Kebijakan Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian (Studi di Wilayah Hukum Polres Asahan)

(1)

PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK P I D A N A K A S U S P E R J U D I A N

(STUDI DI WILAYAH HUKUM POLRES ASAHAN)

Oleh :

INDRA PRASETIYO

097005078

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2011

HALAMAN PENGESAHAN


(2)

Judul Tesis : PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KASUS PERJUDIAN (STUDI DI WILAYAH HUKUM POLRES ASAHAN)

Nama Mahasiswa : Indra Prasetiyo Nomor Pokok : 097005078 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan


(3)

ABSTRAK

Perjudian dalam proses sejarah tidak mudah untuk diberantas. Pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Berbagai upaya telah dilakukan Polri dalam mencegah dan memberantas perjudian, namun perjudian tetap tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Polri dalam penanggulangan kasus perjudian di wilayah hukum Polres Asahan dan faktor-faktor apakah yang menghambat penanggulangan tindak pidana perjudian oleh aparat penegak hukum di wilayah Polres Asahan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk menganalisa konsep-konsep hukum dan peraturan yang berkaitan dengan perjudian, sedangkan yuridis sosiologis untuk melihat hukum sebagai pola perilaku masyarakat sebagai kekuatan sosial. Sumber data yaitu dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Pengumpulan data melalui data primer melalui studi lapangan (field research) dan data sekunder melalui studi kepustakaan (library research).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran Polri dalam penanggulangan tindak pidana perjudian didasarkan pada teori Hoefnagels tentang kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yaitu melalui pendekatan hukum pidana (penal) dan pendekatan selain hukum pidana (non-penal). Dalam pendekatan non penal, upaya polisi dilakukan dengan cara preventif dan preemtif (kegiatan Polmas dan penyuluhan), sedangkan dalam pendekatan penal, peran polisi yaitu pada tahap pra-adjudikasi dan tahap pasca adjudikasi. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di Polres Asahan yaitu Kebijakan Undang-Undang, aparat penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan dalam pemberantasan tindak pidana perjudian harus dilakukan dengan menggunakan kebijakan integral, karena kebijakan penegakan hukum atas tindak kejahatan tidak bisa dilakukan hanya oleh pihak kepolisian. Semua komponen masyarakat harus terlibat aktif dengan upaya penanggulangan kejahatan perjudian.


(4)

ABSTRACT

Gambling in the historical process is not easy to be eradicated. In essence gambling is an act contrary to religious norms, morals, ethics and law, and endanger the livelihood and life of the community, nation and state. Various efforts have been made the Police of the Republic of Indonesia in preventing and combating gambling, but gambling still flourished in the midst of society. The problem in this research is how Police Policy of the Republic of Indonesia in handling cases of gambling in the jurisdiction of Police Resort Asahan shavings and whether factors that inhibit gambling crime prevention by law enforcement officials in the region pokes shavings.

To answer these problems do research with normative juridical approach of juridical and sociological. Normative juridical approach used to analyze the concepts of law and regulation relating to gambling, while the juridical sociological to see Community law as patterns of behavior as social forces. The data source that is of primary law, secondary law materials, and legal tertiary. The collection of data through the primary data through fieldwork (field research) and secondary data through the study of the library (library research).

The results showed that the role of Police of the Republic of Indonesia in crime prevention is based on the theory Hoefnagels gambling on crime reduction policies (criminal policy) is through the approach of criminal law (penal) and approaches in addition to criminal law (non-penal). In a non-penal approach, police efforts done by preventive and preemtif (community police activities and counseling), whereas in the penal approach, namely the police role during the pre-adjudication and post adjudication stage. The factors that become an obstacle in the response to crime of gambling at the police resort Asahan Policy Act, law enforcement officials, and legal culture of community.

Based on the results of these studies recommended in the eradication of gambling should be done by using an integral policy, because policy enforcement for crimes can not be done only by the police. All components of society should be actively involved with crime prevention efforts gambling.

Keywords : Police, Gambling, Criminal Policy, Penal, Non Penal.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. tesis ini berjudul : “Kebijakan Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian (Studi di Wilayah Hukum Polres Asahan) merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan perkuliahan di Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan tesis ini, mulai saat pengajuan judul sampai akhir tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dan dengan kerendahan serta ketulusan hati, diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof.Dr.Bismar Nasution, SH.,MH., Prof.Dr. Sunarmi, SH.,M.Hum. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, yang di tengah-tengah kesibukannya tetap meluangkan waktu dan penuh perhatian dalam memberikan bimbingan, petunjuk dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Kepada Dr. Marlina, SH., M.Hum, dan Syafruddin S. Hasibuan, SH., MH., DFM., selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan dan arahan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTMH, MSc(CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister.


(6)

2. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum.

3. Prof.Dr. Suhaidi, SH., MH., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas segala arahan dan dorongan yang diberikan selama menuntut ilmu deprogram Studi Magister Ilmu Hukum fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Para dosen, staf pengajar dan seluruh pegawai di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang senantiasa membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5. AKBP J. Didiek Dwi Priantono, SH, selaku Kapolres Asahan yang selalu memberikan izin penelitian, dan memberikan dukungan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. AKP Moch. Yorries M. Y. Marzuki, SIK, Kasat Reskrim Polres Asahan yang selalu memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

7. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan semangat dan do’a-do’anya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

8. Istri tercinta Fifi Ria Ningsih Safari, SST dan Ananda tercinta Fiandra Adinata yang menjadi penyemangat penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.


(7)

9. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan dukungan kepada penulis terutama dalam menyelesaikan tesis ini.

Tidak lupa pula ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan seangkatan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan motivasi kepada penulis. Akhir kata, segala yang telah diberikan semoga akan memperoleh balasan yang setimpal dari Allah SWT dan semoga tesis ini bermanfaat bagi semuanya.

Medan, Juni 2011 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I LATAR BELAKANG ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori... 13

2. Kerangka Konsepsi ... 24

G. Metode Penelitian ... 25

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 25

2. Sumber Data ... 25

3. Metode Pengumpulan Data ... 26

4. Alat Pengumpulan Data ... 28

5. Analisis Data ... 28

BAB II KONSEP KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJA-HATAN PERJUDIAN DARI SUDUT PANDANG CRIMINAL POLICY... 30

A. Kejahatan Perjudian ... 30

1. Kejahatan ... 30

2. Asal Usul Perjudian ... 49

3. Jenis-Jenis Perjudian ... 52

4. Perjudian Dipandang Dari Perspektif Hukum Pidana... 55

5. Perjudian Dipandang Dari Aspek Kriminologi... 66

B. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Criminal Policy).. 68

1. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)... 71

2. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy) ... 77

C. Kepolisian Dalam Kebijakan Kriminal (Criminal Policy).. 82

BAB III KEBIJAKAN POLISI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI POLRES ASAHAN... 98


(9)

B. Kebijakan Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana

Perjudian di Polres Asahan ... 111

1. Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian Dengan Sarana Non Penal di Polres Asahan ... 111

a. Upaya Preventif... 112

b. Upaya Pre-emtif ... 117

2. Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian Dengan Sarana Penal di Polres Asahan... 124

a. Tahap Pra Adjudikasi... 125

b. Tahap Pasca Adjudikasi ... 141

BAB IV HAMBATAN DAN UPAYA POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI POLRES ASAHAN ... 143

A. Hambatan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian Di Polres Asahan ... 143

1. Hambatan dari Undang-Undang ... 145

2. Hambatan dari Aparat Penegak Hukum ... 147

3. Hambatan dari Budaya Hukum ... 150

B. Upaya Mengatasi Hambatan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian di Polres Asahan... 155

1. Kebijakan Undang-Undang ... 157

2. Peningkatan Kerjasama Aparat Penegak Hukum ... 162

3. Upaya Budaya Hukum ... 165

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 169

A. Kesimpulan ... 169

B. Saran-saran... 172 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Jumlah Kasus Perjudian Di Wilayah Hukum Polres Asahan

dari Januari 2009 sampai April 2011 ... 99 Tabel 2. Jenis Perjudian yang Ditangani Polres Asahan dari Januari

