PENGARUH PEMBERIAN KUNYIT DAN TEMULAWAK MELALUI AIR MINUM TERHADAP TITER ANTIBODI AI, IBD, DAN ND PADA BROILER

(1)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN KUNYIT DAN TEMULAWAK MELALUI AIR MINUM TERHADAP TITER ANTIBODI AI, IBD, DAN ND

PADA BROILER

Oleh

Dani Rohmad Nurkholis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat penggunaan kunyit dan temulawak terhadap titer antibodi Avian Influenza (AI), Infectious Bursal Desease (IBD), dan Newcastle Desease (ND) pada broiler. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari -- Maret 2013 di unit kandang percobaan PT. Rama Jaya Lampung yang berada di Desa Fajar Baru II, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan. Ayam yang digunakan adalah broiler strain Cobb sebanyak 180 ekor.

Penelitian terdiri atas tiga perlakuan, yaitu P0 : air minum biasa; P1 : air rebusan kunyit 10 g/600 ml; dan P2 : air rebusan temulawak 10 g/600 ml. Setiap perlakuan terdiri atas 6 ulangan dengan masing-masing ulangan terdiri atas 10 ekor. Dari 18 petak kandang, setiap petaknya diambil 2 ekor untuk dijadikan sampel. Kemudian data yang diperoleh dianalisis deskriptif. Peubah yang diamati adalah titer antibodi Avian Influenza, Infectious Bursal Desease, dan Newcastle Desease.

Rata-rata titer antibodi Avian Influenza yang dihasilkan setelah 20 hari vaksinasi adalah P0 (0,33 log 2), P1 (0,17 log 2), dan P2 (0,17 log 2). Rata-rata titer antibodi Infectious Bursal Desease yang dihasilkan setelah 15 hari vaksinasi adalah P0 (6.400,92), P1 (4.391,43), dan P2 (5.098,50). Rata-rata titer antibodi Newcastle Desease yang dihasilkan setelah 20 hari vaksinasi adalah P0 (4,42), P1 (4,42), dan P2 (5,00). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian air rebusan kunyit tidak berpengaruh positif terhadap titer antibodi Avian Influenza, Infectious Bursal Desease dan Newcastle Desease (P1 lebih rendah daripada P0), sedangkan pemberian air rebusan temulawak tidak berpengaruh positif terhadap titer antibodi Avian Influenza dan Infectious Bursal Desease (P2 lebih rendah daripada P0), namun berpengaruh positif terhadap titer antibodi Newcastle Desease (P2 lebih tinggi daripada P0).


(2)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Peternakan di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat akan daging sebagai salah satu sumber protein. Pemenuhan akan daging mempunyai prospek usaha yang baik. Salah satu jenis ternak yang ideal untuk dikembangkan adalah broiler.

Broiler adalah ayam ras pedaging yang sengaja dibibitkan dan dikembangkan untuk menghasilkan daging yang cepat dibandingkan dengan unggas lainnya. Produktivitas broiler dipengaruhi oleh konsumsi ransum, pertambahan berat badan, dan konversi ransum.

Selain keunggulannya, broiler memiliki kelemahan yaitu rentan sekali terhadap serangan penyakit, terutama penyakit yang disebabkan oleh virus. Virus bila berada di luar tubuh ternak mudah untuk dimusnahkan, namun bila sudah berada di dalam tubuh ternak sangat sulit untuk dimusnahkan. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini sangat merugikan bagi peternak karena tidak hanya menurunkan produktivitas broiler, bahkan dapat menyebabkan kematian.


(3)

2 Pencegahan untuk penyakit yang disebabkan oleh virus dapat dilakukan dengan vaksinasi. Vaksinasi merupakan proses memasukkan mikroorganisme penyebab penyakit yang telah dilemahkan ke dalam tubuh hewan. Di dalam tubuh hewan, mikroorganisme yang dimasukkan tidak menimbulkan bahaya penyakit,

melainkan dapat merangsang pembentukan zat-zat kekebalan (antibodi) terhadap agen penyakit tersebut (Tizard, 1988). Namun masalah yang terjadi adalah tidak semua vaksin akan menghasilkan titer antibodi yang tinggi akibat berbagai sebab, salah satunya adalah tertekannya sistem imun (immunosupresif). Dalam kondisi seperti ini ayam akan memerlukan penggertak sistem imun (imunomodulator).

Adanya senyawa-senyawa kimia yang dapat meningkatkan aktivitas sistem imun sangat membantu mengatasi penurunan sistem imun. Salah satu senyawa yang berfungsi sebagai imunomodulator adalah kurkuminoid. Kurkuminoid ini banyak terkandung pada tanaman rimpang-rimpangan terutama pada rimpang kunyit dan temulawak. Kedua tanaman tersebut jika digunakan sebagai campuran dalam air minum diharapkan dapat menjaga keseimbangan sistem imun dan dapat

meningkatkan antibodi broiler. Oleh karena itu, penelitian ini dirancang untuk mengetahui titer antibodi broiler yang dihasilkan dari pemberian kunyit dan temulawak melalui air minum.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kunyit dan temulawak dalam air minum terhadap titer antibodi Avian Influenza (AI), Infectious Bursal Desease (IBD), dan Newcastle Desease (ND) pada broiler.


(4)

1.3 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum, khususnya peternak tentang manfaat kunyit dan temulawak sebagai penambah daya tahan tubuh broiler. Selain itu, secara keilmuan penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan pengaruh pemberian kunyit dan temulawak terhadap titer antibodi AI, IBD, dan ND pada broiler.

1.4 Kerangka Pemikiran

Broiler merupakan istilah untuk menyebutkan strain ayam hasil budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu

pertumbuhan yang cepat, konversi pakan yang baik, dan dapat dipotong pada usia yang relatif muda (Murtidjo, 1992). Pertumbuhan broiler saat ini semakin pesat dan berkembang. Banyak faktor yang memengaruhinya, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi genetik dan sistem kekebalan tubuh (antibodi), sedangkan faktor eksternal meliputi tatalaksana pemeliharaan, ransum, iklim, suhu, cuaca, kondisi kandang, serta pemakaian obat-obatan. Menurut AAK (1986), faktor internal memberikan sumbangan sebesar 30%, sedangkan faktor eksternal memberikan sumbangan sebesar 70%.

Seiring dengan berkembangnya industri perunggasan, muncul masalah yang menghambat kegiatan produksi. Masalah tersebut terutama disebabkan oleh berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus seperti Avian Influenza, Infectious Bursal Desease, dan Newcastle Desease. Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi industri perunggasan. Usaha yang dilakukan untuk


(5)

4 mengendalikan penyakit dapat dengan tindakan pencegahan dan pengobatan. Pencegahan dilakukan dengan melakukan vaksinasi dan pemberian antibiotik. Tindakan pengobatan tidak efisien untuk peternakan broiler mengingat umur panen yang pendek dan besarnya jumlah ayam yang dipelihara.

Indonesia secara umum beriklim tropis dengan perubahan suhu dan kelembapan berlangsung begitu cepat. Perubahan lingkungan yang ekstrim sangat

berpengaruh pada kondisi fisiologis broiler. Perubahan kondisi fisiologis menjadikan daya tahan tubuh (sistem imun) broiler menurun. Keadaan ini akan diperberat dengan kondisi nutrisi yang buruk, investasi parasit, dan kesalahan manajemen. Adanya senyawa-senyawa kimia yang dapat meningkatkan aktivitas sistem imun (immunomodulator) sangat membantu mengatasi penurunan sistem imun. Senyawa-senyawa kimia tersebut dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Salah satu senyawa yang berfungsi sebagai imunomodulator adalah kurkuminoid.

Komponen kimia dalam kunyit dan temulawak yang berkhasiat sebagai obat adalah kurkuminoid. Kurkuminoid adalah komponen yang memberikan warna kuning pada rimpang kunyit dan temulawak. Pigmen kurkuminoid kunyit terdiri dari tiga senyawa yaitu kurkumin, desmetoksikurkumin dan

bisdesmetoksikurkumin, sedangkan pada temulawak hanya terdiri dari dua senyawa yaitu kurkumin dan desmetoksikurkumin (Sidik et.al., 1992). Struktur kimia senyawa penyusun kurkuminoid dapat dilihat pada Gambar 1.


(6)

Gambar 1. Struktur kimia senyawa penyusun kurkuminoid (Sidik et.al., 1992)

Keterangan :

A = senyawa kurkumin

B = senyawa desmetoksikurkumin C = senyawa bisdesmetoksikurkumin

Gugusan aktif pada kurkuminoid diduga terletak pada gugus metoksil (CH3

Kurkumin merupakan salah satu produk senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam rimpang tanaman famili Zingiberaceae. Kurkumin dikenal sebagai bahan alam yang mempunyai aktivitas biologis berupa zat warna kuning.

