar 4.4 Hubungan persentase transmitan terhadap waktu penyimpanan (hari)

Jika dilihat secara fisik F1, F2, F3 memiliki tingkat kekeruhan yang berbeda. Tingkat kekeruhan semakin besar jika konsentrasi larutan kitosan semakin kecil, F1>F2>F3. Jika dilihat dari persentase transmitan F1 memiliki persentase transmitan paling kecil dibandingkan dengan F2 dan F3 pada hari ke-0. Persentase transmitan diukur pada hari ke-0, 5, 7,14, dan 18 pada masing-masing formula yang dibuat. Jika dilihat dari persentase transmitan terhadap waktu maka pada setiap formula mengalami penurunan persentase transmitan. Hal ini menunjukkan bahwa nanopartikel ginsenosida dengan pembawa kitosan-tripolifosfat semakin hari tingkat kekeruhan semakin besar. Tingkat kekeruhan nanopartikel

0 20 40 60 80 100

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

P er se n T ra n sm it an ( %) Waktu (Hari)

Tingkat Kekeruhan Nanopartikel

Formula 1 Formula 2 Formula 3


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ginsenosida bisa dilihat pada lampiran 8. Dengan semakin keruhnya koloid nanopartikel ginsenosida maka semakin besar ukuran partikel yang terbentuk.

Oleh karena tingkat kekeruhan nanopartikel semakin besar setelah 18 hari maka ukuran partikel nanopartikel ginsenosida diukur setelah 22 hari dengan

menggunakan PSA (Particle Size Analyzer). Setelah 22 hari nanopartikel F1

memiliki ukuran partikel ± 12,0-17,6 nm dengan rata-rata ukuran partikel 14,9±8,1 nm. Nanopartikel F2 memiliki ukuran partikel ± 30,5-34,9 nm dengan rata-rata ukuran partikel 33,2±7,6 nm, nanopartikel F3 memiliki ukuran partikel ± 41,5-45,3 nm dengan rata-rata ukuran partikel 43,4±13,4 nm. Pada F1 dan F3 ukuran partikel setelah 22 hari terjadi aglomerasi yang meyebabkan ukuran partikel F1 dan F3 semakin besar. Apabila dilihat dari besar zeta potensial yang diukur pada saat hari ke-0 F1 dan F3 memiliki zeta potensial yang baik. Zeta potensial yang baik dikarenakan penambahan surfaktan non ionik pada setiap formula sebagai bahan untuk mencegah aglomerasi dengan konsentrasi yang tinggi. Namun tidak memberikan kestabilan yang baik hal ini karena partikel-partikel yang memiliki ukuran partikel-partikel yang kecil memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami agregasi selama penyimpanan dan distribusi (Mohanraj & Chen, 2008). Pada F2 setelah 22 hari ukuran partikel semakin kecil dari ukuran partikel awal. Hal ini menunjukkan berkurangnya kekuatan ikatan antara gugus amin dan gugus fosfat (Liu & Gao, 2008). Pada ketiga formula menunjukkan ketidakstabilan.

Keterangan: F1:Larutan Kitosan 0,1%; F2:Larutan Kitosan 0,2%; F3:Larutan Kitosan 0,3%


(49)

34

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.3Efisiensi Enkapsulasi

Tahap evaluasi ini adalah untuk mengetahui berapa banyak ginsenosida yang tersalut di dalam pembawa nanopartikel yaitu kitosan dan natrium tripolifosfat. Pembuatan kurva standar larutan ginsenosida diukur dengan panjang gelombang 203 nm. Kurva standar untuk larutan ginsenosida memiliki linearitas yang tinggi

yang ditunjukkan dengan nilai r. Dari kurva tersebut diperoleh persamaan garis y

= 1,5714.10-3 + 7,8171.10-3x dengan r = 0,9999. Persamaan kurva standar ini

digunakan untuk menentukkan jumlah ginsenosida yang tersalut di dalam nanopartikel kitosan-tripolifosfat. Penentuan efisiensi enkapsulasi atau penyalutan

