Perkembangan Regulasi Bank Syariah di Indonesia

5. Lingkungan dan budaya kerja Sebuah bank syariah harus memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Hal ini menyangkut etika kerja dan usaha yang merupakan cerminan dari sunnah Rasulullah SAW berkaitan dengan ketauladanannya dalam perilaku kehidupan sebagai aplikasi dari nilai-nilai syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq harus melandasi perilaku setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu, karyawan bank harus memiliki skillful dan professional fathanah, dan mampu melakukan team work dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi tabligh. Demikian pula dalam hal punishment dan reward, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai syariah. Etika juga harus dijaga dalam hal berpakaian aurat yang tertutup dan tingkah laku para karyawan serta perlakuan yang baik terhadap nasabah sehingga memberikan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam. 50

E. Perkembangan Regulasi Bank Syariah di Indonesia

Perkembangan bank syariah di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan perangkat hukum yang mengaturnya. Dasar hukum pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia termasuk juga perbankan syariah terbagi dalam dua bagian, yaitu dasar hukum normative dan dasar hukum formal. Dasar hukum normatifnya bersumber dari Alquran, sunnah dan ijtihad, sedangkan dasar hukum 50 Ibid., hal. 34 Universitas Sumatera Utara formalnya merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah untuk menjalankan ekonomi syariah. Perkembangan regulasi mengenai perbankan syariah di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Bank Islam secara yuridis baru dimungkinkan ketika lahirnya Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang dapat dilihat pada Pasal 6 huruf m. Dalam Pasal 6 huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 ,belum ada istilah resmi bank syariah, tetapi disebut didalamnya ”Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah”. Ketentuan tentang bank dengan prinsip bagi hasil itu sendiri terlihat hanya sebagai sisipan dari peraturan pokoknya, serta bank bank bagi hasil harus tunduk pada ketentuan peraturan perbankan konvensional berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Di dalam Pasal 5 ayat 3 PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat 2 PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang Universitas Sumatera Utara akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”. 51 Dalam Pasal 13 huruf c mengatakan bahwa salah satu usaha bank perkreditan rakyat adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Menanggapi Pasal tersebut, pemerintah pada tangal 30 Oktober 1992 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil yang menyatakan: Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat 1 PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank. 52 1. Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. 2. Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tida berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. 51 www.purwantohadi.multiply.comjournalitem10_Sejarah_Hukum_Perbankan_Syar iah_di_Indonesia, diakses pada 20 Januari 2011 52 Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil Universitas Sumatera Utara Peraturan teknis pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan PP Nomor 72 Tahun 1992 tersebut dijabarkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 254BPPP tanggal 29 Februari 1993, yang pada pokoknya menetapkan sebagai berikut: 53 1. Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha semata-mata berdasrkan prinsip bagi hasil. 2. Prinsip bagi hasil yang dimaksud adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariah. 3. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah. 4. Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya bank umum dan bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 memberikan keleluasaan untuk mempraktikkan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya dilakukan dalam hal: 1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil bagi bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatannya tidak berdasarkan 53 Gemala Dewi, op. cit., hal. 188 Universitas Sumatera Utara prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. 2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan, baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai prinsip syariah, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia. Dalam hal penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industry, keuangan, jasa, dan lain-lain, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juga dibentuk lembaga penyelesaian sengketa Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BAMUI. Prof. Mariam Badrulzaman, dalam makalahnya yang berjudul Peranan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia dalam pembangunan hukum Nasional, menyatakan: “Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-Undang tersebut memperkenalkan sistem bagi hasil yang tidak dikenal dalam Undang- Undang Pokok Perbankan Nomor 14 tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu, maka perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem bunga. Jika selama ini peranan hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi bisnis.” 