Keragaman Cendawan Entomopatogen di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kawasan Cibodas
KERAGAMAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO,
KAWASAN CIBODAS
RAGIL PRATIWI
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
RAGIL PRATIWI. Keragaman Cendawan Entomopatogen di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango, Kawasan Cibodas. Di bimbing oleh AGUSTIN WYDIA GUNAWAN dan SRI
LISTIYOWATI.
Cendawan entomopatogen (CE) merupakan cendawan parasit serangga, yang dapat
dimanfaatkan sebagai agens pengendali hama tanaman yang ramah lingkungan. Keberadaan dan
keragaman cendawan parasit serangga di Indonesia, khususnya di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (TNGGP), belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi keragaman
CE yang berada di TNGGP. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak empat kali, yaitu pada
tanggal 13 dan 28 Maret; 4 dan 21 April 2012 dengan musim yang sama, pada dua jalur yang
memiliki ketinggian berbeda. Sampel yang diambil berupa cendawan yang berasosiasi dengan
serangga. Sampel yang berhasil diperoleh kemudian diidentifikasi dan diisolasi menggunakan
teknik spora langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Cibodas, TNGGP terdapat lima
genus CE, yaitu Hypocrella, Cordyceps, Aschersonia, Gibellula, dan Lecanicillium. Dua genus
pertama merupakan fase teleomorf CE dan yang lainnya merupakan fase anamorf. Spesimen yang
berhasil diisolasi ialah Lecanicillium PR 08.
Kata kunci:
anamorf, cendawan entomopatogen, Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango, teleomorf
ABSTRACT
RAGIL PRATIWI. Diversity of entomopathogenic fungi in Gunung Gede Pangrango National
Park, Cibodas Area. Supervised by AGUSTIN WYDIA GUNAWAN and SRI LISTIYOWATI.
Entomopathogenic fungi is fungi which are parasite on insect. These fungi can be used as pest
control agents that are environmentally friendly. In Indonesia, their existence and diversity
especially Gunung Gede Pangrango National Park (TNGGP) is not well known. This research was
conducted to explore their biodiversity in TNGGP. Samples were taken four times, at March 13 rd
and 28th; April 4th and 21st 2012 with a same season, on two pathways that are have different in
heights. They were successfully obtained, identified, and isolated using direct spore method. The
result showed that in Cibodas, TNGGP there were five genera of entomopathogenic fungi, namely
Hypocrella, Cordyceps, Aschersonia, Gibellula, and Lecanicillium. The first two genera were in
teleomorf phase and the others are in anamorf. Successfully isolated specimen is Lecanicillium PR
08.
Key word: anamorf, entomopathogenic fungi, Cibodas, Gunung Gede Pangrango National Park,
teleomorf
KERAGAMAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO,
KAWASAN CIBODAS
RAGIL PRATIWI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Keragaman Cendawan Entomopatogen di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, Kawasan Cibodas
: Ragil Pratiwi
: G34080033
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Agustin Wydia Gunawan, M.S.
NIP 19480821 197301 2 001
Dr. Sri Listiyowati, M.Si.
NIP 19640714 199002 2 001
Diketahui
Ketua Departemen Biologi
Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si.
NIP 19641002 198903 1 002
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga karya
ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul “Ragam Cendawan Entomopatogen di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kawasan Cibodas” dilakukan mulai Februari 2012
sampai dengan Juni 2012 di Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Agustin Wydia Gunawan, M.S. dan Dr. Sri
Listiyowati, M.Si. atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan, serta Ibu Dr. Ir. Utut
Widyastuti, M.Si. yang memberikan saran kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Ibu Ir. Helyu Mizawati beserta staf laboratorium Mikologi atas bantuan selama
penulis melakukan penelitian, serta Bapak Nanang yang telah membantu dalam pengambilan
spesimen di lapang. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk bapak, ibu, kakakku
Nugroho, serta Dwi Wahyudi atas segala do’a, pengertian serta kasih sayang yang tercurah untuk
penulis, teman seperjuangan Siti, Kang Agus, Inggit, Oktan, Latifah, Roma, Reyna, Yeni, Wiwid,
dan teman Biologi 45 yang telah memberikan dukungan dan semangatnya.
Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.
Bogor, September 2012
Ragil Pratiwi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 24 Oktober 1990 dari pasangan Sogiran dan
Kusmiati. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMP Negeri 11
Bekasi pada tahun 2005, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA PGRI 1 Bekasi dan lulus
tahun 2008. Setelah itu, penulis lulus seleksi masuk Jurusan Biologi di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Biologi
Cendawan. Pada tahun 2011 penulis melakukan Praktik Lapangan di PT Pindo Deli Paper Product
dengan judul Peran Mikroorganisme dalam Proses Pengolahan Limbah Cair. Selama kuliah
penulis aktif berorganisasi di Komunitas Teater Masyarakat Rompoet sebagai anggota pada tahun
kepengurusan 2008-2009, Himpunan Mahasiswa Biologi (Himabio) sebagai anggota divisi
Observasi Wahana Alam (OWA) pada tahun kepengurusan 2009-2010 dan 2010-2011, serta
menjadi panitia di berbagai kegiatan. Pengalaman kepanitiaan penulis antara lain sebagai panitia
Morfologi 47 tahun 2010, Pesta Sains tahun 2010, dan Eksplorasi alam di Bodogol tahun 2010.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... viii
PENDAHULUAN .....................................................................................................................
