PENGARUH KONSENTRASI SUKROSA PADA INDUKSI EMBRIO SOMATIK DUA KULTIVAR KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) SECARA IN VITRO

(1)

ABSTRACT

THE EFFECT OF SUCROSE CONCENTRATION ON THE IN VITRO

INDUCTION OF SOMATIC EMBRYOS OF TWO PEANUT (Arachis hypogaea L.) CULTIVARS

By TITIK INAYAH

Regeneration of peanut through somatic embryo is the most effective way for plant propagation, potential for use in gene transfer and development of transgenic plant. Induction of somatic embryo was dependent on auxin type (picloram/4-amino-3,5,6,-trichloro picolinic acid) and sucrose concentration as a carbon source.

The objective of this study was to evaluate the effect of sucrose concentration on the in vitro induction of somatic embryos of two peanut cultivars. The study conducted at the Plant Tissue Culture Lab. of Department of Agronomy, Faculty of Agriculture, Lampung University. Somatic embryogenesis was evaluated on Murashige and Skoog media Supplemented with auxin picloram (16 µM). The experiment was arranged in completely randomized design with 10 replication. The experiment unit was one bottle with five peanut leaflets as the explant. The treatment was four levels of sucrose concentration which ranged from 0, 10, 20, 30 and 40 g/l. The leaflets obtained from dry seeds of cultivars Sima and Jerapah. Variables observed were (1) The percentage of explants producing somatic embryos; (2) The average number of somatic embryos per explant.

The result showed that the sucrose concentration of 20 g/l was the most suitable to induce somatic embryos of Jerapah. On the others, the sucrose concentration of 30 g/l was the most suitable.


(2)

ABSTRAK

PENGARUH KONSENTRASI SUKROSA PADA INDUKSI EMBRIO

SOMATIK DUA KULTIVAR KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) SECARA IN VITRO

Oleh TITIK INAYAH

Perbanyakan kacang tanah (Arachis hypogaea L.) secara in vitro menggunakan Media MS (Murashige dan Skoog) dengan menggunakan sukrosa sebagai sumber karbon dan penambahan picloram (4-Amino-3,5,6,-Trichloro Picolinic Acid). Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengetahui pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap induksi embrio somatik kacang tanah pada setiap kultivar yang dicoba (Jerapah dan Sima). (2) Mencari konsentrasi sukrosa yang paling baik untuk menginduksi embrio somatik pada setiap kultivar yang dicoba (Jerapah dan Sima).

Penelitian ini dilaksanakan dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan10 ulangan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 1 botol yang berisi 5 eksplan leaflet kacang tanah. Perlakuan yang diterapkan pada setiap kultivar adalah berbagai konsentrasi sukrosa yaitu 0, 10, 20, 30, dan 40 mg/l. Variabel yang diamati persentase kalus embriogenik dan rata-rata jumlah embrio somatik per eksplan.


(3)

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Perbedaan nilai tengah perlakuan diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.

Pada konsentrasi sukrosa 0 g/l pada kedua kultivar eksplan tidak berkembang dan tidak mengalami pertumbuhan untuk membentuk kalus. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa (1) Pada kultivar Jerapah, konsentrasi sukrosa berpengaruh terhadap rata-rata jumlah embrio somatik per eksplan dan persentase kalus embriogenik. Konsentrasi sukrosa dalam media yang baik dalam menghasilkan rata-rata embrio somatik per eksplan adalah 20 g/l. Konsentrasi sukrosa dalam media yang optimum dalam menghasilkan persentase kalus embriogenik adalah 10 dan 20 g/l. (2) Pada kultivar Sima, konsentrasi sukrosa dalam media yang baik dalam menghasilkan rata-rata embrio somatik per eksplan adalah 30 g/l. Konsentrasi sukrosa dalam media yang optimum dalam menghasilkan persentase kalus embriogenik adalah 40 g/l.


(4)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang berguna untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Selain itu, kacang tanah merupakan sumber protein nabati yang cukup penting dan di Indonesia kacang tanah menempati urutan kedua setelah kedelai. Kacang tanah sebagian besar ditanam oleh petani di tegalan, lahan tadah hujan (70%), dan sisanya (30%) ditanam setelah padi di sawah yang berpengairan (Heriyanto dan Subagio, 1998).

Produksi kacang tanah pada tahun 2006 dan 2007 mencapai 837.991 ton/ha dan 840.896 ton/ha yang berasal dari luas panen 706.592 hektar dan 700.733 hektar (Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2008).

Penggunaan kacang tanah yang semakin beragam mengakibatkan permintaan kacang tanah semakin meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan pertambahan penduduk, kebutuhan gizi masyarakat, diversifikasi pangan dan peningkatan kapasitas produksi (Srilestari, 2005). Di dalam negeri, kebutuhan kacang tanah terus meningkat baik untuk bahan pangan maupun untuk bahan baku industri (Heriyanto dan Subagio, 1998). Dalam upaya meningkatkan produksi kacang tanah dapat dilakukan dengan teknik budidaya yang baik dan tidak merusak lingkungan. Kendala serangan hama dan penyakit perlu diatasi dengan


(5)

2 mengembangkan varietas yang resisten melalui program perakitan tanaman

transgenik dan penyediaan bibit bermutu. Salah satu cara yang paling tepat adalah dengan teknik kultur jaringan, yaitu teknik menumbuh-kembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan, atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro (Yusnita, 2003). Perbanyakan tanaman secara in vitro untuk jangka panjang diharapkan dapat membantu program pemuliaan melalui rekayasa genetika.

Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan organogenesis dan embriogenesis somatik. Organogenesis adalah proses pembentukan organ seperti tunas atau akar, baik secara langsung dari eksplan atau secara tidak langsung melalui pembentukan kalus terlebih dulu. Sedangkan embriogenesis somatik adalah proses pembentukan embrio yang bukan berasal dari zigot, tetapi dari sel somatik tanaman (Gunawan, 1988). Embrio somatik biasanya berasal dari sel tunggal yang kompeten dan berkembang membentuk fase globular, hati, terpedo, dan akhirnya menjadi embrio somatik dewasa yang siap dikecambahkan untuk membentuk planlet/tanaman utuh (Finer dan Mc Mullen, 1991 dalam Finer et al., 1996).

Cara embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu singkat.

Disamping itu, untuk mendukung program pemuliaan tanaman melalui rekayasa genetika, penggunaan embrio somatik dapat mempercepat keberhasilan dengan peluang transformasi yang lebih tinggi karena embrio somatik dapat berasal dari satu sel somatik. Untuk penyimpanan jangka pendek maupun jangka panjang, embrio somatik dianggap merupakan bahan tanaman yang ideal untuk disimpan


(6)

3 karena bila diregenerasikan dapat membentuk bibit somatik. Keunggulan

regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dibandingkan dengan

organogenesis adalah mampu menghasilkan embrio bipolar dari sel atau jaringan vegetatif (Litz dan Gray, 1995).

Dalam kultur jaringan, untuk mendukung pertumbuhan yang optimal diperlukan bahan-bahan organik yang ditambahkan ke dalam media. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi pembentukan embrio somatik adalah jenis eksplan, sumber nitrogen dan gula serta zat pengatur tumbuh.

Menurut Yusnita (2003), salah satu komponen penting yang harus ada dalam media kultur adalah gula. Gula yang paling sering digunakan adalah sukrosa. Sukrosa dalam media kultur berfungsi sebagai sumber energi, karena umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autotrof dan mempunyai laju fotosintesis sangat rendah. Konsentrasi sukrosa yang digunakan berkisar 1—5% (10—50 g/l), tetapi umumnya sukrosa yang digunakan berkisar 2—3%.

Konsentrasi optimum sukrosa tergantung dari jenis kultur, dalam kultur kalus dan pucuk, konsentrasi antara 2—4% merupakan konsentrasi yang optimum. Namun dalam kultur embrio, konsentrasi gula dapat mencapai 12% (Gunawan, 1988).


(7)

4

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah konsentrasi sukrosa memberikan respons positif terhadap induksi embrio somatik kacang tanah pada setiap kultivar yang dicoba (Jerapah dan Sima)?

