FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PENYELESAIAN KONFLIK HUTAN REGISTER 45 DI KABUPATEN MESUJI (Studi Konflik Perambah Hutan Register 45 Mesuji)

(1)

(2)

ABSTRACT

THE INHIBITING FACTORS OF REGISTER 45 FOREST CONFLICT SETTLEMENTS IN MESUJI DISTRICT

(A Study on Conflicts of Register 45 Forest Encroachers) By

HARISUN

Forest has important position and role to support national development. Forest is also a natural resource being capitals in improving economic growth by exploiting it. Forest has a high economic value, but it also raises potential conflicts.

The objective of this research was to find out the inhibiting factors of Register 45 forest conflict settlements in Mesuji district conducted by government. The inhibiting factors could be seen from internal factor (government) and external factors (public and PT. Silva Inhutani Lampung). This research used a descriptive qualitative method. Data were primary data collected from depth interviews, surveys and observations; and secondary data from documents and literatures. The researcher found an interesting case where the conflict involved government, public, and company. Conflict was caused by low public awareness of law. To mitigate the problem, government had established an Integrated Team to overcome the conflict, but the conflict was not yet resolved. This was interesting to study because the conflict has been running so long and left unfinished until this day.

The research based on theory of conflict, theory of social change, theory of human needs. The research results showed that the conflict was not yet resolved because the following inhibiting factors. 1) the internal obstacles from government included: a) less qualified human resources, b) limited budget, c) obstacles on regulations; 2) the external obstacles from a) public included: (i) local culture obstacle, (ii) economic need fulfilments, (iii) law awareness, (iv) encroacher support strength; b) external obstacles from PT. Silva Inhutani Lampung including: (i) capitalism culture, (ii) communication to public.

The conclusion is that the government should be more assertive in resolving the conflict so that the conflict in Register 45 forest can be resolved as soon as possible.


(3)

Harisun

ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PENYELESAIAN KONFLIK HUTAN REGISTER 45 DI KABUPATEN MESUJI

(Studi Konflik Perambah Hutan Register 45 Mesuji)

Oleh HARISUN

Hutan memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Hutan juga merupakan salah satu sumber daya alam yang dijadikan modal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara eksploitasi lahan kehutanan. Hutan memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, namun disisi lain juga berpotensi menimbulkan konflik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi konflik perambahan di Hutan Register 45 Mesuji. Adapun faktor-faktor penghambat tersebut dilihat dari sisi internal (Pemerintah) dan eksternal (Masyarakat dan PT. Silva Inhutani Lampung). Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, data primer didapatkan melalui wawancara mendalam, survey dan observasi sedangkan data sekunder di dapatkan melalui dokumen-dokumen dan literatur.

Peneliti menemukan kasus yang menarik dimana terdapat fenomena konflik antara Pemerintah, Perusahaan, dan Masyarakat. Konflik yang terjadi disebabkan kesadaran masyarakat akan aturan hukum sangat rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah sudah membentuk Tim Terpadu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, tetapi faktanya konflik belum terselesaikan. Hal ini menarik untuk diteliti mengingat konflik ini terjadi sudah berlarut-larut dan belum terselesaikan hingga saat ini.

Hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan teori yang digunakan yaitu teori konflik, teori perubahan sosial, dan teori kebutuhan manusia maka konflik belum terselesaikan dikarenakan oleh faktor-faktor penghambat diantaranya: 1)Hambatan di Internal Pemerintah: a) Hambatan kurang memadainya kualitas sumber daya manusia, b) Hambatan keterbatasan dana, c) Hambatan dukungan peraturan. 2) Hambatan di eksternal: a)Masyarakat (i) Hambatan budaya lokal, (ii)Hambatan pemenuhan kebutuhan ekonomi, (iii) hambatan kesadaran terhadap


(4)

Harisun

aturan hukum, (iv) Hambatan kekuatan dukungan perambah. b)PT Silva Inhutani Lampung: (i) Hambatan budaya kapitalisme, (ii) Hambatan komunikasi kepada masyarakat.

Berdasarkan keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah harus lebih tegas dalam mengatasi konflik yang terjadi agar konflik yang terjadi di kawasan Hutan Register 45 Mesuji dapat segera diselesaikan.


(5)

(6)

(7)

(8)

ii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Kegunaan Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Konflik ... 14

1. Pengertian Konflik ... 14

2. Jenis Konflik ... 15

3. Teori Konflik ... 16

B. Tinjauan Tentang Teori Perubahan dan Teori Kebutuhan Manusia ... 20

1. Teori Perubahan Sosial... 20

2. Teori Kebutuhan Manusia ... 24

C. Tinjauan Tentang Konflik Kehutanan ... 25

D. Tinjauan Tentang Hutan ... 28

1. Pengertian Hutan ... 28

2. Status Dan Fungsi Hutan ... 30

3. Perlindungan Hutan ... 32

E. Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Hutan dan Penyelesaian Konflik Kehutanan ... 35

1. Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Hutan ... 35

2. Peran Pemerintah Dalam Penyelesaian Konflik Kehutanan ... 39


(9)

iii III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tipe Penelitian ... 43

B. Fokus Penelitian ... 44

C. Lokasi Penelitian ... 45

D. Informan Penelitian ... 45

E. Jenis Data ... 47

F. Teknik Pengumpulan Data ... 48

G. Teknik Analisis Data ... 49

H. Teknik Validitas Data ... 51

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Profil Dinas Kehutanan dan Perkebunan Mesuji ... 53

B. Sejarah Kawasan hutan Register 45 Mesuji ... 64

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Faktor Internal Penghambat Penyelesaian Konflik Hutan Register 45 di Kabupaten Mesuji ... 68

1. Hambatan Kualitas Sumber Daya manusia ... 70

2. Hambatan Anggaran Penyelesaian Konflik ... 77

3. Hambatan Dukungan Peraturan ... 79

B. Faktor Ekternal Penghambat Penyelesaian Konflik Hutan Register 45 di Kabupaten Mesuji ... 83

1. Masyarakat Perambah ... 83

a. Budaya Lokal ... 85

b. Kemampuan Pemenuhan Kebutuhan Ekonomi... 87

c. Kesadaran terhadap Aturan Hukum ... 91

d. Kekuatan Pendukung Perambah ... 93

2. PT Silva Inhutani Lampung ... 95

a. Budaya Kapitalisme ... 95

b. Hambatan Komunikasi Kepada Masyarakat ... 98

VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 101

B. Saran ... 103 DAFTAR PUSTAKA


(10)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Kehutanan ... 2 2. Kerangka Pemikiran ... 33 3. Bagan Struktur Organisasi Dinas Kehutanan dan


(11)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Frekuensi Kejadian Konflik Kehutanan Berdasarkan

Provinsi Tahun (1997-2003) ... 3 2. Data Perambah Hutan Register 45 Kabupaten Mesuji,

Provinsi Lampung ... 5 3. Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah ... 7 4. Data Perambah Kawasan Register 45 Mesuji ... 69 5. Susunan Tim Terpadu Penertiban dan Penyelamatan


(12)

I.PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Hutan memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan hutan itu bermanfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat modern atau masyarakat pada negara-negara yang berkembang pesat, fungsi sosial hutan sangat diperlukan. Salah satu fungsi hutan yang terpenting adalah memberikan jasa keindahan, kenyamanan, ilmu pengetahuan dan keunikan budaya masyarakat di sekitar hutan yang secara keseluruhan memberikan daya tarik yang tinggi.

Hutan juga merupakan salah satu sumber daya alam yang dijadikan modal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara eksploitasi lahan kehutanan. Karenanya lahan kehutanan mempunyai peranan yang strategis dalam pembangunan negara Indonesia. Eksploitasi hutan secara terus menerus dapat menyebabkan ketimpangan sosial masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, dalam pengelolaan hutan perlu ada analisis dampak terhadap masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Jika kekayaan hutan terus diambil untuk pertumbuhan ekonomi tanpa ada penanggulangan yang maksimal, maka akan muncul beberapa akibat dan masalah baru.


(13)

2

Hutan memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, namun disisi lain juga berpotensi menimbulkan konflik. Konflik kehutanan umumnya dikarenakan adanya ketimpangan penguasaan atas tanah dan sumber daya alam yang didukung regulasi yang tidak pro-rakyat banyak (pro kapitalis), tumpang tindih, administrasi pertanahan yang kacau, dan penegakan hukum yang lemah. Sedangkan menurut Wulana (2004) ada lima hal yang menyebabkan terjadinya konflik kehutanan yaitu, masalah tata batas, pencurian kayu, perambahan hutan, kerusakan lingkungan dan peralihan fungsi kawasan. Hal ini dapat di lihat pada gambar 1.

Gambar I. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Kehutanan

Sumber: Laporan Penelitian CIFOR-FWI Research Report, 2004 0 10 20 30 40 50 60 70 80 HPH (Hak Pengusahaan Hutan) HTI (Hutan Tanaman Industri) KK (Kawasan Konservasi) Perambahan Hutan Pencurian Kayu Kerusakan Lingkungan Tata Batas Pembatasan Akses Alih Fungsi


(14)

Konflik kehutanan secara nasional tersebar di beberapa kawasan provinsi di Indonesia. Frekuensi konflik kehutanan paling banyak terjadi di Provinsi Kalimantan Timur, diasumsikan karena banyaknya hutan yang tersebar di provinsi tersebut. Setelah Kalimantan Timur menyusul Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Riau, Jambi, Jawa Timur, dan selanjutnya tersebar di berbagai provinsi termasuk Lampung ( Wulana, 2004).