1
BAHAN DAN METODE
Pengambilan Spesimen ....................................................................................................
Identifikasi ......................................................................................................................
Isolasi ..............................................................................................................................
1
1
2
HASIL
Keragaman Cendawan Entomopatogen ........................................................................
Isolasi Cendawan Entomopatogen ................................................................................
2
7
PEMBAHASAN ......................................................................................................................
8
SIMPULAN .............................................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................
10
LAMPIRAN ..............................................................................................................................
12
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Aschersonia: a stroma pada inang yang diparasit terdapat di bagian bawah daun
Zingiberaceae, b piknidium berisi konidiofor, c konidium dengan pewarnaan
laktofenol ...........................................................................................................................
3
2 Cordyceps: a struktur tubuh buah pada inang yang diparasit, b kumpulan stroma di
sepanjang clava, c askus berisi askosopra, d askospora ....................................................
4
3 Hypocrella: a kumpulan stroma pada inang yang diparasit terdapat di bagian bawah
daun Zingeberaceae, b irisan stroma yang menunjukkan peritesium, c askus dengan
tudung hialin yang tebal, d askospora ................................................................................
5
4 Gibellula: a dan d sinema pada inang yang diparasit, b dan e sinema dengan massa
konidium, c dan f konidium ...............................................................................................
6
5 Lecanicillium: a miselium pada inang Himenoptera, b struktur konidiogen berupa
fialid, c konidium, d koloni pada medium ADK tampak depan, e tampak belakang
.........
6
6 Spesimen cendawan entomopatogen belum dapat diidentifikasi: a PR 01 pada
Himenoptera, b PR 03 pada Araneae, c PR 05 pada Araneae, d PR 10 pada
Homoptera .........................................................................................................................
7
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Cendawan entomopatogen yang diperoleh dari Cibodas, TNGGP beserta inangya
..........
2
..........................................
8
...........................................................................
8
............................................................................................
9
...............................................................................................
9
2 Genus cendawan entomopatogen fase teleomorf dan anamorf
3 Ukuran struktur reproduksi Aschersonia
4 Ukuran konidium Hypocrella
5 Ukuran konidium Gibellula
6 Ukuran konidium Lecanicillium
........................................................................................
10
PENDAHULUAN
Cendawan merupakan salah satu golongan
organisme heterotrof, yaitu organisme yang
mendapatkan nutrisi bahan organik dari
organisme hidup atau mati untuk kebutuhan
hidup
dan
perkembangbiakannya.
Pemanfaatan nutrisi tersebut oleh cendawan
dapat berlangsung secara parasit maupun
saprob. Cendawan parasit merugikan karena
dapat menimbulkan penyakit dan akhirnya
mematikan inang yang diserangnya. Salah
satu cendawan yang memiliki sifat parasit
ialah
cendawan
entomopatogen
yang
memarasit serangga.
Indonesia
merupakan
negara
megabiodiversitas yang memiliki keragaman
hayati nomor dua paling banyak di dunia
(Supriatna et al. 1998). Keragaman hayati
yang tinggi ini dikarenakan wilayah Indonesia
berada di daerah tropik tanpa perubahan suhu
yang besar yang memiliki dua macam musim
dan berbagai macam tipe habitat. Penelitian
tentang cendawan entomopatogen (CE) di
negara tetangga seperti Thailand telah banyak
dilaporkan. Keragaman CE yang ditemukan di
hutan hujan tropik Thailand sebanyak 15
genus (Aung et al. 2008) dan dilaporkan ada
170 spesies yang telah diisolasi (Luangsa-Ard
et al. 2006), sedangkan di Indonesia
dilaporkan 9 genus dari Telaga Warna (Yanto
2007, Amalia 2008) dan 3 genus dari
Cangkuang (Palupi dan Sinaga 2007, Herlis et
al. 2009).
Penyebaran CE umumnya berasal dari
Ordo Hypocreales, Famili Clavicipitaceae
(Hywel-Jones 2002). Cendawan parasit pada
serangga di alam, banyak ditemukan di dareah
tropik, yang dapat ditemukan di tanah dengan
keadaan lembap, serasah daun, permukaan
daun bagian bawah (abaksial), dan pada
daerah yang berbukit (Luangsa-Ard et al.