ginsenosida dalam nanopartikel kitosan-tripolifosfat dilakukan dengan

menggunakan membran dialisis dengan ukuran 3,5 kDa. Untuk mengukur banyaknya ginsenosida yang bebas dari membran dialisis terlebih dahulu dilakukan studi pendahuluan untuk menentukan waktu yang dibutuhkan untuk membebaskan ginsenosida yang tidak terjerap di dalam nanopartikel dari membran dialisis dengan cara sebanyak 30 mg ginsenosida dilarutkan dalam 50 mL aquades kemudian sebanyak 5 mL larutan ginsenosida dimasukkan ke dalam membran dialisis dengan ukuran 3,5 kDa. Waktu yang diperlukan untuk membebaskan seluruh ginsenosida adalah 1 jam 15 menit. Namun waktu yang dipakai untuk memisahkan nanopartikel ginsenosida dengan ginsenosida yang tidak terjerap di dalam nanopartikel adalah 1 jam karena untuk meminimalkan waktu yang dipakai agar ginsenosida yang terjerap di dalam nanopartikel tidak terekstrak keluar. Sebanyak 5 mL nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida dimasukkan di dalam membran dialisis diaduk dengan pengaduk magnetik dalam aquadest 50 mL sebagai medium luar selama 1 jam. Dengan cara ini diukur absorbansi ginsenosida yang tidak terenkapsulasi di dalam nanopartikel sambung silang kitosan dengan pemisahan menggunakan membran dialisis. Ginsenosida yang tidak tersalut nanopartikel sambung silang kitosan akan keluar dari membran dialisis sedangkan nanopartikel masih tertahan di dalam membran dialisis. Kemudian absorbannya diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 203 nm. Dengan menggunakan kurva standar atau kalibrasi maka dapat diketahui jumlah ginsenosida yang tersalut di dalam nanopartikel sambung silang kitosan. Mengetahui nilai efisiensi


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini sangatlah penting dalam bidang farmasi terutama untuk sistem penghantaran obat ke dalam tubuh karena dengan adanya nilai efisiensi maka dapat dilihat kemampuan nanopartikel kitosan dalam membawa ginsenosida ke target sasaran.

Pembuatan nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida dengan variasi konsentrasi kitosan menghasilkan efisiensi enkapsulasi yang berbeda-beda. Perbedaan nilai efisiensi enkapsulasi nanopartikel sambung silang kitosan tersebut diakibatkan oleh ukuran nanopartikel yang tidak seragam pada setiap formula sehingga ginsenosida yang tersalut ke dalam masing-masing partikel tidak sama. F1, F2, dan F3 memiliki efisiensi enkapsulasi sebagai berikut 100%, 100%, 88,47%. Dari ketiga formula nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida yang diuji, ginsenosida yang terdapat dalam nanopartikel F1 dan F2 dengan komposisi konsentrasi larutan kitosan 0,1% dan 0,2%, memiliki efisiensi enkapsulasi ginsenosida yang tinggi yaitu 100% yang berarti seluruh ginsenosida tersalut di dalam nanopartikel kitosan-tripolifosfat. Nanopartikel F3 memiliki efisiensi enkapsulasi lebih kecil dari F1 dan F2 karena ginsenosida yang ditambahkan lebih banyak dibandingkan dengan F1 dan F2. Hal tersebut dikarenakan karena F3 memiliki larutan yang kental dibandingkan dengan F1 dan F2. Sifat yang kental dari media gelasi dapat menghambat

enkapsulasi (Wu Yan et al., 2005) dan gugus fosfat dari tripolifosfat tidak cukup

untuk berikatan secara ionik dengan gugus amin yang tersedia pada kitosan F3.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wu Yan et al. (2005) peningkatan

konsentrasi zat aktif dapat menyebabkan penurunan efisiensi enkapsulasi.

Menurut Tiyaboonchai (2003) bahwa zat aktif dapat tersalut ke dalam

nanopartikel kitosan melalui 2 cara, yaitu terjerap di permukaan dan masuk (terjebak) ke dalam rongga nanopartikel kitosan (Gambar 4.5).

[Sumber : Tiyaboonchai, 2003]


(51)

36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Preparasi nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida

dengan konsentrasi larutan kitosan 0,1%, 0,2%, dan 0,3%, konsentrasi larutan tripolifosfat 0,1% dan perbandingan ginsenosida dengan kitosan adalah 1:5 dapat dibentuk dengan metode gelasi ionik.

