Konflik Perluasan Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor
ix
KONFLIK PERLUASAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN
NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO DI DESA WATES
JAYA, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR
ETHALIANI KARLINDA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ix
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konflik Perluasan
Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Desa Wates
Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Ethaliani Karlinda
NIM. I34110068
ix
ABSTRAK
ETHALIANI KARLINDA. Konflik Perluasan Kawasan Konservasi Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong,
Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RILUS A. KINSENG.
Terjadi peralihan pengelolaan lahan dari Perhutani ke Balai Besar Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP). Peralihan pengelolaan ini
menimbulkan konflik yang bersifat tertutup karena lahan Perhutani berubah
menjadi lahan konservasi taman nasional. Kemudian, konflik yang sebelumnya
tertutup berubah menjadi konflik terbuka dan memanas karena adanya
penangkapan salah satu petani Kampung Ciwaluh di lahannya yang berada pada
jarak 100 meter sesuai perjanjian bersama. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
konflik terjadi antara pengelola TNGGP dengan petani Kampung Ciwaluh.
Karakteristik petani yang berhubungan dengan tingkat keterlibatannya dalam
konflik yaitu pendidikan, pengalaman organisasi, pendapatan, dan jumlah
tanggungan keluarga. Konflik menimbulkan dampak tersendiri bagi petani.
Kemudian, dilakukan pengelolaan konflik oleh pihak yang berkonflik maupun
pihak ketiga agar terjadi penurunan konflik dan menanggulangi dampak konflik.
Kata kunci: akses, konflik SDA, petani, taman nasional
ABSTRACT
ETHALIANI KARLINDA. Conflict Expansion National Parks Conservation Area
of Mount Gede Pangrango in Wates Jaya Village, District Cigombong, Bogor
Regency. Guided by RILUS A. KINSENG.
There's transition land management from Perhutani to Balai Besar Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP). The transition management
cause a closed conflict, because the land turned into a national park conservation
land. Then, the previously closed conflict turned into open conflict and heated
because arrested one of the farmers Kampong Ciwaluh on their own land which
is located 100 meters according to the agreement. This study combined
quantitative approach and qualitative approach. The results showed conflicts
happen between management of TNGGP and farmers Kampong Ciwaluh.
Farmers characteristics correlated with the level of involved with conflict, such as
education, experience of organization, income, and number of family dependents.
Conflict own impacted for farmers Kampong Ciwaluh. Then, conducted conflict
management by the conflicting parties and third parties to decrease conflict and
mitigate the impact of conflict.
Keywords : access, farmers, national park, natural resources conflict
ix
KONFLIK PERLUASAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN
NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO DI DESA WATES
JAYA, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR
ETHALIANI KARLINDA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ix
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konflik
Perluasan Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Desa
Wates Jawa, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor” tepat pada waktunya.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran, dan motivasi,
kepada penulis selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Dr Ir Saharuddin, MSi selaku dosen penguji utama dan Ibu Dr Ir Anna
Fatchiya, MSi selaku dosen penguji akademik atas saran dan masukannya.
3. Dosen-dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
atas ilmu, kesabaran, bimbingan, dan pertolongan yang diberikan.
4. Cucu Indah dan Choirul Anwar selaku ibu dan ayah tercinta yang selalu
mendoakan dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis, serta
Fitri Karlinda dan Rheyhan Fahri selaku kakak dan adik yang selalu
menyemangati penulis.
5. Seluruh keluarga besar SKPM, terutama SKPM 48 atas kebersamaannya.
Serta kakak-kakak SKPM 47 atas kesediaannya berbagi pengalaman dan
memberikan saran-saran dalam penulisan proposal skripsi ini.
6. Pihak-pihak dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan aparat Desa
Wates Jaya atas penerimaan, waktu, kesempatan, informasi, dan seluruh
bantuan yang diberikan untuk kelancaran proses penelitian ini.
7. Seluruh petani di Kampung Ciwaluh yang telah banyak membantu penulis
dalam memperoleh data.
8. Teman-teman satu bimbingan Indah Erina Priska untuk motivasi yang positif
dan kebersamaan selama proses penyusunan karya ilmiah.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2015
Ethaliani Karlinda
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Definisi Konflik
Masyarakat Sekitar Hutan
Konflik Sumber Daya Alam
Dinamika Konflik
Aktor-aktor dalam Konflik
Intensitas Konflik
Bentuk Reaksi Masyarakat
Pengelolaan Konflik
Dampak Konflik
Hubungan antara Karakteristik Individu terhadap Keterlibatannya
dalam Konflik
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
Karakteristik Petani
Tingkat Keterlibatan Konflik
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan Sampel
Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Desa Penelitian
Kondisi Geografis
Kondisi Demografis
Penggunaan Lahan
Sarana dan Prasarana
Gambaran Umum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Organisasi dan Tata Kerja
Kronologis Status Kawasan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango
Zonasi Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
AKTOR-AKTOR DAN DINAMIKA KONFLIK
Halaman
x
xi
xi
1
1
2
3
3
5
5
5
5
6
6
7
8
9
9
11
11
14
15
16
16
18
19
19
19
19
20
20
23
23
23
23
25
26
26
26
27
27
29
ix
Aktor-Aktor dalam Konflik
Pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Petani Kampung Ciwaluh
Aparat Desa Wates Jaya
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)
Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
Relasi antar Aktor dalam Konflik
Dinamika Konflik
PENGELOLAAN DAN DAMPAK KONFLIK
Pengelolaan Konflik
Kerjasama melalui Koperasi Mandiri Kampung Ciwaluh
Bantuan dari Pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango
Rapat dengan Berbagai Pihak
Sosialisasi oleh Pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Sosialisasi oleh Aparat Desa Wates Jaya
Pengukuran Ulang Batas Konservasi oleh Rimbawan Muda
Indonesia (RMI)
Mediasi oleh Aparat Desa Wates Jaya
Mediasi oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)
Dampak Konflik
Penurunan Luas Penguasaan Lahan
Keresahan Petani
Persepsi Negatif Petani
Kesadaran Petani
Peningkatan Kohesivitas Kelompok
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP
TINGKAT KETERLIBATAN DALAM KONFLIK
Karakteristik Responden
Usia
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pengalaman Organisasi
Luas Penguasaan Lahan
Status Penguasaan Lahan
Pendapatan
Jumlah Tanggungan Keluarga
Jenis Lahan
Tingkat Keterlibatan dalam Konflik
Hubungan antara Karakteristik Responden terhadap Tingkat
Keterlibatan dalam Konflik
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
29
29
29
30
30
30
31
32
39
39
39
40
41
42
42
42
43
43
44
44
45
45
46
46
49
49
49
49
50
53
53
54
55
56
58
59
63
63
65
67
71
81
x
DAFTAR TABEL
1 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk di Desa Wates Jaya
tahun 2014
2 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan kelompok usia di Desa
Wates Jaya tahun 2014
3 Jumlah dan persentase agama penduduk di Desa Wates Jaya tahun 2014
4 Jumlah dan persentase mata pencaharian penduduk di Desa Wates Jaya
tahun 2014
5 Luas dan persentase penggunaan lahan di Desa Wates Jaya tahun 2014
6 Jumlah dan persentase responden menurut kelompok usia di Kampung
Ciwaluh tahun 2014
7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan di
Kampung Ciwaluh tahun 2014
8 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah organisasi di Kampung
Ciwaluh tahun 2014
9 Jumlah dan persentase responden menurut pertemuan rapat organisasi di
Kampung Ciwaluh tahun 2014
10 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan acara organisasi
di Kampung Ciwaluh tahun 2014
11 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengalaman organisasi
di Kampung Ciwaluh tahun 2014
12 Jumlah dan persentase responden menurut luas penguasaan lahan di
Kampung Ciwaluh tahun 2014
13 Jumlah dan persentase responden menurut status penguasaan lahan di
Kampung Ciwaluh tahun 2014
14 Jumlah dan persentase responden menurut pendapatan di Kampung
Ciwaluh tahun 2014
15 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan keluarga di
Kampung Ciwaluh tahun 2014
16 Jumlah dan persentase responden menurut jenis lahan di Kampung
Ciwaluh tahun 2014
17 Jumlah dan persentase responden menurut pertemuan rapat mengenai
perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh tahun 2014
18 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan demonstrasi
mengenai perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh
tahun 2014
19 Jumlah dan persentase responden menurut peranan dalam rapat mengenai
perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh tahun 2014
20 Jumlah dan persentase responden menurut peranan dalam demonstrasi
mengenai perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh
tahun 2014
21 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keterlibatan konflik
mengenai perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh
tahun 2014
22 Koefisien korelasi Rank Spearman dan nilai signifikansi karakteristik
responden (skala rasio dan ordinal) dengan tingkat keterlibatan konflik
23
24
24
25
26
49
49
51
51
52
52
53
54
54
55
56
57
57
58
58
59
60
xi
24 Tabulasi silang jenis lahan dengan tingkat keterlibatan konflik
62
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Tiga ruang ketika konflik sosial berlangsung
Bagan kerangka pemikiran
Hubungan antara analisis data dengan pengumpulan data
Persentase zonasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Pemetaan aktor-aktor dalam konflik di Kampung Ciwaluh
7
14
21
28
32
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
Sketsa wilayah Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten
Bogor
Jadwal pelaksanaan penelitian
Populasi dalam penelitian kuantitatif
Contoh hasil uji statistik menggunakan Rank Spearman
Contoh hasil uji statistis menggunakan Chi-square
Bagan struktur organisasi Balai Besar Besar Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango
Data kronologis status kawasan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango
Dokumentasi kegiatan
71
71
72
73
73
74
75
77
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya alam sangat penting bagi kehidupan manusia terutama untuk
kelanjutan hidup dan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sumber daya alam
seringkali dipertentangkan atau menjadi konflik. Hal ini semakin rumit karena
sifat sumber daya alam (SDA) yang terbatas dan dapat dikatakan langka. Konflik
umumnya tak terhindarkan karena banyak pihak yang berkepentingan dalam
memanfaatkan sumber daya alam dan umumnya kepentingan masing-masing
pihak berbeda tergantung kepada kebutuhan mereka. Keberadaan akan kebutuhan
selalu mengalami peningkatan tergantung kepada status sosial dan ekonomi
masyarakat. Konflik di bidang SDA merupakan salah satu permasalahan besar di
Indonesia pasca reformasi. Sepanjang tahun 2013, telah terjadi 232 konflik SDA
di 98 kabupaten dan kota di 22 provinsi (Batubara 2013).
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam, yaitu sumber daya alam
hayati. Perubahan rezim yang terjadi di Indonesia menyebabkan hutan diklaim
menjadi milik negara. Selain itu, adanya peraturan yang mengatasnamakan
konservasi untuk mengambil akses pihak lain. Akan tetapi, peraturan atau
kebijakan yang dibuat biasanya tidak memikirkan aspek sosial ekonomi
masyarakat lokal di kawasan hutan dan hak menguasai hanya diberikan kepada
pemerintah pusat dan pemerintah daerah saja. Hal ini bertolak belakang dengan
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yaitu:
“Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara digunakan
untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.” (UU Nomer 5 Tahun
1960)
“Hak menguasai negara atas bumi, air, dan ruang angkasa dan kekayaan di
dalamnya dapat di kuasakan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat adat.” (UU Nomer 5 Tahun 1960)
Peraturan yang mengatasnamakan konservasi seringkali terjadi di taman
nasional. Hal ini karena hutan mempunyai keanekaragaman yang tinggi. Hak
Pengelolaan Hutan (HPH) direalisasikan pada awal 1970-an, para pejabat
kehutanan saat itu berasumsi bahwa hutan di seluruh Indonesia bebas masalah
(Cahyono 2012). Hutan di Indonesia dianggap sebagai obyek yang tidak
mempunyai keterkaitan dengan masyarakat lokal di kawasan taman nasional.