2009-April 2011 ... 100 Tabel 3. Usia Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres Asahan dari

Januari 2009-April 2011 ... 101 Tabel 4. Jenis Kelamin Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres

Asahan dari Januari 2009-April 2011 ... 102 Tabel 5. Pekerjaan Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres Asahan

dari Januari 2009-April 2011 ... 103 Tabel 6. Pendidikan Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres Asahan

dari Januari 2009-April 2011 ... 104 Tabel 7. Pasal Yang Didakwakan Terhadap Pelaku Perjudian yang

Ditangani Polres Asahan dari Januari 2009-April 2011 ... 105 Tabel 8. Lama Hukuman Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres


(11)

ABSTRAK

Perjudian dalam proses sejarah tidak mudah untuk diberantas. Pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Berbagai upaya telah dilakukan Polri dalam mencegah dan memberantas perjudian, namun perjudian tetap tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Polri dalam penanggulangan kasus perjudian di wilayah hukum Polres Asahan dan faktor-faktor apakah yang menghambat penanggulangan tindak pidana perjudian oleh aparat penegak hukum di wilayah Polres Asahan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk menganalisa konsep-konsep hukum dan peraturan yang berkaitan dengan perjudian, sedangkan yuridis sosiologis untuk melihat hukum sebagai pola perilaku masyarakat sebagai kekuatan sosial. Sumber data yaitu dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Pengumpulan data melalui data primer melalui studi lapangan (field research) dan data sekunder melalui studi kepustakaan (library research).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran Polri dalam penanggulangan tindak pidana perjudian didasarkan pada teori Hoefnagels tentang kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yaitu melalui pendekatan hukum pidana (penal) dan pendekatan selain hukum pidana (non-penal). Dalam pendekatan non penal, upaya polisi dilakukan dengan cara preventif dan preemtif (kegiatan Polmas dan penyuluhan), sedangkan dalam pendekatan penal, peran polisi yaitu pada tahap pra-adjudikasi dan tahap pasca adjudikasi. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di Polres Asahan yaitu Kebijakan Undang-Undang, aparat penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan dalam pemberantasan tindak pidana perjudian harus dilakukan dengan menggunakan kebijakan integral, karena kebijakan penegakan hukum atas tindak kejahatan tidak bisa dilakukan hanya oleh pihak kepolisian. Semua komponen masyarakat harus terlibat aktif dengan upaya penanggulangan kejahatan perjudian.


(12)

ABSTRACT

Gambling in the historical process is not easy to be eradicated. In essence gambling is an act contrary to religious norms, morals, ethics and law, and endanger the livelihood and life of the community, nation and state. Various efforts have been made the Police of the Republic of Indonesia in preventing and combating gambling, but gambling still flourished in the midst of society. The problem in this research is how Police Policy of the Republic of Indonesia in handling cases of gambling in the jurisdiction of Police Resort Asahan shavings and whether factors that inhibit gambling crime prevention by law enforcement officials in the region pokes shavings.

To answer these problems do research with normative juridical approach of juridical and sociological. Normative juridical approach used to analyze the concepts of law and regulation relating to gambling, while the juridical sociological to see Community law as patterns of behavior as social forces. The data source that is of primary law, secondary law materials, and legal tertiary. The collection of data through the primary data through fieldwork (field research) and secondary data through the study of the library (library research).

The results showed that the role of Police of the Republic of Indonesia in crime prevention is based on the theory Hoefnagels gambling on crime reduction policies (criminal policy) is through the approach of criminal law (penal) and approaches in addition to criminal law (non-penal). In a non-penal approach, police efforts done by preventive and preemtif (community police activities and counseling), whereas in the penal approach, namely the police role during the pre-adjudication and post adjudication stage. The factors that become an obstacle in the response to crime of gambling at the police resort Asahan Policy Act, law enforcement officials, and legal culture of community.

Based on the results of these studies recommended in the eradication of gambling should be done by using an integral policy, because policy enforcement for crimes can not be done only by the police. All components of society should be actively involved with crime prevention efforts gambling.

Keywords : Police, Gambling, Criminal Policy, Penal, Non Penal.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan kehidupan masyarakat yang begitu cepat sebagai hasil dan proses pelaksanaan pembangunan di segala bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, keamanan dan budaya selain membawa dampak positif, juga telah membawa dampak negatif berupa peningkatan kualitas dan kuantitas berbagai macam kejahatan yang sangat merugikan dan meresahkan masyarakat, contohnya yaitu adanya praktek perjudian. Perjudian adalah suatu bentuk patologi sosial yang menjadi ancaman yang nyata atau potensial terhadap norma-norma sosial sehingga bisa mengancam berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian perjudian dapat menjadi penghambat pembangunan nasional yang beraspek materil-spiritual. Oleh karena itu perjudian harus ditanggulangi dengan cara yang rasional. Salah satu usaha yang rasional tersebut adalah dengan pendekatan kebijakan penegakan hukum pidana.

Hukum pidana digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial khususnya dalam penanggulangan kejahatan sebagai salah satu bentuk penyakit masyarakat dan satu bentuk patologi sosial seperti kasus perjudian.1Penegakan hukum pidana

1

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Cet. 1, Jilid I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 57.


(14)

untuk menanggulangi perjudian sebagai perilaku yang menyimpang harus terus dilakukan. Hal ini sangat beralasan karena perjudian merupakan ancaman yang nyata terhadap norma-norma sosial yang dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial.2

Judi bukan masalah baru di Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru, untuk mengatasi masalah ini, lahir Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Undang-undang ini jelas menyatakan bahwa ancaman hukuman dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk perjudian tidak sesuai lagi sehingga perlu diperberat. Bahkan, Pasal pelanggaran judi dijadikan kejahatan dan hukumannya dinaikkan dari satu bulan menjadi empat tahun (Pasal 542 ayat 1), serta dari tiga bulan menjadi enam tahun (Pasal 542 ayat 2).

Pada kasus perjudian, walaupun ancaman hukuman diperberat dan jenis delik diubah (dari pelanggaran menjadi kejahatan), tapi masalah masyarakat ini tidak tertanggulangi. Ada beberapa wacana untuk mengatasi, antara lain melokalisasi judi (biasanya selalu menyebut contoh Malaysia dengan Genting

Highland-nya), sebagian yang lain dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) di masing-masing daerah. Ada juga keluhan bahwa penegak hukum kurang antusias memberantas judi di beberapa daerah. Hal itu biasanya dibumbui kecurigaan adanya kepentingan dari bisnis judi yang menguntungkan. Sebagian menyebut

2

Saparinah Sadli, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cet.. II, (Bandung: Alumni, 1998) hal. 148.


(15)

bahwa penegak hukum tidak bisa bertindak jika permainan judi itu mendapatkan izin dari pemerintah daerah.

Tindak pidana perjudian adalah tanpa mendapat izin dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu, dan atau dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara.3

Perjudian dalam proses sejarah dari generasi ternyata tidak mudah untuk diberantas. Meskipun kenyataan juga menunjukkan bahwa hasil perjudian yang diperoleh oleh pemerintah dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, sebagai contoh, di DKI Jakarta semasa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin yang melegalkan perjudian dan prostitusi. Namun, terlepas dari itu ekses negatif dari perjudian lebih besar daripada ekses positif. Oleh karena itu pemerintah dan aparat hukum terkait harus mengambil tindakan tegas agar masyarakat menjauhi dan akhirnya berhenti melakukan perjudian.4

Penegakan hukum pidana di Indonesia dalam penanggulangan perjudian mengalami dinamika yang cukup menarik. Karena perjudian seringkali sudah

3

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, Pasal 1.