). Dengan membandingkan struktur kimia kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bisdesmetoksikurkumin berdasarkan aktivitasnya, kurkumin memiliki peran yang sinergis dengan desmetoksikurkumin (Sidik et.al., 1992), sedangkan aktivitas bisdesmetoksikurkumin berlawanan atau antagonis dengan aktivitas kerja kurkumin dan desmetoksikurkumin (Afifah, 2003). Kurkuminoid rimpang temulawak tidak mengandung bisdesmetoksikurkumin, sehingga pemberian rimpang temulawak lebih efektif dibandingkan dengan rimpang kunyit (Afifah, 2003).

C OH

HO

O O

B

OCH3

OH HO

O O O O

A

H3CO

OCH3

OH HO


(7)

6 Zat warna kuning ini sering digunakan sebagai bahan tambahan makanan, bumbu, atau obat-obatan dan tidak menimbulkan efek toksik (Meiyanto, 1999).

Beberapa penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh kurkumin terhadap sistem imunitas. Hasil penelitian Antony, et.al. (1999) menunjukkan bahwa disamping berfungsi sebagai senyawa antikanker, kurkumin juga menunjukkan aktivitas sebagai immunomodulator. Immunomodulator adalah bahan (obat) yang dapat mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun. Varalaksmi, et.al. (2008) melalui penelitian in vivo menyatakan bahwa kurkumin dapat memodulasi sistem imun dengan cara meningkatkan kemampuan poliferasi sel T. Cara kerja immunomodulator meliputi : (1) mengembalikan fungsi imun yang terganggu (imunorestorasi); (2) memperbaiki fungsi sistem imun

(imunostimulasi); dan (3) menekan respon imun (imunosupresif).

Seiring dengan masuknya senyawa kurkuminoid sebagai imunomodulator ke dalam tubuh dengan cara pemberian air minum berupa air rebusan kunyit dan temulawak diharapkan titer antibodi broiler dapat meningkat. Mengingat tidak adanya senyawa penyusun kurkuminoid temulawak yang memiliki aktivitas antagonis (bismetoksikurkumin) dengan senyawa penyusun lainnya, maka pemberian air rebusan temulawak diharapkan akan lebih efektif dalam meningkatkan titer antibodi broiler.


(8)

1.5 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pemberian kunyit dan temulawak melalui air minum memberikan pengaruh positif terhadap titer antibodi AI, IBD, dan ND pada broiler.


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Broiler

Broiler merupakan istilah untuk menyebutkan strain ayam hasil budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu

pertumbuhan yang cepat, konversi pakan yang baik, dan dapat dipotong pada usia yang relatif muda sehingga sirkulasi pemeliharaannya lebih cepat dan efisien serta menghasilkan daging yang berkualitas baik (Murtidjo, 1992).

Broiler merupakan ayam pedaging yang mengalami pertumbuhan pesat pada umur 1 -- 5 minggu. Selanjutnya dijelaskan bahwa broiler yang berumur 6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa yang dipelihara selama 8 bulan. Keunggulan ayam broiler tersebut didukung oleh sifat genetik dan keadaan lingkungan yang meliputi makanan, temperatur lingkungan, dan pemeliharaan. Pada umumnya di Indonasia broiler sudah dipasarkan pada umur 5 -- 6 minggu dengan berat 1,3 -- 1,6 kg walaupun laju pertumbuhannya belum maksimum, karena broiler yang sudah berat sulit dijual (Rasyaf, 1999).


(10)

2.2 Kunyit

2.2.1 Ekologi Kunyit

Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman rempah dan obat. Habitat asli tanaman kunyit meliputi wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara. Tumbuhan kunyit tergolong dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, suku Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma

xanthorrhiza Val. Tanaman kunyit dapat hidup dengan baik pada daerah dataran rendah hingga 2.000 m di atas permukaan laut dengan suhu yang berkisar antara 20 -- 300 C dan curah hujan 1.500 -- 2.000 mm/tahun. Tanaman kunyit memiliki daun besar berbentuk lonjong dengan ujung yang meruncing dan berwarna hijau (Rukmana, 2008).

2.2.2 Manfaat Kunyit

Kunyit adalah tumbuhan rimpang yang banyak dimanfaatkan untuk keperluan dapur, juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional, serta membantu meningkatkan daya tahan tubuh. Kandungan utama kunyit adalah kurkumin dan minyak atsiri berfungsi untuk pengobatan. Kandungan bahan kimia yang sangat berguna adalah kurkuminoid yaitu diarilhatanoid yang memberi warna kuning. Kandungan kimia lainnya adalah tumeron, zingiberen yang berfungsi sebagai antibakteria,

antioksidan, dan antiradang serta minyak pati yang terdiri dari turmerol, fellandren, kanfer, kurkumon, dan lain-lain (Balittro, 2008).


(11)

10 2.2.3 Kandungan kunyit

Rimpang kunyit merupakan bagian terpenting yang banyak dimanfaatkan dalam pengobatan dimana mengandung beberapa komponen antara lain minyak folatil, pigmen, zat pahit, resin, protein, selulosa, pentosa, pati, dan elemen mineral. Salah satu komponen kimia dalam kunyit yang berkhasiat sebagai obat adalah kurkuminoid. Pigmen kurkuminoid merupakan suatu zat yang terdiri dari beberapa senyawa yaitu kurkumin (yang paling dominan), desmetoksikurkumin, dan bisdesmetoksikurkumin (Sidik et.al., 1995). Adapun komposisi kimia kunyit dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia kunyit

Komponen Hasil Analisa

Kadar air (%) Bahan kering (%) Abu (%)

Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Energi (kal) Minyak atsiri (%) Kurkumin (%) 12,90 - 11,13 8,67 8,08 12,60 4283 1,30 - 6,00 3,00 - 4,00 Sumber : Purwanti (2008)

2.3 Temulawak

2.3.1 Ekologi Temulawak

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Curcuma berasal dari bahasa arab kurkum yang berarti kuning, sedangkan xanthorriza berasal dari bahasa Yunani xantos


(12)

yang berarti kuning dan rhiza yang berarti akar. Sesuai dengan klasifikasi botani, temulawak termasuk dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospemae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan nama spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Rukmana, 2006).

Tumbuhan temulawak adalah tumbuhan tahunan yang berbatang tegak dengan tinggi kurang lebih 2 m. Pada tanaman temulawak, tiap batangnya memiliki daun 2 -- 9 helai dengan bentuk bundar memanjang berwarna hijau atau coklat

keunguan terang sampai gelap (Sidik et.al., 1995). Rimpang temulawak sering disebut umbi temulawak. Umbi batang temulawak berbentuk bulat telur sebesar telur ayam namun terkadang ada yang lebih besar. Umbi batang ini pinggirnya berwarna kuning muda, sedangkan bagian dalamnya berwarna kuning tua, aromanya tajam, dan rasanya pahit (Darwis, 1991).

2.3.2 Manfaat Temulawak

Temulawak merupakan salah satu jenis tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang potensial untuk dikembangkan dan merupakan komponen penyusun hampir setiap jenis obat tradisional yang dibuat di Indonesia. Penggunaan temulawak mengalami perkembangan, dimulai dari tersedianya obat tradisional, melalui obat herbal terstandar, akhirnya menjadi fitofarmaka. Selain penggunaannya sebagai bahan baku industri seperti minuman dan pewarna alami, manfaat lain adalah meningkatkan sistem imunitas tubuh, antibakteri, antidiabetik, antihepatotoksik, antiradang, antioksidan, antitumor, dan diuretika (Raharjo dan Rostiana, 2003).


(13)

12 Rimpang temulawak telah digunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia untuk makanan, tujuan pengobatan, dan sebagai penambah energi. Rimpang temulawak dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal. Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, antikolesterol, mencegah anemia, dan antikanker (Rukmana, 2008).

2.3.3 Kandungan Temulawak

Kandungan kimia rimpang temulawak sebagai sumber bahan pangan, bahan baku industri atau bahan baku obat dapat dibedakan atas beberapa senyawa yaitu pati, kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri (Sidik et.al., 1995). Kadar seluruh fraksi kandungan bioaktif pada temulawak tersebut bervariasi diantaranya pati (48 -- 59,64%), kurkuminoid (1,6 -- 2,2%), dan minyak atsiri (1,48 -- 1,63%). Komponen kurkuminoid terdiri dari dua senyawa yaitu kurkumin dan desmetoksikurkumin (Sidik et.al., 1995).