54 Pada Periode 1992 sampai 1998 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992, meskipun telah memungkinkan berdirinya lembaga 54 Adrian Sutedi, op. cit., hal. 31 Universitas Sumatera Utara keuangan bank dengan prinsip syariah, namun ketentuan-ketentuan perbankan pada saat itu masih tertuju pada konsep operasional perbankan konvensional. 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Dalam perkembangan regulasi perbankan pasca krisis moneter pada 1997-1998, diundangkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Perubahan Undang-Undang yang mengatur mengenai regulasi perbankan ini memperluas ruang gerak perbankan syariah. Perubahan Undang-Undang perbankan ini tidak terlepas dari usaha untuk menata kembali lembaga keuangan Indonesia pasca krisis 1997. Bank syariah ditengah krisiss tersebut terbukti tetap sehat dan mampu bertahan, hal ini kemudian yang mengarahkan pemerintah untuk melirik sistem perbankan syariah yang member alternative jalan keluar dari krisis moneter. 55 Secara garis besar, dari Undang-undang tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa sistem perbankan syariah dikembangkan dengan tujuan, antara lain: Istilah bank syariah mulai diperkenalkan pada Undang-undang ini sebagai istilah resmi untuk menyebut bank dengan prinsip bagi hasil dan pada pada Pasal 1 butir 13 disebutkan berlakunya hukum Islam sebagai dasar transaksi di Bank syariah. Selain itu juga memberikan kesempatan bagi bank konvensional membuka cabang syariah, atau melakukan konservasi total menjadi bank syariah. 56 55 Gemala Dewi, op. cit., hal. 192 56 Gemala Dewi, op. cit., hal. 61 Universitas Sumatera Utara a. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan lebih luas, terutama dari segmen yang selamaini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan yang berdasarkan sistem bunga. b. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam rinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan investor yang harmonis mutual investor relationship. Sementara dalam bank konvensional, konsep yang diterapkan adalah hubungan debitiur dan kreditur debitor to creditor relationship c. Memenuhi kebutuhan akan produk perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan perpectual interest effect, membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif, pembiayaan ditujukan bagi usaha-usaha yang lebih memperhatikan unsur moral. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK direksi BI dan peraturan BI telah memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Didalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 juga telah menjamin adanya kepastian hukum bagi kelembagaan dan kegiatan usaha bank syariah, hal tersebut diantaranya dapat dilihat dalam Universitas Sumatera Utara pengaturan aspek kelembagaan dan kegiatan dan usaha bank syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal tersebut menjelaskan bahwa bank umum dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional atau prinsip syariah atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Dalam hal bank umum konvensional melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, maka kegiatan tersebut dilakukan dengan membuka satuan kerja dan kantor cabang khusus yaitu unit usaha syariah dan kantor-kantor cabang syariah. Sedangkan bank perkreditan rakyat hanya dapat memilih antara mendasarkan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip sistem konvnsional atau berdasarkan pinsip syariah. Bank umum konvensional yang akan membuka kantor cabang syariah wajib melaksanakan: 57 1 Pembentukan Unit Usaha Syariah UUS 2 Memiliki Dewan Pengawas Syariah yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional 3 Menyediakan modal kerja yang disishkan oleh bank dalam suatu rekening terpisah atas nama unit usaha syariah yang dapat digunakan untuk membayar biaya kantor dan lain-lain berkaitan dengan kegiatan operasional maupun non operasional kantor cabang syariah. Walaupun dengan begitu besarnya pengaruh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 pada perkembangan bank syariah, masih terdapat beberapa kekurangan-kekurangan yang dapat mengurangi kesempurnaan pelaksanaan 57 Gemala Dewi, op.cit., hal. 63 Universitas Sumatera Utara prinsip syariah dalam perbankan syariah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menjadi dasar hukum penerapan dual banking system di Indonesia, dalam operasionalnya masih harus mengikuti bank konvensional. Untuk dapat menerapkan prinsip syariah secara kaffah maka dibutuhkan kemandirian perbankan syariah dengan pengaturan secara tersendiri mengenai perbankan syariah. 