2. Nanopartikel sambung silang kitosan yang terbentuk memiliki karakteristik

dengan ukuran partikel pada hari ke-0 berturut-turut 2,5±0,9 nm, 60,9±19,5 nm, dan 1,5±0,3 nm, ukuran partikel pada hari ke-22 berturut-turut 14,9±8,1 nm, 33,2±7,6 nm, dan 43,4±13,4 nm, zeta potensial secara berturut-turut -44,08 mV, -36,93 mV, dan -42,57 mV, dan efisiensi enkapsulasi berturut-turut 100%, 100%, dan 88,47%. Nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida yang sesuai untuk jalur transfolikular dengan karakteristik stabilitas ukuran partikel terbaik diberikan oleh F2. Nanopartikel yang terbentuk belum menunjukkan stabilitas nanopartikel yang baik setelah ukuran partikel dievaluasi pada hari ke-22.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan uji stabilitas nanopartikel sambung silang kitosan yang

mengandung ginsenosida

2. Perlu dicari kondisi pembuatan nanopartikel yang lebih baik dan efisien

sehingga dihasilkan nanopartikel dengan kadar ginsenosida yang tinggi yang lebih homogen dan lebih stabil.

3. Perlu dilakukan pengujian aktivitas nanopartikel ginsenosida sebagai


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

Arpia et al. 2007. Panax Ginseng. Alternative Medicine Review. Volume 12.

Asmara Anjas et al. 2012. Vehikulum dalam Dermatoterapi Topikal. Departemen

Ilmu Farmasi FKUI: Jakarta.

Avadi, M.R., Assal M.M. S., Nasser M., Saideh A., Fatemeh A., Rassoul D., dan Morteza R. (2010). Preparation and Characterization of Insulin Nanoparticles Using Chitosan and Arabic Gum with Ionic Gelation

Method. Nanomedicine: Nanotechnology, Biology, and Medicine 6.

Pages: 58-63.

Baroli B, Ennas MG, Loffredo F, Isola M, Pinna R, Lo Pez-Quintela MA. 2007. Penetration of Metalic Nanoparticles in Human Full-Thickness Skin. Journal Investigative Dermatology.

Bhumkar, D.R dan Pokharkar V.B. 2006. Studies on Effect of pH on Crosslinking

of Chitosan with Natrium Tripolyphosphate: A Technical Note. AAPS

PharmSeciTech 7 (2) Article 50.

Boonsongrit. Y, Ampol M, dan Bernd W.M. 2006. Chitosan Drug Binding by

Ionic Interaction. European J. Of Pharmaceu. And Biopharmaceu.,

267-274.

Brown. Robin, Graham. Tony, Burns. 2007. Dermatologi Edisi Kedelapan.

Erlangga: Jakarta.

Chen.Yo Li. 2008. Preparation and Characterization of Water-Soluble Chitosan Gel For Skin Hydration. University Sains Malaysia. Malaysia.

Choi. Dae-Kyong, Lee. Min-Ho, Roh. Seok-Seon, Rang. Monn-Jeong, Chul. Hwang, Lee. Jeung-Hoon, Kim. Chang Deok. 2007. Effect of Red

Ginseng Total Saponin on the Hair Follicles. Korean Journal of

Investigative Dermatology. Vol 14. Pages: 81-86.

Cotsarelis. George, E.Millar. Sarah. 2001. Towards a molecular understanding of

hair loss and its treatment. Trend in Molecular Medicine. Review.

Dalimartha, S. Soedibyo, M. 1999. Perawatan Rambut Dengan Tumbuhan Obat

dan Diet Suplemen. Swadaya: Jakarta.

Delie, F. Dan Blanco-Prieto M.J. 2005. Polymeric Particulate to Improve Oral

Bioavaibility of Peptide Drugs. Molecules, 65-80.

Gawkrodger, DJ. 2002. Dermatology, An Illustrated Colour Text. 3rd ed.


(53)

38

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Happle. R, Orfanos EC. 2000. Hair and Hair Disease. New York:

Springer-Verlag. Hal: 237-247.

Iswari. Retno T, Latifah, Fatma. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengerahuan

Kosmetik..

Jahanshahi. M, dan Babaei Z. 2008. Protein Nanoparticle : A Unique System as

Drug Delivery Vehicles. African J. Of Biotech. Vol 7, 4926-4934.

J.A. Ko, H.J. Park, Y.S. Park, S.J. Hwang, dan J.B. Park. 2003. Chitosan Microparticle Preparation of Controlled Drug Release by Respone

Surface Methodology. Journal Microencapsulation Vol. 20, 792-797.

Jain, KK. 2008. The Handbook of Nanomedicine. Basel : Humana Press.