Tabel I. Frekuensi Kejadian Konflik Kehutanan Berdasarkan Provinsi Tahun (1997-2003)

Provinsi Frekuensi Presentase

Kalimantan Timur 109 30

Jawa Tengah 47 13

Sumatera Utara 36 10

Jawa Barat 25 7

Riau 19 5

Jambi 16 4

JawaTimur 14 4

Sumatera Selatan 12 3

Nanggroe Aceh Darusalam 10 3

Kalimantan Tengah 10 3

PropinsiLainnya 61 17

Total 359 100

Sumber : Laporan Penelitian CIFOR-FWI Research Report, 2004

Jika dilihat dari tabel tersebut, Lampung tidak termasuk Provinsi yang terjadi konflik kehutanan dalam skala yang besar, tetapi pada akhir-akhir ini Lampung menjadi salah satu pusat perhatian pemerintah tentang konflik kehutanan, salah satunya adalah yang terjadi di Kabupaten Mesuji. Konflik yang terjadi di Mesuji yaitu konflik Hutan Register 45 Sungai Buaya dan konflik tanah PT.BSMI.


(15)

4

Konflik hutan register 45 di Kabupaten Mesuji merupakan konflik antara Pemerintah, PT SIL, dan Masyarakat. Pada tanggal 7 Oktober 1991 keluar SK Menhut No. 688/Kpts-11/1991 Menteri Kehutanan memberikan izin percobaan penanaman kepada PT.Silva Inhutani Lampung (PT.SIL) di Register 45 seluas 10.000 Ha. Pada tanggal 22 November 1993 keluar SK Menteri Kehutanan No.785/kpts-II/1993 tentang penetapan kelompok hutan register 45 Sungai Buaya yang terletak di Kabupaten Dati II Lampung Utara, Provinsi Daerah Tingkat I Lampung seluas 43.100 Ha sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi produksi. Pada tanggal 29 Juni 1994 dikeluarkan Surat Dirjen PH No.1727/IV-PPH/1994 tentang perluasan areal HTI seluas 10.500 Ha. Pada tanggal 17 Februari 1997 keluar SK Menteri Kehutanan No.93/kpts-II/1997 tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri atas areal hutan seluas 43.100 Ha kepada PT. Silva Inhutani Lampung. (Ir. Umar Rasyidi, MS – Kadishutbun Mesuji)

Tahun 1999 pada masa Reformasi awal, tepatnya di Simpang Asahan sekelompok masa memasuki wilayah Register 45, diawali dari Register 45 arah Kampung Bukoposo Kecamatan Way Serdang sekelompok massa mulai merambah kawasan Hutan Register 45 dengan cara melakukan jual beli terhadap para pendatang dari berbagai wilayah. Pada tahun 2000 masyarakat yang datang dari luar Mesuji (Sumatera Selatan, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Utara) membentuk kampung yang dinamakan Moro-Moro (Moro Seneng, Moro Dadi, Moro Dewe, dan Suka Makmur).


(16)

Perambah menduduki Pelita Jaya dan bertindak sangat anarkis dengan cara menebang/membakar/menguliti tanaman HTI. Kemudian mendirikan gubuk-gubuk dan portal, serta mendirikan pure-pure, dan langgar. Perambah tersebut mengkondisikan lokasi layaknya pemukiman. Masyarakat yang menduduki lokasi tersebut mayoritas berasal dari luar Mesuji dan didominasi suku Bali.

Pernah dilakukan sosialisasi oleh pihak perusahaan dan Pemerintah melalui Dinas Kehutanan Provinsi Lampung pada tahun 2000 dengan cara memasang Plang larangan mendirikan, mengusahakan, menguasai dan menggarap kawasan hutan register 45, tetapi mendapat perlawanan dari para perambah diwilayah dan akibatnya dibiarkan dengan alasan yang belum jelas, dan berlangsung sampai Tahun 2005.

Tahun 2010 Awal, Register 45 (wilayah Pelita Jaya, Alba I, Alba II, Alba 5) kembali dimasuki oleh perambah dari berbagai wilayah di lampung, yang lokasinya oleh perambah dinamakan Nusa jaya, dibawah Korlap Wayan Ana (Lamteng), Andi (Way Kanan ), dan satu orang perempuan bernama Agustina. (Sekjen PPLH Mesuji: Ansori,MS)

Konflik perambah hutan di kawasan hutan register 45 Mesuji semakin berlarut-larut dan belum terselesaikan hingga saat ini (2013). Masyarakat perambah juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari media bahwa kawasan hutan register 45 saat ini sudah hampir habis, hanya sisa sekitar 3.820 Ha. Seperti yang diungkapkan sebagai berikut:


(17)

6

"Saat ini sebanyak 15.000 hektar yang sudah habis, bahkan yang sudah musnah sekitar 12.505 ribu hektar dan data ini sampai dibulan 12, terakhir yang tersisa hanya 3.280 hektar bila dalam persentase sekitar 29 persen, artinya tingkat kerugian mencapai Rp1.Triliun. Karena setiap satu hektarnya, nilai jual kayu rata-rata 72,632meterkubik,"paparnya. (Radar lampung, 23 januari 2013)

Hingga saat ini para perambah tersebut sudah mencapai ribuan orang yang datang dari berbagai daerah dan tinggal di kawasan hutan register 45 mesuji dengan membentuk desa. Data perambah hutan register 45 Mesuji adalah sebagai berikut:

Tabel II. Data perambah Hutan Register 45 Kabupaten mesuji, Provinsi Lampung

No Nama Kelompok dan Wilayah Jumlah kk

Jumlah Jiwa

Jumlah Rumah 1. Suka Agung 1 (Blok Alba XII)

Suka Agung 2 (Blok Alba VIIIA) Umbul Lalang (Blok Alba VIII A)

357 215 215 511 431 511 360 234 225 2. Tugu Roda (Margo Mulyo) (Blok Alba

VIII A/IX)

Tunggal Jaya (Blok Alba X, XI)

650 615 1.021 1.415 650 632 3. 1. Karya Jaya 1 (Blok Div IV A)

2. Karya Jaya 2 (Sawit 99 Alba II A) 3. Karya jaya 3 (Pelita Jaya)

4. Romo Samin (Blok Alba VII B) 5.Karya Jaya 4 (Blok Alba V A) 6. Marga Jaya (Alba VIII B) 7. Marga Jaya Tengah (Alba IX) 8. Mesuji Raya (Alba VI A, VII B) 9. Lebung Gajah Jaya (Alba V A, Abla VIIA)

10. Air Mati (Alba VI B)

750 275 651 - 675 800 423 787 512 716 2.000 511 1.375 - 1.117 1.115 912 1.135 1.197 1.112 750 280 661 - 681 816 450 800 550 750 4. Karya Tani (Alba IV A) 900 1.878 911 5. Pok TB (Alba VIII A Seputaran

Terminal)

8 30 3

Jumlah 8.549 16.271 8.753


(18)

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat perambah hutan sudah meluas di berbagai wilayah dengan jumlah perambah yang sudah mencapai puluhan ribu. Hal ini merupakan permasalahan serius yang perlu di tangani oleh pemerintah khususnya yang berwenang sebagai penengah rakyat, memberikan kebijakan serta keamanan bagi masyarakatnya, pernyataan ini diperkuat oleh Rasyid (dalam Labollo,2006:19) bahwa fungsi pemerintah adalah peraturan, pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan. Pelaksanaan fungsi peraturan yang lazim dikenal sebagai fungsi regulasi dengan segala bentukya, dimaksudkan sebagai usaha untuk menciptakan kondisi yang tepat sehingga menjadi kondusif bagi berlangsungnya berbagai aktifitas. Fungsi pelayanan membuahkan keadilan dalam masyarakat. Jadi, pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam menyelesaikan serta menjadi penengah konflik perambahan hutan Register 45.

Upaya yang sudah dilakukan oleh Pemerintah dalam penyelesaian konflik Hutan Register 45 adalah dengan melakukan sosialisasi terhadap masyarakat perambah oleh Tim kerja yang dibentuk oleh Pemerintah. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:


(19)

8

Tabel III. Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah

No Tanggal Upaya Pemerintah

1. 21 Mei 2010 Pembentukan Tim Kerja Perlindungan Hutan Provinsi Lampung berdasar SK Gubernur Lampung No.G/354/III/16/HK/2010

2. 6 November 2010 (Pukul 16.30)

Tim Perlindungan Hutan (sekitar 60 petugas) melakukan sosialisasi dan penertiban gubuk di eks dusun Pelita Jaya.

3. 17 Februari 2011 Pembentukan Panitia Tata Batas Kawasan Hutan Produksi Register 45 Sungai Buaya Kabupaten Mesuji berdasar Keputusan Bupati No.B/37/1.02/HK/MSJ/2011

4. 8 Februari 2012 Penjabat Bupati Mesuji Membentuk Tim Terpadu Penertiban, Pengosongan, dan Penyelamatan Hutan Produksi Register 45 Sungai Buaya

5. 14 s/d 27 Februari 2012

Tim Terpadu Penertiban, Pengosongan, dan Penyelamatan Hutan Produksi Register 45 Sungai Buaya melakukan sosialisasi terbuka dan sosialisasi tertutup.

