Gambaran respon kebal newcastle disease pada ayam pedaging yang divaksinasi newcastle disease dan avian influenza pada berbagai tingkat umur

GAMBARAN RESPON KEBAL NEWCASTLE DISEASE
PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAKSINASI
NEWCASTLE DISEASE DAN AVIAN INFLUENZA PADA
BERBAGAI TINGKAT UMUR

ROBY RADITIA ARYOPUTRANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRACT
ROBY RADITIA ARYOPUTRANTO. The Immune Response of Newcastle Disease
(ND) on Broiler Chicken that were Vaccinated with Newcastle Disease and Avian
Influenza in Various Age. Under the direction of RETNO D. SOEJODONO and SRI
MURTINI
The aim of this study were to determine the immune response of Newcastle
Disease (ND) on broiler that vaccinated with Newcastle Disease (ND) and Avian
Influenza (AI) in various age. 1500 DOC broiler chicken strain Cobb in this study were
divided into 5 groups and each group consist of 300. Group A vaccinated with AI

vaccine in day 1, Group B vaccinated with AI vaccine in day 7, Group C vaccinated
with AI vaccine in day 10, Group D vaccinated with AI vaccine in day 14, and Group E
were unvaccinated as control. Each group were vaccinated with ND active vaccine at
day 4 by eye drop and booster at day 18 by drinking water. The antibody ND were
measured at day 1, 21, 35, 49. Measurement of ND antibody titer were done with
haemaglutination Inhibition test, and analyzed using one-way test of ANOVA by
Duncan’s test. The results of this study show AI vaccinated in broiler was affect the ND
antibody titer. The group that shows that best protective antibody titer of ND appeared
only in the group that was AI unvaccinated.
Key word : ND titer, Avian Influenza, Broiler chicken, Vaccination

RINGKASAN
ROBY RADITIA ARYOPUTRANTO. Gambaran Respon Kebal Newcastle Disease
pada Ayam Pedaging yang divaksinasi Newcastle Disease dan Avian Influenza
pada Berbagai Tingkat Umur. Dibimbing oleh RETNO D. SOEJODONO dan SRI
MURTINI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon kebal Newcastle Disease
(ND) pada ayam pedaging yang divaksin Newcastle Disease dan Avian Influenza pada
berbagai tingkat umur. Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam
pedaging strain Cobb sejumlah 1500 ekor yang dipelihara sejak umur sehari sampai

umur 49 hari. Ayam tersebut dibagi menjadi 5 (lima) kelompok dengan masing-masing
kelompok berjumlah 300 ekor. Kelompok A divaksinasi AI pada hari ke-1, kelompok B
divaksinasi AI pada hari ke-7, kelompok C divaksinasi AI pada hari ke-10, kelompok D
divaksinasi AI pada hari ke-14 dan kelompok E merupakan kelompok yang tidak
divaksinasi AI sebagai kontrol. Vaksinasi ND diberikan pada hari ke-4 melalui tetes
mata dan vaksinansi ulangan (booster) pada hari ke-18 melalui air minum pada semua
kelompok. Pengamatan yang dilakukan adalah mengukur titer antibodi terhadap ND
dari semua kelompok ayam pada hari ke-1, 21, 35 dan 49. Pengukuran titer antibodi
ND dilakukan dengan uji Haemaglutinasi inhibisi (HI), dan dianalisis menggunakan
one-way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil pengamatan menunjukkan
vaksinasi Avian Infuenza pada ayam pedaging berpengaruh terhadap pembentukan
antibodi Newcastle Disease dan pada kelompok ayam yang tidak divaksin dengan
vaksin AI yang dapat membentuk antibodi terhadap Newcastle Disease paling
protektif.
Kata kunci : Titer antibodi ND, Avian Influenza, Ayam Pedaging, Vaksinasi

GAMBARAN RESPON KEBAL NEWCASTLE DISEASE
PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAKSINASI
NEWCASTLE DISEASE DAN AVIAN INFLUENZA PADA
BERBAGAI TINGKAT UMUR


ROBY RADITIA ARYOPUTRANTO
B04069001

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala
pernyataan dalam skripsi saya yang berjudul Gambaran Respon Kebal Newcastle
Disease pada Ayam Pedaging yang divaksinasi Newcastle Disease dan Avian

Influenza pada Berbagai Tingkat Umur merupakan karya saya sendiri dengan
bimbingan Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS dan Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M.Si
serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar
pustaka pada bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011
Roby Raditia Aryoputranto
B04069001

Judul skripsi

Nama Mahasiswa
NRP

: Gambaran Respon Kebal Newcastle Disease pada Ayam
Pedaging yang divaksinasi Newcastle Disease dan Avian
Influenza pada Berbagai
Tingkat Umur

: Roby Raditia Aryoputranto
: B04069001

Menyetujui,

Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS

Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M.Si

Pembimbing I

Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus :


PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memenuhi tugas akhir di Fakultas Kedokteran Hewan IPB untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
respon kebal Newcastle Disease pada ayam pedaging yang divaksinasi Newcastle
Disease dan Avian Infuenza pada berbagai tingkat umur.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh.
Retno Damayanti Soejoedono, MS dan Dr. drh. Sri Murtini, MSi selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan perhatian, semangat serta dorongan kepada
penulis. Kepada CIVAS (Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies) yang
bekerjasama dengan Wageningen UR yang telah mendanai penelitian ini. Terimakasih
juga penulis ucapkan kepada teman sepenelitian Mega Sary S. dan Ivone Noor Arifin
yang telah banyak membantu dalam mendapatkan data penelitian ini. Kepada para
staf pengajar dan laboran di Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Bagian
Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga yaitu kedua orang
tua tercinta Dr. drh Trioso Purnawarman, M.Si dan drh. Rosy Roselina serta adik
tersayang Renardi Purnama Putra atas bantuan, perhatian, kasih sayang, semangat

dan nasihat yang diberikan selama ini.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun. Semoga
tulisan ini dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Mei 2011
Roby Raditia Aryoputranto

RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara putra Bapak Dr. drh.
Trioso Purnawarman, M.Si dan Ibu drh. Rosy Roselina serta dilahirkan di Bogor pada
tanggal 8 Maret 1989. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2000 di Sekolah
Dasar Negeri Pengadilan 3 Bogor, selanjutnya penulis menyelesaikan pendidikan
menengah pertama di SLTPN 12 Bogor, pendidikan menengah atas diselesaikan di
SMAN 2 Bogor pada tahun 2006. Penulis masuk perguruan Tinggi Institut Pertanian
Bogor melalui jalur BUD pada tahun 2006.
Penulis selama di Fakultas Kedokteran Hewan mengikuti beberapa
kelembagaan, antara lain adalah sebagai pengurus VEC (Veterinary English Club)
pada tahun 2007-2008. Penulis juga menjadi anggota teater dalam Komunitas Seni
Steril salah satu organisasi seni di FKH IPB, dan juga menjadi pengurus dan anggota

di Himpro HKSA (Hewan kesayangan dan Satwa Akuatik) pada tahun 2008-2010.
Kegiatan lain juga diikuti oleh penulis sebagai panitia dalam beberapa kegiatan dalam
kampus FKH IPB.

