ANALISIS YURIDIS KETERKAITAN PENGGUNAAN BARANG BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (Studi di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS KETERKAITAN PENGGUNAAN BARANG BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (Studi di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang)

Oleh

LEONARD DAVID

Dalam proses pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di persidangan sangat perlu keyakinan hakim yang di dukung oleh 2 (dua) alat bukti yang sah yaitu Persesuaian antara alat-alat bukti dengan alat bukti, serta alat bukti dengan barang bukti. Sehingga Persesuaian antara alat-alat bukti, barang bukti, dan keyakinan hakim merupakan kesatuan organ yang sangat penting dalam penyelesaian perkara tindak pidana narkotika, artinya tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang diambil dalam penulisan skripsi ini antara lain pertama Bagaimana ketentuan barang bukti dan alat bukti yang di atur dalam Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan kedua bagaimana keterkaitan antara alat bukti, barang bukti, dan keyakinan hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana narkotika yang diatur dalam pasal 112 dan 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, dua orang Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan satu orang akademisi dari fakultas hukum Universitas Lampung. Hasil dari wawancara responden kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif dengan mengambil kesimpulan secara deduktif.

Hasil penelitian dan pembahasan adalah penanganan barang bukti narkotika pada tahap pengadilan menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berkaitan tentang alat bukti petunjuk dengan jumlah yang besar atau kecil disertakan untuk dihadirkan di persidangan merupakan salah satu dasar bagi Majelis Hakim di dalam membuat keputusan apakah terdakwa terbukti sebagai pengedar atau pemakai narkotika. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan


(2)

LEONARD DAVID bahwa alur penyelesaian dalam penanganan barang bukti pada kasus narkotika yang di atur dalam Kitab Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika saling berhubungan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka perlu diberikan saran dalam skripsi ini, yaitu majelis hakim selaku yang bertanggung jawab untuk memeriksa kasus pidana narkotika di pengadilan, sebelum dijatuhkannya hukuman terhadap terdakwa diperlukan penerapan hukum yang benar dan bijaksana, baik menyangkut jumlah barang bukti, keterangan saksi yang dihadirkan, dan pengakuan terdakwa yang jujur serta jelas.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada zaman modern seperti ini, tindak kejahatan narkotika secara terang-terangan dilakukan oleh para pemakai dan pengedar dalam menjalankan operasi barang berbahaya narkotika. Masyarakat sudah sangat resah terutama keluarga para korban, mereka kini sudah ada yang menceritakan keadaan anggota keluarganya dari penderitaan dalam kecanduan narkotika.

Masalah penyalahgunaan dan peredaraan gelap narkotika di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, dan sudah sangat memperihatinkan serta membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Indonesia bukan saja hanya sebagai tempat transit dalam perdagangan dan peredaran gelap narkotika, tetapi telah menjadi tempat pemasaran bahkan telah menjadi tempat produksi gelap narkotika.

Banyak kasus yang menunjukan betapa akibat dari masalah tersebut telah banyak menyebabkan kerugian, baik materi maupun non materi, seperti perceraian atau kesulitan lain bahkan kematian yang disebabkan oleh ketergantungan terhadap narkotika dan obat-obatan terlarang, misalnya seorang pengguna narkotika dalam keadaan sakau mengalami dorongan yang sangat kuat untuk mendapatkan narkotika yang biasa di konsumsinya. Dalam keadaan seperti ini si pemakai tidak


(4)

2

dapat lagi berpikir secara jernih tindakan apa yang akan dilakukannya, sebagai efek dari ketagihan dan ketergantungan yang ditimbulkan dari zat narkotika tersebut, maka tidak jarang ia melakukan tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, atau kejahatan lain demi mendapatkan uang guna memenuhi hasrat pemakai narkotika tersebut.

Akibat peredaran dan pengunaan narkotika telah menimbulkan keadaan yang semakin parah di masyarakat, dimana telah menyusup hingga ke bidang pendidikan, kalangan artis, eksekutif bahkan sampai kepada kalangan pengusahapun telah dijangkau oleh para pengedar. Dengan demikian, pemerintah dan segenap warga secara bersama-sama harus sungguh-sungguh berusaha menanggulangi ancaman bahaya narkotika.

Tidak ternilai dengan materi korban yang disebabkan penyalahgunaan barang obat-obatan narkotika, baik budaya, generasi muda maupun harta benda. Pangaruh lain secara langsung narkotika dapat merusak moral dan fisik bahkan korbannya pun dapat menderita penyakit yang mematikan seperti HIV atau AIDS (Djoko Satriyo, 2003 : 2).

Korban pecandu narkotika yang sebagian besar adalah orang muda, perlu segera disampaikan penjelasan yang seluas-luasnya tentang bahaya mengkonsumsi narkotika dan obat-obatan terlarang, karena efeknya sudah pasti merusak masa depan dan orangtua pun harus selalu mengawasi perilaku anak-anak setiap hari. Untuk pengawasan dan pengendalian pemakai narkotika dan pencegahan, serta pemberantasan peredaran narkotika dalam rangka penanggulangannya di perlukan


(5)

kehadiran hukum yaitu hukum narkotika yang sarat dengan tuntutan perkembangan zaman.

Berkenaan dengan itu, pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang menggantikan Undang-Undang Sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Melalui Pasal 153 dan 155 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan bahwa kedua Undang-Undang yang mengatur hal yang sama sudah dinyatakan tidak berlaku lagi atau sudah dicabut. Tentu saja terhadap seorang pelaku tindak pidana Narkotika dan Psikotropika mulai dari penangkapan sampai dengan penjatuhan sanksi tidak lagi berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, melainkan sudah berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang narkotika.

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada tanggal 12 Oktober 2009 maka undang-undang ini telah mempunyai daya laku dan daya mengikat dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika, maka secara otomatis Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang harus diterapkan. Penerapan hukum melalui undang-undang yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku jelas melangar asas legalitas dan HAM. Hal ini sejalan dengan Pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB XA tentang Hak Azasi Manusia yang berbunyi, ”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan


(6)

4

yang sama dihadapan hukum”. Penerapan hukum yang tidak ada dasar hukumnya jelas merupakan perbuatan sewenang-wenang dan melanggar asas legalitas sebagai landasan untuk menuntut setiap adanya tindak pidana Narkotika.

Dari hasil yang dilakukan oleh Litbang Media Indonesia pada tahun 2002 menyatakan bahwa responden masyarakat sangat benci kepada para pengedar narkotika dan setuju agar para pengedar tersebut dihukum mati. Hal ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika telah meresahkan masyarakat khususnya bagi pengedar gelap barang terlarang tersebut di dalam masyarakat sudah semakin parahnya (Djoko Satriyo, 2003 : 6).

Mengingat bahaya yang bisa ditimbulkan oleh narkotika, maka perlu dilakukan penanggulangan dari pemerintah, salah satunya dengan dibentuknya peraturan yang dapat megontrol dan mengawasi peredaran serta penggunaan barang narkotika. Sejak Undang-Undang Narkotika diundangkan terdapat kecenderungan dari para hakim memberikan vonis yang relatif lebih berat bagi penjual/pengedar dibanding bagi pengguna/pemakai narkotika (http://www.suarakarya.com).

Hal ini disebabkan pemakai atau pengguna narkotika tersebut menggunakan barang terlarang untuk dikonsumsi bagi dirinya sendiri dan pada umumnya mereka adalah korban semata yang berada dalam kondisi tertekan atau keadaan tertentu, diantaranya: tertekan pada suatu masalah, seperti : depresi, kurangnya perhatian dari orangtua, kondisi kekurangan uang. Selain itu ada juga disebabkan karena tuntutan pergaulan dalam profesi tertentu, seperti: artis, klub-klub eksekutif, pergaulan bebas tanpa melalui pengawasan dokter sehingga pengguna atau pemakai menjadi ketergantungan kepada narkotika.


