PajakMilikBersama Strategi Branding Dir

#PajakMilikBersama : Strategi Branding Direktorat Jenderal Pajak Melalui Twitter
Alfiah Kusumaningrum
pbn.alfiahk@gmail.com
” #PajakMilikBersama @DitjenPajakRI : Menkeu Bambang Brodjonegoro menyambut baik
dukungan Kapolri untuk menyokong tugas DJP di bidang hukum. #live “ (19 Januari 2016)
Salah satu kicauan akun Twitter resmi milik Direktorat Jenderal Pajak yang dikelola oleh
Subdit Humas DJP. Follower akun ini tercatat telah mencapai 17.000-an followers.
__
OECD, pada Oktober 2011, merilis sebuah Information Note dari FTA (Forum on Tax
Administration) yang berjudul “Social Media Technologies and Tax Administration”. TPA
melakukan riset ke 25 negara anggota OECD seperti Australia, Singapura, UK, USA, dan lainlain. Hasil riset tersebut menunjukkan beberapa social media digunakan oleh otoritas pajak
setempat untuk berkomunikasi dengan para taxpayer/stakeholder. Platform sosmed yang
digunakan adalah Twitter, Facebook, dan Youtube, dan beberapa platform medsos lain. Hasil
riset tersebut yang menunjukkan bahwa Twitter ternyata mayoritas dipergunakan oleh otoritas
pajak negara tersebut. Oleh karena itu, penulis spesifik menganalisis tentang branding
Direktorat Jenderal Pajak melalui Twitter.
Tahun 2010 Direktorat Jenderal Pajak dihantam oleh kasus besar Gayus Tambunan yang
membuat citra instansi sangat terpuruk. Perlahan, DJP melakukan perbaikan secara
menyeluruh. Upaya pengendalian internal melalui KITSDA semakin diperketat. Tidak hanya
perbaikan kinerja ke dalam, DJP juga mengambil kebijakan eksternal dalam rangka membuat
masyarakat yakin bahwa DJP telah sembuh dan dipercaya oleh publik. Salah satu langkah

untuk memperbaiki reputasi itu adalah dengan pembuatan akun Twitter @DitjenPajakRI pada
April 2012.
Bagaimana strategi branding Direktorat Jenderal Pajak melalui Twitter seharusnya
dilakukan? Penulis akan memaparkannya berdasarkan tiga prinsip Open Government oleh
Stuart et all. Stuart Shulman et all dalam jurnalnya yang berjudul “Government 2.0: Making
Connection between Citizens, Data and Government” menyebutkan ada tiga prinsip yang perlu
diperhatikan dalam Open Government yaitu : Transparent, Participate, dan Collaborate.
Transparent. Salah satu tuit pembuka di atas adalah contoh keterbukaan informasi yang
dilakukan oleh DJP. Hashtag #live mengindikasikan bahwa kicauan tersebut merupakan
kejadian yang sedang berlangsung. Sebuah konsep umum memandang siapa yang paling cepat
1

mendapatkan informasi, maka dia lebih cepat menguasai dunia. Tidak muluk-muluk perkara
target penerimaan yang akan tercapai secara simultan akibat branding sosial media, melainkan
keterbukaan informasi yang segera cepat diterima oleh publik. Berapa penerimaan pajak per
tanggal sekian, apa saja agenda penting DJP yang perlu diketahui oleh publik, dan informasi
lainnya akan segera mencapai sasaran. Contoh kicauan yang akan sangat berdampak pada
publik adalah: perubahan tarif pengenaan pajak. Sebagaimana diketahui, Kitab Undangundang Perpajakan diwacanakan akan direvisi. Sosial Media sebagai alat branding dapat
menyampaikan perkembangan terbaru, ataupun perubahan tarif dan kebijakan melalui
serangkaian tuit dan hashtag terntentu sehingga mudah untuk ditelusuri user. Akurasi, adalah

kunci penting dalam prinsip Tranparan ini. Laporan/data/informasi perpajakan yang di-share
haruslah valid.
Hasil riset OECD menunjukkan aktivitas apa saja yang dilakukan oleh negara-negara
obyek riset terhadap branding via Twitter. Di Singapura, otoritas pajak memakai Twitter
sebagai tax reminder serta publikasi inisiatif kebijakan perpajakan. Di Amerika Serikat, akun
resmi IRS menjadikan Twitter sebagai sarana edukasi interaktif kepada wajib pajak dengan
memberikan tips-tips bagaimana administrasi perpajakan yang benar. Kanada menjadikan akun
Twitter-nya untuk mempromote website resmi otoritas pajak dengan memberikan link-link
pada kicauanya. Intinya, semua informasi adalah terbuka dan dapat diakses oleh semua
follower. Berdasarkan analisis penulis, akun @DitjenPajakRI telah optimal dalam rangka
penyampaian informasi. Salah satunya informasi mengenai kurs pajak telah rutin disampaikan.
Perbaikan perlu dilakukan dalam hal sifat komunikasi yang hanya satu arah serta bukan
merupakan informasi tangan pertama, seringnya akun @ditjenpajakRI hanya me-retweet info
akun lain.
Participate. Kembali ke tujuan awal, perbaikan reputasi. Bagaimana mendapatkan
kepercayaan publik? Tentu saja melibatkan publik/taxpayer/masyarakat dalam proses bisnis
kepemerintahan. Dengan sosial media, partisipasi masyarakat langsung terpotong oleh
serangkaian birokrasi berbelit yang harus dilakukan di kehidupan nyata. Misalnya, surat
pengaduan, atau bahkan kring pajak yang tidak setiap hari akan dihubungi oleh wajib pajak.
Namun dengan sosial media, terkhusus Twitter, partisipasi menjadi seperti dialog langsung