2.4 Kurkuminoid

Kurkuminoid merupakan senyawa golongan flavonoid. Peningkatan kadar kurkuminoid berhubungan dengan penurunan kadar protein. Kadar protein yang mengalami penurunan disebabkan karena protein diubah menjadi kurkuminoid pada rimpang yang akan digunakan untuk regenerasi (Fatmawati, 2008).

Kurkuminoid adalah komponen yang memberikan warna kuning pada rimpang kunyit dan temulawak. Kurkuminoid berwarna kuning atau kuning jingga, dan berbentuk serbuk dengan rasa pahit. Kurkuminoid larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida. Kurkuminoid tidak larut dalam air dan


(14)

dietil eter. Kurkuminoid mempunyai aroma yang khas dan bersifat tidak toksik (Sidik et.al., 1995).

Senyawa kurkuminoid pada rimpang temulawak terdiri dari dua komponen senyawa kurkuminoid, yaitu kurkumin dan demetoksikurkumin. Lain halnya dengan rimpang kunyit, kunyit mengandung kurkuminoid yang terdiri dari tiga komponen senyawa turunan kurkuminoid, yaitu senyawa kurkumin,

demetoksikurkumin, serta bisdemetoksikurkumin (Sidik et.al., 1992). Komponen utama penyusun kurkuminoid adalah kurkumin (Sidik et.al., 1995).

Kurkumin merupakan salah satu produk senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam rimpang tanaman famili Zingiberaceae antara lain Curcuma domestica Val. (kunyit) dan Curcuma xanthorhiza Roxb. (temulawak). Kurkumin dikenal sebagai bahan alam yang mempunyai aktivitas biologis berupa zat warna kuning. Zat warna kuning ini sering digunakan sebagai bahan tambahan

makanan, bumbu, atau obat-obatan, dan tidak menimbulkan efek toksik (Meiyanto, 1999).

Beberapa penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh kurkumin terhadap sistem imunitas. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa disamping berfungsi sebagai senyawa antikanker, kurkumin juga menunjukkan aktivitas sebagai immunomadulator. Immunomodulator adalah bahan (obat) yang dapat mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun. Varalaksmi et.al. (2008) melalui penelitian in vivo menyatakan bahwa kurkumin dapat memodulasi sistem imun dengan cara meningkatkan kemampuan poliferasi sel T. Cara kerja immunomodulator meliputi : (1) mengembalikan fungsi imun


(15)

14 yang terganggu (imunorestorasi); (2) memperbaiki fungsi sistem imun

(imunostimulasi); dan (3) menekan respon imun (imunosupresif).

Hasil evaluasi pemberian kurkumin harian pada tikus dengan dosis 1 (20 atau 40 mg/kg) setelah 5 minggu menunjukkan dosis tertinggi kurkumin meningkatkan level IgG secara signifikan (South et.al., 1997). Analisa aktivitas

imunomodulator kurkumin pada mencit Balb/c ditemukan peningkatan total White Blood Cell (WBC) secara signifikan pada hari ke-12. Kurkumin juga

meningkatkan sirkulasi titer antibodi terhadap Sheep Red Blood Cell (SRBC). Aktivitas fagositas makrofag juga teramati meningkat (Antony et.al., 1999).

2.5 Sistem Kekebalan Ayam

Sistem kekebalan adalah bentuk adaptasi dari sistem pertahanan pada vertebrata sebagai pelindung terhadap serangan mikroorganisme patogen dan kanker. Sistem ini dapat membangkitkan beberapa macam sel dan molekul yang secara spesifik mampu mengenali dan mengeliminasi benda asing (Decker, 2000). Sistem kekebalan unggas dibagi menjadi sistem kekebalan non-spesifik dan sistem kekebalan spesifik (Carpenter, 2004). Mekanisme kedua sistem kekebalan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, keduanya saling meningkatkan efektivitasnya dan terjadi interaksi sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan serasi (Fenner dan Fransk, 1995).

Sistem kekebalan non-spesifik merupakan sistem kekebalan yang secara alami diperoleh tubuh dan proteksi yang diberikannya tidak terlalu kuat. Semua agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan dihancurkan oleh sistem kekebalan


(16)

tersebut sehingga proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap penyakit tertentu (Butcher dan Miles, 2003). Sistem ini berupa pertahanan fisik, mekanik, dan kimiawi yang berespon pada awal paparan. Kekebalan fisik-mekanik terdiri dari kulit dan selaput lendir yang merupakan bagian permukaan tubuh paling luar untuk mencegah masuknya benda asing. Faktor lain yang berperan dalam sistem pertahanan non-spesifik adalah makrofag dan mikrofag melalui proses fagositosis dengan membunuh, menghancurkan, dan mengeliminasi antigen dari tubuh. Sel makrofag ini meliputi sel langerhans di kulit, sel kupffer di hati, sel debu di paru-paru, sel histiosit di jaringan, dan astrosit di sel syaraf. Sel mikrofag meliputi sel neutrofil, basofil, dan eosinofil (Wibawan et.al., 2003).

Sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem berperantara sel (Cell Mediated Immunity) dan sistem kekebalan berperantara antibodi (Antibody Mediated

Immunity) atau yang lebih dikenal dengan sistem kekebalan humoral (Butcher dan Miles, 2003). Antigen yang berhasil masuk ke dalam tubuh dengan melewati sistem pertahanan tubuh non-spesifik akan berhadapan dengan makrofag. Selain berfungsi melakukan fagositosis, makrofag juga berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells (APC) yang dikenal juga sebagai sel penyaji atau sel penadah yang akan menghancurkan antigen sedemikian rupa sehingga seluruh

komponennya dapat berinteraksi dengan sistem imun spesifik atau antibodi. Makrofag yang berfungsi sebagai APC ini akan memfragmentasikan dan mempersembahkan antigen tersebut kepada sel limfosit T-helper (Th) melalui molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terletak di permukaan makrofag (Wibawan et.al., 2003).


(17)

16 Sel limfosit yang berperan penting dalam sistem kekebalan terbagi menjadi dua, yaitu sel B dan sel T. Sel B di dalam tubuh mamalia secara umum matang dan berdiferensiasi dalam sumsum tulang, sedangkan dalam tubuh unggas sel B matang dan berdiferensiasi dalam bursa fabrisius. Sel T di dalam tubuh mamalia dan unggas matang dan berdiferensiasi pada kelenjar timus. Sel B merupakan bagian dari antibody mediated immunity atau imunitas humoral karena sel B akan memproduksi antibodi yang bersirkulasi dalam saluran darah dan limfe. Antibodi tersebut akan menempel pada antigen asing yang memberi tanda agar dapat dihancurkan oleh sel sistem imun (Darmono, 2006).

Sel B akan mengalami proses perkembangan melalui dua jalur setelah terjadi rangsangan antigen, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Sel plasma akan membentuk immunoglobulin. Jumlah immunoglobulin dalam setiap sel B adalah sekitar l04 sampai 105 (Tizard, 1982). Sel plasma akan mati setelah tiga sampai enam hari, sehingga kadar immunoglobulin akan menurun secara perlahan-lahan melalui proses katabolisme. Sel memori hidup berbulan-bulan atau tahunan setelah pemaparan antigen yang pertama kali. Jika terjadi pemaparan kedua kalinya dengan antigen yang sama, maka antigen akan merangsang lebih banyak lagi sel peka antigen daripada pemaparan pertama. Dengan adanya sel memori, maka sistem pembentukan antibodi memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu antigen sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan hanya bereaksi dengan antigen yang ada di permukaan sel. Tanggap kebal humoral unggas dicirikan dengan antibodi yang diproduksi oleh sel B yang berada di bawah kontrol bursa fabrisius. Bursa fabrisius


(18)

merupakan organ limfoid primer yang terletak di bagian dorsal kloaka dan hanya ada pada unggas (Wibawan et.al., 2003).