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 10 ayat 2 memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat 1 Undang-undang No. 23 Tahun 1999 juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 sembilan puluh hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian Undang-undang Bank Indonesia sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya. 4. Fatwa Dewan Syariah Nasional DSN Kumpulan fatwa MUI-DSN menjadi patokan utama dalam kegiatan perbankan syariah yang terhimpun dalam Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Dalam perkembangan hukum Islam, Fatwa dalam perkembangannya Universitas Sumatera Utara dibedakan atas dua bentuk. Pertama, fatwa dalam definisi klasik, yaitu fatwa yang bersifat opsional ikhtiyariah pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti pihak yang meminta fatwa, sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada muftiseorang ahli yang lain. Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah penerimaankepuasan secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan qadha yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara. 58 Kekuatan mengikat fatwa tersebut bersifat normatif, artinya fatwa itu hanya mengikat 1 bagi yang mengeluarkan, atau menfatwakannya 2 mengikat bagi yang menerimanya atau menundukkan diri atas fatwa itu. Dengan kata lain, keberlakuan secara normatif artinya hanya memiliki kekuatan mengikat jika diakui, diterima, dan dilaksanakan oleh umat Islam sesuai tingkat kesadaran pemahaman dan keimanannya. Karena sifat fatwa klasik yang seperti itu, maka tidak berlaku secara mutlak dan universal bagi seluruh umat Islam. 59 Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial. Otoritas fatwa tentang ekonomi 58 www. zonaekis.comfatwa-ekonomi-syariah-di-indonesia diakses pada 19 januari 2010 59 Arifin Hamid , op. cit., hal. 134 Universitas Sumatera Utara syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomikeuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional DSN melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan, Ikatan Akuntan Indonesia, dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia. Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syari’ah LKS yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS. 60 Dalam menentukan latar belakang mengikatnya fatwa DSN, Yeni Salma Barlinti, Dosen Hukum Islam Universitas Indonesia, dalam disertasinya yang berjudul “Kedudukan Fatwa DSN dalam Sistem Hukum Nasional” dalam kesimpulannya menyatakan bahwa fatwa DSN adalah hukum positif yang mengikat, sebab keberadaannya sering dilegitimasi lewat peraturan perundang- undangan oleh lembaga pemerintah, sehingga harus dipatuhi pelaku ekonomi 60 http:zonaekis.comfatwa-ekonomi-syariah-di-indonesia diakses pada 19 januari 2010 Universitas Sumatera Utara syariah. Dalam perkembangannya, pemerintah -Bank Indonesia, Kementerian Keuangan atau Bapepam-LK- seringkali melibatkan DSN dalam menyusun peraturan. Misalnya, Keputusan Menkeu, Peraturan Bank Indonesia PBI, Peraturan Ketua Bapepam-LK. DSN kerap diminta membuat fatwa terlebih dahulu ketika pemerintah akan membuat aturan. Dengan demikian, fatwa DSN- MUI menjadi pedoman atau dasar keberlakuan kegiatan ekonomi syariah tertentu bagi pemerintah dan LKS. Jadi fatwa DSN itu bersifat mengikat karena diserap ke dalam peraturan perundang-undangan. Dan sekitar 98 Pasal dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sama dengan fatwa DSN . 61 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 DSN sebagai satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 73 fatwa yang menjadi pedoman pelaksanaan ekonomi syariah secara luas, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disahkan pada tanggal 17 Juni 2008 dalam Rapat Paripurna DPR, yang disetujui oleh 9 fraksi dari 10 fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah 6 tahun 61 http:www.hukumonline.comberitabacalt4c675fd06e150fatwa-dsn-merupakan- hukum-positif-mengikat diakses pada 19 Januari 2011 Universitas Sumatera Utara rancangan undang-undang perbankan syariah diproses, akhirnya sejak saat itu perbankan syariah memiliki paying hukum sendiri yang semakin menguatkan eksistensi perbankan syariah di Indonesia. Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 memiliki beberapa kecenderungan perubahan yang ingin dilakukan terhadap perbankan syariah. Pertama, Undang-Undang ini kental dengan nuansa mensyariahkan bank syariah, hal tersebut terlihat dariketentuan tentang jenis dan kegiatan usaha, pelaksanaan prinsip syariah, komite perbankan syariah dan komisaris syariah, serta dewan pengawas syariah. Kedua, Undang-Undang ini berorientasi kepada stabilitas sistem dengan mengadopsi ketentuan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision, hal ini terlihat dari ketentuan tentang [erizinan, prinsip kehati-hatian, kewajiban pengelolaan risiko, pembinaan dan pengawasan, serta jarring pengaman sistem perbankan syariah. 