(7)

Berbeda bagi pengedar, barang terlarang tersebut tidak saja digunakan untuk kepentingan sendiri tetapi juga untuk diperjualbelikan kepada orang lain sehingga korban yang diakibatkan oleh pengedar narkotika tersebut menjadi beragam dan lebih luas, baik dari lapisan muda sampai segala umur dan tidak mengenal posisi dan keadaan korban sampai mengakibatkan korban menjadi ketergantungan dan merusak masyarakat luas dari segi kesehatan, masa depan sampai kematian karena over dosis. Hukuman yang di jatuhkan beragam, mulai dari pidana penjara, denda atau kurungan bahkan tidak sedikit bagi pelaku penyalah guna narkotika tersebut di jatuhi hukuman mati oleh pengadilan.

Dalam menjatuhkan hukuman para hakim memiliki batas-batas yang telah ditentukan oleh undang-undang artinya ada batas minimum dan maksimum yang menjadi patokan bagi para hakim untuk dicermati, diantaranya seperti barang-barang bukti perlu diperhatikan dengan sebenar-benarnya melalui pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum dalam proses persidangan, seperti barang bukti tersebut memilki relevansi atau ada persesuaian dengan alat bukti keterangan saksi dalam kasus narkotika (Rudi Prasetyo, 2006 : 15).

Adanya saling keterkaitan barang bukti dalam jumlah tertentu yang dimiliki pengedar atau yang digunakan pemakai dengan alat bukti lain dari tindak pidana narkotika tersebut, seperti ditemukannya barang bukti berupa narkotika dalam jumlah cukup banyak pada pelaku saat ditempat kejadian perkara selanjutnya disebut TKP atau barang bukti lain yang ditemukan menjurus pelaku kepada pengedar atau pemakai/pecandu narkotika oleh penyidik pada tahap penyidikan dengan alat-alat bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum di hadapan


(8)

6

Majelis Hakim. Jadi, kedudukan barang bukti dalam tindak pidana narkotika di dalam menentukan penyalah guna narkotika kedalam kriteria penjual/pengedar atau pemakai/pecandu ialah sebagai benda yang menunjukkan bahwa ada hubungan secara langsung terdakwa dengan barang bukti dalam tindak pidana yang dilakukannya (Pasal 39 KUHAP). maka dari itu, Indonesia menjadikan pelaku dapat divonis berbeda pemidanaannya. Dimana pengedar narkotika relatif lebih berat pemidanaannya dibandingkan pemakai/pecandu narkotika (Rudi Prasetyo, 2006 : 15).

Contoh kasus tindak pidana narkotika yang menjatuhkan hukuman kepada pengguna dan pengedar narkoba, berdasarkan ketentuan pada Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, yaitu :

1. Terdakwa Muhammad Sukron alias Sukron divonis 9 Tahun penjara. dengan barang bukti di persidangan berupa 2 (dua) paket narkotika jenis heroin dengan berat 0,1001 gram, terdakwa melakukan tindak pidana sesuai Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika. Putusan Majelis Hakim Tanjung Karang di bacakan dalam sidang.

2. Terdakwa Yulius Wijawa alias Ewin divonis 15 Tahun penjara. Dengan barang bukti di persidangan berupa 52 paket besar daun ganja kering dan ½ paket besar daun ganja kering dengan berat 48.677.9200 gram, terdakwa melakukan tindak pidana sesuai Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Putusan Majelis Hakim Tanjung Karang di bacakan dalam sidang.


(9)

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk penulisan hukum dan membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul ” Analisis Yuridis Keterkaitan Penggunaan Barang Bukti dalam Putusan Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimana ketentuan barang bukti dan alat bukti yang di atur dalam Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?

2. Bagaimana keterkaitan antara alat bukti, barang bukti dan keyakinan hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 112 dan 114 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup terhadap permasalahan ini dititikberatkan pada analisis pembuktian pidana terhadap penggunaan barang bukti dalam menentukan hukuman bagi para penyalah guna narkotika pada tindak pidana narkotika sesuai dengan ketentuan pada Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika oleh aparat penegak hukum. Tempat penelitian adalah Pengadilan Negeri berkedudukan di Kota Bandar Lampung.


(10)

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

a. untuk mengetahui tentang ketentuan barang bukti, alat bukti dan keyakinan hakim terkait dengan pembuktian di persidangan menurut Pasal 112 dan 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. b. Untuk mengetahui hubungan keterkaitan antara barang bukti dengan

keyakinan hakim dalam memberikan putusan perkara tindak pidana narkotika secara adil dan benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Dengan demikian diharapkan keputusan-keputusan hakim yang akan datang lebih bijaksana, adil dan meggunakan hati nurani yang bersih.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penelitian secara teoritis adalah untuk mengungkapkan secara objektif dengan menggunakan metode normatif yang terdapat dalam literatur buku, perangkat Undang-Undang maupun karya ilmiah lainnya dengan membandingkannya secara empiris dilapangan, sehingga akan didapatkan kejelasan mengenai Das sollen dan Das sein-nya, serta berguna bagi


(11)

perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya dalam upaya pembuktian terhadap pengedar atau pemakai pada tindak pidana narkotika. b. Kegunaan Praktis

Hasil dari penelitian ini, yang akan dituangkan dalam bentuk penulisan skripsi dan diharapkan dapat memberikan informasi pada masyarakat tentang pertanggungjawaban pidana terhadap para penyalah guna narkotika dengan melihat dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam kaitannya dengan tujuan penulisan skripsi ini.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian (Soerjono Soekanto, 1986 : 123).

Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data.

Untuk memperoleh suatu kebenaran atas suatu peristiwa yang terjadi diperlukan suatu proses kegiatan yang sistimatis dengan menggunakan ukuran dan pemikiran yang layak dan rasional. Kegiatan pembuktian dalam hukum acara pidana pada dasarnya diharapkan untuk memperoleh kebenaran, yakni kebenaran dalam


(12)

10

batasan-batasan yuridis bukan dalam batasan yang mutlak karena kebenaran yang mutlak sukar diperoleh (Rusli Muhammad, 2007 : 185).

Pembuktian dalam hukum acara pidana dapat diartikan sebagai suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa (Rusli Muhammad, 2007 : 185).

Yang dimaksudkan dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di muka pengadilan. Hakim di dalam melaksanakan tugasnya diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan murni, keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang dinamakan oleh undang-undang ialah alat bukti (R. Subekti, 1985 : 12).

Mengenai alat-alat bukti, berdasarkan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal ada lima macam alat-alat bukti yang sah, yakni (Rusli Muhammad, 2007 : 192) :

a. Keterangan saksi

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan dalam pemeriksaan perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu berdasarkan pemeriksaan saksi.

Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP yang dimaksud keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi


(13)

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

b. Keterangan ahli

Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah “keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus hal yang diperlukan untuk membuat tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Pada perinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan yang melekat pada alat bukti keterangan saksi, yaitu mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrjin bewijskracht.

c. Alat bukti surat

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Hari Sasangka, 2003 : 62).

Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat adalah bebas, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mengikat atau menentukan penilaian sepenuhnya pada keyakinan hakim. Alasan kekuatan pembuktian bernilai bebas adalah atas proses perkara pada pembuktian mencari kebenaran materi keyakinan (sejati) atas keyakinan hakim ataupun dari sudut minimum pembuktian (Rusli Muhammad, 2007 : 192).