6. 28 s/d 3 Maret 2012

Tim Terpadu Penertiban, Pengosongan, dan Penyelamatan Hutan Produksi Register 45 Sungai Buaya melakukan tindakan penertiban, pengosongan dan pengusiran secara paksa bagi perambah.

7. 28 Februari 2012 Atas saran Kapolres Tulang Bawang, penertiban ditunda/dibatalkan.

8. 12 juni 1012 Pembentukan Tim Terpadu Penanganan Kasus mesuji Tahun 2012 berdasar keputusan

MENKOPOLHUKAM No.Kep

247/ses/POLHUKAM/6/2012

9. 25 Juni 2012 Pembentukan Tim Terpadu Penertiban dan Penyelamatan Hutan Register 45 Sungai Buaya berdasar SK Bupati Mesuji No.B/118/I.02/HK/MSJ/2012

10. 2012 Pembentukan Tim Gabungan Penertiban Kawasan Hutan Produksi Register 45 berdasar SK Menteri Kehutanan No.338/MENHUT/IV/2012

Sumber: Dokumen Dinas Kehutanan dan Perkebunan Mesuji - 2013

Sosialisasi Terpadu Pemerintah Daerah Mesuji pada masa Penjabat Bupati Mesuji Albar Hasan Tanjung, pada hari selasa tanggal 8 Februari 2012. Yaitu sosialisasi penertiban, pengosongan, dan penyelematan hutan produksi Register 45 Sungai Buaya. Sosialisasi tersebut dilakukan oleh Tim Terpadu penertiban,


(20)

pengosongan, dan penyelematan hutan produksi Register 45 Sungai Buaya bersama dengan masyarakat Kabupaten Mesuji yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bersatu. Sosialisasi tersebut berdasar Surat Keputusan Bupati Mesuji No.B/118/I.02/HK/MSJ/2012 tentang pembentukan Tim Terpadu penertiban, pengosongan, dan penyelematan hutan produksi Register 45 Sungai Buaya Kabupaten Mesuji.

Sosialisasi yang dilakukan oleh Tim tersebut berupa Sosialisasi Formil dan sosialisasi Non Formil:

1. Formil

Yaitu sosialisasi yang dilakukan secara langsung terhadap masyarakat perambah yang tinggal di kawasan Hutan Register 45 Mesuji.

2. Non formil

Sosialisasi non formil yaitu dengan adanya polisi intelijen yang bertemu dengan masyarakat dengan memberi himbauan:

a. Himbauan kepada masyarakat untuk menyadarkan bahwa kawasan hutan register 45 tidak layak untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. b. Menghimbau masyarakat untuk kembali ke daerah asalnya

masing-masing.

c. Menghimbau masyarakat asli agar tidak terlibat dalam perambahan hutan.

Tim yang menangani konflik Register 45 bukan hanya tim yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Mesuji, tetapi juga tim yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat, salah satunya yaitu Tim Terpadu Penanganan Kasus Mesuji. Tim


(21)

10

terpadu penanganan kasus Mesuji dibentuk oleh Kementrian Politik Hukum dan Keamanan. Tim tersebut tidak hanya menangani kasus di register 45, tetapi juga menangani kasus di PT.BSMI dan kasus di Sodong. Tim tersebut adalah Tim Gabungan Pencari Fakta, untuk mengetahui penyebab permasalahan yang ada di Mesuji.

Setelah ditemukan fakta-fakta dilapangan, direkomendasikan agar Kementrian Kehutanan untuk segera menyelesaikan konflik yang ada di Kawasan Hutan Register 45 sungai Buaya Mesuji. Kemudian Kementrian Kehutanan membentuk tim yang disebut Tim Gabungan Operasi Penertiban Kawasan Hutan Produksi Register 45. Anggota dari Tim tersebut terdiri dari Kementrian Kehutanan, Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Mesuji, TNI dan POLRI dan Kejaksaan. (Antoni Hasan S.Ip - Sub Bid Pengkajian Politik dan Pemerintahan)

Tahapan operasi dari Tim tersebut adalah:

1. Pra Operasi

Identifikasi dan inventarisasi keberadaan perambah di kawasan Hutan Register 45 Mesuji.

2. Operasi

a. Sosialisasi dan Himbauan

b. Penindakan Hukum, dengan meminta keterangan dari masing-masing korlap masyarakat perambah


(22)

3. Pasca operasi

Kesiapan Tim untuk mengembalikan masyarakat perambah ke daerah asalnya.

Tim yang saat ini masih bekerja dalam mengatasi konflik hutan register 45 Kabupaten Mesuji adalah Tim Terpadu Penertiban dan Penyelamatan Hutan Register 45 Sungai Buaya yang dibentuk berdasarkan SK Bupati Mesuji No. B/118/I.02/HK/MSJ/2012. Proses yang dilakukan hingga saat ini adalah sampai pada tahap sosialisasi dan penindakan hukum. Belum sampai pada tahap pengusiran, karena tim bekerja dengan mengedepankan aspek sosial dan mengantisipasi terjadinya korban. Karena adanya indikasi perlawanan dari masyarakat perambah jika akan dilakukan pnegusiran secara paksa. Seperti yang sudah terjadi pada tanggal 6 November 2010, Tim Perlindungan Hutan (sekitar 60 petugas) yang sedang melakukan sosialisasi dan penertiban di eks Dusun Pelita Jaya ditentang oleh perambah (150-200 orang) dengan mengacung-acungkan senjata tajam dan himbauan petugas tidak dihiraukan, bahkan perambah semakin beringas melakukan perlawanan. (Ir. Umar Rasyidi, MS – Kadishutbun Mesuji)

Penyelesaian konflik hutan register 45 terkesan lambat, karena sudah bertahun-tahun konflik tersebut terjadi tetapi hingga saat ini belum terselesaikan. Salah satu faktor penghambatnya mungkin karena pemerintah dalam menyelesaikan konflik tersebut hanya penyelesaian konflik dipermukaanya saja, yang dilihat pemerintah hanya persoalan kekerasan, pelaku, dan korban, tidak menyentuh pada persoalan agraria. Selain itu menurut seorang tokoh masyarakat tidak


(23)

12

terselesaikannya kasus perambahan sebelumnya, serta tidak ada ketegasan dari pemerintah dalam menyelesaikan konflik tersebut.

Berdasarkan pemaparan dan melihat fenomena di atas, maka menarik untuk dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang faktor-faktor yang menghambat dalam mengatasi konflik perambah hutan register 45 di Kabupaten Mesuji.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apa faktor-faktor penghambat dalam mengatasi konflik Hutan Register 45 di Kabupaten Mesuji?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat dalam mengatasi konflik Hutan Register 45 di Kabupaten Mesuji.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna baik secara akademis maupun praktis: 1. Kegunaan akademis, sebagai salah satu upaya untuk memperkaya

khasanah Ilmu Pemerintahan terutama mengenai peran dan fungsi pemerintah dan lebih memahami tentang Hukum Agraria Nasional, serta memahami manajemen konflik yang membahas upaya pemerintah dalam mengatasi konflik perambah hutan Register 45 di Kabupaten Mesuji.


(24)

2. Kegunaan praktis sebagai bahan masukan dan informasi bagi pemerintah. Bagi pemerintah kabupaten Mesuji khususnya Dinas Kehutanan, dalam mengambil kebijakan yang akan diterapkan dalam mengatasi konflik hutan Register 45 agar konflik tersebut dapat diselesaikan.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Konflik 1. Pengertian Konflik

Fisher (2001:4) membedakan antara definisi konflik dan kekerasan sebagai berikut: Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sedangkan kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan. Dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh.

Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Karena itu konflik tetap berguna, apalagi karena memang merupakan bagian dari keberadaan kita. Semua bentuk hubungan manusia seperti hubungan sosial, ekonomi, dan kekuasaan mengalami pertumbuhan, perubahan, dan konflik. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan tersebut.


(26)

15

2. Jenis Konflik

Wirawan (2010:32) mengemukakan beberapa jenis konflik ditinjau dari berbagai aspek sebagai berikut:

1. Aspek subyek yang terlibat dalam konflik

a. Konflik personal adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan

b. Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi antar personal dalam suatu organisasi, dimana pihak-pihak dalam organisasi saling bertentangan

c. Conflict of interest berkembang dari konflik interpersonal dimana para individu dalam organisasi memiliki interest yang lebih besar dari interest organisasi, sehingga mempengaruhi aktivitas organisasi

2. Aspek substansi konflik

a. Konflik realistis yaitu konflik dimana isu ketidaksepahaman/pertentangan terkait dengan substansi/obyek konflik sehingga dapat didekati dari dialog, persuasif, musyawarah, negosiasi maupun voting

b. Konflik non realistis adalah konflik yang tidak ada hubunganya dengan substansi/obyek konflik, hanya cenderung mau mencari kesalahan lawan baik dengan cara kekuasaan, kekuatan, agresi/paksaan.

3. Aspek keluaran

a. Konflik konstruktif yaitu konflik dalam rangka mencari dan mendapatkan solusi

b. Konflik destruktif yaitu konflik yang tidak menghasilkan atau tidak berorientasi pada solusi, mengacaukan, menang sendiri dan hanya saling menyalahkan.