Bogor, Mei 2011
Roby Raditia Aryoputranto

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………........

x

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………….

xi

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………..


xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang……………………………………………………………………...
Tujuan Penelitian…………………………………………………………………...
Hipotesis Penelitian………………………………………………………………...
Manfaat Penelitian………………………………………………………………….

1
2
2
2

TINJAUAN PUTAKA
Newcastle Disease…………………………………………………………………
Avian Influenza……………………………………………………………………..
Sistem Kekebalan Pada Ayam……………………………………………………
Vaksin dan Vaksinasi………………………………………………………………

3

4
6
7

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian…………………………………………………….
Bahan dan Alat Penelitian…………………………………………………………
Metode Penelitian…………………………………………………………………..
Analisa Data………………………………………………………………………...

10
10
11
13

HASIL DAN PEMBAHASAN

14

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan………………………………………………………………………….
Saran………………………………………………………………………………...

18
18

DAFTAR PUSTAKA

19

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Rancangan Percobaan dan Pengambilan Sampel…………………………..

10

2. Titer Antibodi ND pada hari ke-1, ke-21, ke-35 dan ke-49………………….

13

2. 3. Koefisien Variasi pada hari ke-1, ke-21, ke-35 dan ke-49…………………..

17

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1.

Virus Avian Influenza……………………………………………………….

4

2.

Proses terjadinya stres dalam tubuh…………………………………….

14

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1.

Analisis Data Newcastle Disease………………………………………….

22

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu penyakit unggas yang banyak menyerang di beberapa negara di
dunia dan termasuk Indonesia adalah penyakit Avian Influenza (AI). Avian Influenza
adalah penyakit pernafasan pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A
dari famili Orthomyxoviridae. Wabah virus ini merupakan salah satu masalah bagi
industri perunggasan dan sangat meresahkan masyarakat karena virus ini dapat
mematikan 90-100% populasi ayam yang terinfeksi. Avian Influenza atau “fowl plague”
lebih dikenal dengan nama flu burung dilaporkan telah menyerang ternak unggas di
Indonesia sejak bulan Juli tahun 2003, tetapi pemerintah baru resmi mengumumkan
kejadian tersebut pada tanggal 25 Januari 2004 (Ditjennak 2004).
Newcastle Disease (ND) merupakan suatu penyakit pernafasan yang sistemik,
bersifat akut dan epidemik (mewabah) serta mudah sekali menular yang disebabkan
oleh

virus.

Virus

penyebabnya

adalah

golongan

Paramyxovirus

dari famili

Paramyxoviridae. Newcastle Disease atau yang sering disebut penyakit tetelo adalah
penyakit yang bersifat kompleks, karena penyakit ini memiliki gejala klinis dengan
derajat keparahan

dari ringan

hingga

parah

tergantung

strain

virus

yang

menginfeksinya. Gejala yang ditimbulkan dari yang ringan sampai yang berat antara
lain gangguan pernapasan ringan sampai kematian.
Penyakit ND sangat merugikan bagi usaha pemeliharaan ayam, khususnya
pada pemeliharaan yang dilaksanakan dengan sistem ekstensif (tradisional).
Newcastle Disease memiliki dampak ekonomi yang penting dalam

industri

perunggasan karena penyakit ini menimbulkan (1) morbiditas dan mortalitas yang
tinggi; (2) penurunan produksi telur baik kuantitas maupun kualitas; (3) gangguan
pertumbuhan; (4) biaya penanggulangan penyakit yang tinggi. Di Indonesia,
Newcastle Disease masih menjadi salah satu penyakit yang paling merugikan
peternakan ayam walaupun telah dilakukan berbagai usaha pengendalian seperti
vaksinasi. Menurut Arzey (2007) vaksinasi merupakan usaha yang paling efektif untuk
melindungi ayam pada berbagai tingkat umur terhadap penyakit Newcastle Disease.
Keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh kualitas vaksin, program vaksinasi,
vaksinator, dan peralatan vaksinasi. Hal itu dapat juga dipengaruhi oleh kondisi
kesehatan hewan. Hewan dapat mengalami stress akibat suatu penyakit, maupun
akibat kondisi pemeliharaan yang tidak nyaman. Kondisi stress dapat disebabkan dari
faktor lingkungan peternakan seperti suhu, kelembaban tinggi serta faktor lainnya
yang dapat mempengaruhi fisiologis dari hewan tersebut dalam membentuk kekebalan

|2

tubuh. Strategi vaksinasi juga mempengaruhi keberhasilan vaksinasi, sehingga
peternak sering melakukan vaksinasi berbagai jenis penyakit dalam waktu yang
bersamaan. Vaksinasi berbagai jenis vaksin dalam waktu yang bersamaan dapat
mempengaruhi kemampuan hewan dalam merespon sistem kekebalan. Menurut
penelitian Raggi & Lee, (1964) yang disunting dari Cardoso et al. (2005), vaksinasi
kombinasi vaksin IB-ND menyebabkan pembentukan terhadap ND kurang optimal
(Cardoso et al. 2005). Namun berdasarkan

penelitian Ebrahimi (2000) kombinasi

vaksin AI-ND tidak mempengaruhi respon pembentukan antibodi terhadap ND
maupun AI.
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi informasi bagi para peternak ayam di
Indonesia mengenai gambaran respon kebal Newcastle Disease terhadap vaksinasi
Newcastle Disease dan Avian Infuenza pada ayam pedaging. Informasi ini juga dapat
berguna dalam penyusunan program vaksinasi sehingga dapat mencegah terjadinya
penyakit Avian Infuenza dan memberikan keuntungan yang besar bagi peternak ayam.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran respon kebal Newcastle
Disease pada ayam pedaging yang divaksinasi Newcastle Disease dan Avian
Influenza pada berbagai tingkat umur.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah vaksinasi Avian Infuenza pada ayam pedaging
akan menyebabkan penurunan respon kebal terhadap Newcastle Disease.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi informasi bagi para peternak ayam di
Indonesia mengenai gambaran respon kebal Newcastle Disease terhadap vaksinasi
Newcastle Disease dan Avian Infuenza pada ayam pedaging. Informasi ini juga dapat
berguna dalam penyusunan program vaksinasi sehingga dapat mencegah terjadinya
penyakit Avian Infuenza dan memberikan keuntungan yang besar bagi peternak ayam.

