Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal Di Kabupaten Sumedang

(1)

THE INFLUENCE OF REGIONAL ORIGINAL INCOME AND

GENERAL ALLOCATION FUND TOWARDS CAPITAL

EXPENDITURE SUMEDANG DISTRICT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Sidang Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Program Studi Akuntansi

Disusun Oleh :

NAMA : KARNA YUDA DESVIANA

NIM : 21107121

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(2)

Penelitian ini dilakukan di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah di Kabupaten Sumedang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah di Kabupaten Sumedang baik secara simultan maupun parsial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dengan pendekatan kuantitatif.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu laporan realisasi anggaran dari tahun 2001-2010. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah data sebanyak 10 tahun. Metode statistic yang digunakan adalah regresi linear berganda dengan melakukan uji asumsi klasik terlebih dahulu dengan menggunakan program SPSS 15.0.

Hasil penelitian ini menunjukan secara parsial bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Selain itu secara simultan baik Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.

Keywords : Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Sektor Publil


(3)

v

The research was conducted in the Department of Revenue Finance and Asset Management Areas in the District of Sumedang. The purpose of this study was to determine the magnitude of the influence of Revenue and General Allocation Fund to the Capital Expenditure on Revenue Department of Finance and Asset Management Areas in the District of Sumedang either simultaneously or partial.

The method used in this research is descriptive analysis method with quantitative approach. The population used in this research that the budget realization reports from the year 2001-2010. Sample selection is done by using purposive sampling method with the amount of data as much as 10 years. Statistical method used is multiple linear regression to test the classic assumption in advance using the program SPS 15.0.

These results indicate that partial revenue (PAD) have a significant effect on Capital Expenditures. While the General Allocation Fund (DAU) have a significant effect on Capital Expenditures. Additionally simultaneously both revenue (PAD) and the General Allocation Fund (DAU) Capital Expenditures significant effect.

Keywords: Revenue, General Allocation Fund, Capital Expenditures, Sector Publil


(4)

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Illahi Robbi, karena atas ridho dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul: “Peranan Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal Di Kabupaten Sumedang”.

Selama menyusun laporan ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Untuk itu penulis hanya dapat menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Ir. Eddy Suryanto Soegoto, M.Sc. selaku Rektor Universitas Komputer

Indonesia.

2. Prof. Dr. Umi Narimawati, Dra., S.E., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Komputer Indonesia.

3. Sri Dewi Anggadini, S.E., M.Si., selaku Ketua Program Studi Akuntansi pada

Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Komputer Indonesia.

4. Wati Aris Astuti , S.E., M.Si., Selaku pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu guna membimbing, mengarahkan, dan memberikan semangat kepada penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.


(5)

7. A Dedi selaku pembimbing dikantor Dinas Dinas Penapatan, Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Kabupaten Sumedang.

8. Ibundaku tercinta yang tak pernah bosan memberikan dorongan semangat dan

limpahan kasih sayangnya selama ini.

9. Putra, Dede, Rama, Reggy, Apih dan Mimihku, orang yang selama ini selalu

menjadi inspirasi aku dan juga teman-teman Ak-3 2007 yang tidak dapat dituliskan satu per satu.

10. Teman dan senior di Program Studi Akuntansi yang telah banyak berbagi

pengalaman.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa diterima penulis sebagai masukan yang berarti. Sehingga dalam penyusunan karya tulis lainnya penulis dapat menyusun dengan lebih baik.

Akhir kata penulis berharap semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi pendorong untuk lebih maju serta semangat berbuat yang terbaik untuk diri sendiri dan orang lain.

Terima kasih.


(6)

1.1 Latar Belakang Penelitian

Kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia mulai diberlakukan secara efektif per Januari tahun 2001. Kebijakan tersebut tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU ini dalam perkembangannya diperbarui dengan dikeluarkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigm ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket undang-undang yaitu Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan tentang

Undang-Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan dasar hukum tentang desentralisasi fiskal, menjelaskan pembagian baru mengenai sumber pemasukan dan transfer antar pemerintah.

Selanjutnya pada tanggal 15 Oktober 2004 dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia


(7)

Memutuskan: bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,

ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu direvisi dan terbitlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sedangkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah direvisi menjadi Undang-Undang

No. 33 Tahun 2004(UU. RI, No.32 dan 33, 2004).

Tujuan otonomi daerah adalah lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan No. 25 Tahun 1999 yang menjadi landasan otonomi tersebut dijelaskan lebih jauh bagaimana pengaplikasian hal-hal tersebut melalui beberapa Peraturan Pemerintah (PP), yang kemudian dipandu dengan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, yang sekarang sudah diganti dengan Peraturan Mentri Dalam negeri No. 13 Tahun 2006.

Akan tetapi pelaksanaan otonomi daerah ini dapat menimbulkan masalah baru bagi pemerintah pusat terkait dengan adanya perbedaan persiapan daerah. Adi (2006) menunjukkan paling tidak terdapat dua hal penting yang menyebabkan perbedaan ini, yaitu pertama adanya perbedaan kapasitas fiskal antar daerah dan kedua adanya perbedaan kemampuan manajerial dalam pengelolaan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh daerah, baik itu sumber daya alam, sumber daya manusia dan dana.


(8)

Belanja modal sebagai bentuk perubahan yang cukup fundamental di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah mulai dilakukan pasca reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah terutama UU No 22/1999, UU No 25/1999, PP No 105/2000, dan PP No 108/2000 (Halim, 2002:18). Sebelumnya di dalam APBD, pengalokasian untuk jenis belanja berupa investasi, diklasifikasikan ke dalam belanja pembangunan. Layaknya belanja pembangunan, belanja modal dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk pengadaan asset daerah sebagai investasi, dalam rangka membiayai pelaksanaan otonomi daerah yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Armayani (dalam Halim, 2004:237) menyatakan bahwa peran pemerintah di dalam pembangunan adalah sebagai katalisator dan fasilitator, karena pihak pemerintahlah yang lebih mengetahui sasaran tujuan pembangunan yang akan dicapai. Sebagai pihak katalisator dan fasilitator maka pemerintah daerah memerlukan sarana dan fasilitas pendukung yang direalisasikan melalui belanja modal guna meningkatkan pelayanan publik.

Alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik (Halim dan Abdullah, 2006:19). Menurut Halim (2002:72), dengan melakukan belanja modal akan menimbulkan konsekuensi berupa penambahan biaya yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Akan tetapi berdasarkan hasil audit BPK Pemda lebih banyak mengalokasikan belanjanya pada sektor-sektor yang kurang diperlukan dan lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang


(9)

kurang produktif dibandingkan untuk meningkatkan pelayanan publik, sebab dari 100% belanja daerah rata-rata hanya 21,69% yang digunakan untuk belanja modal dalam rangka pengadaan asset untuk investasi dalam rangka meningkatkan pelayan publik.

Berkaitan dengan pelayanan publik, alokasi belanja modal merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena akan meningkatkan produktivitas perekonomian daerah. Semakin banyak belanja modal maka semakin tinggi pula produktivitas perekonomian karena belanja modal berupa infrastruktur jelas

berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja (Media

Indonesia, 2008). Senada dengan hal tersebut Hariyanto dan Hari Adi (2006) menjelaskan bahwa tersedianya infrastruktur yang baik diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas di berbagai sektor, produktifitas masyarakat diharapkan semakin tinggi dan pada gilirannya terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, belanja modal sangat berkaitan dengan perencanaan keuangan jangka panjang, terutama pembiayaan untuk pemeliharaan aset tetap yang dihasilkan dari belanja modal tersebut. Konsep multi-term expenditure framework (MTEF) menyatakan bahwa kebijakan belanja modal harus memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan pemerintah daerah (budget capability) dalam pengelolaan aset tersebut dalam jangka panjang (Allen dan Tommasi, 2001).

Akan tetapi dengan melihat fenomena umum yang terjadi, sepertinya alokasi belanja modal belum sepenuhnya dapat terlaksana bagi pemenuhan kesejahteraan publik, sebab pengelolaan belanja daerah terutama belanja modal


(10)

masih belum terorientasi pada publik. Salah satunya disebabkan oleh pengelolaan belanja yang terbentur dengan kepentingan golongan semata. Keefer dan Khemani (dalam Halim dan Abdullah, 2006:18) menyatakan bahwa adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di masyarakat. Padahal menurut Pasal 66 UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat”. UU tersebut mengisyaratkan kepada Pemda untuk mengelola keuangan daerah terutama belanja modal secara efektif, efisien, dan ekonomis dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Pernyataan ini

sesuai dengan konsep multi-term expenditure framework (MTEF) yang

disampaikan oleh Allen dan Tommasi (dalam Halim dan Abdullah, 2006:18) yang menyatakan bahwa kebijakan belanja modal harus memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan pemerintah daerah (budget capability) dalam pengelolaan asset tersebut dalam jangka panjang. Hal ini berarti bahwa dalam pengelolaan asset terkait dengan belanja pemeliharaan, dan sumber pendapatan.