2006). Cibodas yang masuk ke dalam wilayah
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP) di Jawa Barat merupakan wilayah
hutan hujan tropik. Keanekaragaman fauna
dan floranya berlimpah (BTNGGP 2011),
tetapi data mengenai keragaman CE belum
mendapat perhatian. Penelitian ini bertujuan
mengeksplorasi keragaman CE yang berada di
Cibodas, TNGGP.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan
Februari sampai dengan Juni 2012.
Pengambilan sampel dilakukan di Cibodas,
TNGGP. Kawasan ini memiliki curah hujan
rata-rata 3000-4200 mm/tahun, suhu rata-rata
sebesar 23 ºC, dan kelembapan relatif berkisar
antara 80% dan 90% sepanjang tahun. Secara
geografi TNGGP terletak antara 106o 5’ BT
dan 107o 0’ BT sampai dengan 6o 5’ LS yang
memiliki ketinggian beragam, mulai dari 1000
m dpl sampai 3019 m dpl. Isolasi dan
identifikasi CE yang berhasil ditemukan
dilakukan
di
Laboratorium Mikologi,
Departemen Biologi, FMIPA, IPB.
Pengambilan Spesimen
Bahan yang diteliti ialah CE yang
menempel pada serangga mati yang dikoleksi
dari kawasan Cibodas, TNGGP. Serangga
inang yang ditumpangi oleh CE dikoleksi dari
permukaan daun maupun serasah lantai hutan.
Spesimen CE diambil sebanyak empat kali,
yaitu pada tanggal 13 dan 28 Maret, serta 4
dan 21 April 2012.
Pengambilan spesimen dilakukan di
sepanjang jalur dari Resort Mandalawangi
hingga Telaga Biru. Pada jalur tersebut dilalui
dua jalan setapak yang berbeda (Lampiran 1).
Perbedaan kedua jalan setapak tersebut
didasarkan pada perbedaan ketinggian. Jalan
setapak pertama merupakan jalur wisata yang
memiliki ketinggian 1300-1575 m dpl. Jalur
setapak kedua merupakan jalur hutan yang
merupakan jalur terjal dengan ketinggian
1425-1595 m dpl. Jumlah spesimen yang
diambil sesuai dengan keberadaan cendawan
tersebut, misalnya terdapat CE yang berada
pada permukaan daun dalam jumlah banyak,
maka dapat diambil 3-5 spesimen daun.
Spesimen dipotret di habitat alaminya, lalu
disimpan dalam wadah spesimen agar
strukturnya tidak rusak. Data paspor spesimen
yang dicatat meliputi waktu dan lokasi
pengambilan, ketinggian dan nomor spesimen.
Spesimen yang berhasil dikumpulkan
kemudian diidentifikasi dan/atau diisolasi.
Identifikasi
Identifikasi CE didasarkan pada struktur
reproduksi yang ada pada tubuh serangga
(teleomorf atau anamorf) menggunakan kunci
identifikasi Humber (2005, 2012) dan
Luangsa-Ard et al. (2006, 2008). Identifikasi
dilakukan terhadap struktur reproduksi
cendawan yang tampak pada permukaan
serangga. Struktur tersebut diamati secara
makroskopi dan mikroskopi. Pengamatan
secara makroskopi meliputi warna, bentuk,
2
dan ukuran stroma, warna dan ukuran sinema,
serta inang yang diserangnya. Pengamatan
secara mikroskopi dilakukan dengan membuat
irisan tipis spesimen, kemudian dibuat
preparat dengan pewarnaan laktofenol biru
untuk diamati menggunakan mikroskop.
Pengamatan tersebut meliputi bentuk dan
ukuran peritesium, askus, dan askospora,
warna dan bentuk piknidium dan konidium.
Pengukuran panjang dan lebar askus,
askospora, peritesium, piknidium, dan
konidium dilakukan sebanyak 10-20 buah.
Isolasi
Cendawan parasit pada serangga yang
diisolasi ialah spesimen yang tubuh buahnya
sudah dewasa yang ditandai oleh keberadaan
struktur
reproduksi.
Isolasi
dilakukan
menggunakan teknik isolasi langsung
menggunakan medium agar-agar dekstrosa
kentang (ADK) (Luangsa-Ard et al. 2006).
Teknik isolasi langsung dilakukan dengan
menggoreskan spora cendawan yang tumbuh
pada permukaan tubuh serangga pada medium
ADK secara aseptik. Selanjutnya cawan
disimpan di tempat tertutup dalam kondisi
yang lembap. Spora yang tumbuh dipindahkan
ke medium ADK yang baru untuk
memperoleh biakan murni.
HASIL
Keragaman Cendawan Entomopatogen
Cendawan
entomopatogen
dapat
ditemukan pada empat habitat, yaitu
permukaan daun maupun batang, di
permukaan bawah batu, di permukaan bawah
kayu rebah, dan di serasah lantai hutan.