Hutan hanya dianggap sebagai penghasil kayu, mempunyai keanekaragaman
flora, beserta sebagai tempat kehidupan fauna di dalamnya sehingga tidak heran
ketika membuat peraturan pihak yang berkuasa tidak memikirkan masyarakat
lokal. Hal ini bertolak belakang dengan UU No. 5 Tahun 1990 mengenai
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu:
“Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya
2
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.“ (UU
Nomer 5 Tahun 1990)
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu
taman nasional di Indonesia. Kawasan TNGGP merupakan perwakilan hutan
hujan tropis dataran tinggi dengan ketinggian 1000 meter hingga 3019 meter di
atas permukaan laut. Pengelolaan TNGGP dilaksanakan oleh Balai Besar Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP) berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan No.6186/Kpts-II/2002, tanggal 10 Juni 2002. Kawasan TNGGP
awalnya memiliki luas 15196 ha, dan secara administratif terletak di tiga wilayah
kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor (4514.73 ha), Kabupaten Sukabumi (6781.98),
dan Kabupaten Cianjur (3599.29 ha). Setelah adanya perluasan kawasan maka
luasnya menjadi 21975 ha sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No.174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 (Karsodi 2007).
Salah satu lahan yang dijadikan perluasan kawasan TNGGP, khususnya
perluasan kawasan konservasi di Kabupaten Bogor adalah eks lahan Perhutani.
Kampung Ciwaluh merupakan bagian dari Desa Wates Jaya, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan areal perluasan TNGGP.
Kampung Ciwaluh di kelilingi perluasan kawasan TNGGP. Sebelum dikelola oleh
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP), areal ini
dikelola oleh Perum Perhutani.
Mayoritas mata pencaharian warga Kampung Ciwaluh adalah bertani.
Selama ini mereka mengandalkan eks lahan Perhutani sebagai sumber mata
pencaharian mereka. Hanya beberapa warga saja yang memiliki lahan, sisanya
mengandalkan eks lahan Perhutani untuk bercocok tanam dengan peraturan dari
Perhutani yang masih berlaku.
Sebelum ditetapkan menjadi lahan perluasan kawasan konservasi, diadakan
rapat antara pihak BB TNGGP dengan perwakilan warga Kampung Ciwaluh, serta
aparat Desa Wates Jaya. Pertemuan ini membahas batas konservasi yang jika
ditetapkan menjadi perluasan kawasan konservasi TNGGP maka jarak antara
perluasan kawasan TNGGP dengan ujung perkampungan sebesar 100 meter.
Kemudian ketika SK Menteri No.174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 telah
dikeluarkan, surat perjanjian belum juga diberikan kepada warga.
Perumusan Masalah
Perluasan kawasan konservasi TNGGP menjadikan lahan bercocok tanam
petani semakin terbatas. Hal ini karena sudah tidak diperbolehkan lagi adanya
kegiatan pemanfaatan lahan. Meskipun tidak rela atas pengalihan lahan tersebut,
petani Kampung Ciwaluh memilih pasrah dan tunduk terhadap peraturan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Adanya kebijakan yang bersifat top down,
masyarakat lokal selalu menjadi pihak yang paling diabaikan.
Jarak sebesar 100 meter digunakan petani untuk bercocok tanam. Lahan
garapan tersebut mayoritas merupakan sisa eks lahan Perhutani dengan masih
menerapkan peraturan dari Perhutani. Kemudian, tahun 2011 terjadi penangkapan
petani Kampung Ciwaluh di lahannya sendiri yang berada pada jarak 100 meter
sesuai perjanjian bersama. Penangkapan ini menimbulkan kesadaran petani
Kampung Ciwaluh untuk melakukan tindakan dalam mendapatkan kontrolnya
3
kembali sehingga konflik yang sebelumnya bersifat tertutup menjadi terbuka.
Petani Kampung Ciwaluh juga meminta surat sesuai perjanjian bersama untuk
membela dirinya ketika terjadi penangkapan kembali.
Tingkat keterlibatan petani Kampung Ciwaluh dalam konflik berbeda sesuai
dengan karakteristik individu petani. Konflik yang terjadi tidak terlepas dari relasi
antar aktor dalam konflik. Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan
pemerintah tidak mungkin dapat dihindari. Konflik memberikan dampak
tersendiri bagi petani Kampung Ciwaluh. Selain itu, terdapat pengelolaan konflik
yang telah dilakukan untuk menurunkan konflik dan menanggulangi dampak
konflik yang terjadi. Maka, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian
adalah:
1. Siapa aktor-aktor yang terlibat dalam konflik dan bagaimana dinamika
konflik yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi?
2. Bagaimana pengelolaan konflik yang telah dilakukan dan dampak konflik
yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi?
3. Bagaimana hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat
keterlibatannya dalam konflik?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis aktor-aktor yang terlibat dalam konflik dan dinamika konflik
yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi.
2. Menganalisis keefektifan pengelolaan konflik yang telah dilakukan dan
dampak konflik yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi.
3. Menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat
keterlibatannya dalam konflik.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi berbagai
pihak, antara lain:
1. Instansi terkait
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dalam
pembuatan surat sesuai perjanjian bersama. Selain itu, dapat menjadi
referensi dalam menyusun pengelolaan konflik yang sesuai sehingga dapat
menanggulangi konflik yang terjadi.
2. Masyarakat umum
Bagi masyarakat umum, khususnya bagi masyarakat yang bertempat
tinggal berbatasan dengan taman nasional. Melalui penelitian ini dapat
menjadi masukan apabila konflik terjadi di daerahnya sehingga mereka
dapat menyusun pengelolaan konflik yang kira-kira sesuai dari hasil
penelitian.
3. Para peneliti
Bagi para peneliti, penelitian ini dijadikan salah satu bahan referensi bagi
penelitian selanjutnya dengan topik sejenis. Peneliti selanjutnya juga
4
diharapkan dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada dalam
penelitian ini.
4. Swasta
Bagi pihak swasta, khususnya pihak swasta yang berada di sekitar taman
nasional, dapat menjadi masukan pentingnya membuka lapangan
pekerjaan untuk warga di sekitar taman nasional agar warga yang
mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dapat beralih profesi atau
dapat bermata pencaharian ganda.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Definisi Konflik
Pruitt dan Rubin (2004) seperti dikutip Kinseng (2013) mengatakan bahwa
konflik merupakan persepsi mengenai perbedaan kepentingan (percived
divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang
berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Sedangkan menurut Fisher dkk
(2001) yang mengatakan bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau
lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki
sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Konflik adalah situasi kompetisi dimana para pihak menyadari
ketidakcocokan potensial masa depan dan posisi di mana masing-masing pihak
ingin menempati posisi yang tidak sesuai dengan keinginan yang lain (Boulding
seperti dikutip Oberschall 1978) seperti dikutip (Kinseng 2013). Kemudian,
Broom dan Selznick (1973) seperti dikutip Kinseng (2013), konflik terjadi ketika
kelompok-kelompok tidak hanya bersaing untuk tujuan langka yang sama tetapi
berusaha untuk melukai atau bahkan menghancurkan satu sama lain. Menurut
Coser (1964) seperti dikutip Kinseng (2013), konflik sosial berarti perjuangan atas
nilai-nilai dan klaim status langka, kekuasaan dan sumber daya di mana tujuan
dari pendukung adalah untuk menetralisir, melukai atau menghilangkan saingan
mereka. Konflik adalah relasi sosial antar aktor sosial yang ditandai oleh
pertentangan atau perselisihan dan kemarahan, baik dinyatakan secara terbuka
ataupun tidak, dalam rangka mencapai keinginan atau tujuan masing-masing
(Kinseng 2013). Selanjutnya menurut Kinseng (2013), jika pertentangan atau
perselisihan dan kemarahan itu terbuka maka merupakan suatu konflik terbuka,
sementara jika pertentangan atau perselisihan dan kemarahan itu bersifat
tersembunyi atau tertutup maka masuk dalam kategori konflik laten.
Masyarakat Sekitar Hutan
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.691/Kpts-II/1991 yang dimaksud
dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok
masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan.
Hotte (2001) menyatakan bahwa hak yang dimiliki oleh masyarakat sekitar hutan
memerlukan pengakuan oleh orang lain. Merealisasikan pengakuan hak tersebut
dapat menimbulkan benturan-benturan yang apabila terdapat rasa tidak adil akan
menjadi pemicu bagi timbulnya konflik.
Konflik dengan masyarakat sekitar hutan dapat terjadi karena selama ini
pembangunan kehutanan belum memperhatikan kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Ketertinggalan dari segi ekonomi menyebabkan timbulnya sikap
resistensi dari masyarakat terhadap pihak luar yang mengelola hutan. Sikap inilah
yang merupakan potensi laten terjadinya konflik dalam pengelolaan sumber daya
hutan (Nugraha 1999). Oleh karena itu, Nugraha (1999) menyatakan bahwa
masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus lebih diperhatikan dalam
pembangunan sektor kehutanan (dalam pengelolaan atau pengusahaan hutan)
6
karena mereka adalah bagian atau unsur dari ekosistem hutan yang saling
tergantung. Lebih lanjut, Nugraha (1999) menyatakan bahwa dampak positif
pembangunan kehutanan bagi masyarakat di daerah (masyarakat pedesaan sekitar
hutan) masih sangat kecil karena belum menggunakan cara-cara yang tepat,
seperti ketika dalam kegiatan masyarakat belum terkait secara kuat atau terlibat
langsung dengan kegiatan kehutanan itu sendiri.
Konflik Sumber Daya Alam
Konflik dalam pengelolaan sumber daya alam dapat disebabkan oleh
keterbatasan sumber daya alam dan keberadaan akan kebutuhan yang selalu
meningkat, fungsi dan manfaat sumber daya alam. Bertambahnya jumlah
penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda atas sumber daya
yang sama sehingga berakibat pada munculnya konflik-konflik antar berbagai
unsur masyarakat (Fuad dan Maskanah 2000). Selain itu, diungkapkan juga bahwa
sumber daya alam yang terbatas sangat rentan terhadap datangnya perubahan, baik
perubahan kondisi sosial, budaya, lingkungan hidup, ekonomi, hukum, dan politik
menciptakan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan baru terhadap
sumber daya hutan. Pada akhirnya, apabila faktor-faktor tersebut mengalami
ketidaksesuaian maka akan terdapat suatu potensi konflik.
Konflik terjadi ketika terdapat ketimpangan untuk melakukan akses dan
kontrol terhadap sumber daya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang
formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang
untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi
lain, persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu seringkali dijadikan alasan
untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya
menguntungkan pada satu pihak tertentu (Wirajardjo 2001).
Dinamika Konflik
Menurut Oberschall (1978) seperti dikutip Fisher et al. (2001) dinamika
konflik merupakan proses interaksi antara kelompok yang berkonflik, bentuk
konflik, jangkauan konflik dan lamanya, eskalasi dan de-eskalasi, regulasi konflik
dan resolusi, dampak dari konflik yang terjadi terhadap kelompok yang sedang
bersaing dan masyarakat yang lebih besar.
Fisher et al. (2001) konflik berubah tiap saat melalui tahap aktivitas,
intensitas, ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Analisis dasar dari lima tahap
konflik, yaitu:
1. Pra-konflik. Periode ini adalah awal mula terdapatnya ketidaksesuaian antara
dua pihak atau lebih yang kemudian menimbulkan konflik. Konflik
tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin
mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan
hubungan di antara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari
kontak satu sama lain pada tahap ini.
2. Konfrontasi. Pada tahap ini konfrontasi semakin terbuka. Jika hanya satu
pihak yang merasa terdapat masalah, mungkin para pendukungnya mulai
7
melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfronatif lainnya. Kadang
pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua
pihak. Masing-masing pihak mungkin akan mengumpulkan sumber daya atau
kekuatan dan akan mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan
konfrontasi dan kekerasan. Hubungan di antara kedua belah pihak menjadi
sangat tegang, mengarah pada polarisasi di antara masing-masing pendukung.
3. Krisis. Tahap ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan
kekerasan terjadi paling hebat. Di dalam konflik skala besar, ini adalah
periode perang, ketika orang-orang dari kedua belah pihak terbunuh.
Komunikasi normal diantara kedua pihak kemungkinan putus. Pertanyaanpertanyaan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya.
