PROFIL TITER ANTIBODI NEWCASTLE DISEASE (ND) DAN AVIAN INFLUENZA (AI) PADA ITIK PETELUR FASE GROWER DI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU
ABSTRAK
PROFIL TITER ANTIBODI NEWCASTLE DISEASE (ND) DAN AVIAN INFLUENZA (AI) PADA ITIK PETELUR FASE GROWER
DI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU
Oleh Novia Yusmariza
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil titer antibodi Newcastle Disease
(ND) dan Avian Influenza (AI) pada itik petelur fase grower. Penelitian ini telah dilakukan pada Desember 2013 -- Januari 2014 di Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, Propinsi Lampung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dan pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Peubah yang diamati adalah titer antibodi Newcastle Disease dan Avian Influenza. Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah secara deskriptif. Dari hasil uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) terhadap Avian Influenza pada itik petelur fase grower di Kecamatan Gadingrejo diperoleh 33% ternak yang
menunjukkan hasil seropositif terhadap AIdengan nilai 21, 23, 26, 27, 25 dan 67 % menunjukkan seronegatif. Hasil uji HI untuk penyakit Newcastle Disease pada itik petelur fase grower di Kecamatan Gadingrejo menunjukkan hasil seropositif 19 % dengan nilai titer 23 dan 24 serta 81% ternak yang menunjukkan seronegatif. Tingkat keseragaman terhadap penyakit AI diperoleh nilai 33% dan tingkat
keseragaman terhadap penyakit ND 19%.
Kata kunci: itik petelur fase grower, titer antibodi, Avian Influenza, Newcastle disease
(2)
(3)
PROFIL TITER ANTIBODI NEWCASTLE DISEASE (ND) DAN AVIAN INFLUENZA (AI) PADA ITIK PETELUR FASE GROWER
DI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU
(Skripsi)
Oleh
NOVIA YUSMARIZA
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2014
(4)
(5)
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada 28 November 1991 di Kotabumi, Lampung Utara, yang merupakan anak kedua dari pasangan Yulius Hamid dan Maryawati S.Pd.i.
Penulis mengawali pendidikannya di bangku TK Tunas Harapan Kotabumi. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 5 Kotabumi, pada tahun 2003; Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Kotabumi pada tahun 2006; Madrasah Aliyah Negeri Kotabumi pada tahun 2009.
Pada Juni 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur PKAB (Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat). Pada Januari sampai Februari 2012, penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS),
Pangalengan, Jawa Barat. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada Januari sampai Februari 2013 di Desa Bukit Batu, Kecamatan Kasui, Kabupaten Way Kanan.
(7)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka
mengubah diri mereka sendiri
(Q.S. Ar-
Ra’d:11)
Allah tidak akan membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan
kesanggupannya
(Q.S. Al-Baqarah: 286)
Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua
(Aristoteles)
Balas dendam terbaik bagi mahasiswa yg beripeka kecil adalah dengan
berpenghasilan besar
(@Maulasam)
Saya datang, saya bimbingan, saya revisi, saya ujian dan saya menang
(Novia Yusmariza)
Everyone that is in process of making a thesis
Please b
e patient and strong. You don’t have to be the fastest to graduate
because people who walk slowly will see much more
(8)
Dengan mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil´Alamin
Kepada Allah SWT
Rabb semesta alam dan penguasa hari akhir,
Serta tidak lupa shalawat serta salam kepada Rasulullah Muhammad SAW
sang kekasih Allah pemberi syafaat di hari akhir dan suri tauladan yang terbaik
bagi manusia
Kupersembahkan karya nan kecil ini bersama rasa syukur dan cintaku kepada
orang-orang yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, motivasi, nasehat, dan
do’a tanpa lelah kepadaku
selama menuntut ilmu
Mami,Papi, kakak-adikku, dan para sahabat yang senantiasa membimbing dan
mendo’akanku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran
Almamater tercinta sebagai saksi bisu yang mengantarku dari GSG menuju
GSG.
(9)
SANWACANA
Puji dan Syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dengan ketulusan hati kepada:
1. Bapak drh. Purnama Edy Santosa, M.Si --selaku Pembimbing Utama--atas bimbingan, kesabaran, nasihat selama masa studi dan penyusunan skripsi; 2. Bapak Siswanto,S.Pt., M.Si.--selaku Pembimbing Anggota--atas bimbingan,
kesabaran, arahan, dan nasihat selama penyusunan skripsi;
3. Bapak drh. Madi Hartono, M.P.--selaku Pembahas--atas bimbingan, saran, nasihat, dan kesabarannya dalam penyusunan skripsi;
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S.--selaku Ketua Jurusan Peternakan--atas persetujuan, saran, dan arahan;
5. Ibu Sri Suharyati, S. Pt., M.P.--selaku Sekretaris Jurusan Peternakan dan dosen Pembimbing Akademik –atas motivasi, nasihat dan bimbingannya; 6. Seluruh dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung – - atas nasihat dan bimbingan selama penulis melaksanakan masa studi; 7. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S.--selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung--atas izin yang telah diberikan;
(10)
8. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung serta Kabupaten Pringsewu – atas izin, bantuan, dan arahannya selama penelitian;
9. Keluarga Besar Bapak Sukiman, Bapak Kris dan seluruh peternak itik Desa Tulung Agung, Desa Wonodadi dan Desa Bulukerto, Kecamatan Gadingrejo --atas kesediaan, bantuan, dan kebersamaanya selama pelaksanaan penelitian; 10. Papi dan Mamiku, Yeni Yusmalia dan Anissa Yustika tersayang, sahabat- sahabatku Yunita, Cahaya, Eleven dan Yuni UB --atas kasih sayang, nasihat, dan dukungan, serta doa yang tulus untuk penulis;
11. Rekan penelitian ―Titer Antibodi‖— Mega Filly Numay dan Gabriella Ayu Anggraini atas doa, bantuan, kebersamaan, dan motivasinya;
12. Teman-teman angkatan 09-- Lina, Arni, Tije, Mae, Yayu, Egga, Galuh, Olive, Gita, Eka, Melati, Febri, Rahmadi, Andri (alm), Dani R, Rojab, Alda, Maul, Wayan, Zulfi, dll yang tidak dapat disebutkan satu persatu --atas motivasi, bantuan, dan kebersamaannya selama di bangku kuliah;
13. Kakak-kakak angkatan 2006, 2007, 2008, serta adik-adik angkatan 2010, 2011 dan 2012--atas motivasi, dan bantuannya selama ini.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.
Bandar lampung, Juni 2014 Penulis
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang dan Masalah ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 2
C. Kegunaan Penelitian ... 2
D. Kerangka Pemikiran ... 3
E. Hipotesis ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
A. Itik ... 5
B. Sistem Kekebalan Tubuh Itik ... 8
C. Vaksin dan Vaksinasi ... 10
D. Newcastle Disease ... 14
E. Avian Influenza ... 18
III. BAHAN DAN METODE ... 25
(12)
B. Alat dan Bahan Penelitian ... 25
C. Rancangan Penelitian ... 25
D. Pelaksanaan Penelitian ... 26
E. Peubah yang Diamati ... 27
F. Analisis Data ... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
A. Gambaran Umum Pemeliharaan Itik Fase Grower di Kecamatan Gadingrejo ... 28
B. Hasil Uji Hemaglutinasi Inhibisi terhadap ND... 29
C. Hasil Uji Hemaglutinasi Inhibisi terhadap AI ... 34
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39
DAFTAR PUSTAKA ... 40
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Data peternak di Kecamatan Gadingrejo ... 26 2. Perbandingan nilai titer antibodi terhadap ND di Kecamatan
Gadingrejo ... 30 3. Perbandingan nilai titer antibodi terhadap AI di Kecamatan
Gadingrejo ... 34 4. Populasi ternak itik di Kecamatan Gadingrejo ... 47 5. Profil titer antibodi ND itik petelur fase grower
di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu ... 48 6. Profil titer antibodi AI itik petelur fase grower
(14)
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah
Pembangunan peternakan mempunyai peranan penting dalam upaya mencukupi kebutuhan protein hewani masyarakat. Sejalan dengan perkembangan penduduk dan tingginya kebutuhan serta kesadaran gizi, maka permintaan telur untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat cenderung meningkat. Oleh sebab itu, usaha peternakan unggas petelur merupakan salah satu usaha yang cukup potensial untuk dikembangkan. Salah satu usaha perunggasan yang cukup berkembang di Indonesia adalah usaha ternak itik. Meskipun tidak sepopuler ternak ayam, itik mempunyai potensi yang cukup besar sebagai penghasil telur dan daging.