TINJAUAN PUSTAKA
Newcastle Disease (ND)
Newcastle Disease (ND) pertama kali ditemukan di Newcastle Inggris pada
tahun 1926. Virus ini menyerang berbagai macam spesies burung dan unggas.
Tingkat kematian (mortalitas) pada ayam mencapai 90-100%. Penyakit ini sudah
menyebar luas di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, penyebab penyakit ini
adalah virus dari genus Paramyxovirus type 1 (APMV-1).
Newcastle Disease adalah penyakit viral yang menular dan merupakan salah
satu penyakit yang paling penting di dunia. Virus APMV-1 diketahui menginfeksi lebih
dari 250 spesies burung di 27 negara. Burung liar, terutama burung air (famili
Anseriformes), cenderung untuk membawa virus ini. Penyakit ini ditularkan melalui
sekresi, terutama feses dari burung yang terinfeksi serta penularan juga dapat terjadi
melalui pakan dan air minum yang terkontaminasi (CFSPH 2008).
Virus ND tersusun dalam rantai RNA tunggal tak bersegmen, memiliki amplop
yang terdiri atas lipid dua lapis yang mengandung protein matriks (M) dan dua spike
glikoprotein yang terbuka dari luar. Spikenya tersebut memiliki dua protein struktural
yaitu hemagglutinin yang dapat mengaglutinasi sel darah merah dan protein
neuraminidase dan biasa dikenal dengan protein hemagglutinasi-neuraminidase (HN).
Salah satu penyebab perbedaan keganasan diantara strain paramyxovirus adalah
terletak pada cepat atau lambatnya perbanyakan (multipikasi) virus bersangkutan
(Russel 1993).
Virus ND berdasarkan patogenesisnya dibagi menjadi 4 galur, yaitu (1) galur
velogenik yang menimbulkan penyakit dengan gejala klinis parah dan mortalitas
tinggi; (2) galur mesogenik, tingkat keganasannya sedang dan mortalitas rendah; (3)
galur lentogenik merupakan galur yang menimbulkan penyakit ringan dan tidak
menimbulkan kematian (Allan et al. 1978), serta (4) galur enterik asimtomatik yang
sama sekali tidak menimbulkan sakit seperti galur V4 dan Ulster 2C (Cross 1988).
Sebagian besar virus galur lentogenik ditemukan di burung liar. Kerentanan terhadap
penyakit bervariasi secara luas di antara unggas dan burung peliharaan. Anggota ordo
Phasianiformes (gallinaceous burung), khususnya ayam, sangat rentan terhadap
penyakit ini terutama ayam petelur.
Gejala klinis penyakit ND tergantung pada tingkat virulensi dari virus, Infeksi
virus galur velogenik dapat menimbulkan gejala gangguan pernapasan seperti sesak
nafas, ngorok, bersin serta gangguan syaraf seperti kelumpuhan sebagian atau total,
tortikolis serta depresi. Tanda lainnya adalah adanya pembengkakan jaringan di

|4

daerah sekitar mata dan leher. Infeksi virus galur mesogenik menimbulkan gejala klinis
seperti gangguan pernapasan yaitu sesak napas, batuk dan bersin. Pada ayam
petelur akan menyebabkan produksi telur menurun, terjadi kelainan bentuk telur dan
daya tetasnya menurun. Infeksi virus galur lentogenik menunjukkan gejala ringan
seperti penurunan produksi telur dan tidak terjadinya gangguan syaraf pada unggas
terinfeksi. Morbiditas dan mortalitas tergantung pada tingkat virulensi dari galur virus,
tingkat kekebalan vaksin, kondisi lingkungan dan kepadatan ayam di dalam kandang
(OIE 2002).

Avian Influenza (AI)
Wabah penyakit Avian Influenza (AI) pertama kali terjadi sekitar tahun 1800 di
Italia. Penyakit ini dikenal dengan nama Fowl Plaque (Murphy et al. 1999). Penyakit
Avian Influenza adalah penyakit influenza pada unggas yang disebabkan oleh virus
influenza tipe A dan termasuk dalam famili Orthomyxovirus. Virus ini berukuran 80–
120 nm, berbentuk pleomorphic, mempunyai amplop, mengandung

asam inti

ribonucleatid acid (RNA) dengan penjuluran glikoprotein yang mempunyai aktivitas
haemaglutinasi dan neurominidase. Virus AI tipe A dibagi menjadi beberapa subtipe
berdasarkan antigen haemaglutinin (H1–H16) yang berbeda secara antigenik dan
berbeda pula pada antigen neuraminidase (N1–N9). Penyakit influenza pada unggas
bersifat sangat akut dengan gejala klinis, berupa gangguan pernafasan bagian atas
dan gangguan reproduksi serta dapat menimbulkan kematian hingga 100% pada
infeksi virus yang sangat patogen (Easterday et al.1997).

Gambar 1 Virus Avian Influenza.

Penyakit yang disebabkan oleh virus AI ini dapat muncul dalam beberapa
bentuk yang berbeda, yaitu penyakit dengan tanda-tanda klinis berupa perdarahan
hebat dan kematian mendadak atau Highly Pathogenic AI (HPAI) maupun penyakit
dengan gejala klinis berupa gangguan pernafasan ringan atau bahkan tanpa tandatanda klinis (VSF-CICDA 2005).

Tanda-tanda klinis yang biasa ditunjukkan oleh

|5

unggas yang terserang Highly Pathogenic AI (HPAI) adalah pada bagian jengger, pial,
dan kulit perut yang tidak ditumbuhi bulu, berwarna biru keunguan disertai adanya
cairan dari mata dan hidung unggas, terjadi

pembengkakan di daerah muka dan

kepala. Selain itu terdapat pendarahan di bawah kulit (subkutan) berupa pendarahan
titik (ptechie) di daerah dada, kulit, dan telapak kaki, batuk, bersin, ngorok serta diare
hingga kematian. Masa inkubasi penyakit ini biasanya berlangsung selama 2 sampai 5
hari sejak terinfeksi oleh virus dan saat munculnya tanda-tanda klinis (VSF-CICDA
2005). Pada kasus yang sangat ganas dan akut ditandai dengan kematian tinggi
tanpa disertai gejala klinis atau

hewan tampak sehat, namun tiba-tiba mati

(Depkominfo 2008).
Flu burung sangat mirip dengan ND, Cholera unggas, Fowl pox yang akut, dan
penyakit saluran pernafasan atas pada unggas lainnya. Tanda-tanda klinis sangat
bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti subtipe virus yang
menginfeksinya, jenis dan umur unggas, serta penyakit-penyakit lainnya yang ada
saat itu. Jenis unggas yang peka terhadap penyakit AI adalah ayam, itik, kalkun, ayam
mutiara, burung puyuh, burung merpati, dan burung liar lainnya. (VSF-CICDA 2005).
Avian Influenza dapat ditularkan dari unggas ke unggas lainnya atau dari
peternakan ke peternakan lainnya melalui dua cara. Cara pertama melalui kontak
langsung dari unggas yang terinfeksi kepada hewan peka. Cara penularan kedua
melalui kontak tidak langsung antara hewan sehat dengan benda/kandang/peralatan
yang terkena percikan cairan atau lendir yang berasal dari hidung dan mata, paparan
muntahan. Penularan berperantara angin memiliki peran penting dalam penularan
penyakit pada satu kandang. Unggas air berperan sebagai reservoir AI meskipun
unggas tidak menunjukaan gejala klinis tetapi virus ada di dalam saluran usus dan
akan dikeluarkan melalui feses (Depkominfo 2008).
Avian Influenza dapat disebarkan dari unggas keunggas juga bisa melalui
feses, saliva dan sekresi nasal. Feses dapat mengandung virus dalam jumlah banyak
sehingga penularan secara fecal-oral merupakan jalur utama penyebaran pada
unggas liar (reservoir). Namun demikian, beberapa isolat H5N1 terkini mempunyai
jumlah atau kandungan yang lebih banyak pada sampel trakea dibandingkan dengan
feses. Hal ini kemungkinan menjadi pertanda bahwa jalur penularan utama virus ini
bukan lagi secara fecal-oral pada beberapa spesies (CFSPH 2008).
Penyakit AI yang disebabkan oleh subtipe H5N1 dapat ditanggulangi dengan
melakukan pemusnahan hewan tersangka dan tindakan biosekuriti, sedangkan
pencegahan penyakit dapat dilaksanakan dengan program vaksinasi sesuai sub tipe
virus kasus lapang (Frame 2000). Vaksinasi AI umumnya dilakukan pada unggas