4. Aspek bidang kehidupan

Konflik bidang kehidupan antara lain bidang ekonomi, termasuk SDH merupakan konflik yang terjadi lebih dipicu oleh keterbatasan


(27)

16

sumber daya alam, manusia cenderung berkembang dan terjadi perebutan atas akses ke sumber-sumber ekonomi, perebutan penguasaan atas sumber-sumber ekonomi dan dapat saja memicu konflik-konflik bidang kehidupan lainya yaitu konflik sosial, politik dan budaya.

Supohardjo (2000:26) membagi konflik menjadi dua jenis menurut level permasalahanya, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Menurut level permasalahanya, konflik vertikal terjadi antara pemerintah dan masyarakat, sedangkan antar masyarakat atau antar institusi pemerintah adalah konflik horizontal.

3. Teori Konflik

Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa teori konflik merupakan teori terpenting pada saat ini, karena penekanannya pada kenyataan sosial di tingkat struktur sosial dibandingkan di tingkat individual, antarpribadi atau budaya.

Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama dan yang paling kontroversial yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial secara


(28)

17

revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.

Garis besar teori Marx tentang konflik mencakup beberapa pokok bahasan (Puspitawati, 2009:7) sebagai berikut:

1. Apa penyebab terjadinya konflik

Menurut Marx, sejarah umat manusia ditentukan oleh materi/benda dalam bentuk alat produksi Alat produksi ini untuk menguasai masyarakat. Alat produksi adalah setiap alat yang menghasilkan komoditas. Komoditas diperlukan oleh masyarakat secara sukarela. Bagi Marx fakta terpenting adalah materi Ekonomi. Oleh karena itu, teori Marx ini juga dikenal dengan determinisrne ekonomi. Konflik terjadi karena faktor ekonomi (determinasi ekonomi). Yang dimaksud dengan faktor ekonomi disini adalah penguasaan terhadap alat produksi. Berdasarkan alat produksi Marx membagi perkembangan masyarakat menjadi 5 tahap:

a. Tahap 1: Masyarakat Agraris/primitif. Dalam masyarakat Agraris alat produksi berupa tanah. Dalam masyarakat seperti ini penindasan akan terjadi antara pemilik alat produksi yaitu pemilik tanah dengan penggarap tanah.

b. Tahap 2: Masyarakat budak. Dalam masyarakat seperti budak sebagai alat produksi tetapi dia tidak memiliki alat produksi. Penindasan terjadi antara majikan dan budak.

c. Tahap 3: Dalam masyarakat feodal ditentukan oleh kepemilikan tanah.


(29)

18

d. Tahap 4: Masyarakat borjuis. Alat Produksi sebagai industri. Konflik tedadi antara kelas borjuis dengan buruh. Perjuangan kelas adalah perjuangan antara borjuis dan proletar.

e. Tahap 5: Masyarakat komunis. Dalam masyarakat ini kelas proletar akan menang.

2. Siapa yang konflik

Konflik terjadi antara dua kelas (Borjuis dan Proretar). Konflik ini bersifat mendalam dan sulit diselesaikan. Perbedaannya bukan dalam cara hidup melainkan perbedaan dalam kesadaran kelas. Dalam teori Marx eksistensi sosial menentukan kesadaran dan perbedaan kelas (kaya miskin) .Perbedaan ini mencakup dalam materi dan psikologi. Perbedaan antara kelas borjuis dan kelas proletar tidak hany terdapat pada cara hidup melainkan juga cara berfikir. Orang komunis menganggap penting kesadaran, makanya mereka mementingkan sosialisasi dan indoktrinasi dan Brainwashing.

3. Sejauhmana intensitas konflik tersebut Intensitas konflik mengakibatkan adanya kelas yang ditindas (proletar ditindas oleh borjuis).

4. Bagaimana penyelesaian konflik tersebut.

Konflik akan mengakibatkan kesadaran para kaum proletar nantinya berada dalam kondisi yang sama. Penindasan akan mengakibatkan frustrasi, dan frustrasi akan mengakibatkan revolusi. Revolusi proletarlah nantinya yang akan menyelesaikan konflik.


(30)

19

Asumsi yang dipakai dalam mengembangkan teori sosial konflik adalah bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori struktural-fungsionalisme (Megawangi, 2005:45), yaitu:

a. Walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik yang sistemik, pola relasi yang ada sebenarnya penuh dengan kepentingan-kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa sistem sosial secara sistematis menghasilkan konflik.

b. Maka konflik adalah suatu yang tak terhindarkan dalam semua sistem sosial.

c. Konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumberdaya yang terbatas, terutama kekuasaan.

d. Konflik adalah sumber utama terjadinya perubahan dalam masyarakat.

Sedangkan beberapa proposisi yang dikemukakan oleh Marx secara singkat telah diuraikan oleh Turner dalam Megawangi (2005:54) sebagai berikut:

a. Semakin tidak merata distribusi sumberdaya atau kekuasaan yang jumlahnya terbatas, semakin tinggi tingkat konflik antara kelompok dominan dan kelompok subordinat dalam sebuah sistem.

b. Semakin besar kesadaran kaum subordinat akan kepentingan kolektifnya, mereka akan mempertanyakan legitimasi ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan kekuasaan. Kesadaran kolektif ini timbul kalau masing-masing individu dapat saling berkomunikasi. Semakin sering para individu dalam kelompok subordinat mengomunikasikan penderitaannya pada lainnya yang mempunyai penderitaan yang sarna, mereka akan semakin sadar akan kepentingan kolektifnya. Saling mengomunikasikan ini akan lebih sering terjadi kalau mereka sering bertemu atau semakin mempunyai akses terhadap media komunikasi. Selain itu, kesadaran kelompok dapat terjadi apabila ada figur pemersatu. Semakin baik atau terorganisasi kesatuan kelompok, maka


(31)

20

semakin tinggi tingkat kesadaran kolektif. Hal ini biasanya terjadi kalau ada tokoh yang dapat menyatukan mereka. Tokoh ini adalah pemimpin yang dapat menyebarkan ideologi kepada kelompoknya agar mereka semakin sadar akan penderitaanya, menjadi marah sehingga dapat bersatu dalam kolektivitasnya.

c. Apabila kesadaran kelompok semakin tinggi dengan tingkat emosionalnya yang marah dan lebih terorganisasi dengan baik, maka semakin besar kemungkinan mereka untuk mengadakan konflik langsung dengan kelompok dominan.

d. Semakin tinggi tingkat konflik semakin besar polarisasi antara kelompok subordinat dan ordinat dalam sebuah sistem. Semakin terpolarisasi antar kedua kelompok tersebut, semakin tinggi tingkat kekerasan yang ditimbulkan oleh konflik.

e. Semakin tinggi tingkat kekerasan, semakin besar perubahan struktural yang terjadi dan akan terjadi redistribusi sumber daya yang terbatas tersebut.

B. Tinjauan Tentang Teori Perubahan dan Teori Kebutuhan Manusia

1. Teori Perubahan Sosial

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.


(32)

21

Beberapa teori tentang perubahan sosial adalah sebagai berikut (Bambang, 2009:105):

a. Teori Evolusi (Evolutionary Theory)

Tokoh yang berpengaruh pada teori ini adalah Emile Durkheim dan Ferdinand Tonnies. Durkheim berpendapat bahwa perubahan karena evolusimempengaruhi cara pengorganisasian masyarakat, terutama yang berhubungan dengan kerja. Sedangkan Tonnies memandang bahwa masyarakat berubah dari masyarakat sederhana yang mempunyai hubungan erat dan kooperatif menjadi tipe masyarakat besar yang memiliki hubungan yang terspesialisasi dan impersonal. Akan tetapi perubahan-perubahan tersebut tidak selalu membawa kemajuan, kadang bahkan membawa perpecahan dalammasyarakat, individu menjadi terasing, dan lemahnya ikatan sosial seperti yang terjadi dalam masyarakat perkotaan. Teori ini hanya menjelaskan bagaimana perubahan terjadi tanpa mampu menjelaskan mengapa masyarakat berubah.

b. Teori Revolusioner

Tokoh dalam teori ini adalah Ralf Dahrendorf. Ia berpendapat bahwa semua perubahan sosial merupakan hasil dari konflik kelas di masyarakat. Ia yakin bahwa konflik dan pertentangan selalu ada dalam setiap bagian masyarakat. Menurut pandangannya, prinsip dasar teori konflik, yaitu konflik sosial dan perubahan sosial, selalu


(33)

22

melekat dalam struktur masyarakat. Menurut teori ini, konflik berasal dari pertentangan kelas antara kelompok tertindas dan kelompok penguasa sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Teori ini berpedoman pada pemikiran Karl Marx yang menyebutkan bahwa konflik kelas sosial merupakan sumber yang paling penting dan berpengaruh dalam semua perubahan sosial. Konsep utama dari teori konflik adalah adanya wewenang dan posisi. Kekuasaan dan wewenang akan menempatkan individu dalam posisi yang berbeda, atas dan bawah dalam setiap unsur. Posisi yang berbeda inilah yang mengakibatkan timbulnya konflik. Disini masyarakat selalu dipandang sebagai konflik. Berbagai peristiwa penting di negara kita sering kali diawali dengan adanya konflik di masyarakat.

