Catatan Penanggulangan Bencana di Indone
1/4
CATATAN TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI
INDONESIA
Eko Teguh Paripurno
Pengantar
UU PB No. 24/2007 memandatkan adanya perubahan paradigma dalam penyelenggaraan PB
di Indonesia, dari tangap darurat ke pengurangan risiko. Setelah lima tahun pelaksanaan UU
PB tersebut maka sudah sepantasnya kita melihat praktik pelaksanaan UU PB tersebut
melalui hubungan peran antar para pelaku kepentingan, sekaligus hubungan antar
perundangan yang mendasarinya, baik yang terbit sebelum atau sesudah terbitnya UU PB.
Tentu pada akhirnya, kita mencoba mencari jalan terbaik agar mandat tersebut terwujud:
masyarakat aman, sejahtera dan bermartabat.
Mandat Organisasi
Kehadiran BNPB merupakan mandat UU 24/2007 tentang PB dan PP 21/2008 tentang
Penyelenggaraan PB untuk menyelenggarakan PB. BNPB merupakan lembaga pemerintah
yang memiliki mandat utama sebagai penyelenggara PB tersebut melalui fungsi koordinasi,
komando dan pelaksana. Namun demikian mandat penyelenggaraan PB secara proporsional
juga dimiliki oleh sektor-sektor lain sesuai dengan tupoksi masing-masing. kementrian Dalam
Negeri dan Kementrian Keuangan mempunyai mandat mengatur hubungan dan ketersediaan
sumberdaya di pusat dan daerah dalam hal PB. Kementrian Sosial, Kementrian Kesehatan,
Kementrian Pekerjaan Umum menangani kondisi darurat bencana. Pertanyaannya, apakah
perundangan-undangan yang menjadi acuan tersebut secara substansial selaras dan sinergis?
Ternyata tidak.
Undang-undang yang disusun setelah UU PB, rasanya belum melihat isu bencana menjadi hal
yang penting. Beberapa undang-undang justru mempunyai unsur ketidakselarasan dan bahkan
mempunyai hubungan saling asing. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini, misalnya:
Pertama, UU 27/2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang disusun
memberikan pemaknaan “mitigasi bencana” (pasal 56) yang berbeda dengan pengertian
“mitigasi” di dalam UU PB (pasal 1 ayat 6). Ha ini akan berimplikasi pada perbedaan
pengertian pada turunan perundangan dan praktek penyelenggaraan PB berbeda dengan
kelaziman yang ada di BNPB. Kedua, UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang
disusun belakangan telah memastikan adanya tingkatan status konflik di tingkat daerah,
regional dan nasional. Bencana akibat konflik sosial, juga merupakan relung mandat BNPB;
yang ironisnya belum ada penentuan status tingkatan bencana. Sampai kapan ya? Untuk
memperjelas mandat daerah dan pusat, tingkat status bencana ini perlu ditegaskan. Ketiga,
UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menggunakan mitigasi bencana sebagai pertimbangan
tindakan; namun belum melakukan penyelarasan tata ruang pengelolaan kawasan rawan
bencana sebagai bagian dari upaya pencegahan. Mandat pencegahan dan analisis risiko
sebagai upaya pencegahan bencana dapat dilihat pada pasal 45, pasal 40, pasal 41 dan pasal
75 UU PB. Keempat, UU 31/2009 tentang BMKG yang menghasilkan produk komponen
teknis untuk mendukung sistem peringatan dini tidak mempertimbangkan dan melandasi
2/4
kehadirannya dengan UU PB. Beberapa pengertian terkait bencana seperti “mitigasi” dan
“adaptasi” lebih condong sebagai pengertian dalam perubahan iklim.
Undang-undang yang hadir lebih dahulu cenderung belum mempertimbangkan bencana
menjadi urusan pemerintah. Peraturan di bawahnya yang muncul kemudian juga belum
menempatkan bencana menjadi pertimbangan. Beberapa contoh dapat kita tunjukkan di sini
misalnya: Pertama, UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung Belum diselarasakan standar
bangunan gedung dengan kecenderungan intensitas ancaman yang berhubungan dengan
kehadirannya di dalam zona rawan ancaman yang berpengaruh langsung terhadap kerusakan
gedung (gempa) atau pemanfaatan gedung untuk pengurangan risiko bencana (tsunami).