Khalid. Sarah, Akhtar. Uzma, Tahir. Mohammad. 2012. Panax Ginseng, Its Effects on Development of Hair Follicles-An Experimental Study. Departement of Anatomy University of Health Sciences: Lahore.

Kim, Il-Woung, Hong. Hee-Do, Choi. Sang Yoon, Hwang. Da-Hye, Her. Youl, Kim. Si-Kwan. 2011. Characterizing a Full Spectrum of Physico-Chemical Properties of Ginsenoside Rb1 and Rg1 to Be Proposed as

Standar Reference Material. Journal of Ginseng Research. Vol 35. Pages

: 487-496.

Komiarsih, Lily. 2003. Uji Efek Minyak ‘Obat Tradisional X’, Minyak Kelapa,

Minyak Kemiri dan Minyak Cem-Ceman Terhadap Pertumbuhan dan Kelebatan Rambut Tikus Jantan Galur Spraque Dawley. Skripsi. Universitas Indonesia: Jakarta.

Lesson Thomas S., Lesson C. Roland, Paparo Anthony. 1990. Buku Ajar

Histologi. EGC: Jakarta. Hal 320-321.

Liu. Hui, Gao. Changgyou. 2008. Preparation and properties of ionically

cross-linked chitosan nanoparticles. Polymers advanced technologies.

Moramarco, J. 1998. The Complete Ginseng Handbook, Health and Longevity

Contemporary Books Inc. Lancaster: USA.

Matsuda,H., Yamazaki M, Asanuma Y, Kubo M. 2003. Promotion of Hair growth by Ginseng Radix on Cultured Mouse Vibrissal Hair Follicles.

Mazza, G and D. Oomah. 2000. Herbs, Botanical and Teas. Technomic Publising Co., Inc. Pennsylvania.

Mohanraj VJ, Chen Y. 2006. Nanoparticles-A review. J.Pharmacetical : 561-573.

Muzzarelli R.A.A., R. Rochetti,V, Stonic. M, Weckx. 1997. Methods for the Determination of the Degree of Acetylation of Chitin and Chitosan.


(54)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mi. FL, Shyu. SS, Lee. ST, Wong. TB. 1999. Kinetic Study of Chitosan-TPP reaction and Acid-resistive Properties of the Chitosan-TPP gel beads

Prepared by in-Liquid curing Method. J. Polym Scie. Pages: 1551-1564.

Nystrom. Bo, Kjoniksen. Anna-Lena, Iversen. Christian. 1999. Characterization of Association Phenomena In Aqueous Systems of Chitosan of Different

Hydrophobicity. Advance in Colloid and Interface Science. Page 81-103.

Park. Soojin, Shin. Weon-Sun, Ho. Jinnyoung. 2011. Fructus Panax Ginseng

Extract Promotes Hair Regeneration in C57BL/6 Mice. Journal of

Ethnopharmacology. Pages: 340-344.

Park,K., dan Yeo, Y. 2007. Microencapsulation Technology. Dalam: Swabrick, J. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology, 3rd ed, volume 4. New York: Informa Healthcare USA, 2317.

Paulsen, D.F. 1980. Basic Histology.2nd ed.hal 261-267.

Raval. Amit J, Patel. Madhabahi M. 2011. Preparation and Characterization of Nanoparticles for Solubility and Dissolution Rate Enhancement of

Meloxicam. Journal of Pharmaceuticlas. Vol 01. Pages: 42-49.

Rawat, M., Singh D., Saraf S. Dan Saraf S. 2006. Nanocarier: Promising Vehicle

for Bioactive Drugs. Biol. Pharm. Bull.29 (9), 1790-1798.

Reis, CP. Neufeld, RJ. Riberio, AJ. Veiga, F. 2005. Nanoencapsulation I Methods For Preparation of Drug-Loaded Polymeric Nanoparticles.Nanomed Nanotechnol, Biol Med 2: 8-21.

Rowe, Raymond et al. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth

Edition. Pharmacetical Press :USA.

Sailaja, Krishna A. Amareshwar, P. Chakravarty, P. 2010. Chitosan Nanoaprticles

as a Drug Delivery System. Research Journal of Pharmaceutical,

Biological and Chemical.

Singh, Amar. Deep, Amar. 2011. Formulation and Evaluation of Nanoparticles

containing Losartan Potassium. International Journal of Pharmacy

Research and Technology. Pages 17-20.

Soepardiman, Lily. 2002. Kelainan Rambut. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta.