(14)

12

d. Alat bukti petunjuk

Pada perinsipnya, alat bukti petunjuk hanya merupakan kesimpulan dari alat bukti lainnya sehingga untuk menjadi alat bukti perlu adanya alat bukti lainnya. Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk diatur pada Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal tersebut memberikan pengertian alat bukti petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian, atau keadaan yang mempunyai persesuaian antara yang satu dan yang lainnya atau dengan tindak pidana itu sendiri yang menunjukkan adanya suatu tindak pidana dan seorang pelakunya.

e. Alat bukti keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri ( Pasal 189 ayat (1) KUHAP).

Pengertian keterangan terdakwa adalah lebih luas dibandingkan dengan pengakuan terdakwa. Sehingga dengan memakai keterangan terdakwa dapat dikatakan lebih maju daripada pengakuan terdakwa.

Dengan alat bukti yang ada masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya yang dikemukakan kepada hakim yang diwajibkan untuk memutus perkara narkotika tersebut. Pembuktian benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dari acara pidana, jadi seseorang yang didakwa ternyata terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan


(15)

adalah berdasarkan alat-alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim (Andi Hamzah, 1996 : 245).

Sistem atau teori-teori pembuktian Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara eropa kontinental yang lain, yaitu menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri bukan juri, seperti di Amerika Serikat dan negara-negara anglo saxon, juri umumnya terdiri dari orang awam. Juri-juri tersebutlah yang menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty seorang terdakwa, sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana (sentencing).

Dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang dianut Hukum Acara Pidana di Indonesia, pemidanaan didasarakan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan perundang-undangan dan pada keyakinan hakim. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatur bahwa 2 (dua) alat bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim.

Keyakinan Hakim pada tahap pembuktian berperan penting dalam proses pemeriksaan di persidangan sebab pada tahap inilah ditentukan nasib terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Oleh sebab itu, para hakim harus berhati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangakan pembuktian tersebut. Dengan keputusannya hakim harus menunjukkan bahwa ia tidak mengambil keputusan dengan sewenang-wenang, bahwa peradilan yang ditugaskan kepadanya sebagai anggota dari kekuasaan kehakiman selalu dijunjung tinggi dan dipelihara sebaik-baiknya sehingga kepercayaan masyarakat akan penyelenggaraan peradilan layak dan tidak sia-sia (M.H. Tirtaamidjaja, 1996 : 70).


(16)

14

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1984 : 124).

Untuk memberikan kesatuan pemahaman terhadap istilah-istilah yang berhubungan dengan judul skripsi ini, maka di bawah ini akan dibahas mengenai konsep atau arti dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi.

a. Analisis adalah cara menganalisa atau mengkaji secara rinci suatu permasalahan. Analisis juga dapat diartikan sebagai penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan lain sebagainya) (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988 : 22).

b. Yuridis adalah menurut hukum; secara hukum; dari segi hukum (B.N. Marbun S.H. Kamus Hukum Indonesia, 2006 : 327).

c. Pembuktian adalah suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa (Rusli Muhammad, 2007 : 185). d. Barang Bukti adalah benda atau barang yang digunakan untuk meyakinkan

hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang diturunkan kepadanya (Sudarsono. Kamus Hukum, 1999 : 47).

e. Keyakinan Hakim adalah kepercayaan yang sungguh-sungguh, kepastian, ketentuan, yang dalam bahasa inggris di beri dengan istilah conviction, sure, certitude, misalnya “he’s man is stronge conviction” (ia adalah soerang yang


(17)

kuat pendiriannya) atau “His word carry conviction” (kata-katanya mengandung keyakinan).

f. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyababkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Ps 1).

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami isi skripsi ini, maka keseluruhan sistematika penulisannya disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang masalah, permasalahan penelitian dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dikemukakan tentang pengertian teori dan sistem pembuktian, tindak pidana narkotika, barang bukti serta peranan barang bukti dalam perkara tindak pidana narkotika.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang


(18)

16

memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, metode pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAM PEMBAHASAN

Bab ini berisikan pembahasan dari hasil penelitian tentang penggunaan barang bukti dalam menentukan kualifikasi pengedar atau pemakai pada tindak pidana narkotika di tinjau menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

V. PENUTUP

Pada bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran-saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian permasalahan yang berguna dan dapat menambah wawasan tentang ilmu hukum khususnya hukum pidana.


(19)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Marbun, B.N. 2006. Kamus Hukum Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Citra Aditya

Bhakti, Bandung.

Prasetyo, Rudi. 2006. Relevansi Barang bukti Dalam Pemidanaan Narkotika. Tempo interaktif. (30 Desember 2006).

Sasangka, Hari. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Mandar Maju, Bandung.

Satriyo, Djoko. 2003. Permasalahan Narkoba di Indonesia dan Penanggulangannya. Bina Aksara, Bogor.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelititan Hukum. UI Press, Jakarta. Subekti. 1985. Hukum Pembuktian. Berita Penerbit, Jakarta.

Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Rhineka Cipta. Jakarta

Tirtaadmadja, M. H. 1996. Kedudukan Jaksa dan Acara Pemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata. Djambatan. Jakarta

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Departemen Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php (diakses tanggal 24-02-2010) http://www.suarakarya.com/8501/29/htm (diakses tanggal 24-02-2010)


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori dan Sistem Pembuktian

1. Teori dan Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana

Perngertian hukum acara pidana adalah suatu rangkaian peraturan-peraturan yang menurut cara-cara bagaimana badan-badan Pemerintah yang berkuasa, yaitu dari kepolisian, kejaksaan, sampai kepada pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara yang mengadukan hukum pidana. Oleh karena itu dalam hukum acara pidana ada 2 (dua) macam kepentingan, yaitu (Tanu Subroto, 1989 : 12) : 1. Kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan dengan adil

sedemikian rupa, sehingga jangan sampai seorang tidak berdosa mendapat hukuman, atau memang kalau ia berdosa, jangan sampai mendapat hukuman yang lebih berat, tidak berimbang dengan kesalahannya.

2. Kepentingan masyarakat, bahwa seorang yang telah melanggar suatu peraturan hukum yang setimpal dengan kesalahannya guna keamanan masyarakat.

Asas yang berlaku di Negara kita berdasarkan hukum acara pidana menyatakan bahwa setiap orang wajib untuk dianggap tidak bersalah sebelum adanya suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijde) atau dinamakan “asas preasumptio of innocence”.


(21)

Tujuan hukum acara pidana adalah untuk menegakkan atau memelihara ketertiban umum sedangkan hukum acara itu motor pelaksanaan dari hukum acara pidana material yang tidak dapat dipisah-pisahkan oleh karena tanpa hukum acara pidana. Jadi hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang dibuat oleh suatu negara, agar waktu timbul persangkaan telah terjadi pelanggaran undang-undang pidana, untuk dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Tanu Subroto, 1989 : 21) :

a. Menyuruh alat-alat negara untuk mengusut tentang benar tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana.

b. Menyuruh melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk penangkapan bagi sipembuatnya, bila perlu menghukumnya.

c. Menyuruh melakukan pengusutan terhadap si pembuatnya.

d. Menyuruh mengajukan bahan-bahan pembuktian yang telah dapat dikumpulkan pada waktu mengumpulkan pengusutan tentang kebenaran terjadinya tindak pidana itu kepada hakim dan mengahadapkan tersangka ke muka hakim.

e. Menyuruh hakim menjatuhkan putusan tentang dapat tidaknya dibuktikan telah terjadinya tindak pidana tersebut dan kesalahan tersangka serta menetapkan hukuman yang akan dijatuhkan atau tindakan yang akan diambil. f. Mengajukan alat-alat hukum / upaya-upaya hukum terhadap keputusan hakim

tersebut (rechtmiddelen).

g. Menyuruh melaksanakan penjatuhan keputusan terakhir yang berisikan hukuman atau tindakan tersebut.