Cendawan yang ditemukan berasosiasi dengan
Homoptera, Himenoptera, Coleoptera, dan
Araneae (PHT 1991). Sebanyak sepuluh
spesimen yang berhasil ditemukan pada dua
jalur pengambilan spesimen. Spesimen
cendawan entomopatogen yang berhasil
diidentifikasi ialah Aschersonia, Cordyceps,
Hypocrella, Gibellula, dan Lecanicillium,
sedangkan empat spesimen lainnya tidak
dapat diidentifikasi. Genus Aschersonia,
Cordyceps, Hypocrella, dan Gibellula
umumnya ditemui pada permukaan bawah
daun famili Zingeberaceae (Nanang 13 Maret
2012, komunikasi pribadi), sedangkan
Lecanicillium ditemukan pada permukaan
bawah batu. Pada umumnya spesimen
ditemukan di jalur hutan (Tabel 1).
Cendawan entomopatogen berdasarkan
pada morfologi makroskopi memiliki bentuk
stroma dan sinema. Stroma yang ditemukan
Tabel 1 Cendawan entomopatogen yang diperoleh dari Cibodas, TNGGP beserta inangnya
No
Koleksi
PR 01ª
Inang (Ordo)
Lokasi
Himenoptera
Di permukaan bawah daun
PR 02b
Homoptera
Di permukaan bawah daun
PR 03b
Araneae
Di permukaan bawah daun
PR 04b
Homoptera
Di permukaan bawah daun
PR 05ª
Araneae
Di serasah lantai hutan
PR 06ª
PR 07b
Araneae
Araneae
PR 08a
PR 09b
PR 10b
Genus
tidak
teridentifikasi
Aschersonia
Ketinggian
(m dpl)
1393
Jumlah
1
1595
3
tidak
teridentifikasi
Hypocrella
1430
1
1425
1
1530
3
Di permukaan bawah kayu rebah
Di permukaan bawah daun
tidak
teridentifikasi
Gibellula
Gibellula
1538
1567
5
3
Himenoptera
Coleoptera
Di permukaan bawah batu
Di permukaan bawah daun
Lecanicillium
Cordyceps
1541
1592
1
1
Homoptera
Di permukaan batang
tidak
1588
teridentifikasi
ªSpesimen yang ditemukan di jalur wisata, bSpesimen yang ditemukan di jalur hutan.
2
3
pada permukaan bawah daun Zingeberaceae
diidentifikasi
sebagai
Aschersonia,
Hypocrella, dan Cordyceps, sedangkan yang
berbentuk sinema diidentifikasi sebagai
Gibellula. Sebanyak lima spesimen CE yang
ditemukan tertutupi oleh miselium, satu
spesimen di antaranya yang tidak membentuk
stroma dan sinema berhasil diidentifikasi
sebagai Lecanicillium.
Aschersonia. Aschersonia (nomor koleksi
PR 02) ditemukan pada permukaan bawah
daun Amomum pseudofoetens dan berasosiasi
dengan Homoptera. Hifa cendawan ini
menutupi
permukaan
tubuh
inangnya
membentuk stroma. Stroma berwarna kuning,
berbentuk bulat, dan berdiameter 3 mm.
Piknidium berbentuk botol dan berukuran
97.6 (47.6-128.6) µm × 61.9 (28.5-79.9) µm.
Sayatan melintang dari stroma menunjukkan
piknidium yang berisi konidiofor. Konidium
berbentuk fusoid dengan ujung runcing,
bersekat 2-5 buah, berukuran 13.4 (12.7-13.8)
µm × 1.8 (1.6-2.0) µm (Gambar 1).
Cordyceps. Cendawan ini berasosiasi
dengan Coleoptera di bawah permukaan daun
A. pseudofoetens (nomor koleksi PR 09).
Cendawan ini membentuk clava yang terdapat
di antara kepala dan toraks. Clava memiliki
bentuk yang ramping dengan panjang
makroskopi 54 mm. Kumpulan stroma yang
berwarna hitam berukuran 2.0-3.0 × 1.0 mm
terdapat di sepanjang clava. Di dalam stroma
terdapat peritesium yang memiliki warna
cokelat
kemerahan,
berbentuk
botol,
kedudukan
tenggelam
atau
tertanam
seluruhnya di dalam stroma, berukuran 437.4
(432-459) µm × 249.5 (243-259.2) µm dan
mengadung askus. Askus hialin berukuran
217.4 (175.1-306) µm × 13 (9.8-14) µm,
berbentuk silinder, dan berisi askospora.
Askospora hialin, berbentuk silinder, memiliki
panjang yang sama dengan askus dengan lebar
5.8 (5.1-6.8) µm (Gambar 2).
(b)
(a)
konidium
(c)
Gambar 1
Aschersonia: a stroma pada inang yang diparasit terdapat di bagian bawah daun
Zingiberaceae, b piknidium berisi konidiofor, c konidium dengan pewarnaan
laktofenol.