4


(16)

dianggap sebagai hal yang wajar dan sah (legal), namun di sisi lain kegiatan tersebut sangat dirasakan berdampak negatif dan sangat mengancam ketertiban sosial masyarakat.5

Data yang diperoleh dari Polres Asahan menunjukkan bahwa kasus perjudian terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data selama 2 tahun terakhir yaitu pada tahun 2009 jumlah kasus perjudian yaitu 182 kasus, dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 215 kasus. Kasus judi yang paling marak di wilayah hukum Polres Asahan adalah judi togel, judi KIM, judi handphone (SMS), judi joker, dan lain-lain. Dari 397 kasus perjudian yang ada dalam dua tahun tersebut sudah dilimpahkan ke pengadilan sebanyak 385 kasus, sedangkan 12 kasus lainnya tidak sampai ke pengadilan karena tersangka melarikan diri saat wajib lapor.6

Berita miring yang sempat menerpa aparat kepolisian di daerah ini menyebutkan, maraknya perjudian karena adanya kerja sama antara bandar judi dengan oknum-oknum polisi. Kondisi inilah yang kabarnya, membuat perjudian di Asahan lepas kendali. Meski hal tersebut telah dibantah oleh kepolisian atas keterlibatan anggotanya dalam melegalkan (kerjasama) bandar judi melakukan praktik-praktik perjudian, namun masyarakat tetap saja mempertanyakan, kapan Asahan bisa bersih kembali dari perjudian. Bukan hanya masyarakat saja yang memprotes kehadiran permainan judi yang ditemukan di Asahan, seperti judi

5

Judi: Hipokrisi, Lokalisasi, Legalisasi, http://www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=-untirtanet., diakses tanggal 15 Oktober 2010.

6


(17)

samkwang, judi Singapore, togel, judi KIM dan judi undian, pemuka masyarakat dan masyarakat umum juga tidak menginginkan judi hidup dan berkembang di masyarakat.7

Beberapa informasi dapat diketahui bahwa keadaan perekonomian masyarakat Asahan saat ini sudah berada pada tahap sangat sulit dan memprihatinkan akibat meningkatnya harga kebutuhan pokok. Hal tersebut sebagai akibat dari rendahnya penghasilan masyarakat, di samping itu banyaknya anggota masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan, hilangnya pekerjaan akibat adanya pengurangan tenaga kerja (PHK) dari perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja. Jika pun mereka mempunyai pekerjaan, penghasilan yang diperoleh jauh dari dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat dengan keluarganya.

Berbagai hal tersebut menyebabkan mereka berusaha untuk menutupi kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai cara ditempuh baik yang sah atau legal menurut hukum, maupun yang illegal atau bertentangan dengan hukum. Bagi sebagian anggota masyarakat jalan yang tidak menurut hukum ditempuh karena hal itu merupakan pilihan terbaik menurut dan bagi mereka. Salah satu cara yang banyak ditempuh dilarang dan akan mengakibatkan mereka berurusan dengan pihak yang berwajib mereka tetap melakukannya, dengan harapan kalau menang dapat menutupi kebutuhan hidup mereka.

7

Perjudian dan Komitmen Aparat, www.medanbisnisdaily.com, diakses tanggal 20 Januari 2011.


(18)

Perjudian menjadi salah satu pilihan yang dianggap sangat menjanjikan keuntungan tanpa harus bersusah payah bekerja, judi dianggap sebagai pilihan yang tepat bagi rakyat kecil untuk mencari uang dengan lebih mudah. Mereka kurang menyadari bahwa akibat judi jauh lebih berbahaya dan merugikan dari keuntungan yang akan diperolehnya dan yang sangat jarang dapat diperolehnya.

Dengan adanya berbagai faktor penyebab tersebut, polisi menemui hambatan dalam menertibkan perjudian. Hasil penelitian Galih Ian Rahadyan (2008) menunjukkan bahwa hambatan dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di Polres Sragen berasal dari masyarakat (luar kepolisian) ataupun dari dalam tubuh polisi sendiri. Hambatan yang berasal dari masyarakat/luar tubuh kepolisian, yaitu : Perjudian bersifat tidak tetap atau berpindah–pindah, masyarakat tidak mau dijadikan saksi dalam perkara perjudian, Sebagian masyarakat masih memandang bahwa perjudian adalah warisan nenek moyangnya, perjudian adalah budaya, dan bukan merupakan pelanggaran hukum. Hambatan yang berasal dari dalam tubuh kepolisian, yaitu: Aparat kepolisian yang terbatas, Tidak ada satuan khusus yang menangani masalah perjudian, Adanya oknum kepolisian yang menjadi back-up perjudian.8

Banyaknya kasus perjudian di Asahan dan berbagai daerah di Indonesia akan menjadi menghambat pembangunan nasional yang beraspek materil-spiritual. Karena perjudian mendidik orang untuk mencari nafkah dengan tidak sewajarnya dan membentuk watak “pemalas”. Sedangkan pembangunan membutuhkan

8

Galih Ian Rahadyan, Kebijakan dan Peran Kepolisian Resor Sragen Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian Demi Menciptakan Ketertiban Masyarakat. Abstrak.


(19)

individu yang giat bekerja keras dan bermental kuat.9 Sangat beralasan kemudian judi harus segera dicarikan cara dan solusi yang rasional untuk suatu pemecahannya. Karena sudah jelas judi merupakan problema sosial yang dapat mengganggu fungsi sosial dari masyarakat.10

Salah satu tantangan yang dihadapi polisi dalam pelaksanaan tugas kesehariannya adalah adanya kesenjangan masyarakat atas tugas-tugas polisi seharusnya dengan kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. untuk mencapai pelaksanaan tugas kepolisian tersebut, polisi melakukan sejumlah tindakan-tindakan sesuai tugas dan wewenang yang diberikan dalam pengertian bahwa kepolisian harus menjalankan tugas dan wewenangnya setiap waktu meliputi : pelayanan masyarakat, menjaga ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum, mengingat judi merupakan salah satu tindak pidana kejahatan.11

Kepolisian merupakan salah satu lembaga pemerintah yang memiliki peranan penting dalam negara hukum. Di dalam negara hukum kehidupan hukum sangat ditentukan oleh faktor struktur atau lembaga hukum, di samping faktor-faktor lain, seperti faktor-faktor substansi hukum dan faktor-faktor kultur hukum. Dengan

9

B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, (Bandung : Tarsito, 1990), hal. 352-353

10

Ibid, hal. 354 11

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat, Buku Pedoman Pelatihan untuk Anggota Polri, Jakarta: 2006, hal. 71.


(20)

demikian, efektivitas operasional dari struktur atau lembaga hukum sangat ditentukan oleh kedudukannya dalam organisasi negara.12

Dalam Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.13

Berkaitan dengan tindak kejahatan perjudian, maka tugas polisi yaitu menegakkan hukum, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelayanan dan pengayoman masyarakat adalah tugas yang mulia, yang aplikasinya harus berasaskan legalitas, undang-undang yang berlaku dan hak azasi manusia. Atau dengan kata lain harus bertindak secara professional dan memegang kode etik secara ketat dan keras, sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang dibenci masyarakat, terutama dalam memberantas tindak pidana perjudian.

Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana, merupakan salah satu upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai

12

Sadjijono, Seri Hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance, (Jakarta: Laksbang Mediatama, 2008), hal. 1.

13

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tugas dan Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Bab III, Pasal 13.


(21)

kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.14

Keberhasilan polisi dalam penanggulangan kejahatan harus disyaratkan pada integralitas berbagai pendekatan, yang secara garis besarnya dapat dibagi menjadi pendekatan penal, melalui penerapan hukum pidana dan upaya non-penal, yaitu kebijakan penanggulangan tanpa penerapan hukum pidana, melainkan dititikberatkan pada berbagai kebijakan sosial.15 Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karena itu upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan.16

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau berpartisipasi secara aktif dalam penanggulangan kejahatan. Keterlibatan masyarakat ini sangat penting karena menurut G. Pieter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa

14

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 119.