2. Konsentrasi sukrosa berapa yang relatif baik untuk menginduksi embrio somatik pada setiap kultivar yang dicoba (Jerapah dan Sima)?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang ada, tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap induksi embrio somatik kacang tanah pada setiap kultivar yang dicoba (Jerapah dan Sima).

2. Mencari konsentrasi sukrosa yang paling baik untuk menginduksi embrio somatik pada setiap kultivar yang dicoba (Jerapah dan Sima).


(8)

5

1.4 Landasan Teori

Kultur jaringan yaitu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Gunawan, 1988). Teknik ini

dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita, 2003).

Teknik kultur jaringan yang menginduksi embrio somatik lebih diinginkan karena dapat berasal dari satu sel pada jaringan somatik yang perkembangannya serupa dengan embrio normal. Regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik mudah diregenerasikan menjadi embrio bipolar, yaitu mempunyai dua kutub yang langsung sebagai bakal tunas dan akar. Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan, sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur-unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosphere melalui fotosintesis (Gunawan, 1988).

Gula yang paling sering digunakan adalah sukrosa. Gula pasir yang digunakan sehari-hari juga dapat digunakan dalam media kultur jaringan karena mengandung 99,9% sukrosa. Konsentrasi sukrosa yang digunakan berkisar 1—5% (10—50 g/l), tetapi untuk kebanyakan pengulturan, 2—3% sukrosa umumnya merupakan konsentrasi yang optimum (Yusnita, 2003). Selain itu, zat pengatur tumbuh merupakan komponen yang sangat penting dalam media kultur jaringan, tetapi


(9)

6 jenis dan konsentrasinya sangat tergantung pada jenis tanaman dan tujuan kultur. Zat pengatur yang digunakan dalam kultur jaringan adalah sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ.

Setiap genotipe tanaman memiliki respon pertumbuhan yang berbeda meskipun ditumbuhkan pada media kultur yang sama, demikian juga dengan sumber eksplan tanaman sehingga diperlukan optimasi kondisi yang sesuai untuk masing-masing genotipe dan sumber eksplan (Ritchie dan Hodges, 1993 dalam

Damayanti et al., 2007).

Sumber eksplan yang digunakan untuk perbanyakan tanaman secara in vitro sebaiknya berasal dari induk bervarietas unggul sehingga akan menghasilkan tanaman yang true-to-type, yang berarti sifat-sifat tanaman baru hasil kultur jaringan sama dengan tanaman induk atau tanaman sumber eksplan (Yusnita, 2003) .

Kultivar Sima memiliki keunggulan tahan penyakit layu, toleran terhadap karat dan bercak daun, agak tahan A. flavus, toleran terhadap kekeringan dan lahan masam, serta dapat menghasilkan produksi rata-rata tiap tahunnya mencapai 2,0 ton/ha. Seperti halnya kultivar Sima, kultivar Jerapah juga memiliki keunggulan tahan terhadap, penyakit layu, toleran penyakit karat, dan bercak daun, serta rata-rata produksi tiap tahunnya mencapai 1,92 ton/ha (Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2001).


(10)

7

1.5 Kerangka Pemikiran

Kacang tanah merupakan tanaman yang berguna sebagai bahan pangan dan bahan baku industri yang kaya akan sumber protein dan minyak nabati, untuk memenuhi permintaan yang semakin meningkat maka dilakukan berbagai usaha dalam hal budidaya kacang tanah, salah satunya adalah penggunaan kultivar resisten yang dihasilkan dengan program pemuliaan melalui rekayasa genetika yang didukung oleh kultur jaringan. Salah satu penentu keberhasilan kultur jaringan diantaranya adalah penggunaan sukrosa yang berfungsi sebagai sumber energi dalam media kultur.

Secara umum peningkatan konsentrasi sukrosa sampai pada konsentrasi tertentu dapat meningkatkan laju pertumbuhan jaringan tanaman, tetapi peningkatan konsentrasi sukrosa selanjutnya dapat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan. Penggunaan konsentrasi sukrosa dalam media umumnya berkisar antara 2—5 % yang optimum. Pada penelitian Srilestari (2005), diketahui bahwa pada media yang mengandung 40 g/l sukrosa, embrio muncul lebih cepat dibandingkan pada media dengan 20 g/l dan 30 g/l sukrosa.

Sukrosa pada konsentrasi antara 20 – 40 g/l mampu berfungsi sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan embrio. Hal ini disebabkan sukrosa merupakan sumber karbon yang terbaik, yang berperan sebagai bahan baku untuk

menghasilkan energi dalam proses respirasi (Katuuk, 1984). Pada penelitian Santi dan Widiastoety (2004) menunjukkan bahwa konsentrasi sukrosa 10—20 g/l memperlihatkan pertumbuhan yang baik pada tinggi planlet; panjang/lebar planlet, dan jumlah daun; serta panjang dan jumlah akar pada anggrek Vanda.


(11)

8 Sebagian besar kultur yang dilakukan secara aseptik belum mampu untuk

melakukan proses fotosintesis, sehingga diperlukan sumber karbon atau energi baik dalam bentuk sukrosa maupun glukosa. Adanya perlakuan pemberian sukrosa dalam media kultur akan diikuti dengan meningkatnya sumber karbon bagi pertumbuhan akar. Penambahan sukrosa ke dalam media kultur diketahui berpengaruh dalam merangsang embriogenesis somatik (Lou dan Kako, 1995 dalam Santi dan Widiastoety, 2004).

Sumber eksplan yang digunakan adalah bagian leaflet dari kacang tanah. Leaflet adalah bagian dari embrio kacang tanah yang baik digunakan sebagai sumber eksplan karena terletak didalam kotiledon sehingga terlindung dari serangan hama penyakit. Tidak semua tipe eksplan membentuk kalus embriogenik. Kalus

embriogenik hanya terbentuk pada eksplan leaflet, poros, dan radikula (kecuali pada kultivar Jerapah dan Sima). Tipe eksplan endosperm tidak membentuk kalus embriogenik pada semua kultivar. Bagian kacang tanah yang mempunyai rata-rata jumlah embrio somatik yang lebih baik dibandingkan sumber eksplan radikula dan endosperm adalah eksplan leaflet (Edy et al., 2008).

Embrio somatik biasanya berasal dari sel tunggal yang kompeten dan berkembang membentuk fase globuler, hati, terpedo, dan akhirnya menjadi embrio somatik dewasa yang siap dikecambahkan membentuk planlet/tanaman utuh.


(12)

9

1.6 Hipotesis

Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Konsentrasi sukrosa memberikan respons positif terhadap induksi embrio somatik pada setiap kultivar yang dicoba (Jerapah dan Sima).

2. Konsentrasi sukrosa 40 g/l adalah yang relatif paling baik untuk menginduksi embrio somatik pada setiap kultivar yang dicoba (Jerapah dan Sima).


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kacang Tanah

Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan jenis tanaman polong-polongan yang banyak mengandung protein nabati dan dapat dikonsumsi dalam berbagai bentuk, antara lain sebagai bahan sayur, saus, dan di goreng atau di rebus. Sebagai bahan industri dapat dibuat keju, mentega, sabun, dan minyak. Daun kacang tanah juga dapat digunakan untuk pakan ternak dan pupuk. Sebagai bahan pangan dan pakan ternak yang bergizi tinggi, kacang tanah mengandung lemak (40—50%), protein (27%), karbohidrat, serta vitamin (A, B, C, D, E, dan K). Disamping itu, juga mengandung bahan-bahan mineral, antara lain Ca, Cl, Fe, Mg, P, K, dan S (Suprapto, 1993).

Kacang tanah diyakini berasal dari bagian selatan Bolivia di Argentina Utara karena karakter primitifnya mirip dengan plasma nutfah dari daerah ini. Berdasarkan taksonomi tumbuhan, tanaman ini digolongkan dalam tanaman Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo Rosales, Famili Papilionaceae, dan Genus Arachis. Di Indonesia, kacang tanah sebagian besar ditanam di lahan kering dan sebagian kecilnya di lahan sawah.