Kedua, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air belum melihat pengelolaan sumberdaya air dari
sisi negatif (ancaman) baik dari sisi kelebihan air (banjir) maupun kekurangan air
(kekeringan) sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan pencegahan bencana. Ketiga, UU
34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), belum secara baik menjelaskan peran TNI
dalam kondisi aman khususnya bencana. Keempat, UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (POLRI); dalam peraturan keduanya berhubungan saling asing, walau
prakteknya tidak demikian. Karena itu peran Polri dalam PB perlu diatur lebih lanjut.
Fungsi Koordinasi
Ketidakselarasan undang-undang dalam PB tersebut menjadikan Kementrian dan lembaga
dan yang menjalankan mandat PB seperti yang tertulis dalam tupoksi sektornya sebagai
turunan atas perundangan sektornya tentu bukan sebuah pelanggaran. Tetapi yang menjadi
permasalahan adalah ketika penyelarasan dan koordinasi antar sektor untuk pemwujudkan
praktek yang baik tidak dapat dilakukan. Apakah ke”baru”an, BNPB sebagai pemilik mandat
dan fungsi koordinasi dalam PB terlihat ragu-ragu dan “sungkan” menjalankan mandat
tersebut? Di sisi lain Kementrian dan Lembaga sebagai “aktor” senior “enggan” melakukan
koordinasi?
Kesulitan BNPB menjalankan mandat mengkoordinasikan kementrian dan lembaga, bila
ditelusuri rasanya berawal dari Perpres 8/2008 tentang Pembentukan BNPB yang “hanya”
menempatkan BNPB sebagai lembaga teknis non departemen yang dipimpin oleh kepala
setingkat mentri. Demikian juga bila kita lihat, Perpres 24/2009 tentang Anggota Unsur
Pengarah PB dari Masyarakat Profesional dan Perpres 59/2009 tentang Anggota Unsur
Pengarah PB dari Instansi Pemerintah, menempatkan unsur pengarah di bawah kepala.
Perpres ini menarik karena Perpres 8/2008 (26 Januari 2008) menempatkan unsur pengarah
BNPB “lebih rendah” dari BPLS (Perpres 14/2007, revisi Perpres 40/2009). Pada unsur
pengarah BNPB terdiri dari masyarakat profesional, ada semacam “down grade” setelah
melalui fit and proper test; sedang dari sisi wakil pemerintah “hanya” diisi pejabat eselon
satu.
Permasalahan fungsi koordinasi ini berlanjut dengan hadirnya Inpres No. 4 Tahun 2012
tentang Penanggulangan Bencana Banjir dan Tanah Longsor. Substansi inpres ini pada
dasarnya menegaskan kembali fungsi mengkoordinasikan kementrian dan lembaga yang
seharusnya dilakukan BNPB. Apakah kehadiran Inpres ini dapat dimaknai sebagai pernyataan
atas ketidakmampuan semua komponen kebencanaan untuk berkoordinasi? Mampu
mengkoordinasikan dan rela dikooordinasikan?
3/4
Tata Kerja dan Pendanaan PB
UU 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33 / 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah ini hadir sebelum UU PB, sehingga
belum mengatur mandat Pemerintah Daerah dalam PB. Hal ini berakibat PB belum menjadi
“mandat pokok” pendanaan untuk kegiatan PB menjadi “anak tiri” di dalam perimbangan
keuangan pembangunan. Pendanaan PB di daerah tidak masuk dalam prioritas utama. Hal
yang sama pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan
PB sering dianggap belum jelas.
PP 22/2008 tentang Pendanaan PB dan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah dengan Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, atau antara
Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota masih belum
bermakna. Salah satu perangkat perundangan yang digunakan adalah PP 44/2012 tentang
Dana Darurat. Peraturan penggunaan dana darurat perlu mengakomodir praktek-prakek
penanganan darurat yang memunculkan status kesiapan darurat dan transisi darurat, dengan
mempertimbangkan implikasi yang ada.