Ada beberapa pertimbangan yang menjadi tujuan alasan disusunnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R. Subekti, 1985 : 7) :

1. Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka/terdakwa); 2. Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan;


(22)

20

4. Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum;

5. Mewujudkan hukum acara pidana yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Yang dimaksudkan dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di muka pengadilan. Hakim di dalam melaksanakan tugasnya diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan murni, keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang dinamakan oleh undang-undang ialah alat bukti (R. Subekti, 1985 : 12).

Dengan alat bukti yang ada masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya yang dikemukakan kepada hakim yang diwajibkan untuk memutus perkara narkotika tersebut. Pembuktian benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dari acara pidana, jadi seseorang yang didakwa ternyata terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan adalah berdasarkan alat-alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim (Andi Hamzah, 1996 : 245).

Sistem atau teori-teori pembuktian Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara eropa kontinental yang lain, yaitu menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri bukan juri, seperti di Amerika Serikat dan negara-negara anglo saxon, juri umumnya terdiri dari orang awam. Juri-juri tersebutlah yang menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty seorang terdakwa, sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana (sentencing).


(23)

Ada beberapa teori atau sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara Pidana :

1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara positif (Positief Wettelijk Bewitjstheorie).

Dikatakan secara positif, hanya didasarkan oleh Undang-undang, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Kebenaran yang dicari pada sistem pembuktian ini adalah kebenaran formal (formele bewijtstheorie), oleh karena itu sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukum acara perdata.

2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan atas keyakinan hakim saja. Teori ini disebut juga conviction intime.

Teori berdasarakan keyakinan hakim saja didasarkan pada keyakinan hati nuraninya sendiri. Dengan sistem ini ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan dalam pemidanaannya dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis.

Sistem yang demikian memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan sehingga didalam penerapan dengan sistem tersebut membuat pertimbangan berdasarkan metode yang dapat mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas dengan alasan-alasan yang aneh.


(24)

22

3. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim logis (La conviction Raisonee).

Sistem teori ini disebut sistem pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya dan didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian yang disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan pada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.

Sistem atau teori ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan atas dasar keyakinannya (vrije bewijstheorie). Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan, yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee) dan yang kedua teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Persamaan dari kedua teori pembuktian ini ialah berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah, sedangakan perbedaannya ialah pertama berpangkal tolak kepada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan, kemudian berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.


(25)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang tidak didasarkan dengan suatu konklusi undang-undang, sedangkan kedua pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.

4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk)

Dalam kalimat pada Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi :

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecauali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam kalimat diatas nyata bahwa pembuktian harus didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti.

Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang dasar keyakinan hakim yang bersumber pada peraturan undang-undang-undang-undang.

Untuk Indonesia, wirjonoprojodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan


(26)

24

terdakwa, kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.

Dalam masyarakat modern sekarang ini dimana kehidupan itu sudah sangat rumit, maka diperlukan aturan-aturan yang mengatur kehidupan para warga atau masyarakat, apalagi jika diamati bahwa dirasakan adanya perubahan-perubahan kondisi sosial dalam masyarakat begitu cepat, berarti kejahatan-kejahatan yang mungkin terjadi dalam masyarakat juga sangat cepat, oleh sebab itu harus ditangani dengan segera dan sungguh-sungguh oleh aparat penegak hukum. Dalam penerapan pada setiap tahap yang dimulai dari penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan di persidangan diupayakan agar tersangka atau terdakwa dapat dipersalahkan dengan tidak meninggalkan praduga tak bersalah dan masih ada anggapan bahwa penerapan Undang-Undang Narkotika belum dilaksanakan secara konsisten, apabila ancaman atau sanksi yang diberikan belum sesuai dengan apa yang digariskan oleh pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika (Taufik Makarao, 2003 : 33).

2. Sistem Pembuktian yang Dianut di Indonesia

Sistem pembuktian yang dianut di indonesia di atur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 183, berbunyi :

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.


(27)

Isi dari pasal tersebut tidak beda jauh dengan isi pada Pasal 294 Herziene Indonesische Reglement (HIR), berbunyi :

Tidak akan djatuhkan hukuman kepada seorang pun jika hakim tidak yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang-undang yang benar bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu.

Jika direnungkan dari kedua pasal diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pembuktian yang dianut di Indonesia adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negative wettelijk stelsel), yaitu keseimbangan antara pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction in time. Rumusannya berbunyi : “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang” (M. Yahya Harahap, 2001 : 280).

Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan dari kedua unsur tersebut. Sepintas ada sisi kelemahannya dari sistem pembuktian negatif, yaitu apabila menempatkan keyakinan hakim paling berperan dan dominan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, misalnya ada terdapat motivasi yang tidak terpuji demi keuntungan pribadi dengan alasan “tidak yakin” sekalipun telah cukup terbukti menurut cara-cara dan alat-alat bukti yang sah. Keyakinan Hakim pada tahap pembuktian berperan penting dalam proses pemeriksaan di persidangan sebab pada tahap inilah ditentukan nasib terdakwa


(28)

26

terbukti bersalah atau tidak. Oleh sebab itu, para hakim harus berhati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangakan pembuktian tersebut.

Dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang dianut Hukum Acara Pidana di Indonesia, pemidanaan didasarakan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan perundang-undangan dan pada keyakinan hakim. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatur bahwa 2 (dua) alat bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim.

Dalam proses pengambilan putusan oleh majelis hakim diatur dalam pasal 182 ayat (3) sampai ayat (7) KUHAP yaitu sebagai berikut :

a. Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil putusan, dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan ruangan sidang; b. Musyawarah tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala

sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan disidang;

c. Dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan di mulai dari hakim termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya;

d. Pada asanya putusan majelis hakim merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:

d.1. Putusan diambil dengan suara terbanyak

d.2. Jika dengan suara terbanyak juga tidak dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang menguntungkan bagi terdakwa; e. pelaksanaan pengambilan putusan dicatat dalam buku himpunan putusan

yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut bersifat rahasia.


(29)

Syarat utama bagi keputusan hakim ialah keputusan yang harus beralasan sehingga dapat dipertanggungjawabkan, bukan saja kepada yang berkepentingan langsung, yaitu penuntut umum dan terdakwa, tetapi juga terhadap masyarakat umumnya. Dengan keputusannya hakim harus menunjukkan bahwa ia tidak mengambil keputusan dengan sewenang-wenang, bahwa peradilan yang ditugaskan kepadanya sebagai anggota dari kekuasaan kehakiman selalu dijunjung tinggi dan dipelihara sebaik-baiknya sehingga kepercayaan masyarakat akan penyelenggaraan peradilan layak dan tidak sia-sia (M.H. Tirtaamidjaja, 1996 : 70).

B. Barang Bukti

1. Pengertian Barang Bukti

Pada pasal yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP tidak menjelaskan pengertian barang bukti . Oleh karena itu, pengertian barang bukti yang digunakan adalah pendapat dari beberapa sarjana yang dikenal dengan istilah doktrin, yaitu:

1. Menurut Sudarsono :

Barang bukti adalah benda/barang yang digunakan untuk meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang diturunkan kepadanya (1999 : 47).