62 Beberapa implikasi dari lahirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 terhadap perkembangan bank syariah adalah: 63 1 Jaminan kepastian hukum Jaminan kepastian hukum menjadi hal yang paling mendasar dan penting dari lahirnya Undang-Undang perbankan syariah bagi pelaku usaha dan pengguna jasa perbankan syariah yang selama ini belum leuasa dan merasa aman dalm melakukan aktivitasnya di industry perbankan syariah di Indonesia. Selain itu jaminan kepastian hukum dapat menarik investor asing 62 Adrian Sutedi , op. cit., hal. 40 63 Amir Machmud, Bank Syariah Teori Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2010 hal.74-75 Universitas Sumatera Utara untuk berinvestasi ke perbankan syariah Indonesia, baik yang bersifat komersial maupun dana-dana yang berkaitan dengan program sosial. 2 Peningkatan dukungan pemerintah Lahirnya ketentuan yang mengatur perbankan syariah dalam bentuk Undang-undang akan semakin akan semakin menunjukkan dukungan pemerintah yang lebih nyata dalam memajukan perbankan syariah dalam beberapa hal yang hingga sekarang masih menghambat target perkembangan perbankan syariah Indonesia. Perwujudan peningkatan dukungan pemerintah itu diantaranya adalah: a. Peningkatan sosialisasi dan pemberian pemahaman kepada masyarakat yang masih belum memiliki pengetahuan mengenai bank syariah. Dengan dindangkannya secara khusus Undang-Undang bank syariah, maka perbankan syariah akan memasuki institusi-institusi formal sehingga sosialisasi menjadi luas dan pangsa pasar perbankan sariah akan turut meluas. b. Peningkatan permodalan perbankan syariah, terutama dalam hal mendukung penetrasi penawaran investasi kepada investor timur tengah dalam hal ini pemerintah akan mempromosikan perbankan syariah kepada para calon investor asing dengan berbagai proyek-proyek yang dapat disinergikan antara pemerintah dan perbankan syariah. c. Memperluas jaringan perbankan syariah yang belum menjangkau luas keseluruh wilayah Indonesia melalui program dan dukungan pemerintah. 3 Penerbitan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Perbankan Syariah Universitas Sumatera Utara Dengan disahkannya Undang-Undang perbankan Syariah tersebut, segala peraturan dan ketentuan yang mengatur segala operasional perbankan syariah harus disesuaikan yang mengacu pada undang-undang tersebut, baik ketentuan yang ada di pemerintah, maupun yang ada di Banki Indonesia. Regulasi mengenai ketentuan tentang pelaksanaan operasional bank syariah akan berada dibawah BI, sedangkan mengenai tata kelola agar sesuai prinsip syariah akan berada dibawah pengawasan MUI. 4 Penguatan sinergi pasar keuangan syariah Pasar keuangan syariah selain dikuatkan dengan kehadiran Undang- Undang Perbankan Syariah, juga dikuatkan dengan adanya Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara SBSN, keduanya akan saling mengisi dalam upaya memenangkan pasar keuangan syariah, yang sekarang ini telah menjadi bagian sistem global. Dalam Undang-Undang Perbankan Syariah menunjukkan betapa pengembangan perbankan syariah adalah untuk jangka panjang, yang diharapkan dapat mampu menjadi penopang sistem perekonomian Indonesia sehingga memiliki daya tahan dalam persaingan dan krisis di sunia ekonomi. Selain itu, Undang-Undang Perbankan Syariah membuka peluang besar bagi perkembangan bank syariah kedepannya. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008, menyatakan bahwa Bank syariah maupun bank perkreditan rakyat syariah Universitas Sumatera Utara tidak dapat dikonversi menjadi bank konvensional, sebagaimana dalam Pasal 5 ayat 7. Demikian pula dalam penggabungan merger atau peleburan akuisisi antara bank syariah dengan bank konvensional wajib menjadi bank syariah Pasal 17 ayat 2. Dalam hal Unit usaha Syariah yang dimiliki bank konvensional harus melakukan pemisahan Spin off apabila UUS mencapai asset minimal 50 lima puluh persen dari total nilai asset bank induknya atau setelah beroperasi lewat 15 tahun sejak Undang-Undang Perbankan Syariah berlaku. Bank umum syariah juga dimungkinkan untuk didirikan danatau dimiliki oleh warga Negara asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia Pasal 9 ayat 1 butir b. pemilikan piahak asing dapat secara langsung atau tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek Pasal 14 ayat 1. Walaupun bank konvensional dapat membuka Unit Usaha Syariah untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan syariah, kegiatan usaha yang dapat dilakukan Bank UmumSyariah lebih luas dibandingkan yang dapat dilakukan Unit Usaha Syariah. Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah adalah: 64 1.Menjamin penerbitan surat berharga 2.Penitipan untuk kepentingan pihak lain 3.Menjadi wali amanat 4.Ikut dalam penyertaan modal 5.Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun 64 Ibid., hal 74 Universitas Sumatera Utara 6.Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek syariah. Dalam kegiatan sosial, bank syariah juga dapam membentuk lembaga baitul maal unutk menerima dana dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat Pasal 4 ayat 2. Dan menghimpun dana dari wakaf berbentuk uang dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf nazhir sesuai kehendak pemberi wakaf Pasal 4 ayat 3 65

F. Prinsip Operasional Bank Syariah