Sel T yang bersirkulasi dalam darah dan limfe dapat secara langsung menghancurkan antigen asing. Sel T bertanggung jawab atas cell mediated immunity atau imunitas seluler. Sel T bergantung pada molekul permukaan yaitu MHC untuk mengenali fragmen antigen (Darmono, 2006). Sel T terdiri dari beberapa subpopulasi yang dapat distimulasi oleh tipe antigen yang berbeda. Antigen virus yang terdapat pada sel yang terinfeksi akan dipresentasikan bersama-sama dengan MHC kelas I dan akan menstimulasi sel T CD8+ (sitotoksik), sedangkan antigen mikroba ekstraseluler akan diendositosis oleh APC dan dipresentasikan dengan MHC kelas II dan akan mengaktivasi sel T CD4+ (helper). Antigen yang menempel pada MHC kelas II dan sel T CD4+

antara sel Th dengan APC akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleukin yang merupakan alat komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi

pematangan sel B. Sitokin yang dikeluarkan oleh limfosit disebut limfokin, sedangkan sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag disebut monokin. Selain alat komunikasi, sitokin juga berfungsi dalam mengendalikan respon imun dan reaksi inflamasi dengan cara mengatur pertumbuhan serta mobilitas dan diferensiasi leukosit maupun sel lain.

akan memacu produksi antibodi dan mengaktifkan makrofag (Putera, 2001). Interaksi

Kekebalan humoral yang dihasilkan oleh sel B tidak dapat berespon terhadap antigen yang terdapat di dalam sel, sehingga mekanisme kekebalan seluler yang berperan. Sel yang berperan dalam mekanisme kekebalan seluler adalah sel


(19)

18 limfosit Tcytotoxic (Tc). Sel ini akan mencari sel-sel yang mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel tersebut beserta antigen yang ada di dalamnya. Tujuan penghancuran ini adalah untuk mencegah penyebaran antigen intraseluler ke sel-sel sehat lain yang ada di sekitarnya (Wibawan et.al., 2003).

2.6 Vaksin dan Vaksinasi

Vaksin adalah suatu produk biologis yang berisi mikroorganisme agen penyakit yang telah dilemahkan atau diinaktifkan (attenuated). Vaksin secara umum adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme atau parasit yang dapat merangsang kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan (Malole, 1988). Vaksin jika dimasukkan ke dalam tubuh hewan tidak menimbulkan bahaya penyakit tetapi dapat merangsang pembentukan zat-zat kekebalan terhadap agen penyakit tersebut (Tizard, 1988).

Vaksin terdiri atas vaksin lived dan vaksin killed. Agen penyakit dalam vaksin lived atau vaksin hidup berada dalam keadaan hidup namun telah dilemahkan. Agen penyakit pada vaksin killed berada dalam keadaan mati dan biasanya ditambahkan dengan adjuvant (Akoso, 1988). Adjuvant merupakan bahan kimia yang memperlambat proses penghancuran antigen dalam tubuh serta merangsang pembentukan kekebalan sehingga menghasilkan antibodi sedikit demi

sedikit (Malole, 1988). Umumnya vaksin lived lebih baik daripada vaksin killed, karena vaksin lived dapat memberikan respon kekebalan yang lebih kuat, dapat diberi tanpa penambahan adjuvant dan dapat merangsang produksi interferon (Tizard, 1988).


(20)

Keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh mutu vaksin. Vaksin yang ideal harus mempunyai mutu yang baik. Mutu vaksin akan menurun jika tidak disimpan dengan baik setelah diterima oleh pengguna. Kondisi yang dapat merusak keampuhan vaksin antara lain penyimpanan yang tidak sempurna, pengenceran yang berlebihan saat akan digunakan, serta air pencampur yang mengandung chlorin atau bahan sanitasi. Menurut Malole (1988), vaksin yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu kemurnian, keamanan, serta vaksin harus dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit pada hewan. Suatu vaksin dapat dikatakan memenuhi ketiga persyaratan di atas jika dua minggu setelah vaksinasi telah terbentuk antibodi dengan titer protektif. Proteksi vaksin dapat diuji dengan penantangan atau infeksi virus ganas. Vaksin yang baik harus memberikan proteksi lebih dari 95% terhadap hewan yang telah diberi vaksin atau tidak lebih dari 5% hewan yang terinfeksi (sakit atau mati). Menurut Akoso (1998), selain mutu vaksin, keberhasilan vaksinasi juga dipengaruhi oleh status kesehatan unggas, keadaan nutrisi unggas, sanitasi lingkungan, sistem perkandangan, serta program vaksinasi yang baik.

2.7 Avian Influenza (AI)

Avian Influenza atau flu burung merupakan penyakit viral menular yang menyerang sistem pernapasan, sistem pencernaan, dan atau sistem syaraf pada unggas. Flu burung disebabkan oleh infeksi virus Avian Influenza (AI) yang termasuk dalam keluarga Orthomyxoviridae (Fenner et.al., 1993).


(21)

20 Metode pengendalian secara imunoprofilaksis sangat diperlukan untuk

menghindari kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh morbiditas dan mortalitas unggas karena infeksi virus AI. Dalam menerapkan pengendalian flu burung secara imunoprofilaksis harus tersedia antigen yang tepat, akurat, dan mujarab untuk mencapai tujuan vaksinasi. Selama ini, antigen yang sudah banyak diteliti untuk dijadikan sebagai kandidat vaksin terhadap flu burung diperoleh dari virus low pathogenic avian influenza (LPAI). Namun, beberapa strain LPAI dapat bermutasi di bawah kondisi lapang menjadi virus highly pathogenic avian influenza (HPAI) sehingga bersifat sangat infeksius dan fatal (Rimmelzwaan et.al., 2001). Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil vaksinasi yang protektif terhadap flu burung harus diterapkan metode vaksinasi yang tepat. Indikasi vaksinasi yang baik dievaluasi berdasarkan kemampuan vaksin merangsang pembentukan antibodi (Office International Epizootic/ OIE, 2000).

Pemeriksaan serologis dapat dilakukan untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi terhadap AI yang dapat diamati 7 -- 10 hari pasca-infeksi. Adapun uji serologis yang sering digunakan adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap hemaglutinin (H) dan agar gel presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuraminidase (N). Uji serologis lainnya adalah uji netralisasi virus (VN), neuraminidase-inhibition (NI), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi monoklonal, hibridisasi in situ, dan imunofluorescence (Tabbu, 2000).


(22)

2.8 Infectious Bursal Disease (IBD)

Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit yang menyerang ayam muda, baik broiler ataupun layer. Organ yang menjadi target adalah bursa fabrisius, yaitu organ sistem imun pada ayam muda. Sistem imun pada ayam muda jika terkena penyakit ini akan menyebabkan menurunnya sistem pertahanan tubuh, lebih peka terhadap patogen, respon buruk terhadap vaksinasi, dan kadang menyebabkan mortalitas.

Virus IBD yang termasuk pada genus Avibirnavirus dan famili Birnaviridae. Virus ini mempunyai 2 segmen genom, yaitu A dan B. Virus IBD mempunyai ukuran antara 55 -- 65 nm. Virus berbentuk icosahedral dan tidak mempunyai envelope. Genom virus terdiri dari 2 segmen double stranded RNA (Minta et.al., 2005). Protein virus terbagi menjadi 5 jenis, yaitu VP1, VP2, VP3, VP4 dan VP5, dengan berat molekul masing-masing 90 KD, 41 KD, 32 KD, 28 KD, dan 21 KD.

Asam amino VP2 yang berada pada posisi 206 sampai 353 sangat penting sebagai neutralizing antigenic site. Bagian ini dinamakan sebagai VP2-variable domain atau vVP2, dimana sebagian besar asam amino akan berbeda diantara virus IBD yang berbeda antigenesitasnya (Minta et.al., 2005). Beberapa peneliti melaporkan bahwa antigen utama yang mempunyai efek perlindungan adalah VP2 (Tabbu, 2000).

Sebagaimana umumnya sifat virus tanpa envelope, virus IBD sangat stabil dalam kondisi fisik dan kimiawi, antara lain resisten terhadap eter dan kloroform, dapat diinaktivasi pada pH 12, masih tetap aktif pada suhu 560 C selama lebih dari 5


(23)

22 jam, dan akan mati pada suhu 70 selama 30 menit. Virus IBD juga peka terhadap pelarut organik dan juga peka terhadap formalin, serta kelompok iodofor.

Sehubungan dengan ketahanan virus IBD terhadap pengaruh lingkungan dan bahan kimiawi maka virus ini dapat bertahan dalam kandang ayam dan

lingkungan dalam periode yang lama walaupun telah dilakukan sanitasi/desinfeksi (Tabbu, 2000).

Virus IBD diklasifikasikan menjadi 2 serotipe, yaitu serotipe 1 dan serotipe 2. Kedua serotipe ini bisa dibedakan dengan virus-neutralization test (VN), tetapi tidak bisa dibedakan dengan enzim linked immunosorbent assay (ELISA). Virus IBD juga dikelompokkan berdasarkan virulensinya. Serotipe 1 menurut

virulensinya dibagi menjadi 3, yaitu klasik, varian, dan sangat virulen (very virulent IBD). Virus IBD klasik pertama kali diisolasi sebagai infectious bursal agent oleh Winterfield dan Hitchner serta diidentifikasi sebagai penyebab penyakit IBD (Tabbu, 2000).