Lampung memiliki potensi yang baik untuk pengembangan usaha peternakan unggas. Kabupaten Pringsewu adalah salah satu wilayah di Propinsi Lampung yang cukup besar untuk pengembangan itik. Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Pringsewu, populasi itik di Kecamatan
Gadingrejo pada tahun 2012 adalah 19.162 dan meningkat di tahun 2013 menjadi 20.668 ekor ternak.
(15)
2
Sebagian besar pemeliharaan ternak itik di Kecamatan Gadingrejo belum ada yang menerapkan sistem biosekuriti di areal peternakan. Oleh sebab itu para peternak kerap dihadapkan dengan masalah penyakit yang menyerang itik. Penyakit yang sering menyerang itik di Kecamatan Gadingrejo adalah Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND).
Sampai saat ini belum diketahui tingkat kekebalan (titer) itik terhadap penyakit AI dan ND di Kecamatan Gadingrejo. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengetahui profil titer antibodi terhadap penyakit ND dan AI, sehingga dapat diperoleh waktu yang tepat untuk melakukan vaksinasi agar hasilnya bisa lebih memuaskan dari program kesehatan yang akan datang.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil titer antibodi ND dan AI pada itik petelur fase grower di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu.
C. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1. mengetahui nilai titer antibodi pada itik petelur fase grower di Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu;
2. sebagai pedoman bagi praktisi dan petugas pemerintah dalam membuat program kesehatan terhadap wabah penyakit ND dan AI di masa yang akan datang.
(16)
3
D. Kerangka Pemikiran
Itik adalah jenis unggas air yang tergolong dalam ordo Anseriformes, family
Anatidae, genus Anas dan termasuk spesies Anas javanica. Proses domestikasi membentuk beberapa variasi dalam besar tubuh, konformasi, dan warna bulu (Chaves dan Lasmini, 1978). Itik asli Indonesia termasuk jenis Indian Runner
(Anas plathyryncos). Secara morfologis Indonesia memiliki beberapa jenis itik lokal berdasarkan tempat berkembangnya (Simanjuntak, 2002).
Penyakit yang sering menyerang peternakan itik di Kabupaten Pringsewu
khususnya Kecamatan Gadingrejo ialah penyakit AI dan ND. Newcastle Disease
adalah virus yang menyebabkan penyakit pernafasan yang sistemik, bersifat akut dan epidemik (mewabah) serta mudah sekali menular. Menurut Bruschke (2007), penyakit AI adalah penyakit unggas yang sangat menular dan telah menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi peternak. Penyakit AI berasal dari virus influenza tipe A dan termasuk dalam famili orthomyxoviridae.
Sampai saat ini belum ada tindakan pencegahan penyakit yang dilakukan oleh peternak. Kurang optimalnya sanitasi dan tidak adanya biosekuriti di kandang sehingga penyakit AI dan ND masih sering dijumpai di Kecamatan Gadingrejo. Oleh karena itu perlu adanya upaya pencegahan penyakit tersebut dengan terlebih dahulu melihat profil gambaran darah ternak itik.
Pemeriksaan gambaran darah pada ternak diperlukan untuk mengetahui status kesehatan ternak, mendiagnosa penyakit dan melihat adanya respon tubuh
(17)
4
peranan penting untuk menentukan ternak yang memiliki kekebalan tubuh tinggi. Dengan diketahuinya profil antibodi pada ternak itik diharapkan dapat diambil langkah-langkah pencegahan sebagai persiapan menghadapi wabah penyakit ND dan AI di masa yang akan datang.
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah titer antibodi pada itik fase
grower terhadap virus ND dan AI di Kecamatan Gadingrejo cenderung tidak protektif dan tidak seragam.
(18)
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Itik
Itik adalah jenis unggas air yang tergolong dalam ordo Anseriformes, family Anatidae, genus Anas dan termasuk spesies Anas javanica. Proses domestikasi membentuk beberapa variasi dalam besar tubuh, konformasi, dan warna bulu. Perubahan ini diperkirakan akibat campur tangan manusia untuk mengembangkan ternak itik dengan tujuan khusus dan juga karena jauhnya jarak waktu domestikasi dengan waktu pengembangan (Chaves dan Lasmini, 1978).
Taksonomi Itik lokal
Taksonomi Itik
Kingdom Animalia Phylum Vertebrata Class Aves
Ordo Anseriformes
Familia Anatidae Genus Anas
Species Anas Platyhyncos
Sumber : Srigandono (1997).
Itik asli Indonesia termasuk jenis Indian Runner (Anas plathyryncos). Secara morfologis Indonesia memiliki beberapa jenis itik lokal berdasarkan tempat berkembangnya (Simanjuntak, 2002). Bangsa itik domestikasi dibedakan
(19)
6
menjadi tiga yaitu: pedaging, petelur dan hiasan. Itik-itik yang ada sekarang merupakan keturunan dari Mallard berkepala hijau (Anas plathyrhynchos
plathyrhynchos). Beberapa itik lokal yang banyak dipelihara oleh masyarakat di pulau Jawa antara lain yaitu itik Tegal, itik Mojosari, itik Magelang, itik Cihateup dan itik Cirebon (Djanah, 1982).
Menurut Kedi (1980), bangsa-bangsa itik yang termasuk golongan tipe pedaging mempunyai sifat-sifat pertumbuhan serta struktur perdagingan yang baik,
sedangkan bangsa-bangsa itik yang tergolong petelur memiliki badan relatif lebih kecil dibandingkan dengan tipe pedaging. Salah satu itik lokal yang banyak dipelihara adalah itik Tegal. Seleksi bibit itik yang dilakukan oleh peternak sampai sekarang masih berdasarkan pada karakteristik bentuk tubuh atau morfologi tubuh dan produksi telur.
Ciri-ciri itik Tegal:
a. Bentuk badan langsing dengan postur tegak lurus menyerupai botol. b. Warna bulu merah tua bertotol coklat (branjangan).
c. Paruh panjang dan lebar. d. Warna kaki hitam.
e. Bentuk kepala kecil dengan mata merah.
Sebagai hewan yang berdarah panas (homeotherm) itik memerlukan kisaran suhu lingkungan yang nyaman untuk kelangsungan hidup dan berproduksi. Pada kisaran suhu yang nyaman unggas mempunyai kemampuan yang baik untuk mempertahankan suhu tubuhnya untuk tumbuh dan berkembang dengan
(20)
7
baik (North dan Bell, 1990). Wilson et.al., (1981), menyatakan bahwa suhu yang ideal untuk memelihara ternak itik adalah antara 18,3 -- 25,5⁰C dan 20 -- 25⁰C.
Menurut Bharoto (2001), dalam pemeliharaan secara intensif itik mampu
memproduksi telur antara 240 -- 280 butir/ekor/tahun. Itik yang dipelihara secara system semi intensif mampu memproduksi telur sebanyak 203 -- 232
butir/ekor/tahun dan pemeliharaan secara tradisional mampu menghasilkan telur sebanyak 124 butir/ekor/tahun. Periode pemeliharaan itik petelur yaitu dimulai dari fase starter yang berumur sekitar 0–2 bulan, fase grower berumur sekitar 2–5 bulan, kemudian fase breeder/layer berumur di atas 5 bulan.
Pada umumnya mortalitas paling tinggi pada ternak terjadi pada fase awal
kelahiran (fase starter), hal tersebut dikarenakan pada awal masa kelahiran, anak itik cenderung lemah dan memiliki imunitas yang sangat rendah dan dari pihak peternak pun harus memperhatikan dengan baik dan benar. Menurut Simanjuntak (2002), fase grower adalah fase pertumbuhan yang sangat penting karena pada fase ini sangat berpengaruh pada masa produksi telur nantinya. Ditambahkan pula menurut Suharno dan Amri (1995), pemeliharaan itik terbagi dalam tiga fase, yaitu fase starter (umur 0 -- 8 minggu), fase grower (umur 8 -- 20 minggu) dan fase finisher (umur 20 minggu ke atas).