|6

komersial khususnya ayam petelur, karena vaksinasi AI menggunakan vaksin inaktif
yang diberikan pada umur sepuluh hari dan diulang pada satu bulan kemudian.

Sistem Kekebalan Pada Ayam
Ayam memiliki sistem kekebalan tubuh yang berperan melawan antigen asing
yang masuk dan menginfeksi tubuh. Sistem kekebalan tubuh pada ayam berupa
sistem kekebalan non spesifik (alami) dan sistem kekebalan spesifik (adaptif)
(Carpenter 2004). Mekanisme kedua sistem kekebalan tersebut tidak dapat dipisahkan
satu sama lainnya, keduanya saling meningkatkan efektifitasnya dan terjadi interaksi
sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan serasi (Fenner dan
Fransk 1995). Sistem kekebalan non spesifik merupakan sistem kekebalan secara
alami diperoleh tubuh dan proteksi yang diberikan tidak terlalu kuat. Semua agen
penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan dihancurkan oleh sistem kekebalan
tersebut sehingga proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap penyakit tertentu.
Sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem berperantara sel (Cell Mediated Immunity)
dan sistem kekebalan berperantara antibodi (Antibody Mediated Immunity) atau yang
lebih dikenal dengan sistem kekebalan humoral (Butcher dan Miles 2003).
Antigen yang mampu melewati sistem pertahanan non spesifik akan bertemu
dengan makrofag yang akan berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells (APC).
Antigen Presenting Cells akan mempresentasikan antigen kepada limfosit T melalui
molekul Major Histocompatibility Complex (MHC). Sel T helper (Th) mengenali antigen
yang berikatan dengan MHC II. Sel T cytotoxic atau sel T penghambat mengenali
antigen yang berikatan dengan MHC I. Interaksi sel Th dengan APC akan berperan
dalam kekebalan humoral dengan menginduksi keluarnya sitokin yang merupakan alat
komunikasi antar sel. Kemampuan interaksi ini akan menginduksi pematangan sel
limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi (Weir 1990). Sistem
kekebalan ayam merupakan suatu mekanisme yang digunakan dalam tubuh ayam
sebagai perlindungan terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pengaruh dari
lingkungan sekitarnya. Sistem kekebalan ini bertugas melakukan pertahanan terhadap
infeksi mikroorganisme atau bahan organik berbahaya.
Proses diperolehnya rangsangan kekebalan antara lain dapat berupa
kekebalan perolehan/dapatan yang didapatkan secara aktif ada pula yang didapat
secara pasif. Kekebalan perolehan aktif diperoleh karena adanya rangsangan agen
penyakit, sebagai contoh jika ayam divaksin atau setelah sembuh dari penyakit. Saat
penyakit masuk ke dalam tubuh, secara langsung tubuh akan membentuk kekebalan

|7

yang spesifik terhadap agen penyakit itu. Vaksinasi pada ayam berarti memasukkan
bibit penyakit ke dalam tubuh ayam yang sudah dilemahkan dan menyebabkan tubuh
menjadi kebal karena terbentuknya antibodi (ditemukan dalam serum darah) pada
ayam yang divaksinasi. Kekebalan tubuh terhadap penyakit dapat dirangsang dengan
membentuk antibodi dengan bantuan antigen. Kekebalan perolehan pasif merupakan
kekebalan yang diperoleh dari sumber luar, seperti dari sang induk melalui telur.
Kuning telur yang terbentuk dalam tubuh induk ayam mengandung antibodi.
Kekebalan ini juga dapat terjadi dengan jalan penyuntikan antiserum ke ayam yang
rentan.

Vaksin dan Vaksinasi
Vaksin merupakan mikroorganisme agen penyakit yang telah dilemahkan
virulensinya atau dimatikan dan apabila diberikan pada hewan tidak menimbulkan
penyakit melainkan dapat merangsang pembentukan zat kebal yang sesuai dengan
jenis vaksinnya (Suska 2008). Vaksin secara umum adalah bahan yang berasal dari
mikroorganisme atau parasit yang dapat merangsang kekebalan terhadap penyakit
yang bersangkutan sehingga tercapainya resistensi (Tizard 1988).

Vaksin terbagi

menjadi beberapa jenis yaitu vaksin hidup (lived), vaksin dimatikan (killed), vaksin
subunit, dan vaksin rekombinan. Virus yang digunakan dalam vaksin hidup adalah
virus yang dilemahkan dengan tujuan untuk menghilangkan sifat virulensinya,
sedangkan pada vaksin mati digunakan virus yang dimatikan (dengan pemberian
formalin atau propiolakton) dan ditambah adjuvan tetapi masih memiliki sifat
imunogenitasnya (Tizard 1988). Vaksin Newcastle Disease dapat berasal dari virus
galur lentogenik, mesogenik maupun velogenik. Virus lentogenik merupakan strain
virus ND yang mempunyai tingkat virulensi dan mortalitasnya rendah yaitu strain B1
(Hitchner), strain La Sota, strain F (FAO 2004). Strain F memiliki tingkat virulensi
paling rendah dibandingkan dengan strain lain pada virus galur lentogenik. Vaksin
dengan strain F paling efektif apabila digunakan secara individu. Strain B1 memiliki
tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan dengan strain F. Aplikasi vaksin strain B1
dilakukan melalui air minum atau penyemprotan/spraying. Pemberian vaksin B1
dilakukan pada day-old-chick (DOC) kemudian dilanjutkan dengan vaksin strain La
Sota pada umur 10-14 hari (Fadilah dan Polana 2004).
Virus galur mesogenik memberikan kekebalan yang lebih lama dibandingkan
kekebalan yang dihasilkan oleh virus galur lentogenik. Namun pemberian vaksin galur
mesogenik pada ayam yang belum mempunyai kekebalan dasar dapat menimbulkan

