10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tugas dan Wewenang Penyidik Polri
Tanusubroto 1983:29 menyatakan bahwa “bagian pertama dari Acara Pidana adalah “pemeriksaan pendahuluan”, yaitu pemeriksaan penyidikan atau
pemeriksaan sebelum dilakukan di muka persidangan pengadilan”. Istilah penyidikan dipakai dalam istilah hukum pada tahun 1961, yaitu
sejak dimuatnya istilah tersebut dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 sebagaimana telah dicabut dan diganti
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebelumnya dipakai istilah “pengusutan” yang merupakan
terjemahan dari bahasa Belanda “opspooring”. Yang dimaksud dengan penyidikan adalah “serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” Sutarto, 1991:16.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP menyebutkan bahwa “penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
11
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal tersebut langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi
manusia. Bagian-bagian Hukum Acara Pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik;
2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik;
3. Pemeriksaan di tempat kejadian;
4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa;
5. Penahanan sementara;
6. Penggeledahan;
7. Pemeriksaan atau interogasi;
8. Berita acara penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat;
9. Penyitaan;
10. Penyampingan perkara;
11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada
penyidik untuk disempurnakan Hamzah, 2005:118.
Suryono Sutarto 1991:17 menyatakan bahwa tindakan penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-
keterangan tentang: 1.
tindak pidana apa yang telah dilakukan; 2.
kapan tindak pidana itu dilakukan; 3.
dimana tindak pidana itu dilakukan; 4.
dengan apa tindak pidana itu dilakukan; 5.
bagaimana tindak pidana itu dilakukan; 6.
mengapa tindak pidana itu dilakukan; dan 7.
siapa pembuatnya. Tugas penyidik perkara adalah mencari “kebenaran materiil yaitu
kebenaran menurut fakta yang sebenar-benarnya. Dengan begitu berlainan dengan kebenaran formil yaitu kebenaran menurut formalitas-formalitas” Syahrani
1983:11. Adapun selaku penyidik atau yang mempunyai wewenang untuk
melakukan penyidikan menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP adalah “pejabat Polisi
12
Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai
negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, sesuai Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia
mempunyai tugas: a.
melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan; c.
membina masyarakat untuk meningkatkan pastisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
13
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian
khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainya; h.
menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan
hidup dari gangguan ketertiban danatau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani
oleh instansi danatau pihak yang berwenang; k.
memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 15 ayat 1
secara umum berwenang: a.
menerima laporan danatau pengaduan; b.
membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa; e.
mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan; g.
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h.
mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i.
mencari keterangan dan barang bukti; j.
menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k.
mengeluarkan surat ijin danatau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m.
menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
14
Selanjutnya menurut Pasal 15 ayat 2, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan perundang-undangan lainnya berwenang:
a. memberikan ijin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya; b.
menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c.
memberikan surat ijin mengemudi kendaraan bermotor; d.
menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e.
memberikan ijin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f. memberikan ijin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan
usaha di bidang jasa pengamanan; g.
memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional; i.
melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional; k.
melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
Di bidang penegakan hukum pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat 1, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan; c.
membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri; e.
melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g.
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan
tindak pidana;
15
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Di dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Peraturan Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara
khusus oleh Undang-Undang tertentu dilakukan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan dalam pada itu wewenang Penyidik Pembantu pada dasarnya sama dengan wewenang yang dimiliki oleh Penyidik. Kecuali wewenang
Penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik Pasal 11 KUHAP. Adapun pelimpahan wewenang penahan kepada Penyidik
Pembantu tersebut hanya diberikan dalam hal-hal sebagai berikut : a.
Apabila perintah dari Penyidik tidak dimungkinkan karena hal dalam keadaan yang sangat diperlukan.
b. terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil.
c. Di tempat itu belum ada Penyidik.
d. Dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajiban.
Dari ketentuan Pasal 6 ayat 2 KUHAP dapat dikatakan bahwa tidak semua Polisi Negara Republik Indonesia mempunyai kedudukan dan wewenang
sebagai penyidik, tetapi pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu sajalah yang mempunyai kedudukan dan wewenang sebagai penyidik, artinya hanya
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu saja yang dapat diangkat menjadi seorang penyidik. “Tidak diberikannya
sebagai penyidik kepada setiap polisi Negara Republik Indonesia ini adalah karena disamping adanya pembagian tugas atas dasar pemikiran bahwa
16
penyidikan harus dilakukan oleh polisi yang telah mempunyai syarat kepangkatan tertentu pada Lembaga Kepolisian “Siregar, 1983:72.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, diatur mengenai syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidik, yaitu pada Bab II Pasal 2 yang
berbunyi: 1
Penyidik adalah: a.
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi sekarang Ajun Inspektur
Polisi Dua;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pengatur Muda Tingkat I Golongan IIb atau yang disamakan dengan itu.
2 Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi
Ajun Inspektur Polisi Dua, karena jabatannya adalah penyidik.