Penyelenggaraan PB
Penyelenggaraan PB pada akhirnya dilaksanakan oleh peraturan pemerintah dan keputusan
setingkat mentri dan lembaga. Dalam pelaksanaannya masing-masing kementrian dan
lembaga membuat aturan sendiri-sendiri, sebagai turunan atas perundang-undangan di
atasnya. Kondisi ini memunculkan potensi ketidakselarasan dalam pelaksanaan PB. Pertama,
PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan PB tidak selaras dengan PP No. 64 Tahun 2010 tentang
Mitigasi Bencana Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Definisi “mitigasi” dalam PP
64/2010 ini tidak sama persis dengan definisi dalam PP 21/2008 dan UU PB 24/2007 Oleh
karenanya pelaksanaan mitigasi bencana di pulau-pulau kecil perlu kordinasi dengan bidangbidang penyelenggaraan PB secara umum. Kedua, PP 39/2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial korban bencana alam termasuk salah satu target perlindungan sosial,
dalam pelaksanaannya memungkinkan tumpang tindih mandat PP 21/2009 tentang
Penyelenggaraan PB. Ketiga, PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Nasional, tidak selaras dengan UU 24/2007 tentang PB. PP RTRW Menempatkan Kawasan
Rawan Bencana Geologi masuk dalam Kawasan Lindung Nasional (pasal 51, 52, 53, 58). Hal
ini berimplikasi pada zonasi pemanfaatan ruang untuk untuk pengurangan risiko sulit
dilakukan (pasal 71, 98, 102, 105). Keempat, Perpres 8/2008 tentang Pembentukan BNPB
tidak selaras dengan Perpres 99 / 2007 tentang Badan SAR Nasional. Perpres tentang Badan
SAR Nasional walau mandatnya untuk pencarian dan pertolongan, tidak mengacu pada UU
PB, dan tidak ada satupun kata “bencana” di dalam Perpresnya. Ini berlanjut pada aturan di
bawahnya Perka BNPB 1/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BNPB dengan Perka
Badan SAR Nasional Nomor PER.KBSN-01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
SAR Nasional yang masing-masing saling asing. Ke lima, Perka BNPB 17/2011 tentang
Pedoman Relawan PB tidak selaras dengan Permensos RI No.82/HUK/2006 Tentang Taruna
Siaga Bencana. Ini memungkinkan status dan prasarat relawan tumpang tindih sesuai
kepentingan sektor masing-masing. Keenam, Perka BNPB 3/2010 tentang Rencana Nasional
4/4
PB 2010 – 2014 tidak selaras dengan Permen PU 21/ PRT /M/2007 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi
dan Permen PU 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana
Longsor. Ke tujuh, Perka BNPB 13/2010 tentang Pedoman Perencanaan, Pertolongan dan
Evakuasi perlu mempertimbangkan Kepmenkes No 1653/Menkes/SK/XII/2005 tentang
Pedoman Penanganan Bencana Bidang Kesehatan. Ke delapan, Perka BNPB 2/2012 tentang
Pedoman Pengkajian Risiko Bencana tidak selaras dengan hasil analisis risiko dan peta-peta
hasil Badan Geologi ESDM.
Penutup: Bagaimana Sebaiknya?
Untuk mengurangi ketidakselarasan dalam menjalankan mandat, maka dalam jangka pendek
BNPB perlu mengkaji kembali dan memperbaiki perka-perka yang berpotensi tidak selaras
dengan peraturan kementrian /lembaga lannya; serta proaktif untuk mengajak kementrian
terkait membuat kesepakatan bersama. Selanjutnya untuk jangka menengah dan panjang
BNPB perlu mempersiapkan perbaikan / pembaruan peraturan pemerintah atau keputusan
presiden yang dapat mengadopsi permasalaan yang hadir karena ketidakselarasan tersebut.
Dr. Ir. Eko Teguh Paripurno MT, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional
[email protected],
“Veteran”
Yogyakarta.
Kontak:
+62818260162
/
+6281339228339,
[email protected].