|8

reaksi post-vaksinasi dan penurunan produksi telur (Nugroho 1981). Virus galur
mesogenik yang dipakai sebagai vaksin diantaranya adalah strain Roakin, strain
Mukteshwar, strain Kommarov, dan strain Bankowski (Sudarjat 1991). Virus galur
velogenik dibuat sebagai bahan vaksin dalam bentuk vaksin killed (Nugroho 1981), hal
ini disebabkan karena virus galur velogenik merupakan virus yang mempunyai tingkat
virulensi sangat tinggi (FAO 2004).
Vaksinasi akan berhasil bila ditunjang dengan penggunaan vaksin yang
berkualitas tinggi serta cara persiapan dan pelaksanaan vaksinasi yang benar. Prinsip
dasar vaksinasi adalah antigen vaksin harus diberikan terlebih dahulu pada ayam
sebelum terjadinya proses infeksi oleh virus lapang. Vaksinasi yang optimal yaitu
dengan memberikan vaksin yang dapat memberikan perlindungan menyeluruh pada
semua ayam. Kualitas vaksin yang baik sangat dipengaruhi oleh cara pembuatan
vaksin, proses pendistribusian sampai ke peternakan dan penyimpanan sebelum
pelaksanaan vaksinasi. Efektifitas vaksin ditentukan oleh jumlah titer virus dan masa
kadaluarsa. Selain itu, program vaksinasi, vaksinator, dan peralatan vaksinasi beserta
sarana/prasarana

peternakan

ayam

memegang

peranan

dalam

keberhasilan

penanggulangan penyakit yang disebabkan oleh virus (Machdum 2009). Menurut
Burgos dan Burgos (2007), vaksinasi pada unggas dapat memberikan hasil yang
bervariasi tergantung pada kondisi penerapan di lokasi. Vaksin dapat menurunkan
peluang ekskresi virus dan dinamika penularan, meningkatkan resistensi terhadap
infeksi dan mengurangi timbulnya gejala klinis. Vaksinasi telah terbukti nyata mampu
menurunkan peluang terjadinya ekskresi virus sehingga penyebaran virus di
lingkungan dapat dihindari.
Tujuan vaksinasi adalah untuk pencegahan penyakit yang disebabkan oleh
virus terutama untuk mengurangi gejala klinis dan kematian. Prinsip dasar digunakan
vaksin untuk pencegahan penyakit viral adalah penyakit tersebut telah terbukti
terdapat pada suatu wilayah atau daerah lokasi peternakan. Vaksin yang digunakan
harus mengandung konsentrasi antigen yang cukup untuk menstimulasi terjadinya
kekebalan pada ayam dan menggunakan adjuvant yang berkualitas tinggi untuk
mengurangi stres pada ayam serta mempunyai tingkat keamanan, potensi, dan
efektifitas yang tinggi (Machdum 2009).
Manfaat melakukan vaksinasi terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus
adalah mencegah kerugian ekonomi yang diakibatkan terjadinya kasus penyakit yaitu
dengan menekan kematian, gangguan pertumbuhan dan penurunan produksi telur.
Vaksinasi juga diharapkan dapat menekan penyebaran virus (shedding) dan kematian
ayam yang peka terhadap infeksi virus penyakit. Vaksinasi tidak dapat menghilangkan

|9

infeksi tergantung tingkat kesakitan pada ayam, ataupun penyebaran virus pada
lingkungan

jika

pada

kenyataannya

jumlah

bibit

penyakit

yang

ada

dilingkungan/dilapangan jauh lebih besar dibandingkan jumlah antibodi dalam tubuh
ayam. Vaksinasi harus disertai tindakan biosekuriti (Machdum 2009). Efektifitas
program vaksinasi dapat dilihat dari peningkatan secara keseluruhan status kesehatan
dan produktifitas dari populasi yang telah divaksinasi. Indikatornya adalah tingkat
mortalitas dan mobiditas, parameter lainnya seperti rasio konversi pakan/Feed
Convertion Ratio (FCR), pencapaian bobot badan dan keseragaman (uniformity),
produksi telur dan kualitas telur yang dihasilkan (Marangon dan Busani 2006).

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 4 (empat) bulan dimulai dari bulan September
2008 sampai dengan Januari 2009. Pemeliharaan ayam pedaging dilakukan di
kandang Supadma, RT 03/RW 01, Kampung Cilubang Lebak, Desa Situ Gede,
Kecamatan Bogor Barat. Pengujian titer antibodi Newcastle Disease dilakukan di Unit
Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan untuk penelitian :
Hewan percobaan
Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam pedaging strain Cobb
dengan jumlah 1500 ekor yang dipelihara sejak umur sehari/day-old-chick (DOC)
sampai umur 49 hari.
Vaksin ND
Vaksin Newcastle Disease (ND) yang digunakan dalam studi ini adalah vaksin
Hipra Viar S® (strain Lasota), sedangkan vaksin Avian infuenza (AI) adalah vaksin
lokal killed oil emulsion vaccines strain H5N1 (strain Legok dan Jawa Barat).
Pakan dan Minum
Pakan yang digunakan pada pemeliharaan ayam pedaging adalah pakan ayam
pedaging komersial jenis starter yang diberikan setiap pagi dan sore sesuai standar
jumlah pakan per hari per ekor, sedangkan air minum diberikan secara ad libitum.
Kandang dan perlengkapannya
Pada penelitian ini digunakan satu kandang yang berukuran 7 x 40 meter,
dibagi menjadi 5 (lima) kelompok yang dibatasi oleh sekat pagar yang terbuat dari
bambu setinggi setengah meter dan di lapisi oleh seng. Kandang juga dilengkapi
dengan tempat minum dan tempat pakan yang berjumlah masing-masing 60 buah,
terbuat dari plastik serta lampu listrik sebagai penerangan saat malam hari.
Kandang ayam tersebut juga dilengkapi dengan alat pemanas buatan
(brooder) yang digunakan selama 14 hari masa pemeliharaan mulai DOC sampai
umur 15 hari.

| 11

Alat yang digunakan dalam penelitian ini :
Pada penelitian ini digunakan alat-alat sebagai berikut :
Di kandang :
Syringe 1 ml, syringe 3 ml, cool box dan APD (Alat Pelindung Diri) yang terdiri
dari sepatu bot, wearpack, sarung tangan (gloves), masker dan penutup rambut.
Di laboratorium :
Syringe 3 ml, microplate dengan dasar berbentuk V, mikropipet, mikrotip,
tabung reaksi, sentrifus, lap dan wadah.
Metode Penelitian
Rancangan Percobaan
Ayam pedaging sebanyak 1500 ekor dibagi menjadi 5 (lima) kelompok dengan
masing-masing kelompok berjumlah 300 ekor. Kelompok A divaksinasi AI pada hari
ke-1, kelompok B divaksinasi AI pada hari ke-7, kelompok C divaksinasi AI pada hari
ke-10, kelompok D divaksinasi AI pada hari ke-14 dan kelompok E merupakan
kelompok yang tidak divaksinasi terhadap AI (kontrol). Vaksinasi ND diberikan pada
hari ke-4 melalui tetes mata, kemudian dilakukan vaksinansi ulangan (booster) pada
hari ke-18 melalui air minum pada semua kelompok (Tabel 1). Pengamatan yang
dilakukan (variabel) adalah mengukur titer antibodi ND pada hari ke-1, 21, 35 dan 49.
Tabel 1 Rancangan percobaan dan pengambilan sampel
Hari

