PENDAHULUAN BAHASA MELAYU LOLOAN DI BALI - TINJAUAN LINGUISTIK DIAKRONIS

1. PENDAHULUAN

Keberadaan bahasa-bahasa Melayu sebagai bahasa kantung, yaitu bahasa yang di tuturkan di luar daerah asalnya telah banyak menarik minat para ahli linguistik bandingan untuk menyelami lebih dalam tentang asal muasal hingga pendeskripsian relasi bahasa kantung dengan bahasa asal atau bahasa Purbanya. Muhadjir 2004: 2 dalam Kurniawan, 2013 menyebutkan bahwa sekurangnya di Indonesia terdapat 30 varian bahasa Melayu yang di istilahkannya sebagai bahasa Melayu lokal. Jumlah ini belum ditambah dengan bahasa Melayu yang di tuturkan di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan di Thailand. Besarnya jumlah varian bahasa Melayu yang di tuturkan di Indonesia tidak terlepas dari beragamnya suku bangsa yang menghuni daerah-daerah Indonesia itu sendiri. Terkait penelitian bahasa Melayu Kantung, dapat disebutkan beberapa penelitian lain. Adelaar 1992 telah mencoba menguji sejumlah dialek-dialek bahasa Melayu yang terpisah secara geografis cukup jauh meliputi Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan dalam disertasinya yang dibukukan dalam seri ILDEP dengan judul Bahasa Melayik Purba 1994. Penelitian Adelaar ini menghasilkan rekonstruksi proto Melayik. Bahasa-bahasa yang ia teliti itu, yaitu bahasa Minangkabau, bahasa Serawai, bahasa Banjar Hulu, bahasa Iban, dan bahasa Melayu Jakarta, karena masih memiliki keterkaitan dengan bahasa Melayu, ia namakan sebagai Malayik 1 Masinambow Haenan 2000 meneliti secara sinkronis dan diakronis terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia menemukan bahwa bahasa-bahasa Melayu tersebar dari Indonesia Barat sampai ke Indonesia Timur. Penelitian ini sendiri mendasarkan kajiannya berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 1980 untuk melihat persebaran bahasa-bahasa Indonesia. Bawa 1983: 13, dalam Kurniawan: 11 menginformasikan melalui penelitiannya bahwa di Pulau Bali sendiri, khususnya di sebuah Kelurahan di Kecamatan Negara terdapat semacam bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat beragama Islam disana. Bawa menyebut varian ini sebagai dialek bahasa Melayu Bali, yang kemudian dan seterusnya dikenal linguis dengan sebutan bahasa Melayu Loloan – selanjutnya Melayu Loloan ML Sumarsono, 1993, 2000; Suparwa, 2008, 2009 penamaan ini didasarkan atas penelitian Sumarsono 2 1993, dalam Kurniawan, 2013: 4 tentang pandangan masyarakat yang menganggap ML sebagai bahasa komunikasi dan perhubungan antar masyarakat Loloan dipengaruhi oleh sentimen agama yang kuat oleh masyarakat Loloan dimana dalam hubungan sosialnya, mereka memisahkan diri dan cenderung enggan berakomodasi dengan guyub etnis sekitar yaitu masyarakat Hindu Bali. Sementara itu, Mbete 1990 mengkaji perbandingan hubungan kekerabatan bahasa Bali, Sasak dan Sumbawa dan merekonstruksi bentuk proto dari ketiga bahasa tersebut. Dari bahasa-bahasa itu, Mbete mengungkap jarak pisah antara bahasa Bali dengan dua bahasa lain bahasa Sasak dan bahasa Sumbawa lebih panjang sehingga hubungan kekerabatannya terpisah lebih dahulu. Uraian penelitian Mbete penting untuk memperhatikan bentuk-bentuk pinjaman linguistik bahasa Bali oleh varian bahasa ML yang hidup berdampingan dengannya. Di tempat yang berbeda, Bagus 1985 melakukan inventarisasi tentang ML melalui kajian leksikografi dalam Kamus Bahasa Melayu Bali-Indonesia susunannya. Dalam kamus tersebut dihimpun sejumlah kosakata ML yang saat itu masih disebut Melayu Bali, 1983. Suparwa 2008 juga menelaah aspek struktural ML, terutama aspek fonologi, yaitu menyangkut aspek fonologi posleksikal Suparwa, 2007, dan ortografi untuk bunyi hambat pada ML. Terkait fonologi posleksikal, Suparwa menyatakan bahwa dalam ML, telah terjadi kontraksi fonologis pada tataran frasal sehingga pengungkapannya menjadi seolah-olah adalah kata. Misalnya kata ke ulu ke utara di ucapkan menjadi kulu. Penjelasan Suparwa yang mengejawantahkan aspek fonologi dan sedikit sintaksis ML ini perlu diperkaya lagi dengan penelitian lanjutan yang bukan hanya menyentuh aspek sosiolinguistik dan aspek ekolinguistik saja namun juga linguistik sejarahnya juga. Penelitian mutakhir oleh Kurniawan 3 2013 yang meneliti secara sinkronis dan diakronis enklave Ampenan dan enklave Loloan mengungkapkan dalam Tesisnya bahwa baik MA dan ML ditemukan persamaan dan perbedaaan, kedua bahasa tersebut dibuktikan memiliki kesamaan fonologi, morfologi dan leksikon namun berbeda satu dengan yang lainnya dalam hal distribusinya. Yang lebih penting, Kurniawan mengejawantahkan hasil menarik dari kedua bahasa Melayu Kantung enklave yang diperbandingkan tersebut yaitu ML cenderung lebih banyak mempertahankan unsur asli. Sebagai tambahan, ia juga menegaskan bahwa dalam interaksi masyarakat pengguna enklave ML ditemukan sejumlah kosakata yang memperlihatkan pengaruh bahasa Bali, bahasa Jawa dan bahasa Madura. Berangkat dari penelitian sebelumnya tentang studi bahasa-bahasa Melayu enklave, khususnya ML, tampak bahwa rekonstruksi bahasa ML masih belum dikaji secara sistematis, mendalam, dan memuaskan. Tanggapan terhadap celah dan tantangan yang diberikan bagi kajian yang lebih komprehensif dan mendalam tentang sejarah perkembangan bahasa Melayu Loloan ML merupakan kontribusi yang bermanfaat untuk menjembatani celah penelitian yang pernah ada. Kajian diakronis mengenai bahasa Melayu Loloan dalam tulisan ini menguraikan masalah perkembangan sejarah bahasa Melayu Loloan enklave BML dengan memanfaatkan metode deduktif kualitatif yang menerangkapkan teknik rekonstruksi eksternal dengan pendekatan top-down dari atas ke bawah. Kajian ini merupakan kajian linguistic diakronis yang menarik. Karena, memahami hubungan kekerabatan enklave ML dapat memberikan pemahaman terkait denga persebaran bahasa Melayu di wilayah Indonesia. Bahkan secara praktis, dengan adanya penelitian ML akan berguna bagi perumusan kebijakan berbahasa di Kecamatan Negara, Provinsi Bali. Karena, sejauh ini belum ada upaya pemerintah untuk memperhatikan pemakai bahasa-bahasa minoritas dibidang pengembangan bahasa. Maka dari itu, langkah ini memungkinkan untuk dimaknai sebagai salah satu dari upaya pencegahan terhadap kepunahan bahasa minoritas di Pulau Bali.

2. ANALISIS SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA MELAYU LOLOAN DARI PERSPEKTIF FONOLOGIS DAN LEKSIKAL