(14)

11 Adisarwanto (2000), mengelompokkan kacang tanah menjadi tiga tipe, yaitu Valensia, Spanish, dan Virginia. Varietas kacang tanah, baik varietas lokal maupun varietas unggul, yang umum ditanam adalah tipe Spanish yang bercirikan polong berbiji 1—2. Walaupun demikian, masih ada kacang tanah yang ditanam dengan tipe Valensia yang dicirikan dari polong berbiji 3—4. Sedangkan di daerah subtropis kebanyakan termasuk tipe Virginia.

Secara garis besar, kacang tanah dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe tegak (buch type) dan tipe menjalar (runner type). Kacang tanah tipe tegak lebih banyak dibudidayakan karena umurnya pendek, 100—120 hari, sehingga lebih cepat panen dan buahnya terdapat pada ruas-ruas yang dekat rumpun sehingga

masaknya bisa bersamaan. Sedangkan kacang tanah tipe menjalar sebagian besar hanya merupakan koleksi plasma nutfah di balai-balai penelitian dan biologi di Indonesia. Berbeda dengan kacang tanah tipe tegak, kacang tanah tipe menjalar mempunyai percabangan yang tumbuh kesamping tetapi ujung-ujungnya

mengarah ke atas. Tipe ini umumnya berumur antara 6—7 bulan, kira-kira 180—210 hari dan tiap ruas yang berdekatan dengan tanah akan menghasilkan buah sehingga masaknya tidak bersamaan (Suprapto, 1993).

Batang kacang tanah berukuran pendek, berbuku-buku dengan tipe pertumbuhan tegak. Buku-buku atau ruas yang terletak di dalam tanah merupakan tempat melekatnya akar, bunga dan buah (Rukmana, 1995). Setiap buku yang berdekatan dengan tanah akan mengeluarkan ginofor yang akan membentuk polong di dalam tanah, namun hanya sebagian kecil yang dapat membuat polong beruas pada saat matang sempurna (Sutarto et al., 1988).


(15)

12 Daun kacang tanah merupakan daun majemuk bersirip genap, terdiri atas empat anak daun dengan tangkai daun agak panjang dan mulai gugur pada akhir masa pertumbuhan. Kacang tanah berakar tunggang dengan akar cabang yang tumbuh tegak lurus pada akar tunggang tersebut (Suprapto, 1993). Pertumbuhan akar menyebar ke semua arah sedalam ± 30 cm dari permukaan tanah, sehingga dapat bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium radicicola, pada bintil-bintil akar dalam menambat N2 bebas di udara (Rukmana, 1995).

Kacang tanah berbunga kira-kira pada umur 4—5 minggu, bunga keluar dari ketiak daun berbentuk kupu-kupu, bertangkai panjang dan berwarna kuning. Bunga kacang tanah dapat melakukan penyerbukan sendiri, penyerbukannya terjadi sebelum bunganya mekar (Suprapto, 1993). Bakal buah tumbuh memanjang ke bawah menuju tanah yang disebut ginofor. Setelah masuk

kedalam tanah dan proses pemanjangan selesai, ujung ginofor akan membengkak membentuk polong kacang tanah (rolist). Proses pematangan polong atau buah kacang tanah berlangsung terus hingga matang fisiologis selama 90 hari setelah tanam (Sutarto et al., 1988). Varietas unggul kacang tanah ditandai dengan karakteristik yaitu: daya hasil tinggi, umur pendek (genjah) antara 85-90 hari, hasilnya stabil, tahan terhadap penyakit utama (karat dan bercak daun), toleran terhadap kekeringan atau tanah becek (Anonim, 2008).

Keunggulan suatu varietas unggul ditandai dengan sifat-sifat baik yang

diwariskan kepada generasi selanjutnya, salah satu syarat terpenting dari varietas kacang tanah adalah ketahanan terhadap penyakit layu, disamping produksi tinggi dan berumur genjah (Sutarto et al., 1988).


(16)

13 Sumber genetik (plasma nutfah) tanaman kacang tanah berasal dari Brazilia cocok untuk ditanam pada dataran rendah dengan ketinggian 500 dpl, kondisi iklim bersuhu tinggi (panas) antara 28—32o C, dan kondisi kelembaban yang sedikit lembab antara 65—75%. Curah hujan berkisar antara 800 mm—1300 mm/th, pada tempat terbuka dan musim kering dengan struktur tanah ringan yaitu jenis regosol, andosol, latosol, dan alluvial (Rukmana, 1995).

2.2 Teknik Kultur Jaringan

Kultur jaringan merupakan metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik secara in vitro , sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Gunawan, 1988). Dasar dari penerapan dan pengembangan teknik ini adalah teori totipotensi sel, yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh, jika kondisinya sesuai (Yusnita, 2003).

Salah satu penerapan teknik kultur jaringan ini adalah perbanyakan mikro

terutama untuk beberapa jenis tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif. Perbanyakan mikro yaitu usaha menumbuhkan bagian tanaman dalam media aseptik, dan memperbanyak hingga menghasilkan tanaman sempurna (Gunawan, 1988). Teknik kultur jaringan mempunyai beberapa kelebihan yaitu : (1) dapat menghasilkan jumlah bibit tanaman yang banyak dalam waktu yang relatif singkat sehingga lebih ekonomis, (2) tidak memerlukan tempat yang luas, ( 3) dapat


(17)

14 dilakukan sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim, (4) bibit yang

dihasilkan lebih sehat, (5) memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik. Namun, teknik ini juga mempunyai kelemahan antara lain: (1) dibutuhkan biaya awal yang relatif tinggi untuk laboratorium dan bahan kimia, (2) dibutuhkan keahlian khusus untuk melaksanakannya, (3) tanaman yang dihasilkan berukuran kecil, aseptik, dan terbiasa hidup di tempat yang berkelembaban tinggi sehingga memerlukan aklimatisasi ke lingkungan eksternal (Yusnita, 2003).

Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan organogenesis dan embriogenesis. Embriogenesis somatik pada tanaman

mempunyai beberapa tahapan perkembangan yang spesifik, seperti induksi kalus embriogenik atau embrio somatik (pembentukan langsung), pemeliharaan, pendewasaan, perkecambahan, dan aklimatisasi (Lelu et al.,1993).

2.3 Eksplan

Eksplan merupakan bahan tanam yang akan dikulturkan secara in vitro. Bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif, karena pada jaringan yang masih muda mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri, dan relatif lebih bersih

(mengandung lebih sedikit kontaminan). Misalnya, biji atau bagian-bagian biji seperti aksis embrio atau kotiledon, tunas pucuk, potongan batang satu buku (nodal explant), potongan akar, empulur batang, umbi lapis dengan sebagian batang, dan bagian bunga (Yusnita, 2003).


(18)

15 Eksplan yang berukuran kecil mempunyai kemampuan bertahan hidup dan

kecepatan tumbuh yang rendah, tetapi kemungkinan mendapatkan kultur yang bebas mikroorganisme tinggi. Eksplan yang berukuran lebih besar, lebih banyak mengandung cadangan makanan dan zat pengatur tumbuh sehingga lebih mampu bertahan hidup dan lebih cepat tumbuh dan beregenerasi dibandingkan dengan eksplan yang berukuran kecil (Murashige, 1974). Dalam kultur jaringan tanaman kacang tanah, bagian-bagian biji tanaman dapat digunakan sebagai sumber eksplan. Meristem apikal dari embrio zigot dapat digunakan untuk regenerasi tunas secara in vitro tanaman kacang tanah hasil transformasi genetik (Schnall dan Weissinger, 1993 dalam Kanyand et al., 1994).

2.4 Medium Kultur Jaringan

Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan, sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur hara-unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada

umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosphere melalui fotosintesis. Media kultur tersusun dari beberapa komponen yaitu: (1) unsur hara makro, (2) unsur hara mikro, (3) vitamin, (4) gula, (5) asam amino dan N organik, (6) persenyawaan kompleks alamiah seperti air kelapa, ekstrak kentang, juice tomat, ekstrak kentang dan sebagainya, (7) buffer, (8) arang aktif, (9) zat pengatur tumbuh, (10) bahan pemadat (agar-agar) (Gunawan, 1988).