4
(a)
(b)
askospora
(c)
Gambar 2
(d)
(e)
Cordyceps: a struktur tubuh buah pada inang yang diparasit, b kumpulan stroma di
sepanjang clava, c stroma yang mengandung peritesium, d askus berisi askospora, e
askospora.
Hypocrella. Spesimen Hypocrella (nomor
koleksi PR 04) ditemukan pada permukaan
bawah daun A. pseudofoetens dan berasosiasi
dengan Homoptera. Spesimen ini memiliki
kumpulan stroma berbentuk bulat dengan
permukaan tidak rata berukuran 19.5 × 11.1
mm dan berwarna putih-kuning. Pada
permukaan stroma terdapat ostiolum yang
berwana merah kecokelatan. Stroma berisi
satu peritesium yang berbentuk botol,
berukuran 450.6 (270-648) µm × 278.5 (135405) µm. Sayatan membujur dari stroma
menunjukkan keberadaan askus dengan
tudung (cap) di ujungnya yang hialin dan
tebal. Askus hialin, berbentuk silinder,
berukuran 363,0 (144.5-528.7) µm × 7.6 (5.18.5) µm. Askospora hialin, tidak bersekat,
berbentuk silinder-oval, dan berukuran 8.1
(6.8-11.9) µm × 4.0 (3.4-5.1) µm (Gambar 3).
5
(a)
tudung
hialin
askospora
(c)
Gambar 3
(b)
(d)
Hypocrella: a kumpulan stroma pada inang yang diparasit terdapat di bagian bawah
daun Zingiberaceae, b irisan stroma yang menunjukkan peritesium, c askus dengan
tudung hialin yang tebal, d askospora.
Gibellula. Gibellula (nomor koleksi PR 06
dan PR 07) berasosiasi dengan Araneae di
bawah permukaan kayu rebah dan di bawah
permukaan daun Zingeberaceae. Spesimen ini
membentuk
struktur
sinema.
Sinema
merupakan kumpulan konidiofor yang
tersusun secara kompak. Massa konidium
tampak bergerombol pada seluruh permukaan
sinema yang tampak sebagai kepala konidum.
Konidium memiliki bentuk fusoid-elips, tidak
bersekat, dan berwarna hialin (Gambar 4).
Pada spesimen PR 06 terdapat dua struktur
sinema yang muncul di chephalothoraks dan
di bagian bawah opisthosoma dari laba-laba
(Araneae). Kepala konidium berwarna kuning
pucat, berdiameter 41.2 (40.4-42.2) µm yang
disangga
oleh
konidiofor.
Konidiofor
memiliki panjang 58.6 (40.9-75.4) µm. Pada
kepala konidium menempel konidia berwarna
hialin, berbentuk fusoid dengan ukuran 6.7
(5.9-7.5) × 3.3 (3.2-3.5) µm (Gambar 4a-c).
Pada spesimen PR 07 terdapat struktur sinema
yang muncul pada tubuh inangnya. Pada
bagian sinema menempel kepala konidium
berwarna putih, berdiameter 50.3 (49.3-51)
µm yang disangga oleh konidiofor.
Konidiofor memiliki panjang 120.3 (85161.5) × 8.5 µm. Pada kepala konidium
menempel
konidium berwarna hialin,
berbentuk fusoid-elips dengan ukuran 5.7
(4.5-6) µm × 3 µm (Gambar 4d-f).
6
konidium
sinema
(c)
(b)
(a)
sinema
konidium
(d)
(e)
(f)
Gambar 4 Gibellula: a dan d sinema pada inang yang diparasit, b dan e sinema dengan massa
konidium, c dan f konidium.
Lecanicillium. Lecanicillium (nomor
koleksi PR 08) ditemukan di bawah
permukaan batu berlumut. Cendawan
berasosiasi
pada
permukaan
tubuh
Himenoptera. Miselium cendawan ini
berwarna putih yang menutupi tubuh
inangnya. Terdapat struktur hifa bersepta
dengan
fialid
yang
bercabang
dua
menghasilkan konidium. Konidium hialin,
berbentuk oval-bulat, dan berukuran 5.1 (4-6)
µm × 3.2 (3-4) µm (Gambar 5).
Fialid
(a)
(c)
(b)
(d)
(e)
Gambar 5 Lecanicillium: a miselium pada inang Himenoptera, b struktur konidiogen berupa
fialid bercabang dua, c konidium, d koloni pada medium ADK tampak depan, e
tampak belakang.
7
Spesimen Lain. Spesimen ini hanya dapat
diamati struktur somatiknya sedangkan
struktur reproduksi seksual atau aseksualnya
belum dibentuk. Cendawan entomopatogen
PR 01 ditemukan pada permukaan bawah
daun Zingeberaceae. Cendawan berasosiasi
pada permukaan tubuh Himenoptera sehingga
koloni menutupi ke substrat daun dan tidak
dijumpai konidium (Gambar 6a).