CATATAN TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI
INDONESIA
Eko Teguh Paripurno
Pengantar
UU PB No. 24/2007 memandatkan adanya perubahan paradigma dalam penyelenggaraan PB
di Indonesia, dari tangap darurat ke pengurangan risiko. Setelah lima tahun pelaksanaan UU
PB tersebut maka sudah sepantasnya kita melihat praktik pelaksanaan UU PB tersebut
melalui hubungan peran antar para pelaku kepentingan, sekaligus hubungan antar
perundangan yang mendasarinya, baik yang terbit sebelum atau sesudah terbitnya UU PB.
Tentu pada akhirnya, kita mencoba mencari jalan terbaik agar mandat tersebut terwujud:
masyarakat aman, sejahtera dan bermartabat.
Mandat Organisasi
Kehadiran BNPB merupakan mandat UU 24/2007 tentang PB dan PP 21/2008 tentang
Penyelenggaraan PB untuk menyelenggarakan PB. BNPB merupakan lembaga pemerintah
yang memiliki mandat utama sebagai penyelenggara PB tersebut melalui fungsi koordinasi,
komando dan pelaksana. Namun demikian mandat penyelenggaraan PB secara proporsional
juga dimiliki oleh sektor-sektor lain sesuai dengan tupoksi masing-masing. kementrian Dalam
Negeri dan Kementrian Keuangan mempunyai mandat mengatur hubungan dan ketersediaan
sumberdaya di pusat dan daerah dalam hal PB. Kementrian Sosial, Kementrian Kesehatan,
Kementrian Pekerjaan Umum menangani kondisi darurat bencana. Pertanyaannya, apakah
perundangan-undangan yang menjadi acuan tersebut secara substansial selaras dan sinergis?
Ternyata tidak.
Undang-undang yang disusun setelah UU PB, rasanya belum melihat isu bencana menjadi hal
yang penting. Beberapa undang-undang justru mempunyai unsur ketidakselarasan dan bahkan
mempunyai hubungan saling asing. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini, misalnya:
Pertama, UU 27/2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang disusun
memberikan pemaknaan “mitigasi bencana” (pasal 56) yang berbeda dengan pengertian
“mitigasi” di dalam UU PB (pasal 1 ayat 6). Ha ini akan berimplikasi pada perbedaan
pengertian pada turunan perundangan dan praktek penyelenggaraan PB berbeda dengan
kelaziman yang ada di BNPB. Kedua, UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang
disusun belakangan telah memastikan adanya tingkatan status konflik di tingkat daerah,
regional dan nasional. Bencana akibat konflik sosial, juga merupakan relung mandat BNPB;
yang ironisnya belum ada penentuan status tingkatan bencana. Sampai kapan ya? Untuk
memperjelas mandat daerah dan pusat, tingkat status bencana ini perlu ditegaskan. Ketiga,
UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menggunakan mitigasi bencana sebagai pertimbangan
tindakan; namun belum melakukan penyelarasan tata ruang pengelolaan kawasan rawan
bencana sebagai bagian dari upaya pencegahan. Mandat pencegahan dan analisis risiko
sebagai upaya pencegahan bencana dapat dilihat pada pasal 45, pasal 40, pasal 41 dan pasal
75 UU PB. Keempat, UU 31/2009 tentang BMKG yang menghasilkan produk komponen
teknis untuk mendukung sistem peringatan dini tidak mempertimbangkan dan melandasi
2/4
kehadirannya dengan UU PB. Beberapa pengertian terkait bencana seperti “mitigasi” dan
“adaptasi” lebih condong sebagai pengertian dalam perubahan iklim.
Undang-undang yang hadir lebih dahulu cenderung belum mempertimbangkan bencana
menjadi urusan pemerintah. Peraturan di bawahnya yang muncul kemudian juga belum
menempatkan bencana menjadi pertimbangan. Beberapa contoh dapat kita tunjukkan di sini
misalnya: Pertama, UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung Belum diselarasakan standar
bangunan gedung dengan kecenderungan intensitas ancaman yang berhubungan dengan
kehadirannya di dalam zona rawan ancaman yang berpengaruh langsung terhadap kerusakan
gedung (gempa) atau pemanfaatan gedung untuk pengurangan risiko bencana (tsunami).