4. Akibat. Suatu krisis pasti menimbulkan akibat. Satu pihak mungkin
menaklukkan pihak lain atau mungkin melakukan gencatan senjata (jika
perang terjadi). Satu pihak mungkin akan menyerah atas desakan pihak lain.
Kedua pihak mungkin setuju bernegoisasi, dengan atau tanpa bantuan
perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya
yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan
pertikaian. Apapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi, dan
kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya
penyelesaian.
5. Pasca konflik. Tahapan terakhir, ketika situasi diselesaikan dengan cara
mengakhiri segala konfrontasi kekerasan, keregangan berkurang, dan
hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isuisu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling
bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi
situasi konflik.
Aktor-aktor dalam Konflik
Bebbington (1997) dan Luckham (1998) seperti dikutip Dharmawan (2006)
menyatakan bahwa konflik sosial dapat berlangsung pada aras antar ruang
kekuasaan. Terdapat tiga ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem
sosial kemasyarakatan, yaitu: ruang kekuasaan negara, masyarakat sipil atau
kolektivitas sosial, dan sektor swasta. Konflik sosial dapat berlangsung di dalam
setiap ruangan ataupun melibatkan agensi atau struktur antar-ruangan kekuasaan
seperti:
Negara
Masyarakat sipil atau
kolektivitas sosial
Sektor swasta
Gambar 1 Tiga ruang ketika konflik sosial berlangsung
8
Dharmawan (2006), konflik sosial antar pemangku kekuasaan dapat
berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadapan melawan negara
dan sebaliknya. Konflik sosial ini dapat terjadi dalam bentuk protes warga
masyarakat atas kebijakan publik yang diambil oleh negara atau pemerintah
yang dianggap tidak adil dan merugikan masyarakat secara umum.
2. Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas
sosial berhadap-hadapan melawan swasta dan sebaliknya.
3. Konflik sosial yang berlangsung antara swasta berhadapan melawan negara
dan sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh pemerintah atau negara
dalam mengawal jalannya sebuah kebijakan, biasanya memakan biaya sosial
yang tidak terelakkan berupa konflik tipe ini.
Secara umum, pihak yang berkonflik dapat berlangsung antar pemangku
kekuasaan, yaitu negara, masyarakat sipil atau kolektivitas, dan sektor swasta.
Namun dalam penelitian ini tidak melibatkan sektor swasta. Hubungan antar pihak
ini dapat meliputi hubungan konflik maupun kolaborasi atau kerjasama (Kinseng
2013).
Intensitas Konflik
Menurut Robbins (1996) seperti dikutip Dharmawan (2006), intensitas
konflik dapat digolongkan, yaitu: (1) mewakili sedikit ketidaksetujuan atau sedikit
kesalahpahaman. Perbedaan yang paling ringan adalah perbedaan persepsi dan
perbedaan pemaknaan terhadap suatu masalah. Perbedaan ini masih tersimpan
dalam ingatan di setiap individu atau kelompok yang berinteraksi; (2)
mempertanyakan hal-hal yang berbeda. Pihak-pihak tertentu sudah mulai
mempertanyakan hal-hal yang dianggapnya berbeda tetapi belum ada vonis bahwa
pihak lain itu keliru atau tidak; (3) mengajukan serangan-serangan verbal.
Perbedaan sudah diungkapkan secara terbuka dan sudah ada vonis bahwa pihak
lain itu keliru, tetapi belum muncul koersi verbal agar pihak lain itu bersikap
seperti yang diinginkannya; (4) mengajukan ancaman dan ultimatum. Koersi
verbal mulai muncul apabila terdapat upaya agar pihak lain bersikap seperti
dirinya, atau yang diharapkan dan diinginkan oleh dirinya; (5) melakukan
serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam bentuk
paksaan fisik; dan (6) melakukan upaya-upaya untuk merusak atau
menghancurkan pihak lain. Pihak-pihak tertentu akan melakukan segala cara
untuk memaksakan keinginannya walaupun hal tersebut akan merugikan pihak
lain.
Tumpang tindihnya kepentingan semua pihak pada suatu wilayah sumber
daya alam yang sama, menyebabkan konflik seolah-olah menjadi hal yang tidak
dapat dihindarkan. Berbagai peraturan yang dibuat untuk mengatur pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya alam ternyata sangat tidak membantu karena saling
9
bertentangan dan tumpang tindih yang mengakibatkan semakin meningkatkan
intensitas konflik atas sumber daya alam (Ilham 2006).
Bentuk Reaksi Masyarakat
Tipe dan bentuk reaksi yang dimunculkan masyarakat dalam menyikapi
suatu konflik yang terjadi, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 6 variasi
tipe/bentuk reaksi (Dharmawan 2006) sebagai berikut:
1. Gerakan sosial damai, berupa aksi penentangan dalam bentuk aksi kolektif,
mogok kerja, mogok makan, dan aksi diam. Ketika aksi tersebut tidak
menemukan resolusi yang memuaskan maka dapat memunculkan aksi yang
membuat gangguan umum dalam bentuk demonstrasi atau huru-hura.
2. Demonstrasi atau protes bersama adalah kegiatan yang mengekspresikan atau
ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu kelompok atas isu tertentu.
Derajat tekanan konflik kurang lebih sama dengan pemogokan. Aksi kolektif
seperti ini biasanya diambil sebagai protes reaksioner yang dilakukan secara
berkelompok ataupun massal atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh
suatu pihak tertentu kepada pihak berseberangan atau suatu masalah tertentu.
Hal ini Biasanya bersifat lokal dan sporadik.
3. Kerusuhan dan huru-hara (riots) adalah peningkatan derajat keberingasan
(degree of violence) dari sekedar demonstrasi. Kerusuhan berlangsung
sebagai reaksi massal atau keresahan umum. Oleh karena disertai dengan
histeria missal maka huru-hara seringkali tidak dapat dikendalikan dengan
mudah tanpa memakan korban luka, bahkan kematian.
4. Pemberontakan (rebellion) adalah konflik sosial yang berkepanjangan dan
biasanya digagas dan direncanakan lebih konstruktif dan terorganisasikan
dengan baik. Pemberontakan dapat mengenai perjuangan atas suatu
kedaulatan atau mempertahankan kawasan termasuk eksistensi ideologi
tertentu. Pemberontakan tidak harus berlangsung secara manifest, melainkan
dapat diawali secara laten.
5. Aksi radikalisme-revolusioner adalah gerakan penentangan yang
menginginkan perubahan sosial secara cepat atas suatu keadaan tertentu.
6. Perang adalah bentuk konflik antar negara yang sangat tidak dikehendaki oleh
masyarakat dunia karena dampaknya sangat luas terhadap manusia.
Pengelolaan Konflik
Menurut Condliffe (1991) seperti dikutip Sardjono (2004), konflik dapat
dikelola melalui tiga dasar pengelolaan, yaitu: (1) langsung antar pihak yang
bersengketa (one-to-one), ketika masing-masing pihak yang bersengketa bertindak
untuk menyelesaikannya sendiri; (2) mewakilkan kepada pihak lain
(representational), ketika pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain
10
seperti pengacara, teman kolega, dan asosiasi resmi; dan (3) menggunakan pihak
ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas permintaan kedua belah pihak
yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya.
Condliffe (1991) seperti dikutip Sardjono (2004) mengajukan delapan
prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik, yaitu:
1. Lumping it. Terkait isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan
hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.
2. Avoidance or exit. Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar
pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki
(powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial,
ekonomi, atau psikologis.
3. Coersion. Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau
kepentingannya pada pihak yang lain secara memaksa.
4. Negotiation. Kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersamasama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga, dan mencapai
kesepakatan melalui konsensus.
5. Concilliation. Mengajak (menyatukan) kedua belah pihak yang
bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk
menyelesaikan persengketaan.
6. Mediation. Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.
7. Arbitration. Ketika kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui
intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui
sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga.
8. Adjudication. Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki
otoritas untuk mengintervensi persengketaan, dan membuat serta
menerapkan keputusan yang diambil, baik yang diharapkan maupun tidak
diharapkan.
Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik di atas, hanya butir
negoisasi, konsiliasi, dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar
pengadilan yang dipandang kondusif. Hal ini karena ketiganya mengandung unsur
win-win solutuion yang sifatnya lebih langgeng. Sebagaimana yang disinggung
oleh Sardjono (2004) bahwa penyelesaian konflik melalui jalur formal legal yang
akan diperoleh adalah „menang-kalah‟ atau „gembira-kecewa‟. Oleh karena itu,
cara ini hanya akan ditempuh bila: (1) upaya penyelesaian melalui perundingan
menemui jalan buntu; (2) tingkat pelanggaran atau tuntutan telah melampaui batas
toleransi; dan (3) merupakan kebiasaan dan kepentingan publik.
Fuad dan Maskanah (2000) menyebutkan bahwa khusus mengenai konflik
yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan, UU No. 41 Tahun 1999 Pasal
74 Ayat 1 tentang Kehutanan mengatur bahwa penyelesaian sengketa kehutanan
dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
secara sukarela para pihak yang bersengketa. Selanjutntya, UU No. 41 Tahun
1999 Pasal 75 Ayat 1 menyebutkan penyelesaian sengketa kehutanan di luar
pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengambilan
suatu hak, besarnya ganti rugi, dan/atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang
harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan. Menurut Sakai (2002) seperti
dikutip Sardjono (2004) meskipun penyelesaian konflik ada yang diselesaikan
11
melalui jalur hukum pengadilan namun kebanyakan kasus konflik pada saat ini
tidak diselesaikan di pengadilan melainkan melalui negosiasi.
Dampak Konflik
Menurut penelitian Kausar (2010), penetapan Taman Nasional Kerinci
Seblat (TNKS) sebagai salah satu kawasan konservasi yang berbentuk taman
nasional di Indonesia membawa implikasi munculnya konflik sosial, karena
masyarakat sekitar tidak diperbolehkan dengan bebas melakukan akses dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan seperti dahulu. Keterbatasan
akses ini menyebabkan turunnya luas penguasaan lahan masyarakat sekitar taman
nasional.
Kesadaran kelas muncul dan dibentuk melalui exposure orang-orang yang
menempati posisi sosial tertentu terhadap kondisi sosial tertentu pula (Coser 1977)
seperti dikutip (Kinseng 2014). Secara lebih terperinci dan sistematis bahwa
menurut Marx, ada empat faktor yang mendorong tumbuhnya kedasaran kelas dari
kelompok subordinat (Turner 1998) seperti dikutip Kinseng (2014). Keempat
faktor tersebut adalah: (1) adanya gangguan terhadap kehidupan atau kondisi
sosial kelas subordinat akibat perubahan-perubahan yang disebabkan oleh kelas
dominan, (2) praktik-praktik yang dilakukan oleh kelas dominan yang
menyebabkan terjadinya alienasi pada kelas subordinat, (3) anggota-anggota kelas
subordinat dapat mengomunikasikan kesulitan dan keluhan mereka satu sama lain,
dan (4) kelas subordinat dapat membangun ideologi yang mempersatukan mereka.
Coser (1956) seperti dikutip Turner (1997), konflik dengan kelompok lain
akan memperkuat kohesivitas internal kelompok karena ketika ada tekanan dari
pihak luar suatu kelompok akan mempertahankan diri dan mereka diharuskan
memperbaiki kondisi internal dengan cara meningkatkan kohesivitas internal
kelompok.
Hubungan antara karakteristik individu terhadap keterlibatannya dalam
konflik
Menurut penelitian Marina dan Dharmawan (2011) keterlibatan konflik
masyarakat adat Kesepuhan Sinar Resmi dengan Balai Besar Taman Nasional
Halimun Salak didominasi oleh Abah Anom dan Abah Pelen yang merupakan
tokoh masyarakat adat setempat dan usianya sudah tergolong tua. Berbeda dengan
penelitian Fairuza (2009), terjadi ketidaksesuaian Peraturan Daerah Kabupaten
Pekalongan yang mengesahkan penjualan dan konsumsi minuman keras dengan
kadar alkohol tertentu. Konflik ini didominasi oleh kelompok pemuda Islam AtTaqwa dengan pengurus Cafe X. Dari kedua penelitian tersebut, diduga terdapat
hubungan antara usia individu terhadap keterlibatannya dalam konflik.