(19)

16 Beberapa macam media dasar umumnya diberi nama sesuai dengan nama

penemunya antara lain adalah Murashige dan Skoog (MS), BS atau Gamborg, white, Vacint went (VC), Nitsch dan Nitsch, Schenle dan Hildebrandt, Woody Plant Medium (WPM) dan NG (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Menurut Pierik (1987), media dasar Murashige dan Skoog (MS) sangat popular karena media ini mampu mendukung kultur jaringan pada banyak tanaman.

Unsur hara makro yang dibutuhkan tanaman dalam kultur jaringan meliputi N, P, K, Ca, Mg, dan S, sedangkan unsur hara mikro meliputi Fe, Cu, Mn, Zn, B, Mo, dan Co. Penambahan beberapa senyawa organik dalam jumlah kecil seperti vitamin, mio-inositol, dan asam amino, dapat memperbaiki pertumbuhan dan organogenesis kultur in vitro. Vitamin yang sering digunakan dari kelompok vitamin B, yaitu tiamin- HCl (vitamin B1), piridoksin HCl (vitamin B6), asam nikotinat dan riboflavin (vitamin B2). Asam amino merupakan sumber N organik yang lebih mudah diabsorpsi daripada N anorganik dalam medium yang sama. Asam amino yang sering digunakan adalah L-glutamin, asam aspartat, L-arginin, dan glisin. Bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan umumnya tidak autotrof dan mempunyai laju fotosintesis rendah, maka disinilah peran gula sebagai sumber energi dalam media kultur. Gula yang sering digunakan adalah sukrosa (Yusnita, 2003).


(20)

17 Media kultur jaringan dapat berupa cair dan padat. Media cair berarti komponen-komponen zat kimia dengan air suling, sedangkan media padat adalah media cair tersebut dengan ditambah zat pemadat agar (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Agar merupakan camputan polisakarida yang diperoleh dari beberapa species algae. Keuntungan dari pemakaian agar adalah : (1) agar membeku pada temperatur ≤ 45oC dan mencair pada temperatur 100oC, sehingga agar akan berada dalam keadaan yang stabil, (2) agar-agar tidak dicerna oleh enzim

tanaman, (3) tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaan penyusun media (Gunawan, 1988).

2.5 Zat Pengatur Tumbuh

Salah satu komponen media yang menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan. Dalam kultur jaringan, dua golongan ZPT yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ. Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ. Auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan tanaman adalah indole acetic acid (IAA), 2,4-D, naphtaleine acetic acid (NAA), indole butiric acid (IBA) dan picloram. Pemilihan jenis auksin dan konsentrasi, tergantung dari: (1) tipe pertumbuhan yang dikehendaki, (2) level auksin endogen, (3) kemampuan jaringan mensintesa auksin, (4) golongan zat tumbuh lain yang ditambahkan (Gunawan, 1988).


(21)

18 Menurut Pierik (1987), pembentukan kalus dan organogenesis ditentukan oleh penggunaan zat pengatur pertumbuhan yang tepat. Sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi jaringan, berperan dalam pembelahan sel dan morfogenesis. Penggunaan perbandingan sitokinin yang lebih tinggi dari auksin akan merangsang inisiasi tunas, sedangkan sebaliknya akan merangsang perakaran. Penggunaan zat pengatur tumbuh

tersebut secara seimbang akan merangsang pengkalusan (Skoog dan Miller, 1957).

Jenis sitokinin meliputi kinetin, benziladenin, 2ip (2-isopentenyl adenin) dan zeatin. Benziladenin (BA) merupakan jenis sitokinin yang efektif untuk

merangsang pembentukan tunas, akan tetapi penggunaannya dalam konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan penyimpangan seperti terbentuknya tunas abnormal.

2.6 Lingkungan Kultur

Lingkungan kultur adalah kondisi fisik tempat suatu kultur ditumbuhkan. Lingkungan kultur meliputi cahaya, temperatur, dan kelembaban. Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi lama penyinaran, intensitas, dan kualitasnya. Cahaya dibutuhkan untuk mengatur proses morfogenetik tertentu. Energi radiasi dekat spektrum ultra violet dan biru merupakan kualitas cahaya yang paling efektif untuk merangsang pembentukan tunas, sedangkan pembentukan akar dirangsang oleh cahaya merah dan sedikit cahaya biru, untuk itu, pada tahap inisiasi dan multiplikasi tunas digunakan


(22)

19 pencahayaan dengan lampu fluorescent (TL), intensitas cahaya yang optimum untuk tanaman pada kultur tahap inisiasi kultur adalah 0—1.000 lux, tahap multiplikasi sebesar 1.000—10.000 lux, tahap pengakaran sebesar 10.000— 30.000 lux, dan tahap aklimatisasis sebesar 30.000 lux (Yusnita, 2003).

Pembentukan kalus maksimal terjadi di tempat yang lebih gelap (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Temperatur yang baik untuk pertumbuhan kultur in vitro adalah antara 25—28oC. Temperatur di dalam ruang kultur menentukan tanggapan fisiologis dan kecepatan pertumbuhan eksplan. Kelembaban relatif dalam ruang kultur yang dikehendaki untuk pertumbuhan kultur sekitar 70—100 % sehingga kultur terhindar dari kekeringan (George dan Sherrington, 1984).

2.7 Embriogenesis somatik

Perbanyakan in vitro tanaman dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan organogenesis dan embriogenesis somatik. Dibandingkan dengan teknik organogenesis, regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik memiliki beberapa keunggulan karena mampu menghasilkan embrio bipolar dari sel atau jaringan vegetatif. Embrio somatik dapat diinduksi secara langsung dari jaringan eksplan atau secara tidak langsung melalui fase kalus (Litz dan Gray, 1995).

Keunggulan embrio somatik yaitu jaringan meristem akar dan pucuk telah terbentuk pada saat embrio somatik masak, bentuk anatomi dan sifatnya serupa dengan embrio zigotik benih biasa. Bibit yang diinginkan dengan mudah dapat dihasilkan hanya dengan mengecambahkan embrio yang masak tersebut.


(23)

20 Keberhasilan regenerasi melalui embriogenesis somatik dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain jenis eksplan yang digunakan dan formulasi media yang berbeda pada setiap tahap perkembangan embrio somatik (Sukmadjaja, 2005). Selain itu, keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati. Embrio somatik dapat dihasilkan dalam jumlah besar dari kultur kalus, namun untuk tujuan perbanyakan dalam skala besar, jumlahnya kadang-kadang dapat lebih ditingkatkan melalui inisiasi sel embriogenik dari kultur suspensi yang berasal dari kalus primer (Wiendi et al., 1991).

Selain keuntungan, terdapat beberapa kendala dalam penerapan embriogenesis, yaitu peluang terjadi mutasi lebih tinggi, metode lebih sulit, ada penurunan daya morfogenesis dari kalus embriogenik karena subkultur berulang serta memerlukan penanganan yang lebih intensif karena kultur lebih rapuh. Namun demikian, variasi yang dihasilkan sering dianggap menguntungkan karena dapat digunakan sebagai sumber keragaman genetik (gene pool) (Henry et al., 1998 dalam Gaj, 2001).


(24)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 hingga bulan Desember 2009 yang bertempat di Laboratorium Kultur Jaringan Gedung Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan tanam yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah leaflet kacang tanah kultivar Jerapah dan Sima. Benih kacang tanah diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Malang (Balitkabi Malang). Bahan-bahan kimia sesuai dengan formula media MS (Murashige dan Skoog, 1962), sukrosa, picloram 16 µM, agar merek Swallow Globe, aquades, spiritus, natrium hipoklorit/Bayclin, Tween-20, KOH 0,1N, HCl 0,1N, dan air steril.

Alat-alat yang digunakan adalah neraca analitik, kompor gas, panci berlapis enamel, botol kultur, alat-alat gelas (labu takar, erlenmeyer, pipet, gelas piala, beaker), alumunium foil, plastik, karet hisap, gelas ukur, pH meter, autoclave, pinset, gunting, scalpel, lampu flourescent, rak kultur, dan air conditioner.