Kelompok
Vaksin

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
12
13
14
15
16
17
18
21
35
49

A
ND



B
AI


ND

C
AI

ND

D
AI

ND

AI

E
(kontrol)
ND AI

Pengambilan
Sampel
V






















V
V
V

| 12

Pengambilan sampel (sampling)
Sampel darah diambil secara acak sebanyak 20 sampel untuk masing-masing
kelompok pada hari ke-1, 21, 35 dan 49. Pengambilan darah pada DOC hari ke-1
sebanyak 0.5 ml melalui jantung dengan menggunakan syringe 1 ml, sedangkan
pengambilan darah pada ayam pedaging yang telah berumur di atas 2 minggu diambil
sebanyak 1-2 ml dari vena di sayap (Vena Brachialis) menggunakan syringe 3 ml.
Sampel darah disimpan dalam kondisi dingin (5-7 ºC) didalam cool box dibawa ke
laboratorium. Darah didiamkan selama 24 jam kemudian dipisahkan serumnya dari
bekuan darah. Serum yang diperoleh dipisahkan dan disimpan pada suhu -20 ºC
sampai saat pemeriksaan di laboratorium.
Evaluasi Titer Antibodi Terhadap ND
Titer antibodi ND dilakukan dengan menggunakan uji Hambat Aglutinasi
(HI Test) mikrotitrasi menurut metode OIE (2008).
Sebelum dilakukan uji HI terlebih dahulu dilakukan pembuatan :


Virus standar 4 HAU/25µl yang diperoleh dari pengenceran stok virus yang
telah dititrasi sebelumnya.



Suspensi sel darah merah ayam 1% :
Darah utuh (whole blood) ditambahkan antikoagulan Natrium Sitrat 3.8%,
disentrifugasi pada 1500 rpm selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk
dibuang, sedangkan sel darah merah yang mengendap dicuci/dibilas dengan
NaCl fisiologis pada tempat yang sama, kemudian disentrifugasi kembali.
Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali. Hasilnya didapatkan sel darah merah
dengan

konsentrasi

100%, kemudian

dilakukan

pengenceran

dengan

penambahan NaCl fisiologis secara bertingkat hingga didapatkan sel darah
merah 1%.
Prosedur uji HI mikrotitrasi :


PBS sebanyak 25 l dimasukkan ke dalam sumur microplate berbentuk V
(V bottom microplate).



25 l serum ayam dimasukkan pada lubang pertama dan dilakukan
pengenceran menggunakan micropipette dengan cara menghisap dan
mengeluarkan campuran sebanyak 5 kali lalu memindahkan 25 l campuran
ke sumur kedua. Pengenceran dilakukan hingga sumur ke 12. Pada sumur
ke 12, campuran sebanyak 25 l dibuang.



Suspensi virus ND standar (4 HAU) sebanyak 25 l dimasukkan kedalam
sumur berisi serum yang telah diencerkan lalu di homogenkan dan inkubasi
pada suhu 4 0C selama 60 menit.

| 13



Tambahkan RBC 1% sebanyak 25 l dimasukkan ke semua sumur.



Plate digoyang selama 10 detik untuk menghomogenkan larutan dan
inkubasi pada suhu 4 0C selama 60 menit.



Hasil diamati seteleh

sumur kontrol positif tampak

adanya

reaksi

penghambatan aglutinasi.
Titer antibodi dihitung dengan melihat batas akhir penghambatan aglutinasi sempurna.
Batas akhir pada pengenceran tertinggi yang mampu menghambat terjadinya
aglutinasi secara sempurna dan disebut dengan “end point”.
Rataan titer antibodi dihitung dengan menggunakan Geometric Mean Titre
(GMT) dengan rumus :
Log2 GMT = ( Log2 t1 )( S1 ) + ( Log2 t1 )( S1 ) + … + ( Log2 tn )( Sn )
N

Keterangan : N = Jumlah contoh serum yang diamati
t = Titer antibodi pada pengenceran tertinggi (yang masih dapat
menghambat aglutinasi sel darah merah)
S = Jumlah contoh serum yang bertiter t
n = Titer antibodi pada sampel ke-n
Koefisien Variasi (CV) dari respon kekebalan dinyatakan dengan rumus,
KV =

S
x 100%
x

KV = koefisien variasi
S = simpangan standar

x = rata-rata titer antibodi
Analisis Data
Data dianalisis dengan uji ANOVA (analysis of variance) dan uji Duncan
(Duncan multiple range test) dengan tingkat kepercayaan 95% (Mattjik dan
Sumertajaya 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Titer Antibodi Newcastle Disease
Respon kekebalan terhadap Newcastle Disease pada ayam pedaging yang
divaksinasi Newcastle Disease (ND) dan Avian Influenza (AI) menunjukan rataan titer
antibodi Newcastle Disease (ND) yang berbeda-beda pada setiap kelompoknya yang
ditunjukkan dengan nilai GMT tersaji dalam Tabel 2. Titer antibodi pada kelima
kelompok di hari pertama menunjukkan angka yang cukup tinggi dan tidak berbeda
nyata yaitu berkisar antara 25.1-25.6 (Tabel 2). Antibodi yang terukur pada awal
penelitian tersebut merupakan antibodi asal induk (maternal antibody). Hal ini
menunjukan bahwa titer antibodi dari ayam yang digunakan seragam dan protektif.
Menurut Nahamya et al. (2006) ayam dikatakan protektif terhadap kematian akibat uji
tantang virus ND yang virulen bila memiliki titer antibodi sebanyak 2 3 atau lebih.
Menurut Alders dan Spradbrow (2001), saat ini seluruh strain vaksin ND dapat
melindungi unggas terhadap virus lapang dengan titer antibodi sebanyak 23.
Menurut Putra (2005), antibodi asal induk adalah antibodi pada anak ayam
yang diperoleh dari induk secara pasif melalui kuning telur. Antibodi dari serum induk
ayam dipindahkan ke kuning telur melalui pembuluh darah ketika telur masih dalam
ovarium. Antibodi dalam serum induk berasal dari hasil vaksinasi pada induk. Antibodi
asal induk sangat diperlukan bagi ayam yang baru menetas, karena pada saat itu
sangat rentan terpapar penyakit virus. Oleh sebab itu, keberadaan antibodi asal induk
akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan hidup ayam di usia muda (Bermudez
dan Bruce 2003). Menurut Rahman et al. (2002) titer antibodi terhadap ND asal induk
tersebut akan berkurang setengahnya (waktu paruh) setiap 5 hari hingga antibodi
tersebut habis.
Tabel 2 Titer Antibodi ND pada hari ke-1, ke-21, ke-35 dan ke-49
A