2. Menurut Rusli Muhammad :

Barang bukti adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum didepan sidang pengadilan (2007 : 214).


(30)

28

Barang bukti adalah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik, atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti disidang pengadilan (1990 : 184).

Selain itu, ciri-ciri benda yang menjadi barang bukti adalah sebagai berikut : 1. Merupakan obyek materiil, jadi benda yang tidak berwujud tidak dapat

dikatakan sebagai barang bukti. 2. Berbicara untuk diri sendiri.

3. Merupakan sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya.

4. Barang bukti tersebut harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

Berdasarkan pengertian-pengertian barang bukti diatas, dapat dilihat bahwa pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada Pasal 39 ayat (1) KUHAP yang menetapkan benda-benda apa saja yang dapat dikenai penyitaan. Oleh karena itu yang dimaksud dengan barang bukti adalah :

a. Barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;

b. Barang yang digunakan untuk membantu melakukan tindak pidana; c. Benda yang menjadi tujuan dilakukannya tindak pidana;

d. Benda yang dihasilkan dari tindak pidana.

2. Fungsi atau jenis-jenis barang bukti

Barang bukti tidak termasuk bagian dari alat bukti sebagaimana yang telah ditentukan dalam KUHAP, supaya barang bukti dapat diperoleh maka menurut R.Soesilo barang bukti harus dikirim kepada ahli untuk diperiksa dan dimintakan pendapatnya. Disamping itu dalam pengusutan perkara perlu berkas-berkas, seperti darah beracun, muntahan orang, atau barang-barang yang dipakai untuk


(31)

melakukan kejahatan dan barang-barang bukti lainnya harus dikirim kepada orang ahli untuk diperiksa dan dimintakan pendapatnya (R. Soesilo, 1997 : 83)

3. Kekuatan Pembuktian

bahwa barang bukti merupakan sarana bagi hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil serta memperkuat keyakinan dalam memutus suatu perkara pidana. Dengan demikian, barang bukti mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak terpisahkan dan dapat menguatkan hakim untuk menjadikan sebagai alat bukti dalam suatu pembuktian perkara pidana (Ratna N. A, 1989 : 20)

4. Barang Bukti dalam Tindak Pidana Narkotika

Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sesuai ketentuan pada Pasal 184 KUHAP, dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa maka disinilah fungsi penting barang bukti. Dengan kata lain barang bukti berfungsi sebagai data penunjang/pendukung bagi alat bukti dan keyakinan hakim (Ratna.1989:20).

2.1Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Penyalah guna yang digolongkan sebagai pemakai/pecandu pada tindak pidana narkotika saat menggunakan barang bukti jauh lebih sedikit dibanding dengan pengedar/penjual narkotika, diantaranya seperti narkotika yang ditemukan tidak banyak, dan pelaku dalam hal ini pemakai/pecandu belum berpengalaman artinya terjadi akibat pengaruh faktor internal dan faktor ekstrnal. Faktor internal sepeti, rasa putus asa, dan jiwa yang goncang.


(32)

30

Sedangkan faktor eksternal seperti, pergaulan bebas, dan pengaruh lingkungan.

2.2Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Penyalah guna yang dikategorikan sebagai pengedar/penjual dalam tindak pidana narkotika jauh lebih berpengalaman dibanding pemakai/pecandu narkotika, sarana barang bukti sampai kepada proses kerja atau operasionalnya lebih terorganisir dibanding pemakai/pecandu narkotika, jumlah barang bukti yang ditemukan lebih banyak dan komplit, seperti menggunakan kendaraan, timbangan, pengiriman paket yang dikemas rapih dalam bentuk kardus, jaringan yang digunakan berantai, sehingga tidak jarang dalam persidangan tahap pembuktian bagi terpidana pengedar/penjual narkotika jauh lebih rumit dibanding pemakai/pecandu narkotika.

C. Tindak Pidana Narkotika 1. Pengertian Tindak Pidana

tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif) kejahatan atau perbuatan jahat yang dapat diartikan secara yuridis atau kriminonologis. Kejahatan atau perbuatan dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan yang seperti terwujud in-austracto dalam peraturan pidana, sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara kongkret. Mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda, sebagai berikut:


(33)

a. Simons

Menurut Simons, tindak pidana adalah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab” (dalam Moeljatno, 1987 : 56).

b. Moeljatno

Perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut” (1987 : 54).

2. Narkotika

Secara umum yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan kedalam tubuh. Menurut undang-undang narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang.

Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah “narcotics” pada farmacologi (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drugs” , yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh sipemakai, yaitu :

a. Mempengaruhi kesadaran;


(34)

32

c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa: 1) Penenang

2) Perangsang (bukan gairah sex)

3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dengan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).

Pada mulanya zat narkotika ditemukan orang yang penggunaannya ditujukan untuk kepentingan manusia, khususnya dibidang pengobatan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obat semacam narkotika berkembang juga cara pengolahannya. Namun belakangan diketahui pula bahwa zat-zat narkotika tersebut memiliki daya kecanduan yang bias menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya terus-menerus pada obat-obat narkotika itu.

Zat-zat narkotika yang semula ditujukan untuk kepentingan pengobatan, telah disalahgunakan fungsinya dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi khusunya dibidang obat-obatan sehingga dampaknya dapat mengancam setiap umat manusia dan semua negara. Jenis-jenis narkotika didalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 pada Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi:

1. Narkotika golongan I


(35)

a. Papaver, adalah tanaman papaver somniverum L, dan termasuk semua bagian tanaman tersebut termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

b. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari tanaman buah papaver somniveru L yang hanya mengalami pengolahan sekadar untuk pembungkus tanpa memperhaitkan kadar morfinnya

Papaver somniverum adalah jenis heroin dari golongan I narkotika. Tanaman ini menghasilkan codeine, morphine, dan opium. Heroin sering disebut juga dengan putau, zat ini sangat berbahaya jika digunakan dengan kelebihan dosis, bisa mati seketika.

c. Opium masak terdiri dari:

1) Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu proses pengolahan, khusunya dengan pelarutan, pemanasan, dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

2) Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu telah dicampur daun atau bahan lain.

3) Jicingko, yaitu hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4) Morfina, adalah alkaloida utama dari opium dengan rumus kimia C17 H19 NO3.

5) Koka, yaitu semua tanaman dari genus Eryhtroxylon dari keluarga Erythoroxylaceae termasuk buah dan bijinya.


(36)

34

6) Daun koka, yaitu daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Eryhtroxylon dari keluarga Erythoroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.

7) Kokain mentah, adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.

8) Ganja, adalah semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk, biji, buah, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk dammar ganja dan hashis.

9) Damar ganja, adalah dammar yang diambil dari tanaman ganja, termasuk hasil pengolahannya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.

10) Morphine, adalah zat utama yang berkhasiat narkotika yang terdapat pada candu mentah, diperoleh dengan jalan mengolah secara kimia. Morphine termasuk kedalam narkotika yang membahayakan dan memiliki daya eskalasi yang relative cepat, dimana seorang pecandu untuk memperoleh rangsangan yang diingini selalu memerlukan penambahan dosis yang lambat laun membahayakan jiwa.

11) Heroin, termasuk narkotika golongan I yang menghasilkan codeine morphine dan opium, putaw, adalah sebutan lain dari heroin yang berupa serbuk putih dengan rasa pahit, selain putih, ada kalanya berwarna coklat atau dadu, tergantung pada bahan campurannya, seperti kakao, tawas, kina, tepung, jagung, atau tepung susu. Heroin dapat


(37)

menghilangkan rasa nyeri. Cara penggunaannya yaitu di suntik ke dalam vena, disedot, atau dimakan (jarang sekali).