Shu, XZ. Zhu, KJ. 2002. Controlled Drug Release Properties of Ionically

Cross-linked Chitosan beads: The Influence of Anion Structure. International

Journal of Pharmaceticals. Pages: 217-225.

T, Lakshmi. Roy, Anitha. R.V, Geetha. 2011. Panax Ginseng-A Universal Panacea in the Herbal Medicine with Diverse Pharmacological

Spectrum-A Review. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical


(55)

40

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tiyaboonchai. Ware. 2003. Chitosan Nanoparticles A Promising System for Drug

Delivery. Nareusan University Journal, Pages: 51-66.

Tungtong. S, Okonogi. S, Chowwanapoonpohn. S, Phutdhawong. W, dan Yotsawimonwat. S. 2012. Solubility, Viscosity and Rheological

Properties of Water-Soluble Chitosan Derivatives. Maejo International.

Journal of Science and Technology, 315-322.

Vaughn, J. M. Dan William R. O. 2007. Nanoparticle Engineering. Dalam:

Swarbick, James. Encyclopedia of Pharmacetical Technology Third

Edition Volume I. New York: Informa Healthcare USA, 2384-2398. Vauthier. C., Bravo-Osuna I. Dan Ponchel G. 2007. Core-Shell Polymer

Nanoparticle Formulation for the Oral Administration of Peptides and

Proteins. Dalam: Maskevich, Boris O. Drug Delivery Research

Advances. New York: Nova Science Publisher, 48.

Wahyono D. 2010. Ciri Nanopartikel Kitosan dan Pengaruhnya pada Ukuran Partikel dan Efisien Penyalutan Ketopren. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB: Bogor.

Wosicka, Hanna. Cal, Krzystof. 2010. Targetting to The Hair Follicles : Current

Status and Potential. Journal of Dermatological Science.

Wu. Yan, Wang. Changchum, Hu. Jianhua, Fu. Shoukuan. 2005. Chitosan nanoparticles as a novel delivery system form ammonium

glycyrrhizinate. International Journal of Pharmaceutics . 235-245.

Yongmei, X. Yumin, D. 2003. Effect of Molecular Structure of Chitosan on

Protein Delivery Properties of Chirosan Nanoparticles. International

Journal of Pharmacetics. Pages:215-226.

Zhang, Hong-liang. Wu, Si-hui. Zang, Lin-quan. Su, Zheng-quan. 2010.

Preparation and Characterization of Water-Soluble Chitosan


(56)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran

Lampiran 1. Alur Penelitian

Pembuatan nanopartikel ginsenosida dari ekstrak ginseng dengan konsentrasi kitosan 0,1%, 0,2%, 0,3%

Evaluasi

Karakterisasi Nanopartikel

1. Ukuran Partikel (PSA)

2. Zeta Potensial

Efisiensi Enkapsulasi

Analisis Data

Kesimpulan Pembahasan


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 6. Hasil evaluasi efisiensi enkapsulasi

No. Formula Absorbansi (203 nm)

Persentasi Efisiensi

Enkapsulasi Rata-Rata

1. I

- 100 %

100 %

- 100 %

- 100 %

2. II

- 100%

100 %

- 100 %

- 100 %

3. III

0,055 88,61 %

88,47 %

0,055 88,61 %


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 7. Contoh perhitungan efisiensi enkapsulasi nanopartikel ginsenosida

abs : 0,055

0,055= 1,5714.10-3 + 7,8171.10-3x 0,055-0,0015714 = 0,0078171x 0,0534286 = 0,0078171x x= 6,8348364 ppm

Jumlah ginsenosida (mg) = konsentrasi x volume (L) (dalam 5 mL suspensi nanaopartikel) = 6,8348364 ppm x 0,050 L

= 0,3417 mg

Jumlah ginsenosida (mg) = jumlah ginsenosida (mg) dalam 5 mL x 10 (dalam 50 mL suspensi nanopartikel) = 0,3417 mg x 10

=3,417 mg

%EE = 30 �� −3,417 ��

30 ��

x

100 % = 88,61 %

%EE = jumlah total ginsenosida −jumlah ginsenosida bebas


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 8. Sertifikat Analisa Ginsenosida


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 9. Sertifikat Analisa Kitosan Larut Air


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 10. Hasil Evaluasi Secara Fisik Nanopartikel Setelah Penyimpanan 18

hari

Keterangan Gambar

Hari ke-0

Hari ke-5

Hari ke-7

Hari ke-9


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hari ke-14

Hari ke-18