15

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 55.

16


(22)

kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan.17

Berbagai kalangan dalam masyarakat mengkritisi peran polisi, ada apresiasi yang diberikan masyarakat terhadap keberhasilan polisi, terutama pemberantasan terorisme. Tapi di sisi lain, masih banyak keluhan masyarakat seperti mengenai kasus korupsi, dan kasus perjudian yang semakin meresahkan masyarakat. Kultur korps berseragam cokelat ini belum banyak berubah, meski sudah 10 tahun lebih memisahkan diri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Peran polisi sebagai pelayan dan pengayom masyarakat masih sebatas pada lip service atau ucapan belaka. Dalam penanganan kasus perjudian, polisi dapat berperan dengan menangkap pelaku kasus perjudian, baik pemain maupun bandar judi, dan melimpahkan kasusnya ke pengadilan agar mendapat hukuman dengan dijerat Pasal-Pasal dalam hukum pidana.18

Efektifitas upaya penegakan hukum untuk merintangi berkembangnya perjudian hingga saat ini di Polres Asahan dirasa belum optimal. Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana peran Polri dalam penanggulangan tindak pidana kasus perjudian di Wilayah Hukum Polres Asahan dan apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perjudian tersebut.

17

G. Pieter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of Crime. (Holland: Kluwer Deventer, 1992), yang dikutip oleh Mahmud Mulyadi, 2008, Opcit. hal. 52

18

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 72.


(23)

Adanya berbagai macam alasan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berhubungan dengan kebijakan Polri dalam pemberantasan perjudian khususnya penanganan hukum pidana di Wilayah Hukum Polres Asahan dengan judul: “Kebijakan Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian (Studi Di Wilayah Hukum Polres Asahan).

B. Perumusan Masalah

Meningkatnya kasus perjudian di Wilayah Hukum Polres Asahan secara langsung berdampak terhadap penerapan hukum pidana pada pelaku. Sehingga dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsep penanggulangan kejahatan perjudian dari sudut pandang criminal policy?

2. Bagaimana kebijakan Polri dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polres Asahan?

3. Faktor-faktor apakah yang menghambat penanggulangan tindak pidana perjudian oleh aparat penegak hukum di wilayah Polres Asahan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk memperjelas masalah-masalah yang telah dirumuskan. Tujuan secara umum penelitian ini untuk menganalisis secara yuridis peran Polri dalam pidana kasus perjudian di wilayah hukum Polres Asahan.

Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


(24)

1. Untuk mengetahui konsep penanggulangan kejahatan perjudian dari sudut pandang criminal policy?

2. Untuk mengetahui kebijakan Polri dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polres Asahan

3. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat penanggulangan tindak pidana perjudian oleh aparat penegak hukum di wilayah Polres Asahan

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Kegunaan akademis yaitu sebagai tambahan referensi untuk memperkaya khasanah penelitian khususnya penelitian yang berhubungan dengan peran Polri dalam penanganan kasus perjudian.

2. Kegunaan praktis yaitu sebagai evaluasi dan memberikan informasi pemikiran serta pertimbangan dalam menangani perjudian di wilayah hukum Polres Asahan dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dan pemerintah khususnya dalam menangani perjudian.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemerikaan yang dilakukan oleh peneliti di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, bahwa penelitian mengenai kebijakan Polri dalam tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polres Asahan belum pernah dilakukan dengan pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini asli dan belum pernah diteliti baik dari segi materi maupun lokasi penelitian, dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.


(25)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Demi tercapainya tujuan negara yang makmur serta adil dan sejahtera maka diperlukan suasana yang kondusif dalam segala aspek termasuk aspek hukum. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya tersebut, negara Indonesia telah menentukan kebijakan sosial (social policy) yang berupa kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan memberikan perlindungan sosial (social defence policy).19

Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defense policy)

salah satunya dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau kejahatan yang aktual maupun potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana/kejahatan ini termasuk dalam wilayah penanggulangan kejahatan atau kebijakan kriminal (criminal policy).20

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) menurut Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana

(criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana

(prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa “influencing views of society on crime and punishment (mass media).”21

19

Barda Nawawi Arief, Opcit. hal. 73. 20

Ibid, hal. 73. 21


(26)

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara. Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan criminal law application”. Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and punishment (mass media).”

Pendekatan integral antara penal policy dan non penal policy dalam penanggulangan kejahatan harus dilakukan karena pendekatan penerapan hukum pidana semata mempunyai berbagai keterbatasan. Terdapat dua sisi yang menjadi keterbatasan hukum pidana ini. Pertama, dari sisi hakikat kejahatan. Hukum pidana tidak akan mampu melihat secara mendalam tentang akar persoalan kejahatan ini bila tidak dibantu oleh disiplin lain. Kedua, keterbatasan hukum pidana dapat dilihat dari hakikatnya hanya obat sesaat sebagai penanggulangan gejala semata dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan menghilangkan sumber penyebabnya22

Pembangunan dalam bidang hukum khususnya pembangunan hukum pidana, tidak hanya mencakup pembangunan yang bersifat struktural, yakni pembangunan lembaga-lembaga hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme, tetapi harus juga mencakup pembangunan substansial berupa produk-produk yang merupakan hasil suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan hukum pidana dan

22

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 44-45.


(27)

yang bersifat kultural, yakni sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum.23

Penggunaan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk mengatasi masalah sosial (kejahatan) termasuk dalam bidang penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law

enforcement policy).24 Muladi mengemukakan, penggunaan upaya hukum

(termasuk hukum pidana) sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial seperti perjudian diharapkan dapat membuat efek jera bagi para pelakunya.25

Dewasa ini, berbagai macam bentuk perjudian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian masyarakat sudah cenderung permissif dan seolah-olah memandang perjudian sebagai sesuatu hal wajar, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan. Sehingga yang terjadi di berbagai tempat sekarang ini banyak dibuka agen-agen judi togel dan judi-judi lainnya yang sebenarnya telah menyedot dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar. Sementara itu di sisi lain, memang ada kesan aparat penegak hukum kurang begitu serius dalam menangani masalah

23

Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2005). hal. 3-4.

24

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal 26.

25

Muladi, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana”, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, , 1995), hal. 35.


(28)

perjudian ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beberapa tempat perjudian disinyalir mempunyai backing dari oknum aparat keamanan.

Polri sebagai salah satu pilar pertahanan negara pada dasarnya mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana ditetapkan secara yuridis dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 itu bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah pernah diatur dalam produk hukum sebelumnya yang sudah tidak berlaku lagi, terutama Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997. Tugas POLRI yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai berikut: 1. Tugas Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat antara lain:

Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan; membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.26

2. Tugas Polri sebagai penegak hukum antara lain : Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk keamanan swakarsa; melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

26


(29)

menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan untuk kepentingan tugas kepolisian.27

3. Tugas Polri sebagai pengayom dan pelayan masyarakat antara lain : Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian.28

Berkaitan dengan penegakan hukum, peran Polri diantaranya yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Salah satu tindak pidana yang menjadi tanggungjawab Polri yaitu menanggulangi kasus perjudian.

Pada hekekatnya perjudian bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral Pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa dan negara dan ditinjau dari kepentingan nasional. Perjudian mempunyai dampak yang negatif merugikan moral dan mental masyarakat terutama generasi muda. Di satu pihak judi adalah merupakan problem sosial yang sulit ditanggulangi dan timbulnya judi tersebut sudah ada sejak adanya peradaban manusia.

