Pembahasan
1. Suhu Subletal
Parameter kualitas air yang merupakan faktor pengendali dalam penelitian ini adalah suhu. Penelitian dengan suhu subletal diperoleh melalui uji bioassay dengan
menguji daya tahan pascalarva lobster air tawar dengan perlakuan suhu yang cukup ekstrim. Dengan mengacu pada indikator penggunaan suhu subletal, dimana Cherax
masih dapat bertahan hidup dengan perlakuan suhu 38 C selama 24 jam setelah
perlakuan, maka diperoleh kesimpulan bahwa suhu 38 C merupakan suhu subletal.
Respon stres yang ditunjukkan oleh Cherax dengan perlakuan suhu subletal adalah dengan gerakan yang aktif dan sesekali menghentakkan tubuhnya pada 10-15
menit awal perlakuan. Selanjutnya, diatas 15 menit terlihat bahwa Cherax mulai memperlambat gerakan dan sudah mulai beradaptasi dengan kondisi lingkungannya.
Hal ini berbeda pada perlakuan suhu 39 dan 40 C, yang mana dengan suhu tersebut
terjadi kematian diatas menit ke-10, bila ditelaah lebih lanjut, ternyata kematian terbesar terjadi pada suhu 40
C. Indikasi ini menunjukkan bahwa daya tahan tubuh pascalarva Cherax
tidak mampu beradaptasi dengan suhu 39 dan 40 C dimana mortalitas pada suhu
39 C sebesar 40-60 sedangkan pada suhu 40
C mortalitas mencapai 100 tetapi mulai suhu 38
C ke bawah suhu 30 C tidak dijumpai lagi adanya kematian pascalarva
lobster air tawar. Kenyataan ini menunjukkan bahwa stres suhu sebagai akibat perlakuan hanya
mengakibatkan kematian pascalarva diatas suhu 38 C, yaitu pada saat kemampuan
adaptasi homeostasisnya belum cukup kuat. Pada suhu diatas subletal, lobster air tawar tidak cukup memiliki simpanan energi untuk beradaptasi, maka terjadinya stres suhu
yang tinggi dari media eksternal dapat berakibat fatal bagi kehidupannya.
2. Pengaruh Perlakuan Suhu Subletal Terhadap Molting, Total Hemosit dan
Kadar Glukos Darah
Secara alami larva lobster air tawar akan mengalami siklus ganti kulit secara teratur jika kondisi lingkungan dan nutrisi tercukupi. Sebab potensi tumbuh larva
sangat bergantung pada efisiensi penggunaan energi, yaitu ratio antara energi untuk tumbuh dan metabolisme termasuk energi yang dipergunakan untuk adaptasi. Perlakuan
dengan waktu pemaparan yang berbeda, ternyata memberikan rata-rata persentase
molting yang berbeda pada tiap-tiap perlakuan. Persentase molting terbesar, pada perlakuan C 63,33, indikasi ini menunjukkan bahwa respon fisiolgis yang memacu
pascalarva untuk molting sangat baik pada perlakuan ini kemudian berturut-turut Perlakuan B, Perlakuan D, Perlakuan A dan Perlakuan E. Hal ini diduga berkaitan
dengan kerja hormonal terutama hormon ekdisteroid yang dapat memacu proses molting pada Cherax. Menurut Fingerman et al. 1997, ahli fisiologi mengetahui bahwa stres
pada hewan dapat merugikan atau menguntungkan. Konsep hormesis bisa relevan, organisme tumbuh secara normal dan berfungsi sedikit dibawah kapasitas maksimalnya,
stres-stres yang sedikit kadang-kadang meningkatkan aktifitas fungsi fisiologi. Akan tetapi jika dilihat lebih lanjut sebenarnya pertumbuhan merupakan proses
biologis yang kompleks dimana banyak faktor mempengaruhinya. Menurut Effendie 2002, pertumbuhan dalam individu ialah pertambahan jaringan akibat dari pembelahan
sel secara mitosis. Hal ini terjadi apabila ada kelebihan input energi dan asam amino protein yang berasal dari makanan. Bahan yang berasal dari makanan akan digunakan
oleh tubuh untuk metabolisme dasar, pergerakan, produksi organ seksual, perawatan bagian-bagian tubuh atau mengganti sel-sel yang sudah tidak terpakai. Bahan-bahan
tidak berguna akan dikeluarkan dari tubuh melalui eksresi. Apabila terdapat bahan berlebih dari keperluan tersebut akan dibuat sel baru sebagai penambahan unit atau
penggantian sel dari bagian tubuh, secara keseluruhan resultantenya merupakan perubahan ukuran.
