ISLAM DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

K O L O M

ISLAM DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
SAID TUHULELEY
Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP. Muhammadiyah

fsp

litm
erg
er.
co
m)

membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan.
Kewajiban pembebasan ini alamatnya jelas, yaitu individu maupun
kelompok manusia.
Pengingkaran terhadap kewajiban ini, baik individu maupun
institusi yang dibangunnya, termasuk negara, dengan sangat berat
hati harus dikategorikan sebagai “pendusta agama”. Karena
pengingkaran terhadap kewajiban membebaskan manusia dari

kemiskinan dan kemelaratan adalah pengkhianatan terhadap ikrar
Lailaha illa Allah, yang merupakan sendi pokok dari agama.
Persoalannya bagi kita sekarang adalah bagaimana ’bahasa
langit’ itu digunakan untuk menyapa bumi. Kiai Dahlan secara tepat
memilih “Penolong Kesengsaraan Oemoem” sebagai langkah
organisasional untuk mengimplementasikan “perintah langit” itu di
dalam realitas sosial saat itu. Karena itu lahirlah rumah sakit yang
digratiskan, sekolah yang digratiskan, panti asuhan yang bahkan
keperluan hidup sehari-harinya dijamin, rumah miskin, dan berbagai
tindakan organisatoris lainnya.
Pertanyaannya adalah, bagaimana kita kini dan di sini? Secara
mudah dapat kita lihat bahwa perbedaan setting sosial mengharuskan
kita melakukan banyak penyesuaian. Dapat ditemukan paling sedikit
tiga hal yang berbeda. Pertama, jumlah penduduk belum sebanyak
sekarang, kedua, makin terbukanya Tanah Air kita terhadap
kekuatan-kekuatan kapitalis internasional yang dalam tingkat tertentu
bekerjasama dengan elite nasional, dan yang ketiga, kita tidak lagi
dijajah. Hal pertama mengharuskan kita untuk bertindak dalam skala
yang jauh lebih luas. Sebab kurang berhasilnya negara menyejahterakan rakyat menyebabkan jumlah penduduk miskin dan melarat
luar biasa besarnya, hampir sama besar dengan jumlah penduduk

kita di zaman kolonial.
Hal kedua menuntut kita untuk terus-menerus bekerja bagi upaya
membangun tatanan sosial yang adil dan membebaskan. Sebenarnya
tugas ini harusnya dipikul oleh partai politik yang menyertakan wakilnya
di parleman dan eksekutif. Tapi sebagaimana penjelasan tentang hal
ketiga, ternyata tidak banyak yang bisa diharapkan dari partai politik.
Karena itu, organisasi masyarakat sipil, semacam Muhammadiyah
dan NU, harus mengambil peranan ini.
Hal ketiga, memerlihatkan beda nyata antara saat ini dan di masa
penjajahan. Kalau di zaman kolonial partai politik yang dibentuk oleh
kaum pribumi didasari oleh suatu cita-cita besar, Indonesia Merdeka,
maka saat ini partai politik berubah menjadi Syarikat Dagang Politik,
yang kerjaannya sama seperti travel biro: menawarkan kendaraan
untuk mereka yang berminat menjadi gubernur, bupati, anggota DPR
atau DPRD. Sehingga pikiran untuk mewakili rakyat, apalagi berjuang
untuk memperbaiki nasib rakyat banyak itu menjadi prioritas ke sekian
belas. Lagi-lagi sulit diharapkan.
Oleh karena itu, organisasi keagamaan saat ini memikul
tanggungjawab yang besar untuk melakukan berbagai tindakan
guna membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan dan

kemelaratan. Landasan nomatifnya jelas, tunggu apa lagi.l

De
mo
(

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

pd

K


etika seorang Muslim mengikrarkan kalimat tauhid, Lailaha
illa Allah, maka saat itu sesungguhnya ia mulai memantapkan
semangat pemberdayaan masyarakat. Ia berikrar tidak akan
tunduk kepada selain Allah, apalagi sampai menghambakan diri
kepada sesama manusia. Ikrar itu adalah dasar bagi semua upaya
pemberdayaan masyarakat. Sebab, pemberdayaan pada
hakekatnya adalah pembebasan manusia dari berbagai belenggu
dunia; belenggu kultural, belenggu struktural, termasuk belenggu
kemiskinan dan kemelaratan. Oleh karena itu, pembebasan manusia
dari belenggu dunia, termasuk di dalamnya adalah belenggu
kemiskinan dan kemelaratan, adalah kewajiban setiap Muslim,
bahkan kewajiban setiap manusia.
Tugas pembebasan dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan
ini kemudian ditegaskan lebih spesifik dalam surat dengan tujuh ayat
pendek di dalam Al-Qur‘an, sebagaimana yang dikaji secara berulangulang oleh Kiai Ahmad Dahlan, yaitu surat Al-Ma’un, di samping
berbagai ayat dan surat lainnya. Surat dengan tujuh ayat pendek
dalam Juz 30 ini sesungguhnya menegaskan prinsip pembebasan
dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan yang sangat kental. Sayyid
Quthub dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur‘an bahkan menyebutnya sebagai
“memecahkan hakekat besar yang hampir mendominasi pengertian

iman dan kufur secara total”. Betapa tidak! Iman dan kufur yang lazimnya dihubungkan dengan keyakinan kepada Allah atau tidak, secara
tegas dihubungkan dengan berpihak pada kaum miskin atau tidak.
Tiga ayat pertama dari Al-Ma’un memberikan penegasan yang
jelas tentang kriteria para pendusta agama, yaitu menghardik anak
yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Sayyid
Quthub menyebut tiga ayat pertama dari surat Al-Ma’un sebagai cermin
dari ruh akidah dan tabiat agama. Suatu gambaran yang luar biasa
akan tetapi berimplikasi sangat luas terhadap kewajiban setiap manusia
yang beriman kepada Allah dan Rasulnya.
Implikasi utama adalah bahwa setiap manusia berkewajiban
untuk membebaskan sesamanya dari belenggu kemiskinan dan
kemelaratan. Dalam nifo mondial, kewajiban ini berarti manusia
beriman harus membangun tatanan masyarakat sejagat yang bebas
dari penindasan bangsa yang satu kepada bangsa yang lain, juga
bebas dari penghisapan manusia atas manusia. Karena terbukti
tatanana semacam itu telah memelaratkan rakyat di negara-negara
yang sedang berkembang.
Dalam nifo nasional, di samping membangun tatanan sosial yang
bebas dari penindasan, insan beriman juga punya kewajiban untuk
membebaskan manusia secara individual dari belenggu kemiskinan

dan kemelaratan. Ayat kedua dan ketiga dari surat Al-Ma’un
menegaskan kewajiban ini. Tidak menghardik anak yatim dan
menganjurkan memberi makan orang miskin adalah tindakan terhadap
individu manusia dan juga kelompok; dan kewajiban tersebut berlaku
bagi individu maupun kelompok terorganisasi. Dengan demikian, setiap
orang secara individu maupun secara berkelompok dalam institusi
yang dibangunnya, termasuk negara, memiliki kewajiban untuk

SUARA MUHAMMADIYAH 05 / 96 | 1 - 15 MARET 2011

17