27

Pasal 14 ayat 1 huruf d, e, f, g dan h Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002. 28


(30)

Selain dilarang oleh agama, judi juga secara tegas dilarang oleh hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 303 KUHP Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1981 Jo. Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981. Hal tersebut disadari pemerintah, maka dalam rangka penertiban perjudian, Pasal 303 KUHP tersebut dipertegas dengan UU. No.7 Tahun 1974, yang di dalam Pasal 1, mengatur semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Di sini dapat dijelaskan bahwa semua bentuk judi tanpa izin adalah kejahatan tetapi sebelum tahun 1974 ada yang berbentuk kejahatan (Pasal 303 KUHP), ada yang berbentuk pelanggaran (Pasal 542 KUHP) dan sebutan Pasal 542 KUHP, kemudian dengan adanya UU. No.7 Tahun 1974 diubah menjadi Pasal 303 bis KUHP.

Menurut perspektif hukum sendiri, tindak pidana perjudian ini sangat tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara kita, yaitu diatur dalam KUHP Pasal 303 KUHP jo. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1974 yaitu :

(1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah, barang siapa dengan tidak berhak:

Ke-1 Dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi sebagai mata pencahariannya, atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan main judi.


(31)

Ke-2 Dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi kepada umum atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan perjudian itu, biarpun diadakan atau tidak diadakan suatu syarat atau cara dalam hal memakai kesempatan itu.

Ke-3 turut main judi sebagai mata pencaharian.

(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.

(3) Main judi berarti tiap-tiap permainan, yang kemungkinannya akan menang pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan itu bertambah besar karena pemain lebih pandai dan atau lebih cakap. Main judi mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perombakan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu, dan juga segala pertaruhan lain.

Perjudian menurut KUHP dalam Pasal 303 ayat (3) yang diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebutkan bahwa:

“Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapatkan untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.”29

29


(32)

Dali Mutiara, dalam tafsiran KUHP menyatakan permainan judi sebagai berikut:

“Permainan judi berarti harus diartikan dengan artian yang luas juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau lain-lain pertandingan, atau segala pertaruhan, dalam perlombaan-perlombaan yang diadakan antara dua orang yang tidak ikut sendiri dalam perlombaan-perlombaan itu, misalnya totalisator dan lain-lain”.30

Saat ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian masyarakat sudah cenderung permisif dan seolah-olah memandang perjudian sebagai sesuatu hal wajar, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan. Sehingga yang terjadi di berbagai tempat sekarang ini banyak dibuka agen-agen judi togel dan judi-judi lainnya yang sebenarnya telah menyedot dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar. Sementara itu di sisi lain, memang ada kesan aparat penegak hukum kurang begitu serius dalam menangani masalah perjudian ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beberapa tempat perjudian disinyalir mempunyai backing dari oknum aparat keamanan.

Dalam arahannya KaPolri yang baru, Timur Pradopo, menyatakan bahwa untuk pemberantasan terhadap bentuk kasus perjudian, polisi harus secara konsisten, karena disinyalir masih tetap berlangsung di wilayah-wilayah tertentu dengan modus operandi yang beraneka ragam. Terkait dengan itu segera

30

Dali Mutiara, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1962), hal. 220.


(33)

melaksanakan: menginventarisir kembali kegiatan berbagai bentuk perjudian di wilayah masing-masing; memberikan tindakan tegas terhadap bentuk perjudian yang masih berlangsung serta proses secara profesional, proporsional dan tuntas; menindak tegas oknum anggota, yang terlibat dalam kasus perjudian; Melaporkan kegiatan penindakan perjudian secara periodik, berjenjang dan berlanjut kepada kesatuan atas.31

Melihat fakta yang ada, penegakan hukum oleh polisi terhadap perjudian ini tidak terlaksana dengan optimal. Para penjudi dan bandar-bandar judi tidak dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, padahal perjudian ini jelas suatu tindak pidana yang bertentangan dengan hukum di Indonesia. Dalam kenyataannya dimana masyarakat tidak ada yang perduli akan tindak pidana perjudian yang terjadi di lingkungannya, mereka memilih diam dan tidak ada perilaku hukum yang seharusnya ada dan dilakukan yaitu dengan menindak agar perjudian tersebut dapat dihilangkan dan para penjudi bisa ditangkap sesuai hukum yang berlaku.32

Peran polisi sangat besar di dalam penegakan hukum pidana. Polisi sebagai bagian dari aparat penegak hukum merupakan salah satu subsistem yang bertugas dalam bidang penyidik dan penyelidik tindak pidana. Kedudukan Polri sebagai penegak hukum tersebut ditetapkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 bahwa:

31

Arah Kebijakan KaPolri Tentang Revitalisasi Polri Menuju Pelayanan Prima Guna Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat, diakses dari http://www.kalsel.Polri.go.id/ index.php/profil/fungsi-pembinaan/bid-humas.html tanggal 09 Desember 2010.

32


(34)

Pasal 1 butir (1)

“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 2

“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.33

Dari bunyi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang yudisial, tugas preventif maupun represif.

Hal ini sesuai dengan pendapat Sadjijono34 bahwa fungsi kepolisian tentunya berkaitan erat dengan tugas dan wewenang lembaga kepolisian yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan dari dibentuknya lembaga tersebut. Secara umum, tujuan dibentuknya lembaga kepolisian adalah untuk menciptakan kondisi aman, tenteram dan tertib dalam masyarakat. Dalam menyelenggarakan tugas dan wewenang tersebut dicapai melalui tugas preventif, pre-emtif dan tugas represif.

Tugas-tugas di bidang preventif dilaksanakan dengan konsep dan pola pembinaan dalam wujud pemberian pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, agar masyarakat merasa aman, tertib, dan tenteram tidak terganggu segala aktivitasnya. Faktor-faktor yang dihadapi pada tataran preventif ini secara teoritis dan teknis kepolisian, mencegah adanya Faktor Korelasi Kriminogin (FKK) tidak berkembang menjadi Police Hazard (PH) dan muncul

33

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

34


(35)

sebagai Ancaman Faktual (AF). Sehingga dapat diformulasikan apabila niat dan kesempatan bertemu, maka akan terjadi kriminalitas atau kejahatan (n + k = c), oleh karena itu langkah preventif adalah usaha mencegah bertemunya niat dan kesempatan berbuat jahat, sehingga tidak terjadi kejahatan atau kriminalitas.35

Pengertian dari Faktor Korelasi Kriminogin (FKK) tersebut adalah situasi dan kondisi yang padat dengan faktor-faktor yang dapat menstimulir terjadinya

Police Hazard dan Ancaman Faktual. Police Hazard (PH) adalah situasi dan kondisi sangat potensial untuk menjadi gangguan-gangguan dan ketertiban masyarakat, dan Ancaman Faktual (AF) adalah ancaman yang nyata dan terwujud dalam bentuk gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti kejahatan atau pelanggaran hukum. Tindakan preventif ini biasanya dilakukan melalui cara penyuluhan, pengaturan, penjagaan, pengawalan, patroli polisi dan lain-lain sebagai teknis dasar kepolisian.36

Tugas-tugas di bidang represif, adalah mengadakan penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan dalam Undang-Undang. Tugas represif ini sebagai tugas kepolisian dalam bidang peradilan atau penegakan hukum, yang dibebankan kepada petugas kepolisian, sebagaimana dikatakan oleh Harsja W. Bachtiar, bahwa petugas-petugas kepolisian dibebani dengan tanggungjawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani tindakan-tindakan kejahatan, baik dalam bentuk tindakan terhadap pelaku

35

Ibid, hal. 194. 36


(36)

kejahatan maupun dalam bentuk upaya pencegahan kejahatan agar supaya para anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram.37

Tugas preventif dan represif tersebut pada tataran tertentu menjadi suatu tugas yang bersamaan, oleh karena itu pekerjaan polisi pun menjadi tidak mudah, pada satu sisi dihadapkan pada struktur sosial dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, di sisi lain dihadapkan pada struktur birokrasi dan hukum modern yang memiliki ciri rasional.

Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu ingin mengetahui peran polisi dalam penanggulangan tindak pidana perjudian, maka teori yang digunakan untuk menganalisis tujuan tersebut berdasarkan teori G. Pieter Hoefnagels tentang kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) melalui pendekatan integral antara penal policy dan non penal policy. Melalui pendekatan ini, aparat penegak hukum khususnya Polri harus mampu memadukan dalam setiap aktivitasnya menanggulangi kejahatan.

2. Kerangka Konsepsi

Untuk memberikan pemahaman yang sama atas istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, peneliti memberikan pengertian-pengertian operasional terhadap istilah-istilah tersebut yaitu:

a. Kebijakan adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara

37


(37)

melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan.38

b. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.39

c. Peran polisi / Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan khususnya dalam menindak kejahatan yang meresahkan masyarakat yaitu perjudian.40

d. Penanggulangan adalah upaya mengatasi kejahatan lewat jalur penal yang lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindakan/pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan sifat preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum terjadinya kejahatan.41

e. Judi atau perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada

38

Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 72. 39

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, hal. 3.

40

Ibid, hal. 4 41

Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah disampaikan pada Seminar Kriminologi VI, (Semarang, 16-18 September 1991), hal.2.


(38)

peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak / belum pasti hasilnya.42

f. Jenis perjudian adalah ragam bentuk judi terbagi dalam perjudian di kasino

(Blackjack, Slot machine (Jackpot), Poker, Hwa Hwe, Qiu-qiu, dan lain-lain), perjudian di tempat-tempat keramaian (lempar gelang, lempar bola, lembar uang, Kim, mayong, erek-erek, dan lain-lain), dan perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan (adu kerbau, adu burung merpati, adu ayam, dan lain-lain).43

G. Metode Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan untuk menjawab tujuan penelitian maka dalam metode penelitian ini langkah-langkah yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Oleh karena fokus dan tujuan dari penelitian ini lebih berorientasi kepada upaya untuk memahami dan menjelaskan efektivitas peran Polri dalam menanggulangi tindak pidana perjudian, maka “penelitian kualitatif” yang akan menjadi landasan studi ini, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk menganalisis konsep-konsep hukum dan peraturan yang berkaitan dengan pokok bahasan.

42

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Cet. 1, Jilid I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 65.

43

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.


(39)

Pendekatan yuridis sosiologis digunakan untuk melihat hukum sebagai pola perilaku masyarakat dan terlihat sebagai kekuatan sosial. Dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, selain pendekatan penal melalui penerapan hukum pidana, maka pendekatan non-penal (non-penal policy) berupa pemberdayaan masyarakat menjadi kekuatan besar untuk mencegah dan mengurangi angka kejahatan.

2. Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi: a. Bahan hukum primer yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, Undang-undang Kepolisian No. 2 tahun 2002, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar, pertemuan ilmiah atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, surat kabar, majalah dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan penelitian ini


(40)

sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini melalui data primer yang diperoleh melalui studi lapangan (field research) dan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsep teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual yang berhubungan dengan penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya tulis lainnya yang relevan dengan penelitian ini. Studi lapangan dilakukan untuk menggali dan memahami secara mendalam mengenai persepsi serta pendapat responden terhadap fakta-fakta kejahatan perjudian di Wilayah Hukum Polres Asahan.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat yang digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yaitu melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada informan, sedangkan data sekunder yaitu dengan menggunakan studi dokumentasi. Studi dokumentasi adalah dengan cara mempelajari undang-undang, peraturan-peraturan, teori, buku-buku, hasil penelitian, jurnal ilmiah, bulletin dan dokumentasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.


(41)

39

5. Analisis Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.44

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data hakikatnya adalah kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Kegiatan tersebut antara lain adalah :

a. Memilih peraturan perundang-undangan dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan dengan kepolisian dan kasus perjudian.

b. Bahan hukum primer, sekunder maupun tertier yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis untuk menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian.

c. Analisis dilakukan secara tekstual dengan memperhatikan hubungan seluruh bahan hukum tersebut.

44

Ronny Hanitijo Soemitro. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 93.


(42)

BAB II

KONSEP KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN PERJUDIAN DARI SUDUT PANDANG CRIMINAL POLICY

A. Kejahatan Perjudian 1. Kejahatan

Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.193

Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.194

193

Syahruddin Husein, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya, (Medan: FH USU, 2003), hal. 1

194

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia, 1994), hal. 82.


(43)

J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.195

J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks Dalam Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.196

Edwin H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah :197

a. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.

b. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana

195

Syahruddin Husein, Opcit, hal. 1. 196

J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Parados Dalam Kriminologi, (Jakarta : Rajawali, 1982), hal. 53.

197


(44)

c. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan

d. Harus ada maksud jahat (mens rea)

e. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan

f. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri

g. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.

Selanjutnya dapat diuraikan tentang pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing:198

a. Pengertian secara praktis : Kita mengenal adanya beberapa jenis norma dalam masyarakat antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma itu merupakan suatu garis untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan yang wajar pada suatu pihak, sedang pada pihak lain adalah suatu perbuatan tercela. Perbuatan yang wajar pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan kebalikannya yang di seberang garis disebut dengan kejahatan.

b. Pengertian secara religius : mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa. Setiap dosa diancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa

198


(45)

c. Pengertian dalam arti juridis : misalnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiri tidak membedakan dengan tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP memisahkan kejahatan dan pelanggaran dalam 2 buku yang berbeda. Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah pembedaan antara

rechtsdelicten (delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang). Pelanggaran termasuk dalam wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hat yang terlarang. Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu merupakan suatu delik undang-undang karena undang-undang menyatakannya sebagai perbuatan yang terlarang. Sedangkan kejahatan termasuk dalam rehtsdelicten

(delik hukum), yaitu peristiwa-peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang. Contohnya adalah pembunuhan dan pencurian. Walaupun perbuatan itu (misalnya) belum diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan itu sangat bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai suatu kejahatan.

Marshall B. Clinard dan Richard Quinney, memberikan 8 tipe kejahatan yang didasarkan pada 4 karakteristik, yaitu :199

199


(46)

1. Karir penjahat dari si pelanggar hukum

2. Sejauhmana prilaku itu memperoleh dukungan kelompok

3. Hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola prilaku yang sah 4. Reaksi sosial terhadap kejahatan.

Tipologi kejahatan yang mereka susun adalah sebagai berikut :200

1. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan kriminal seperti pembunuhan dan perkosaan, Pelaku tidak menganggap dirinya sebagai penjahat dan seringkali belum pernah melakukan kejahatan tersebut sebelumnya, melainkan karena keadaan-keadaan tertentu yang memaksa mereka melakukannya.

2. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk Ke dalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya.

3. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memandang dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari.

4. Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase, dan sebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegal itu

200


(47)

sangat penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat.

5. Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai penjahat apabila mereka terus menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal dan terbatas.

6. Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya sebagai part time-career dan seringkali untuk menambah penghasilan dari kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai pemilikan pribadi telah dilanggar.

7. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran, perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebagainya. Pelaku yang berasal dari eselon bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, juga terasing dari masyarakat luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berbeda dengan warga masyarakat lain dan bahkan seringkali bertempat tinggal di lingkungan-lingkungan pemukiman yang baik.

8. Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahat-penjahat lain serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka sering


(48)

juga cenderung terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras.

Berdasarkan tipologi kejahatan tersebut di atas, maka perjudian termasuk dalam kejahatan konvensional dan kejahatan terorganisasi. Dalam kejahatan konvensional, penjudi melakukan kejahatan untuk menambah penghasilan dan tujuan-tujuan ekonomi, sedangkan dalam kejahatan terorganisasi, penjudi melakukan tindak kejahatan perjudian secara terorganisasi yang melibatkan banyak pihak.