Akibat pengaruh stres suhu akan memacu organ Y untuk menghasilkan Molt Accelerating Hormone MAH yang dapat membantu kelancaran proses ganti kulit
Sullivan, 1982 dalam Anggoro, 1992. Sedangkan menurut Fingerman et al. 1997, dengan adanya rangsangan suhu, akan merangsang organ Y untuk lebih banyak
memproduksi hormon ekdisteroid yang berfungsi mempercepat proses molting . Sejauh mana pengaruh perlakuan suhu subletal dengan waktu yang berbeda terhadap produksi
hormon ekdisteroid dan zat pemercepat ganti kulit pada Cherax, masih perlu penelitian lanjutan.
Diduga ada kaitan antara jumlah total hemosit akibat perlakuan stres suhu dengan proses molting. Jika dihubungkan total hemosit pada masing-masing perlakuan
Gambar 13, dengan jumlah udang yang molting Tabel 2, terlihat bahwa jumlah
Cherax yang molting terbanyak pada masing-masing perlakuan pada hari ketiga, sejalan
dengan hasil pengamatan total hemosit yang menunjukkan konsentrasi yang tinggi pada hari kedua dan ketiga kecuali pada perlakuan A Kontrol. Tetapi hubungan total
hemosit terhadap molting akibat berbagai respon stres belum banyak diketahui. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa ada peningkatan jumlah total hemosit pada
masing-masing perlakuan jika dibandingkan dengan kontrol. Selama 5 hari pengamatan setelah perlakuan suhu subletal dengan selang waktu pemaparan yang berbeda,
menunjukkan bahwa pada hari pertama setelah perlakuan, terlihat sedikit kenaikan jumlah hemosit pada masing-masing perlakuan. Tetapi pada hari ketiga terjadi
peningkatan total hemosit kecuali pada kontrol dan mulai turun kembali pada hari ke-4 dan ke-5 mendekati jumlah hemosit kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi
pascalarva Cherax relatif mulai stabil pada hari ke-5 akibat pengaruh stres suhu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cheng et al. 2005, yang mengamati pengaruh suhu
terhadap respon immun udang vannamei, menunjukkan bahwa perlakuan suhu 24, 28 dan 32
C selama 24 sampai 96 jam akan menurunkan total hemosit sekitar 12-16. Menurut Anderson dan Siwicki 1995 dalam Djauhari 2005, bahwa secara deskriptif,
jumlah total hemosit selama serangan infeksi cenderung meningkat. Adanya gejala stres sering ditandai peningkatan total hemosit. Sebagaimana diungkapkan Person et al.
1987 dalam Djauhari 2005, bahwa tingkat imunitas lobster air tawar terhadap serangan infeksi jamur Aphanomyces astaci dapat diindikasikan oleh jumlah hemosit
yang bersirkulasi dalam hemolim. Lebih lanjut dikatakan bahwa menurunnya total hemolim berarti agen patogen mulai menerobos menginfeksi ketingkat jaringan yang
berujung kematian inang. Kemungkinan lain peningkatan dan penurunan fluktuatif total hemosit diduga disebabkan oleh variasi metabolisme fisiologis antar individu. Menurut
Jussila 1997, beberapa faktor yang mempengaruhi total hemosit antara lain intervensi patogen, mekanisme molting dan kondisi lingkungan. Lebih lanjut diungkapkan oleh
Chang 2005, bahwa hemosit berperan dalam proses pembekuan darah, pengerasan eksoskeleton pasca molting dan pembersihan sistem haemocoal dari antigen. Nilai rata-
rata total hemosit berbagai jenis udang penaeid bervariasi antara 20 x 10
6
hingga 40 x 10
6
selml.