2.9 Newcastle Disease (ND)

Newcastle Disease adalah penyakit viral yang menular dan merupakan salah satu penyakit yang paling penting di dunia. Penyakit ini ditularkan melalui sekresi, terutama feses dari burung yang terinfeksi serta penularan juga dapat terjadi melalui pakan dan air minum yang terkontaminasi (CFSPH, 2008).

Virus ND tersusun dalam rantai RNA tunggal tak bersegmen, memiliki amplop yang terdiri atas lipid dua lapis yang mengandung protein matriks (M) dan dua spike glikoprotein yang terbuka dari luar. Spike tersebut memiliki dua protein


(24)

struktural yaitu hemagglutinin yang dapat mengaglutinasi sel darah merah serta protein neuraminidase dan biasa dikenal dengan protein hemaglutinasi -

neuraminidase (HN). Salah satu penyebab perbedaan keganasan diantara strain paramyxovirus adalah terletak pada cepat atau lambatnya perbanyakan virus bersangkutan (Russel, 1993).

Virus ND berdasarkan patogenesisnya dibagi menjadi 4 galur, yaitu (1) galur velogenik yang menimbulkan penyakit dengan gejala klinis parah dan mortalitas tinggi; (2) galur mesogenik, tingkat keganasannya sedang dan mortalitas rendah; (3) galur lentogenik merupakan galur yang menimbulkan penyakit ringan dan tidak menimbulkan kematian (Allan et.al., 1978), serta (4) galur enterik asimtomatik yang sama sekali tidak menimbulkan sakit seperti galur V4 dan Ulster 2C (Cross, 1988).

Gejala klinis penyakit ND tergantung pada tingkat virulensi dari virus, infeksi virus galur velogenik dapat menimbulkan gejala gangguan pernapasan seperti sesak napas, ngorok, bersin serta gangguan syaraf seperti kelumpuhan sebagian atau total, tortikolis, serta depresi. Tanda lainnya adalah adanya pembengkakan jaringan di daerah sekitar mata dan leher. Infeksi virus galur mesogenik

menimbulkan gejala klinis seperti gangguan pernapasan yaitu sesak napas, batuk, dan bersin. Infeksi virus galur lentogenik menunjukkan gejala ringan seperti penurunan produksi telur dan tidak terjadinya gangguan syaraf pada unggas terinfeksi. Morbiditas dan mortalitas tergantung pada tingkat virulensi dari galur virus, tingkat kekebalan vaksin, kondisi lingkungan, dan kepadatan ayam di dalam kandang (OIE, 2002).


(25)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Februari -- Maret 2013 di unit kandang percobaan PT. Rama Jaya Lampung yang berada di Desa Fajar Baru II,

Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan. Analisis titer antibodi dilaksanakan di PT. Vaksindo Indonesia.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. bambu untuk membuat sekat-sekat pada kandang; 2. sekam dan koran bekas sebagai alas;

3. plastik terpal untuk tirai;

4. gasolex sebagai sumber pemanas pada area brooding;

5. tempat ransum baki (chick feeder tray) yang digunakan untuk ayam umur 1 -- 7 hari, 18 buah;

6. tempat ransum gantung (hanging feeder) yang digunakan untuk ayam umur 8 -- 27 hari, 18 buah;


(26)

8. bak air, 2 buah; 9. ember, 2 buah;

10. hand sprayer, 2 buah;

11. timbangan kapasitas 2 kg sebanyak 1 buah yang digunakan untuk menimbang ransum serta kunyit dan temulawak;

12. timbangan elektrik, 1 buah;

13. thermohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban udara di kandang, 1 buah;

14. socorex untuk melakukan vaksinasi;

15. kompor digunakan untuk membuat air rebusan kunyit dan temulawak; 16. panci untuk membuat air rebusan kunyit dan temulawak, 2 buah; 17. blander untuk menghaluskan kunyit dan temulawak;

18. gelas ukur kapasitas 1 liter untuk mengukur jumlah air dalam pembuatan air rebusan kunyit dan dan temulawak;

19. gunting dan pisau; 20. karung dan plastik;

21. disposable syringe 3 ml untuk mengambil sampel darah ayam, 1 kotak; 22. tabung eppendof untuk wadah serum darah, 36 buah;

23. termos es untuk pendingin serum darah, 1 buah;


(27)

27 3.2.2 Ayam

Ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam broiler jantan umur satu hari (DOC) sampai dengan umur 27 hari sebanyak 180 ekor. Strain ayam yang digunakan adalah Cobb produksi PT. Super Unggas Jaya.

3.2.3 Ransum

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum broiler komersial HP 611 MC yang diberikan pada umur 0 -- 7 hari, HP 611 yang diberikan pada umur 8 -- 21 hari, dan HP 612 yang diberikan pada umur 22 -- 27 hari yang diperoleh dari PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk.

3.2.4 Air rebusan kunyit dan temulawak

Penelitian ini menggunakan air rebusan kunyit dan temulawak dengan konsentrasi 10 g/ 600 ml. Dasar Penggunaan konsentrasi ini merujuk pada hasil rangkaian penelitian panjang yang dilakukan oleh Tantalo (2009) pada broiler yaitu 10 g/ 600 ml dengan pola pemberian berselang (2 hari perlakuan dan 1 hari tanpa perlakuan). Pembuatan Air rebusan kunyit dan temulawak dilakukan pada malam hari yang kemudian diberikan dalam keadaan dingin pada pagi hari. Cara

pembuatan air rebusan kunyit dan temulawak (Sujatmiko, 2006) adalah : 1. mengambil rimpang kunyit dan temulawak sesuai kebutuhan;

2. mencuci bersih kunyit dan temulawak menggunakan air bersih, kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan;

3. menimbang kunyit dan temulawak masing-masing 10 g, kemudian memasukkannya ke dalam blander untuk dihaluskan;


(28)

4. kunyit dan temulawak masing-masing direbus ke dalam 1 liter air biasa sampai tersisa 600 ml;

5. air rebusan kunyit dan temulawak yang telah selesai direbus kemudian dimasukkan ke dalam bak untuk didinginkan.

3.2.5 Air minum

Air minum untuk broiler pada penelitian ini diberikan secara ad libitum baik air minum biasa (kontrol) maupun air minum yang diberi perlakuan. Air minum yang diberikan terdiri dari tiga macam yaitu :

P0 = air minum biasa

P1 = air rebusan kunyit 10 g/600 ml (16,67 g/l) P2 = air rebusan temulawak 10 g/600 ml (16,67 g/l)

Pemberian perlakuan dilakukan secara berselang dengan intensitas pemberian 2 hari perlakuan dan 1 hari tanpa perlakuan (Tantalo, 2009). Jadwal pemberian perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2.

Minggu ke-

Hari ke-

1 2 3 4 5 6 7

1 2 3 4

Keterangan : = waktu pemberian air minum biasa

= waktu pemberian air rebusan kunyit dan temulawak


(29)

29 3.2.6 Vaksin

Pada saat pemeliharaan broiler, pemberian vaksin merupakan hal yang sangat penting dilakukan untuk meningkatkan sistem imun terhadap suatu penyakit, sehingga akan diperoleh hasil yang maksimal. Vaksin yang diberikan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Vaksin yang diberikan

Vaksin Cara Pemberian Waktu Pemberian

ND V4HR (Newcastle Desease) Vaksimun ND-AI Inaktif (Avian Influenza dan Newcastle Desease) IBDM (Infectious Bursal Desease) Vaksimune ND L (Newcastle Desease)

Spray

Subkutan leher Minum

Minum

Hari ke-1 Hari ke-6 Hari ke-11 Hari ke-18

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan enam ulangan. Setiap ulangan terdiri dari sepuluh ekor broiler. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah P0 (air minum biasa), P1 (air rebusan kunyit; 10 g/600 ml), dan P2 (air rebusan temulawak; 10 g/600 ml).

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Persiapan kandang

Persiapan kandang dilakukan minimal satu minggu sebelum DOC datang (chick in), tahapannya meliputi :


(30)

1. membuat kandang dari bambu dengan ukuran 1 x 1 x 0,8 m sebanyak 18 petak;

2. mencuci lantai kandang dengan menggunakan air dan disikat; 3. mencuci peralatan kandang seperti feed tray dan tempat minum; 4. memasang tirai kandang;

5. mengapur dinding, tiang, dan lantai kandang;

6. setelah kering, lantai kandang kemudian ditaburi dengan sekam setebal 5 -- 10 cm;

7. memasang lampu penerangan pada kandang; 8. menyemprot kandang dengan desinfektan;

9. membuat area brooding dan memberi sekat untuk membagi area brooding menjadi tiga.