B

C

D

E

AI hari ke-1

AI hari ke-7

AI hari ke-10

AI hari ke-14

Kontrol

Hari ke-1

25.6 ± 1.36a

25.6 ± 1.39a

25.1 ± 1.33ab

25.3 ± 1.07a

25.4 ± 0.94a

Hari ke-21

24.0 ± 0.89c

24.2 ± 1.46bc

25.8 ± 2.17a

23.5 ± 1.20cd

25.0 ± 2.75ab

Hari ke-35

23.8 ± 1.91cd

23.6 ± 1.23cd

23.4 ± 1.72dc

23.7 ± 1.80cd

25.8 ± 1.36a

Hari ke-49

21.4 ± 1.18e

22.9 ± 1.38d

21.8 ± 1.02e

21.7 ± 0.67e

21.5 ± 0.51e

Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan
perbedaan yang nyata

| 15

Pada hari ke-21 pada kelompok A, B, dan D mengalami penurunan titer
antibodi dibandingkan saat awal penelitian, penurunan titer berkisar yaitu antara
21.6-21.8. Penurunan titer ini karena pembentukan antibodi pasca vaksinasi ND pada
hari ke-4 dan ke-18 di kelompok tersebut tidak optimal. Hal ini diduga karena adanya
perlakuan vaksinasi AI yang jarak vaksinasinya dengan vaksinasi ND terlalu dekat
pada ayam dikelompok tersebut. Pada kelompok C yang divaksinasi AI dilakukan
6 hari setelah vaksinasi ND mengalami kenaikan titer antibodi yaitu menjadi 25.8 ± 2.17 ,
sedangkan kelompok E (kelompok kontrol) yang tidak divaksinasi AI walaupun
mengalami penurunan tetapi mampu menghasilkan angka yang lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan kelompok A, B dan D, yaitu 25.0 ± 2.75. Jarak ideal bagi tubuh
ayam untuk membentuk kekebalan oleh vaksinasi yaitu 7-8 hari setelah vaksinasi
pertama dan sebelum vaksinasi selanjutnya, sehingga tubuh tidak stres akibat
vaksinasi sebelumnya. Kelompok ayam yang divaksinasi AI kurang dari 1 minggu dari
vaksinasi ND akan mengalami stres. Kondisi stres sangat mempengaruhi fisiologis
ayam untuk membentuk kekebalan terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh.
Aktivasi Amygdala
Respon Neurologis
Hipotalamus

Sistem Otonom

Respon Hormonal

Corticotropin Releasing Factor
Hipofisis

Stimulasi Saraf Sensorik

Respon Hormonal
Adrenocortocotropic Hormone
Stimulasi Kelenjar Adrenal
Respon Stres

Gambar 2 Proses terjadinya kejadian stress pada tubuh.

| 16

Hormon Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) yang dihasilkan dari keadaan
stres dapat menekan sistem kekebalan tubuh hewan untuk memproduksi antibodi.
Faktor stres yang disebabkan genetik performace dari ayam pedaging (fast growth)
akan meningkatkan hormon ACTH dalam darah, sehingga akan merusak jaringan
limfoid yang menyebabkan atropi dan menurunkan aktifitas sel T, mekanisme
terjadinya stres dalam tubuh diterangkan oleh gambar 2. Vaksinasi AI yang cukup
ideal diberikan kepada ayam pada hari ke-10 dikarenakan penurunan titer antibodi ND
tidak terjadi dibandingkan dengan pemberian vaksinasi pada hari lain.
Hasil pengambilan sampel pada hari ke-35, titer antibodi ayam pada kelompok
A, B, C dan D masih baik yaitu 23.8 ± 1.91, 23.6 ± 1.23, 23.4 ± 1.72 dan 23.7 ± 1.80, sedangkan titer
antibodi pada kelompok E menunjukkan kekebalan ayam pada kelompok ini sangat
baik yaitu 25.8 ± 1.36. Hal ini menunjukan adanya pengaruh dari vaksinasi AI terhadap
pembentukan titer antibodi ND, kelompok E yang tidak divaksinasi AI menunjukan titer
antibodi ND yang lebih tinggi dari kelompok lainnya. Data di atas menunjukkan bahwa
kelima kelompok ayam tersebut memiliki kekebalan terhadap ND yang masih protektif.
Titer antibodi ini memberikan indikasi terhadap status kekebalan unggas.
Kekebalan tubuh dari unggas (host) dipengaruhi faktor antara lain yaitu jenis
dan umur unggas, tipe vaksin (inaktif atau aktif), dosis, dan rute vaksinasi akan
mempengaruhi hasil dan proses dari antigen oleh sel kekebalan tubuh individu hewan
(Swayne 2008). Vaksinasi dapat memberikan respon kekebalan yang kurang baik
pada unggas (host) dikarenakan beberapa faktor seperti terlalu sedikit antigen untuk
vaksin yang sama dengan strain di lapangan, dosis uji tantang yang berlebihan, dan
kekurangan bahan antigen vaksin yang dapat merangsang respon kekebalan yang
protektif.
Sampel dari kelima kelompok pada hari ke-49, menunjukkan titer antibodi yang
tidak protektif yaitu 21.4

± 1.18

, 22.9

± 1.38

, 21.8

± 1.02

, 21.7

± 0.67

dan 21.5

± 0.51

. Hal

ini

dikarenakan respon terhadap vaksin yang diberikan sudah menurun, sehingga tubuh
tidak menghasilkan antibodi. Keadaan ini tidak terlalu berpengaruh pada pemeliharaan
ayam pedaging karena umumnya sudah dipanen pada umur berkisar antara 28-35
hari.
Koefisien Variasi (CV)
Koefisien variasi merupakan besarnya nilai keragaman titer antibodi yang
terbentuk dalam masing-masing kelompok hewan yang divaksinasi. Makin besar nilai
koefisian variasi maka makin besar pula ketidak seragaman titer antibodi antar individu

| 17

pada kelompok tersebut. Koefisien variasi dapat menggambarkan sebaran titer
antibodi pada kelompok hewan yang diperiksa. Nilai koefisien variasi lebih kecil atau
sama dengan 35% menunjukan sebaran antibodi yang homogen, sedangkan nilai
koefisien variasi lebih kecil dari 35% menunjukan sebaran antibodi yang tidak
homogen, menurut petunjuk produksi flock check, karena nilai koefisien variasi lebih
besar dari 35% menunjukan bahwa tingkat keseragaman titer antibodi dari kelompok
tersebut kurang dari 65%.
Tabel 3 Koefisien Variasi pada hari ke-1, ke-21, ke-35 dan ke-49
A

B

C

D

E

Hari ke-1

24.4%

25.1%

26.2%

20.4%

17.4%

Hari ke 21

22.5%

35.2%

37.8%

34.1%

55.1%

Hari ke-35

51.1%

34.8%

51.5%

49.9%

23.5%

Hari ke-49

87.6%

48.7%

58.3%

40.7%

35.2%

Nilai koefisen variasi pada kelompok A, B, C, D dan E hari ke-1 menunjukan
nilai yang seragam yaitu 24.4%, 25.1%, 26.2%, 20.4% dan 17.4%. Hal ini dikarenakan
nilai titer antibodi tersebut berasal dari maternal antibody dari induk dan sumber anak
ayam tersebut dari perusahaan yang sama sehingga induk yang dipelihara oleh
perusahaan penyedia ayam DOC ini memiliki titer yang seragam pula.