(25)

22

3.3 Metode Penelitian

Percobaan pada kedua kultivar kacang tanah Jerapah dan Sima dilaksanakan dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan10 ulangan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 1 botol yang berisi 5 eksplan leaflet kacang tanah. Perlakuan yang diterapkan pada setiap kultivar adalah berbagai konsentrasi sukrosa yaitu 0, 10, 20, 30, dan 40 g/l. Untuk variabel jumlah embrio, homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlett. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Perbedaan nilai tengah perlakuan diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.

3.4Pelaksanaan penelitian

3.4.1 Sterilisasi alat

Peralatan yang digunakan meliputi botol-botol kultur, alat diseksi, dan alat-alat gelas yang dicuci terlebih dahulu. Alat-alat-alat tersebut kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoclave selama 30 menit pada temperatur 121 0C dengan tekanan 1.2 kgf/cm2.

3.4.2 Media perlakuan

Media tanam yang digunakan adalah media MS (Murashige dan Skoog, 1962). dengan penambahan picloram 16 µM. Pada media perlakuan ditambahkan

dengan berbagai konsentrasi sukrosa masing-masing dengan konsentrasi 0, 10, 20, 30, dan 40 g/l. Masing-masing perlakuan terdiri dari 10 ulangan.


(26)

23 Untuk pemadat media ditambahkan agar swallow globe sebanyak 6 g/l dan

sebelum ditambahkan agar diatur terlebih dahulu diukur pH menjadi 5,8 dengan menggunakan pH meter dan menambahkan 1 N KOH atau 1 N HCl.

Kemudian media dimasak hingga mendidih, setelah itu tuangkan kurang lebih 30 ml ke botol-botol kultur yang sebelumnya sudah disterilisasi menggunakan autoclave. Botol-botol yang sudah terisi media ditutup dengan alumunium foil dilapisi dengan plastik dan diikat dengan karet gelang. Botol kultur kemudian disterilkan menggunakan autoclave pada suhu 121 0Cselama 15—20 menit pada tekanan 1,2 kg/cm2.

3.4.3 Eksplan

Eksplan yang ditanam adalah bagian leaflet dari kacang tanah yang diambil dengan menggunakan pisau scalpel dengan hati-hati karena leaflet kacang tanah mudah sekali rusak. Sebelum leaflet diambil dari benih kacang tanah, benih disterilisasi terlebih dahulu dalam larutan yang terdiri dari campuran aquades 150 ml, ditambahkan dengan 50 ml natrium hipoklorit/bayclin (30%) dan 10 tetes tween 20, dikocok selama 15 menit hingga benih berubah warnanya menjadi putih. Kemudian benih kacang tanah dibilas sebanyak 3 kali dengan air steril.

3.4.4 Penanaman Eksplan

Penanaman eksplan dilakukan secara aseptik dalam laminar air flow cabinet secara aseptik menggunakan alat pisau scalpel dan pinset yang sebelumnya


(27)

24 disterilisasi dengan cara mencelupkan pisau scalpel dan pinset ke dalam botol yang berisi spirtus dan membakarnya.

Tahap-tahap pengambilan eksplan yaitu :

(1) Mengeluarkan benih kacang tanah dari polongnya dan memilih benih yang sehat, yaitu benih yang utuh, mulus, besarnya normal, tidak busuk, dan kulit arinya tidak kusam.

(2) Membelah benih menjadi dua bagian dan mengambil benih yang mempunyai embrio beserta leafletnya.

(3) Memisahkan leaflet dari embrio dan porosnya dengan hati-hati karena leaflet kacang tanah mudah rusak. Satu benih kacang tanah jumlah eksplan yang dapat diambil berkisar 5—8 leaflet.

(4) Leaflet siap ditanam ke dalam botol yang berisi media agar, tiap botol ditanam sebanyak 5 leaflet.

Subkultur dilakukan setiap satu bulan sekali dengan media yang baru dengan konsentrasi sukrosa sesuai dengan perlakuan.

3.4.5 Ruang kultur

Eksplan yang sudah di tanam dalam botol diletakkan dalam ruang kultur yang bersuhu  240C dengan tidak ada pencahayaan atau dalam kondisi gelap.


(28)

25 3.4.6 Variabel yang diamati

Pengamatan rata-rata jumlah embrio somatik dan persentase kalus embriogenik dilakukan pada minggu ke-12. Variabel yang diamati adalah:

1. Persentase eksplan yang membentuk kalus embriogenik dilakukan dengan menghitung jumlah kalus embriogenik dibagi dengan total kalus yang terbentuk.


(29)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Perkembangan Umum Kultur Pada Kultivar Jerapah dan Sima

Respon awal eksplan leaflet yang ditanam pada media MS dengan picloram 16 µM untuk konsentrasi sukrosa 10, 20, 30, dan 40 g/l, mulai tampak pada 2—3 minggu setelah tanam (mst). Respon awal berupa eksplan leaflet yang membesar pada 2 mst, kemudian mulai terbentuk kalus pada minggu ke-3 dan selanjutnya sebagian membentuk kalus embriogenik pada minggu ke-4. Sedangkan pada konsentrasi sukrosa 0 g/l pada kedua kultivar eksplan tidak berkembang dan tidak mengalami pertumbuhan untuk membentuk kalus (Gambar 1).

Gambar 1. Eksplan sampai berumur 12 mst dari kedua kultivar yang ditanam pada konsentrasi sukrosa 0 g/l, tidak berkembang.


(30)

27 Berbagai tipe kalus yang dihasilkan pada eksplan leaflet dari kedua kultivar yang ditanam dalam media dengan konsentrasi sukrosa 10, 20, 30 dan 40 gr/l adalah: (1) membesar membentuk kalus embriogenik (ditandai dengan adanya tahap perkembangan embrio somatik); (2) membesar membentuk kalus non embriogenik; (3) membesar kecoklatan dan mati (Gambar 2).

(A) (B)

(C)

Gambar 2. Perkembangan umum bentuk kalus pada kultur berumur 12 mst. (A) Eksplan yang membesar dan terjadi pembentukan kalus embriogenik (membentuk tahap-tahap embrio somatik pada daerah di dalam lingkaran). (B) membesar membentuk kalus nonembriogenik (tidak membentuk tahap-tahap embrio somatik); (C) membesar kecoklatan dan mati.


(31)

28 4.1.2 Bentuk Embrio Somatik Pada kultivar Jerapah dan Sima

Pada kedua kultivar, eksplan leaflet yang ditanam pada konsentrasi sukrosa 10, 20, 30, dan 40 g/l secara umum embrio somatik mulai terbentuk pada umur 4 - 6 mst. Terdapat perbedaan bentuk embrio antara kultivar Jerapah dan Sima. Pada kultivar Sima embrio somatik yang terbentuk terlihat kecil-kecil, bergerombol dan relatif lebih banyak di bandingkan kultivar Jerapah (relatif lebih besar dan sedikit) (Gambar 3).

(A) (B)

Gambar 3. Perbedaan bentuk embrio somatik yang terbentuk pada kedua kultivar kacang tanah, (A) Kultivar Sima membentuk embrio somatik yang terlihat lebih kecil, bergerombol, dan banyak. (B) Kultivar Jerapah membentuk embrio relatif yang lebih besar dengan jumlah lebih sedikit.

4.1.3 Rata-rata Jumlah Embrio Somatik dan Persentase Kalus Embriogenik pada Kultivar Jerapah

Rata-rata jumlah embrio somatik. Gambar 4 menunjukkan rata-rata jumlah

embrio somatik (primer dan sekunder) yang terbentuk pada setiap eksplan leaflet dan dihitung saat kultur berumur 12 mst. Pada kultivar Jerapah menunjukkan


(32)

29 bahwa konsentrasi sukrosa berpengaruh terhadap rata-rata jumlah embrio somatik (Gambar 4).

Gambar 4. Rata-rata jumlah embrio somatik per eksplan pada berbagai macam konsentrasi sukrosa (10, 20, 30, dan 40 g/l) untuk kultivar Jerapah. Pengamatan dilakukan saat kultur berumur 12 minggu setelah tanam. Perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pengaruhnya menurut BNT5% (5,06).