(21)
8
B. Sistem Kekebalan Tubuh Itik
Secara umum sistem kekebalan pada unggas hampir sama dengan sistem kekebalan hewan lainnya. Sistem kekebalan unggas juga ada yang merupakan sistem kebal alami yang bersifat fisik seperti bulu dan kulit maupun kimiawi seperti pembentukan lendir/mukus dan enzimatis (lisozim yang terkandung dalam air mata). Sistem kekebalan lainnya adalah sistem kebal dapatan yang bersifat seluler maupun humoral. Limfosit merupakan unsur kunci sistem kekebalan tubuh. Selama perkembangan janin, prekursor limfosit berasal dari sumsum tulang. Pada unggas, prekursor yang menempati bursa Fabricius ditransformasi menjadi limfosit yang berperan dalam kekebalan humoral (limfosit B). Sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel B memori. Sel T dibagi menjadi 4 yaitu: sel T pembantu, sel T supresor, sel T sitotoksik (sel T efektor atau sel pembunuh) dan sel T memori (Ganong, 1998).
Mekanisme kekebalan dapat terbentuk akibat induksi antigen dengan tidak sengaja seperti infeksi agen penyakit maupun induksi antigen dengan sengaja seperti vaksinasi. Antigen yang masuk ke dalam tubuh baik sengaja maupun tidak pertama kali akan ditanggapi oleh sistem kebal alami, seperti adanya respon pembentukan mukus oleh sel-sel epitel permukaan mukosa tempat masuknya antigen. Antigen yang berhasil melewati kekebalan alami ini akan berhasil menembus sel dan menginfeksi sel. Antigen tersebut akan dijerat makrofag yang terdapat dalam jaringan limfoid. Makrofag akan memfagositosis antigen tersebut dan dibawa ke sel T pembantu pada saat yang bersamaan (Guyton, 1995).
(22)
9
Makrofag sebagai antigen presenting cell bentuk/rupa dari bahan asing/antigen akan dikirimkan informasinya dalam bentuk efektor sel/sitokin ke sel-sel limfosit yang berperan dalam respon kebal humoral maupun sistem kebal berperantara sel. Sebelum terpapar dengan antigen yang spesifik, klon limfosit B tetap dalam keadaan dormant di dalam jaringan limfoid, dengan adanya antigen yang masuk limosit B berproliferasi menjadi sel plasma. Selanjutnya sel plasma akan menghasilkan antibodi khusus yang mampu menyingkirkan antigen sebagai sistem kekebalan humoral. Selain itu sel B juga berdeferensiasi sebagai sel B memori yang akan menyimpan “ingatan” tentang kejadian ini sehingga pada paparan berikutnya dengan antigen yang sama, tanggapannya akan jauh lebih efisien (Tizard, 1988).
Antibodi tidak dapat menembus sel, sehingga antibodi hanya akan bekerja
selama antigen berada di luar sel. Antibodi bekerja untuk mempertahankan tubuh terhadap antigen penyebab penyakit yaitu dengan cara langsung
menginaktifasi antigen penyebab penyakit dan dengan mengaktifkan sistem komplemen yang kemudian akan menghancurkan agen penyakit tersebut (Guyton, 1995).
Anak ayam yang baru menetas memiliki antibodi maternal yang diturunkan dari induknya. Antibodi maternal yang diperoleh secara pasif dapat menghambat pembentukan imunoglobulin, sehingga mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Penghambatan antibodi maternal berlangsung sampai antibodinya habis yaitu sekitar 10-20 hari setelah menetas (Tizard, 2004). Anak ayam yang antibodi
(23)
10
penyakit di alam. Oleh karena itu perlu dilakukan vaksinasi untuk merangsang sistem kekebalan anak ayam.
Menurut Guyton (1997), dalam sistem pertahanan tubuh, eosinofil bertanggung jawab dalam melawan infeksi dan parasit juga mengontrol mekanisme yang berkaitan dengan alergi. Ditambahkan oleh Moyes dan Schute (2008) bahwa fungsi eosinofil dalam sistem imun terhadap mikroorganisme dan benda asing dengan cara meliliskan sebagaimana fungsi kimiawi yakni secara enzimatis. Peran utama monosit dalam sistem imun, yaitu merespon adanya tanda-tanda inflamasi dengan cara bergerak cepat (kira-kira 8 -- 12 jam) ke tempat yang terinfeksi, mengirimkan makrofag untuk merangsang respon imun dan
mengeluarkan substansi yang mempengaruhi terjadinya proses peradangan kronik (Tizard, 2004).
B. Vaksin dan Vaksinasi
Pencegahan penyakit merupakan suatu tindakan untuk melindungi individu terhadap serangan penyakit tertentu. Vaksinasi adalah usaha agar hewan yang divaksin memiliki kekebalan (Halvorson, 2002). Meskipun itik terkenal sebagai unggas yang tahan terhadap penyakit namun itik yang dipelihara secara intensif dalam usaha berskala menengah sampai besar memerlukan vaksinasi.
Menurut Malole (1988), vaksin merupakan sediaan yang mengandung antigen dapat berupa kuman mati, kuman inaktif atau kuman hidup yang dilumpuhkan virulensinya tanpa merusak potensi antigennya. Vaksin digunakan untuk
(24)
11
menimbulkan kekebalan aktif dan khas terhadap infeksi kuman atau toksinnya. Vaksin dibuat dari bakteri, riketsia, virus atau toksin dengan cara berbeda-beda sesuai jenisnya tertera pada masing-masing monografi, sedemikian rupa sehingga masih tetap identitasnya dan bebas cemaran jasad asing.
Pembuatan vaksin dapat digunakan sebagai atau seluruh biakan yang dapat dilakukan dengan cara fisika, kimia atau biokimia. Bakterisida yang cocok dapat ditambahkan ke dalam vaksin steril, vaksin virus hidup atau vaksin ricketsia hidup, asalkan bakterisida itu tidak mempunyai keaktifan terhadap virus (Farmakope Indonesia, 1979).
Vaksin dibedakan menjadi dua yaitu vaksin aktif dan vaksin inaktif. Vaksin aktif merupakan vaksin dari mikroorganisme hidup yang masih aktif namun sudah tidak virulen atau avirulen. Vaksin inaktif adalah vaksin yang berisi
mikroorganisme mati melalui proses inaktivasi. Virus yang terkandung dalam vaksin inaktif telah dilumpuhkan virulensinya namun sifat antigenitasnya masih dipertahankan. Sifat antigenitas inilah yang berperan dalam menginduksi kekebalan tubuh (Fenner et.al., 1995).
Menurut Malole (1988), vaksin yang baik harus memenuhi persyaratan, yaitu kemurnian, keamanan serta vaksin harus dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit pada hewan. Suatu vaksin dapat memenuhi persyaratan di atas jika dua minggu setelah vaksin telah terbentuk antibodi dengan titer protektif. Proteksi vaksin dapat diuji dengan penantangan atau infeksi virus ganas. Vaksin yang baik harus memberikan proteksi lebih dari 95% terhadap hewan yang telah diberi
(25)
12
vaksin atau tidak lebih dari 5% hewan yang terinfeksi (sakit atau mati).
Ditambahkan oleh Akoso (1998), selain mutu vaksin, keberhasilan vaksinasi juga dipengaruhi oleh status kesehatan unggas, keadaan nutrisi unggas, sanitasi
lingkungan, sistem perkandangan, serta program vaksinasi yang baik.