(11)

Tabel 1.1

Anggaran Belanja Modal dan Realisasi Belanja Modal DPPKAD Kabupaten Sumedang

Tahun 2001 sampai Tahun 2010

Tahun Anggaran Belanja Modal Realisasi Belanja Modal

2001 Rp 33,872,147,280.61 Rp 32,968,334,852.67

2002 Rp 50,027,939,131.39 Rp 43,449,904,769.20

2003 Rp 50,215,338,252.00 Rp 49,843,467,614.97

2004 Rp 60,792,430,987.00 Rp 60,348,715,298.00

2005 Rp 81,897,685,432.00 Rp 63,694,885,316.00

2006 Rp 109,328,719,347.00 Rp 107,722,507,735.00

2007 Rp 106,332,502,182.90 Rp 99,994,029,492.00

2008 Rp 104,144,264,137.00 Rp 98,371,710,147.00

2009 Rp 100,009,423,368.73 Rp 96,777,123,501.00

2010 Rp 108,297,835,104,00 Rp 102,602,892,282.00

Sumber : DPPKAD Kabupaten Sumedang

Adapun fenomena khusus yang terjadi di DPPKAD dapat dilihat dari tabel diatas dapat dilihat bahwa anggaran belanja modal dengan realisasi belanja modal dari tahun 2001-2010 tidak sama jumlahnya. Dimana jumlah realisasinya lebih kecil apabila dibandingkan dengan anggarannya. Hal ini tidak sesuai dengan PP No. 24 Tahun 2005 menyebutkan bahwa laporan realisasi anggaran menyediakan informasi yang berguna dalam memperediksi sumber daya ekonomi yang akan diterima untuk mendanai kegiatan pemerintah pusat dan daerah dalam periode mendatang dengan cara menyajikan laporan secara komparatif. Laporan realisasi anggaran dapat menyediakan informasi kepada para pengguna laporan tentang indikasi perolehan dan penggunaan sumber daya ekonomi, yaitu telah dilaksanakan sesuai dengan anggarannya (APBN/APBD). Dapat dilihat bahwa realisasi harus sesuai dengan anggarannya, sedangkan dari tabel diatas antara anggaran dengan realisasi tidak sama.


(12)

Dengan adanya otonomi daerah ini berarti Pemerintah Daerah dituntut

untuk lebih mandiri, tak terkecuali juga mandiri dalam masalah financial. Meski

begitu Pemerintah Pusat tetap memberi dana bantuan yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang di transfer ke Pemerintah Daerah. Dalam praktiknya, transfer dari Pemerintah Pusat merupakan sumber pendanaan utama Pemerintah Daerah untuk membiayai operasional daerah, yang oleh Pemerintah Daerah ”dilaporkan” di perhitungan anggaran. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri (Maemunah, 2006).

Pemberian dana perimbangan ditujukan untuk mengurangi adanya disparitas fiskal vertikal (antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) dan juga untuk membantu daerah dalam membiayai kewenangannya. Dalam beberapa tahun berjalan, proporsi DAU terhadap penerimaan daerah masih yang tertinggi dibanding dengan penerimaan daerah yang lain, termasuk Pendapatan Asli Daerah (Adi, 2006). Hal ini menunjukkan masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pasokan dana dari pemerintah pusat. DAU merupakan dana hibah

murni (grants) yang kewenangan penggunaannya diserahkan kepada pemerintah

daerah penerima, sehingga dapat disimpulkan bahwa DAU merupakan sarana untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dan disisi lain merupakan sumber pembiayaan daerah. Hal ini berarti pemberian DAU lebih di prioritaskan kepada daerah yang mempunyai kapasitas fiskal rendah.

Dengan adanya otonomi daerah ini berarti Pemerintah Daerah dituntut


(13)

begitu Pemerintah Pusat tetap memberi dana bantuan yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang di transfer ke Pemerintah Daerah. Dalam praktiknya, transfer dari Pemerintah Pusat merupakan sumber pendanaan utama Pemerintah Daerah untuk membiayai operasional daerah, yang oleh Pemerintah Daerah ”dilaporkan” di perhitungan anggaran. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri (Maemunah, 2006).DAU diberikan pemerintah pusat untuk membiayai kekurangan dari pemerintah daerah dalam memanfaatkan

PAD-nya. DAU bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan

kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

DAU terdiri dari:

a. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi

b. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten /Kota

Dana Alokasi Umum dialokasikan untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari

Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi

DAU untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.

Disebutkan pula dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP No 55 Tahun 2005 Dana Perimbangan ini terdapat berbagai macam, yaitu DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), dan DBH (Dana Bagi Hasil). Dana perimbangan tersebut diperuntukkan untuk:


(14)

a. Menjamin terciptanya perimbangan secara vertikal di bidang keuangan antar tingkat pemerintahan

b. Menjamin terciptanya perimbangan horizontal di bidang keuangan antar

pemerintah di tingkat yang sama

c. menjamin terselenggaranya kegiatan-kegiatan tertentu di daerah yang sejalan

dengan kepentingan nasional.. Menurut Adi (2006) proporsi DAU terhadap penerimaan daerah masih yang tertinggi dibandingkan dengan penerimaan daerah yang lain, termasuk PAD (Pendapatan Asli Daerah)

Tabel 1.2

Anggaran Dana Alokasi Umum dan Realisasi Dana Alokasi Umum DPPKAD Kabupaten Sumedang

Tahun 2001 sampai Tahun 2010

Tahun Anggaran DAU Realisasi DAU

2001 Rp 197,085,048,000.00 Rp 197,085,048,000.00

2002 Rp 250,270,000,000.00 Rp 250,270,000,000.00

2003 Rp 260,220,000,000.00 Rp 260,219,996,602.00

2004 Rp 301,089,000,000.00 Rp 301,089,000,000.00

2005 Rp 316,700,000,000.00 Rp 316,798,000,000.00

2006 Rp 500,020,000,000.00 Rp 500,020,000,000.00

2007 Rp 551,711,000,000.00 Rp 551,751,000,000.00

2008 Rp 608,993,532,000.00 Rp 708,993,532,000.00

2009 Rp 629,006,913,000.00 Rp 629,006,913,000.00

2010 Rp 634,169,767,000.00 Rp 634,169,767,000.00

Sumber : DPPKAD Kabupaten Sumedang

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa Dana Alokasi Umum dari tahun ke tahun meningkat. Dan Dana Alokasi Umum yang melebihi dari Anggaran yaitu pada tahun 2005, 2007 dan realisasi DAU yang paling besar melebihi anggaran terjadi pada tahun 2008. Dimana PP No. 24 Tahun 2005 menyebutkan bahwa


(15)

laporan realisasi anggaran dapat menyediakan informasi kepada para pengguna laporan tentang indikasi perolehan dan penggunaan sumber daya ekonomi, yaitu telah dilaksanakan sesuai dengan anggarannya (APBN/APBD)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Optimalisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah hendaknya didukung upaya Pemerintah Daerah dengan meningkatkan kualitas layanan publik (Mardiasmo, 2002).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap daerah berbeda-beda. Daerah yang memiliki kemajuan dibidang industri dan memiliki kekayaan alam yang melimpah cenderung memiliki PAD jauh lebih besar dibanding daerah lainnya, begitu juga sebaliknya. Karena itu terjadi ketimpangan Pendapatan Asli Daerah. Disatu sisi ada daerah yang sangat kaya karena memiliki PAD yang tinggi dan disisi lain ada daerah yang tertinggal karena memiliki PAD yang rendah. Menurut Halim (2009) permasalahan yang dihadapi daerah pada umumnya berkaitan dengan penggalian sumber-sumber pajak dan retribusi daerah yang merupakan salah satu komponen dari PAD masih belum memberikan konstribusi signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal tersebut dapat mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Peranan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah, yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar wilayah Provinsi dapat membiayai kebutuhan pengeluaran kurang dari 10%. Distribusi pajak antar daerah sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi. Peranan pajak dan retribusi daerah


(16)

dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi terjadi hal ini terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya relative mahal) dan kemampuan masyarakat, sehingga dapat mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.