3 Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a, ditunjuk oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4 Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5 Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, diangkat oleh
Menteri atas usul dari Departemen yang membawahi pegawai negeri tersebut.
6 Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 dapat
dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
Selanjutnya mengenai kepangkatan dan pengangkatan penyidik pembantu, diatur pada Bab II Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, yaitu:
1 Penyidik pembantu adalah:
a. Pejabat Polisi Negara yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan
Dua Polisi Brigadir Polisi Dua; b.
Pejabat Pegawai Negeri sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat
Pengatur Muda Golongan IIa atau yang disamakan dengan itu.
2 Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a dan huruf b
diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
17
3 Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti penyidik, kecuali mengenai masalah panahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan
wewenang dari penyidik, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 KUHAP. Pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik pembantu
sebagaimana dimaksud Pasal 11 KUHAP, menurut penjelasannya adalah untuk mengatasi kesulitan apabila perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena
suatu hal dan dalam keadaan yang sangat diperlukan atau dimana terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil atau di tempat yang belum ada petugas
penyidik dan atau dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran, sehingga dengan demikian dapat diatasi kemungkinan terjadinya stagnasi
pelaksanaan di daerah tersebut. Sesuai Pasal 16 ayat 1 KUHAP penyidik pembantu juga mempunyai
wewenang untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang apabila ada surat perintah dari penyidik.yang dimaksud dengan “atas perintah penyidik” termasuk
juga penyidik pembantu dan perintah yang dimaksud tersebut adalah berupa suatu surat perintah yang dibuat secara tersendiri dan dikeluarkan pada waktu sebelum
penangkapan dilakukan. Dalam hal penyidik telah melakukan penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum Pasal 109 ayat 1 KUHAP.
18
Persangkaan atau pengetahuan telah terjadinya tindak pidana ini dapat diperoleh dari berbagai sumber, yang dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Kedapatan tertangkap tangan ontdekking op heterdaad;
Kekuasaan penyelidikan dalam hal tertangkap tangan ini menjadi lebih luas, penyelidik tanpa menunggu perintah penyidik wajib segera
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan, tetapi tetap dalam batas penyelidikan. Tindakan penyelidik tersebut dapat berupa
tindakan-tindakan seperti yang diatur dalam Pasal 5 ayat 1 sub b KUHAP, yaitu: penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seorang tersangka serta membawa dan menghadapkan kepada penyidik.
Dalam hal demikian maka penyidik yang diserahi adalah penyidik sedaerah hukum Pasal 102 KUHAP.
Soedjono 1982:98 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang:
1 Pada waktu sedang melakukan tindak pidana;
2 Dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana dilakukan;
3 Sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang
melakukannya; 4
Apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan
bahwa ia adalah pelakunya, atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Jadi “suatu perbuatan berupa tindak pidana baru dapat menjadi jelas apabila dalam pemeriksaan tersebut dapat dijawab 7 tujuh macam
pertanyaan”. Ketujuh macam pertanyaan tersebut dikemukakan oleh ahli filsafat dari Jerman Joachim George Darjes sebagaimana dikutip Soedjono
19
1982:100. Maksudnya ialah sebagai pedoman dalam melakukan pemeriksaan dalam mana petugas polisi harus menganggap pekerjaan itu
selesai, jika semua tujuh pertanyaan terjawab. Ketujuh pertanyaan tersebut adalah :
1 apa yang telah terjadi kejahatan atau pelanggaran;
2 dimana perbuatan itu dilakukan tempatnya;
3 kapan dilakukannya waktunya;
4 dengan apa perbuatan itu dilakukan alat yang dipakai;
5 bagaimana perbuatan itu dilakukan cara-caranya;
6 mengapa perbuatan itu terjadi alasan-alasannya;
7 siapa yang melakukannya penjahatnya.
Penyidikan terhadap delik tertangkap tangan lebih mudah dilakukan karena terjadinya baru saja, berbeda dengan delik biasa yang
kejadiannya sudah beberapa waktu berselang. Untuk menjaga agar pembuktiannya tidak menjadi kabur jika penyidikannya dilakukan
bersama-sama delik biasa, maka diatur secara khusus. Banyak kelonggaran-kelonggaran yang diberikan kepada penyidik yang lebih
membatasi hak asasi manusia daripada delik biasa Prodjohamidjojo, 1982:18.
b. Di luar tertangkap tangan buiten ontdekking op heterdaad.
Dalam hal tidak tertangkap tangan, pengetahuan penyelidik atau penyidik tentang telah terjadinya tindak pidana dapat diperoleh dari:
1 laporan;
2 pengaduan;
3 pengetahuan sendiri oleh penyelidik atau penyidik.
20
Mengenai pengertian dari laporan dan pengaduan, Soesilo Yuwono 1982:50 membedakannya sebagai berikut:
1 Laporan :
a berisi pemberitahuan tentang telah atau sedang atau akan terjadinya
suatu peristiwa pidana; b
semua jenis peristiwa pidana dapat dilaporkan; c
dapat dilakukan sembarang waktu asalkan belum lewat waktu menurut ketentuan undang-undang;
d dapat dilakukan setiap orang pada umumnya;
e tidak dapat dicabut kembali;
2 Pengaduan :
a pemberitahuan yang disertai permintaan agar orang yang telah
melakukan tindak pidana aduan diambil tindakan menurut hukum; b
hanya yang tergolong sebagai tindak pidana aduan yang dapat dilakukan;
c tenggang waktunya ditentukan;
d dapat dicabut kembali.
