Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Teori

dalam penanggulangan bencana, karena kegiatan yang dilakukan adalah untuk memastikan terlaksananya kegiatan yang cepat dan tepat ketika bencana terjadi. Didalam program yang dibuat BPBD Kabupaten Sleman, peneliti ingin mengetahui bagaimana partisipasi didalam kegiatan kesiapsiagaan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh apa partisipasi dalam kegiatan penanggulangan bencana dalam kegiatan kesiapsiagaan ini. Peneliti menilai bahwa kegiatan kesiapsiagaan adalah kegiatan wajib latih yang seharusnya melibatkan kepada seluruh masyarakat khususnya kepada perempuan sehingga dampak pengurangan risiko dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan dari deskripsi diatas, penulis akan mengulas bagaimana partisipasi perempuan dalam penanggulangan bencana sehingga partisipasi perempuan ini dapat dijadikan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman sebagai suatu prioritas berdasarkan program yang telah dibuat oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD Kabupaten Sleman. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana partisipasi perempuan dalam penanggulangan bencana pada kegiatan kesiapsiagaan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman terkait dengan program yang dibuat oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD Kabupaten Sleman. Judul Penelitian ini adalah “Partisipasi Perempuan Dalam Penanggulangan Bencana Pada Kegiatan Kesiapsiagaan Gunung Merapi Di Kabupaten Sleman Periode 2011- 2015” Studi Kasus : Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD Kabupaten Sleman”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Partisipasi Perempuan dalam Penanggulangan Bencana Pada Kegiatan Kesiapsiagaan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui partisipasi perempuan dalam penanggulangan bencana pada kegiatan kesiapsiagaan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapakan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan dan aplikasi teori partisipasi terkait dengan partisipasi perempuan dalam penanggulangan bencana. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam pembuatan kebijakan oleh Pemerintah Kabupaten Sleman, selain itu juga dapat dipergunakan dan dimanfaatkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD Kabupaten Sleman khususnya sebagai sumbangan pemikiran, pertimbangan, serta masukan terkait partisipasi perempuan dalam penanggulangan bencana Gunung Merapi.

E. Kerangka Teori

Kerangka dasar teori merupakan bagian yang menjelaskan variabel-variabel dan hubungan antar variabel yang berdasarkan pada konsep atau definisi tertentu. 1. Partisipasi Banyak ahli memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila dilihat dari asal katanya, kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris “participation” yang berarti pengambilan bagian, pengikutsertaan. 8 8 John M. Echols Hasan Shadily, 2000, Hlm 419 Sundariningrum mengklasifikasikan partisipasi menjadi 2 dua berdasarkan cara keterlibatannya, yaitu : a Partisipasi langsung Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu dalam proses partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan pandangan, membahas pokok permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan orang lain atau terhadap ucapannya. b Partisipasi tidak langsung Partisipasi yang terjadi apabila individu mendelegasikan hak partisipasinya. Cohen dan Uphoff yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D membedakan partisipasi menjadi empat jenis, yaitu : 1. Partisipasi dalam pengambilan keputusan 2. Partisipasi dalam pelaksanaan 3. Partisipasi dalam pengambilan pemanfaatan 4. Partisipasi dalam evaluasi Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama berkaitan dengan penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan gagasan atau ide yang menyangkut kepentingan bersama. Wujud partisipasi dalam pengambilan keputusan ini antara lain seperti ikut menyumbangkan gagasan atau pemikiran, kehadiran dalam rapat, diskusi dan tanggapan atau penolakan terhadap program yang ditawarkan. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan meliputi menggerakkan sumber dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan penjabaran program. Partisipasi dalam pelaksaan merupakan kelanjutan dalam rencana yang telah digagas sebelumnya baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan maupun tujuan. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat. Partisipasi dalam pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas dapat dilihat dari output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari presentase keberhasilan program. Keempat, partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam evaluasi berkaitan dengan pelaksanaan program yang sudah direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketercapaian program yang sudah direncanakan sebelumnya. Sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipasi yang disusun oleh Department for International Development DFID 9 adalah : 1. Cakupan 2. Kesetaraan dan Kemitraan Equal Partnership 3. Transparansi 4. Kesetaraan Kewenangan Sharing PowerEqual Powership 5. Kesetaraan Tanggung Jawab Sharing Responsibility 6. Pemberdayaan Empowerment Pertama, Cakupan yaitu semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan. 9 Monique Sumampouw dalam e-jurnal Juraidah, diakses pada 04 Juni 2016, Pukul 01.35 WIB Kedua, Kesetaraan dan kemitraan Equal Partnership, yaitu pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak. Ketiga, Transparansi yaitu semua pihak harus dapat menumbuh kembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog. Keempat, Kesetaraan kewenangan Sharing PowerEqual Powership. Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan. Distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi. Kelima, Kesetaraan tanggung jawab Sharing Responsibility, yaitu berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan sharing power dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya. Keenam, Pemberdayaan Empowerment yaitu keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain. Ketujuh, Kerjasama yaitu diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia. Dari uraian pendapat ahli diatas menyimpulkan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan individu baik itu secara langsung maupun tidak langsung dan dalam keterlibatan ini melibatkan perwakilan sehingga dalam setiap tahapannya dinilai ikut terlibat. Dari tiga teori pendapat ahli diatas, peneliti lebih tertarik dengan teori yang disusun oleh Department for International Development DFID yang terdapat dalam panduan pelaksanaan pendekatan partisipasi karena peneliti menilai dari setiap prinsip partisipasi yang disampaikan oleh DFID sangat mencakup secara keseluruhan apa-apa saja yang harus masuk kedalam setiap prinsip partisipasi seperti adanya kesetaraan kewenangan, kesetaraan tanggung jawab, transparansi, cakupan, kesetaraan dan kemitraan, perberdayaan dan kerja sama sehingga partisipasi yang dimaksud dapat sangat memenuhi secara keseluruhan baik itu partisipasi untuk perempuan maupun laki-laki.

2. Penanggulangan Bencana

Bencana sering kali mengikuti bahaya dari alam. Keparahan sebuah bencana tergantung pada seberapa banyak dampak bahaya terhadap masyarakat dan lingkungan. Pengurangan risiko bencana adalah konsep dan praktek mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisis dan mengurangi faktor-faktor penyebab bencana. Mengurangi paparan bahaya, mengurangi kerentanan orang dan properti, manajemen bijaksana lahan dan lingkungan, dan meningkatkan kesiapsiagaan dan peringatan dini untuk efek samping merupakan contoh pengurangan risiko bencana. Bencana didefinisikan sebagai sebuah gangguan serius terhadap berfungsinya sebuah masyarakat yang mengakibatkan kerugian dan dampak yang meluas terhadap manusia, materi, ekonomi dan lingkungan, yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak tersebut untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri. 10 Penanggulangan bencana merupakan kegiatan yang berkaitan dengan tahap-tahap pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan dan rekonstruksi. Pengertian relatif baru berkaitan dengan adanya perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana manajemen bencana pasca ditetapkan kebijakan penanggulangan bencana. Adapun kebijakan tersebut adalah dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana beserta dengan turunannya. Penanggulangan bencana bertujuan untuk 1 Mencegah kehilangan jiwa; 2 Mengurangi penderitaan manusia; 3 Memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta 4 Mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis. Gambar 1.1 Siklus Penanggulangan Bencana 10 UNISDR Terminology on Disaster Risk Reduction, 2009 Sumber : Panduan Perencanaan Kontijensi Menghadapi Bencana, BNPB 2011 diakses di http:bpbdkabblitar.info pada tanggal 10 Agustus 2016 Pukul 13.38 WIB Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Setiap tahapan disusun suatu rencana yang spesifik sehingga dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. 1. Pada tahapan pra bencana dalam situasi tidak terjadi bencana, dilakukan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana RPB yang merupakan rencana umum dan menyeluruh yang meliputi seluruh tahapan atau bidang kerja kebencanaan. Secara khusus untuk upaya pencegahan dan mitigasi bencana tertentu terdapat rencana yang disebut rencana mitigasi. 2. Pada tahapan pra bencana dalam situasi terdapat potensi bencana dilakukan penyusunan rencana kesiapsiagaan untuk menghadapi keadaan darurat yang didasarkan atas scenario menghadapi bencana tertentu maka disusun satu rencana yang disebut rencana kontijensi. 3. Pada tahap tanggap darurat dilakukan rencana operasi yang merupakan operasionalisasi atau aktivasi dari rencana kedaruratan atau rencana kontijensi yang telah disusun sebelumnya. 4. Pada tahap pemulihan dilakukan penyusunan rencana pemulihan yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan pada pasca bencana. Sedangkan jika bencana belum terjadi, maka untuk mengantisipasi kejadian bencana dimasa mendatang dilakukan penyusunan petunjuk atau pedoman mekanisme penanggulangan pasca bencana. 