Tabel 1.3

Anggaran Pendapatan Asli Daerah dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah DPPKAD Kabupaten Sumedang

Tahun 2001 sampai Tahun 2010

Tahun Anggaran PAD Realisasi PAD

2001 Rp 29,278,328,117.99 Rp 28,241,122,190.26

2002 Rp 33,672,798,182.60 Rp 34,539,056,123.76

2003 Rp 42,201,185,142.20 Rp 41,752,447,482.17

2004 Rp 48,988,573,456.39 Rp 50,118,894,987.70

2005 Rp 56,770,678,620,92 Rp 58,699,239,115.74

2006 Rp 62,259,510,810.87 Rp 63,800,280,473.00

2007 Rp 74,038,757,571.49 Rp 69,493,500,676.00

2008 Rp 86,056,574,849.10 Rp 87,633,522,120.38

2009 Rp 109,731,802,606.96 Rp 102,288,540,254.00

2010 Rp 120,039,975,404,25 Rp 108,658,025,581.20

Sumber : DPPKAD Kabupaten Sumedang

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa Pendapatan Asli Daerah dari tahun ke tahun meningkat. Dan Pendapatan Asli Daerah yang melebihi dari Anggaran yaitu pada tahun 2002, 2004, 2005, 2006 dan 2008. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah yang kurang dari Anggaran yaitu pada tahun 2001, 2003, 2007, 2009 dan 2010. Dimana PP No. 24 Tahun 2005 menyebutkan bahwa laporan realisasi anggaran dapat menyediakan informasi kepada para pengguna laporan tentang indikasi perolehan dan penggunaan sumber daya ekonomi, yaitu telah dilaksanakan sesuai


(17)

dengan anggarannya (APBN/APBD). Sedangkan dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari tahun 2001-2010 antara anggaran dan realisasi jumlahnya tidak sama.

Menyikapi hal tersebut peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai peranan pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap belanja modal. Objek penelitian yang akan di ambil kali ini adalah Dinas Pendapatan, Pengelolaan keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Sumedang, Peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian pada dinas tersebut dikarenakan Dinas Pendapatan, Pengelolaan keuangan dan Aset Daerah merupakan salah satu dinas yang mengelola pendapatan daerah dan belanja daerah. Oleh karna itu semua pendapatan asli daerah kabupaten sumedang dipungut oleh dinas ini, tetapi dalam pemungutan tersebut tidak selalu berjalan lancar khusus nya dalam pemungutan pajak daerah yaitu pajak restoran dan pajak hotel. Setiap petugas dinas melakukan pemungutan selalu mengalami kesulitan dikarnakan berhadapan langsung dengan wajib pajaknya, dengan berbagai alasan wajib pajak selalu meminta kepada petugas dinas untuk memberikan kelonggaran untuk membayar pajaknya. Karena itu pendapan asli daerah kabupaten sumedang dapat terbilang masih minim di bandingkan dengan pengeluaran daerah nya.

Berdasarkan uraian diatas PAD dan DAU memiliki hubungan positif yang kuat dengan belanja modal. Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini

dengan judul “Peranan Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Dan Dana


(18)

1.2 Identifikasi dan Rumusa Masalah 1.2.1 Identifikasi Masalah

Permasalahan yang dapat diidentifikasikan dalam penelitian tentang peranan optimalisasi pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap belanja modal berdasarkan survey awal yang telah peneliti lakukan antara lain:

1. Alokasi anggaran belanja modal dari tahun ke tahun jumlahnya selalu

lebih tinggi dibandingkan dengan realisasinya.

2. Pada tahun 2008 realisasi dana alokasi umum jumlahnya melonjak tinggi

dari dana yang telah dianggarkan.

3. Realisasi pendapatan asli daerah dikabupaten sumedang tidak selalu

mencapai target atau anggaran yang telah dianggarkan.

1.2.2 Rumusan Masalah

Beberapa masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian tentang peranan optimalisasi pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap belanja modal antara lain:

1. Bagaimana peranan PAD terhadap belanja modal di Kabupaten Sumedang.

2. Bagaimana peranan DAU terhadap belanja modal di Kabupaten

Sumedang.

3. Bagaimana besar Peranan Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana

Alokasi Umum baik secara simultan maupun parsial Terhadap Belanja Modal di Kabupaten Sumedang.


(19)

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh data Peranan Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal Dinas Pendapatan Kabupaten Sumedang.

Tujuan dari penelitian tentang Peranan Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal adalah

1. Untuk mengetahui peranan PAD terhadap belanja modal di Kabupaten

Sumedang.

2. Untuk mengetahui peranan DAU terhadap belanja modal di Kabupaten

Sumedang.

3. Untuk mengetahui Seberapa besar Peranan Optimalisasi Pendapatan

Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja di Kabupaten Sumedang.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Praktis

Dapat dijadikan masukan untuk membantu pemerintah daerah terutama untuk melihat peranan optimalisasi pendapatan asli daerah terhadap belanja modal untuk meningkatkan pelayanan masyarakat.

Diharapkan dapat memberikan informasi tentang peranan PAD dan

DAU terhadap belanja modal dalam menetukan asset daerah, sehingga dapat dijadikan acuan untuk pengadaan asset daerah sebagai investasi,


(20)

dalam rangka membiayai pelaksanaan otonomi daerah yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

1.4.2 Kegunaan Akademis

1. Bagi pengembangan Ilmu Akuntansi

Diharapkan dapat memberikan informasi serta dapat dijadikan referensi mengenai Peranan Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal.

2. Bagi Peneliti

Memberikan informasi dan kontribusi yang berguna untuk pengembangan penelitian sektor publik terutama dalam hal peranan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal.

3. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan, umumnya mengenai dunia sektor publik, khususnya mengenai Peranan Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi UmumTerhadap Belanja Modal Dinas Pendapatan Kabupaten Sumedang serta sebagai bahan referensi untuk penelitian dalam bidang yang sama.


(21)

1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian 1.5.1 Lokasi penelitian

Dalam penyusunan penelitian ini, penulis melakukan penelitian pada Dinas Pendapatan Kabupaten Sumedang yang bertmpat di Jalan Prabu Gajah Agung No. 19 Sumedang.

1.5.2 Waktu Penelitian

Adapun waktu penelitian dimulai pada bulan Maret 2011 sampai dengan Juli 2011.

Tabel 1.4 Waktu Penelitian

Tahap Prosedur

Bulan Feb 2011 Mar 2011 Apr 2011 Mei 2011 Jun 2011 Jul 2011 I

Tahap Persiapan :

1.Membuat outline dan

proposal UP

2.Mangambil formulir

penyusunan skripsi

3.Menentukan tempat

penelitian

4.Siding Komprehensif

II

Tahap Pelaksanaan :

1. Bimbingan UP

2. Pendaftaran Seminar UP 3. Seminar UP

4. Revisi UP

5.Membuat outline dan

proposal Skripsi 6. Penelitian Perusahaan 7. Penyusunan skripsi 8. Bimbingan skripsi

III

Tahap Pelaporan :

1.Menyiapkan draft skripsi 2. Sidang akhir skripsi

3.Penyempurnaan laporan


(22)

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Pendapatan Asli Daerah

2.1.1.1 Pengertian Pendapatan Asli Daerah

Menurut Marihot P. Siahaan, menjelaskan Pendapatan asli daerah sebagai berikut :

“yaitu pendapatan yang diperoleh daerah dan dipunggut berdasarkan perturan daerah sesuai dengan perturan perundang-undangan, meliputi Pajak daerah, Retribusi Daerah, termasuk hasil dan pelayanan badan umum (BLU) daerah. Hasil pengelolaan kekayaan pisahkan, antara lain bagian laba dari BUMD, hasil kerja sama dengan pihak ketiga dan Lain-lain PAD yang sah. Pendapatan Asli Daerah adalah hasil berupa uang maupun barang yang dijadikan sebagai kekayaan daerah dalam rangka pembiayaan pembangunan masyarakat dikota”.

(2005:15) Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 (pasal 3) adalah :

“Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah dari hasil pajak, hasil

retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan


(23)

Menurut Abdul Halim, pendapatan asli daerah adalah :

“merupakan sumber semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber

ekonomi asli daerah”

(2002:64) Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan akumulasi dari Pos Penerimaan Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Pos Retribusi Daerah, Pos Penerimaan Non Pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, Pos Penerimaan Investasi serta Pengelolaan Sumber Daya Alam (Bastian, 2002). Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah meneliti, menentukan dan menetapkan mana sesungguhnya yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah dengan cara meneliti dan mengusahakan serta mengelola sumber pendapatan tersebut dengan benar sehingga memberikan hasil yang maksimal (Elita dalam Pratiwi, 2007).

Proporsi Pendapatan Asli Daerah yang rendah, di lain pihak menyebabkan Pemerintah Daerah memiliki derajat kebebasan rendah dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan, dibiayai dari dana perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum. Alternatif jangka pendek peningkatan penerimaan Pemerintah Daerah adalah menggali dari Pendapatan Asli Daerah (Pratiwi, 2007).

Wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digunakan sendiri sesuai dengan potensi daerah. Kewenangan


(24)

daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dalam Undang-undang No.34 Tahun 2000 ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan dalam PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan ketentuan daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi (Halim, 2009). Menurut Brahmantio (2002) pungutan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dalam jangka pendek dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, namun dalam jangka panjang dapat menurunkan kegiatan perekonomian, yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya Pendapatan Asli Daerah.

2.1.1.2 Sumber-sumber Pendapatan Asli daerah

Adapun kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu (Halim, 2002):

“ 1. Pajak Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak.

2. Retribusi Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari

retribusi daerah. Dalam struktur APBD baru dengan pendekatan kinerja, jenis pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan restribusi daerah berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Rertibusi Daerah.

3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik

daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang

dipisahkan”.

Berdasarkan uraian diatas pajak daerah dan retribusi daerah terdiri dari :

a. Pajak Provinsi. Pajak ini terdiri atas:


(25)

 Bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) dan kendaraan di atas air

 Pajak bahan bakar kendaran bermotor

 Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

b. Jenis pajak Kabupaten/kota. Pajak ini terdiri atas:

 Pajak Hotel

 Pajak Restoran

 Pajak Hiburan

 Pajak Reklame

 Pajak penerangan Jalan

 Pajak pegambilan Bahan Galian Golongan C

 Pajak Parkir.

c. Retribusi ini dirinci menjadi:

 Retribusi Jasa Umum

 Retribusi Jasa Usaha

 Retribusi Perijinan Tertentu.

d. Jenis hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan pendapatan ini

meliputi objek pendapatan berikut:

 Bagian laba perusahaan milik daerah.

 Bagian laba lembaga keuangan bank.

 Bagian laba lembaga keuangan non bank.


(26)

2.1.2 Dana Alokasi Umum

Menurut Deddi Nordiawan menyatakan bahwa:

“Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”.

(2008:56) Menurut Bastian menyatakan bahwa:

“Dana Alokasi Umum adalah dana perimbangan dalam rangka untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah”.

(2003:84)

Menurut Brojonegoro dan C. Risyana menyatakan bahwa:

“Dana Alokasi Umum adalah transfer bersifat umum yang jumlahnya sangat signifikan dimana penggunannya menjadi kewenangan daerah”.

(2002:160)

Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan


(27)

potensi daerah. Alokasi Dana Alokasi Umum bagi daerah yang potensi fiskalnya besar namun kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi Dana Alokasi Umum yang relatif kecil. Sebaliknya daerah yang memiliki potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi Dana alokasi Umum relatif besar. Dengan maksud melihat kemampuan APBD dalam membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja pegawai (Halim, 2009).

Ketimpangan ekonomi antara satu Provinsi dengan Provinsi lain tidak dapat dihindari dengan adanya desentralisasi fiskal. Disebabkan oleh minimnya sumber pajak dan Sumber Daya Alam yang kurang dapat digali oleh Pemerintah Daerah. Untuk menanggulangi ketimpangan tersebut, Pemerintah Pusat berinisiatif untuk memberikan subsidi berupa DAU kepada daerah. Bagi daerah yang tingkat kemiskinanya lebih tinggi, akan diberikan DAU lebih besar dibanding daerah yang kaya dan begitu juga sebaliknya. Selain itu untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penugasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya kebijakan bagi hasil dan Dana Alokasi Umum minimal sebesar 26% dari Penerimaan Dalam Negeri. Dana Alokasi Umum akan memberikan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing daerah (Halim, 2009).

Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai


(28)

kebutuhan pembelanjaan. Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut (Halim, 2009):

a. Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.

b. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum sebagaimana ditetapkan diatas.

c. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

d. Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

Dalam UU No.32/2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemda, Pempus akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil yang terdiri dari pajak dan Sumber Daya Alam. Disamping Dana Perimbangan tersebut,

Pemerintah Daerah memiliki sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dana transfer dari Pemerintah Pusat diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat.


(29)

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah

(Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan Fiscal

Gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah dengan

potensi daerah. Dana Alokasi Umum digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada.

2.1.2.1 Tujuan dan Fungsi Dana Alokasi Umum

Beberapa alasan perlunya dilakukan pemberian Dana Alokasi Umum dari Pemerintah pusat ke daerah, yaitu:

1. Untuk mengatasi permasalahan ketimpangan fiscal vertical. Hal ini

disebabkan sebagian besar sumber-sumber penerimaan utama di Negara bersangkutan. Jadi pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan Negara atau hanya berwenang untuk memungut pajak yang bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaan relatife kurang signifikan.

2. Untuk menanggulangi persoalan ketimpangan fiscal horizontal. Hal ini

disebabkan karena kemampuan daerah untuk menghimpun dana pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah dan sangat bergantung pada sumber daya alam yang dimiliki daerah tersebut.


(30)

4. Untuk stabilitas ekonomi. Dana Alokasi Umum dapat dikurangi pada saat perekonomian daerah sedang maju pesat, dan dapat ditingkatkan ketika perekonomian daerah sedang melaju pesat, dan dapat ditingkatkan ketika perekonomian sedang lesu.

Sedangkan tujuan umum dari Dana Alokasi Umum adalah untuk:

a. Meniadakan dan meminimumkan Ketimpangan fiscal vertical.

b. Meniadakan dan meminimumkan Ketimpangan fiscal horizontal.

c. Menginternalisasikan/memperhitungkan sebagian atau seluruh limpahan manfaat/biaya kepada daerah yang menerima limpahan manfaat tersebut.

d. Sebagai bahan edukasi bagi pemerintah daerah agar secara intensif menggali sumber-sumber penerimaannya, sehingga hasil yang

diperoleh menyamai bahkan melebihi kapasitasnya.

2.1.2.2 Transfer Dana dan Alokasi Umum (DAU)

Di Indonesia, seperti ditegaskan dalam UU No. 25/1999, bentuk transfer yang

paling penting adalah DAU dan DAK, selain bagi hasil (revenue sharing). Transfer

merupakan konsekuensi dari tidak meratanya kemampuan keuangan dan ekonomi daerah. Selain itu, tujuan transfer adalah mengurangi kesenjangan keuangan horizontal antar daerah, mengurangi kesenjangan vertikal Pusat-Daerah, mengatasi persoalan efek pelayanan publik antar daerah, dan untuk menciptakan stabilisasi aktifitas perekonomian di daerah.


(31)

Transfer atau grants dari Pempus secara garis besar dapat dibagi menjadi dua,

yakni matching grant dan non-matching grant. Kedua grants tersebut digunakan oleh

Pemda untuk memenuhi belanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja rutin adalah belanja yang sifatnya terus menerus untuk setiap tahun fiskal dan umumnya tidak menghasilkan wujud fisik (contoh: belanja gaji dan honorarium pegawai), sementara belanja pembangunan umumnya menghasilkan wujud fisik, seperti jalan, jalan bebas

hambatan (higway), jembatan, gedung, pengadaan jaringan listrik dan air minum, dan

sebagainya. Belanja pembangunan non-fisik diantaranya mencakup pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemeliharaan keamanan masyarakat.

Bagaimana pemerintah daerah mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya merupakan pertanyaan penelitian yang menarik sejak lama. Peneliti terdahulu menggunakan berbagai pendekatan untuk menjelaskan perilaku Pemda dalam mengalokasikan dana yang dimilikinya, baik dana yang bersumber dari transfer pemerintah di atasnya ataupun dari pendapatanya sendiri. Pemda bisa merespon transfer dari Pempus secara simetris dan tidak simetris (Gamkhar & Oates, 1996). Beberapa peneliti menemukan bahwa respon Pemda berbeda untuk transfer dan pendapatan sendiri (seperti pajak). Artinya, ketika penerimaan daerah berasal dri transfer, maka stimulus atas

belanja yang ditimbulkan berbeda dengan stimulus yang muncul dari pendapatan daerah (terutama pajak daerah). Ketika respon (belanja) daerah lebih besar terhadap


(32)

Dalam perspektif teori keagenan, Inman (1979) dan Rubinfeld(1987) (dalam Holzt-Eakin et al, 1994), Aaberge & Langorgen (1997), dan Slack (1980)

menyatakan bahwa agen (agents) atau politisi di Pemda bersikap seolah-olah mereka

memaksimalkan utilitas individu (voter) berpendapatan menengah ke bawah di dalam

masyarakat. Apabila dikaitkan dengan belanja publik untuk periode tertentu, agen akan mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya berdasarkan pada ekspektasinya terhadap lingkungan ekonomi pada masa yang akan datang. Secara teoritis diasumsikan bahwa semua pengeluaran pada suatu periode tertentu tergantung pada ketersediaan sumber daya pada periode yang bersangkutan, namun dengan batasan

aturan anggaran yang ada, misalnya anggaran berimbang (balanced-budget rule).

