Makalah Konsep Akad Bank Syariah

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Bank syariah di Indonesia terhitung masih sangat muda,
perkembangannya pun di Indonesia begitu lambat, sebenarnya
pembahasan tentang Bank Syariah sudah pernah dibahas pada tahun
1980-an, namun realisasinya terjadi pada tahun 1992 yang dilakukan
oleh salah satu bank pemerintah, yaitu Bank Muamalat Indonesia,
dengan hukum yang jelas. Pada awalnya perkembangan bank di
Indonesia masih bersifat konvensional dalam artian, belum Memiliki
standar dari bank syariah sendiri, karena bank syariah berbasisi
ideologi Islam. Sedangkan bank konvensional berdasarkan ideologi
barat terutama ideologi Amerika dan Eropa. Pada makalah kali ini kami
tidak akan membahas tentang mengapa bank konvensional Indonesia
beralih kepada bank syariah, tetapi kami membahas bank syariah
secara umum.
Secara umum ada beberapa karakteristik yang membedakan
antara bank syariah dengan bank konvensional :
1.
Bank syariah tidak menggunakan bunga
2.

Tidak digunakan untuk usaha yang haram
3.
Menerima zakat, infaq dan sodaqoh untuk disalurkan
kepada masyarakat yang membutuhkan, terdapat 8 golongan
dalam Al Qur’an
Pada point pertama, dalam bank syariah tidak menggunakan
bunga, melainkan menggunakan konsep bagi hasil dimana jika bank
mendapatkan keuntungan maka akan dibagi hasil keuntungan tersebut
dengan para penabung, jika bank rugi maka para penabung pun akan
rugi. Bank syariah juga tidak serta merta meminjamkan sejumlah
uangnya kepada masyarakat secara tunai melainkan dengan prinsip
bagi hasil (mudharabah), prinsip penyertaan modal (musyarakah),
prinsip jual beli (murabahah) dan prinsip sewa (ijarah).

A.

BAB II
PEMBAHASAN
Akad-Akad Dalam Bank Syariah


v Antara wa’ad dengan akad
Fikih muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad
adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara
akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu
pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan
kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban
apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya
belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak
yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang
diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat,
yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka
masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, terms
and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah welldefined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu
tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi
seperti yang sudah disepakati dalam akad.
v Antara tabarru’ dengan tijarah
Selanjutnya, dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fikih muamalat
membagi lagi akad menjadi dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad
tijarah/mu’awadah.

1. Akad tabarru’
Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang
menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini
pada hakekatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam
rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa
Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat
kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada
pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan
dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut
boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekadar menutupi biaya
(cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’
tersebut. Tapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’
itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah,
kafalah, wadi’ah, hibah,waqf, shadaqah,hadiah, dll.
2. Akad Tijarah

Seperti yang telah kita singgung di atas, berbeda dengan akad tabarru’,
maka akad tijarah/mu’awadah (compensational contract) adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini

dilakukan dengan tujuan mencarikeuntungan, karena itu bersifat komersil.
Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa,
dll. (Skema Akad-Akad) di bawah ini memberikan ringkasan yang
komprehensif mengenai akad-akad yang lazim digunakan dalam fikih
muamalah dalam bidang ekonomi.
1.
B.
Prinsip Jual-Beli Dalam Ajaran Islam
v Jenis-Jenis Akad Dan Berbagai Konsekuensi Hukumnya
1.
1.
Pembagian akad ditinjau dari tujuannya.
Bila kita memperhatikan tujuan atau maksud berbagai akad yang terjadi
antara dua orang atau lebih, maka kita dapat membagi berbagai akad
tersebut menjadi tiga macam:
Pertama: Akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan materi,
sehingga setiap orang yang menjalankan akad ini senantiasa sadar dan
menyadari bahwa lawan akadnya sedang berusaha mendapatkan
keuntungan dari akad yang ia jalin. Pada akad ini biasanya terjadi suatu
proses yang disebut dengan tawar-menawar. Sehingga setiap orang tidak