Menurut Priyono (2010), beberapa cara vaksinasi: 1. Tetes mata atau hidung
Cara vaksinasi ini umumnya dilakukan pada ternak ayam yang masih berumur beberapa hari, misalnya 4 hari. Larutan vaksin yang digunakan dalam larutan dapar. Cara vaksinasi tetes mata dilakukan dengan cara memegang ayam dengan tangan kanan dan tangan kiri memegang botol vaksin. Botol vaksin jika sudah menghadap ke bawah, diusahakan jangan dibalik menghadap keatas lagi. Teteskan larutan vaksin pada salah satu mata satu tetes tiap ekor. Jika vaksin sudah masuk, ayam akan mengedipkan mata berkali-kali. Dalam pelaksanaannya misal kita meneteskan pada mata sebeleh kanan, untuk ayam yang lainnya juga diteteskan pada mata sebelah kanan juga. Hal ini dilakukan untuk memudahkan identifikasi. Jika menggunakan tetes hidung, maka teteskan larutan vaksin pada salah satu hidung dan lubang yang lain ditutup. Jika vaksin sudah terhirup, kemudian ayam dilepaskan.
2. Tetes mulut
Cara vaksinasi tetes mulut juga tidak jauh berbeda dengan vaksinasi tetes hidung maupun tetes mata. Tahap pertama yang dilakukan adalah melarutkan larutan vaksin dengan larutan dapar, kemudian dikocok dan diusahakan tidak sampai
(26)
13
berbuih. Larutan vaksin tersebut kemudian diteteskan pada mulut ayam satu tetes tiap ekor. Jika sudah masuk, kemudian ayam dilepaskan.
3. Air minum
Vaksinasi menggunakan air minum merupakan vaksinasi yang dilakukan pada ayam dengan cara memuasakan minum ayam selama kurang lebih 2 jam. Jika suasana panas, maka waktu pemuasaan air minum dapat dipersingkat. Kemudian sediakan air minum dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan proses vaksinasi. Diusahakan air minum yang digunakan aquades. Cara pencampuran vaksin dilakukan sesuai dengan petunjuk vaksin yang dibeli. Apabila vaksin sudah tercampur dengan air minum, larutan tersebut diberikan pada ternak sebagai vaksin air minum.
4. Injeksi atau suntikan
Cara vaksinasi injeksi atau suntikan dapat menggunakan vaksin aktif maupun vaksin inaktif. Vaksinasi ini menggunakan jarum yang telah disterilkan terlebih dahulu dengan cara direbus menggunakan air mendidih selama kurang lebih 30 menit. Vaksinasi dapat dilakukan dengan 3 cara, vaksin dimasukkan ke dalam jaringan otot ternak (intramuskuler), pemberian vaksin ke dalam pembuluh darah vena (intravena) dan pemberian vaksin melalui suntikan ke area bawah kulit ternak (subkutan).
5. Tusuk sayap atau wing web
Cara vaksinasi ini menggunakan alat khusus berupa jarum penusuk. Seperti biasa, jarum penusuk harus disterilkan terlebih dahulu dalam air mendidih selama
(27)
14
kurang lebih 30 menit. Larutan vaksin yang akan digunakan dikocok dan diusahakan jangan sampai berbuih. Celupkan jarum penusuk kedalam larutan vaksin, kemudian tusukkan jarum pada sayam ayam yang telah direntangkan. Diusahakan menusuknya pada lipatan sayap yang tipis dan jangan sampai mengenai tulang, otot dan pembuluh darah.
6. Semprot atau spray
Cara vaksinasi ini hampir sama dengan jika kita melakukan sanitasi kandang, yakni menggunakan alat semprot (sprayer). Diusahakan sprayer untuk vaksinasi khusus dilakukan untuk vaksinasi saja. Campurkan vaksin dengan aquades kedalam sprayer yang memang steril dan bebas karat. Larutan vaksin
disemprotkan ke seluruh ayam dengan jarak 30 -- 40 cm dari atas kepala ayam. Selang 30 menit kemudian, kandang dapat dibuka kembali dan kipas dapat dinyalakan lagi.
D. Newcastle Disease
Newcastle Disease (ND) merupakan suatu penyakit pernafasan yang sistemik, bersifat akut dan epidemik (mewabah) serta mudah sekali menular yang
disebabkan oleh virus. Virus penyebabnya adalah golongan Paramyxovirus dari famili Paramyxoviridae (Alexander, 1988). Allan et.al., (1978), menyatakan bahwa Newcastle Disease atau yang sering disebut penyakit tetelo adalah penyakit yang bersifat kompleks.
(28)
15
1. Sifat-sifat virus ND
Sifat-sifat virus ND penting untuk diketahui guna menentukan model atau cara- cara pencegahan dan penanganan vaksin. Sifat virus ND antara lain
menggumpalkan butir darah merah, di bawah sinar ultraviolet akan mati dalam dua detik, mudah mati dalam keadaan sekitar yang tidak stabil dan rentan
terhadap zat-zat kimia, seperti: kaporit, besi, klor, dan lain-lain. Desinfektan yang peka untuk ND, antara lain NaOH 2%, formalin (1-- 2%), Phenol-lisol 3%, alkohol 95 dan 70%, fumigasi dengan Kalium permanganat (PK) 1 : 5000. Aktivitas ND akan hilang pada suhu 100°C selama satu menit, pada suhu 56°C akan mati selama lima menit sampai lima jam, pada suhu 37°C selama berbulan-bulan. Virus ND stabil pada pH 3 sampai dengan 11. Masa inkubasi penyakit ND adalah 2 -- 15 hari, dengan rata-rata 6 hari. Ayam yang tertular virus ND akan mulai mengeluarkan virus melalui alat pernafasan antara 1 sampai dengan 2 hari setelah infeksi. Infeksi oleh virus ND di alam yang tidak menyebabkan kematian akan menimbulkan kekebalan selama 6 -- 12 bulan, demikian juga halnya kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi (Kingston et.al., 1979).
2. Gejala klinis virus ND
Menurut Palmieri (1979), masa inkubasi virus ND bervariasi dari 2 -- 15 hari dengan rata-rata 5 -- 6 hari. Gejala klinis tidak selalu spesifik untuk masing-masing bentuk penyakit seperti gejala pernafasan (pneumotropik), syaraf
(neurotropik) dan intestinal (viscerotropik) yang timbul tergantung dari 3 faktor agen (strain, keganasan dan dosis virus) dan infeksi organisme lain. Terjadi kematian mendadak pada unggas yang ditandai dengan gejala nafsu makan
(29)
16
menurun, sesak nafas dan terlihat megap-megap, diare dan tinja putih kehijauan. Ayam mengalami dehidrasi atau kekurusan. Gejala syaraf berupa tremor,
tortikolis, paralisa kaki dan sayap serta opistotonus. Ayam dengan gejala syaraf dapat mengalami kesembuhan, tetapi ayam dapat menjadi sumber penularan karena dapat mengeluarkan virus dalam tinjanya (Allan et.al., 1978).
3. Cara penularan virus ND
Penyakit dapat ditularkan secara horizontal dan vertikal. Penularan horizontal melalui kontak langsung dengan unggas sakit atau reservoir dan tidak langsung melalui peralatan atau bahan tercemar virus ND. Penularan vertikal sangat mungkin terjadi karena virus ND pernah diisolasi dari isi telur yang berasal dari telur-telur ayam tertular. Telur-telur tercemar selanjutnya dapat menularkan virus pada telur-telur lainnya di dalam mesin tetas. Unggas terserang ditandai dengan tingkat morbiditas sampai 100%, mortalitas 50 -- 100% terutama yang disebabkan oleh virus ND ganas, 50% oleh tipe mesogenik dan oleh lentogenik jarang
menyebabkan kematian kecuali kalau disertai infeksi sekunder dapat mencapai 30% (Lancaster, 1979).
Newcastle Disease memiliki dampak ekonomi yang penting dalam industri perunggasan karena penyakit ini menimbulkan (1) morbiditas dan mortalitas yang tinggi; (2) penurunan produksi telur baik kuantitas maupun kualitas; (3) gangguan pertumbuhan; (4) biaya penanggulangan penyakit yang tinggi (Johnston, 1990). Di Indonesia, ND masih menjadi salah satu penyakit yang paling merugikan peternakan ayam walaupun telah dilakukan berbagai usaha pengendalian seperti vaksinasi. Menurut Arzey (2007), vaksinasi merupakan usaha yang paling efektif
(30)
17
untuk melindungi unggas pada berbagai tingkat umur terhadap penyakit ND. Keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh kualitas vaksin, program vaksinasi, vaksinator, dan peralatan vaksinasi. Hal itu dapat juga dipengaruhi oleh kondisi kesehatan hewan. Hewan dapat mengalami stress akibat suatu penyakit, maupun akibat kondisi pemeliharaan yang tidak nyaman. Kondisi stress dapat disebabkan dari faktor lingkungan peternakan seperti suhu, kelembaban tinggi serta faktor lainnya yang dapat mempengaruhi fisiologis dari hewan tersebut dalam membentuk kekebalan tubuh. Strategi vaksinasi juga mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi, sehingga peternak sering melakukan vaksinasi berbagai jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan.