Dalam konsep anggaran berimbang Pemda diharuskan menyerahkan anggarannya kepada legislatif sebelum tahun fiskal berjalan,tetapi tidak mengatur bagaimana pengeluaran harus diprioritaskan atau bagaimana komponen-komponen pengeluaran ditentukan (Holzt-Eakin et al, 1994). Oleh karena itu, pemda dapat

melakukan smoothing atas pengeluaran-pengeluarannya karena memang tidak ada

aturan yang secara efektif digunakan untuk mencegahnya. Hal ini juga terjadi di Norwegia (Aaberge & Langorgen, 1997), dimana Pemda memiliki kebebasan untuk membuat prioritas atas pengeluaran untuk tujuan melayani masyarakatnya, meskipun tidak mutlak. Misalnya belanja untuk pendidikan untuk usia anak 7-15 tahun harus tetap dianggarkan dalam jumlah tertentu. Menurut Inman (1983, dalam Holzt-eakin et al, 1994), pembuatan keputusan dalam sektor publik bersifat backward-looking. Di sisi lain, time horizon agen lebih panjang dari satu tahun anggaran, sehingga pada


(33)

praktiknya beberapa Pemda membentuk rainy day funds untuk memudahkan smooth

atas pengeluaranya atau menyusun anggaran untuk siklus beberapa tahun (multiyear

budget).

Analisis Zou (1994) berhasil mengidentifikasi beberapa kosekuensi dari

perubahan grants, yakni:

1. Kenaikan permanen dalam matching grants akan mempercepat investasi

publik, memperbesar kapital jangka panjang, dan memperbesar belanja rutin jangka panjang.

2. Kenaikan permanen dalam matching grants untuk investasi dan belanja rutin

mungkin mempercepat atau memperlambat investasi.

3. Kenaikan temporer atas grants sekarang (apapun bentuk grants) akan

mendorong investasi public.

4. Kenaikan temporer non-matching grants pada masa yang akan datang akan

mengurangi investasi sekarang dan meningkatkan belanja rutin sekarang.

5. Kenaikan temporer matching grants pada masa yang akan datang untuk

belanja rutin akan mengurangi investasi publik sekarang dan memperbesar

belanja rutin sekarang, tapi (6) kenaikan sementara dalam matching grants

pada masa yang akan datang untuk investasi mempunyai dampak ambigu terhadap investasi publik. Esensi dari temuan-temuan tersebut adalah adanya perubahan dalam total belanja daerah (rutin dan pembangunan) sebagai akibat


(34)

2.1.3 Belanja Modal

Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.

Belanja modal menurut Halim & Abdullah adalah :

“Belanja modal merupakan pengeluaran untuk perolehan aset lainnya yang

memberikan manfaat lebuh dari periode akuntansi. Belanja modal termasuk, 1) belanja tanah, 2) belanja peralatan dan mesin, 3) belanja modal gedung dan bangunan 4) belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan, 5) belanja aset tetap

lainnya”

(2007:101)

2.1.3.1 Belanja Modal Tanah

Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembeliaan/pembebasan penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertipikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.


(35)

2.1.3.2 Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2.1.3.3 Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2.1.3.4 Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang

digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan

pembangunan/pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.


(36)

2.1.3.5 Belanja Modal Fisik Lainnya

Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatanpembangunan/ -pembuatan serta perawatan terhadap Fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan kedalam criteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.

Menurut Halim (2004), belanja modal merupakan belanja yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah serta akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Bahwa belanja modal memiliki karakteristik spesifik menunjukkan adanya berbagai pertimbangan dalam pengalokasiannya. Pemerolehan aset tetap juga memiliki konsekuensi pada beban operasional dan pemeliharaan pada masa yang akan datang (Bland & Nunn, 2002).

2.1.4 Hubungan antara Pendapatan Asli Daerah dengan Belanja Modal

Selama ini Pendapatan Asli Daerah memiliki peran untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah guna mencapai tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah yang ingin meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah (Mardiasmo, 2002:46). Bermula dari keinginan untuk mewujudkan harapan tersebut, Pemda melakukan berbagai cara dalam meningkatkan pelayanan publik, yang salah satunya dilakukan dengan melakukan belanja untuk kepentingan investasi yang direalisasikan melalui belanja modal.


(37)

Berdasarkan buku teori Bahtiar Arif, Muchlis dan iskandar menyatakan :

“Pendapatan merupakan bagian utama dari suatu anggaran, baik untuk entitas

bisnis maupun pemerintahan. Anggaran pendapatan merupakan target yang akan dicapain untuk membiayai anggaran belanja-belanja diantaranya

termasuk belanja modal”.

(2009:171) Hal ini sesuai dengan PP No 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah yang menyatakan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Artinya, disetiap penyusunan APBD, jika Pemda akan mengalokasikan belanja modal maka harus benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan PAD yang diterima. Besar kecilnya belanja modal akan ditentukan dari besar kecilnya PAD. Sehingga jika Pemda ingin meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat dengan jalan meningkatkan belanja modal, maka Pemda harus berusaha

keras untuk menggali PAD yang sebesar-besarnya.

2.1.5 Hubungan antara Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebenarnya merupakan andalan utama daerah untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pembiayaan pembangunan (Saragih, 2003:55). Tetapi penerimaan daerah dari unsur Pendapatan Asli Daerah saja belum mampu memenuhi kebutuhan daerah apalagi dengan penambahan wewenang


(38)

daerah jelas akan membutuhkan dana tambahan bagi daerah (Saragih, 2003:49) sehingga daerah masih tetap membutuhkan bantuan atau dana yang berasal dari pusat. Bantuan pusat ini biasa disebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gamkhar dan Oates menyatakan :

“Yang menyatakan bahwa pengurangan jumlah transfer (cut in the federal grants) menyebabkan penurunan dalam pengeluaran daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara pemberian dana transfer dari pemerintah pusat yaitu DAU, dengan alokasi pengeluaran daerah melalui alokasi belanja modal”.

(dalam Maimunah, 2006:5)

Hubungan positif yang kuat antara Dana Alokasi Umum (DAU) dengan belanja modal ini dapat dipahami mengingat bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik -yang direalisasikan melalui belanja modaljuga ikut dibiayai oleh Dana Alokasi Umum (DAU) tersebut. Bahkan Abdullah dan Halim (2006:26) menyatakan bahwa pendapatan dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan di pemerintah daerah di Indonesia merupakan sumber pendapatan utama dalam APBD. Sayangnya kontribusi Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja modal masih belum efektif sehingga masih banyak daerah yang belum merata pembangunannya, juga masih kurangnya pelayanan publik sehingga kesejahteraan masyarakat pun belum efektif (masih banyaknya masyarakat dibawah garis kemiskinan, belum meratanya fasilitas pendidikan dan kesehatan, sector usaha


(39)

2.1.6 Hubungan Antara PAD Dan DAU Dengan Belanja Modal

PAD dan DAU merupakan sumber pendapatan daerah yang memiliki peran utama dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka mencapai tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah yang ingin meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mardiasmo menyatakan :

”Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa PAD dan DAU memiliki

hubungan positif yang kuat dengan belanja modal. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi PAD dan DAU yang didapat daerah maka akan semakin tinggi pula

belanja modal yang dikeluarkan daerah.”

(2002:46). Kedua sumber pendapatan daerah ini memang sulit untuk dipisahkan.

Pemerintah daerah belum mampu mengandalkan PAD-nya sendiri untuk membiayai desentralisasi. Begitu pun dengan pemerintah pusat yang tidak mau sepenuhnya memberikan DAU karena akan menambah ketergantungan daerah kepada pusat. Kombinasi kedua sumber pendapatan ini -jika melihat kepada hasil penelitian- maka akan menghasilkan pendapatan yang lebih besar bagi daerah guna meningkatkan belanja modal. Semakin tinggi PAD disertai dengan semakin meningkatnya DAU akan meningkatkan belanja modal daerah. Sebab daerah akan memiliki pendapatan yang besar sehingga belanja pun dapat ikut ditingkatkan. Meskipun pada kenyataannya peningkatan PAD tidak selalu diikuti dengan peningkatan DAU, sebab melihat bahwa penentuan DAU ikut ditentukan pula oleh besarnya PAD (PP No 55 tahun 2005 tentang dana perimbangan.