Glukoneogenesis merupakan istilah yang digunakan untuk mencakup semua mekanisme dan lintasan yang bertanggung jawab untuk mengubah senyawa
nonkarbohidrat menjadi glukosa atau glikogen. Substrat utama bagi glukoneogenesis adalah asam amino glukogenik, laktat, gliserol dan propionat. Hati dan ginjal
merupakan jaringan utama yang terlibat, karena kedua organ tersebut mengandung komplemen lengkap enzim-enzim yang diperlukan Murray, et al. 2003.
Kadar glukosa darah pada masing-masing perlakuan berfluktatif. Pada hari pertama setelah perlakuan kadar glukosa menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Rata-rata peningkatan kadar glukosa darah terjadi pada hari ke-3 dan terjadi penurunan kembali pada hari ke-4 dan ke-5
mendekati kadar glukosa darah kontrol. Dengan demikian penurunan kadar glukosa darah pada hari ke-5 mengindikasikan bahwa kondisi pascalarva Cherax setelah 5 hari
perlakuan relatif mulai stabil. Menurut Piliang dan Al Haj 2006, homeostasis gula dalam darah diatur melalui mekanisme hormonal, untuk mempertahankan kadar gula
darah agar tetap stabil, memberi arti amat penting untuk kesehatan dan bahkan untuk kehidupan, karena setiap sel dalam tubuh membutuhkan suplai energi agar fungsi dan
kehidupan sel dapat berlangsung. Setiap gangguan yang terjadi pada suplai glukosa akibat tidak berfungsinya mekanisme-mekanisme homeostasis glukosa, seperti
kekurangan makan dan stres akan membawa dampak serius yang mungkin dapat mengancam kehidupan organisme tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Hall dan Ham 1998, tentang pengaruh berbagai penyebab stres terhadap kadar glukosa darah udang windu, menyimpulkan bahwa
pemeliharaan udang dengan kepadatan 9 – 50 ekorm
2
tanpa pemberian oksigen akan menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah dari 1 mmoll menjadi 2,1 mmoll
setelah 1 jam tanpa aerasi. Tetapi kadar glukosa darah akan turun kembali pada kadar 1 mmoll setelah 7 – 10 jam pemberian aerasi. Penelitian dengan ikan Gasterosteus
aculeatus yang dilakukan oleh Pottinger et al. 2002, melaporkan bahwa stres lingkungan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar glukosa darah selama 24 jam tetapi
pengaruh stres lingkungan selama 10 hari akan menurunkan kadar glukosa darah dari 2,4 mggram menjadi 0,72 mggram pada hari ke-10. Sedangkan penelitian pada
kepiting Cancer pagurus yang dilakukan oleh Webster 1996, menjelaskan bahwa
kadar glukosa dalam hemolim selama perlakuan stres hypoxia meningkat dari 15 menjadi 65 µg100 µl hemolim setelah 4 jam.
Menurut Murray,
et al . 2003, bahwa Glukoneogenesis memenuhi kebutuhan
tubuh akan glukosa pada saat karbohidrat tidak tersedia dalam jumlah yang cukup di dalam makanan. Pasokan yang terus menerus diperlukan sebagai sumber energi
khususnya bagi sistem syaraf dan eritrosit, akan mengakibatkan kegagalan pada glukoneogenesis yang biasanya berakibat fatal.
3. Hubungan antara perlakuan stres suhu terhadap konsumsi pakan