3.4.2 Pelaksanaan penelitian

Pada DOC yang telah tiba dilakukan sexing untuk memisahkan antara jantan dan betina, 180 DOC jantan hasil sexing dimasukkan ke dalam area brooding selama 6 hari. DOC diberi minum air yang telah dicampur elektrolit untuk menggantikan energi yang hilang dan mengurangi stres akibat perjalanan. Selanjutnya DOC diberi pakan secara ad libitum dan air minum sesuai dengan perlakuan. Setelah 6 hari, broiler dimasukkan ke dalam petak-petak kandang. Setiap petak kandang terdiri dari 10 ekor ayam. Pada petak kandang diberi nomor perlakuan untuk memudahkan pelaksanaan penelitian. Lampu penerangan mulai dihidupkan pada pukul 17.00 sampai pukul 06.00 WIB. Ransum diberikan pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB, sedangkan air minum diberikan pada pukul 07.00 hari sesuai dengan jadwal pemberian perlakuan. Pengukuran konsumsi air minum


(31)

31 dilakukan setiap hari pada pukul 06.00 WIB, sedangkan konsumsi ransum

dilakukan pengukuran setiap minggunya. Pengukuran bobot tubuh ayam

dilakukan setiap minggu untuk mengetahui pertumbuhan ayam. Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan setiap hari, yaitu pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan thermohigrometer yang diletakkan pada bagian tengah kandang, digantung sejajar dengan tinggi ayam.

Vaksinasi dilakukan agar ayam tidak terserang penyakit tertentu yang dapat merugikan peternak. Vaksin yang diberikan terdiri dari vaksin AI, IBD, dan ND. Vaksin ND diberikan saat ayam berumur 1 hari, 6 hari, dan 18 hari melalui spray, subkutan leher, dan minum, vaksin AI diberikan saat ayam berumur 6 hari melalui subkutan leher, dan vaksin IBD berikan saat ayam berumur 11 hari melalui air minum.

Pengambilan sampel darah dilakukan ketika broiler berumur 26 hari. Sampel darah diambil sebanyak 20% dari jumlah unit percobaan (36 sampel). Sampel darah diambil menggunakan disposable syringe 3 ml melalui vena brachialis. Sampel darah yang telah diambil didiamkan sampai terjadi pemisahan antara sel darah dengan serum darah. Serum darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendof dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Selanjutnya serum dalam kondisi dingin dikirim ke PT. Vaksindo Indonesia untuk dianalisis jumlah titer antibodinya menggunakan uji hemaglutinasi inhibisi untuk titer antibodi Avian Influenza dan Newcastle Desease, serta uji enzim linked immunosorbent assay untuk titer antibodi Infectious Bursal Desease.


(32)

3.5 Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah titer antibodi terhadap Avian Influenza, Infectious Bursal Desease, dan Newcastle Deseases.

3.6 Analisis Data

Data titer antibodi dari masing-masing perlakuan dan kontrol disusun dalam bentuk tabulasi sederhana sehingga akan tersedia data untuk diolah dengan menggunakan analisis deskriptif.


(33)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. pemberian kunyit dan temulawak tidak berpengaruh positif terhadap titer antibodi Avian Influenza dan Infectious Bursal Desease pada broiler (titer antibodi P1 dan P2 lebih kecil daripada P0);

2. pemberian kunyit tidak berpengaruh positif terhadap titer antibodi Newcastle Desease pada broiler (titer antibodi P1 sama dengan P0), sedangkan pemberian temulawak berpengaruh positif terhadap titer antibodi Newcastle Desease pada broiler (titer antibodi P2 lebih besar daripada P0);

3. pemberian temulawak lebih baik daripada kunyit terhadap titer antibodi Newcastle Desease pada broiler.

5.2 Saran

Diharapkan ada penelitian lanjutan tentang tingkat konsentrasi kunyit dan

temulawak dengan pola pemberian secara terus-menerus pada broiler strain yang lain di kandang close house.


(34)

(35)

52

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, E. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak. Agromedia Pustaka. Jakarta Akoso, B.T. 1998. Kesehatan Unggas Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh dan Peternak. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Aksi Agraris Kanisius. 1986. Berternak Ayam Pedaging. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Allan, W.H., J.F. Lancaster, B. Toth. 1978. Newcastle Disease Vaccines, Their Production and Use. Food and Agricultural Organisation

Anonimus. 2006. Imunosupresi pada Ayam Broiler dan Cara Penanganannya. http://www.fmv.utl.pt/atlas/orglinfo/orglinfo_001.htm

Anonimus. 2007. Kerusakan Bursa Akibat Infeksi Infectious Bursal Disease. http://teaching.path.cam.ac.uk/partIB_pract/P05/

Antony, S., R. Kuttan, dan G. Kuttan. 1999. Immunomodulatory Activity of Curcumin. Immunology Invest. 28 : 291--303

Balittro. 2008. Budidaya Tanaman Kunyit. Artikel.

Banks, S. 1979. The Complete Handbook of Poultry Keeping. Van Nonstrand Reinnold Co., New York

Borges, S.A., F.A.V. Da Silva, A. Maiorka, D.M. Hooge, and K.R. Cummings. 2004. Effects of Diet and Cyclic Daily Heat Stress on Electrolyte, Nitrogen and Water Intake, Excretion and Retention by Colostomized Male Broiler Chickens. Int. J. Poult. Sci. 3 (5) :313--321

Butcher, G.D. dan R.D. Miles. 2003. The Avian Immune System. http://edis. ifas. ufl.edu. Diakses pada 28 Desember 2012

Carpenter, S. 2004. Avian Immune System. http://www.l1olisticbird.com/ hbn04/sprinn04/immunesvstem.htm. Diakses pada 11 Januari 2013


(36)

Center for Food Security and Public Health. 2008. High Pathogenicity Avian Influenza. Iowa State University, Institute for International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center. Iowa

Comenisch, G., M. Tini, D. Chilov, I. Kvietikova, V. Srinivas, J. Caro, P.

Spielmann, R.H. Wenger, and Gassmann. 1999. General Applicability of Chiken Egg Yolk Antibodi: the Performance of Ig Y Immunoglobulins Raised Againish the Hypoxia-Inducrible Faktor 1. J. Fasaeb. 13 : 81--88

Cooper, M.A. and K.W. Washburn. 1998. The Relationships of Body

Temperature to Weight Gain, Feed Consumption, and Feed Utilization in Broilers Under Heat Stress. Poult. Sci. 77 : 237--242

Cross, G.M. 1988. Newcastle Disease: Vaccine production. In: Newcastle Disease (ed.D.J. Alexander). Kluwer Academic Publication. London

Darmono. 2006. Sistem Kekebalain Tubuh. Artikel. http://www.geocities.com/ kuliahfarm/imunologi/Sistem-kekebalan.doc. Diakses pada 28 Desember 2012 Darwis S. N., S. Haiyah, dan A.B.D. Madjo. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae. Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri. Bogor

Decker, J.M. 2000. Introduction to Irnmunology. Blackwell Science, Inc. USA Fahrurozi, N. 2013. Pengaruh Pemberian Kunyit dan Temulawak Melalui Air Minum terhadap Gambaran Darah pada Broiler. Belum diterbitkan

Farrel, D.J. 1979. Pengaruh dari Suhu Tinggi terhadap Kemampuan Biologis dari Unggas. Laporan Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan I. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Ternak. Ciawi. Bogor

Fatmawati, D.A. 2008. Pola Protein dan Kandungan Kurkuminoid Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Fenner, F., E. Gibbs, P. Paul, M. Frederick, R.S. Rudolf, S. Michael, D. White. 1993. Virology Veterinary. 2th Edition. Academic Press Inc. New York Fenner J. dan Fransk. 1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. P. Harya, Penerjemah. IKIP Semarang Press. Semarang. Terjemahan dari: Veterinary Virology

Haryadi, 1995. Pengaruh Ammonia terhadap Kesehatan Hewan. Poultry Indonesia, Majalah Ekonomi Indonesia dan Teknologi Perunggasan Populer. GPPU, Jakarta


(37)

54 Hoffman, T.Y. C.M. and G.E. Walsberg. 1999. Inhibiting Ventilation

Evaporation Produce an Adaptive Increase in Cutainous Evaporation in Mourning Doves Zenaida macroura. J. Experiment. Biol. 202 : 3021--3028

Kuczynski, T. 2002. The Application of Poultry Behaviour Responses on Heat Stress to Improve Heating and Ventilation System Efficiency. J. Pol. Agric. Univ. 5 : 1--11

Leeson, S. and J.D. Summers. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Edition. University Books. Guelph, Ontario : Canada

Lukert, P.D. and Y.M Saif. 2003. Infectious Bursal Disease. Di dalam Y.M. Saif, editor. Disease of Poultry. Edisi ke-11. USA: Iowa Univ Pr. Hlm 161--179 Malole, M.B. 1988. Virologi. PAU-IPB. Bogor