11 Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan sejumlah prinsip penanggulangan yaitu: 1. Cepat dan Tepat Yang dimaksud dengan prinsip cepat dan tepat adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan. Keterlambatan dalam penanggulangan akan berdampak pada tingginya kerugian material maupun korban jiwa. 2. Prioritas Yang dimaksud dengan prinsip prioritas adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia. 3. Koordinasi dan Keterpaduan Yang dimaksud dengan prinsip koordinasi adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan prinsip keterpaduan adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung. 4. Berdaya Guna dan Berhasil Guna 11 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No.4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana diakses pada tanggal 10 Aagustus 2016, Pukul 14.28 WIB Yang dimaksud dengan prinsip berdaya guna adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan prinsip berhasil guna adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. 5. Transparansi dan Akuntabilitas Yang dimaksud dengan prinsip transparansi adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan prinsip akuntabilitas adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum. 6. Kemitraan Penanggulangan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Kemitraan dalam penanggulangan bencana dilakukan antara pemerintah dengan masyarakat luas termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat LSM maupun dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya. Bahkan, kemitraan juga dilakukan dengan organisasi atau lembaga di luar negeri termasuk dengan pemerintahannya. 7. Pemberdayaan Pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengetahui, memahami dan melakukan langkah- langkah antisipasi, penyelamatan dan pemulihan bencana. Negara memiliki kewajiban untuk memberdayakan masyarakat agar mengurangi dampak dari bencana. 8. Non Diskriminatif Yang dimaksud dengan prinsip non diskriminatif adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberi perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras dan aliran politik apapun. 9. Non Proletisi Yang dimaksud dengan prinsip proletisi adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat. 3. Pra Bencana Selama ini kegiatan pada tahap pra bencana banyak dilupakan padahal kegiatan pra bencana sangatlah penting. Pada tahap pra bencana inilah modal dalam menghadapi pada saat terjadinya bencana dan sesudah bencana. Tahap pra bencana adalah kegiatan yang dilaksanakan ketika sedang tidak terjadi bencana dan ketika sedang dalam ancaman potensi bencana. 12 Gambar 1.2 Tahapan Penanggulangan Bencana 12 http:bpbd.banyuwangikab.go.iddocpubModul_Pengantar_Manajemen_Bencana.pdf diakses pada 23 Februari 2016, Pukul 00.46 WIB Sumber : BPBD Kalimantan Timur diakses pada tanggal 10 Agustus 2016, Pukul 02.00 WIB Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pra bencana menurut PP 21 Tahun 2008 dalam Pasal 3 meliputi situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi terjadinya bencana. 1. Situasi tidak terjadi bencana Kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana, meliputi : a. Perencanaan penanggulangan bencana; b. Pengurangan risiko bencana; c. Pencegahan; d. Pemaduan dalam perencanaan pembangunan; e. Persyaratan analisis risiko bencana; f. Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; g. Pendidikan dan pelatihan; dan h. Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap pra bencana merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. a. Perencanaan penanggulangan bencana Perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis risiko bencana dan upaya penanggulangan bencana yang dijabarkan dalam program kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya. Kegiatan ini meliputi : 1. Pengenalan dan pengkajian ancaman bencana; 2. Pemahaman tentang kerentanan masyarakat; 3. Analisis kemungkinan dampak bencana; 4. Pilihan tindakan pengurangan risiko bencana; 5. Penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana; dan 6. Alokasi tugas, kewenangan, dan sumbe daya yang tesedia. b. Pengurangan risiko bencana Pengurangan risiko bencana merupakan kegiatan untuk mengurangi ancaman dan kerentanan serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kegiatan ini meliputi : 1. Pengenalan dan pemantauan risiko bencana; 2. Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; 3. Pengembangan budaya sadar bencana; 4. Peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan 5. Penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana. c. Pencegahan Pencegahan merupakan kegiatan untuk mrngurangi atau menghilangkan risiko bencana. Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi ancaman bencana dan kerentanan pihak yang terancam bencana. Kegiatan ini meliputi : 1. Identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; 2. Pemantuan terhadap : a Penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam; b penggunaan teknologi tinggi 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; 4. Penguatan ketahanan sosial masyarakat. d. Pemanduan dalam perencanaan pembangunan Pemanduan dalam perencanaan pembangunan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah melalui koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi. Pemanduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan dilakukan dengan cara memasukkan unsur- unsur penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunann nasional dan daerah. e. Persyaratan analisis risiko bencana Persyaratan analisis risiko bencana merupakan kegiatan untuk mengetahui dan menilai tingkat risiko dari suatu kondisi atau kegiatan yang dapat menimbulkan bencana. Kegiatan ini disusun berdasarkan persyaratan analisis risiko bencana yaitu melalui penelitian dan pengkajian terhadap suatu kondisi atau kegiatan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana. f. Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang sebagai rencana tata ruang wilayah. Dalam kegiatan ini mencakup pemberlakuan peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggarnya. g. Pendidikan dan pelatihan Pendidikan dan pelatihan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kegiatan ini dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk pendidikan formal, nonformal, dan informal yang berupa pelatihan dasar, lanjutan, teknis, simulasi, dan gladi. 2. Situasi terdapat potensi terjadinya bencana Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana pada situasi yang terdapat potensi terjadinya bencana meliputi : a Kesiapsiagaan; b Peringatan dini; dan c Mitigasi bencana; Upaya meminimalkan risiko bencana perlu adanya pengetahuan, pemahaman, kesiapsiagaan, keterampilan untuk dapat mencegah terjadinya suatu bencana. a Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memastikan terlaksananya tindakan yang cepat dan tepat pada saat terjadinya bencana. Kegiatan kesiapsiagaan dilakukan oleh instansi atau lembaga yang berwenang, baik secara teknis maupun administratif yang kemudian dikoordinasikan oleh BNPB atau BPBD. Kegiatan ini meliputi : 1. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana; 2. pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini; 3. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; 4. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat; 5. Penyiapan lokasi evakuasi; 6. Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana; dan 7. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana. b Peringatan dini Peringatan dini mrupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Dalam kegiatan ini keputusan yang tepat sangat dibutuhkan karena akan disebarluaskan melalui dan wajib dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga penyiaran swasta, dan media massa untuk mengerahkan sumber daya. Kegiatan ini meliputi : 1. Mengamati gejala bencana; 2. Menganalisa data hasil pengamatan; 3. Mengambil keputusan berdasarkan hasil analisa; 4. Menyebarluaskan hasil keputusan; dan 5. Mengambil tindakan oleh masyarakat. c Mitigasi bencana Mitigasi bencana merupakan kegiatan untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Kegiatan ini meliputi : 1. Perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yang berdasarkan pada analisis risiko bencana; 2. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan tata bangunan; dan 3. Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, baik secara konvensional maupun modern. 13 4. Kesiapsiagaan Menurut Carter 1991 dalam LIPI-UNESCOISDR 2006, kesiapsiagaan adalah tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintah, organisasi, masyarakat, dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat. Pentingnya kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengendalian pengurangan risiko bencana yang bersifat sangat aktif sebelum terjadinya bencana. Menurut LIPI-UNESCOISDR 2006, pengembangan kesiapsiagaan di masyarakat terdapat beberapa aspek yang memerlukan perhatian, yaitu : 1. Perencanaan dan organisasi 2. Sumber daya 3. Koordinasi 4. Kesiapan 5. Pelatihan dan kesadaran masyarakat Usaha-usaha peningkatan kesiapsiagaan dapat dilakukan pada berbagai tingkatan, yaitu tingkat nasional, provinsidaerahkecamatan, organisasi individual, desakelurahan, RWRT, rumah tangga, dan tingkat individuperseorangan. Menurut IDEP 2007 kesiapsiagaan mempunyai tujuan, yaitu : 1. Mengurangi ancaman; 13 PP NO. 21 Tahun 2008 2. Mengurangi kerentanan masyarakat; 3. Mengurangi akibat; 4. Menjalin kerja sama. Kesiapsiagaan dimaksudkan dengan tujuan agar masyarakat mampu mengenali ancaman dan dapat mempredksi bencana sebelum terjadi sehingga mampu mencegah terjadinya bencana jika memungkinkan dan juga mampu mengurangi dampak yang terjadi akibat bencana serta mampu menanggulanginya secara efektif. Menurut PP No. 21 Tahun 2008, proses tahapan kesiapsiagaan yaitu : 1. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana; 2. Pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini; 3. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; 4. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat; 5. Penyiapan lokasi evakuasi; 6. Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana, dan 7. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan kebutuhan pra sarana dan sarana. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori yang dijelaskan dalam PP No.21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, karena peneliti menilai teori yang dijelaskan didalam PP No.21 Tahun 2008 ini menjelaskan secara keseluruhan tentang bagaimana kesiapsiagan itu harus meliputi tahapan-tahapan secara lengkap dan sistematis sehingga masyarakat sebagai salah satu pelaksana penanggulangan bencana dapat ikut berpartisipasi didalamnya.

F. Definisi Konseptual