Antara laporan dan pengaduan menurut Tahir 1981:24 terdapat beberapa perbedaan, yaitu sebagai berikut:
1 Pengaduan hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja yang disebut
dalam undang-undang dan dalam kejahatan tertentu saja, sedangkan laporan dapat dilakukan oleh siapa saja terhadap semua macam delik;
2 Pengaduan dapat ditarik kembali sedangkan laporan tidak dapat, bahkan
seseorang yang melaporkan orang lain telah melakukan delik padahal tidak benar, dapat dituntut melakukan delik laporan palsu;
3 Pengaduan mempunyai jangka waktu tertentu untuk mengajukan Pasal 74
KUHP, sedangkan laporan dapat dilakukan setiap waktu.
Sedangkan pengaduan sendiri menurut Tahir 1981:26 terdiri dari 2 dua macam, yaitu sebagai berikut:
1 Pengaduan Absolut absolute klachtdelikt;
Terhadap pengaduan ini hanya dapat dilakukan penyidikan setelah adanya pengaduan itu sendiri, misalnya bersetubuh dengan perempuan di
21
bawah umur Pasal 287 KUHP, membujuk anak di bawah umur untuk berbuat cabul Pasal 293 KUHP.
2 Pengaduan Relatif relative klachtdelikt;
Pada umumnya merupakan delik biasa, tetapi ditinjau dari orang yang melakukannya, maka menjadi delik aduan. Oleh karena itu, berbeda
dengan pengaduan absolut, maka pada pengaduan relatif penyidikan dapat dilakukan meskipun tidak ada pengaduan. Hanya pada tingkat penuntutan,
barulah diperlukan adanya pengaduan yang tertulis, yang dilampirkan pada berkas perkara.
Laporan atau pengaduan dapat disampaikan kepada penyidik melalui cara:
1 Lisan : pelapor atau pengadu datang kepada petugas penyelidik atau
penyidik untuk mengemukakan maksudnya. Dalam hal demikian maka laporan atau pengaduan itu harus dicatat dan
ditandatangani oleh pelaporpengadu, penyelidikpenyidik. 2
Tertulis : laporan atau pengaduan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu Pasal 103 ayat 1 KUHAP.
Berdasarkan Pasal 108 ayat 6 KUHAP, setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda
penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. Selanjutnya penyelidik atau penyidik yang menerima laporan atau
pengaduan itu wajib segera melakukan tindakan penyelidikan atau penyidikan yang diperlukan Pasal 102 ayat 1 dan Pasal 106 KUHAP.
22
Tindakan selanjutnya penyelidik atau penyidik harus melakukan usaha- usaha untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut untuk membuat terang
perkara tersebut. Dalam rangka mencari kebenaran yang selengkap-lengkapnya, kalau
dipandang perlu penyidik dapat menggunakan alat-alat pemaksa dwang middelen, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan
rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat Sutarto, 1991:22. Dalam melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut
untuk membuat terang perkara, berdasarkan Pasal 7 huruf b KUHAP, penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan pertama pada saat di tempat
kejadian atau dengan istilah lain melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara.
Pemeriksaan di tempat kejadian sering dilakukan terutama pada delik tertangkap tangan. Terdapat pengecualian dalam memasuki tempat dalam hal
tertangkap tangan seperti diperbolehkan memasuki tempat seperti ruangan MPR, DPR, DPRD dimana sedang berlangsung sidang.
Pemeriksaan di tempat kejadian pada umumnya dilakukan pada delik yang mengakibatkan kematian, kejahatan seksual, pencurian, dan perampokan. Dalam
hal terjadinya kematian dan kejahatan seksual, sering dipanggil dokter untuk mengadakan pemeriksaan di tempat kejadian sebagaimana diatur dalam Pasal 7
KUHAP huruf h, yang menyatakan bahwa penyidik berwenang mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
23
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipanggil seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan, dan apabila ia menolak ia diancam dengan pidana
menurut Pasal 224 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: Barang siapa dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi
saksi, ahli, atau juru bahasa dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban menurut undang-undang selaku harus dipenuhinya, diancam:
Ke-1. dalam perkara pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Ke-2. dalam perkara lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Penyidik pada waktu melakukan pemeriksaan pertama kali di tempat kejadian, sedapat mungkin tidak mengubah, merusak keadaan di tempat kejadian
agar bukti-bukti tidak hilang atau menjadi kabur. Hal tersebut dimaksudkan agar sidik jari atau bukti-bukti yang lain seperti jejak kaki, bercak darah, air mani,
rambut, dan sebagainya tidak hapus atau hilang.
B. Distribusi Minyak Tanah Illegal