(40)

2.2 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis 2.2.1 Kerangka Pemikiran

Menurut UU No. 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (13), adalah:

“Pendapatan Daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan”. PAD ini merupakan sumber penerimaan daerah yang dikelola dan dipungut oleh pemerintah daerah sendiri berdasarkan potensi, jenis dan tariff pungutan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam UU No. 33 Tahun 2004 Pasal 3, PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Dalam upaya meningkatkan PAD dilarang:

a. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan

ekonomi biaya tinggi; dan

b. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas

penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan ekspor/impor. PAD merupakan pendapatan daerah yang berasal dari sumber-sumber penerimaan murni daerah. PAD dipergunakan untuk pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk itu, PAD harus diupayakan agar selalu meningkat seiring dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, sejak Indonesia merdeka sampai saat ini pajak daerah dan retribusi daerah telah menjadi sumber penerimaan yang dapat diandalkan bagi daerah. Akan tetapi, secara umum untuk kabupaten/kota, besarnya kontribusi dari pajak


(41)

daerah dan retribusi daerah terhadap APBN sangat bervariatif sesuai potensi yang dimiliki daerah masingmasing.

Dana alokasi umum menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 adalah :

“DAU adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan

tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai

kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”.

Dana alokasi umum (DAU) diberikan pemerintah pusat untuk membiayai kekurangan dari pemerintah daerah dalam memanfaatkan PAD-nya. DAU bersifat

“Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. DAU terdiri dari:

a. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi

b. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten /Kota

Dana alokasi umum (DAU) dialokasikan untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri

(PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan

untuk daerah

kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.


(42)

Belanja modal menurut Halim adalah :

“Belanja modal merupakan belanja yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan daerah serta akan menimbulkan konsekuensi menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan”.

(2004:73) Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut, yakni membangun sendri, menukarkan dengan aset tetap lain, dan membeli. Namun, untuk kasus dipemerintahan biasanya cara yang dulakukan dengan cara membeli. Proses pembelian yang dilakukan umumnya dilakukan melalui sebuah proses lelang atau teneder yg cukup rumit.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mulia Andirfa (2009) dengan judul pengaruh pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah terhadap pengalokasian anggaran belanja modal dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, PAD, dana perimbangan, lain-lain pendapatan yang sah mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pengalokasian anggaran belanja modal. Adapun persamaan judul variabel independen yang digunakan penulis sama yaitu pendapatan asli daerah, selain itu varibel dependen yang digunakan penulis sama yaitu tentang belanja modal. Dan adapun perbedaan judul varibel independen yang digunakan penulis yang berbeda yaitu tentang dana alokasi umum.


(43)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh David Harianto, Priyo Hari Adi (2007) dengan judul Hubungan antara dana alokasi umum, belanja modal, pendapatan asli daerah dan pendapatan perkapita dan hasil penelitiannya menunjukan bahwa DAU sangat berpengaruh terhadap belanja modal. Sayangnya kontribusi dari DAU terhadap belanja modal masih kurang efektif akibat pembangunan yang terjadi di daerah kurang merata. Adapun persamaan judul variabel independen yang digunakan penulis sama yaitu dana alokasi umum dan pendapan asli daerah. Dan adapun perbedaan judul variabel dependen yang digunakan penulis berbeda yaitu tentang belanja modal.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nur Indah Rahmawati (2010) dengan judul Pengaruh pendapatan asli daerah (PAD) dan dana alokasi umum (DAU) terhadap alokasi belanja daerah dan hasil penelitiannya diperoleh bahwa Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap alokasi belanja daerah. Pemerintah Daerah yang memiliki PAD dan DAU tinggi maka pengeluaran untuk alokasi belanja daerahnya juga semakin tinggi. Adapun persamaan judul Variabel independen yang digunakan penulis sama yaitu dana alokasi umum dan pendapan asli daerah. Dan adapun perbedaan judul varibel dependen yg digunakan penulis berbeda yaitu tentang belanja modal.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Diah Ayu Kusumadewi dan Arief

Rahman (2004) dengan judul Flypaper effect pada dana alokasi umum (DAU) dan

pendapatan asli daerah (PAD) terhadap belanja daerah pada kabupaten/kota di indonesia dan hasil penelitiannya melalui regresi berganda, diketahui bahwa PAD dan


(44)

DAU secara bersamasama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Daerah. Sehingga dapat dikatakan, pemerintah daerah dalam melakukan belanja tahun berjalan dipengaruhi oleh jumlah PAD dan DAU yang diperoleh pada tahun yang sama. Adapun persamaan judul variabel independen yang digunakan penulis sama yaitu dana alokasi umum dan pendapatan asli daerah. Dan adapun perbedaan judul varibel dependen yang digunakan penulis berbeda yaitu tentang belanja modal.


(45)

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran

Aset Daerah Kabupaten Sumedang

Benanja barang dan Pajak

Daerah

Retribusi Daerah

Laporan Realisasi Anggaran

Belanja Daerah Lain-Lain Pendapatan

Daerah Yang Sah Anggaran

Pendapatan Asli Daerah Dana Alokasi

Umum

Belanja pegawa

Belanja Langsung

Belanja Tidak Langsung

Belanja Modal


(46)

Gambar 2.2 Paradigma Penelitian

2.2.2 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.

Menurut Uma Sekaranmengemukakan pengertian hipotesis sebagai berikut:

“Hipotesis adalah hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji”.

(2006: 135)

Pendapatan Asli Daerah (Variable X1 )

Dana Alokasi Umum (Variable X2 )

Belanja Modal (Variable Y)


(47)

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian dapat diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara terhadap masalah penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul dan harus diuji secara empiris.

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka penulis mencoba merumuskan hipotesis yang merupakan kesimpulan sementara dari penelitian sebagai berikut:

“Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU)

berpengaruh Terhadap Belanja Modal”.

H1o = Pendapatan asli daerah berhubungan signifikan dengan dana alokasi umum .

H2o = Pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum secara simultan berpengaruh

signifikan terhadap belanja modal.

H3o = Biaya Pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum kualitas dan biaya


(48)

3.1 Objek Penelitian

Menurut Husein Umar, menerangkan bahwa :

“Objek penelitian menjelaskan tentang apa dan atau siapa yang menjadi obyek penelitian. Juga di mana dan kapan penelitian dilakukan. Bisa juga

ditambahkan hal-hal lain jika dianggap perlu”.

(2005:303) Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa objek penelitian digunakan untuk mendapatkan data sesuai tujuan dan kegunaan tertentu. Objek penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Pendapatan asli daerah, Dana alokasi umum, dan Belanja modal diKabupaten Sumedng.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu cara penulis dalam menganalisis data. Pengertian dari Metode Penelitian adalah sebagai berikut:

Menurut Sugiyono menjelaskan bahwa:

“Metode Penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu”.

(2010:2) Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa merupakan cara pemecahan masalah penelitian yang dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud mendapatkan fakta dan kesimpulan agar dapat memahami,


(49)

menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan keadaan. Metode penelitian juga merupakan cara kerja untuk memahami dan mendalami objek yang menjadi sasaran.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif, yaitu hasil penelitian yang kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya, artinya penelitian yang

dilakukan adalah penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numeric

(angka), dengan menggunakan metode penelitian ini akan diketahui hubungan yang signifikan antara variabel yang diteliti, sehingga menghasilkan kesimpulan yang akan memperjelas gambaran mengenai objek yang diteliti.

Menurut Sugiyono menyatakan bahwa:

“Metode Analisis Deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat

kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi”.

(2008:147)

Menurut Sugiyono metode penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut :

“Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian

yang berlandaskan pada sampel filsafat positivisme, digunakan untuk

meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunkan istrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/ statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.”

(2010:8) Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif merupakan metode yang bertujuan menggambarkan secara sistematis dan faktual tentang fakta-fakta serta hubungan antar variabel yang diselidiki dengan cara mengumpulkan data, mengolah, menganalisis, dan menginterpretasi data dalam pengujian hipotesis statistik.


(50)

Penulis menggunakan metode tersebut, karena penelitian ini ditujukan untuk menggambarkan dengan jelas bagaimana pengaruh pendapatan asli daerah dan danan alokasi umum terhadap belanja modal. Sedangkan, pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kuantitatif, karena data biaya kualitas, biaya produksi dan profitabilitas yang diperoleh dari penelitian ini berupa data kuantitatif.

3.2.1 Desain Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian sangat perlu dilakukan perencanaan dan perancangan penelitian, agar penelitian yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan sistematis.

Menurut Moh. Nazir memaparkan bahwa:

“Desain Penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam

perencanaan dan pelaksanaan penelitian”.

(2003:84) Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa desain penelitian merupakan suatu cara bagi penulis untuk dapat melakukan penelitian secara baik dan sistematis. Oleh karena itu, membuat desain penelitian sangat penting agar dalam melaksanakan penelitian mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Desain penelitian ini menggunakan pendekatan paradigma sederhana. Paradigma sederhana adalah desain penelitian yang hanya terdapat dua variabel saja. Variabel tersebut yaitu satu variabel bebas (independen) dan satu variabel terikat (dependen).