Mahmud Mulyadi membagi faktor korelatif kriminogen terjadinya kejahatan yaitu 1)faktor biologis dan psikologis; 2)faktor lingkungan sosial.201

a. Faktor biologis dan psikologis

Freda Adler et. al. dalam bukunya Criminology, yang dikutip Mahmud Mulyadi202 menjelaskan bahwa para tokoh aliran positif yaitu Cesare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1982-1934) menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter perilaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran ini beralasan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis maupun faktor lingkungan.

201

Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 101. 202


(49)

Basis utama aliran ini adalah konsepsinya bahwa kejahatan disebabkan oleh multi faktor yang menyangkut kehidupan natural manusia di dunia ini, antara lain faktor biologis dan faktor lingkungan sosial. Oleh karena itu, aliran positif bersandarkan pada paham indeterminisme yang mengakui bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas (free will) karena dibatasi oleh faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Dalam hal penjatuhan pidana, aliran ini menganut sistem

“indefinite sentence” yaitu pidana yang dijatuhkan tidak ditentukan secara pasti karena setiap pelaku kejahatan mempunyai kebutuhan yang berbeda. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Lombroso, bahwa penerapan pidana yang sama pada semua pelaku kejahatan merupakan suatu kebodohan karena setiap pelaku mempunyai kebutuhan yang berbeda.203

Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat. Konsep tersebut melahirkan aliran Pemikiran Antropologis dan Aliran Sosiologis. Aliran antropologis berkembang di Italia dipelopori oleh Caesare Lombroso, sedangkan aliran sosiologis berkembang di Perancis dipelopori oleh Lacassagne, Manouvrier, dan lain-lain.204

203

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 34. 204


(50)

Kedua aliran ini sama dihadapkan pada keprihatinan terhadap rentannya masyarakat akan ancaman kejahatan, sehingga kedua aliran ini berusaha membongkar sebab awal kejahatan dengan tujuan menemukan alat-alat penangkal yang paling ampuh yang pada gilirannya mendorong terwujudnya etiologi kriminal: hasil telaahan yang diperoleh semakin berpengaruh terhadap pembentukan dan perumusan kebijakan penanggulangan kejahatan dan dengan cara ini, dapat membongkar dominasi pandangan pidana sebagai derita yang sengaja dikenakan kepada pelaku kejahatan.205

Lombroso memberikan perhatian pada perilaku individu yang menyimpang. Menurut Lombroso ada satu tipe orang yang ditakdirkan melakukan kejahatan, yang tidak dapat tidak, suatu saat akan melakukan kejahatan. Orang-orang yang terlahirkan sebagai kriminal (Reo nato). Tipe manusia ini merupakan 40% dari populasi kriminal. Pandangan ini ditentang keras oleh aliran sosiologis, mereka sebaliknya menekankan peran penting faktor eksogen. Menurut mereka, penjahat merupakan hasil bentukan atau ciptaan lingkungan arti seluas-luasnya. Mereka memfokuskan pada lingkungan rumah tangga yang buruk, kurangnya pendidikan dan pengajaran, kelahiran sebagai anak di luar nikah, kemiskinan, ketergantungan pada minuman keras, penderitaan akibat perang, godaan kehidupan perkotaan. Singkatnya pada semua hal yang secara eksternal berpengaruh terhadap manusia. Mereka juga yang memberikan landasan bagi

205

Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 34.


(51)

pemikiran aliran Marxis yang menambahkan nuansa pemikiran bahwa penyebab kejahatan dapat ditemukan dalam (bagaimana) sistem ekonomi disusun dalam mekanisme produksi kapitalis.206

Dalam perkembangan selanjutnya, walaupun mempunyai pandangan yang kontras, kedua aliran ini semakin mendekati satu sama lain. Diakui bahwa tanpa adanya kecenderungan lahiriah tertentu, kejahatan tidak akan muncul. Pada saat yang sama diterima pula bahwa tanpa adanya situasi kondisi yang memungkinkan, kecenderungan asosial tidak mungkin berkembang menjadi suatu perbuatan. Faktor-faktor sosial antropologis mempengaruhi perilaku dan juga saling mempengaruhi. Pandangan ini dinamakan pendekatan “bio-sosiologis” yang dipelopori oleh Enrico Ferri (1856-1929).

Pendekatan bio-sosiologis menjelaskan terjadinya kejahatan melalui kajian pengaruh-pengaruh interaktif diantara faktor-faktor yang bersifat fisik (seperti ras, geografis, dan temperatur) dengan faktor-faktor individu (seperti umur, jenis kelamin, dan variabel-variabel psikologis), dan faktor-faktor sosial (seperti populasi penduduk, agama dan budaya). Enrico Ferri berpendapat bahwa kejahatan dapat dikontrol atau diatasi melalui berbagai perubahan sosial. Ferri mewujudkannya dengan mendukung subsidi perumahan, pengendalian angka kelahiran, kebebasan menikah dan bercerai, dan fasilitas umum untuk rekreasi. Kondisi ini merupakan tanggungjawab negara untuk mewujudkan kondisi kehidupan yang lebih baik.

206


(52)

Frank E. Hagan dalam bukunya Introduction to Criminology, Theories, Methods, and Criminal Behaviour menyebutkan bahwa penerus lainnya teori Lombroso adalah Rafaele Gorofallo (1982-1934). Teori yang dikemukakan Gorofallo dipengaruhi oleh teori Lombroso tentang atavistic stigmata, namun Gorofallo menelusuri faktor korelatif kejahatan bukan kepada bentuk-bentuk fisik. Kajiannya cenderung melihat kesamaan-kesamaan psikologis yang dinamakannya sebagai moral anomalies (kekacauan-kekacauan moral).207

Teori moral anomalies ini mengungkap bahwa secara alamiah kejahatan-kejahatan ditemukan pada diri manusia, tidak terkecuali siapapun. Kejahatan-kejahatan ini mengganggu nilai-nilai moral dasar berupa kejujuran dan menghargai hak milik orang lain sehingga kejahatan-kejahatan yang dilakukan bisa mendatangkan penderitaan pada orang lain. Seorang individu yang memiliki kelemahan organik dalam sentiment moral ini, tidak menjadikan moral dasar sebagai halangan untuk melakukan kejahatan. Seorang penjahat sungguhan memiliki anomali moral yang ditransmisikan melalui keturunan.208

Teori lainnya adalah Sigmund Freud (1856-1939) dengan teori terkenalnya psikoanalisa. Frued menyatakan bahwa kejahatan dihasilkan dari suatu kesadaran yang berlebihan atas perasaan bersalah pada diri seseorang. Terdapat tiga prinsip dasar teori psikoanalisa ini dalam hubungannya dengan terjadinya kejahatan, yaitu: (1) Tindakan orang dewasa dapat dipahami dari

207

Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 104. 208


(53)

perkembangan masa kanak-kanaknya; (2) Tindakan dan motif bahwa sadar merupakan sesuatu interaksi yang saling berhubungan sehingga harus diuraikan untuk memahami kejahatan, dan (3) kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis.209

b. Faktor lingkungan sosial

Terjadinya kejahatan tidak semata dipandang sebagai bagian dari pembawaan sifat manusia secara alami. Kejahatan dari sudut pandang sosiologis disebabkan oleh adanya pengaruh eksternal dari lingkungan sosial. Berikut ini akan diuraikan beberapa teori yang melegitimasi pengaruh lingkungan sosial terhadap terjadinya kejahatan.

1) Teori Anomi

Teori Anomi dikemukakan oleh Emile Durkheim (1958-1917) sebelum akhir abad ke-19. Menurut Durkheim, untuk menjelaskan tingkah laku manusia yang salah maupun yang benar, maka tidak bisa hanya dilihat dari pribadi seseorang, melainkan harus dilihat pada kelompok masyarakatnya. Pada konteks inilah, Durkheim mengenalkan istilah “anomi”, yang diterjemahkannya sebagai “tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat di dalam masyarakat sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai dan standar-standar yang mengatur kehidupan.210

209

Ibid, hal. 105. 210


(54)

Durkheim menjelaskan lebih lanjut bahwa perubahan sosial yang cepat mempunyai pengaruh yang besar terhadap semua kelompok di dalam masyarakat. Hal ini bisa menyebabkan kabur atau hilangnya nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dianut dan diterima masyarakat. Kondisi ini memunculkan kehidupan sosial yang tanpa norma (anomie).