Diduga terdapat hubungan antara tingkat pendidikan individu terhadap
keterlibatannya dalam konflik. Menurut penelitian Herawati dan Pulungan (2006)
faktor pendidikan berhubungan nyata dengan partisipasi petani mengajukan saran
dalam rapat program. Biasanya faktor pendidikan ini dianggap penting karena
dengan melalui pendidikan yang diperoleh, seseorang mudah berkomunikasi
dengan orang luar dan cepat tanggap terhadap inovasi. Oleh karena itu, diduga
apabila semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi keterlibatan
12
seseorang dalam konflik karena tidak hanya cepat tanggap terhadap inovasi,
terhadap kepentingan yang tidak sejalan saja pasti mereka lebih tanggap.
Diduga terdapat hubungan antara tingkat pengalaman organisasi individu
terhadap keterlibatannya dalam konflik. Menurut Mahfud dan Toheke (2010)
perempuan yang tergabung di Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro mulai
menanamkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang nyaris terkubur karena
kebijakan nasional. Kesadaran ini disebabkan keikutsertaan mereka dalam
organisasi sehingga berniat menanamkan konsep masa silam masyarakat Adat
Ngata Toro di Kecamatan Kulawi tentang posisi perempuan. Selain itu, menurut
Khair dan Irawan (2013), seseorang yang punya pengalaman berorganisasi yang
matang pasti memiliki cara berpikir sistematis, analisis mendalam, paham situasi
dan lingkungan, mahir berkomunikasi dan bernegosiasi. Diduga apabila seseorang
mengikuti beberapa organisasi, maka tingkat pengalaman organisasinya lebih
tinggi. Selain itu, apalah artinya mengikuti organisasi tanpa pernah berpartisipasi
pada pertemuan rapat organisasi dan ikutserta dalam acara organisasi karena
melalui pertemuan rapat organisasi maupun ikutserta dalam acara organisasi,
seseorang dapat berpikir sistematis, analisis mendalam, paham situasi dan
lingkungan, mahir berkomunikasi dan bernegosiasi sehingga jumlah pertemuan
yang diikuti juga menentukan tingkat pengalaman organisasi seseorang.
Diduga terdapat hubungan antara luas penguasaan lahan individu dengan
tingkat keterlibatannya dalam konflik. Menurut pendapat Darwis (2008) di daerah
pedesaan ketimpangan distribusi penguasaan lahan akan berdampak pada
ketimpangan distribusi pendapatan mengingat sebagian besar pendapatan rumah
tangga pedesaan berasal dari usaha pertanian yang membutuhkan lahan sebagai
faktor produksi utama.
Menurut Darwis (2008), umumnya petani kaya cukup efisien dalam
mengelola asset yang dimiliki sehingga mereka selalu memperoleh surplus
kegiatan usahanya. Diduga hal ini karena status penguasaan lahan yang dimiliki
oleh petani kaya adalah hak milik sehingga mereka lebih merasa memiliki lahan
tersebut dibandingkan dengan status penguasaan lainnya. Oleh karena itu, diduga
apabila terjadinya konflik, perbedaan status penguasaan lahan akan menyebabkan
perbedaan keterlibatan konflik.
Tatanan pertanian perdesaan, secara garis besar sistem penguasaan lahan
dapat diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap/bagi hasil, dan
gadai. Status hak milik adalah lahan yang dikuasai dan dimiliki oleh perorangan
atau kelompok atau lembaga/organisasi (Darwis 2008). Sementara itu, menurut
Pakpahan et al. (1993), status sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai adalah bentukbentuk penguasaan lahan dimana terjadi pengalihan hak garap dari pemilik lahan
kepada orang lain. Namun dalam pertanian pedesaan, juga sering dijumpai status
penguasaan lahan pinjam pakai.
Badan Pusat Statistik (BPS) membagi sumber daya lahan pertanian atas dua
kategori yaitu: (1) lahan sawah dan (2) lahan kering. Lebih lanjut lahan kering
dibedakan atas: (a) lahan pekarangan yaitu lahan kering yang berada di sekitar
rumah, (b) lahan tegalan atau ladang yaitu lahan kering yang dimanfaatkan untuk
tanaman semusim terutama padi dan palawija, (c) lahan kebun yaitu lahan kering
yang dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan, dan (d) hutan rakyat, yaitu lahan
kering yang dimanfaatkan untuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman tahunan
lainnya. Sedangkan lahan sawah lebih lanjut dapat dibagi atas 2 kategori, yaitu:
13
(a) lahan sawah irigasi yaitu lahan sawah yang pasokan airnya dapat bersumber
dari jaringan irigasi teknis, semi teknis atau irigasi sederhana/irigasi desa, dan (b)
lahan sawah non irigasi, yaitu lahan sawah yang pasokan airnya tidak berasal dari
jaringan irigasi yang termasuk kategori lahan sawah ini adalah lahan sawah tadah
hujan, sawah pasang surut dan sawah lebak. Berdasarkan hasil survei, ditemukan
jenis lahan yang berbeda di lapang sehingga diduga jenis lahan berhubungan
dengan tingkat keterlibatan seseorang dalam konflik.
Soetarso (1979) seperti dikutip oleh Yasin (2005) menunjukkan bahwa
faktor usia, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, dan lama menetap di suatu daerah
ternyata berhubungan dengan kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi.
Selanjutnya menurut Risyandra (2012), warga yang sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani, pendapatan mereka berasal dari lahan yang mereka
garap sehingga jika lahan mereka hilang, pendapatan mereka akan hilang juga.
Semakin besar pendapatan akan semakin besar tingkat keterlibatan seseorang
dalam konflik. Diduga terdapat hubungan antara pendapatan individu terhadap
tingkat keterlibatannya dalam konflik.
Menurut Yasin (2005), banyaknya jumlah tanggungan keluarga membuat
peternak berpartisipasi terhadap pelaksanaan program inseminasi buatan (IB) di
Lombok Barat sehingga peternak dapat berkembang secara mandiri. Diduga
jumlah tanggungan keluarga ini dapat berhubungan dengan keterlibatan seseorang
dalam konflik karena tidak hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan inovasi yang
memerlukan kemauan dalam diri sendiri, seseorang juga pasti akan terlibat dalam
konflik apabila akses mereka dibatasi.
Keterlibatan warga Desa Sukamulya dalam konflik pembangunan Bandara
Internasional Jawa Barat (BIJB), dapat terlihat dari adanya rapat serta dialog yang
diadakan antar warga maupun dengan LSM, pemerintah, dan pihak swasta
mengenai pembangunan BJIB; demonstrasi yang dilakukan oleh warga untuk
menolak pembangunan BJIB; dan juga peranan warga dalam demonstrasi
(Risyandra 2012). Namun, keterlibatan warga dalam konflik juga dapat terlihat
dari peranan warga dalam rapat.
14
Kerangka Pemikiran
Sebelum adanya penetapan perluasan kawasan konservasi TNGGP, telah
dilakukan rapat antara perwakilan warga Kampung Ciwaluh, pihak Balai Besar
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan tokoh masyarakat dari Kantor
Desa Wates Jaya. Pertemuan ini menghasilkan perjanjian apabila ditetapkan
menjadi perluasan kawasan TNGGP, khususnya perluasan kawasan konservasi,
maka jarak antara lahan perluasan kawasan konservasi TNGGP dengan ujung
perkampungan sebesar 100 meter. Selanjutnya, ketika dikeluarkannya Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No.174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, surat
mengenai perjanjian jarak bersama yang sekaligus dapat menentukan batas
konservasi belum juga dikeluarkan.
Perluasan kawasan konservasi
Ketidakjelasan batas konservasi
Konflik sumber daya alam
Intensitas konflik
Tingkat keterlibatan petani
dalam konflik (Y)
Dampak konflik
Aktor
Pengelolaan
konflik
Karakteristik petani (X)
X.1 Usia
X.2 Tingkat pendidikan
X.3 Tingkat pengalaman
oganisasi
X.4 Luas penguasaan lahan
X.5 Status penguasaan
lahan
X.6 Pendapatan
X.7 Jumlah tanggungan
keluarga
X.8 Jenis lahan
Keterangan
: Menyebabkan
: Berhubungan
: Aspek yang diteliti
: Merupakan bagian
Gambar 2 Bagan kerangka pemikiran
15
Mayoritas mata pencaharian warga di Kampung Ciwaluh, Desa Wates Jaya,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor hingga saat ini adalah bertani. Karena
sumber mata pencaharian warga berasal dari lahan yang mereka garap maka
ketika terjadi ketidakjelasan batas menyebabkan warga melakukan tindakan dalam
memperjelas apa yang telah disepakati bersama. Terlebih lagi, lahan yang mereka
garap ini berbatasan dengan perluasan kawasan konservasi TNGGP. Tindakan
dalam memperjelas batas bertujuan untuk memperoleh akses dan kontrolnya
kembali. Tindakan ini berawal ketika adanya penangkapan warga oleh polisi
hutan. Hal ini diungkapkan oleh Ketua RT 04 RW 08 Kampung Ciwaluh, yaitu:
“Warga ada yang ditangkap oleh polisi hutan karena dianggap menggarap
lahan konservasi, padahal dia menggarap di lahannya sendiri yang jauh dari
lahan konservasi.” (Ketua RT 04, 40 tahun)
Petani disini adalah petani RT 03 dan RT 04, RW 08, Desa Wates Jaya yang
biasa dikenal dengan Kampung Ciwaluh. Karakteristik petani yang diteliti yaitu
berupa usia, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman organisasi, luas penguasaan
lahan, status penguasaan lahan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, dan
jenis lahan. Karakteristik petani ini merupakan bagian dari aktor yang terlibat
dalam konflik. Akan tetapi karakteristik petani tidak mewakili sepenuhnya aspek
aktor karena aktor disini bukan hanya warga Kampung Ciwaluh yang bermata
pencaharian sebagai petani saja, melainkan adanya pengelola Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pemerintah.
Dalam penelitian ini tidak melibatkan sektor swasta. Selanjutnya, karakteristik
petani ini akan diteliti apakah memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatannya
dalam konflik atau tidak. Tingkat keterlibatan petani dalam konflik dapat dilihat
dari keikutsertaan petani dalam rapat dan demonstrasi, serta peran petani dalam
rapat dan demonstrasi tersebut. Selanjutnya, tingkat keterlibatan petani dalam
konflik ini merupakan bagian dari intensitas konflik yang terjadi.
Konflik yang terjadi akan memberikan dampak tersendiri bagi warga
Kampung Ciwaluh, khususnya warga yang bermata pencaharian sebagai petani.
Selain itu, tentu adanya pengelolaan konflik yang dilakukan. Pengelolaan konflik
dilakukan oleh pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, petani,
maupun pihak ketiga untuk mengurangi konflik dan menanggulangi dampak yang
terjadi.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang tertera pada Gambar 2, maka
hipotesis uji penelitian yang disusun, yaitu:
1. Terdapat hubungan nyata yang positif antara karakteristik petani (usia, tingkat
pendidikan, tingkat pengalaman organisasi, luas penguasaan lahan, status
penguasaan lahan, pendapatan, dan jumlah tanggungan keluarga) dengan
tingkat keterlibatan petani dalam konflik. Secara lebih rinci adalah sebagai
berikut:
-
Ho
: Tidak terdapat hubungan antara usia petani dengan tingkat
16
-
-
-
-
-
-
Ha
:
Ho
:
Ha
:
Ho
:
Ha
:
Ho
:
Ha
:
Ho
:
Ha
:
Ho
:
Ha
:
Ho
:
Ha
:
keterlibatannya dalam konflik.
Terdapat hubungan antara usia petani dengan tingkat
keterlibatannya dalam konflik.
Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan petani dengan
tingkat keterlibatannya dalam konflik.
Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan petani dengan
tingkat keterlibatannya dalam konfli
KONFLIK PERLUASAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN
NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO DI DESA WATES
JAYA, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR
ETHALIANI KARLINDA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ix
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konflik Perluasan
Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Desa Wates
Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Ethaliani Karlinda
NIM. I34110068
ix
ABSTRAK
ETHALIANI KARLINDA. Konflik Perluasan Kawasan Konservasi Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong,
Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RILUS A. KINSENG.
Terjadi peralihan pengelolaan lahan dari Perhutani ke Balai Besar Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP). Peralihan pengelolaan ini
menimbulkan konflik yang bersifat tertutup karena lahan Perhutani berubah
menjadi lahan konservasi taman nasional. Kemudian, konflik yang sebelumnya
tertutup berubah menjadi konflik terbuka dan memanas karena adanya
penangkapan salah satu petani Kampung Ciwaluh di lahannya yang berada pada
jarak 100 meter sesuai perjanjian bersama. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
konflik terjadi antara pengelola TNGGP dengan petani Kampung Ciwaluh.
Karakteristik petani yang berhubungan dengan tingkat keterlibatannya dalam
konflik yaitu pendidikan, pengalaman organisasi, pendapatan, dan jumlah
tanggungan keluarga. Konflik menimbulkan dampak tersendiri bagi petani.
Kemudian, dilakukan pengelolaan konflik oleh pihak yang berkonflik maupun
pihak ketiga agar terjadi penurunan konflik dan menanggulangi dampak konflik.
Kata kunci: akses, konflik SDA, petani, taman nasional
ABSTRACT
ETHALIANI KARLINDA. Conflict Expansion National Parks Conservation Area
of Mount Gede Pangrango in Wates Jaya Village, District Cigombong, Bogor
Regency. Guided by RILUS A. KINSENG.
There's transition land management from Perhutani to Balai Besar Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP). The transition management
cause a closed conflict, because the land turned into a national park conservation
land. Then, the previously closed conflict turned into open conflict and heated
because arrested one of the farmers Kampong Ciwaluh on their own land which
is located 100 meters according to the agreement. This study combined
quantitative approach and qualitative approach. The results showed conflicts
happen between management of TNGGP and farmers Kampong Ciwaluh.
Farmers characteristics correlated with the level of involved with conflict, such as
education, experience of organization, income, and number of family dependents.
Conflict own impacted for farmers Kampong Ciwaluh. Then, conducted conflict
management by the conflicting parties and third parties to decrease conflict and
mitigate the impact of conflict.
Keywords : access, farmers, national park, natural resources conflict
ix
KONFLIK PERLUASAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN
NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO DI DESA WATES
JAYA, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR
ETHALIANI KARLINDA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ix
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konflik
Perluasan Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Desa
Wates Jawa, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor” tepat pada waktunya.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran, dan motivasi,
kepada penulis selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Dr Ir Saharuddin, MSi selaku dosen penguji utama dan Ibu Dr Ir Anna
Fatchiya, MSi selaku dosen penguji akademik atas saran dan masukannya.
3. Dosen-dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
atas ilmu, kesabaran, bimbingan, dan pertolongan yang diberikan.
4. Cucu Indah dan Choirul Anwar selaku ibu dan ayah tercinta yang selalu
mendoakan dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis, serta
Fitri Karlinda dan Rheyhan Fahri selaku kakak dan adik yang selalu
menyemangati penulis.
5. Seluruh keluarga besar SKPM, terutama SKPM 48 atas kebersamaannya.
Serta kakak-kakak SKPM 47 atas kesediaannya berbagi pengalaman dan
memberikan saran-saran dalam penulisan proposal skripsi ini.
6. Pihak-pihak dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan aparat Desa
Wates Jaya atas penerimaan, waktu, kesempatan, informasi, dan seluruh
bantuan yang diberikan untuk kelancaran proses penelitian ini.
7. Seluruh petani di Kampung Ciwaluh yang telah banyak membantu penulis
dalam memperoleh data.
8. Teman-teman satu bimbingan Indah Erina Priska untuk motivasi yang positif
dan kebersamaan selama proses penyusunan karya ilmiah.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2015
Ethaliani Karlinda
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Definisi Konflik
Masyarakat Sekitar Hutan
Konflik Sumber Daya Alam
Dinamika Konflik
Aktor-aktor dalam Konflik
Intensitas Konflik
Bentuk Reaksi Masyarakat
Pengelolaan Konflik
Dampak Konflik
Hubungan antara Karakteristik Individu terhadap Keterlibatannya
dalam Konflik
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
Karakteristik Petani
Tingkat Keterlibatan Konflik
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan Sampel
Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Desa Penelitian
Kondisi Geografis
Kondisi Demografis
Penggunaan Lahan
Sarana dan Prasarana
Gambaran Umum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Organisasi dan Tata Kerja
Kronologis Status Kawasan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango
Zonasi Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
AKTOR-AKTOR DAN DINAMIKA KONFLIK
Halaman
x
xi
xi
1
1
2
3
3
5
5
5
5
6
6
7
8
9
9
11
11
14
15
16
16
18
19
19
19
19
20
20
23
23
23
23
25
26
26
26
27
27
29
ix
Aktor-Aktor dalam Konflik
Pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Petani Kampung Ciwaluh
Aparat Desa Wates Jaya
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)
Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
Relasi antar Aktor dalam Konflik
Dinamika Konflik
PENGELOLAAN DAN DAMPAK KONFLIK
Pengelolaan Konflik
Kerjasama melalui Koperasi Mandiri Kampung Ciwaluh
Bantuan dari Pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango
Rapat dengan Berbagai Pihak
Sosialisasi oleh Pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Sosialisasi oleh Aparat Desa Wates Jaya
Pengukuran Ulang Batas Konservasi oleh Rimbawan Muda
Indonesia (RMI)
Mediasi oleh Aparat Desa Wates Jaya
Mediasi oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)
Dampak Konflik
Penurunan Luas Penguasaan Lahan
Keresahan Petani
Persepsi Negatif Petani
Kesadaran Petani
Peningkatan Kohesivitas Kelompok
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP
TINGKAT KETERLIBATAN DALAM KONFLIK
Karakteristik Responden
Usia
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pengalaman Organisasi
Luas Penguasaan Lahan
Status Penguasaan Lahan
Pendapatan
Jumlah Tanggungan Keluarga
Jenis Lahan
Tingkat Keterlibatan dalam Konflik
Hubungan antara Karakteristik Responden terhadap Tingkat
Keterlibatan dalam Konflik
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
29
29
29
30
30
30
31
32
39
39
39
40
41
42
42
42
43
43
44
44
45
45
46
46
49
49
49
49
50
53
53
54
55
56
58
59
63
63
65
67
71
81
x
DAFTAR TABEL
1 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk di Desa Wates Jaya
tahun 2014
2 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan kelompok usia di Desa
Wates Jaya tahun 2014
3 Jumlah dan persentase agama penduduk di Desa Wates Jaya tahun 2014
4 Jumlah dan persentase mata pencaharian penduduk di Desa Wates Jaya
tahun 2014
5 Luas dan persentase penggunaan lahan di Desa Wates Jaya tahun 2014
6 Jumlah dan persentase responden menurut kelompok usia di Kampung
Ciwaluh tahun 2014
7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan di
Kampung Ciwaluh tahun 2014
8 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah organisasi di Kampung
Ciwaluh tahun 2014
9 Jumlah dan persentase responden menurut pertemuan rapat organisasi di
Kampung Ciwaluh tahun 2014
10 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan acara organisasi
di Kampung Ciwaluh tahun 2014
11 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengalaman organisasi
di Kampung Ciwaluh tahun 2014
12 Jumlah dan persentase responden menurut luas penguasaan lahan di
Kampung Ciwaluh tahun 2014
13 Jumlah dan persentase responden menurut status penguasaan lahan di
Kampung Ciwaluh tahun 2014
14 Jumlah dan persentase responden menurut pendapatan di Kampung
Ciwaluh tahun 2014
15 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan keluarga di
Kampung Ciwaluh tahun 2014
16 Jumlah dan persentase responden menurut jenis lahan di Kampung
Ciwaluh tahun 2014
17 Jumlah dan persentase responden menurut pertemuan rapat mengenai
perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh tahun 2014
18 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan demonstrasi
mengenai perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh
tahun 2014
19 Jumlah dan persentase responden menurut peranan dalam rapat mengenai
perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh tahun 2014
20 Jumlah dan persentase responden menurut peranan dalam demonstrasi
mengenai perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh
tahun 2014
21 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keterlibatan konflik
mengenai perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh
tahun 2014
22 Koefisien korelasi Rank Spearman dan nilai signifikansi karakteristik
responden (skala rasio dan ordinal) dengan tingkat keterlibatan konflik
23
24
24
25
26
49
49
51
51
52
52
53
54
54
55
56
57
57
58
58
59
60
xi
24 Tabulasi silang jenis lahan dengan tingkat keterlibatan konflik
62
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Tiga ruang ketika konflik sosial berlangsung
Bagan kerangka pemikiran
Hubungan antara analisis data dengan pengumpulan data
Persentase zonasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Pemetaan aktor-aktor dalam konflik di Kampung Ciwaluh
7
14
21
28
32
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
Sketsa wilayah Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten
Bogor
Jadwal pelaksanaan penelitian
Populasi dalam penelitian kuantitatif
Contoh hasil uji statistik menggunakan Rank Spearman
Contoh hasil uji statistis menggunakan Chi-square
Bagan struktur organisasi Balai Besar Besar Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango
Data kronologis status kawasan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango
Dokumentasi kegiatan
71
71
72
73
73
74
75
77
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya alam sangat penting bagi kehidupan manusia terutama untuk
kelanjutan hidup dan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sumber daya alam
seringkali dipertentangkan atau menjadi konflik. Hal ini semakin rumit karena
sifat sumber daya alam (SDA) yang terbatas dan dapat dikatakan langka. Konflik
umumnya tak terhindarkan karena banyak pihak yang berkepentingan dalam
memanfaatkan sumber daya alam dan umumnya kepentingan masing-masing
pihak berbeda tergantung kepada kebutuhan mereka. Keberadaan akan kebutuhan
selalu mengalami peningkatan tergantung kepada status sosial dan ekonomi
masyarakat. Konflik di bidang SDA merupakan salah satu permasalahan besar di
Indonesia pasca reformasi. Sepanjang tahun 2013, telah terjadi 232 konflik SDA
di 98 kabupaten dan kota di 22 provinsi (Batubara 2013).
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam, yaitu sumber daya alam
hayati. Perubahan rezim yang terjadi di Indonesia menyebabkan hutan diklaim
menjadi milik negara. Selain itu, adanya peraturan yang mengatasnamakan
konservasi untuk mengambil akses pihak lain. Akan tetapi, peraturan atau
kebijakan yang dibuat biasanya tidak memikirkan aspek sosial ekonomi
masyarakat lokal di kawasan hutan dan hak menguasai hanya diberikan kepada
pemerintah pusat dan pemerintah daerah saja. Hal ini bertolak belakang dengan
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yaitu:
“Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara digunakan
untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.” (UU Nomer 5 Tahun
1960)
“Hak menguasai negara atas bumi, air, dan ruang angkasa dan kekayaan di
dalamnya dapat di kuasakan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat adat.” (UU Nomer 5 Tahun 1960)
Peraturan yang mengatasnamakan konservasi seringkali terjadi di taman
nasional. Hal ini karena hutan mempunyai keanekaragaman yang tinggi. Hak
Pengelolaan Hutan (HPH) direalisasikan pada awal 1970-an, para pejabat
kehutanan saat itu berasumsi bahwa hutan di seluruh Indonesia bebas masalah
(Cahyono 2012). Hutan di Indonesia dianggap sebagai obyek yang tidak
mempunyai keterkaitan dengan masyarakat lokal di kawasan taman nasional.