2. Narkotika golongan II

Jenis-jenis narkotika golongan II, antara lain:

a) Ganja, berasal dari bunga dan daun-daun sejenis tanaman rumput bernama cannabi sativa. Sebutan lain daari ganja yaitu mariyuana, sejenis dengan mariyuana adalah hashis yang dibuat dari damar tumbuhan cannabis sativa. Efek dari hasihis lebih kuat daripada efek dari ganja. Ganja di Indonesia pada umumnya banyak terdapat di daerah Aceh, walaupun didaerah lain pun bisa tumbuh.

b) minyak ganja, yaitu sejenis dammar atau getah ganja yang disebut dengan hashis yang diperoleh melalui proses penyulingan.

c) Ekstacy, jenis narkotika ini tergolong kedalam narkotika golongan II. Merk terkenal dalam perdagangan ekstacy, seperti butterfly, black heart, yuppie drug, dan lain-lain. Dalam farmakologi ekstacy ini tergolong sebagai psiko-stamulasia, seperti amphetamine, kafein, kokain, khat dan nikotin yang direkayasa dengan tujuan untuk bersenang-senang.

d) Meth-Amphetamine, disebut juga dengan nama shabu-shabu. Dalam farmakologi termasuk psiko-stamulasia yang tergolong jenis narkotika golongan II. Bahaya dan akibat mengkonsumsi narkotika jenis ini hampir sama dengan ecstasy tetapi rasa curiga (paranoid) dan halusinasi lebih menonjol, sengaja dibuat untuk bersenang-senang seperti halnya ekstacy.


(38)

36

Jenis-jenis narkotika golongan ini cenderung kedalam jenis minum-minuman yang mengandung kadar alkohol tinggi, seperti beer, wine, whisky, vodka, dan lain-lain. Pecandu alcohol cenderung mengalami kurang gizi karena alkohol menghalangi penyerapan sari makanan seperti glukosa, asam amino, asam folat, calcium, magnesium, dan vitamin B12.

Keracunan alkohol akan menimbulkan gejala muka merah, bicara cadel, sempoyongan waktu berjalan, karena gangguan keseimbangan dan koordinasi motorik, dan akibat yang paling fatal adalah kelainan fungsi susunan syaraf pusat seperti neuropati yang dapat mengakibatkan koma.

Dari ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dari segi perbuatannya, tindak pidana narkotika dikelompokkan sebagai berikut:

a. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika. b. Kejahatan yang menyakut jual beli narkotika.

c. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika. d. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika.

e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika. f. Kejahatan yang termasuk tidak melaporkan pecandu narkotika. g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika. h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika.

i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika. j. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Afiah, Ratna Nurul. 1989. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Hasibuan, Ansori. dan Ahmad, Ruben. 1990. Hukum Acara Pidana. Angkasa,

Bandung.

Makarao, Moh. Taufik. dan Suhasril. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Moeljatno. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta. Subroto, Tanu. 1989. Dasar-dasar Hukum Acara Pidana. Armico, Bandung. Subekti. 1985. Hukum Pembuktian. Berita Penerbit, Jakarta.

Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Rineka Cipta, Jakarta.

Tirtaadmadja, M. H. 1996. Kedudukan Jaksa dan Acara Pemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata. Djambatan. Jakarta

Yahya Harahap, M. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika, Jakarta.

___________.1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, pendekatan yuridis normatif adalah menelaah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan pendidikan hukum tertulis. Pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari terhadap hal-hal yang bersifat teoretis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan hukum serta sistem hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian dilapangan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya keberadaan penggunaan berupa barang bukti dalam menentukan kualitas pengedar dan pemakai narkotika tersebut.

Tipe penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang bersifat deskriftif kualitatif untuk mendeskripsikan perbedaan secara garis tegas apakah seorang penyalah guna narkotika dapat dikategorikan sebagai pemakai atau pengedar. Dalam kondisi tertentu seseorang bisa menyatakan dirinya sebagai pemakai, namun dalam kondisi tertentu pula seseorang bisa bertindak sebagai pengedar. Oleh sebab itu, penulis tetap berkeyakinan untuk menerapkan batas standar minimal


(41)

serta maksimal Narkotika, yang berada dalam kekuasaan pelaku, sehingga dapat membedakan setiap penyalah guna narkotika antara pengguna dengan pengedar narkotika secara tidak sah .

B. Sumber dan Jenis Data

1. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research) terhadap bahan-bahan hukum.

2. Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau lapangan, dan data yang diperoleh dari bahan pustaka. (Soerjono Soekanto, 1986 : 11) jenis data tersebut yaitu :

a. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan narasumber yang berhubungan dengan objek permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu penelitian yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku, makalah-makalah, media cetak yang berkaitan dengan permasalahan yang ada. Kemudian data tersebut dipelajari dan dianalisis yang kemudian disebut sebagai bahan hukum. Bahan hukum tersebut dikelompokkan menjadi tiga bahan, yaitu:


(42)

40

a. Bahan Hukum Primer

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika;

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika;

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer, misalnya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), Keputusan Presiden (Keppres) seperti Keppres Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, dan Peraturan Daerah (Perda) yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier antara lain berupa bahan yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang menunjang penulisan antara lain buku-buku, litertur-literatur hasil penelitian, makalah-makalah hukum, kamus bahasa Indonesia, media cetak maupun media elektronik.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari unit atau manusia (dapat juga berbentuk gejala atau peristiwa) yang akan diduga dan mempunyai ciri-ciri yang sama (Amiruddin dan H.Zainal Asikin, 2004 : 95).


(43)

Dalam hubungannya dengan penulisan skripsi ini yang dijadikan populasi adalah aparat penegak hukum yaitu hakim di Pengadilan Negeri kelas I A Tanjung Karang.

Sampel adalah sejumlah objek yang merupakan bagian dari populasi serta mempunyai persamaan sifat dengan populasi (Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2004 : 96). Sedangkan sampel yang akan dijadikan responden dalam penelitian ini adalah :

1. Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung = 2 (dua) orang Karang

Jumlah Responden = 2 (dua) orang

Sehubungan dengan penelitian yang akan penulis lakukan maka dalam penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti menggunakan metode purposive sampling, yaitu suatu metode pengambilan anggota sample berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penelitian (Irawan Soehartono, 1999 : 89).

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi pustaka. Pustaka yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan dan buku karya tulis bidang hukum. Kegiatan studi pustaka dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a. Menentukan sumber data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, dokumen hukum, catatan hukum, dan literatur hukum.


(44)

42

b. Identifikasi data sekunder yang diperlukan yaitu proses mencari dan mengenal bahan hukum.

c. Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah dengan cara mengutip atau pencatatan.

d. Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.

2. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan dengan cara :

a. Pemeriksaan data yaitu mengoreksi data yang sudah terkumpul apakah sudah lengkap, benar, dan sesuai dengan masalah.

b. Penandaan data yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data seperti buku, literatur, perundang-undangan atau dokumen. c. Rekonstruksi data yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, dan

logis sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan.

d. Sistematisasi data yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

E. Analisis Data

Setelah data diperoleh dan kemudian diolah, maka selanjutnya dilakukan analisis data secara kualitatif, dimana data tersebut diuraikan kedalam bentuk kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis sehingga diperoleh gambaran secara umum yang kemudian dapat ditarik suatu kesimpulan dan saran yang berupa jawaban permaslahan berdasarkan hasil penelitian.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin dan Asikin, Zainal. 2004. Pengantar Metodelogi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Husin, Sanusi. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Soehartono, Irawan. 1999. Metode Penelitian Sosial. Alumni. Bandung.