(51)

Desain penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Keterangan :

X1 = Pendapatan Asli Daerah Y = Belanja modal

X2 = Dana Alokasi Umum

Gambar 3.1 Desain Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menerapkan desain penelitian yang lebih luas, yang mencakup proses-proses berikut ini :

1. Mencari dan menetapkan fenomena yang terjadi pada Di Kabupaten

Sumedang.

2. Menetapkan judul dari fenomena yang didapat, sehingga dapat diketahui

apa yang akan diteliti kemudian menentukan identifikasi masalah dalam penelitian.

3. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 yaitu:

1) Bagaimana peranan PAD terhadap belaja modal di Kabupaten

Sumedang.

2) Bagaimana peranan DAU terhadap belanja modal di Kabupaten

Sumedang. X1

Variabel Independen Y

Variabel Dependen X2


(52)

3) Seberapa besar Peranan Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Aokasi Umum Terhadap Belanja Modal di Kabupaten Sumedang.

4. Merumuskan masalah penelitian termasuk membuat spesifikasi dari

tujuan luas jangkauan (Scope), hipotesis untuk diuji. Masalah yang

diteliti dalam penelitian ini adalah, Peranan optimalisasi PAD dan DAU (Variabel independen) sebagai variabel bebas dan belanja modal (Variabel dependen) sebagai variabel terikat.

5. Memilih serta memberi definisi terhadap setiap pengukuran variabel.

Penelitian ini hanya terdapat dua variabel yaitu satu variabel independen

dan satu variabel dependen.

6. Memilih prosedur dan teknik yang digunakan.

7. Menyusun alat serta teknik pengumpulan data-data.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan 2 cara, yaitu pengumpulan data melalui penelitian lapangan atau data yang langsung di peroleh di tempat penelitian dan penelitian kepustakaan atau data yang di peroleh dari sumber lain, seperti buku, literatur, ataupun catatan-catatan perkuliahan.

8. Menghitung pengaruh peranan optimalisasi pendapatan asli daerah dan

dana alokasi umum terhadap belanja modal dengan menggunakan

Regresi linier sederhana dan mengetahui keeratan hubungannya


(53)

9. Pelaporan hasil penelitian termasuk proses penelitian dan interpretasikan data.

3.2.2 Operasionalisasi Variabel

Penjelasan variabel penelitian menurutSugiyono yaitu:

“variabel adalah sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan.”

(2010: 31) Sedangkan definisi operasionalisasi variabel menurut Nur Indriantoro sebagai berikut:

“Definisi operasional adalah penentuan construct sehingga menjadi variabel yang dapat diukur. Definisi operasional menjelaskan cara tertentu dapat digunakan oleh peneliti dalam mengoperasionalisasikan

construct, sehingga memungkinkan bagi peneliti yang lain untuk melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang sama atau

mengembangkan cara pengukuran constructyang lebih baik.”

(2002:69) Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa operasionalisasi variabel diperlukan untuk menentukan jenis, indikator, serta skala dari variabel-variabel yang terkait dalam penelitian, sehingga pengujian hipotesis dengan alat bantu statistik dapat dilakukan secara benar, maka dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang digunakan yaitu:


(54)

1. Variabel Independent (X)

Variaber Independent adalah variabel yang tidak terkait oleh faktor-faktor

lain, tetapi mempunyai penerapan terhadap variabel lain. Variabel independen ini adalah PAD dan DAU.

Pengertianvariabel independent menurutSugiyono yaitu:

“Variabel independent (bebas) adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya

variabel dependent(terikat).”

(2009:39)

Variabel bebas yang diteliti dalam penelitian ini ada dua, pertama (X1)

adalah PAD dan kedua (X2) adalah DAU.

a.Pendapatan asli daerah (X1)

Menurut Marihot P. Siahaan, menjelaskan PAD sebagai berikut :

“yaitu pendapatan yang diperoleh daerah dan dipunggut berdasarkan perturan daerah sesuai dengan perturan perundang-undangan, meliputi Pajak daerah, Retribusi Daerah, termasuk hasil dan pelayanan badan umum (BLU) daerah. Hasil pengelolaan kekayaan pisahkan, antara lain bagian laba dari BUMD, hasil kerja sama dengan pihak ketiga dan Lain-lain PAD yang sah. Pendapatan Asli Daerah adalah hasil berupa uang maupun barang yang dijadikan sebagai kekayaan daerah dalam rangka pembiayaan pembangunan masyarakat dikota”.

(2005:15)

b.Dana alokasi umum (X2)

Menurut Kurniawan menjelaskan DAU sebagai berikut:

“DAU bersifat Block Grant yakni hibah yang penggunaannya cukup

fleksibel (dalam artian tidak banyak larangan) seperti halnya hibah kategori. Hibah ini dapat digunakan untuk banyak tujuan sesuai dengan

kebutuhan.”


(55)

2. Variabel Dependent (Y)

Pengertian Variabel dependent menurutSugiyono yaitu:

“Variabel dependent (terikat) merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akikibat, karena adanya variabel bebas.”

(2009:39)

Karena itu yang menjadi variabel dependent atau variabel terikat (Y) pada

penelitian ini adalah belanja modal.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rasio, berikut ini penjelasan mengenai rasio.

Menurut Sujoko Efferin, Stevanus Haddi Darmadji, dan Yuliawati Tan memaparkan bahwa:

Ratio Scale adalah skala dimana angka mempunyai makna yang sesungguhnya sehingga angka nol dalam skala ini diperlukan sebagai dasar perhitungan dan pengukuran objek penelitian”.

(2004:87) Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa skala rasio adalah bahwa angka nol mempunyai makna, sehingga angka nol dalam skala ini diperlukan sebagai dasar dalam perhitungan dan pengukuran terhadap objek yang diteliti.

Adapun pengertian operasionalisasi variabel menurut Husein Umar adalah: “Penentuan suatu construct sehingga menjadi variabel atau variabel-variabel yang dapat diukur. Definisi operasional menjelaskan cara tertentu

yang dapat digunakan oleh peneliti dalam mengoperasionalisasi construct

sehingga memungkinkan penelitian yang lain untuk melakukan replikasi (pengulangan) pengukuran dengan cara yang sama, atau mencoba untuk mengembangkan cara construct yang lebih baik”.


(56)

Dari pengertian diatas, maka operasionalisasi variabel merupakan definisi yang dinyatakan dengan cara menentukan pemikiran atau gagasan berupa kriteria-kriteria yang dapat diuji secara khusus bagi suatu penelitian menjadi variabel-variabel yang dapat diukur.

Operasionalisasi variabel dapat dilihat pada tabel di bawah ini, sebagai berikut:

Tabel 3.2

Operasionalisasi Variabel

Variabel Konsep Variabel Indikator Skala

Pendapatan Asli Daerah (veriable X1)

adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.

(Elita dalam Pratiwi, 2007).

- Pajak daerah - Retribusi daerah

- Lain-lain pendapatan daerah yang sah

(Elita dalam Pratiwi, 2007)

Rasio

Dana Alokasi Umum (variable X2)

Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. (Halim, 2009). - APBD (Halim, 2009). Rasio Belanja modal (Variabel Y)

belanja modal merupakan belanja yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah serta akan menambah belanja yang bersifat

- Belanja tanah

- Belanja peralatan dan mesin

- Belanja gedung dan

bangunan

- Belanja Modal Jalan, Irigasi

dan Jaringan


(57)

rutin seperti biaya pemeliharaan

( Halim, 2004)

- Belanja Modal Fisik

Lainnya

( Halim, 2004)

3.2.3 Sumber dan Teknik Penentuan Data 3.2.3.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, di mana data yang diperoleh penulis merupakan data yang diperoleh secara langsung, artinya data-data tersebut berupa data sekunder yang telah diolah lebih lanjut dan data yang disajikan oleh pihak lain.

Menurut Sugiyono mengungkapkan bahwa:

“Sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen.”

(2010:137) Data sekunder dapat diperoleh dengan cara membaca, mempelajari dan memahami melalui media lain yang bersumber pada literatur dan buku-buku perpustakaan atau data-data dari perusahaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

3.2.3.2 Teknik penentuan Data

Adapun Teknik Penentuan data terbagi menjadi dua bagian, yaitu populasi dan sampel. Pengertian dari populasi dan sampel itu sendiri adalah sebagai berikut:


(58)

1. Populasi

Menurut Sugiyono, mengemukakan mengenai populasi yaitu: “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh penelitian untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan”.