Marangon, S. and L. Busani. 2006. The Use of Vaccination in Poultry Production. Res Sci Tech Off int Epiz. 26 (1) 265--274

Medion. 2010. Titer Antibodi yang Protektif terhadap IBD.

http://www.info.medion.co.id/index.phb/lain-lain/informasi-produk/medivac-nd-gumboro-emulsion. Diakses pada 14 Juli 2013

Meiyanto, E. 1999. Kurkumin Sebagai Obat Antikanker : Menelusuri Mekanisme Aksinya. Majalah Farmasi Indonesia. 10 (4) : 224--236

Minta Z., K.D. Bicharz, B. Bartnicka, and K. Smietanka. 2005. Production and Characterization of Monoclonal Antibodies Against Early Polish Strain of Infectiouu Bursal Disease Virus. Bull Vet Inst Pulawy 49 : 361--366

Mujahid, A. Y. Akiba, and M. Toyomizu. 2007. Acute Heat Stress Induces Oxodative Stress and Decrease adaptation in YoungWhite Leghorn Cockerels by Downregulationot Avian Uncoupling Protein. Poultry Scient. 86 :364--371 Murtidjo, B.A. 1992. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Nadesul, H. 2003. Lawan Virus dengan Kekebalan Tubuh. Artikel. http://freshwell.com. Diakses pada 29 Juni 2012

Naseem, M.T., S. Naseem, M. Yunus, Z. Iqbal Ch., A. Ghafoor, A. Aslam, and S. Akhter. 2005. Effect of Pottasium Choride and Sodium Bicarbonate

Supplementation on Thermotolerance of Broiler Exposed to Heat Stress. Int. Journal of Poultry Science. 4 (11) : 891--895

Office International Epizootic. 2000. OIE Manual of Standards for Diagnostic Test and Vaccines. 4th Ed. Office International des Epizooties. Paris


(38)

Office International Epizootic. 2002. Animal Disease Data (Newcastle Disease). www.oie.int. Diakses pada 9 Januari 2013

. 2008. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for Terrestrial Animals. http://www.oie.int. 10 Juli 2013

Okolwski, A. 2005. Patho-Physiology of Heart Failure in Broiler Chikens :

Structural Biochemical and Molecular Symposium : Metabolic and Cardoivasculer in Poultry Nutrisional and Physiological Aspects. J. Poult. Sci. 142

Prasetyo, H. 2010. Jumlah Total dan Hitung Jenis Leukosit pada Ayam Potong yang Terpapar Heat Stress. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya

Purwanti, S. 2008. Kajian Efektifitas Pemberian Kunyit, Bawang Putih dan Mineral Zink Terhadap Performa, Kadar Lemak dan Status Kesehatan Broiler. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Quaries, C.L. and D.J. Fagerberg. 1979. Evaluation of Ammonia Stress and Coccidiosis on Broiler Performance. Poultry Science. 58 : 465--468

Raharjo, M. dan O. Rostiana. 2003. Standar Prosedur Opersional Budidaya Temulawak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balittro. Bogor Rasyaf, M. 1995. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

. 1999. Menajemen Beternak Ayam Broiler. Penebar Swadaya. Jakarta

Rimmelzwaan, G.F., T. Kuiken, G. van Amerongen, T.M. Bestebroer, R.A.M. Fouchier, and A.D.M.E. Osterhaus. 2001. Pathogenesis of Influenza A (H5N1) Virus Infection in a Primate Model. Journal of Virology. 75(14) : 6687--6691 Rostiana, R., 2003. Standar Prosedur Operasional Budidaya Temulawak. Artikel. http://typecat.com. Diakses tanggal 30 Desember 2012

Rukmana, R. 2006. Temulawak, Tanaman Rempah dan Obat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

. 2008. Temu-Temuan, Apotik Hidup di Pekarangan. Edisi ke-5. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Russel, P.H. 1993. Newcastle Disease Virus: Virus Replication in Harderian Gland Stimulates Lacrima Ig A, the Yolk Sac Provides Early Lacrimal Ig G. Veterinary Immunology an Immunopathology. 37 : 151--163


(39)

56 Sidik, M.W. Mulyono, dan A. Muhtadi. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorriza Robx.). Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam, Phyto Medica. Jakarta . 1995. Temulawak (Curcuma xanthoriza Robx.). Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam, Phyto Medica. Bogor Sujatmiko, W. 2006. Pengaruh Level Pemberian Kombinasi Air Rebusan Kunyit dan Daun Sirih Melalui Air Minum terhadap Retensi Bahan Kering, Bahan Organik, dan Kecernaan Lemak pada Broiler. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Tabbu C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Tantalo, S. 2009. Perbandingan Performans Dua Strain Broiler yang Mengonsumsi Air Kunyit. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung Tarmudji. 2005. Penyakit Pernafasan pada Ayam, Ditinjau dari Aspek Klinik dan Patologik Serta Kejadiannya Di Indonesia. Wartazoa Vol. 15 No. 2 Tizard, I.R. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. 2nd Edition. W.B. Saunders Company. USA

. 1987. Pengantar Imunologi Veteriner. Penerjemah Soehardjo H. Universitas Airlangga. Bogor.

. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Penerjemah Soehardjo H. dan Masduki P. Universitas Airlangga. Surabaya. Terjemahan dari : Veterinary Immunology

Varalakshmi, Ch., A. Mubarak Ali., and B.V.V. Pardhasaradhi. 2008. Immunomodulatory Effect of Curcumin : In Vivo. Int. J. Imm. 8 : 688

Wibawan, I.W.T., D.S. Retno, C.S. Damayanti, dan T.B. Tauffani. 2003. Diktat Imunologi. FKH-IPB. Bogor

Wibawan, I.W.T., I.B.P. Darmono, dan I.N. Suartha. 2010. Variasi Respon Pembentukan IgY terhadap Toxoid Tetanus dalam Serum dan Kuning Telur pada Individu Ayam Petelur. J. Vet. l. 11(3) : 152--157

Wingkel, P.T. 1997. Biosecurity in Poultry Production: Where are we and where do we go? Prosiding 11th International Congress of the World Poultry Association


(1)

(2)

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, E. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak. Agromedia Pustaka. Jakarta Akoso, B.T. 1998. Kesehatan Unggas Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh dan Peternak. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Aksi Agraris Kanisius. 1986. Berternak Ayam Pedaging. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Allan, W.H., J.F. Lancaster, B. Toth. 1978. Newcastle Disease Vaccines, Their Production and Use. Food and Agricultural Organisation

Anonimus. 2006. Imunosupresi pada Ayam Broilerdan Cara Penanganannya. http://www.fmv.utl.pt/atlas/orglinfo/orglinfo_001.htm

Anonimus. 2007. Kerusakan Bursa Akibat Infeksi Infectious Bursal Disease. http://teaching.path.cam.ac.uk/partIB_pract/P05/

Antony, S., R. Kuttan, dan G. Kuttan. 1999. Immunomodulatory Activity of Curcumin. Immunology Invest. 28 : 291--303

Balittro. 2008. Budidaya Tanaman Kunyit. Artikel.

Banks, S. 1979. The Complete Handbook of Poultry Keeping. Van Nonstrand Reinnold Co., New York

Borges, S.A., F.A.V. Da Silva, A. Maiorka, D.M. Hooge, and K.R. Cummings. 2004. Effects of Diet and Cyclic Daily Heat Stress on Electrolyte, Nitrogen and Water Intake, Excretion and Retention by Colostomized Male Broiler Chickens. Int. J. Poult. Sci. 3 (5) :313--321

Butcher, G.D. dan R.D. Miles. 2003. The Avian Immune System. http://edis. ifas. ufl.edu. Diakses pada 28 Desember 2012

Carpenter, S. 2004. Avian Immune System. http://www.l1olisticbird.com/ hbn04/sprinn04/immunesvstem.htm. Diakses pada 11 Januari 2013


(3)

Center for Food Security and Public Health. 2008. High Pathogenicity Avian Influenza. Iowa State University, Institute for International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center. Iowa

Comenisch, G., M. Tini, D. Chilov, I. Kvietikova, V. Srinivas, J. Caro, P.