Hutan hanya dianggap sebagai penghasil kayu, mempunyai keanekaragaman
flora, beserta sebagai tempat kehidupan fauna di dalamnya sehingga tidak heran
ketika membuat peraturan pihak yang berkuasa tidak memikirkan masyarakat
lokal. Hal ini bertolak belakang dengan UU No. 5 Tahun 1990 mengenai
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu:
“Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya
2
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.“ (UU
Nomer 5 Tahun 1990)
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu
taman nasional di Indonesia. Kawasan TNGGP merupakan perwakilan hutan
hujan tropis dataran tinggi dengan ketinggian 1000 meter hingga 3019 meter di
atas permukaan laut. Pengelolaan TNGGP dilaksanakan oleh Balai Besar Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP) berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan No.6186/Kpts-II/2002, tanggal 10 Juni 2002. Kawasan TNGGP
awalnya memiliki luas 15196 ha, dan secara administratif terletak di tiga wilayah
kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor (4514.73 ha), Kabupaten Sukabumi (6781.98),
dan Kabupaten Cianjur (3599.29 ha). Setelah adanya perluasan kawasan maka
luasnya menjadi 21975 ha sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No.174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 (Karsodi 2007).
Salah satu lahan yang dijadikan perluasan kawasan TNGGP, khususnya
perluasan kawasan konservasi di Kabupaten Bogor adalah eks lahan Perhutani.
Kampung Ciwaluh merupakan bagian dari Desa Wates Jaya, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan areal perluasan TNGGP.
Kampung Ciwaluh di kelilingi perluasan kawasan TNGGP. Sebelum dikelola oleh
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP), areal ini
dikelola oleh Perum Perhutani.
Mayoritas mata pencaharian warga Kampung Ciwaluh adalah bertani.
Selama ini mereka mengandalkan eks lahan Perhutani sebagai sumber mata
pencaharian mereka. Hanya beberapa warga saja yang memiliki lahan, sisanya
mengandalkan eks lahan Perhutani untuk bercocok tanam dengan peraturan dari
Perhutani yang masih berlaku.
Sebelum ditetapkan menjadi lahan perluasan kawasan konservasi, diadakan
rapat antara pihak BB TNGGP dengan perwakilan warga Kampung Ciwaluh, serta
aparat Desa Wates Jaya. Pertemuan ini membahas batas konservasi yang jika
ditetapkan menjadi perluasan kawasan konservasi TNGGP maka jarak antara
perluasan kawasan TNGGP dengan ujung perkampungan sebesar 100 meter.
Kemudian ketika SK Menteri No.174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 telah
dikeluarkan, surat perjanjian belum juga diberikan kepada warga.
Perumusan Masalah
Perluasan kawasan konservasi TNGGP menjadikan lahan bercocok tanam
petani semakin terbatas. Hal ini karena sudah tidak diperbolehkan lagi adanya
kegiatan pemanfaatan lahan. Meskipun tidak rela atas pengalihan lahan tersebut,
petani Kampung Ciwaluh memilih pasrah dan tunduk terhadap peraturan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Adanya kebijakan yang bersifat top down,
masyarakat lokal selalu menjadi pihak yang paling diabaikan.
Jarak sebesar 100 meter digunakan petani untuk bercocok tanam. Lahan
garapan tersebut mayoritas merupakan sisa eks lahan Perhutani dengan masih
menerapkan peraturan dari Perhutani. Kemudian, tahun 2011 terjadi penangkapan
petani Kampung Ciwaluh di lahannya sendiri yang berada pada jarak 100 meter
sesuai perjanjian bersama. Penangkapan ini menimbulkan kesadaran petani
Kampung Ciwaluh untuk melakukan tindakan dalam mendapatkan kontrolnya
3
kembali sehingga konflik yang sebelumnya bersifat tertutup menjadi terbuka.
Petani Kampung Ciwaluh juga meminta surat sesuai perjanjian bersama untuk
membela dirinya ketika terjadi penangkapan kembali.
Tingkat keterlibatan petani Kampung Ciwaluh dalam konflik berbeda sesuai
dengan karakteristik individu petani. Konflik yang terjadi tidak terlepas dari relasi
antar aktor dalam konflik. Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan
pemerintah tidak mungkin dapat dihindari. Konflik memberikan dampak
tersendiri bagi petani Kampung Ciwaluh. Selain itu, terdapat pengelolaan konflik
yang telah dilakukan untuk menurunkan konflik dan menanggulangi dampak
konflik yang terjadi. Maka, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian
adalah:
1. Siapa aktor-aktor yang terlibat dalam konflik dan bagaimana dinamika
konflik yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi?
2. Bagaimana pengelolaan konflik yang telah dilakukan dan dampak konflik
yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi?
3. Bagaimana hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat
keterlibatannya dalam konflik?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis aktor-aktor yang terlibat dalam konflik dan dinamika konflik
yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi.
2. Menganalisis keefektifan pengelolaan konflik yang telah dilakukan dan
dampak konflik yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi.
3. Menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat
keterlibatannya dalam konflik.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi berbagai
pihak, antara lain:
1. Instansi terkait
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dalam
pembuatan surat sesuai perjanjian bersama. Selain itu, dapat menjadi
referensi dalam menyusun pengelolaan konflik yang sesuai sehingga dapat
menanggulangi konflik yang terjadi.
2. Masyarakat umum
Bagi masyarakat umum, khususnya bagi masyarakat yang bertempat
tinggal berbatasan dengan taman nasional. Melalui penelitian ini dapat
menjadi masukan apabila konflik terjadi di daerahnya sehingga mereka
dapat menyusun pengelolaan konflik yang kira-kira sesuai dari hasil
penelitian.
3. Para peneliti
Bagi para peneliti, penelitian ini dijadikan salah satu bahan referensi bagi
penelitian selanjutnya dengan topik sejenis. Peneliti selanjutnya juga
4
diharapkan dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada dalam
penelitian ini.
4. Swasta
Bagi pihak swasta, khususnya pihak swasta yang berada di sekitar taman
nasional, dapat menjadi masukan pentingnya membuka lapangan
pekerjaan untuk warga di sekitar taman nasional agar warga yang
mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dapat beralih profesi atau
dapat bermata pencaharian ganda.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Definisi Konflik
Pruitt dan Rubin (2004) seperti dikutip Kinseng (2013) mengatakan bahwa
konflik merupakan persepsi mengenai perbedaan kepentingan (percived
divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang
berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Sedangkan menurut Fisher dkk
(2001) yang mengatakan bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau
lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki
sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Konflik adalah situasi kompetisi dimana para pihak menyadari
ketidakcocokan potensial masa depan dan posisi di mana masing-masing pihak
ingin menempati posisi yang tidak sesuai dengan keinginan yang lain (Boulding
seperti dikutip Oberschall 1978) seperti dikutip (Kinseng 2013). Kemudian,
Broom dan Selznick (1973) seperti dikutip Kinseng (2013), konflik terjadi ketika
kelompok-kelompok tidak hanya bersaing untuk tujuan langka yang sama tetapi
berusaha untuk melukai atau bahkan menghancurkan satu sama lain. Menurut
Coser (1964) seperti dikutip Kinseng (2013), konflik sosial berarti perjuangan atas
nilai-nilai dan klaim status langka, kekuasaan dan sumber daya di mana tujuan
dari pendukung adalah untuk menetralisir, melukai atau menghilangkan saingan
mereka. Konflik adalah relasi sosial antar aktor sosial yang ditandai oleh
pertentangan atau perselisihan dan kemarahan, baik dinyatakan secara terbuka
ataupun tidak, dalam rangka mencapai keinginan atau tujuan masing-masing
(Kinseng 2013). Selanjutnya menurut Kinseng (2013), jika pertentangan atau
perselisihan dan kemarahan itu terbuka maka merupakan suatu konflik terbuka,
sementara jika pertentangan atau perselisihan dan kemarahan itu bersifat
tersembunyi atau tertutup maka masuk dalam kategori konflik laten.
Masyarakat Sekitar Hutan
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.691/Kpts-II/1991 yang dimaksud
dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok
masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan.
Hotte (2001) menyatakan bahwa hak yang dimiliki oleh masyarakat sekitar hutan
memerlukan pengakuan oleh orang lain. Merealisasikan pengakuan hak tersebut
dapat menimbulkan benturan-benturan yang apabila terdapat rasa tidak adil akan
menjadi pemicu bagi timbulnya konflik.
Konflik dengan masyarakat sekitar hutan dapat terjadi karena selama ini
pembangunan kehutanan belum memperhatikan kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Ketertinggalan dari segi ekonomi menyebabkan timbulnya sikap
resistensi dari masyarakat terhadap pihak luar yang mengelola hutan. Sikap inilah
yang merupakan potensi laten terjadinya konflik dalam pengelolaan sumber daya
hutan (Nugraha 1999). Oleh karena itu, Nugraha (1999) menyatakan bahwa
masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus lebih diperhatikan dalam
pembangunan sektor kehutanan (dalam pengelolaan atau pengusahaan hutan)
6
karena mereka adalah bagian atau unsur dari ekosistem hutan yang saling
tergantung. Lebih lanjut, Nugraha (1999) menyatakan bahwa dampak positif
pembangunan kehutanan bagi masyarakat di daerah (masyarakat pedesaan sekitar
hutan) masih sangat kecil karena belum menggunakan cara-cara yang tepat,
seperti ketika dalam kegiatan masyarakat belum terkait secara kuat atau terlibat
langsung dengan kegiatan kehutanan itu sendiri.
Konflik Sumber Daya Alam
Konflik dalam pengelolaan sumber daya alam dapat disebabkan oleh
keterbatasan sumber daya alam dan keberadaan akan kebutuhan yang selalu
meningkat, fungsi dan manfaat sumber daya alam. Bertambahnya jumlah
penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda atas sumber daya
yang sama sehingga berakibat pada munculnya konflik-konflik antar berbagai
unsur masyarakat (Fuad dan Maskanah 2000). Selain itu, diungkapkan juga bahwa
sumber daya alam yang terbatas sangat rentan terhadap datangnya perubahan, baik
perubahan kondisi sosial, budaya, lingkungan hidup, ekonomi, hukum, dan politik
menciptakan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan baru terhadap
sumber daya hutan. Pada akhirnya, apabila faktor-faktor tersebut mengalami
ketidaksesuaian maka akan terdapat suatu potensi konflik.
Konflik terjadi ketika terdapat ketimpangan untuk melakukan akses dan
kontrol terhadap sumber daya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang
formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang
untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi
lain, persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu seringkali dijadikan alasan
untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya
menguntungkan pada satu pihak tertentu (Wirajardjo 2001).
Dinamika Konflik
Menurut Oberschall (1978) seperti dikutip Fisher et al. (2001) dinamika
konflik merupakan proses interaksi antara kelompok yang berkonflik, bentuk
konflik, jangkauan konflik dan lamanya, eskalasi dan de-eskalasi, regulasi konflik
dan resolusi, dampak dari konflik yang terjadi terhadap kelompok yang sedang
bersaing dan masyarakat yang lebih besar.
Fisher et al. (2001) konflik berubah tiap saat melalui tahap aktivitas,
intensitas, ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Analisis dasar dari lima tahap
konflik, yaitu:
1. Pra-konflik. Periode ini adalah awal mula terdapatnya ketidaksesuaian antara
dua pihak atau lebih yang kemudian menimbulkan konflik. Konflik
tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin
mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan
hubungan di antara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari
kontak satu sama lain pada tahap ini.
2. Konfrontasi. Pada tahap ini konfrontasi semakin terbuka. Jika hanya satu
pihak yang merasa terdapat masalah, mungkin para pendukungnya mulai
7
melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfronatif lainnya. Kadang
pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua
pihak. Masing-masing pihak mungkin akan mengumpulkan sumber daya atau
kekuatan dan akan mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan
konfrontasi dan kekerasan. Hubungan di antara kedua belah pihak menjadi
sangat tegang, mengarah pada polarisasi di antara masing-masing pendukung.
3. Krisis. Tahap ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan
kekerasan terjadi paling hebat. Di dalam konflik skala besar, ini adalah
periode perang, ketika orang-orang dari kedua belah pihak terbunuh.
Komunikasi normal diantara kedua pihak kemungkinan putus. Pertanyaanpertanyaan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya.