(2010:80) Berdasarkan pengertian di atas, populasi merupakan obyek atau subyek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian. Populasi yang digunakan adalah data laporan realisasi anggaran, yaitu dari tahun 1971 sampai dengan sekarang tahun 2011.

2. Sampel

Untuk membuktikan kebenaran jawaban yang masih sementara (hipotesis), maka peneliti melakukan pengumpulan data pada objek tertentu, karena objek dalam populasi terlalu luas, maka peneliti menggunakan sampel yang diambil dari populasi tersebut.

Menurut Sugiyono mengemukakan bahwa:

“Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”.

(2010:81) Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.


(59)

Menurut Sugiyono Metode Penelitian Bisnis adalah:

“Teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel.”

(2010:120) Penentuan jumlah sampel yang akan diolah dari jumlah populasi yang

banyak, maka harus dilakukan teknik pengambilan sampling yang tepat.

Pengertian teknik sampling menurut Sugiyono yaitu:

“Teknik samplingadalah merupakan teknik pengambilan sampel”

(2010:81) Untuk menentukan sampel yang akan diteliti terdapat berbagai teknik

sampling yang dapat digunakan. Teknik yang akan digunakan oleh penulis sesuai

dengan judul adalah nonprobability sampling.

Adapun pengertian nonprobability sampling menurut Sugiyonoyaitu:

Nonprobability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel.”

(2010:84)

Jenis nonprobability sampling yang akan digunakan oleh penulis adalah

sampling purposive. Pengertian sampling purposive menurut Sugiyonoyaitu: “Sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.”


(1)

108 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai peranan

optimalisasi pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap belanja

modal pada DPPKAD Kabupaten Sumedang, maka pada bagian akhir dari

penelitian ini penulis menarik kesimpulan, sekaligus memberikan saran sebagai

berikut.

5.1 Kesimpulan

1. Hasil analisis regresi memperlihatkan secara simultan atau bersama-sama

pendapatan hasil daerah dan dana alokasi umum berpengaruh signifikan

terhadap belanja modal di Kabupaten Sumedang. Dengan nilai korelasi

positif yang berarti jika semakin meningkatnya pendapatan hasil daerah

dan dana alokasi umum maka belanja modal akan meningkat. Hasil

penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh (Mardiasmo,

2002:46) yang menyatakan bahwa PAD dan DAU memiliki hubungan

positif yang kuat dengan belanja modal. Hal ini dapat diartikan bahwa

semakin tinggi PAD dan DAU yang didapat daerah maka akan semakin

tinggi pula belanja modal yang dikeluarkan daerah.

2. Hasil analisis regresi memperlihatkan antara pendapatan asli daerah

dengan belanja modal terdapat hubungan yang berbanding terbalik

(negatif) dimana apabila pendapatan asli daerah mengalami kenaikan


(2)

Bab V Kesimpulan Dan Saran 109

menurunkan belanja modal. Berdasarkan hasil penghitungan nilai statistik

uji t secara parsial pendapatan asli daerah tidak memiliki pengaruh

signifikan terhadap belanja modal di Kabupaten Sumedang. Hal ini

menunjukkan hasil penelitian pendapatan asli daerah terhadap belanja

modal tidak dapat digeneralisasikan/ diberlakukan umum pada laporan

realisasi anggaran secara keseluruhan sehingga variabel pendapatan asli

daerah ini tidak dapat digunakan untuk memprediksi peningkatan belanja

modal. Hasil analisis regresi memperlihatkan antara dana alokasi umum

dengan belanja modal terdapat hubungan yang berbanding lurus (positif)

dimana apabila dana alokasi umum mengalami peningkatan pada saat

pendapatan asli daerah tidak mengalami perubahan, maka belanja modal

akan meningkat. Hasil penghitungan nilai statistik uji t secara parsial dana

alokasi umum memiliki pengaruh signifikan terhadap belanja modal di

Kabupaten Sumedang. Sehingga hasil penelitian parsial ini dapat

digeneralisasikan pada seluruh laporan realisasi anggaran dan variabel

dana alokasi umum dapat digunakan untuk memprediksi peningkatan

belanja modal.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil penelitian dan kesimpulan

yang telah dijabarkan sebelumnya, maka penulis memberikan beberapa saran


(3)

Bab V Kesimpulan Dan Saran 110

1. Sebaiknya Pemda terus meningkatkan PAD dibandingkan dengan DAU,

sebab PAD merupakan tolak ukur kemandirian daerah. Salah satu cara

meningkatkan PAD dapat dilakukan melalui intensifikasi pajak. Dengan

tingginya PAD tersebut maka akan semakin mengurangi ketergantungan

pemerintah daerah terhadap bantuan pusat.

2. Sebaiknya pemerintah pusat memperhatikan lebih detail lagi

daerah-daerah yang masih rendah akan pendapatan asli daerah-daerahnya, sehingga

daerah tersebut mendapat transfer dana alokasi umum dengan tujuan untuk

pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan

daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

3. Sebaiknya Pemda Kabupaten Sumedang memprioritaskan anggaran untuk

kepentingan public dengan cara meningkatkan alokasi belanja modal untuk

kepentingan publik. Sebab dengan meningkatnya alokasi belanja modal

akan semakin meningkatkan investasi yang nantinya akan meningkatkan

produktivitas masyarakat, sehingga akan kembali pada meningkatnya

pendapatan daerah. Akan tetapi Pemda juga harus efektif dan efisien dalam

menentukan alokasi belanja modal, sebab dengan tingginya belanja modal

tersebut akan mengakibatkan biaya rutin lainnya (biaya pemeliharaan)


(4)

111

DAFTAR PUSTAKA

Husein Umar, 2005, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Arif, Bahtiar, Muchlis dan Iskandar. 2009. Akuntansi Pemerintahan. Jakarta : Akademia.

Bastian, Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Yogyakarta : BFEE UGM.

Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor Publik : Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga.

Nordiawan, Deddi, Putra, Iswahyudi Sondi dan Rahmawati, Maulidah. 2008. Akuntansi Pemerintahan. Jakarta : Salemba Empat.

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tentang Retribusi Daerah.

Mohammad Nazir, 2003, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Halim, Abdulah. 2004. Akuntansi Sektor Publik : Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Jakarta : Salemba Empat.

Soleh, Chabib dan Rochmansjah, Heru. 2010. Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Bandung : Fokusmedia

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang PerimbanganKeuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Abdul, Halim. (2002). Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat

Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. ALFABETA. Bandung.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. ALFABETA. Bandung.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. ALFABETA. Bandung.


(5)

112

Sujoko Efferin. 2004. Metode Penenlitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Badan Pemeriksa Keuangan. (2007). Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan

Keuangan TA 2007. Bandung: Perwakilan BPK RI

Ihyaul Ulum MD, 2004, Akuntansi sektor publik: sebuah pengantar,universitas


(6)

114

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Karna Yuda Desviana

NIM : 2.11.07.121

Tempat Tangal Lahir : Sumedang, 24 Desember 1989

Agama : Islam

Alamat : Komp. Margahayu Raya Barat Jl.

Uranus Utama Blok A3 No. 11 RT. 01 RW. 06 Soekarno-Hatta

Bandung 40286

Telp./Hp : 022-7505145 / 085720339991

DATA PENDIDIKAN

1. SDN Margahayu Raya 1996-2001 Berijazah

2. SMPN 30 Bandung 2001-2004 Berijazah

3. SMA Kartika Siliwangi-1 Bandung 2004-2007 Berijazah


Dokumen yang terkait

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

2 7 98

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah dan Dampaknya Terhadap Alokasi Belanja Modal (Stud

0 2 16

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, DAN BELANJA MODAL Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi(Studi Empiris di Kabupaten/Kota Eks Karesid

1 2 16

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, DAN BELANJA MODAL Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi(Studi Empiris di Kabupaten/Kota Eks Karesid

0 4 18

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP ANGGARAN BELANJA Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Anggaran Belanja Modal Kabupaten Dan Kota Di Jawa Tengah (Tahun 2012)

0 3 12

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP ANGGARAN BELANJA Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Anggaran Belanja Modal Kabupaten Dan Kota Di Jawa Tengah (Tahun 2012)

0 2 14

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP BELANJA MODAL Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Belanja Modal Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Pemoderasi

0 2 17

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP ALOKASI BELANJA MODAL Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (Pad) Dan Dana Alokasi Umum (Dau) Terhadap Alokasi Belanja Modal (Study Empiris Kabupaten/ Kota Jawa Tengah.

0 1 15

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP ALOKASI BELANJA MODAL Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (Pad) Dan Dana Alokasi Umum (Dau) Terhadap Alokasi Belanja Modal (Study Empiris Kabupaten/ Kota Jawa Tengah.

0 1 14

PENGARUH ANGGARAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA Pengaruh Anggaran Pendapatan Asli Daerah Dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal.

0 1 15