Tahun 1983, Robert K. Merton mengambil konsep teori anomi Emile Durkheim untuk menjelaskan tingkah laku kejahatan di Amerika, namun konsepnya berbeda dengan konsep Durkheim. Menurut Merton, permasalahan yang utama kejahatan adalah tidak diciptakan oleh perubahan yang mendadak dalam masyarakat, melainkan oleh adanya struktur sosial yang masing-masing bertahan untuk mencapai tujuan yang sama bagi semua anggotanya tanpa memberikan sarana (alat) yang sama untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini menyebabkan tidak adanya kesesuaian antara apa yang diminta oleh kultur dengan apa yang dibolehkan dalam struktur. Hal ini dapat mengakibatkan hancurnya norma-norma sosial karena tidak adanya patokan untuk berperilaku.211

Merton menekankan pengaruh struktur sosial sebagai faktor korelatif terjadinya kejahatan. Pengaruh ini terlihat dari adanya disparitas antara tujuan yang hendak dicapai dengan sarana yang digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Hal ini akhirnya menjadikan ketegangan (strain)

211


(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Abdulsyani, Sosiologi Kriminalitas, Cetakan Pertama, Bandung: Remadja Karya, 1987.

Adler, Freda et. Al., Criminology, Edisi Kedua, USA: McGraw Hill, 1995.

Arief, Barda Nawawi, Upaya Non Penal Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah disampaikan pada Seminar Kriminologi VI, Semarang, 16-18 September 1991.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Bawengan, Gerson W. Pengantar Psikologi Kriminal, Cetakan I, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1997.

Chazawi, Adami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.

Fatoni, Syamsul, Pengantar Penalaran Hukum, Malang: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2003.

Hamid, Hamrat dan Harun M.Husein, Pembahasan Masalah KUHAP Bidang Penyelidikan (Dalam Bentuk Tanya Jawab). Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana, Cetakan Pertama, Jakarta : Sapta Artha Jaya, 1996.

Hoefnagels, G. Pieter. The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of Crime. Holland: Kluwer Deventer, 1992.

Husein, Syahruddin, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003.


(2)

Jaya, Nyoman Serikat Putra, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung :Citra Aditya Bakti, 2005.

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1999.

Kartono, Kartini, Patologi Sosial, Jilid I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.

Kelana, Momo, Hukum Kepolisian (Perkembangan di Indonesia) Suatu Studi Histories Komparatif, Jakarta: PTIK, 1972.

Kelana, Momo Hukum Kepolisian, Jakarta : PTIK/Gramedia, 1994.

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat, Buku Pedoman Pelatihan untuk Anggota Polri, Jakarta: Balai Pustaka, 2006.

Kuffal, H.M.A Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum, Cetakan Pertama, Malang, UMMPress, 2004.

Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, Jakarta: Cipta Manunggal, 1997.

Kusuma, Mulyana W. Kejahatan dan Penyimpangan Suatu Perspektif Kriminologi, Jakarta : LBH, 1988.

Maskat, Djunaidi, Kepemimpinan Efektif di lingkungan Polri pada tingkat Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek, Bandung : Sanyata Sumanasa Wira Sespin Polri, 1993.

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan Keduapuluh Dua, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2000.

Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Cetakan Pertama, Bandung: Alumni, 1985. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit

UNDIP, 1995.

Muladi, Hak Asasi Manusia. Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002.


(3)

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta : The Habibie Center, 2002.

Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.

Mutiara, Dali, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1962.

Nitibaskara, TB Ronny Pembenahan Moralitas Sebagai Prasyarat Perubahan Kinerja dan Perilaku Polri, Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2004.

Rahadyan, Galih Ian, Kebijakan dan Peran Kepolisian Resort Sragen Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian Demi Menciptakan Ketertiban Masyarakat. Abstrak. 2008.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980.

Rahardjo, Satjipto, mengutip Awaloedin Djamin dalam makalahnya berjudul “Beberapa Masalah dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia” (1986) menggunakan istilah “pembinaan masyarakat” (Bimnas) untuk menunjuk tugas-tugas kepolisian yang bersifat pre-emtif, 1998.

Ranggawidjaja, Rosjidi, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1998.

Remmelink, Jan. Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.

Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2008.

Sadjijono, Seri Hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance, Cetakan Pertama, Jakarta: Laksbang Mediatama, 2008.


(4)

Sadli, Saparinah, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cet. II, Penerbit Alumni, Bandung, 1998.

Sahetapy, J.E. dan B. Mardjono Reksodiputro, Parados Dalam Kriminologi, Jakarta : Rajawali, 1982.

Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Grafika Baru, 1984.

Saleh, Roeslan, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Santoso, Topo, dan Eva Achjany Zulfa, Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Simandjuntak, B. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Bandung : Tarsito, 1990.

Sinaga, Budiman N.P.D. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Yogyakarta : UII Press, 2002.

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Penerbit Alumni, 1983.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press), 2006.

Soekanto, Soerjono dan Sri Maudjin, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia, 1994.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan penjelasan dan komentar, Politeia, Bogor, 1997.

Suroso, Edi, Membangun Citra Polisi Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pelanggaran Lalu – Lintas Di Polres Batang. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang, 2008.

Sutherland, Edwin H. Asas-Asas Kriminologi, Bandung : Alumni, 1969.

Tiyarto, Sugeng, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perjudian, Yogyakarta: Gentra Pres, 2007.


(5)

Widiyanti, Ninik, dan Yulius W. Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.

Peraturan dan Undang-Undang:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bandung : Citra Umbara, 2010.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Internet

Andrianto, Hendrik. Perjudian Sabung Ayam di Bali. Tesis. Dalam www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=73405&lokasi=lokal. diakses pada tanggal 15 April 2011.

Arah Kebijakan Kapolri Tentang Revitalisasi Polri Menuju Pelayanan Prima Guna Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat. www.kalsel.polri.go.id/index.php/ profil/fungsi-pembinaan.html, tanggal 09 Desember 2010, diakses tanggal 15 Oktober 2010.

Johanes Papu, Sejarah dan Jenis Perjudian, http://www.e-psikologi.com/ epsi/Sosial_detail.asp?279. diakses pada tanggal 15 Maret 2011.

Judi: Hipokrisi, Lokalisasi, Legalisasi, http://www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=-untirtanet , diakses tanggal 15 Oktober 2010.

Mardalli, Profesionalisme Polisi Republik Indonesia Di Mata Masyarakat Sebagai Profesi Hukum, www.mardalli.wordpress.com/2009/05/23/profesionalisme-polisi-republik-indonesia-di-mata-masyarakat-sebagai-profesi-hukum,Diakses tanggal 26 Januari 2011.

Media Hukum, www.hukumonline.com, diakses tanggal 28 Nopember 2010.

Perjudian dan Komitmen Aparat, www.medanbisnisdaily.com, diakses tanggal 20 Januari 2011.


(6)

180

Koran / Majalah :

Harian Media Indonesia, wawancara dengan Hotman Siahaan dalam tajuk “Judi Marak Kriminalitas Meningkat” tanggal 24 November 2010.

Harian Waspada, Masyarakat Asahan Berjanji Tinggalkan Judi, tanggal 29 Desember 2010.

Newsletter, Relasi Polisi Masyarakat, Edisi VII/10/2008.

Suara Merdeka, Analisis Berita Dari Porkas sampai SDSB. Dalam Suara Merdeka; Senin, 19 Januari 2004.