Universitas Lampung, 2007. Format Penulisan Karya Ilmiah. PRESS. Bandar Lampung.


(46)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, terlebih dahulu penulis akan menguraikan data mengenai karakteristik dari para responden. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai objek yang dijadikan responden, sehingga dapat menimbulkan keyakinan bahwa hasil dari penelitian ini adalah benar-benar berasal dari sumber yang dapat dipercaya kebenar-benarannya. Adapun responden dalam penelitian ini adalah :

1. Nama : Aruminingsih, S.H., M.H. Umur : 53 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : Strata II (Hukum)

Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang

2. Nama : Sri Sennaningsi, S.H. Umur : 50 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : Strata I (Hukum)


(47)

Penentuan responden tersebut didasari pada pertimbangan bahwa mereka dapat mewakili lembaga atau institusinya sehingga setiap permasalahan yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini dapat terjawab. Jawaban yang diberikan adalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman para responden di lembaga atau institusinya, sehingga dalam penelitian ini dapat diperoleh sumber dan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hasil penelitian yang dipaparkan akan disertai dengan analisis penulis.

B. Ketentuan Barang Bukti dan Alat Bukti pada Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Dapat kita lihat, bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika selain mengatur penggunaan narkotika, undang-undang ini juga mengatur ketentuan-ketentuan tentang perbuatan penyalahgunaan narkotika yang tergolong tindak kejahatan. Jika dipahami pada Bab XV Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, setiap perbuatan yang memenuhi unsur pidana pada Pasal-pasal dalam Bab XV akan di kenakan sanksi pidana, dan pemberian sanksi pidana juga ditentukan dengan jenis perbuatannya disertai dengan kuantitas jumlah barang bukti yang telah dicantumkan pada setiap pasal dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini dapat di lihat dari kutipan Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :

Pasal 112 :

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua


(48)

46

belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- dan paling banyak Rp. 8000.000.000,-

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah ⅓ (sepertiga)

Pasal 114 :

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika gololngan I dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1000.000.000,- dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,-.

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah ⅓.

Bagi seorang hakim, dalam hal membuktikan unsur-unsur pidana pada Pasal 112 dan 114 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidaklah mengalami kendala. Menurut hakim pada ketentuan pidana di dalam Pasal 112 dan 114 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 telah memberikan keterangan lebih terperinci bila di bandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya yaitu :

1. Pada Pasal 112 ayat (1) di jelaskan bahwa setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman diberikan sanksi pidana penjara minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 12 (duabelas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.


(49)

800.000.000,- dan paling banyak Rp. 8000.000.000,- . Pada ayat (2) di pertegas lagi dengan kuantitas barang buktinya yaitu jika berat barang bukti tesebut melebihi 5 (lima) gram maka sanksi pidana yang di berikan lebih besar dari sanksi pidana pada ayat (1);

2. Pada Pasal 114 ayat (1) di jelaskan juga bahwa Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika gololngan I dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1000.000.000,- dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,-, dan pada ayat (2) di pertegas lagi dengan kuantitas barang buktinya yaitu jika berat barang bukti tesebut melebihi 5 (lima) gram maka sanksi pidana yang di berikan lebih besar dari sanksi pidana pada ayat (1).

Menurut Sri Sennaningsi isi pasal tersebut dibuat seperti diatas, karena seiring perkembangan zaman peredaran narkotika pada saat ini jauh lebih besar jumlahnya bila dibandingkan dengan peredaran narkotika pada 10 tahun kebelakang, dan perkara tindak pidana narkotika yang masuk ke pengadilan setiap tahunnya tidak pernah berkurang (Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang).

Menurut Sri Sennaningsi, dalam pemeriksaan persidangan, seorang hakim setelah memeriksa dan memperhatikan alat-alat bukti yang ada, maka akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :


(50)

48

a. Perbuatan apa yang telah terbukti dari hasil pemeriksaan persidangan; b. Apakah terdakwa telah terbukti bersalah melakukan perbuatan tersebut; c. Kejahatan atau pelanggaran apa yang telah dilakukan tedakwa;

d. Pidana apa yang harus dijatuhkan pada diri terdakwa

Dasar hakim saat melakukan pemeriksaan di persidangan adalah surat dakwaan yang berisi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa pada hari, tanggal, jam serta tempat sebagaimana didakwakan. Oleh karena itu yang dibuktikan dalam persidangan adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yang dianggap melanggar ketentuan tindak pidana, misalnya pada Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang narkotika seperti :

1. memiliki, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman ditambah dengan barang bukti berupa narkotika golongan I bukan tanaman(Pasal 112).

2. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika gololngan I ditambah dengan barang bukti berupa narkotika golongan I bukan tanaman (Pasal 114).

Bagi hakim, untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sesuai ketentuan pada Pasal 184 KUHAP, maka hakim untuk memperoleh keyakinan atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa maka disinilah fungsi penting barang bukti. Dengan kata lain barang bukti berfungsi sebagai data


(51)

penunjang/pendukung bagi alat bukti dan keyakinan hakim. Pada Pasal 112 dan 114 dapat di pahami bahwa :

a. Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Penyalah guna yang digolongkan sebagai pemakai/pecandu pada tindak pidana narkotika saat menggunakan barang bukti jauh lebih sedikit dibanding dengan pengedar/penjual narkotika, diantaranya seperti narkotika yang ditemukan tidak banyak, dan pelaku dalam hal ini pemakai/pecandu belum berpengalaman artinya terjadi akibat pengaruh faktor internal dan faktor ekstrnal.

b. Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Penyalah guna yang dikategorikan sebagai pengedar/penjual dalam tindak pidana narkotika jauh lebih berpengalaman dibanding pemakai/pecandu narkotika, sarana barang bukti sampai kepada proses kerja atau operasionalnya lebih terorganisir dibanding pemakai/pecandu narkotika, jumlah barang bukti yang ditemukan lebih banyak dan komplit, seperti menggunakan kendaraan, timbangan, pengiriman paket yang dikemas rapih dalam bentuk kardus, jaringan yang digunakan berantai, sehingga tidak jarang dalam persidangan tahap pembuktian bagi terpidana pengedar/penjual narkotika jauh lebih rumit dibanding pemakai/pecandu narkotika.

Menurut Sri Sennaningsi mengenai ketentuan alat-alat bukti pada Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan


(52)

50

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal ada lima macam alat-alat bukti yang sah, yakni (Rusli Muhammad, 2007 : 192) :

a. Keterangan saksi

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan dalam pemeriksaan perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu berdasarkan pemeriksaan saksi.

Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP yang dimaksud keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

b. Keterangan ahli

Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah “keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus hal yang diperlukan untuk membuat tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Pada perinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan yang melekat pada alat bukti keterangan saksi, yaitu mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrjin bewijskracht.


(53)

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Hari Sasangka, 2003 : 62).

Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat adalah bebas, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mengikat atau menentukan penilaian sepenuhnya pada keyakinan hakim. Alasan kekuatan pembuktian bernilai bebas adalah atas proses perkara pada pembuktian mencari kebenaran materi keyakinan (sejati) atas keyakinan hakim ataupun dari sudut minimum pembuktian (Rusli Muhammad, 2007 : 192).

d. Alat bukti petunjuk

Pada perinsipnya, alat bukti petunjuk hanya merupakan kesimpulan dari alat bukti lainnya sehingga untuk menjadi alat bukti perlu adanya alat bukti lainnya. Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk diatur pada Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal tersebut memberikan pengertian alat bukti petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian, atau keadaan yang mempunyai persesuaian antara yang satu dan yang lainnya atau dengan tindak pidana itu sendiri yang menunjukkan adanya suatu tindak pidana dan seorang pelakunya.

e. Alat bukti keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri ( Pasal 189 ayat (1) KUHAP).