Menurut Allan et.al., (1978), titer yang dianggap protektif terhadap penyakit ND adalah berkisar 25 – 28. Suatu studi tentang infeksi ND pada itik telah dilakukan di beberapa daerah baik di Indonesia maupun di negara lain dengan menggunakan metode serologi dan isolasi virus. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa virus ND dapat menginfeksi itik, merangsang pembentukan antibodi, serta ada yang menimbulkan gejala klinis pada itik dan ada juga yang tidak. Virus ND pada itik yang paling banyak ditemukan termasuk galur virus ND yang ganas (Velogenic strain), sehingga sangat berbahaya bagi peternak ayam yang berada di sekitar lokasi yang banyak populasi itiknya. Hal tersebut dikarenakan sejumlah itik yang terinfeksi dapat mengekskresikan virus ND melalui feses sehingga menyebar ke lingkungan. Oleh sebab itu, itik memiliki peranan penting dalam penyebaran penyakit tetelo, sehingga perlu kewaspadaan keberadaan itik di lingkungan peternakan ayam (Srigandono, 1997).
(31)
18
Menurut Allan et.al., (1978), nilai titer antibodi Newcastle Disease (ND) terhadap tingkat mortalitas terbagi sebagai berikut;
1. jika nilai titer antibodi ND 20 tingkat mortalitasnya 100%
2. jika nilai titer antibodi ND 22 sampai 25 tingkat mortalitasnya 10% 3. jika nilai titer antibodi ND 24 sampai 26 tingkat mortalitasnya 0%.
Menurut PT. Agrinusa Jaya Sentosa (2014), tingkat keseragaman hasil uji HI penyakit ND dibagi menjadi tiga, yaitu;
1. jika besarnya titer antibodi ND >70% = baik
2. jika besarnya titer antibodi ND 55% – 70 % = sedang 3. jika besarnya titer antibodi ND < 55% = buruk
E. Avian Influenza
Avian Influenza (AI) atau flu burung merupakan salah satu penyakit penting yang sering menyerang unggas khususnya ayam, baik ayam pedaging maupun ayam petelur. Menurut Halvorson (2002), penyakit AI merupakan penyakit unggas yang sangat menular dan telah menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi peternak. Penyakit AI berasal dari virus influenza tipe A dan termasuk dalam famili orthomyxoviridae, virus influenza memiliki beberapa tipe antara lain tipe A, tipe B, dan tipe C(Bruschke, 2007). Penyakit AI pertama kali terjadi pada tahun 1800 di Italia. Penyakit ini dilaporkan untuk pertama kali pada tahun 1878 dan dikenal dengan nama Fowl Plaque (Murphy et.al., 1999).
(32)
19
Menurut Ratriastuti (2004), penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus
AI merupakan penyakit viral yang menyerang saluran pernafasan,pencernaan dan sistem syaraf pada unggas. Pada tahun 1955, para ahlimembuktikan bahwa penyebab Fowl Plaque adalah virus Avian Influenza tipe A. Pada tahun 1981, dalam suatu simposium tentang Avian Influenza istilah Fowl Plaque diganti dengan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI).
Virion dari virus influenza tipe A adalah bulat dan berdiameter sekitar 100 nm. Terdapat delapan senyawa genom, lima diantaranya merupakan genom
berstruktur dan tiga lainnya merupakan protein virus struktural yang berkaitan dengan enzim RNA polimerase. Protein terbanyak adalah protein matriks (M1) yang tersusun dari banyak monomer kecil serupa. Monomer ini terkait dengan permukaan bagian dalam dari lapisan ganda lemak amplopnya (envelope). M2 adalah protein kecil yang menonjol sebagai pori-pori atau kanal ion yang melalui membran. Virus ini memiliki dua antigen permukaan yang disebut haemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Kedua antigen permukaan ini merupakan molekul glikoprotein.
Molekul HA merupakan trimer bentuk batang, sedangkan molekul NA merupakan tetramer bentuk jamur. Kedua antigen tersebut digunakan sebagai penanda dalam identifikasi subtipe virus karena membawa epitop khusus subtipe (Fenner et.al.,
1995). Pembagian subtipe virus berdasarkan permukaan haemaglutinin (HA) dan neuraminidae (NA) yang dimilikinya. Saat ini, telah dikenal 16 jenis HA (H1-16) dan 9 jenis NA (N1-9). Diantara 16 subtipe HA, hanya H5 dan H7 yang bersifat ganas pada unggas (Nuh, 2008).
(33)
20
Berdasarkan tingkat keganasannya, virus AI dibagi menjadi Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Virus AI sangat mudah bermutasi, babi merupakan mixing vessel (pembawa-pencampur) bagi virus dari unggas ke mamalia, selain itu melalui genetic reassortment babi mempunyai peranan dalam menciptakan virus yang lebih ganas (Handharyani, 2004). Antigen HA dapat mengaglutinasi darah merah ayam dan berbagai hewan mamalia. Antigen HA dan NA menyebabkan pembentukan antibodi spesifik (Ressang, 1986).
Virus Avian Influenza ini dibungkus oleh glikoprotein dan dilapisi oleh
lapisan lemak ganda (bilayer lipid). Virus ini akan tetap hidup dalam air dengan suhu 20°C selama empat hari, serta bisa hidup pada suhu 0°C lebih dari 30 hari dan masih tetap infektif dalam feses selama 30-35 jam pada temperatur 4°C dan selama 7 hari dalam suhu 20°C (Tabbu, 2000). Virus juga peka terhadap
lingkungan panas (56°C, 30 menit), PH yang ekstrim (asam, pH=3), kondisi non isotonik udara kering, relatif tidak tahan terhadap inaktivasi pelarut lemak seperti detergen (Soejoedono & Handharyani 2005).
1. Sifat-sifat virus AI
Virus H5N1 dapat bertahan hidup di air pada suhu 22C sampai empat hari lamanya dan pada suhu 0C dapat hidup selama 30 hari. Di dalam tinja atau tubuh unggas yang sakit virus dapat hidup lebih lama. Virus H5N1 yang berada dalam daging ayam akan mati bila dipanaskan pada suhu 56C selama 3 jam atau 60C selama 30 menit dan 80C selama 1 menit. Virus yang berada dalam telur
(34)
21
ayam akan mati bila direbus pada suhu 64C selama 5 menit. Virus juga akan mati bila terkena detergent atau desinfektan seperti formalin, iodium dan alkohol 70% (Swayne, 2008).
2. Gejala klinis penyakit AI
Menurut Parede (1987), gejala klinis yang teramati pada unggas yang terinfeksi virus AI adalah anoreksia, emasiasi, depresi, produksi telur menurun, gejala sesak nafas disertai eksudat keluar dari hidung, edema daerah wajah, konjungtivitis, jengger dan pial berwarna kebiruan. Beberapa daerah di bawah kulit termasuk tungkai mengalami perdarahan. Sementara itu beberapa kasus tidak menunjukan gejala klinis. Pemeriksaan lebih lanjut maka akan terlihat adanya peradangan pada langit-langit, mulut, trakhea, dan laring. Pada pemeriksaan histopatologi terlihat adanya akumulasi sel-sel radang (limfosit) pada jengger ayam yang terinfeksi.