Spielmann, R.H. Wenger, and Gassmann. 1999. General Applicability of Chiken Egg Yolk Antibodi: the Performance of Ig Y Immunoglobulins Raised Againish the Hypoxia-Inducrible Faktor 1. J. Fasaeb. 13 : 81--88

Cooper, M.A. and K.W. Washburn. 1998. The Relationships of Body

Temperature to Weight Gain, Feed Consumption, and Feed Utilization in Broilers Under Heat Stress. Poult. Sci. 77 : 237--242

Cross, G.M. 1988. Newcastle Disease: Vaccine production. In: Newcastle Disease (ed.D.J. Alexander). Kluwer Academic Publication. London

Darmono. 2006. Sistem Kekebalain Tubuh. Artikel. http://www.geocities.com/ kuliahfarm/imunologi/Sistem-kekebalan.doc. Diakses pada 28 Desember 2012 Darwis S. N., S. Haiyah, dan A.B.D. Madjo. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae. Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri. Bogor

Decker, J.M. 2000. Introduction to Irnmunology. Blackwell Science, Inc. USA Fahrurozi, N. 2013. Pengaruh Pemberian Kunyit dan Temulawak Melalui Air Minum terhadap Gambaran Darah pada Broiler. Belum diterbitkan

Farrel, D.J. 1979. Pengaruh dari Suhu Tinggi terhadap Kemampuan Biologis dari Unggas. Laporan Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan I. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Ternak. Ciawi. Bogor

Fatmawati, D.A. 2008. Pola Protein dan Kandungan Kurkuminoid Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Fenner, F., E. Gibbs, P. Paul, M. Frederick, R.S. Rudolf, S. Michael, D. White. 1993. Virology Veterinary. 2th Edition. Academic Press Inc. New York Fenner J. dan Fransk. 1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. P. Harya, Penerjemah. IKIP Semarang Press. Semarang. Terjemahan dari: Veterinary Virology

Haryadi, 1995. Pengaruh Ammonia terhadap Kesehatan Hewan. Poultry Indonesia, Majalah Ekonomi Indonesia dan Teknologi Perunggasan Populer. GPPU, Jakarta


(4)

Hoffman, T.Y. C.M. and G.E. Walsberg. 1999. Inhibiting Ventilation

Evaporation Produce an Adaptive Increase in Cutainous Evaporation in Mourning Doves Zenaida macroura. J. Experiment. Biol. 202 : 3021--3028

Kuczynski, T. 2002. The Application of Poultry Behaviour Responses on Heat Stress to Improve Heating and Ventilation System Efficiency. J. Pol. Agric. Univ. 5 : 1--11

Leeson, S. and J.D. Summers. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Edition. University Books. Guelph, Ontario : Canada

Lukert, P.D. and Y.M Saif. 2003. Infectious Bursal Disease. Di dalam Y.M. Saif, editor. Disease of Poultry. Edisi ke-11. USA: Iowa Univ Pr. Hlm 161--179 Malole, M.B. 1988. Virologi. PAU-IPB. Bogor

Marangon, S. and L. Busani. 2006. The Use of Vaccination in Poultry Production. Res Sci Tech Off int Epiz. 26 (1) 265--274

Medion. 2010. Titer Antibodi yang Protektif terhadap IBD.

http://www.info.medion.co.id/index.phb/lain-lain/informasi-produk/medivac-nd-gumboro-emulsion. Diakses pada 14 Juli 2013

Meiyanto, E. 1999. Kurkumin Sebagai Obat Antikanker : Menelusuri Mekanisme Aksinya. Majalah Farmasi Indonesia. 10 (4) : 224--236

Minta Z., K.D. Bicharz, B. Bartnicka, and K. Smietanka. 2005. Production and Characterization of Monoclonal Antibodies Against Early Polish Strain of Infectiouu Bursal Disease Virus. Bull Vet Inst Pulawy 49 : 361--366

Mujahid, A. Y. Akiba, and M. Toyomizu. 2007. Acute Heat Stress Induces Oxodative Stress and Decrease adaptation in YoungWhite Leghorn Cockerels by Downregulationot Avian Uncoupling Protein. Poultry Scient. 86 :364--371 Murtidjo, B.A. 1992. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Nadesul, H. 2003. Lawan Virus dengan Kekebalan Tubuh. Artikel. http://freshwell.com. Diakses pada 29 Juni 2012

Naseem, M.T., S. Naseem, M. Yunus, Z. Iqbal Ch., A. Ghafoor, A. Aslam, and S. Akhter. 2005. Effect of Pottasium Choride and Sodium Bicarbonate

Supplementation on Thermotolerance of Broiler Exposed to Heat Stress. Int. Journal of Poultry Science. 4 (11) : 891--895

Office International Epizootic. 2000. OIE Manual of Standards for Diagnostic Test and Vaccines. 4th Ed. Office International des Epizooties. Paris


(5)

Office International Epizootic. 2002. Animal Disease Data (Newcastle Disease). www.oie.int. Diakses pada 9 Januari 2013

. 2008. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for Terrestrial Animals. http://www.oie.int. 10 Juli 2013

Okolwski, A. 2005. Patho-Physiology of Heart Failure in Broiler Chikens :

Structural Biochemical and Molecular Symposium : Metabolic and Cardoivasculer in Poultry Nutrisional and Physiological Aspects. J. Poult. Sci. 142

Prasetyo, H. 2010. Jumlah Total dan Hitung Jenis Leukosit pada Ayam Potong yang Terpapar Heat Stress. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya

Purwanti, S. 2008. Kajian Efektifitas Pemberian Kunyit, Bawang Putih dan Mineral Zink Terhadap Performa, Kadar Lemak dan Status Kesehatan Broiler. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Quaries, C.L. and D.J. Fagerberg. 1979. Evaluation of Ammonia Stress and Coccidiosis on Broiler Performance. Poultry Science. 58 : 465--468

Raharjo, M. dan O. Rostiana. 2003. Standar Prosedur Opersional Budidaya Temulawak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balittro. Bogor Rasyaf, M. 1995. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

. 1999. Menajemen Beternak Ayam Broiler. Penebar Swadaya. Jakarta

Rimmelzwaan, G.F., T. Kuiken, G. van Amerongen, T.M. Bestebroer, R.A.M. Fouchier, and A.D.M.E. Osterhaus. 2001. Pathogenesis of Influenza A (H5N1) Virus Infection in a Primate Model. Journal of Virology. 75(14) : 6687--6691 Rostiana, R., 2003. Standar Prosedur Operasional Budidaya Temulawak. Artikel. http://typecat.com. Diakses tanggal 30 Desember 2012

Rukmana, R. 2006. Temulawak, Tanaman Rempah dan Obat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

. 2008. Temu-Temuan, Apotik Hidup di Pekarangan. Edisi ke-5. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Russel, P.H. 1993. Newcastle Disease Virus: Virus Replication in Harderian Gland Stimulates Lacrima Ig A, the Yolk Sac Provides Early Lacrimal Ig G. Veterinary Immunology an Immunopathology. 37 : 151--163


(6)

Sidik, M.W. Mulyono, dan A. Muhtadi. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorriza Robx.). Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam, Phyto Medica. Jakarta . 1995. Temulawak (Curcuma xanthoriza Robx.). Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam, Phyto Medica. Bogor Sujatmiko, W. 2006. Pengaruh Level Pemberian Kombinasi Air Rebusan Kunyit dan Daun Sirih Melalui Air Minum terhadap Retensi Bahan Kering, Bahan Organik, dan Kecernaan Lemak pada Broiler. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Tabbu C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Tantalo, S. 2009. Perbandingan Performans Dua Strain Broiler yang Mengonsumsi Air Kunyit. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung Tarmudji. 2005. Penyakit Pernafasan pada Ayam, Ditinjau dari Aspek Klinik dan Patologik Serta Kejadiannya Di Indonesia. Wartazoa Vol. 15 No. 2 Tizard, I.R. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. 2nd Edition. W.B. Saunders Company. USA

. 1987. Pengantar Imunologi Veteriner. Penerjemah Soehardjo H. Universitas Airlangga. Bogor.

. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Penerjemah Soehardjo H. dan Masduki P. Universitas Airlangga. Surabaya. Terjemahan dari : Veterinary Immunology

Varalakshmi, Ch., A. Mubarak Ali., and B.V.V. Pardhasaradhi. 2008. Immunomodulatory Effect of Curcumin : In Vivo. Int. J. Imm. 8 : 688

Wibawan, I.W.T., D.S. Retno, C.S. Damayanti, dan T.B. Tauffani. 2003. Diktat Imunologi. FKH-IPB. Bogor

Wibawan, I.W.T., I.B.P. Darmono, dan I.N. Suartha. 2010. Variasi Respon Pembentukan IgY terhadap Toxoid Tetanus dalam Serum dan Kuning Telur pada Individu Ayam Petelur. J. Vet. l. 11(3) : 152--157

Wingkel, P.T. 1997. Biosecurity in Poultry Production: Where are we and where do we go? Prosiding 11th International Congress of the World Poultry Association