akan menyesal atau terkejut bila dikemudian hari ia mengetahui bahwa
lawan akadnya berhasil memperoleh keuntungan dari akad yang telah
terjalin dengannya.
Contoh nyata dari akad macam ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa,
syarikat dagang, penggarapan tanah (musaqaah), dll. Syari’at Islam pada
prinsipnya membenarkan bagi siapa saja untuk mencari keuntungan
melalui akad macam ini.
Kedua: Akad yang bertujuan untuk memberikan perhargaan, pertolongan,
jasa baik atau uluran tangan kepada orang lain. Dengan kata lain, akadakad yang bertujuan mencari keuntungan non materi. Biasanya yang
menjalin akad macam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan
atau sedang terjepit oleh suatu masalah. Oleh karena itu, orang yang
menjalankan akad ini tidak rela bila ada orang yang menggunakan
kesempatan dalam kesempitannya ini, guna mengeruk keuntungan dari
bantuan yang ia berikan. Contoh nyata dari akad macam ini ialah: akad
hutang-piutang, penitipan [1], peminjaman, shadaqah, hadiyah,
pernikahan, dll. Karena tujuan asal dari akad jenis ini demikian adanya,

maka syari’at Islam tidak membenarkan bagi siapapun untuk mengeruk
keuntungan darinya
Ketiga: Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hak yang terhutang.

Dengan demikian, akad ini biasanya diadakan pada akad hutang-piutang,
sehingga tidak dibenarkan bagi pemberi piutang (kreditur) untuk
mengambil keuntungan dari barang yang dijaminkan kepadanya. Bila
kreditur mendapatkan manfaat atau keuntungan dari piutang yang ia
berikan, maka ia telah memakan riba, sebagaimana ditegaskan pada
kaidah ilmu fiqih di atas. Ditambah lagi, harta beserta seluruh
pemanfaatannya adalah hak pemiliknya, dan tidak ada seseorangpun
yang berhak untuk menggunakannya tanpa seizin dan kerelaan dari
pemiliknya. Misalnya: Bila A menjual mobil kepada B seharga Rp
50.000.000,- dan dibayarkan setelah satu tahun, dengan jaminan sebuah
rumah. Dan ketika akad penjualan sedang berlangsung, A mensyaratkan
agar ia menempati rumah tersebut selama satu tahun hingga tempo
pembayaran tiba, dan B menyetujui persyaratan tersebut, maka A
dibenarkan untuk menempati rumah milik B yang digadaikan tersebut.
Karena dengan cara seperti ini, sebenarnya A telah menjual mobilnya
dengan harga Rp 50.000.000,- ditambah ongkos sewa rumah tersebut
selama satu tahun.
Adapun bila akad penjualan telah selesai ditandatangani, maka tidak
dibenarkan bagi A untuk menempati rumah tersebut, baik seizin B atau
tanpa seizin darinya, sebab bila ia memanfaatkan rumah tersebut, berarti

ia telah mendapat keuntungan dari piutang dan itu adalah riba,
sebagaimana ditegaskan pada kaedah ilmu fiqih di atas.Diantara akad
yang tergolong kedalam kelompok ini ialah akad pegadaian (rahnu),
jaminan (kafalah), persaksian (syahadah) dll.
1.
2.
Pembagian akad ditinjau dari konsekuensinya.
Akad sesama manusia bila ditinjau dari sifat dasar akad tersebut, maka
kita dapat mengelompokkannya menjadi dua kelompok besar:
Pertama: Akad yang mengikat kedua belah pihak, Maksud kata “mengikat”
disini ialah bila suatu akad telah selesai dijalankan dengan segala
persyaratannya, maka konsekwensi akad tersebut sepenuhnya harus
dipatuhi dan siapapun tidak berhak untuk membatalkan akad tersebut
tanpa kerelaan dari pihak kedua, kecuali bila terjadi cacat pada barang
yang menjadi obyek akad tersebut.Diantara contoh akad jenis ini ialah
akad jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, dll

Kedua: Akad yang mengikat salah satu pihak saja, sehingga pihak
pertama tidak berhak untuk membatalkan akad ini tanpa izin dan kerelaan
pihak kedua, akan tetapi pihak kedua berhak untuk membatalkan akad ini

kapanpun ia suka. Diantara contoh akad jenis ini ialah: Akad pergadaian
(agunan). Pada akad ini pihak pemberi hutang berhak mengembalikan
agunan yang ia terima kapanpun ia suka, sedangkan pihak penerima
hutang sekaligus pemilik barang yang dijadikan agunan/digadaikan tidak
berhak untuk membatalkan pegadaian ini tanpa seizin dari pihak pemberi
piutang.
Ketiga: Akad yang tidak mengikat kedua belah pihak, Maksudnya masingmasing pihak berhak untuk membatalkan akad ini kapanpun ia suka dan
walaupun tanpa seizin dari pihak kedua, dan walaupun tanpa ada cacat
pada obyek akad tersebut.Diantara contoh akad jenis ini ialah: akad
syarikat dagang, mudharabah (bagi hasil) penitipan, peminjaman, wasiat,
dll.
v Manfaat mengetahui pembagian akad ditinjau dari tujuannya.
Dengan memahami pembagian akad ditinjau dari tujuannya semacam ini,
kita dapat memahami alasan dan hikmah diharamkannya riba.
Sebagaimana kita dapat memahami hikmah pembedaan antara riba
dengan akad jual-beli:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan

riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(Qs. Al Baqarah: 275)
Diantara faedah mengetahui pembagian akad ditinjau dari tujuannya
semacam ini, akan nampak disaat terjadi perselisihan yang diakibatan
oleh adanya cacat pada barang yang menjadi obyek suatu akad. Karena
adanya cacat pada obyek tersebut akan sangat berpengaruh pada proses
akad jenis pertama. Tetapi keberadaan cacat tersebut tidak memiliki
pengaruh apapun pada akad jenis kedua dan ketiga.
v Manfaat
mengetahui
pembagian
akad
ditinjau
dari
konsekwensinya.
Dengan mengetahui pembagian macam-macam akad ditinjau dari sisi ini,
kita dapat mengetahui hukum berbagai persengketaan yang sering terjadi
di masyarakat karena perselisihan tentang siapakah yang bertanggung

jawab atas kerusakan yang terjadi pada barang yang menjadi obyek suatu

akad. Diantara manfaat mengetahui pembagian akad ditinjau dari sisi ini
ialah: kita dapat mengetahui hukum memutuskan akad yang telah dijalin,
karena pada akad jenis pertama, tidak dibenarkan bagi siapapun dari
pihak-pihak yang telah melangsungkan akad untuk membatalkannya
kecuali dengan seizin pihak kedua.
Sedangkan pada akad jenis kedua, maka bagi pihak yang terikat dengan
akad tersebut tidak dibenarkan untuk memutuskan atau membatalkan
akadnya kecuali atas seizin pihak kedua, akan tetapi pihak kedua berhak
membatalkannya kapanpun ia suka, walau tanpa seizin pihak pertama.
Sedangkan pada akad jenis ketiga, kedua belah pihak berhak untuk
membatalkan akadnya, kapanpun ia sudan dan tanpa persetujuan pihak
kedua. Dan masih banyak lagi pembagian macam-macam akad, ditinjau
dari berbagai hal, akan tetapi yang saya rasa penting untuk diketahui
adalah dua pembagian yang telah saya sebutkan di atas.

1.

C.

Prinsip sewa


Pada dasarnya ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan
barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah adalah akad
pemindahan hak guna (manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad
ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak
guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.
Dalam kegiatan perbankan Syariah pembiayaan melalui Ijarah dibedakan
menjadi dua yaitu :
2.1
Didasarkan atas periode atau masa sewa biasanya
sewa peralatan. Peralatan itu disewa selama masa tanam hingga panen.
Dalam perbankan Islam dikenal sebagai Operating Ijarah.
2.2
Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik di beberapa negara
menyebutkan sebagai Ijarah Wa Iqtina’ yang artinya sama juga yaitu sama
juga yaitu menyewa dan setelah itu diakuisisi oleh penyewa ( finance
lease ).
Oleh karena Ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna
tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka banyak orang

1.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
2.
3.



menyamaratakan ijarah dengan leasing. Hal ini disebabkan karena kedua
istilah tersebut sama-sama mengacu pada hal – ihwal sewa-menyewa.
Karena aktivitas perbankan umum tidak diperbolehkan melakukan leasing,
maka perbankan Syari’ah hanya mengambil Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik
yang artinya perjanjian untuk memanfaatkan ( sewa ) barang antara Bank
dengan nasabah dan pada akhir masa sewa, maka nasabah wajib
membeli barang yang telah disewanya.
v Jenis Barang Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
Barang yang disewakan kepada nasabah umumnya berjenis aktiva tetap
atau fixed assets seperti : gedung-gedung (buildings), kantor, mesin,
rumah-rumah petak (tenements), atau barang bergerak yang memiliki
specific fixed.
Rukun dan Syarat Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
Rukun
Penyewa (musta’ jir)
Pemilik barang (mu’ajjir)
Barang atau obyek sewaan (ma’jur)
Harga sewa/manfaat sewa (ajran/ujran)
Ijab Qabul
Syarat
Pihak yang saling telibat harus saling ridha
Ma’ jur (Barang atau obyek sewa)
Manfaat tersebut dibenarkan agama atau halal.
Manfaat tersebut dapat dinilai dan diukur atau




diperhitungkan.
Manfaatnya dapat diberikan kepada pihak yang menyewa
Ma’ jur wajib dibeli musta’ jir.



Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah
yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba
(bunga), zulmu (Penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan
maksiat.
Hawalah
Adalah akad pemindahan nasabah kepada bank untuk membantu
nasabah mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya
dan bank mendapat imbalan atas jasa pemindahan piutang tersebut.
Hukum hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi kondisi dan
toleransi. Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya sunah / sunat bila

dalam keadaan normal. Hukumnya haram jika meminjamkan uang untuk
membeli narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain
sebagainya. Hukumnya wajib jika memberikan kepada orang yang sangat
membutuhkan seperti tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan
membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh
dokter.
Dalam Hutang Piutang Harus Sesuai Rukun yang Ada :
Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor
Ada yang memberi hutang / kreditor
Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul
Ada barang atau uang yang akan dihutangkan
Hutang piutang dapat memberikan banyak manfaat / syafaat kepada
kedua belah pihak. Hutang piutang merupakan perbuatan saling tolong
menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT
selama tolong-menolong dalam kebajikan. Hutang piutang dapat
mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta
dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak.
1.
D. Prinsip bagi hasil
2.
Pengertian muzara’ah
Secara bahasa, muzaraah berarti
yang keluar sebagian darinya.
memberikan tanah kepada petani
tanamannya. Misalnya sepertiga,
sedikit dari itu.
1.
Dasar Pensyari’atan

muamalah atas tanah dengan sebagian
Dan secara istilah muzara’ah berarti
agar dia mendapatkan bagian dari hasil
seperdua atau lebih banyak atau lebiih

Muzara’ah adalah salah satu bentuk ta’awun antar petani dan pemilik
sawah. Serigkali kali ada orang yang ahli dalam masalah pertanian tetapi
dia tidak punya lahan, dan sebaliknya banyak orang yang punya lahan
tetapi tidak mampu menanaminya. Maka Islam mensyari’atkan muzara’ah
sebagai jalan tengah bagi keduanya.
1.

Bentuk Muzara’ah yang Terlarang
Muzara’ah dibenarkan apabila disepakati pembagian hasil antara pemilik
lahan dengan tenaga petani. Misalnya, petani mendapat 60% dari nilai
total hasil panen, sedangkan pemilik lahan mendapat 40% sisanya.
Bentuk seperti ini dihalalkan dan telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
SAW dan para shahabat hingga generasi berikutnya.

Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk
kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang
disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman
yang tumbuh di area 400 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak
atas hasil yang akan didapat pada 600 m tertentu.
Perbedaannya dengan bentuk muzara’ah yang halal di atas adalah pada
cara pembagian hasil. Bentuk yang boleh adalah semua hasil panen
dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase.
Sedangkan bentuk yang kedua dan terlarang itu, sejak awal lahan sudah
dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban
untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m
itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi
yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan.
Cara seperti ini adalah cara muzaraah yang diharamkan. Inti larangannya
ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan
dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka
pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m
itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah
bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu
baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.
Bentuk muzara’ah yang terlarang ini adalah seseorang memberikan
persyaratan kepada orang yang mengerjakan tanahnya; yaitu dengan
ditentukan tanah dan sewanya dari hasil tanah baik berupa takaran
ataupun timbangan. Sedang sisa daripada hasil itu untuk yang
mengerjakannya atau masih dibagi dua lagi misalnya.
Rukun Mudharabah atau unsur- unsur yang harus ada agar akad
mudharabah sah adalah sebagai berikut :
2)
Adanya pemilik modal dan pelaksanaan usaha.
3)
Adanya obyek yang diperjanjikan.
4)
Adanya persetujuan dari kedua belah pihak (ijabkabul).
5)
Nisbah keuntungan yang mencerminkan imbalan yang
berhak diterima oleh para pihak yang bermudharabah.
Pada umumnya pembiayaan dengan system mudharabah modal yang
dipinjamkan oleh bank dalam usaha yang akan dijalankan oleh mudharib
tidak diberikan dalam bentuk tunai hal ini dimaksudkan agar pihak bank
dapat senantiasa mengawasi dalam pengelolaan usaha tersebut. Dalam