Cendawan entomopatogen PR 03 dan PR
05 masing-masing spesimen dijumpai pada
permukaan bawah daun Podocarpaceae dan
serasah lantai hutan, berasosiasi dengan
Araneae. Spesimen PR 03 memiliki miselium
cendawan berwarna putih kecokelatan
(Gambar 6b), sedangkan PR 05 memiliki
miselium berwarna putih yang terdapat di
sepanjang sinema (Gambar 6c). Pengamatan
secara mikroskopi tidak dijumpai keberadaan
konidum.
Cendawan
entomopatogen
PR
10
ditemukan
pada
permukaan
batang
Gambar 6
Zingeberaceae. Cendawan berasosiasi pada
permukaan tubuh Homoptera sehingga koloni
menutupi inangnya. Miselium cendawan ini
berwarna cokelat muda-gelap dan di bagian
tepi menonjol stroma berbentuk botol
berwarna
merah
kecokelatan.
Pada
pengamatan mikroskopi belum tampak ada
struktur reproduksinya (Gambar 6d).
Isolasi Cendawan Entomopatogen
Pertumbuhan CE lambat pada medium
ADK. Cendawan entomopatogen yang
tumbuh pada medium ADK ialah spesimen
dari PR 08 yang merupakan genus
Lecanicillium. Diameter miselium mencapai
27 mm dalam waktu 15 hari masa inkubasi
pada suhu 25 ºC. Pada waktu 15 hari masa
inkubasi sudah terbentuk struktur reproduksi,
yaitu fialid dan konidium.
(a)
(b)
(c)
(d)
Spesimen cendawan entomopatogen yang belum dapat diidentifikasi: a PR 01 pada
Himenoptera, b PR 03 pada Araneae, c PR 05 pada Araneae, d PR 10 pada
Homoptera.
PEMBAHASAN
Cendawan entomopatogen (CE) dapat
tumbuh dan berkembang dengan mengambil
nutrisi dari serangga dan laba-laba yang
ditumpanginya sehingga inangnya tersebut
tidak mampu lagi melakukan metabolisme dan
kemudian akan mati. Pada penelitian ini CE
yang ditemukan umumnya pada inang stadium
dewasa. Luangsa-Ard et al. (2006)
melaporkan CE dapat menyerang inangnya
pada stadium telur, larva, pupa, maupun
stadium dewasa.
Cendawan entomopatogen memiliki dua
struktur reproduksi dalam siklus hidupnya,
yaitu fase teleomorf dan anamorf. Teleomorf
merupakan
fase
reproduksi
yang
menghasilkan spora seksual, sedangkan
anamorf merupakan fase reproduksi yang
menghasilkan spora aseksual (konidium).
Genus CE yang ditemukan di kawasan
Cibodas, TNGGP merupakan fase teleomorf
(Cordyceps dan Hypocrella), sedangkan
Aschersonia, Gibellula, dan Lecanicillium
merupakan fase anamorf. Genus Cordyceps
dan Lecanicillium memiliki hubungan
anamorf-teleomorf, begitu pula dengan genus
Hypocrella dan Aschersonia. Fase teleomorf
cendawan entomopatogen dapat memiliki satu
atau lebih dari satu fase anamorf, begitu pula
sebaliknya (Tabel 2).
Hubungan anamorf-teleomorf di habitat
alaminya kemungkinan dapat dijumpai secara
bersamaan (Hywel-Jones 2002). Yanto (2007)
melaporkan adanya anamorf-teleomorf yang
dihasilkan secara bersamaan pada inang yang
sama, yaitu genus Torrubiella yang memiliki
hubungan anamorf dengan Gibellula, dan
Cordyceps yang memiliki hubungan anamorf
dengan Hymenostilbe. Ada sebanyak 143
bentuk anamorf dari famili Clavicipitaceae,
namun hanya 38% di antaranya yang memiliki
bentuk teleomorf (Hywel-Jones 2002). Bentuk
anamorf-teleomorf tidak dapat dipastikan dari
morfologi luarnya saja. Adanya bentuk stroma
dan sinema tidaklah cukup dijadikan panduan
untuk mengelompokkan tiap spesimen pada
bentuk
anamorf
ataupun
teleomorf.
Pengamatan
secara
mikroskopi
perlu
dilakukan untuk menentukan peritesium, yaitu
struktur reproduksi seksual atau piknidium,
yaitu struktur reproduksi aseksual.
Genus Aschersonia yang ditemukan pada
penelitian ini memiliki ukuran panjang
konidium yang lebih besar dan lebar konidium
yang lebih kecil daripada penemuan Yanto
(2007) dan Amalia (2008) (Tabel 3). Ukuran
konidium ini mengindikasikan bahwa spesies
pada penelitian ini berbeda dari penemuan
oleh peneliti sebelumnya di Telaga Warna.
Spesies yang berbeda dapat diketahui dengan
pengamatan morfologi secara terperinci.