Peralihan Orde Lama ke Orde Baru diawali dengan pemberontakan G30S PKI. Pertentangan antara masyarakat waktu itu sangat hebat. Korbanpun sangat banyak, nyawapun banyak melayang. Peristiwa reformasi 1998 juga diawali dengan konflik yang sangat dahsyat, demonstrasi besar-besaran anti pemerintah tentang kebijakan pun merajalela di setiap kota. Bangunan megahpun ikutan dilalap si jago merah. Para mahasiswa seluruh Indonesia serentak menggelar aksi anti “Suharto” bebaskan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Akhir dari peristiwa ini yaitu lengsernya Bapak Soeharto (Presiden RI ke-2). Contoh lain lengsernya Sadam Husein (Presiden Irak) yang diawali


(34)

23

dengan adanya konflik, yaitu konflik antar negara yangmenyebabkan terjadinya perang Irak tahun 2000.

c. Teori Fungsionalis (Functionalist Theory)

Teori fungsionalis berusaha melacak penyebab perubahan sosial sampai ketidakpuasan masyarakat akan kondisi sosialnya yang secara pribadi mempengaruhi mereka. Teori ini berhasil menjelaskan perubahan sosial yang tingkatnya moderat. Konsep kejutan budaya (cultural lag) dari William Ogburn berusaha menjelaskan perubahan sosial dalam kerangka fungsionalis ini. Menurutnya, meskipun unsur-unsur masyarakat saling berhubungan satu sama lain, beberapa unsur-unsur lainnya tidak secepat itu sehingga tertinggal di belakang. Ketertinggalan itu menjadikan kesenjangan sosial dan budaya antara unsur-unsur yang berubah sangat cepat dan unsur-unsur yang berubah lambat. Kesenjangan ini akan menyebabkan adanya kejutan sosial dan budaya pada masyarakat. Ogburn menyebutkan perubahan teknologi biasanya lebih cepat daripada perubahan budaya nonmaterial seperti kepercayaan, norma, nilai-nilai yang mengatur masyarakat sehari-hari.

d. Teori Siklis (Cyclical Theory)

Teori ini mempunyai perspektif (sudut pandang) yang menarik dalam melihat perubahan sosial. Teori ini beranggapan bahwa perubahan sosial tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapa pun, bahkan orang-orang ahli sekali pun. Dalam setiap masyarakat terdapat siklus


(35)

24

yang harus diikutinya. Menurut teori ini kebangkitan dan kemunduran suatu peradaban (budaya) tidak dapat dielakkan, dan tidak selamanya perubahan sosial membawa kebaikan.

2. Teori Kebutuhan Manusia

Teori kebutuhan Maslow merupakan konsep aktualisasi diri yang merupakan keinginan untuk mewujudkan kemampuan diri atau keinginan untuk menjadi apapun yang mampu dicapai oleh setiap individu (http://www.google.com/artikel, teori kebutuhan Abraham Maslow). Abraham Maslow menerangkan lima tingkatan kebutuhan dasar manusia adalah sebagai berikut :

1. Basic needs atau kebutuhan fisiologi, merupakan kebutuhan yang paling penting seperti kebutuhan akan makanan. Dominasi kebutuhan fisiologi ini relatif lebih tinggi dibanding dengan kebutuhan lain dan dengan demikian muncul kebutuhan-kebutuhan lain.

2. Safety needs atau kebutuhan akan keselamatan, merupakan kebutuhan

yang meliputi keamanan, kemantapan, ketergantungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas kekuatan pada diri, pelindung dan sebagainya. 3. Love needs atau kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta, merupakan

kebutuhan yang muncul setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan keselamatan telah terpenuhi. Artinya orang dalam kehidupannya akan membutuhkan rasa untuk disayang dan menyayangi antar sesama dan untuk berkumpul dengan orang lain.


(36)

25

4. Esteem needs atau kebutuhan akan harga diri. Semua orang dalam masyarakat mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat yang biasanya bermutu tinggi akan rasa hormat diri atau harga diri dan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan ini di bagi dalam dua peringkat sebagai berikut:

a. Keinginan akan kekuatan, akan prestasi, berkecukupan, unggul, dan kemampuan, percaya pada diri sendiri, kemerdekaan dan kebebasan.

b. Hasrat akan nama baik atau gengsi dan harga diri, prestise (penghormatan dan penghargaan dari orang lain), status, ketenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan, perhatian dan martabat. 5. Self Actualitation needs atau kebutuhan akan perwujudan diri, yakni

kecenderungan untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan kemampuannya.

C. Tinjauan Tentang Konflik Kehutanan

Menurut Wulan (2004:3) beberapa faktor penyebab konflik kehutanan dibagi menjadi lima kategori sebagai berikut:

a. Perambahan hutan, yaitu kegiatan pembukaan lahan pada kawasan hutan yamg bermasalah karena adanya perbedaan penafsiran mengenai kewenangan dalam pengelolaanya

b. Pencurian kayu, adalah penebangan kayu secara ilegal yang dilakukan oleh masyarakat/perusahaan di lokasi yang bukan miliknya, sehingga menimbulkan konflik dengan pihak yang merasa dirugikan

c. Batas, adalah perbedaan penafsiran mengenai batas-batas pengelolaan/kepemilikan lahan antara pihak-pihak yang terlibat konflik


(37)

26

d. Perusakan lingkungan, adalah kegiatan eksploitasi yang menyebabkan terjadinya degradasi manfaat suatu SDA dan kerusakan mutu lingkungan di suatu daerah

e. Alih fungsi, yaitu perubahan status kawasan hutan (misalnya dari hutan lindung menjadi hutan produksi) yang menimbulkan berbagai permasalahan antara pihak-pihak yang berkepentingan.

Faktor yang paling sering menyebabkan terjadinya konflik di setiap kawasan berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar III. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Kehutanan

Sumber: Laporan Penelitian CIFOR-FWI Research Report, 2004

Di areal HPH, konflik konflik sering terjadi karena adanya tumpang tindih areal HPH dengan lahan yang dikelola oleh masyarakat, karena ketidakjelasan tata batas. Pada dasarnya, secara legal pemegang HPH mengklaim berhak atas areal tersebut karena telah memperoleh izin kensesi dari pemerintah, sementara masyarakat secara tradisional telah lama mengelola lahan di areal tersebut.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 HPH (Hak Pengusahaan Hutan) HTI (Hutan Tanaman Industri) KK (Kawasan Konservasi) Perambahan Hutan Pencurian Kayu Kerusakan Lingkungan Tata Batas Pembatasan Akses Alih Fungsi


(38)

27

Berbeda dengan areal HPH, untuk di areal HTI yang menjadi penyebab utama konflik adalah tata batas kawasan dan pencurian kayu. Perbedaan penafsiran tata batas antara areal HTI dan lahan masyarakat merupakan penyebab yang sering memicu kinflik. Disamping itu, banyaknya pencurian kayu di areal HTI yang dilakukan oleh masyarakat maupun oknum yang melibatkan militer telah menimbulkan pertikaian-pertikaian antara anggota masyarakat dan antara pengelola HTI dengan para pencuri kayu.

Sementara itu, faktor utama penyebab konflik dikawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasioal adalah perambahan hutan dan pencurian kayu. Hal ini terjadi karena penetapan suatu kawasan konservasi biasanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Akibatnya timbul kesalahpahaman dari masyarakat dan pihak-pihak terkait itu. Dalam beberapa kasus, penetapan hutan lindung atau taman nasional sering memaksa masyarakat untuk pindah ketempat lain. Perambahan menjadi isu utama karena masyarakat masih menganggap bahwa lahan yang mereka buka untuk ladang adalah hak mereka walaupun telah ditetapkan menjadi kawasan lindung.

Faktor penyebab konflik kehutanan di setiap daerah berbeda-beda, begitu juga faktor penyebab konflik kehutanan yang terjadi di kawasan hutan register 45 Kabupaten Mesuji. Faktor penyebab konflik hutan register 45 Kabupaten Mesuji ada dua, yaitu:


(39)

28

1. Masalah Perambah

Masalah perambah yaitu adanya masyarakat perambah yang mengklaim lahan register 45 dari hasil jual beli seluas 11.300 – 15.000 Ha dengan rincian sebagai berikut:

a. Moro-moro (Moro Dadi, Moro Dewe, Moro Seneng) seluas 3.500 Ha b. Suay Umpu/Tugu Roda seluas 3.800 Ha

c. Pelita jaya seluas 4.000 Ha. 2. Masalah tanah penduduk asli

Masalah penduduk asli yaitu adanya klaim atas kawasan hutan register 45 oleh penduduk asli di areal sekitar kawasan hutan register 45.

a. Talang Gunung

Talang Gunung berdiri sejak tahun 1918 dan masyarakat menuntut tanah ulayat seluas 7.000 Ha

b. Labuhan batin

Masyarakat Labuhan Batin menuntut tanah seluas 2.600 Ha. (Ir. Umar Rasyidi, MS – Kadishutbun Mesuji)

D. Tinjauan Tentang Hutan 1. Pengertian Hutan

Menurut Dengler (dalam Suhendang 2000:62) yang diartikan dengan hutan adalah:

“Sejumlah pohon yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu kelembapan, cahaya, angin, dan sebaginya tidak lagi menentukan lingkungannya akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuhan pada tempat yang mengandung cukup luas dan tumbuhannya cukup rapat (horizontal dan vertical)”


(40)

29

Menurut Dengler (dalam Suhendang 2000:62-63) yang menjadi ciri hutan adalah:

a. Adanya pepohonan yang tumbuh pada tanah yang luas (tidak termasuk savanna dan kebun)

b. Pepohonan tumbuh secara berkelompok

Definisi di atas, sama dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan. Di dalam pasal tersebut yang diartikan dengan hutan ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon (yang ditumbuhkan pepohonan) yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya dan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan.