Kedua, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air belum melihat pengelolaan sumberdaya air dari
sisi negatif (ancaman) baik dari sisi kelebihan air (banjir) maupun kekurangan air
(kekeringan) sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan pencegahan bencana. Ketiga, UU
34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), belum secara baik menjelaskan peran TNI
dalam kondisi aman khususnya bencana. Keempat, UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (POLRI); dalam peraturan keduanya berhubungan saling asing, walau
prakteknya tidak demikian. Karena itu peran Polri dalam PB perlu diatur lebih lanjut.
Fungsi Koordinasi
Ketidakselarasan undang-undang dalam PB tersebut menjadikan Kementrian dan lembaga
dan yang menjalankan mandat PB seperti yang tertulis dalam tupoksi sektornya sebagai
turunan atas perundangan sektornya tentu bukan sebuah pelanggaran. Tetapi yang menjadi
permasalahan adalah ketika penyelarasan dan koordinasi antar sektor untuk pemwujudkan
praktek yang baik tidak dapat dilakukan. Apakah ke”baru”an, BNPB sebagai pemilik mandat
dan fungsi koordinasi dalam PB terlihat ragu-ragu dan “sungkan” menjalankan mandat
tersebut? Di sisi lain Kementrian dan Lembaga sebagai “aktor” senior “enggan” melakukan
koordinasi?
Kesulitan BNPB menjalankan mandat mengkoordinasikan kementrian dan lembaga, bila
ditelusuri rasanya berawal dari Perpres 8/2008 tentang Pembentukan BNPB yang “hanya”
menempatkan BNPB sebagai lembaga teknis non departemen yang dipimpin oleh kepala
setingkat mentri. Demikian juga bila kita lihat, Perpres 24/2009 tentang Anggota Unsur
Pengarah PB dari Masyarakat Profesional dan Perpres 59/2009 tentang Anggota Unsur
Pengarah PB dari Instansi Pemerintah, menempatkan unsur pengarah di bawah kepala.
Perpres ini menarik karena Perpres 8/2008 (26 Januari 2008) menempatkan unsur pengarah
BNPB “lebih rendah” dari BPLS (Perpres 14/2007, revisi Perpres 40/2009). Pada unsur
pengarah BNPB terdiri dari masyarakat profesional, ada semacam “down grade” setelah
melalui fit and proper test; sedang dari sisi wakil pemerintah “hanya” diisi pejabat eselon
satu.
Permasalahan fungsi koordinasi ini berlanjut dengan hadirnya Inpres No. 4 Tahun 2012
tentang Penanggulangan Bencana Banjir dan Tanah Longsor. Substansi inpres ini pada
dasarnya menegaskan kembali fungsi mengkoordinasikan kementrian dan lembaga yang
seharusnya dilakukan BNPB. Apakah kehadiran Inpres ini dapat dimaknai sebagai pernyataan
atas ketidakmampuan semua komponen kebencanaan untuk berkoordinasi? Mampu
mengkoordinasikan dan rela dikooordinasikan?
3/4
Tata Kerja dan Pendanaan PB
UU 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33 / 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah ini hadir sebelum UU PB, sehingga
belum mengatur mandat Pemerintah Daerah dalam PB. Hal ini berakibat PB belum menjadi
“mandat pokok” pendanaan untuk kegiatan PB menjadi “anak tiri” di dalam perimbangan
keuangan pembangunan. Pendanaan PB di daerah tidak masuk dalam prioritas utama. Hal
yang sama pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan
PB sering dianggap belum jelas.
PP 22/2008 tentang Pendanaan PB dan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah dengan Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, atau antara
Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota masih belum
bermakna. Salah satu perangkat perundangan yang digunakan adalah PP 44/2012 tentang
Dana Darurat. Peraturan penggunaan dana darurat perlu mengakomodir praktek-prakek
penanganan darurat yang memunculkan status kesiapan darurat dan transisi darurat, dengan
mempertimbangkan implikasi yang ada.