antara admin dengan user. Semua masalah perpajakan dapat ditanyakan. Dalam hal ini
diperlukan rules tersendiri untuk manajemen akun sosial media. Beberapa akun besar, seperti
Telkomsel, memiliki admin lebih dari satu yang akan dengan cepat tanggap me-reply semua
keluhan konsumen. User akan segera terpuaskan jika pertanyaannya dijawab dengan baik.
Bahkan hanya untuk pertanyaan sederhana seperti “bagaimana cara membuat NPWP?”. Tentu
2

saja ada kode etik yang perlu diketahui jika berinteraksi di dunia maya. Partisipasi masyarakat
tidak jarang berbentuk makian, keluhan dengan kata-kata kasar yang dapat di-trace oleh
seluruh follower. Oleh karenanya, partisipasi masyarakat harus direspon dengan reply yang
cepat, santun, dan berkelanjutan. Salah satu karakteristik keunggulan Twitter adalah one-toone dialog yang berkesinambungan. Ini adalah salah satu bentuk partisipasi yang secara
langsung dapat menaikkan citra DJP. Kepuasan layanan individu, melalui media apapun,
adalah indikator kepercayaan publik pada suatu instansi. Dalam prinsip Partisipasi ini, hal yang
penting adalah cara komunikasi dan menampung aspirasi taxpayer.
Collaborate. Adalah next step setelah kepuasan layanan user tercapai. Belum ada riset
yang mengukur bagaimana sistem manajemen akun twitter DJP mempengaruhi kepuasan wajib
pajak. Yang bisa dilakukan sekarang adalah kolaborasi. Apa maksudnya? Follower merupakan
perpanjangan tangan dari satu akun utama. Setiap informasi penting yang disampaikan oleh
Direktorat Jenderal Pajak akan berakhir begitu saja jika 17.000 ribu follower hanya membaca
sekilas tanpa reaksi apa-apa. Kelemahan penyebaran informasi melalui sosial media antara lain

sikap ignorance dari follower yang seolah-olah lewat begitu saja. Bagaimana strateginya?
Akun Twitter @Kemenkeu_RI beberapa waktu yang lalu melakukan “rekrutmen” sukarela
kepada follower-nya yang aktif dan memiliki lebih dari 1000 follower untuk secara
berkelanjutan melakukan re-tweet semua informasi tentang Kementerian Keuangan. Direktorat
Jenderal Pajak memiliki potensi luar biasa dalam hal pegawai muda yang aktif bersosial media.
Pegawai-pegawai ini seharusnya bisa menjadi agent of branding untuk publishing semua
informasi tentang perpajakan. Menurut penulis, hal ini yang belum dilihat oleh Subdit Humas
DJP. Sebagai admin, tim pengelola belum mampu memanfaatkan follower, baik itu follower
internal DJP maupun masyarakat awam untuk ikut berkolaborasi menjadi satu tim branding.
Padahal dalam dunia maya, membuat viral suatu informasi adalah sangat mudah jika melalui
berbagai retweet yang akan berefek domino.
Twitter adalah salah satu media yang paling cepat membuat viral suatu informasi.
Apalagi

dengan

hashtag

fenomenal


yang

segera

menyebar

dan

tertelusuri.

#PajakMilikBersama merupakan suatu karakter yang diciptakan Direktorat Jenderal Pajak
untuk merangkul followernya. Penulis mengambil contoh lain, yakni hastag #SadarAPBN yang
kini tengah dengan giat dikembangkan oleh akun @Kemenkeu_RI di setiap kicauannya.
Menurut pengamatan penulis, society menjadi lebih concern terhadap isu Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara. Akun @Kemenkeu_RI berusaha membangun citra bahwa Kementerian
Keuangan tidak melulu soal perpajakan. Berbagai kicauan mengenai fungsi-fungsi dan
pencapaian direktorat lain kerap disebarkan.
3

Sebagai salah satu media atau corong dari Direktorat Jenderal Pajak, Twitter berpeluang

besar mempengaruhi citra instansi secara jangka panjang. Jika informasi di situs berita bersifat
cut-off dan sementara saja, maka sosial media Twitter dapan digunakan untuk membentuk
hubungan antara otoritas pajak dan taxpayer secara berkesinambungan. Diperlukan peran aktif
dari manajemen account untuk berinteraksi dengan para follower. Dalam dunia bersosial
media, follower adalah aset. Bagaimana mengelola aset yang besar terlebih memiliki dampak
positif kepada instansi adalah tugas Subdit Humas DJP yang perlu dikembangkan. Belum ada
riset di Indonesia tentang apakah branding sosial media secara langsung mempengaruhi jumlah
penerimaan pajak. Namun menurut penulis, strategi “pencitraan” yang dikelola dengan
melibatkan wajib pajak secara aktif akan berdampak positif secara jangka panjang.
Referensi :
OECD. Forum On Tax Administration: Social Media Technologies and Tax Administration.
October 2011
Soon Ae Chun, Stuart Shulman. “Government 2.0: Making Connections between Citizens,
Data and Government.”
http://www.oecdobserver.org/news/fullstory.php/aid/3622/Tweeting_on_your_taxes.html
http://www.wsj.com/articles/SB125132627009861985 ; “Is 'Friending' in Your Future? Better
Pay Your Taxes First”, by Laura Saunders
https://www.rt.com/usa/information-tax-media-social-526/ “IRS to monitor Facebook, Twitter
for tax cheats”


4