Sedangkan pengertian hutan di dalam Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Ada empat unsur yang terkandung dari definisi hutan di atas, yaitu:

a. Unsur lapangan yang cukup luas, yang disebut tanah hutan. b. Unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna

c. Unsur lingkungan


(41)

30

Unsur pertama, kedua, dan ketiga membentuk persekutuan hidup yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pengertian hutan di sini, menganut konsepsi hukum secara vertical, karena antara lapangan (tanah), pohon, flora, dan fauna, berserta lingkungannya merupakan satu kesatuan yang utuh.

Adanya penetapan pemerintah mengenai hutan mempunyai arti yang sangat penting, karena adanya Penetapan Pemerintah untuk mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan, dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya, serta menjaga dan melindungi hutan. Tujuan perlindungan hutan adalah untuk menjaga kelestarian dan fungsi hutan, serta menjaga mutu, nilai, dan kegunaan hasil.

2. Status Dan Fungsi Hutan a. Status Hutan

Secara hukum, kawasan hutan dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, kawasan hutan Negara, yaitu wilayah dimana pemerintah (Departemen Kehutanan) telah menetapkan bahwa tidak ada hak privat (Private rights) atas tanah tersebut. Kedua, Hutan hak, yaitu wilayah dimana tanah dan hutan yang ada diatasnya dibebani hak privat lainya (Privat rights).

Menurut pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Hutan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a dapat berupa hutan adat. Pemerintah menetapkan status hutan


(42)

31

sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2), dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataanya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaanya. Apabila dalam perkembanganya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

b. Fungsi Hutan

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (1) Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu: a) fungsi konservasi, b) fungsi lindung, dan c) fungsi produksi. (2) Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut: a) hutan konservasi, b) hutan lindung, dan c) hutan produksi. (Abdul Muis Yusuf, 2011:45). Penjelasan pasal 6 Ayat 1 sebagai berikut:

Pada umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung, dan produksi. Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Kemudian pasal 6 Ayat 2 penjelasanya, yang dimaksud dengan fungsi pokok hutan adalah fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan.

Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Tentang Kehutanan, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

2. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk


(43)

32

mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

3. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

Pasal 12 Undang-Undang Kehutan mengizinkan Departemen Kehutanan untuk melanjutkan penatagunaan kawasan hutan dengan menentukan fungsi hutan produksi, konservasi dan fungsi hutan lindung mengingat penetapan kawasan hutan akan membutuhkan waktu yang lama, namun demikian, penatagunaan kawasan hutan tidak dapat dilanjutkan dengan proses apa pun(termasuk pemberian izin di atasnya) sebelum ada status penguasaanya ditentukan melalui proses pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah atau aturan lain yang diatur dalam UUPA atau melalui proses penataan batas kawasan hutan yang berakhir dengan penandatanganan BATB dan penetapan resmi sebagai Hutan Negara oleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan.

3. Perlindungan Hutan

Perlindungan hutan merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat luas. Untuk mengikat hal ini maka diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah. Ketentuan tentang perlindungan hutan semula diatur dalam pasal 15 Undang-Undang No 5 Tahun 1967, kemudian diubah dengan Pasal 46 sampai dengan Pasal 51 Undang-Undang No 41 Tahun 1999. Sedangan peraturan pemerintah yang


(44)

33

mengatur tentang perlindungan hutan adalah Peraturan Pemerintah No 45 tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan.

Berdasarkan pasal 15 Undang-Undang No 5 Tahun 1967, perlindungan hutan meliputi usaha-usaha untuk:

a. Mencegah dan mengatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebaban oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit.

b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara atas hutan dan hasil hutan.

Setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan. Seperti yang dijelaskan dalam pasal 50 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, bahwa setiap orang dilarang untuk:

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;

b. merambah kawasan hutan

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:

1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau

2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa

3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai

4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang

6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai

d. membakar hutan

e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,

menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah

g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri

h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan


(45)

34

i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau

patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang

k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang

l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan

m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

Berbagai undang-undang mengenai perlindungan hutan telah dibuat, untuk memperkuat status perlindungan hutan secara khusus maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang perlindungan hutan. Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Perlindungan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan, pelaksanaan kegiatan perlindungan hutan dilaksanakan pada wilayah hutan dalam bentuk Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Perlindungan hutan berdasarkan unit pelaksana merupakan tanggung jawab pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. Perlindungan hutan atas hak pemegang


(46)

35

tanah dan hak pengusahaan menjadi tanggung jawab pemegang hak tersebut, berdasarkan jenis kegiatannya.

E. Peran pemerintah dalam pengelolaan hutan dan penyelesaian konflik kehutanan

1. Peran Pemerintah dalam pengelolaan hutan

Sejarah panjang pengelolaan hutan di Indonesia diawali dengan pemanfaatan hasil hutan (kayu) untuk kepentingan kerajaan. Dalam Plakat 8 september 1803 dicantumkan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus di bawah penguasaan VOC sebagai domein (hak milik VOC) dan regalia (hak istimewa raja dan para penguasa) (Utari 2012:11). Tidak seorang pun diperbolehkan untuk menebang, memangkas atau bahkan menguasai hutan. Sanksi yang diterapkan jika terjadi pelanggaran adalah hukuman badan.

Tahun 1870 terbit Undang-undang Agraria (Agrarische wet). Salah satu bab dalam undang-undang tersebut adalah Domeinverklaring yang menyatakan batas kawasan hutan yang ditetapkan untuk dikuasai oleh negara. Dengan Domeinverklaring pemerintah Hindia Belanda seakan memberi jaminan akan terwujudnya kelestarian hutan Jawa dan Madura, meskipun mendapat pro dan kontra namun pada kenyataanya konsep ini mendasari pengertian hutan negara yang sampai saat ini tetap dipertahankan.


(47)

36

Pengelolaan hutan setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dilakukan oleh Jawatan Kehutanan sebagai organisasi yang dibentuk sebagai kelanjutan Djatibedrijf. Tugas Jawatan Kehutanan sebagaimana tersebut dalam Peraturan Menteri Pertanian No 1/1951 tanggal 17 maret 1951 adalah menguasai, mengatur dan memanfaatkan hutan untuk kepentingan masyarakat dan negara. Tugas tersebut terbagi dalam empat bagian, yaitu:

1. Memelihara tanah untuk mempertahankan nilai hidroorologi hutan 2. Menghasilkan kayu

3. Menyelenggarakan pendidikan kehutanan

4. Memberi penerangan kepada rakyat tentang arti hutan

Tahun 1961 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 17 – 30 tentang Pembentukan Perusahaan-perusahaan Kehutanan Negara/PERHUTANI sebagai BUMN di bidang pengelolaan hutan pertama yang dimiliki Indonesia (Anonim, 1986b). Dua syarat untuk menunjuk kawasan hutan yang diserahkan pengelolaanya kepada Perhutani yaitu:

1. Secara ekonomis harus mampu mendatangkan keuntungan bagi negara

2. Dukungan dari pemimpin dan pemuka masyarakat setempat terhadap penunjukan Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan di daerah tersebut.

Tahun 1964 berdiri Departemen Kehutanan yang bertugas merencanakan, membimbing, mengawasi dan melaksanakan usaha-usaha memanfaatkan hutan dan kehutanan, terutama produksi dalam arti kata yang luas di bidang kehutanan untuk meningkatkan derajat hidup dan kesejahteraan rakyat dan negara secara kekal (Anonim, 1986b). Tigas tersebut dijabarkan dengan beberapa kebijakan sebagai berikut:


(48)

37

1. Mempertinggi efisiensi pemanfaatan hutan bagi kemakmuran rakyat 2. Mempertinggi produksi kehutanan

3. Mempercepat dan memperluas usaha-usaha industri hutan untuk mempertinggi efisiensi pemakaian hasil hutan, menghemat devisa dan menambah lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia

4. Menyempurnakan distribusi hasil hutan di dalam negeri dengan mengutamakan kepentingan masyarakat dan tanpa mengurangi asas kekekalan

5. Meningkatkan volume dan nilai ekspor hasil hutan.

Pasca pemberontakan PKI pada tahun 1965 organisasi Departemen Kehutanan disederhanakan menjadi Direktorat Jenderal Kehutanan yang bernaung di bawah Departemen Pertanian melalui Surat Keputusan Presiden No 170, september 1966. Tugas Direktorat Jenderal Kehutanan pada dasarnya adalah pengurusan hutan yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan manusia secara lestari.

Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Peran pemerintah dalam pengelolaan hutan tersebut dijelaskan pada pasal 21 dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai berikut:

1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan

Tata hutan merupakan kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, yang dalam pelaksanaanya memperhatikan hak-hak masyarakat setempat, yang lahir karena kesejarahanya, dan keadaan hutan. Tata hutan mencakup kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung di dalamnya,


(49)

38

dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari. Sedangkan rencana pengelolaan hutan dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat, dan kondisi lingkungan.

2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan

Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarianya.

3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan

Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan perananya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Reklamasi hutan meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.

4. Perlindungan hutan dan konservasi alam

Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkunganya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari.


(50)

39

3. Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Konflik Kehutanan

Penyelesaian konlik kehutanan dujelaskan pada pasal 74 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagai berikut:

1. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa

2. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melelui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara para pihak yang bersengketa.