3. Cara penularan virus AI
Sumber utama penularan virus flu burung biasanya adalah dari migrasi burung atau unggas liar yang terinfeksi. Burung atau unggas ini dapat dengan mudah menularkan virus kepada unggas-unggas yang hidup di peternakan. Bahkan virus dapat menyebar antar peternakan dari suatu daerah ke daerah lainnya. Penularan virus kepada sesama unggas dapat terjadi melalui dua cara, yakni secara langsung dan tidak langsung. Penularan secara langsung terjadi lewat kontak langsung dengan sumber penularan, yakni melalui sekresi hidung dan mata, serta kotoran unggas yang terinfeksi. Sementara itu, penularan secara tidak langsung (kontak tidak langsung) terjadi melalui perpindahan ternak, peralatan, dan pekerja yang
(35)
22
terkontaminasi namun penularan tidak langsung yang paling utama terjadi melalui angin yang menyebarkan debu dan bulu yang dicemari oleh virus flu burung.
Struktur morfologi virus Avian influenza dapat dijelaskan pada Gambar 1.
Gambar 1. Virus Avian influenza.
(Sumber : edubj.ssreader.com.cn)
Jika virus AI menular ke spesies unggas yang rentan, maka dapat menimbulkan gejala klinis yang biasanya bersifat ringan. Subtipe virus ini disebut sebagai virus yang memiliki patogenisitas rendah (low pathogenic avianinfluenza virus atau LPAIV). Pada umumnya infeksi LPAIV pada unggas petelur mengakibatkan terjadinya penurunan produksi telur yang bersifat ringan dan sementara, atau menurunkan bobot badan pada unggas pedaging (Hall, 2004).
Menurut Halvorson (2002), virus AI yang menginfeksi unggas rentan dan terjadi beberapa siklus penularan dapat bermutasi dan beradaptasi di spesies lain. Mutasi yang terjadi juga dapat menjadikannya sangat patogen (High Pathogenic Avian Influenza Virus (HPAIV). HPAIV mampu menimbulkan penyakit sistemik yang ganas dan mematikan secara cepat. Unggas yang terinfeksi HPAIV ditandai
(36)
23
dengan gejala klinis yang mendadak, berlangsung singkat, mortalitas yang terjadi mendekati 100% pada spesies yang rentan. Subtipe virus AI yang diketahui sangat patogen yaitu H5 dan H7, sedangkan virus yang menyebabkan AI di berbagai negara di Asia adalah H5N1. Setyaningsih dan Wibawan(2009) menyatakan bahwa perkembangan infeksi virus AI saat ini pada unggas tidak menunjukkan gejala sakit, artinya unggas terlihat sehat tetapi sebenarnya sakit sehingga banyak terjadi kematian mendadak.
Infeksi virus AI yang terjadi di peternakan unggas skala besar berdampak pada penurunan konsumsi air dan pakan yang signifikan, sedangkan pada unggas petelur akan mengakibatkan penurunan produksi telur. Cangkang telur yang dihasilkan cenderung lembek dan produksinya berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan infeksi penyakit AI. Secara individual, gejala klinis yang dapat diamati pada unggas yang terinfeksi HPAIV sering ditandai dengan apati dan tidak banyak bergerak (imobilitas). Menurut Webster et.al., (1978),
pembengkakan muncul di daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu, sianosis pada jengger, gelambir dan kaki, diare dengan kotoran berwarna kehijauan, dan
sesekali tampak susah bernapas. Gejala-gejala sistem syaraf termasuk tremor, tortikolis dan ataxia terjadi pada spesies yang tidak begitu rentan seperti bebek, angsa, dan jenis burung onta.
Secara normal unggas air seperti itik, bebek, dan unggas air lain yang hidup di laut membawa virus AI H5N1. Walaupun tubuh unggas tersebut terinfeksi, akan tetapi tidak menunjukkan gejala sakit dan dapat hidup secara sehat. Hal ini
(37)
24
toleransi yang seimbang dengan unggas tersebut yang secara klinis ditunjukkan dengan tidak adanya penyakit dan replikasi virus (Hinrichs et.al., 2010).
Menurut PT. Agrinusa Jaya Sentosa (2014), tingkat keseragaman hasil uji HI penyakit AI dibagi menjadi tiga, yaitu;
1. jika besarnya titer antibodi AI >70% = baik
2. jika besarnya titer antibodi AI 55% – 70 % = sedang 3. jika besarnya titer antibodi AI < 55% = buruk
Titer antibodi yang protektif terhadap penyakit AI bernilai ≥ 24 (≥16), yaitu tingkat titer antibodi yang menunjukkan kekebalan hewan terhadap infeksi, sebagaimana yang direkomendasikan oleh organisasi kesehatan hewan dunia atau OIE (Alfons, 2005).
(38)
25
III. BAHAN DAN METODE
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada Desember 2013 -- Januari 2014 di Desa Tulungagung, Desa Bulukerto, dan Desa Wonodadi, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu. Selanjutnya analisis titer antibodi dilaksanakan di Laboratorium Diagnostik PT. Agrinusa Jaya Sentosa – Jakarta.
B. Alat dan Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Itik Tegal fase grower (umur 4 -- 5 bulan).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah disposablesyringe 3 ml untuk mengambil sampel darah itik, tabung eppendof untuk wadah serum darah, termos es untuk pendingin serum darah, 1 buah alat tulis dan kertas untuk mencatat data yang diperoleh.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode survei dengan pengambilan sampel secara purposive sampling. Metode purposive sampling merupakan metode pengambilan sampel yang didasarkan atas tujuan dan pertimbangan tertentu dari peneliti. Pertimbangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
(39)
26
1) lama beternak minimal 2 tahun, 2) ternak milik sendiri, 3) populasi ternak itik minimal 20 ekor untuk starter, grower, finisher pada tiap peternaknya.
Data yang digunakan adalah data yang diperoleh dari hasil kuisioner melalui wawancara pada peternak di Kecamatan Gadingrejo yang telah memenuhi syarat pertimbangan tersebut serta mengamati manajemen pemeliharaan ternak itik secara langsung di lokasi penelitian, ditambah data hasil titer AI dan ND yang didapat dari Laboratorium Diagnostik PT. Agrinusa Jaya Sentosa, Jakarta.
Tabel 1. Data peternak yang diambil sampel serum ternak itik fase grower
Nama Peternak Populasi Itik
Grower
Sampel Grower yang diambil 10% dari Populasi
Sukiman Prastiyo Leo Sumarlan Agus Suharyadi Heri Purnomo Sutomo Kusnadi Solikin Yusuf Kristianto 21 20 22 20 21 23 22 21 33 23 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2
Total 226 21
D. Pelaksanaan Penelitian
Melakukan survei ke lokasi peternakan untuk melakukan wawancara
menggunakan kuisioner. Pengambilan sampel darah dilakukan pada Itik Tegal fase grower (umur 4 -- 5 bulan). Sampel darah diambil sebanyak 10% dari
(40)
27
jumlah populasi ternak tiap peternaknya. Sampel darah diambil menggunakan
disposable syringe 3 ml melalui vena brachialis. Darah didiamkan selama 1 -- 2 jam, setelah keluar serum, perlahan-lahan dimasukkan ke tabung eppendof. Setelah itu sampel dalam kondisi dingin dikirim ke Laboratorium Diagnostik PT. Agrinusa Jaya Sentosa, Jakarta untuk dianalisis jumlah titer antibodinya
menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) untuk titer antibodi Newcastle Disease dan Avian Influenza.
E. Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah titer antibodi terhadap ND dan AI pada itik petelur fase grower di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu.
F. Analisis Data
Data titer antibodi dari masing-masing sampel disajikan dalam bentuk diagram sehingga tersedia data untuk diolah secara deskriptif.
(41)
40
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan :
1. hasil titer antibodi AI di Kecamatan Gadingrejo menunjukkan nilai seropositif 33% dan seronegatif 67% dengan tingkat keseragaman 33%.
2. hasil titer antibodi ND di Kecamatan Gadingrejo menunjukkan
nilai seropositif 19% dan seronegatif 81% dengan tingkat keseragaman 19%.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian :
1. diharapkan untuk peternak itik di Kecamatan Gadingrejo yang hasil sampel titer antibodinya tidak protektif agar segera melakukan vaksin ND dan AI.
2. dinas terkait diharapkan lebih meningkatkan penyuluhan terhadap peternak itik di Kecamatan Gadingrejo khususnya penyakit ND dan AI.