Berdasarkan uji BNT 5% (Gambar 4), rata-rata jumlah embrio somatik dari eksplan yang ditanam pada konsentrasi sukrosa 10 g/l lebih rendah dengan yang ditanam pada konsentrasi sukrosa 20 g/l, tetapi sama dengan eksplan yang ditanam pada konsentrasi sukrosa 30 dan 40 g/l. Pada konsentrasi sukrosa 20 g/l rata-rata jumlah embrio somatik sama dengan eksplan yang ditanam pada

konsentrasi sukrosa 30 g/l, tetapi lebih tinggi dengan konsentrasi sukrosa 40 g/l. Sedangkan pada konsentrasi sukrosa 30 g/l dan 40 g/l peningkatan rata-rata jumlah embrio somatik sama. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan

konsentrasi sukrosa 10-40 g/l tidak selalu meningkatkan rata-rata jumlah embrio somatik. Rata-rata jumlah embrio somatik pada konsentrasi 20 gl/l sama dengan


(33)

30 30 g/l, penambahan konsentrasi sukrosa sampai 40 g/l menurunkan rata-rata jumlah embrio somatik.

Persentase Kalus Embriogenik. Pada kultivar Jerapah, penambahan

konsentrasi sukrosa 10—40 g/l berpengaruh terhadap persentase kalus

embriogenik (Gambar 5). Selanjutnya berdasarkan uji BNT 5% (Gambar 5), penambahan konsentrasi sukrosa 10 g/l sama dengan konsentrasi 20 g/l. Penambahan konsentrasi 30 dan 40 g/l akan menurunkan persentase kalus embriogenik. Hasil ini menunjukkan penambahan konsentrasi sukrosa antara 10—40 g/l tidak selalu meningkatkan persentase kalus embriogenik. Konsentrasi sukrosa 20 g/l tertinggi dalam persentase kalus embriogenik, sedangkan

penambahan sampai 40 g/l menurunkan persentase kalus embriogenik.

Gambar 5. Persentase kalus embriogenik pada berbagai macam konsentrasi sukrosa (10, 20, 30, dan 40 g/l) untuk kultivar Jerapah. Pengamatan dilakukan saat kultur berumur 12 minggu setelah tanam. Perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pengaruhnya menurut BNT5% (19,13).


(34)

31 4.1.4 Rata-Rata Jumlah Embrio Somatik dan Persentase Kalus Embriogenik

pada Kultivar Sima

Rata-rata jumlah embrio somatik. Berdasarkan uji BNT 5%, penambahan

konsentrasi sukrosa 10 dan 20 g/l mempunyai rata-rata jumlah embrio somatik yang sama. Penambahan konsentrasi sukrosa 30 dan 40 g/l mempunyai rata-rata jumlah embrio somatik yang sama dengan konsentrasi sukrosa 20 g/l tetapi lebih tinggi dibandingkan konsentrasi sukrosa 10 g/l (Gambar 6).

Gambar 6. Rata-rata jumlah embrio somatik per eksplan pada berbagai macam konsentrasi sukrosa (10, 20, 30, dan 40 g/l) untuk kultivar Sima. Pengamatan dilakukan saat kultur berumur 12 minggu setelah tanam. Perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pengaruhnya menurut BNT 5% ( 0,99 ).


(35)

32

Persentase Kalus Embriogenik. Berdasarkan uji BNT 5%, penambahan

konsentrasi sukrosa 10, 20, dan 30 g/l mempunyai persentase kalus embriogenik yang sama. Penambahan konsentrasi sukrosa 40 g/l mempunyai persentase kalus embriogenik yang lebih tinggi dengan konsentrasi sukrosa 10 g/l tetapi sama dengan 20 dan 30 g/l (Gambar 7).

Gambar 7. Persentase kalus embriogenik per eksplan pada berbagai macam konsentrasi sukrosa (10, 20, 30, dan 40 g/l) untuk kultivar Sima. Pengamatan dilakukan saat kultur berumur 12 minggu setelah tanam. Perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pengaruhnya menurut BNT 5% (21,41).


(36)

33

4.2 Pembahasan

Kultivar Jerapah dan Sima yang ditanam tanpa penambahan sukrosa (0 g/l) tidak berkembang membentuk kalus sehingga tidak terbentuk embrio somatik. Hal ini disebabkan eksplan yang ditanam tumbuh secara heterotrof sehingga tanpa penambahan sukrosa tidak akan cukup mensintesis kebutuhan karbonnya. (Hendaryono dan Wijayani, 2002). Dengan demikian, sukrosa harus

ditambahkan ke dalam media. Penambahan sukrosa akan menyediakan energi bagi pertumbuhan eksplan dan juga sebagai bahan pembangun untuk

memproduksi molekul yang lebih besar yang diperlukan untuk pertumbuhan. Umumnya sukrosa pada konsentrasi 1 – 5% digunakan sebagai sumber karbon. Disamping itu, ketika sukrosa diautoklaf akan terjadi hidrolisis untuk

menghasilkan glukosa dan fruktosa yang dapat digunakan lebih efisien oleh eksplan dalam kultur. Sumber sukrosa dalam media juga dapat mempengaruhi proliferasidan morfogenesis dalam kultur kalus (Eapen dan George, 1993).

Disamping sebagai sumber karbon keberadaan sukrosa di media akan berfungsi menimbulkan tekanan osmotik media. Menurut George dan Sherrington (1984), 4/5 bagian dari potensial osmotik dalam media white disebabkan oleh gula,

sedangkan dalam media MS hanya setengah dari potensial osmotiknya disebabkan oleh gula. Pertumbuhan kalus Nicotiona glutinosa yang terbaik adalah bila

potensial osmotiknya disebabkan adanya sukrosa. Keadaan demikian

menyebabkan sel-sel pada jaringan eksplan yang ditumbuhkan pada media dengan penambahan sukrosa dapat lebih cepat menerima unsur-unsur hara yang


(37)

34 2005). Hasil penelitian Anhazhagan dan Ganapathi (1999) dalam

Purnamaningsih (2002) menunjukkan bahwa penambahan sukrosa kedalam media kultur dapat menghasilkan jumlah embrio somatik yang relatif banyak.

Perbedaan bentuk embrio somatik antara kultivar Jerapah dan Sima yang ditanam pada konsentrasi sukrosa 10, 20, 30, dan 40 g/l disebabkan karena kedua kultivar tersebut mempunyai daya regenerasi embrio somatik yang berbeda antar kultivar. Zuyasna et al., (2005) mengindikasikan bahwa sifat daya regenerasi embrio somatik dari eksplan daun embrio/leaflet tidak dipengaruhi oleh efek maternal dan sekaligus menunjukan bahwa gen yang mengendalikan pembentukan embrio somatik merupakan gen inti. Hal ini memperkuat dugaan bahwa kemampuan pembentukan embrio somatik dari eksplan daun embrio (leaflet) kacang tanah dikendalikan oleh faktor genetik.

Di samping itu, hasil penelitian Edy et al., (2008) pada semua kultivar kacang tanah yang dicoba, eksplan leaflet embrio yang ditanam dalam media MS0, tanpa penambahan 2,4-D tidak membentuk kalus embriogenik, eksplan yang ditanam pada media 2,4-D menghasilkan pertumbuhan kalus dan bentuk embrio yang relatif lebih besar dan relatif lebih mudah dipisahkan. Kultivar Sima mempunyai rata-rata jumlah embrio somatik per eksplan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan kultivar lainnya. Dengan demikian, zat pengatur tumbuh juga

mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kutur sel, jaringan, dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan


(38)

35 dalam media dan diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah

perkembangan suatu kultur. Zat pengatur tumbuh Auksin dan Sitokinin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang partumbuhan kalus, suspensi sel dan organ. Salah satu jenis auksin yang digunakan adalah picloram (4-Amino-3,5,6,-Trichloro Picolinic Acid). Pengaruh auksin terhadap pertumbuhan jaringan tanaman diduga dengan menginduksi sekresi ion H+ keluar sel melalui dinding sel. Pengasaman dinding sel menyebabkan K+ diambil, dan pengambilan ini mengurangi potensial air dalam sel. akibatnya air masuk kedalam sel dan sel membesar (Gunawan, 1988).