(54)

52

Pengertian keterangan terdakwa adalah lebih luas dibandingkan dengan pengakuan terdakwa. Sehingga dengan memakai keterangan terdakwa dapat dikatakan lebih maju daripada pengakuan terdakwa.

Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya barang bukti dan alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum/terdakwa di buat agar menjadi dasar untuk membuat keputusan.

Dari uraian diatas penulis dapat disimpulkan, bahwa sistem pembuktian yang dianut di Indonesia adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negative wettelijk stelsel), yaitu keseimbangan antara pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction in time. Adapun alasnnya karena :

1. Faktor keyakinan Hakim “dibatasi”, artinya keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas, logis, dan benar-benar dapat diterima dengan akal sehat, tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.

2. Sistem pembuktian yang berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dengan undang-undang, artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan dibawah kewenangan hakim, tetapi lebih kepada kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas:


(55)

terdakwa baru benar-benar dihukum jika apa yang didakwakan benar-benar terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

C. Keterkaitan Penggunaan Barang Bukti dan Alat Bukti dalam Putusan Hakim Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Pembahasan diatas telah dibahas tentang Ketentuan Barang Bukti dan Alat Bukti pada Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan dalam bagian ini akan dipaparkan mengenai penerapan undang-undang narkotika atas putusan hakim di pengadilan negeri tanjung karang dengan nomor : 413/Pid.B/2010/PN.TK dan nomor : 424/Pid.B/2010/PN.TK dalam penyelesaian tindak pidana narkotika Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika berdasarkan alat bukti, barang bukti, dan keyakinan hakim. Data lapangan berupa putusan pengadilan yang diambil dan diperoleh dari kantor Pengadilan Negeri Tanjung Karang, selaku sumber perolehan data dalam perkara tindak pidana narkotika.

Adapun kasus posisi pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tingkat pertama dengan identitas terdakwa adalah Muhammad Sukron alias Sowak, tempat lahir di Lampung selatan usia 32 tahun berjenis kelamin laki-laki, berwarga negara indonesia, bertempat tinggal di wilayah Bandar Lampung, beragama islam sebagai tuna karya tanpa di dampingi penasehat hukum bahwa berdasarkan surat dakwaan telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum adalah dakwaan primer sebagai berikut :


(56)

54

Kasus I :

Bahwa Muhammad Sukron alias sowak pada hari selasa tanggal 31 oktober 2009 sekira jam 12.00 wib, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan oktober 2009, bertempat di Gg. sehati kelurahan sukabumi, kecamatan sukabumi bandar lampung, secara hak dan tanpa melawan hukum, memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau persediaan, atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman yaitu heroin/putau sebanyak 2 (dua) paket dengan berat netto 0,1001 gram yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

a. Ketika petugas dari Polda Lampung yaitu saksi Darwis Susandi dan saksi Koko Hendrawan sedang melaksanakan tugas observasi wilayah mendapat informasi dari masyarakat tempat tersebut sering dijadikan transaksi narkotika ;

b. Selanjutnya para saksi langsung melakukan penyelidikan dan melihat seseorang yang mencurigakan yaitu terdakwa muhammad sukron alias sowak, kemudian dilakukan penangkapan dan penggeledahan kepada terdakwa, pada diri terdakwa di temukan 2 (dua) paket narkotika jenis heroin/putau yang disimpan didalam toilet kontrakannya dan terdakwa mendapatkan narkotika jenis heorin/putau dari seseorang bernama faisal (DPO) dengan harga Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) untuk 1 XL/2009/LAB. NARKOBA tanggal 30 Nopember 2009 dengan kesimpulan bahwa barang bukti berupa serbuk warna putih kecoklatan dengan berat 0,1001 gram tersebut adalah benar mengandung heroina dan terdaftar dalam golongan I nomor urut 19 Lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;


(1)

SANWACANA

Penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas segala anugrah dan karuniaNya akhirnya penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul Analisis Yuridis Keterkaitan Penggunaan Barang Bukti dalam Putusan Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pada awal perjalanan banyak sekali kendala dan hambatan yang penulis temui, tetapi berkat izin dari Tuhan Yesus Kristus akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan juga.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dalam penulisan skripsi ini, maka dari itu saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan skripsi ini.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini bukanlah hasil jerih payah dari penulis sendiri melainkan banyak bantuan dari berbagai pihak sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu, dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Adius Semenguk, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana dan Pembimbing Akademik penulis sekaligus pembahas I atas masukan serta saran yang diberikan kepada penulis untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini;


(2)

3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah sabar membimbing dan mencurahkan pikirannya kepada penulis selama menyelesaikan penulisan skripsi ini;

5. Bapak Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah memberikan masukan, saran dan kritikan kepada penulis demi sempurnanya skripsi ini. 6. Seluruh Dosen serta segenap karyawan/i Fakultas Hukum Universitas

Lampung yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa;

7. Ibu Aruminingsih dan Ibu Sri Senaninggsih selaku responden dari Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melakukan penelitian dalam menyelesaikan skripsi ini;

8. Terkhusus rasa terima kasih yang setulusnya penulis ucapkan untuk keluarga tercinta, Papa dan Mama, om dan tante, Opung doli dan opung boru untuk selalu mendoakan keberhasilan penulis, tidak lupa keluarga;

9. Sahabat-sahabat cadaz gangster penulis (Andyan, Reddy, Andri, Bram, Ical, Jimmy, Krisna, dkk) terima kasih atas kebersamaan dan dukungannya;

10.Teman-teman angkatan 2006 Fakultas Hukum Unila (Japrianto, Dewi, Renata, Roy, Puja, Jaka, Hatta, Rangga, Kiki Setya, Landri Valeska, dkk) terima kasih atas kebersamaannya;

11.motor supra fit yang selalu membawa dan mengantar penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

12.Kepada semua pihak yang terlibat yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.


(3)

Akhir kata, penulis memohon maaf kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, tetapi kalian semua tetap ada dihati. Semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amien.

Bandar Lampung, 24 Agustus 2010 Penulis,


(4)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Eko Raharjo, S.H., M.H. ………

Sekertaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ……….

Penguji Utama : Diah Gustiniati M, S.H., M.H. ………..

2. Dekan Fakultas Hukum

Hi. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP 195609011981031003


(5)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa puji dan syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa pencipta alam semesta beserta isinya,

Skripsi Ini Kupersembahkan Kepada :

Papa dan Mama yang telah menyayangiku dengan tulus, ikhlas dan serta doa yang selalu menyertai dan menerangi perjalanan hidupku

hingga akhir hayatku.

Adik-adikku tercinta, Berman Fernandez dan Yulita Patrechia yang telah memberi warna dalam kehidupanku serta selalu mendoakan

keberhasilanku.

Serta Almamaterku Fakultas Hukum Universitas Lampung

Hidup Mahasiswa..!!

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan nikmat dan karunianya untuk kita semua sampai akhir zaman. (amien)


(6)

Kata Mutiara :

“ RAHASIA KESUKSESAN adalah ketidakpedulian akan hasil yang

dicapai, melakukan yang terbaik saat ini, dan biarlah hasilnya

terbukti nanti “