4. Akibat. Suatu krisis pasti menimbulkan akibat. Satu pihak mungkin
menaklukkan pihak lain atau mungkin melakukan gencatan senjata (jika
perang terjadi). Satu pihak mungkin akan menyerah atas desakan pihak lain.
Kedua pihak mungkin setuju bernegoisasi, dengan atau tanpa bantuan
perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya
yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan
pertikaian. Apapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi, dan
kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya
penyelesaian.
5. Pasca konflik. Tahapan terakhir, ketika situasi diselesaikan dengan cara
mengakhiri segala konfrontasi kekerasan, keregangan berkurang, dan
hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isuisu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling
bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi
situasi konflik.
Aktor-aktor dalam Konflik
Bebbington (1997) dan Luckham (1998) seperti dikutip Dharmawan (2006)
menyatakan bahwa konflik sosial dapat berlangsung pada aras antar ruang
kekuasaan. Terdapat tiga ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem
sosial kemasyarakatan, yaitu: ruang kekuasaan negara, masyarakat sipil atau
kolektivitas sosial, dan sektor swasta. Konflik sosial dapat berlangsung di dalam
setiap ruangan ataupun melibatkan agensi atau struktur antar-ruangan kekuasaan
seperti:
Negara
Masyarakat sipil atau
kolektivitas sosial
Sektor swasta
Gambar 1 Tiga ruang ketika konflik sosial berlangsung
8
Dharmawan (2006), konflik sosial antar pemangku kekuasaan dapat
berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadapan melawan negara
dan sebaliknya. Konflik sosial ini dapat terjadi dalam bentuk protes warga
masyarakat atas kebijakan publik yang diambil oleh negara atau pemerintah
yang dianggap tidak adil dan merugikan masyarakat secara umum.
2. Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas
sosial berhadap-hadapan melawan swasta dan sebaliknya.
3. Konflik sosial yang berlangsung antara swasta berhadapan melawan negara
dan sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh pemerintah atau negara
dalam mengawal jalannya sebuah kebijakan, biasanya memakan biaya sosial
yang tidak terelakkan berupa konflik tipe ini.
Secara umum, pihak yang berkonflik dapat berlangsung antar pemangku
kekuasaan, yaitu negara, masyarakat sipil atau kolektivitas, dan sektor swasta.
Namun dalam penelitian ini tidak melibatkan sektor swasta. Hubungan antar pihak
ini dapat meliputi hubungan konflik maupun kolaborasi atau kerjasama (Kinseng
2013).
Intensitas Konflik
Menurut Robbins (1996) seperti dikutip Dharmawan (2006), intensitas
konflik dapat digolongkan, yaitu: (1) mewakili sedikit ketidaksetujuan atau sedikit
kesalahpahaman. Perbedaan yang paling ringan adalah perbedaan persepsi dan
perbedaan pemaknaan terhadap suatu masalah. Perbedaan ini masih tersimpan
dalam ingatan di setiap individu atau kelompok yang berinteraksi; (2)
mempertanyakan hal-hal yang berbeda. Pihak-pihak tertentu sudah mulai
mempertanyakan hal-hal yang dianggapnya berbeda tetapi belum ada vonis bahwa
pihak lain itu keliru atau tidak; (3) mengajukan serangan-serangan verbal.
Perbedaan sudah diungkapkan secara terbuka dan sudah ada vonis bahwa pihak
lain itu keliru, tetapi belum muncul koersi verbal agar pihak lain itu bersikap
seperti yang diinginkannya; (4) mengajukan ancaman dan ultimatum. Koersi
verbal mulai muncul apabila terdapat upaya agar pihak lain bersikap seperti
dirinya, atau yang diharapkan dan diinginkan oleh dirinya; (5) melakukan
serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam bentuk
paksaan fisik; dan (6) melakukan upaya-upaya untuk merusak atau
menghancurkan pihak lain. Pihak-pihak tertentu akan melakukan segala cara
untuk memaksakan keinginannya walaupun hal tersebut akan merugikan pihak
lain.
Tumpang tindihnya kepentingan semua pihak pada suatu wilayah sumber
daya alam yang sama, menyebabkan konflik seolah-olah menjadi hal yang tidak
dapat dihindarkan. Berbagai peraturan yang dibuat untuk mengatur pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya alam ternyata sangat tidak membantu karena saling
9
bertentangan dan tumpang tindih yang mengakibatkan semakin meningkatkan
intensitas konflik atas sumber daya alam (Ilham 2006).
Bentuk Reaksi Masyarakat
Tipe dan bentuk reaksi yang dimunculkan masyarakat dalam menyikapi
suatu konflik yang terjadi, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 6 variasi
tipe/bentuk reaksi (Dharmawan 2006) sebagai berikut:
1. Gerakan sosial damai, berupa aksi penentangan dalam bentuk aksi kolektif,
mogok kerja, mogok makan, dan aksi diam. Ketika aksi tersebut tidak
menemukan resolusi yang memuaskan maka dapat memunculkan aksi yang
membuat gangguan umum dalam bentuk demonstrasi atau huru-hura.
2. Demonstrasi atau protes bersama adalah kegiatan yang mengekspresikan atau
ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu kelompok atas isu tertentu.
Derajat tekanan konflik kurang lebih sama dengan pemogokan. Aksi kolektif
seperti ini biasanya diambil sebagai protes reaksioner yang dilakukan secara
berkelompok ataupun massal atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh
suatu pihak tertentu kepada pihak berseberangan atau suatu masalah tertentu.
Hal ini Biasanya bersifat lokal dan sporadik.
3. Kerusuhan dan huru-hara (riots) adalah peningkatan derajat keberingasan
(degree of violence) dari sekedar demonstrasi. Kerusuhan berlangsung
sebagai reaksi massal atau keresahan umum. Oleh karena disertai dengan
histeria missal maka huru-hara seringkali tidak dapat dikendalikan dengan
mudah tanpa memakan korban luka, bahkan kematian.
4. Pemberontakan (rebellion) adalah konflik sosial yang berkepanjangan dan
biasanya digagas dan direncanakan lebih konstruktif dan terorganisasikan
dengan baik. Pemberontakan dapat mengenai perjuangan atas suatu
kedaulatan atau mempertahankan kawasan termasuk eksistensi ideologi
tertentu. Pemberontakan tidak harus berlangsung secara manifest, melainkan
dapat diawali secara laten.
5. Aksi radikalisme-revolusioner adalah gerakan penentangan yang
menginginkan perubahan sosial secara cepat atas suatu keadaan tertentu.
6. Perang adalah bentuk konflik antar negara yang sangat tidak dikehendaki oleh
masyarakat dunia karena dampaknya sangat luas terhadap manusia.
Pengelolaan Konflik
Menurut Condliffe (1991) seperti dikutip Sardjono (2004), konflik dapat
dikelola melalui tiga dasar pengelolaan, yaitu: (1) langsung antar pihak yang
bersengketa (one-to-one), ketika masing-masing pihak yang bersengketa bertindak
untuk menyelesaikannya sendiri; (2) mewakilkan kepada pihak lain
(representational), ketika pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain
10
seperti pengacara, teman kolega, dan asosiasi resmi; dan (3) menggunakan pihak
ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas permintaan kedua belah pihak
yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya.
Condliffe (1991) seperti dikutip Sardjono (2004) mengajukan delapan
prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik, yaitu:
1. Lumping it. Terkait isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan
hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.
2. Avoidance or exit. Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar
pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki
(powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial,
ekonomi, atau psikologis.
3. Coersion. Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau
kepentingannya pada pihak yang lain secara memaksa.
4. Negotiation. Kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersamasama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga, dan mencapai
kesepakatan melalui konsensus.
5. Concilliation. Mengajak (menyatukan) kedua belah pihak yang
bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk
menyelesaikan persengketaan.
6. Mediation. Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.
7. Arbitration. Ketika kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui
intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui
sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga.
8. Adjudication. Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki
otoritas untuk mengintervensi persengketaan, dan membuat serta
menerapkan keputusan yang diambil, baik yang diharapkan maupun tidak
diharapkan.
Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik di atas, hanya butir
negoisasi, konsiliasi, dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar
pengadilan yang dipandang kondusif. Hal ini karena ketiganya mengandung unsur
win-win solutuion yang sifatnya lebih langgeng. Sebagaimana yang disinggung
oleh Sardjono (2004) bahwa penyelesaian konflik melalui jalur formal legal yang
akan diperoleh adalah „menang-kalah‟ atau „gembira-kecewa‟. Oleh karena itu,
cara ini hanya akan ditempuh bila: (1) upaya penyelesaian melalui perundingan
menemui jalan buntu; (2) tingkat pelanggaran atau tuntutan telah melampaui batas
toleransi; dan (3) merupakan kebiasaan dan kepentingan publik.
Fuad dan Maskanah (2000) menyebutkan bahwa khusus mengenai konflik
yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan, UU No. 41 Tahun 1999 Pasal
74 Ayat 1 tentang Kehutanan mengatur bahwa penyelesaian sengketa kehutanan
dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
secara sukarela para pihak yang bersengketa. Selanjutntya, UU No. 41 Tahun
1999 Pasal 75 Ayat 1 menyebutkan penyelesaian sengketa kehutanan di luar
pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengambilan
suatu hak, besarnya ganti rugi, dan/atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang
harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan. Menurut Sakai (2002) seperti
dikutip Sardjono (2004) meskipun penyelesaian konflik ada yang diselesaikan
11
melalui jalur hukum pengadilan namun kebanyakan kasus konflik pada saat ini
tidak diselesaikan di pengadilan melainkan melalui negosiasi.
Dampak Konflik
Menurut penelitian Kausar (2010), penetapan Taman Nasional Kerinci
Seblat (TNKS) sebagai salah satu kawasan konservasi yang berbentuk taman
nasional di Indonesia membawa implikasi munculnya konflik sosial, karena
masyarakat sekitar tidak diperbolehkan dengan bebas melakukan akses dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan seperti dahulu. Keterbatasan
akses ini menyebabkan turunnya luas penguasaan lahan masyarakat sekitar taman
nasional.
Kesadaran kelas muncul dan dibentuk melalui exposure orang-orang yang
menempati posisi sosial tertentu terhadap kondisi sosial tertentu pula (Coser 1977)
seperti dikutip (Kinseng 2014). Secara lebih terperinci dan sistematis bahwa
menurut Marx, ada empat faktor yang mendorong tumbuhnya kedasaran kelas dari
kelompok subordinat (Turner 1998) seperti dikutip Kinseng (2014). Keempat
faktor tersebut adalah: (1) adanya gangguan terhadap kehidupan atau kondisi
sosial kelas subordinat akibat perubahan-perubahan yang disebabkan oleh kelas
dominan, (2) praktik-praktik yang dilakukan oleh kelas dominan yang
menyebabkan terjadinya alienasi pada kelas subordinat, (3) anggota-anggota kelas
subordinat dapat mengomunikasikan kesulitan dan keluhan mereka satu sama lain,
dan (4) kelas subordinat dapat membangun ideologi yang mempersatukan mereka.
Coser (1956) seperti dikutip Turner (1997), konflik dengan kelompok lain
akan memperkuat kohesivitas internal kelompok karena ketika ada tekanan dari
pihak luar suatu kelompok akan mempertahankan diri dan mereka diharuskan
memperbaiki kondisi internal dengan cara meningkatkan kohesivitas internal
kelompok.
Hubungan antara karakteristik individu terhadap keterlibatannya dalam
konflik
Menurut penelitian Marina dan Dharmawan (2011) keterlibatan konflik
masyarakat adat Kesepuhan Sinar Resmi dengan Balai Besar Taman Nasional
Halimun Salak didominasi oleh Abah Anom dan Abah Pelen yang merupakan
tokoh masyarakat adat setempat dan usianya sudah tergolong tua. Berbeda dengan
penelitian Fairuza (2009), terjadi ketidaksesuaian Peraturan Daerah Kabupaten
Pekalongan yang mengesahkan penjualan dan konsumsi minuman keras dengan
kadar alkohol tertentu. Konflik ini didominasi oleh kelompok pemuda Islam AtTaqwa dengan pengurus Cafe X. Dari kedua penelitian tersebut, diduga terdapat
hubungan antara usia individu terhadap keterlibatannya dalam konflik.