Humber (2012) mengemukakan konsep
identifikasi secara terperinci dapat dilakukan
berdasarkan
pada
morfologi
struktur
reproduksi, pertumbuhan dan sporulasi pada
medium, serta sifat patogen terhadap inang.
Meeks et al. (2002), Hodge dan Liu (2005)
melaporkan semua spesies dari genus
Aschersonia bersifat patogen pada lalat putih
(Aleyrodidae) atau Cocidae.
Tabel 2 Genus cendawan entomopatogen fase teleomorf dan anamorf
Teleomorf
Anamorf
Hypocrella
Moelleriellaª
Aschersonia
Aschersoniaª
Samuelsiaª
Torrubiella
Aschersoniaª
Acremonium, Akanthomyces, Gibellula, Hirsutella, Paecilomyces, dan
Verticillium,
Acremonium, Akanthomyces, Beauveria, Gibellula, Hirsutella, Hymenostilbe,
Isaria, Lecanicillium, Metrhizium, Paecilomyces, Stilbella, dan Verticillium
Cordyceps
Sumber: Luangsa-Ard et al. (2006) dan ªChaverri et al. ( 2008)
Tabel 3 Ukuran konidium Aschersonia
Konidium (µm)
Sumber
6.5-9.7 × 1.1-2.2
6.0-10.5 × 1.3-2.5
12.7-13.8 × 1.6-2.0
Yanto (2007)
Amalia (2008)
Penelitian ini
9
Cordyceps
yang
ditemukan
pada
permukaan bawah daun Zingeberaceae
memiliki stroma yang terdapat di sepanjang
clava. Clava merupakan struktur yang
menyangga kumpulan stroma. Luangsa-Ard et
al. (2006) melaporkan Cordyceps unilateralis
berasosiasi dengan Himenoptera, namun
Cordyceps yang ditemukan pada penelitian ini
berasosiasi dengan Coleoptera. Yanto (2007)
dan Amalia (2008) melaporkan Cordyceps
dapat berasosiasi dengan inang serangga dari
ordo Diptera dan Lepidoptera.
Genus Hypocrella yang ditemukan pada
penelitian ini berwarna putih kekuningan.
Yanto (2007) melaporkan warna stroma
Hypocrella yang lebih bervariasi, yaitu putih,
kuning, merah muda, dan oranye. Stroma
Hypocrella pada keadaan segar dapat
berwarna putih kekuningan, kuning pucat,
kuning, kuning keabu-abuan, oranye pucat,
oranye, oranye keabu-abuan, cokelat, dan
kehijau-hijauan (Chaverii et al. 2008). Ukuran
peritesium, askus, dan askospora pada
penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan
yang dilaporkan oleh Yanto (2007), Amalia
(2008), dan Luangsa-Ard et al. (2006) (Tabel
4). Kemungkinan spesies yang ditemukan di
Cibodas, TNGGP merupakan spesies yang
berbeda.
Genus Hypocrella yang ditemukan oleh
peneliti sebelumnya memiliki persamaan
dengan spesimen yang ditemukan dalam
penelitian ini, yaitu hifa dari cendawan ini
membentuk stroma sehingga inang tidak lagi
terlihat jelas. Hypocrella yang ditemukan oleh
Luangsa-Ard et al. (2006) teridentifikasi
sebagai Hypocrella raciborskii, yang memiliki
struktur stroma tegak, berbentuk oval atau
bulat, dan berwarna kuning pucat . Spesies ini
memiliki kemiripan pada spesimen yang
ditemukan di Cibodas, TNGGP, namun
terdapat perbedaan ukuran yang nyata pada
struktur reproduksinya.
Gibellula juga dilaporkan oleh Amalia
(2008) di Telaga Warna. Konidium Gibellula
pada sinema berwarna putih, ukurannya lebih
besar daripada yang dilaporkan oleh Amalia
(2008) dan Luangsa-Ard et al. (2008) (Tabel
5). Gibellula yang ditemukan di Cibodas,
TNGGP memiliki susunan konidiofor yang
rapat. Selain perbedaan ukuran konidum dan
adanya susunan konidiofor rapat/renggang
dapat menjadi landasan untuk mengetahui
spesies yang berbeda (Humber 2005).
Luangsa-Ard et al. (2006) mengemukakan
ordo serangga yang mudah terinfeksi oleh CE
ialah Diptera, Homoptera, Lepidoptera,
Coleoptera, dan Himenoptera, namun CE juga
dapat berasosiasi dengan inang selain
serangga. Cendawan entomopatogen dalam
penelitian ini dijumpai pada laba-laba
(Araneae) yang dilaporkan juga oleh Amalia
(2008). Di alam, khususnya pada permukaan
tanah dengan keadaan yang lembap CE
Gibellula spp. merupakan musuh alami dari
populasi laba-laba yang mematikan dengan
nyata (Meyling et al. 2011).