akad mudharabah pembelanjaan barang dagangan telah ditentukan dan
pihak bank secara langsung akan dapat menyusun pembayaran kepada
mudharib. Dana yang telah dipinjamkan tidak boleh diselewengkan dan
tidak boleh digunakan untuk tujuan lain.
Dalam pengelolaan manajemen, bank menyerahkan pengoperasionalan
usaha kepada pihak debitur (mudharib) dengan jalan debitur harus tunduk
terhadap segala persyaratan yang telah ditentukan dalam kontrak.
Manfaat yang dapat diperoleh dari akad mudharabah adalah :
6)
Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada
saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
7)
Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada
nasabah pendanaan secara tetap tetapi disesuaikan dengan pendapatan
hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative
spread.
8)
Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan
cash flow (arus kas usaha nasabah).
9)
Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha
yang benar-benar halal dan aman serta menguntungkan.
10)
Prinsip bagi hasil berbeda dengan bunga tetap dimana
bank akan menagih penerima pembiayaan satu jumlah bunga tetap
berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah maupun bila nasabah
menderita kerugian.
Disamping manfaat yang diperoleh bank syariah dari adanya akad
mudharabah terdapat pula beberapa kerugian atau resiko yaitu side
streaming yaitu penyalahgunaan penggunaan modal oleh nasabah, terjadi
kelalaian dan kesalahan yang disengaja, penyembunyian keuntungan oleh
nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Selain dari pembiayaan mudharabah dikenal pula system pembiayaan
musyarakah yang artinya akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Pelaksanaan akad musyarakah dalam perbankan syariah adalah :
11)
Pembiayaan Proyek, dimana nasabah dan bank samasama menyediakan dana untuk membiayai suatu proyek. Setelah selesai,
nasabah mengembalikan dana tersebut beserta bagi hasil yang telah
disepakati.

12)
Modal ventura, penanaman modal dilakukan untuk
jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau
menjual sahamnya baik secara langsung maupun bertahap.
Peranan notaris dalam pelaksanaan akad mudharabah dan musyarakah
pada Bank Syariah adalah berkaitan langsung dengan kewenangannya
dalam pembuatan akta otentik yang diperlukan dalam kerja sama
tersebut.
Perjanjian – perjanjian yang dibuat antara bank syariah dengan nasabah
untuk lebih mendapatkan jaminan kepastian hukum bagi kedua belah
pihak biasanya para pihak menghendaki dituangkan dalam bentuk akta
notariil, sehingga seorang notarispun dituntut untuk membekali diri dengan
pengetahuan yang cukup tentang produk – produk bank syariah karena
ada karakteristik yang berbeda antara bank syariah dengan bank
konvensional. Dalam pendirian kantor bank syariahpun diperlukan peran
notaris karena dalam pendirian suatu badan hukum harus dituangkan
dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.
BAB III
PENUTUP
1.
A.

Kesimpulan

Dari makalah diatas dapat kami simpulkan semua bahwa akad-akad fikih
muamalah Islam dalam bidang ekonomi yang lazim digunakan. Setelah
kita memiliki bekal pengetahuan akad-akad ini, maka langkah selanjutnya
adalah menerapkan konsep akad-akad tersebut ke dalam praktek
perbankan modern. Karena itu, kita harus mencoba untuk
“menerjemahkan” konsep akad-akad ini ke dalam produk-produk
perbankan. Bab selanjutnya, yakni bab 6 akan membahas produkproduk
dan jasa yang lazim ditawarkan oleh suatu bank syariah modern.
Fikih muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad
adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara
akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu
pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan
kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban
apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya
belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak
yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang
diterimanya lebih merupakan sanksi moral.

Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat,
yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka
masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, terms
and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah welldefined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu
tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi
seperti yang sudah disepakati dalam akad.

DAFTAR PUSTAKA
Antonio, M. S. (2001). Bank Syari’ah, Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani.
Drs. H. Karnaen Perwataatmadja, M., & H. Muhammad Syafi’i Antonio, M.
(1992). Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Drs. Ismail, M. A. (2011). Perbankan Syari’ah. Jakarta: Kencana.
Rachmadi Usman, S. M. (2009). Produk dan Akad Perbankan Syari’ah,
Implementasi da Aspek Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Sudarsono, H. (2007). Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah.
Yogyakarta: Ekonisia.
Wiroso, S. M. (2005). Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha
Bank Syari’ah. Jakarta: PT. Grasindo.