Diduga terdapat hubungan antara tingkat pendidikan individu terhadap
keterlibatannya dalam konflik. Menurut penelitian Herawati dan Pulungan (2006)
faktor pendidikan berhubungan nyata dengan partisipasi petani mengajukan saran
dalam rapat program. Biasanya faktor pendidikan ini dianggap penting karena
dengan melalui pendidikan yang diperoleh, seseorang mudah berkomunikasi
dengan orang luar dan cepat tanggap terhadap inovasi. Oleh karena itu, diduga
apabila semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi keterlibatan
12
seseorang dalam konflik karena tidak hanya cepat tanggap terhadap inovasi,
terhadap kepentingan yang tidak sejalan saja pasti mereka lebih tanggap.
Diduga terdapat hubungan antara tingkat pengalaman organisasi individu
terhadap keterlibatannya dalam konflik. Menurut Mahfud dan Toheke (2010)
perempuan yang tergabung di Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro mulai
menanamkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang nyaris terkubur karena
kebijakan nasional. Kesadaran ini disebabkan keikutsertaan mereka dalam
organisasi sehingga berniat menanamkan konsep masa silam masyarakat Adat
Ngata Toro di Kecamatan Kulawi tentang posisi perempuan. Selain itu, menurut
Khair dan Irawan (2013), seseorang yang punya pengalaman berorganisasi yang
matang pasti memiliki cara berpikir sistematis, analisis mendalam, paham situasi
dan lingkungan, mahir berkomunikasi dan bernegosiasi. Diduga apabila seseorang
mengikuti beberapa organisasi, maka tingkat pengalaman organisasinya lebih
tinggi. Selain itu, apalah artinya mengikuti organisasi tanpa pernah berpartisipasi
pada pertemuan rapat organisasi dan ikutserta dalam acara organisasi karena
melalui pertemuan rapat organisasi maupun ikutserta dalam acara organisasi,
seseorang dapat berpikir sistematis, analisis mendalam, paham situasi dan
lingkungan, mahir berkomunikasi dan bernegosiasi sehingga jumlah pertemuan
yang diikuti juga menentukan tingkat pengalaman organisasi seseorang.
Diduga terdapat hubungan antara luas penguasaan lahan individu dengan
tingkat keterlibatannya dalam konflik. Menurut pendapat Darwis (2008) di daerah
pedesaan ketimpangan distribusi penguasaan lahan akan berdampak pada
ketimpangan distribusi pendapatan mengingat sebagian besar pendapatan rumah
tangga pedesaan berasal dari usaha pertanian yang membutuhkan lahan sebagai
faktor produksi utama.
Menurut Darwis (2008), umumnya petani kaya cukup efisien dalam
mengelola asset yang dimiliki sehingga mereka selalu memperoleh surplus
kegiatan usahanya. Diduga hal ini karena status penguasaan lahan yang dimiliki
oleh petani kaya adalah hak milik sehingga mereka lebih merasa memiliki lahan
tersebut dibandingkan dengan status penguasaan lainnya. Oleh karena itu, diduga
apabila terjadinya konflik, perbedaan status penguasaan lahan akan menyebabkan
perbedaan keterlibatan konflik.
Tatanan pertanian perdesaan, secara garis besar sistem penguasaan lahan
dapat diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap/bagi hasil, dan
gadai. Status hak milik adalah lahan yang dikuasai dan dimiliki oleh perorangan
atau kelompok atau lembaga/organisasi (Darwis 2008). Sementara itu, menurut
Pakpahan et al. (1993), status sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai adalah bentukbentuk penguasaan lahan dimana terjadi pengalihan hak garap dari pemilik lahan
kepada orang lain. Namun dalam pertanian pedesaan, juga sering dijumpai status
penguasaan lahan pinjam pakai.
Badan Pusat Statistik (BPS) membagi sumber daya lahan pertanian atas dua
kategori yaitu: (1) lahan sawah dan (2) lahan kering. Lebih lanjut lahan kering
dibedakan atas: (a) lahan pekarangan yaitu lahan kering yang berada di sekitar
rumah, (b) lahan tegalan atau ladang yaitu lahan kering yang dimanfaatkan untuk
tanaman semusim terutama padi dan palawija, (c) lahan kebun yaitu lahan kering
yang dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan, dan (d) hutan rakyat, yaitu lahan
kering yang dimanfaatkan untuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman tahunan
lainnya. Sedangkan lahan sawah lebih lanjut dapat dibagi atas 2 kategori, yaitu:
13
(a) lahan sawah irigasi yaitu lahan sawah yang pasokan airnya dapat bersumber
dari jaringan irigasi teknis, semi teknis atau irigasi sederhana/irigasi desa, dan (b)
lahan sawah non irigasi, yaitu lahan sawah yang pasokan airnya tidak berasal dari
jaringan irigasi yang termasuk kategori lahan sawah ini adalah lahan sawah tadah
hujan, sawah pasang surut dan sawah lebak. Berdasarkan hasil survei, ditemukan
jenis lahan yang berbeda di lapang sehingga diduga jenis lahan berhubungan
dengan tingkat keterlibatan seseorang dalam konflik.
Soetarso (1979) seperti dikutip oleh Yasin (2005) menunjukkan bahwa
faktor usia, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, dan lama menetap di suatu daerah
ternyata berhubungan dengan kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi.
Selanjutnya menurut Risyandra (2012), warga yang sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani, pendapatan mereka berasal dari lahan yang mereka
garap sehingga jika lahan mereka hilang, pendapatan mereka akan hilang juga.
Semakin besar pendapatan akan semakin besar tingkat keterlibatan seseorang
dalam konflik. Diduga terdapat hubungan antara pendapatan individu terhadap
tingkat keterlibatannya dalam konflik.
Menurut Yasin (2005), banyaknya jumlah tanggungan keluarga membuat
peternak berpartisipasi terhadap pelaksanaan program inseminasi buatan (IB) di
Lombok Barat sehingga peternak dapat berkembang secara mandiri. Diduga
jumlah tanggungan keluarga ini dapat berhubungan dengan keterlibatan seseorang
dalam konflik karena tidak hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan inovasi yang
memerlukan kemauan dalam diri sendiri, seseorang juga pasti akan terlibat dalam
konflik apabila akses mereka dibatasi.
Keterlibatan warga Desa Sukamulya dalam konflik pembangunan Bandara
Internasional Jawa Barat (BIJB), dapat terlihat dari adanya rapat serta dialog yang
diadakan antar warga maupun dengan LSM, pemerintah, dan pihak swasta
mengenai pembangunan BJIB; demonstrasi yang dilakukan oleh warga untuk
menolak pembangunan BJIB; dan juga peranan warga dalam demonstrasi
(Risyandra 2012). Namun, keterlibatan warga dalam konflik juga dapat terlihat
dari peranan warga dalam rapat.
14
Kerangka Pemikiran
Sebelum adanya penetapan perluasan kawasan konservasi TNGGP, telah
dilakukan rapat antara perwakilan warga Kampung Ciwaluh, pihak Balai Besar
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan tokoh masyarakat dari Kantor
Desa Wates Jaya. Pertemuan ini menghasilkan perjanjian apabila ditetapkan
menjadi perluasan kawasan TNGGP, khususnya perluasan kawasan konservasi,
maka jarak antara lahan perluasan kawasan konservasi TNGGP dengan ujung
perkampungan sebesar 100 meter. Selanjutnya, ketika dikeluarkannya Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No.174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, surat
mengenai perjanjian jarak bersama yang sekaligus dapat menentukan batas
konservasi belum juga dikeluarkan.
Perluasan kawasan konservasi
Ketidakjelasan batas konservasi
Konflik sumber daya alam
Intensitas konflik
Tingkat keterlibatan petani
dalam konflik (Y)
Dampak konflik
Aktor
Pengelolaan
konflik
Karakteristik petani (X)
X.1 Usia
X.2 Tingkat pendidikan
X.3 Tingkat pengalaman
oganisasi
X.4 Luas penguasaan lahan
X.5 Status penguasaan
lahan
X.6 Pendapatan
X.7 Jumlah tanggungan
keluarga
X.8 Jenis lahan
Keterangan
: Menyebabkan
: Berhubungan
: Aspek yang diteliti
: Merupakan bagian
Gambar 2 Bagan kerangka pemikiran
15
Mayoritas mata pencaharian warga di Kampung Ciwaluh, Desa Wates Jaya,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor hingga saat ini adalah bertani. Karena
sumber mata pencaharian warga berasal dari lahan yang mereka garap maka
ketika terjadi ketidakjelasan batas menyebabkan warga melakukan tindakan dalam
memperjelas apa yang telah disepakati bersama. Terlebih lagi, lahan yang mereka
garap ini berbatasan dengan perluasan kawasan konservasi TNGGP. Tindakan
dalam memperjelas batas bertujuan untuk memperoleh akses dan kontrolnya
kembali. Tindakan ini berawal ketika adanya penangkapan warga oleh polisi
hutan. Hal ini diungkapkan oleh Ketua RT 04 RW 08 Kampung Ciwaluh, yaitu:
“Warga ada yang ditangkap oleh polisi hutan karena dianggap menggarap
lahan konservasi, padahal dia menggarap di lahannya sendiri yang jauh dari
lahan konservasi.” (Ketua RT 04, 40 tahun)
Petani disini adalah petani RT 03 dan RT 04, RW 08, Desa Wates Jaya yang
biasa dikenal dengan Kampung Ciwaluh. Karakteristik petani yang diteliti yaitu
berupa usia, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman organisasi, luas penguasaan
lahan, status penguasaan lahan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, dan
jenis lahan. Karakteristik petani ini merupakan bagian dari aktor yang terlibat
dalam konflik. Akan tetapi karakteristik petani tidak mewakili sepenuhnya aspek
aktor karena aktor disini bukan hanya warga Kampung Ciwaluh yang bermata
pencaharian sebagai petani saja, melainkan adanya pengelola Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pemerintah.
Dalam penelitian ini tidak melibatkan sektor swasta. Selanjutnya, karakteristik
petani ini akan diteliti apakah memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatannya
dalam konflik atau tidak. Tingkat keterlibatan petani dalam konflik dapat dilihat
dari keikutsertaan petani dalam rapat dan demonstrasi, serta peran petani dalam
rapat dan demonstrasi tersebut. Selanjutnya, tingkat keterlibatan petani dalam
konflik ini merupakan bagian dari intensitas konflik yang terjadi.
Konflik yang terjadi akan memberikan dampak tersendiri bagi warga
Kampung Ciwaluh, khususnya warga yang bermata pencaharian sebagai petani.
Selain itu, tentu adanya pengelolaan konflik yang dilakukan. Pengelolaan konflik
dilakukan oleh pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, petani,
maupun pihak ketiga untuk mengurangi konflik dan menanggulangi dampak yang
terjadi.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang tertera pada Gambar 2, maka
hipotesis uji penelitian yang disusun, yaitu:
1. Terdapat hubungan nyata yang positif antara karakteristik petani (usia, tingkat
pendidikan, tingkat pengalaman organisasi, luas penguasaan lahan, status
penguasaan lahan, pendapatan, dan jumlah tanggungan keluarga) dengan
tingkat keterlibatan petani dalam konflik. Secara lebih rinci adalah sebagai
berikut:
-
Ho
: Tidak terdapat hubungan antara usia petani dengan tingkat
16
-
-
-
-
-
-
Ha
:
Ho
:
Ha
:
Ho
:
Ha
:
Ho
:
Ha
:
Ho
:
Ha
:
Ho
:
Ha
:
Ho
:
Ha
:
keterlibatannya dalam konflik.
Terdapat hubungan antara usia petani dengan tingkat
keterlibatannya dalam konflik.
Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan petani dengan
tingkat keterlibatannya dalam konflik.
Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan petani dengan
tingkat keterlibatannya dalam konfli