Pada hari

ke-21, ke-35 dan ke-49, nilai koefisien variasi pada ke-5 kelompok menunjukkan
penurunan keseragaman, penurunan keseragaman ini bisa disebabkan oleh
pemberian vaksin ND dilakukan melalui rute air minum. Vaksinasi ND melalui rute air
minum dapat memberikan nilai titer antibodi ND yang bervariasi, hal tersebut
dikarenakan respon tubuh individu hewan masing-masing berbeda dan juga konsumsi
air minum masing-masing ayam tidak sama menyebabakan dosis yang masuk ke
setiap tubuh berbeda dan antibodi yg terbentuk pada setiap individu cenderung tidak
seragam. Tingkat keseragaman yang baik dari pembentukan antibodi sangat berperan
dalam menentukan tingkat perlindungan terhadap suatu penyakit.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Vaksinasi Avian Infuenza pada ayam pedaging menyebabkan pembentukan
titer antibodi Newcastle Disease yang kurang optimal. Influenza pada ayam pedaging
jika diperlukan dapat diberikan pada umur 10 hari.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efektifitas vaksinasi Avian
Infuenza pada ayam pedaging bila dilakukan uji tantang dengan virus Avian Infuenza,
dihubungkan dengan titer antibodi Newcastle Disease.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Vaksinasi Avian Infuenza pada ayam pedaging menyebabkan pembentukan
titer antibodi Newcastle Disease yang kurang optimal. Influenza pada ayam pedaging
jika diperlukan dapat diberikan pada umur 10 hari.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efektifitas vaksinasi Avian
Infuenza pada ayam pedaging bila dilakukan uji tantang dengan virus Avian Infuenza,
dihubungkan dengan titer antibodi Newcastle Disease.

DAFTAR PUSTAKA
Akoso BT. 1998. Kesehatan Unggas Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh dan
Peternak. Yogyakarta : Kanisius.
Alders R, Spradbrow P. 2001. Controlling Newcastle Disease in Village Chickens A Field
Manual. ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/010/ah930e/ah930e.pdf. [15 agustus 2010].
Allan, WH, Lancaster JF, Toth B. 1978. Newcastle Disease Vaccines. Their Production
and Use. Rome : Food and Agricultural Organisation.
Alexander DJ. 1991. Newcastle disease and other Paramyxovirus Infection. Poultry
Disease. USA : Iowa state University Press, Amess Lowa.
Arzey G. 2007. Newcastle Disease-compulsory vaccination. New South Wales : NSW
Department of Primary Industries.
Bermudez AJ, Bruce SB. 2003. Disease Prevention and Diagnosis. Di dalam : YM Saif
et al. Disease of Poultry Ed ke-II. Iowa : Blackwell Publishing, hlm 17.
Burgos S, Burgos SA. 2007. National Vaccination Campaigns Against Highly Pathogenic
Avian Influenza Outbreaks in Developing Nations. International J Poultry Sci
6(7):531-534.
Butcher GD, Miles RD. 2003. The Avian Immune System. Edis.ifas.ufl.edu. [13 Juli 2009].
Cardoso WM, Aguiar FJLC, Romão JM, Oliviera WF, Salles RPR, Teixeira RSC,
Sobral MHR. 2005. Effect of Associated Vaccine on the Interference between
Newcastle Disease Virus and Infectious Bronchitis Virus in Broilers.
Brazilian J Poultry Sci 7(3).
Carpenter S. 2004. Avian Immune system. www.holisticbird.com. [13 Juli 2009].
[CFSPH] Center for Food Security and Public Health. 2008. Newcastle Disease.
www.cfsph.iastate.edu.[26 Juni 2009].
[CFSPH] Center for Food Security and Public Health. 2008. High Pathogenicity Avian
Influenza. Iowa State University, Institute for International Cooperation in Animal
Biologics, an OIE Collaborating Center.
[CFSPH] Center for Food Security and Public Health. 2010. High Pathogenicity Avian
Influenza. www.cfsph.iastate.edu.[9 Agustus 2010].
Cross GM. 1988. Newcastle Disease: Vaccine production. In: Newcastle Disease (ed.
D.J. Alexander). London : Kluwer Academic Publication, hlm 333-346.
Daulay S. 2005. Peluang dan Potensi Burung Liar dalam Penyebaran Newcastle Disease
di Sulawesi Selatan [disertasi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.

| 20

Darminto. 1992. Efisiensi Vaksinasi Penyakit Tetelo (Newcastle Disease) pada Ayam
Broiler. Penyakit Hewan 24:4-8.
[Depkominfo]. 2008. Flu Burung Ancaman dan Pencegahan. Jakarta : Sedia Barus.
[Direktorat Jendral Peternakan] Ditjenak. 2004. Prosedural Operasional Standar
Pengendalian Penyakit Avian Influenza di Indonesia. Direktorat Jendral
Peternakan Departemen Pertanian RI. Jakarta.
Easterday BC, Hinshaw VS, Halvorson DA. 1997. Influenza: Diseases of Poultry. Calnek
BW, Barnes HJ, Beard CW, Mcdougald LR, Saif YM (ed.). USA : Iowa, hlm. 583595.
Ebrahimi MM, Mohaddampuor M, Tavassoli A, Shahsavandi, S. 2000. Vaccination of
Chicks with Experimental Newcastle disease and Avian Influenza Oil-emulsion
Vaccines by in Ovo Inoculation. Arch. Razi Ins. 51.
Fadilah R, Polana A. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Depok.
PT. Agromedia Pustaka.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2004. Newcastle Disease Vaccines : an
Overview. www.fao.org. [17 April 2009].
Fenner J, Fransk. 1995. Virologi Veteriner. Edisi ke-2. Harya P, Penerjemah. Semarang :
IKIP Semarang Press.
Frame D. 2000. H7N3 outbreak halted by vaccine in Word l Poultry Special. pp. 20-21
Machdum N. 2009. Vaksinasi Mencegah Penyakit yang Disebabkan oleh Virus dalam
Infovet Edisi 174. Jakarta : Gita Pustaka.
Marangon S, Busani L. 2006. The Use of Vaccination in Poultry Production. Res Sci Tech
Off int Epiz 26(1) 265-274.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. Bogor: Jurusan Statistika FMIPA IPB, IPB Press.
Murphy FA, Paul EJ, Marian CH, Michael JS. 1999. Veterinary Virology. Third Editi