Penyelenggaraan PB
Penyelenggaraan PB pada akhirnya dilaksanakan oleh peraturan pemerintah dan keputusan
setingkat mentri dan lembaga. Dalam pelaksanaannya masing-masing kementrian dan
lembaga membuat aturan sendiri-sendiri, sebagai turunan atas perundang-undangan di
atasnya. Kondisi ini memunculkan potensi ketidakselarasan dalam pelaksanaan PB. Pertama,
PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan PB tidak selaras dengan PP No. 64 Tahun 2010 tentang
Mitigasi Bencana Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Definisi “mitigasi” dalam PP
64/2010 ini tidak sama persis dengan definisi dalam PP 21/2008 dan UU PB 24/2007 Oleh
karenanya pelaksanaan mitigasi bencana di pulau-pulau kecil perlu kordinasi dengan bidangbidang penyelenggaraan PB secara umum. Kedua, PP 39/2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial korban bencana alam termasuk salah satu target perlindungan sosial,
dalam pelaksanaannya memungkinkan tumpang tindih mandat PP 21/2009 tentang
Penyelenggaraan PB. Ketiga, PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Nasional, tidak selaras dengan UU 24/2007 tentang PB. PP RTRW Menempatkan Kawasan
Rawan Bencana Geologi masuk dalam Kawasan Lindung Nasional (pasal 51, 52, 53, 58). Hal
ini berimplikasi pada zonasi pemanfaatan ruang untuk untuk pengurangan risiko sulit
dilakukan (pasal 71, 98, 102, 105). Keempat, Perpres 8/2008 tentang Pembentukan BNPB
tidak selaras dengan Perpres 99 / 2007 tentang Badan SAR Nasional. Perpres tentang Badan
SAR Nasional walau mandatnya untuk pencarian dan pertolongan, tidak mengacu pada UU
PB, dan tidak ada satupun kata “bencana” di dalam Perpresnya. Ini berlanjut pada aturan di
bawahnya Perka BNPB 1/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BNPB dengan Perka
Badan SAR Nasional Nomor PER.KBSN-01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
SAR Nasional yang masing-masing saling asing. Ke lima, Perka BNPB 17/2011 tentang
Pedoman Relawan PB tidak selaras dengan Permensos RI No.82/HUK/2006 Tentang Taruna
Siaga Bencana. Ini memungkinkan status dan prasarat relawan tumpang tindih sesuai
kepentingan sektor masing-masing. Keenam, Perka BNPB 3/2010 tentang Rencana Nasional
4/4
PB 2010 – 2014 tidak selaras dengan Permen PU 21/ PRT /M/2007 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi
dan Permen PU 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana
Longsor. Ke tujuh, Perka BNPB 13/2010 tentang Pedoman Perencanaan, Pertolongan dan
Evakuasi perlu mempertimbangkan Kepmenkes No 1653/Menkes/SK/XII/2005 tentang
Pedoman Penanganan Bencana Bidang Kesehatan. Ke delapan, Perka BNPB 2/2012 tentang
Pedoman Pengkajian Risiko Bencana tidak selaras dengan hasil analisis risiko dan peta-peta
hasil Badan Geologi ESDM.
Penutup: Bagaimana Sebaiknya?
Untuk mengurangi ketidakselarasan dalam menjalankan mandat, maka dalam jangka pendek
BNPB perlu mengkaji kembali dan memperbaiki perka-perka yang berpotensi tidak selaras
dengan peraturan kementrian /lembaga lannya; serta proaktif untuk mengajak kementrian
terkait membuat kesepakatan bersama. Selanjutnya untuk jangka menengah dan panjang
BNPB perlu mempersiapkan perbaikan / pembaruan peraturan pemerintah atau keputusan
presiden yang dapat mengadopsi permasalaan yang hadir karena ketidakselarasan tersebut.
Dr. Ir. Eko Teguh Paripurno MT, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional
[email protected],
“Veteran”
Yogyakarta.
Kontak:
+62818260162
/
+6281339228339,
[email protected].