Hasil pengamatan kultivar Jerapah, penambahan sukrosa yang lebih tinggi tidak meningkatkan rata-rata jumlah embrio somatik per eksplan dan persentase kalus embriogenik. Sedangkan untuk kultivar Sima penambahan sukrosa yang lebih tinggj akan meningkatkan rata-rata jumlah embrio somatik dan persentase kalus embriogenik. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh George dan Sherrington (1984) bahwa penambahan sukrosa pada medium dapat meningkatkan

pertumbuhan dan perkembangan planlet. Namun pada batas tertentu dimana sel telah dalam keadaan jenuh maka penambahan sukrosa justru dapat menurunkan pertumbuhan dan perkembangan jaringan. Hal ini sejalan dengan penelitian Barg

dan Umiel (1977) dalam George dan Sherrington (1984), konsentrasi sukrosa lebih tinggi menurunkan pertumbuhan dan morphogenesis kalus tembakau. Sedangkan untuk konsentrasi sukrosa terbaik dalam menghasilkan rata-rata jumlah embrio somatik 20 dan 30 g/l . Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian induksi embrio somatik kacang tanah yang umumnya menggunakan konsentrasi


(39)

36 sukrosa 30 g/l Livingstone dan Birch (1996), Sulichantini (1998), Edy et al., (2008). Namun demikian untuk jenis-jenis tanaman tertentusunflower (Helianthus annuus), konsentrasi gula dapat lebih tinggi. Kalus embriogenik dicapai hanya pada media yang mengandung konsentrasi sukrosa 9 dan 12%.

Gula merupakan salah satu komponen organik yang harus diberikan ke dalam media tumbuh disamping sebagai sumber karbon, juga berguna untuk

mempertahankan tekanan osmotik media. Oleh karena itu, penambahan sukrosa yang relatif tinggi dalam media kultur untuk tanaman tertentu justru akan

menghambat pertumbuhan sel-sel somatik. Hal ini akibat tekanan osmotik yang terlalu tinggi, sehingga lebih lanjut dapat mengakibatkan kematian sel-sel akibat terjadinya lisis atau pecahnya dinding sel (Gandawidjaya, 1998).


(40)

PENGARUH KONSENTRASI SUKROSA PADA INDUKSI EMBRIO

SOMATIK DUA KULTIVAR KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) SECARA IN VITRO

(Skripsi)

Oleh TITIK INAYAH

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(41)

PENGARUH KONSENTRASI SUKROSA PADA INDUKSI EMBRIO

SOMATIK DUA KULTIVAR KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) SECARA IN VITRO

Oleh TITIK INAYAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya pertanian

Fakultas Pertanian

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(42)

Judul Skripsi : PENGARUH KONSENTRASI SUKROSA

PADA INDUKSI EMBRIO SOMATIK DUA KULTIVAR KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) SECARA IN VITRO

Nama Mahasiswa : Titik Inayah Nomor Pokok Mahasiswa : 0414011011 Program Studi : Agronomi

Jurusan : Budidaya Pertanian Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Akari Edy, S.P., M.Si. Hidayat Pujisiswanto, S.P., M.P.

NIP 197107012003121001 NIP 197512172005011004

2. Ketua Jurusan Budidaya Pertanian

Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc.


(43)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Akari Edy, S.P., M.Si. NGJKHKHHKJK

Sekretaris : Hidayat Pujisiswanto S.P., M.P. NGJKHKHHKJK

Penguji

bukan Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc.NGJKHKHHKV

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021001


(44)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Desa Fajar Asri, Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah pada tanggal 30 Juni 1987. Penulis adalah anak pertama dari dua

bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad Ma’ruf dan Ibu Atim Widarti.

Penulis memulai pendidikan prasekolah di Taman Kanak-kanak (TK) Xaverius Terbanggi Besar tahun 1992. Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar Negeri 2 Fajar Asri pada tahun 1998, Sekolah Menengah Pertama Negeri 8

Seputih Agung pada tahun 2001, dan Sekolah Madrasah Aliyah Negeri Poncowati pada tahun 2004. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian

Universitas Lampung Program Studi Agronomi pada tahun 2004. Dalam masa studinya di Universitas Lampung, penulis mengikuti Praktik Umum pada tahun 2007 di PT. Great Giant Pineapple Terbanggi Besar, Lampung Tengah.


(45)

Teriring rasa syukur atas semua nikmat yang Allah SWT berikan

kepada Penulis, Penulis persembahkan karya ini sebagai

tanda bukti kecintaan dan kebanggaan penulis untuk

keluarga khususnya untuk Ayahanda Muhammad

Ma’

ruf, Ibunda Atim Widarti, dan


(46)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selesainya skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagi pihak.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Akari Edy, S.P., M.Si., selaku ketua Tim Penguji atas segala

bimbingan, waktu, tenaga, saran serta kesabaran yang beliau berikan kepada penulis, selama penulis melakukan penelitian hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Hidayat Pujisiswanto S.P., M.P., selaku Sekretaris Tim Penguji atas bimbingan dan saran-sarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc. selaku Penguji bukan

Pembimbing sekaligus sebagai Ketua Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas saran dan kritik yang sifatnya

membangun dan sangat bermanfaat bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Ibu Dr. Ir. Nyimas Sa’diyah, M.P., selaku Ketua Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas saran dan kritik yang sifatnya


(47)

membangun dan sangat bermanfaat bagi penulis sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan dengan baik.

5. Ibu Dr. Ir. Maimun Barmawi, M.S., selaku Pembimbing Akademik atas semua perhatian, bimbingan, dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan di Universitas Lampung.

6. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

7. Keluarga besar penulis, Bapak,, Ibu, dan Adikku M. Rahmat Yani yang selalu memberikan motivasi, semangat, perhatian dan membantu memenuhi semua kebutuhan penulis selama ini.

8. Yang tercinta Damril Sutoyo yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, perhatian, dan membantu kebutuhan penulis selama penulisan skripsi ini berlangsung.

9. Saudara-saudara Penulis, Pakde, Bude, keponakan dan teman-teman di Fajar Asri yang selalu memberi semangat.

10. Keluarga besar kultur jaringan terutama, Hayane, Septi, Catur, Diana, Mba Maera, Ronald, Idha, Lia, Arum, Eka dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas masukkan dan bantuannya selama penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.

11. Keluarga besar Agronomi khususnya “Agrobacterium” Listya Herawati, Eva Hanggraini, Zamilia Wastiyanti dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang selalu memberi semangat kepada penulis untuk


(48)

12. Keluarga besar “Kost Bu Wiryo”, Bude, Mas Eko, Mas Bowo, Mba Iin, Mba

Meylissa Chandra H, Yuniarti, dan Ayu atas kebersamaan, bantuan dan semangat kepada penulis.

13. Semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan semua pihak yang telah bersedia membantu penulis menyelesaikan skripsi ini dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 2 November 2010

Titik Inayah


(49)

Dan, sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit

ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan

buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira

kepada orang-orang yang sabar.

(QS. Al-Baqarah: 155)

Ujian bagi seseorang yang sukses bukanlah pada kemampuannya

untuk mencegah munculnya masalah, tetapi pada waktu

menghadapi dan menyelesaikan setiap kesulitan

saat masalah itu terjadi.

(David J. Schawartz)

Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula lihat masa

depan dengan ketakutan; tapi lihatlah sekitar anda

dengan penuh kesadaran.