(42)
40
DAFTAR PUSTAKA
Aksi Agraris Kanisius. 1986. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Akoso, B.T. 1998. Kesehatan Unggas Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh, dan Peternak. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Allan, J.E, Lancaster and B. Toth. 1978. Newcastle Disease Vaccines. Their Production and Use. Food and Agricultural Organisation. Rome Alexander, D.J. 1996. Highly pathogenic avian influenza. Manual of Standards for Diagnostic Test and Vaccines. OIE. 15: 155--160
Alfons, M.P.W. 2005. Pengaruh Berbagai Metode dan Dosis terhadap Efikasi Vaksin Avian Influenza (AI) Inaktif. Skripsi. Bogor; FKH IPB
Arzey, G. 2007. NSW Biosecurity Guidelines for Free Range Poultry Farms.
http://www.dpi.nsw.gov. Diakses pada 5 November 2013 pukul 20.00 WIB
Bharoto, K.D. 2001. Cara Beternak Itik. Aneka Ilmu. Semarang
Bruschke, C. 2007. OIE Standards and Guidelines on AI Vaccines and Vaccination. Presentation at Vaccination Seminar organized by DGLS MOA, USDA Indonesian Poultry Society. Jakarta. 73--75
Carlander, D. 2002. Avian IgY Antibody in vitro and in vivo. Comprehensive
Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine 1119, 53 pp. ACTA Universitatis Upsaliensis. 3: 27--29
Chaves, E.R and A, Lasmini. 1978. Comparative of Native Indonesia Ducks. Central Report P3T Ciawi. Bogor
Darminto, P., W. Daniel and P. Ronohardjo. 1993. Studies on the epidemiology of newcastle disease in eastern indonesia by serology and viral
characterization using panels of monoclonal antibodies. Penyakit Hewan 46: 67--75
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Buku Statistik Peternakan 2013. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Pringsewu.
(43)
41
Djanah, D. 1982. Beternak Ayam dan Itik. Jasaguna. Malang
Dorian, S. dan I. Istiana. 2009. Motivasi petani terhadap agribisnis peternakan di Kabupaten Kampar (studi kasus prima tani Kebupaten Kampar). Pros. Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi di Pedesaan. 15 – 16 Oktober 2009. BBP2TP, Bogor. hlm. 698--704
Farmakope Indonesia. 1979. Vaksin Unggas. Edisi Ketiga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Fenner F.J., J. Frank, E. Giggs, and B. Paul. 1995. Vivologi Veteriner. Jovanovich Academic Press. London
Ganong. 1998. Review of Medical Physiologi. Long Medical Publishing Las Atos. California
Ginting, U.E. Biosekuriti Unggas. 2010. www.trobos.com. Diakses pada 28 Januari 2014 pukul 13.00 WIB
Guyton, A.C. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Penerjemah: Petrus A. Edisi III. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta
_______. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Irawati Setiawan, penerjemah. Penerbit Buku Kedokteran, ECG. Terjemahan dari : TextBook of Medical physiology. Jakarta.
Halvorson, D.A. 2002. The Control of H5 or H7 Mildly Pathogenic Avian Influenza: a role for inactivated vaccine. Avian-pathol. Carfax Publishing Ltd. Oxford
Handharyani, E. 2004. Avian influenza pada unggas dan dampaknya pada manusia. Makalah Seminar. Fakultas Kedokteran Hewan IPB Hal: 34-35 Hinrichs, J., J. Otte, and J. Rushton. 2010. Review. Technical, epidemiological and financial implications of large-scale national vaccination campaigns to control HPAI H5N1. London
Kedi, S. 1980. Duck In Indonesia. Poultry Indonesia Nomor 4. University Indonesia Press. Jakarta
Kingston, D.J. and R, Dharsana. 1979. Newcastle disease virus infection in Indonesian ducks. Philippines J. Vet. Med. 18 : 125--130
Lancaster, J.E. 1979. The Control of Newcastle Disease. Animal Health Division, Agriculture Canada. Otawa
(44)
42
Moyes, C.D. and P.M. Schulte. 2008. Principles of Animal Physiology. 2 Ed. Perarson International Edition. New York
Murphy, F., E.P. Gibbs, J. Horzinek, and M.J. Studdert. 1999. Laboratory diagnosis of viral diseases, Veterinary Virology, 3rd ed. New York: Academic Press
North, M.O. and D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual Fourth Edition. An Avi Book Published by Van Nostrand Reinhold, New York
Nuh, M. 2008. Flu Burung Ancaman dan Pencegahan. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta
Parede, L. 1987. Experimental Studies on the Pathogenesis of Newcastle disease in Vaccinated and Unvaccinated Bird. MSC thesis, the Graduate School of Tropical Veterinary Science, James Cook University, Townsvile, Australia Palmieri, S. 1989. Genetic relationship among lentogenic strains of Newcastle disease virus. Avian Dis. 33 :345--350
Payne, L.N. and K. Venugopal. 2000. Neoplastic disease: Marek’s Disease, Avian Leucosis and Reticuloendotheliosis 2: 544-554
Priyono, 2010. Mengenal Berbagai Macam Cara Vaksinasi pada Ternak Ayam Ras. http://catatanpeternak.blogspot.com. Diakses pada 21 Oktober 2013 pukul 15.00 WIB
PT. Agrinusa Jaya Sentosa. 2014. Result of Haemaglutination Inhibition Test. Jakarta
Ressang, A.A. 1986. Penyakit Viral Pada Hewan. University Indonesia Press. Jakarta
Ratriastuti, 2004. Mengenal lebih dekat avian influenza. Poultry Indonesia. Edisi Januari Hal 43--45
Setyaningsih, S and I.W.T. Wibawan. 2009. New Outbreak of Avian Infuenza (AI) Caused by Avian Influenza Virus of Subtype H5N1 Among
Vaccinated Chicken in Sukabumi West-Java 4: 32-33
Simanjuntak, L. 2002. Mengenal Lebih Dekat Tiktok Unggas Pedaging Hasil Persilangan Itik dan Entok. Agro-Media Pustaka. Jakarta
Srigandono, B. 1997. Produksi Unggas Air. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
(45)
43
Soejoedono, R.D. dan E. Handharyani. 2005. Flu Burung. Penebar Swadaya. Jakarta
Spradbrow, P.B. 1999. Epidemiology of newcastle disease and the economic of it control. Proc. of a Workshop. The University of Queensland, Australia
Suharno, B. dan K. Amri. 1995. Beternak Itik Secara Intensif. Penerbit Penebar Swadaya
Swayne, D.E. and J.W. Halvorson. 2006. Assessment of national strategies for control of high-pathogenicity avian influenza and low-pathogenicity notifiable avian influenza in poultry, with emphasis on vaccines and vaccination. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz.30(3): 839--870
_________. 2008. Epidemiology of avian influenza in agricultural and other man-made system. Di dalam: Swayne DE., editor. Avian Influenza. 1th Ed. Iowa: Blackwell Publishing. hlm 59--85
Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Tizard, I.R. 2004. Veterinary Immunology: An Introduction. 7th Ed. Saunders. USA
_________. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Penerjemah Soehardjo H. Universitas Airlangga. Surabaya
White, D.O. and F.J. Fenner. 2006. Medical Virology. Academic Press. USA Wilson, I.A., J.J. Skehel, and D.C. Willey. 1981. Structure of the haemagglutinin membrane glycoprotein of influenza virus at 3A rPesolution. Nature (London) 289: 366--373
(1)
27
jumlah populasi ternak tiap peternaknya. Sampel darah diambil menggunakan disposable syringe 3 ml melalui vena brachialis. Darah didiamkan selama 1 -- 2 jam, setelah keluar serum, perlahan-lahan dimasukkan ke tabung eppendof. Setelah itu sampel dalam kondisi dingin dikirim ke Laboratorium Diagnostik PT. Agrinusa Jaya Sentosa, Jakarta untuk dianalisis jumlah titer antibodinya
menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) untuk titer antibodi Newcastle Disease dan Avian Influenza.
E. Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah titer antibodi terhadap ND dan AI pada itik petelur fase grower di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu.
F. Analisis Data
Data titer antibodi dari masing-masing sampel disajikan dalam bentuk diagram sehingga tersedia data untuk diolah secara deskriptif.