Pemerintah mempunyai peran sebagai penengah dalam penyelesaian konflik kehutanan. Seperti yang telah disebutkan bahwa penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan maupun luar pengadilan. Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan. Dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh pihak dan atau pendampingan organisasi non pemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan. Namun apabila upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang ada, maka gugatan melelui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara para pihak yang bersengketa.


(51)

40

F. Kerangka Pikir

Hutan Register 45 di Kabupaten Mesuji adalah kawasan Hutan Produksi yang dikelola oleh PT.Silva Inhutani Lampung berdasar keputusan Kementrian Kehutanan No.93/kpts-II/1997. Berdasar keputusan Menteri Kehutanan tersebut PT.SIL di beri Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri atas areal hutan seluas 43.100 Ha.

Tahun 2000 sekelompok masyarakat memasuki kawasan hutan register 45 dan membentuk desa yang diberi nama Moro-moro (Moro Seneng, Moro Dadi, Moro Dewe, dan Suka Makmur). Masyarakat tersebut datang dari luar Mesuji, diantaranya berasal dari Sumatera Selatan, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Timur, dan lampung Utara.

Perambah menduduki Pelita Jaya dan bertindak sangat anarkis dengan cara menebang/membakar/menguliti tanaman HTI. Kemudian mendirikan gubuk-gubuk dan portal, serta mendirikan pure-pure, dan langgar. Perambah tersebut mengkondisikan lokasi layaknya pemukiman. Masyarakat yang menduduki lokasi tersebut mayoritas berasal dari luar Mesuji dan didominasi suku Bali.

Masyarakat yang datang dan menempati kawasan Hutan Register 45 semakin meningkat, dengan berbagai alasan diantaranya yaitu karena faktor kemiskinan dan sudah tidak memiliki lahan untuk bertempat tinggal. Karena semakin banyak masyarakat perambah yang datang tersebut maka pemerintah membentuk Tim Kerja Perlindungan Hutan yang berdasar pada SK Gubernur Lampung No.G/354/III.16/HK/2010.


(52)

41

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi konflik Hutan Register 45 yaitu dengan melakukan sosialisasi dan penertiban yang dilakukan oleh Tim Kerja Perlindungan Hutan Provinsi Lampung, namun sosialisasi dan penertiban tersebut ditentang oleh perambah dan himbauan petugas tidak dihiraukan. Setelah dilakukan sosialisasi dan himbauan kepada masyarakat perambah namun tidak dihiraukan, pada tanggal 28 Maret 2012 direncanakan akan dilakukan Tindakan Penertiban, Pengosongan, dan Pengusiran secara paksa bagi para perambah, namun Penertiban ditunda/dibatalkan.

Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah namun hingga saat ini konflik Hutan Register 45 di Kabupaten Mesuji belum terselesaikan. Berdasarkan hal-hal tersebut peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang menghambat dalam penyelesaian konflik Hutan Register 45 di Kabupaten Mesuji yang dilihat dari faktor Internal (Pemerintah) dan faktor Eksternalnya (PT.SIL dan Masyarakat).


(53)

42

Gambar II. Kerangka Pemikiran.

PT.SIL

SK Menhut No 93/Kpts-II/1997

Masyarakat perambah hutan. Dengan Alasan :

- Tidak mempunyai lahan - Kemiskinan

Upaya Pemerintah Dalam Menyelesaikan Konflik Pemerintah

Konflik Hutan Register 45

Hambatan Penyelesaian Konflik

Internal: 1. SDM

2. Sarana dan Fasilitas 3. Dukungan Peraturan Eksternal:

1. Budaya Lokal 2. Kebutuhan Ekonomi 3. Kesadaran terhadap

aturan hukum

4. Kekuatan Pendukung

Eksternal: 1. Budaya

Kapitalisme 2. Komunikasi

kepada masyarakat


(54)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, karena di tinjau dari pembahasan masalahnya serta hasil yang akan di capai penelitian ini ingin mengetahui faktor-faktor penghambat penyelesaian konflik hutan register 45 di Kabupaten mesuji.

Menurut Moleong (2007:8) penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang di alami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Secara holistik mendeskripsikan dengan bahasa dan kata-kata konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Penelitian kualitatif juga merupakan penelitian riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subjek ) lebih di tonjolkan dalam penelitian kualitatif.

Sedangkan menurut Sugiyono (2012:9), penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositifisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Sedangkan metode deskriptif lebih berdasarkan pada filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan (verstehen). Dalam penelitian ini di ungkapkan gambaran tentang kasus yang terjadi di kawasan


(55)

44

hutan Register 45, Kemudian secara obyektif diungkapkan juga bagaimana upaya pemerintah dan hambatan-hambatan dalam mengatasi konflik perambah hutan Register 45 Kabupaten Mesuji.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian adalah pemusatan konsentrasi pada tujuan dari penelitian yang dilakukan. Fokus penelitian harus di nyatakan secara eksplisit untuk memudahkan peneliti sebelum melakukan observasi. Fokus penelitian juga merupakan garis besar dari pengamatan penelitian, sehingga observasi dan analisa hasil penelitian lebih terarah.

Menurut Moloeng (2000), fokus penelitian di maksudkan untuk membatasi penelitian guna memilih mana data yang relevan dan yang tidak relevan, agar tidak di masukkan ke dalam sejumlah data yang sedang di kumpulkan, walaupun data itu menarik. Perumusan fokus masalah dalam penelitian kualitatif bersifat tentatif, artinya penyempurnaan rumusan fokus atau masalah masih tetap di lakukan sewaktu penelitian sudah berada di lapangan. Fokus pengamatan dalam penelitian ini adalah hambatan-hambatan dalam penyelesaian konflik hutan register 45 di Kabupaten Mesuji yang dilihat dari faktor internal dan eksternalnya.

1. Internal (Tim Terpadu) a. Sumber Daya Manusia

1. Kuantitas (Jumlah) 2. Kualitas

Penguasaan pengelolaan konflik


(56)

b. Sarana dan fasilitas Kelengkapan sarana Dana

c. Dukungan peraturan

2. Eksternal (Masyarakat perambah dan PT.Silva Inhutani Lampung) a. Masyarakat perambah

1. Budaya lokal

2. Kemampuan pemenuhan kebutuhan ekonomi 3. Kesadaran terhadap aturan hukum

4. Kekuatan pendukung perambah b. PT.SIL

1. Budaya kapitalisme

2. Komunikasi kepada masyarakat

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini di lakukan di Dinas Kehutanan Kabupaten Mesuji, PT Silva Inhutani Lampung, dan pada daerah yang sedang berkonflik tentang kawasan hutan yang di jadikan pemukiman perambah hutan di area Hutan Register 45 Kabupaten Mesuji.

D. Informan Penelitian

Menurut Sugiyono (2012:208) dalam penelitian kualitatif teknik sampling yang sering digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Purposive sampling adalah Teknik pengambilan sampel sumber data dengan


(57)

46

pertimbangan tertentu, misalnya dengan pertimbangan dengan memilih orang yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti dalam menjelajahi obyek sosial yang diteliti.

Informan adalah orang yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Menurut Faisal (1990), sampel sebagai sumber data atau sebagai informan sebaiknya yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses ekulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dihayatinya.

2. Mereka yang tergolong masih berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang sedang diteliti.

3. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi. 4. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil kemasanya

sendiri.

5. Mereka yang pada mulanya tergolong cukup asing dengan peneliti sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau narasumber.

Penentuan Informan pada penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling dimana pemilihan informan dipilih secara sengaja berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Dengan demikian maka informan dalam penelitian ini dalah sebagai berikut:

a. Dinas Kehutanan

Kepala Bidang Pembinaan Hutan (Bapak Dahuri Santoni, SP) b. Kesbangpol (Kesatuan Bangsa dan Politik)


(58)

2. Sub Bidang Pengkajian Politik dan Pemerintahan (Bapak Antoni Hasan, S.Ip)

c. PT.Silva Inhutani Lampung (PT.SIL)

Estate Manager/Humas PT Silva Inhutani Lampung (Bapak Ir. Achmad Syapari)

d. Masyarakat

1. Masyarakat Desa Talang Gunung (Sudirman) 2. Masyarakat perambah (Supriyadi)

E. Jenis Data

Jenis data penelitian ini meliputi:

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber atau lokasi penelitian, yaitu dengan melakukan wawancara pada informan penelitian, yaitu Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Sekretaris Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Kepala Bidang Pembinaan Hutan, Sub Bidang Pengkajian Politik dan Pemerintahan, serta masyarakat perambah yang tinggal di kawasan Hutan Register 45 Mesuji.

Pengambilan data primer dari pihak Badan Kesatuan Bangsa Politik Kabupaten Mesuji dilakukan pada tanggal 12-20 Agustus 2013, dari pihak Dinas kehutanan dan Perkebunan Mesuji dilakukan pada tanggal 21-29 Agustus 2013, sedangkan pengambilan data primer dari pihak PT Silva Inhutani Lampung dan masyarakat perambah dilakukan pada tanggal 1-12 September 2013.


(59)

48

2. Data Sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber yang terkait dengan penelitian, yaitu dokumen yang diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Mesuji, Badan Kesatuan bangsa dan Politik Kabupaten Mesuji, dan PT Silva Inhutani Lampung. Pengambilan data sekunder ini dilakukan pada tanggal 12 Agustus – 12 September 2013.

F. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

a. Metode Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistimatis terhadap fenomena-fenomena yang diteliti. Dengan demikian metode observasi bisa digunakan dan dilakukan untuk melihat dan mengamati fenomena-fenomena yang dimaksud yang akan turut menentukan hasil dari penelitian yang ada. Adapun observasi yang digunakan adalah observasi non partisan yaitu suatu kegiatan observasi dimana peneliti tidak aktif di dalam kegiatan dari obyek yang diteliti.

b. Wawancara mendalam (indepth interview)

Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data yang di selenggarakan atau di lakukan dengan cara tanya jawab, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan informan. Wawancara mendalam juga digunakan untuk memperoleh data-data mengenai hal-hal


(60)

yang telah di lakukan pemerintah dalam mengatasi konflik perambah hutan Register 45 Kabuaten Mesuji.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah proses pengumpulan data melalui menghimpun data yang tertulis dan tercetak. Menurut Arikunto (2010:274) metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip,buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat agenda dan sebagainya.

G. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian kualitatif, teknik analisis data yang digunakan akan diarahkan untuk menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan dalam proposal. Menurut Sygiyono (2012:244) definisi analisis data adalah sebagai berikut:

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang dipperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

Dari definisi yang telah dijabarkan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis adata adalah suatu usaha untuk mengkaji ulang dari hasil yang telah dilakukan kategori sehingga bisa dijadikan pola yang memiliki relevensi dengan teori-teori yang dilakukan dalam penelitian, yang kemudian


(61)

50

ditentukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Menurut Miles and Huberman dalam (Sugiyono, 2012:246) aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.

Adapun langkah-langkah untuk menganalisis data dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Data Reduction (Reduksi Data)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hahl0hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Data Display (Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

3. Conclusion Drawing/verification

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan


(62)

dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya kurang jelas sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.

H. Teknik Validitas Data

Uji keabsahan data dalam penelitian sering hanya ditekankan pada uji validitas dan reliabilitas. Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Menurut Sugiyono (2012:270), Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan Confirmability (obyektifitas).

Berdasarkan empat jenis uji keabsahan data menurut sugiyono tersebut, dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik kredibilitas data dan konfirmabilitas data.

1. Uji kredibilitas

Menurut Sugiyono (2012:270), menyatakan bahwa uji kredibilitas data dalam penelitian kualitatif antara lain dapat dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan membercheck.


(63)

52

2. Konfirmabilitas

Pengujian konfirmabilitas berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar konfirmabilitas. Uji konfirmabilitas ini digunakan agar jangan sampai proses tidak ada, tetapi hasil tidak ada yang akan melahirkan kebohongan/pemalsuan data dalam penelitian.


(1)

102

Faktor lain yang menjadi hambatan penyelesaian konflik di internal pemerintah yaitu karena belum adanya satu persamaan persepsi dalam upaya penegakan hukum antara penegak hukum dengan Komnas HAM.

2. Faktor eksternal penghambat penyelesaian konflik Hutan Register 45 di Kabupaten Mesuji meliputi:

a. Faktor penghambat disisi eksternal masyarakat perambah disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat terhadap aturan hukum, salah satunya yaitu mereka dengan sengaja melanggar hukum dan mengabaikan himbauan-himbauan dari pemerintah untuk tidak tinggal di kawasan hutan. Dengan alasan untuk pemenuhan ekonomi, masyarakat dengan sengaja membuka lahan di kawasan Hutan Register 45 Mesuji untuk dimanfaatkan sebagai ladang pekerjaan dalam pemenuhan kebutuhanya. Mereka meneruskan tradisi dari nenek moyang mereka dengan menebang pohon-pohon di kawasan hutan dan membuka lahan baru sebagai tempat tinggal mereka. Masyarakat perambah benar-benar sudah berani melanggar hukum dan menentang pemerintah karena adanya kekuatan pendukung perambah yang sangat kuat dan perambah sudah terorganisir secara rapi sehingga mereka sudah benar-benar siap melawan pemerintah jika akan dilakukan penggusuran secara paksa terhadap masyarakat perambah tersebut.


(2)

103

b. Faktor penghambat disisi eksternal PT.Silva Inhutani Lampung yaitu adanya budaya kapitalisme yang disebabkan adanya kontrol yang sangat besar yang diberikan oleh pemerintah kepada pihak perusahaan dalam pengelolaan kawasan hutan produksi sehingga pemerintah dianggap lebih mengutamakan kepentingan politik dan ekonomi daripada kepentingan untuk menyejahterakan masyarakatnya. Hal ini yang mengakibatkan sulitnya melakukan komunikasi kepada masyarakat perambah, karena masyarakat menganggap pemerintah dan pihak perusahaan adalah musuh mereka.

B. Saran

Berdasarkan deskripsi dan pembahasan yang telah dilakukan, maka penulis menyarankan:

1. Dalam pembentukan tim untuk mengatasi konflik kehutanan, harus diisi dengan orang-orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup tentang pengelolaan konflik kehutanan sehingga akan memaksimalkan kinerja tim dalam upaya penyelesaian konflik kehutanan yang terjadi.

2. Pemerintah harus bertindak tegas dalam mengambil keputusan dalam upaya menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di kawasan hutan Register 45 Mesuji sehingga konflik tersebut tidak berlarut-larut.


(3)

104

3. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang cukup untuk dimanfaatkan sebagai dana dalam penyelesaian konflik agraria yang saat ini banyak terjadi diseluruh kawasan hutan di Indonesia karena anggaran untuk penyelesaian konflik sama pentingnya dengan anggaran lainnya.

4. Pemerintah harus melibatkan Komnas HAM dalam upaya penyelesaian konflik, sehingga tidak terjadi lagi pertentangan antara penegak hukum dengan Komnas HAM.

5. Pemerintah harus membatasi pemberian ijin pengelolaan kawasan hutan produksi kepada perusahaan-perusahaan asing serta memberikan kontrol besar terhadap pemberian ijin usaha kepada perusahaan asing agar pemanfaatan kawasan kehutanan dapat diberikan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1964, Projek Besar Sutera Alam, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta

Bambang, TH. 2009. Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu 3 untuk SMP/MTs kelas IX. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta

Basrowi, Muhammad, Soenyono. 2004. Teori Sosiologi Dalam Tiga Paradigma. Yayasan Kampusina. Surabaya

Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar dan Aplikasi. YA3. Malang. Fisher, Simon, dkk. 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan & Strategi Untuk

Bertindak. The British Council. Jakarta

Kusworo, Ahmad. 2000. Perambah Hutan atau Kambing Hitam ( Potret sengketa Kawasan di Lampung). Pustaka Latin: Bogor

Labolo, Muhammad. 2006. Memahami Ilmu Pemerintahan. PT Raja Grasindo Persada. Indonesia

Limbong, Bernhard. 2012. Hukum Agraria Nasional. Margaretha Pustaka. Jakarta Selatan.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. LkiS Pelangi Aksara. Yogyakarta

Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pan dang Baru tentang Relasi Gender. Mizan. Bandung.

Moloeng, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya. Bandung

Nazir, Muhammad. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta

Ndraha, Taliziduhu. 1997. Metodologi Ilmu Pemerintahan. Rieneka Cipta. Jakarta Puspitawati, Herien. 2009. TeoriKonflik Sosial dan Aplikasinya dalam Kehidupan

Keluarga. Institut Pertanian Bogor

Rahmadi, Takdir. 2011. Mediasi : Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta


(5)

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung

Suhendang, Endang. 2002, Pengantar Ilmu Kehutanan. Fakultas Kehutanan, Bogor

Supohardjo. 2000. Inovasi penyelesaian sengketa pengelolaan sumber daya hutan. Pustaka Latin. Bogor

Syarief, Elza. 2012. Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan. Kepustakaan Populer gramedia. Jakarta

Usman, Husaini dan Akbar PS. 2011. Metodologi Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta.

Utari, AD. 2012. Penerapan Strategi Hutan Rakyat: Opsi Penyelamatan Kehancuran Hutan Negara. Cakrawala. Yogyakarta

Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen konflik: Teori, Aplikasi, dan penelitian. Salemba Humanika. Jakarta

Wulan YC dkk. 2004. Warta Kebijakan: Konflik kehutanan di Indonesia sebelum dan sesudah reformasi. CIFOR. Bogor

Yusuf, Abdul M dan Makarao MT. 2011. Hukum Kehutanan di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.

Internet

http://www.google.com/artikel, teori kebutuhan Abraham Maslow Majalah / Jurnal Ilmiah

Wulana,Yuliana C. Konflik Kehutanan di Indonesia Sebelum dan Sesudan Reformasi. Center for International Forestry Research (CIFOR), Forrest Watch Indonesia University (FWI) Forest and nature Conservation Policy Group Wegeningen University, The Netherland. Dalam Warta Kebijakan No. 15, Oktober 2004

Data dan Informasi Kehutanan Propinsi Lampung. Pusat inventarisasi dan statistik kehutanan, badan planologi kehutanan, Departemen Kehutanan: 2002 Register 45: Penebangan Pohon Meluas. Lampung Post, 5 april 2012.


(6)

Peraturan Perundang-undangan

PP No 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.

UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

PP No. 34 tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, Jakarta

Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 Tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status Dan Fungsi Kawasan Hutan Jakarta.

UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan. UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.