(James Thurber)


(50)

Tabel 1. Formulasi Media MS (Murashige dan Skoog, 1962)

Senyawa Konsentrasi (mg/l)

A. Hara Makro

NH4NO3 1.650

KNO3 1.900

MgSO4. 7H2O 370

KH2PO4 170

CaCl2. 2H2O 440

B. Hara Mikro

MnSO4. 4H2O 22,300

ZnSO4. 7H2O 8,600

H3BO3 6,200

KI 0,830

Na2Mo4. 7H2O 0,250

CuSO4. 5H2O 0,250

CoCl2. 6H2O 0,025

C. Sumber Besi

FeSO4. 7H2O 27,8

Na2EDTA 37,3

D. Vitamin

Tiamin-HCl 0,1

Piridoksin-HCl 0,5

Asam Nikotinat 0,5

Glisin 2,0

E. Senyawa Organik

Mio Inositol 100

*Sukrosa 30.000

Agar 7.000

Sumber: George dan Sherrington (1984)

Catatan: * Sukrosa yang digunakan dalam percobaan ini adalah 0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l, dan 40 g/l.


(51)

51 Gambar 8. Tata letak perlakuan kultivar Jerapah.

S4U2 S2U10 S1U5 S0U3 S3U1

S2U2 S3U4 S4U6 S1U3 S0U1

S0U4 S1U10 S2U7 S3U2 S4U1

S3U3 S4U3 S1U6 S2U5 S0U2

S2U4 S1U1 S3U7 S0U5 S4U10

S3U5 S0U8 S4U4 S2U3 S1U4

S0U7 S2U6 S3U6 S4U9 S1U2

S4U7 S0U6 S1U8 S3U8 S2U9

S1U9 S3U9 S2U1 S4U5 S0U10

S3U10 S4U8 S1U7 S0U9 S2U8

Keterangan:

S0 = Konsentrasi sukrosa 0 g/l S2 = Konsentrasi sukrosa 20 g/l S1 = Konsentrasi sukrosa 10 g/l S3 = Konsentrasi sukrosa 30 g/l S4 = Konsentrasi sukrosa 40 g/l


(52)

52

Gambar 9. Tata letak perlakuan kultivar Sima.

Keterangan:

S0 = Konsentrasi sukrosa 0 g/l S2 = Konsentrasi sukrosa 20 g/l S1 = Konsentrasi sukrosa 10 g/l S3 = Konsentrasi sukrosa 30 g/l S4 = Konsentrasi sukrosa 40 g/l

Un = Ulangan ke-n

S0U3 S3U1 S1U5 S4U2 S2U10

S2U2 S4U6 S0U1 S3U4 S1U3

S1U10 S0U4 S3U2 S4U1 S2U7

S4U3 S3U3 S1U6 S2U5 S0U2

S2U4 S1U1 S4U10 S0U5 S3U7

S3U5 S0U8 S2U3 S1U4 S4U4

S0U7 S1U2 S3U6 S4U9 S2U6

S4U7 S2U9 S1U8 S3U8 S0U6

S1U9 S3U9 S0U10 S2U1 S4U5


(53)

53

Gambar 10. Ruang gelap Gambar 11. Laminar Air Flow Cabinet (induksi embrio somatik)

Gambar 12. Autoclave I Gambar 13. Autoclave II (sterilisasi alat) (sterilisasi alat)


(54)

54

Gambar 16. Neraca Analitik I Gambar 17. Neraca Analitik II


(55)

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada kultivar Jerapah, konsentrasi sukrosa berpengaruh terhadap rata-rata jumlah embrio somatik per eksplan dan persentase kalus embriogenik. Konsentrasi sukrosa dalam media yang baik dalam menghasilkan rata-rata embrio somatik per eksplan adalah 20 g/l. Konsentrasi sukrosa dalam media yang optimum dalam menghasilkan persentase kalus embriogenik adalah 10 dan 20 g/l.

2. Pada kultivar Sima, konsentrasi sukrosa dalam media yang baik dalam menghasilkan rata-rata embrio somatik per eksplan adalah 30 g/l. Konsentrasi sukrosa dalam media yang optimum dalam menghasilkan persentase kalus embriogenik adalah 40 g/l.

5.2 Saran

Untuk kultivar sima perlu dilakukan penelitian pada konsentrasi sukrosa yang lebih tinggi.


(1)

Tabel 1. Formulasi Media MS (Murashige dan Skoog, 1962)

Senyawa Konsentrasi (mg/l)

A. Hara Makro

NH4NO3 1.650

KNO3 1.900

MgSO4. 7H2O 370

KH2PO4 170

CaCl2. 2H2O 440

B. Hara Mikro

MnSO4. 4H2O 22,300

ZnSO4. 7H2O 8,600

H3BO3 6,200

KI 0,830

Na2Mo4. 7H2O 0,250

CuSO4. 5H2O 0,250

CoCl2. 6H2O 0,025

C. Sumber Besi

FeSO4. 7H2O 27,8

Na2EDTA 37,3

D. Vitamin

Tiamin-HCl 0,1

Piridoksin-HCl 0,5

Asam Nikotinat 0,5

Glisin 2,0

E. Senyawa Organik

Mio Inositol 100

*Sukrosa 30.000

Agar 7.000

Sumber: George dan Sherrington (1984)

Catatan: * Sukrosa yang digunakan dalam percobaan ini adalah 0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l, dan 40 g/l.


(2)

51 Gambar 8. Tata letak perlakuan kultivar Jerapah.

S4U2 S2U10 S1U5 S0U3 S3U1

S2U2 S3U4 S4U6 S1U3 S0U1

S0U4 S1U10 S2U7 S3U2 S4U1

S3U3 S4U3 S1U6 S2U5 S0U2

S2U4 S1U1 S3U7 S0U5 S4U10

S3U5 S0U8 S4U4 S2U3 S1U4

S0U7 S2U6 S3U6 S4U9 S1U2

S4U7 S0U6 S1U8 S3U8 S2U9

S1U9 S3U9 S2U1 S4U5 S0U10

S3U10 S4U8 S1U7 S0U9 S2U8

Keterangan:

S0 = Konsentrasi sukrosa 0 g/l S2 = Konsentrasi sukrosa 20 g/l S1 = Konsentrasi sukrosa 10 g/l S3 = Konsentrasi sukrosa 30 g/l S4 = Konsentrasi sukrosa 40 g/l


(3)

52 Gambar 9. Tata letak perlakuan kultivar Sima.

Keterangan:

S0 = Konsentrasi sukrosa 0 g/l S2 = Konsentrasi sukrosa 20 g/l S1 = Konsentrasi sukrosa 10 g/l S3 = Konsentrasi sukrosa 30 g/l S4 = Konsentrasi sukrosa 40 g/l

Un = Ulangan ke-n

S0U3 S3U1 S1U5 S4U2 S2U10

S2U2 S4U6 S0U1 S3U4 S1U3

S1U10 S0U4 S3U2 S4U1 S2U7

S4U3 S3U3 S1U6 S2U5 S0U2

S2U4 S1U1 S4U10 S0U5 S3U7

S3U5 S0U8 S2U3 S1U4 S4U4

S0U7 S1U2 S3U6 S4U9 S2U6

S4U7 S2U9 S1U8 S3U8 S0U6

S1U9 S3U9 S0U10 S2U1 S4U5


(4)

53

Gambar 10. Ruang gelap Gambar 11. Laminar Air Flow Cabinet

(induksi embrio somatik)

Gambar 12. Autoclave I Gambar 13. Autoclave II (sterilisasi alat) (sterilisasi alat)


(5)

54

Gambar 16. Neraca Analitik I Gambar 17. Neraca Analitik II


(6)

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada kultivar Jerapah, konsentrasi sukrosa berpengaruh terhadap rata-rata jumlah embrio somatik per eksplan dan persentase kalus embriogenik. Konsentrasi sukrosa dalam media yang baik dalam menghasilkan rata-rata embrio somatik per eksplan adalah 20 g/l. Konsentrasi sukrosa dalam media yang optimum dalam menghasilkan persentase kalus embriogenik adalah 10 dan 20 g/l.

2. Pada kultivar Sima, konsentrasi sukrosa dalam media yang baik dalam menghasilkan rata-rata embrio somatik per eksplan adalah 30 g/l. Konsentrasi sukrosa dalam media yang optimum dalam menghasilkan persentase kalus embriogenik adalah 40 g/l.

5.2 Saran

Untuk kultivar sima perlu dilakukan penelitian pada konsentrasi sukrosa yang lebih tinggi.