(2)
40
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan :
1. hasil titer antibodi AI di Kecamatan Gadingrejo menunjukkan nilai seropositif 33% dan seronegatif 67% dengan tingkat keseragaman 33%.
2. hasil titer antibodi ND di Kecamatan Gadingrejo menunjukkan
nilai seropositif 19% dan seronegatif 81% dengan tingkat keseragaman 19%.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian :
1. diharapkan untuk peternak itik di Kecamatan Gadingrejo yang hasil sampel titer antibodinya tidak protektif agar segera melakukan vaksin ND dan AI.
2. dinas terkait diharapkan lebih meningkatkan penyuluhan terhadap peternak itik di Kecamatan Gadingrejo khususnya penyakit ND dan AI.
(3)
40
DAFTAR PUSTAKA
Aksi Agraris Kanisius. 1986. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Akoso, B.T. 1998. Kesehatan Unggas Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh, dan Peternak. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Allan, J.E, Lancaster and B. Toth. 1978. Newcastle Disease Vaccines. Their Production and Use. Food and Agricultural Organisation. Rome Alexander, D.J. 1996. Highly pathogenic avian influenza. Manual of Standards for Diagnostic Test and Vaccines. OIE. 15: 155--160
Alfons, M.P.W. 2005. Pengaruh Berbagai Metode dan Dosis terhadap Efikasi Vaksin Avian Influenza (AI) Inaktif. Skripsi. Bogor; FKH IPB
Arzey, G. 2007. NSW Biosecurity Guidelines for Free Range Poultry Farms. http://www.dpi.nsw.gov. Diakses pada 5 November 2013 pukul 20.00 WIB Bharoto, K.D. 2001. Cara Beternak Itik. Aneka Ilmu. Semarang
Bruschke, C. 2007. OIE Standards and Guidelines on AI Vaccines and Vaccination. Presentation at Vaccination Seminar organized by DGLS MOA, USDA Indonesian Poultry Society. Jakarta. 73--75
Carlander, D. 2002. Avian IgY Antibody in vitro and in vivo. Comprehensive
Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine 1119, 53 pp. ACTA Universitatis Upsaliensis. 3: 27--29
Chaves, E.R and A, Lasmini. 1978. Comparative of Native Indonesia Ducks. Central Report P3T Ciawi. Bogor
Darminto, P., W. Daniel and P. Ronohardjo. 1993. Studies on the epidemiology of newcastle disease in eastern indonesia by serology and viral
characterization using panels of monoclonal antibodies. Penyakit Hewan 46: 67--75
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Buku Statistik Peternakan 2013. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Pringsewu.
(4)
41
Djanah, D. 1982. Beternak Ayam dan Itik. Jasaguna. Malang
Dorian, S. dan I. Istiana. 2009. Motivasi petani terhadap agribisnis peternakan di Kabupaten Kampar (studi kasus prima tani Kebupaten Kampar). Pros. Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi di Pedesaan. 15 – 16 Oktober 2009. BBP2TP, Bogor. hlm. 698--704
Farmakope Indonesia. 1979. Vaksin Unggas. Edisi Ketiga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Fenner F.J., J. Frank, E. Giggs, and B. Paul. 1995. Vivologi Veteriner. Jovanovich Academic Press. London
Ganong. 1998. Review of Medical Physiologi. Long Medical Publishing Las Atos. California
Ginting, U.E. Biosekuriti Unggas. 2010. www.trobos.com. Diakses pada 28 Januari 2014 pukul 13.00 WIB
Guyton, A.C. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Penerjemah: Petrus A. Edisi III. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta
_______. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Irawati Setiawan, penerjemah. Penerbit Buku Kedokteran, ECG. Terjemahan dari : TextBook of Medical physiology. Jakarta.
Halvorson, D.A. 2002. The Control of H5 or H7 Mildly Pathogenic Avian Influenza: a role for inactivated vaccine. Avian-pathol. Carfax Publishing Ltd. Oxford
Handharyani, E. 2004. Avian influenza pada unggas dan dampaknya pada manusia. Makalah Seminar. Fakultas Kedokteran Hewan IPB Hal: 34-35 Hinrichs, J., J. Otte, and J. Rushton. 2010. Review. Technical, epidemiological and financial implications of large-scale national vaccination campaigns to control HPAI H5N1. London
Kedi, S. 1980. Duck In Indonesia. Poultry Indonesia Nomor 4. University Indonesia Press. Jakarta
Kingston, D.J. and R, Dharsana. 1979. Newcastle disease virus infection in Indonesian ducks. Philippines J. Vet. Med. 18 : 125--130
Lancaster, J.E. 1979. The Control of Newcastle Disease. Animal Health Division, Agriculture Canada. Otawa
(5)
42
Moyes, C.D. and P.M. Schulte. 2008. Principles of Animal Physiology. 2 Ed. Perarson International Edition. New York
Murphy, F., E.P. Gibbs, J. Horzinek, and M.J. Studdert. 1999. Laboratory diagnosis of viral diseases, Veterinary Virology, 3rd ed. New York: Academic Press
North, M.O. and D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual Fourth Edition. An Avi Book Published by Van Nostrand Reinhold, New York
Nuh, M. 2008. Flu Burung Ancaman dan Pencegahan. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta
Parede, L. 1987. Experimental Studies on the Pathogenesis of Newcastle disease in Vaccinated and Unvaccinated Bird. MSC thesis, the Graduate School of Tropical Veterinary Science, James Cook University, Townsvile, Australia Palmieri, S. 1989. Genetic relationship among lentogenic strains of Newcastle disease virus. Avian Dis. 33 :345--350
Payne, L.N. and K. Venugopal. 2000. Neoplastic disease: Marek’s Disease, Avian Leucosis and Reticuloendotheliosis 2: 544-554
Priyono, 2010. Mengenal Berbagai Macam Cara Vaksinasi pada Ternak Ayam Ras. http://catatanpeternak.blogspot.com. Diakses pada 21 Oktober 2013 pukul 15.00 WIB
PT. Agrinusa Jaya Sentosa. 2014. Result of Haemaglutination Inhibition Test. Jakarta
Ressang, A.A. 1986. Penyakit Viral Pada Hewan. University Indonesia Press. Jakarta
Ratriastuti, 2004. Mengenal lebih dekat avian influenza. Poultry Indonesia. Edisi Januari Hal 43--45
Setyaningsih, S and I.W.T. Wibawan. 2009. New Outbreak of Avian Infuenza (AI) Caused by Avian Influenza Virus of Subtype H5N1 Among
Vaccinated Chicken in Sukabumi West-Java 4: 32-33
Simanjuntak, L. 2002. Mengenal Lebih Dekat Tiktok Unggas Pedaging Hasil Persilangan Itik dan Entok. Agro-Media Pustaka. Jakarta
Srigandono, B. 1997. Produksi Unggas Air. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
(6)
43
Soejoedono, R.D. dan E. Handharyani. 2005. Flu Burung. Penebar Swadaya. Jakarta
Spradbrow, P.B. 1999. Epidemiology of newcastle disease and the economic of it control. Proc. of a Workshop. The University of Queensland, Australia
Suharno, B. dan K. Amri. 1995. Beternak Itik Secara Intensif. Penerbit Penebar Swadaya
Swayne, D.E. and J.W. Halvorson. 2006. Assessment of national strategies for control of high-pathogenicity avian influenza and low-pathogenicity notifiable avian influenza in poultry, with emphasis on vaccines and vaccination. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz.30(3): 839--870
_________. 2008. Epidemiology of avian influenza in agricultural and other man-made system. Di dalam: Swayne DE., editor. Avian Influenza. 1th Ed. Iowa: Blackwell Publishing. hlm 59--85
Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Tizard, I.R. 2004. Veterinary Immunology: An Introduction. 7th Ed. Saunders. USA
_________. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Penerjemah Soehardjo H. Universitas Airlangga. Surabaya
White, D.O. and F.J. Fenner. 2006. Medical Virology. Academic Press. USA Wilson, I.A., J.J. Skehel, and D.C. Willey. 1981. Structure of the haemagglutinin membrane glycoprotein of influenza virus at 3A rPesolution. Nature (London) 289: 366--373