Tabel 4 Ukuran struktur reproduksi Hypocrella
Struktur reproduksi
Peritesium (µm)
Askus (µm)
Askospora (µm)
Sumber
220.0-240.0 × 96.0-211.2
17.2-32.3 × 4.3-6.5
3.2-6.4 ×1.1-2.2
Yanto (2007)
143.0-514.8 × 14.4-271.2
5.7-9.8 × 1.5-2.4
5.5-6.3 × 0.2-0.3
300.0-450.0 × 125.0-360.0
>450.0 × 6.5
14.0-16.0 × 2.5-4.0
270.0-648.0 × 135.0-405.0
144.5-528.7 × 5.1-8.5
6.8-11.9 × 3.4-5.1
Amalia (2008)
Luangsa-Ard et al.
(2006)
Penelitian ini
Tabel 5 Ukuran konidium Gibellula
Konidium (µm)
Sumber
0.6-0.2 × 2.7-3.6
3.0-6.5 × 1.5-2.5
4.5-6.0 × 3.0
Amalia (2008)
Luangsa-ard et al. (2008)
Penilitian ini
10
Genus
Lecanicillium
memiliki
pertumbuhan yang lambat pada medium
ADK, hal ini dapat diamati dari diameter
pertumbuhannya sebesar 27 mm selama 15
hari inkubasi. Pertumbuhan Lecanicillium
dapat mencapai diameter 15-30 mm selama 10
hari masa inkubasi (Zare dan Gams 2008).
Konidium pada penelitian ini memiliki ukuran
lebar yang lebih besar dibandingkan dengan
yang dilaporkan oleh Zare dan Gams (2008)
yang mengindikasikan adanya perbedaan
spesies (Tabel 6).
Tabel 6 Ukuran konidium Lecanicillium
Konidium (µm)
Sumber
5.0-10.5 × 1.5-2.5 Zare dan Gams (2008)
4.0-6.0 × 3.0-4.0 Penelitian ini
Pemanfaatan CE sebagai mikopestisida
dari genus Lecanicillium telah digunakan di
beberapa negara seperti Inggris dan Amerika
Serikat yang terkenal dengan produk
Vertalec®.
Vertalec®
merupakan
mikopestisida
yang
berasal
dari
L.
longisporum. Spesies ini juga dapat berperan
ganda dalam mengendalikan kutu daun dan
cendawan embun tepung (Sphaerotheca
fuliginea) pada tanaman mentimun (Kim et al.
2007). Sifat patogen dari genus CE lainnya
seperti Aschersonia belum dihasilkan produk
mikopestisida secara massal. Selain sebagai
insektisida, CE juga dapat dimanfaakan
sebagai obat untuk kesehatan. Salah satu
spesies yang dapat dijumpai di Asia Timur
dan bermanfaat untuk obat ialah Cordyceps
sinensis dan Coerdyceps militaris (HywelJones 2002). Metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh CE memiliki potensi penting
dalam bidang farmakologi.
Pengambilan
spesimen
dilakukan
sebanyak 4 kali pada musim yang sama
dengan ketinggian yang berbeda. Keberadaan
CE di Cibodas, TNGGP banyak ditemukan
pada ketinggian di atas 1500 m dpl dan pada
jalur hutan (Tabel 1). Selain itu umumnya
ditemukan pada tanaman Zingeberaceae yang
dominan tumbuh pada kawasan TNGGP.
Yanto (2007) melaporkan CE di Telaga
Warna banyak ditemukan pada ketinggian
1400 m dpl. Ketinggian lokasi mempengaruhi
suhu lingkungan, semakin tinggi lokasi
menyebabkan suhu semakin rendah. Hal ini
menguntungkan untuk pertumbuhan CE.
Cendawan entomopatogen dapat tumbuh pada
habitat yang memiliki kelembapan yang tinggi
dengan suhu yang rendah (≤ 28ºC) (LuangsaArd et al. 2006, Hywel-Jones 2002).
Meskipun demikian pengaruh ketinggian
lokasi tidak cukup untuk menggambarkan
kelimpahan CE, hal ini dikarenakan distribusi
yang sangat luas dari CE. Quesada-Moraga et
al. (2007) melaporkan ketinggian tempat tidak
berpengaruh terhadap keberadaan CE.
Kelimpahan CE juga dipengaruhi oleh faktor
tipe habitat dan keberadaan inang. Hutan
hujan tropik yang lembap memiliki
keragaman serangga yang tinggi dan sebagian
besar spesies termasuk dalam genus
Cordyceps (Aung et al. 2008).
Cendawan entomopatogen yang dapat
diisolasi hanya satu isolat dengan nomor
koleksi PR 08 dan disimpan di IPB Culture
Collection (IPBCC). Beberapa spesimen
lainnya tidak berhasil didapatkan isolatnya
karena pada hari ke-3 setelah inkubasi
terdapat banyak kontaminan yang tumbuh,
koloni kontaminan berwarna putih-hijau,
putih-hitam dengan pertumbuhan massa
miselium yang cepat. Umumnya, jika sebelum
hari ke-5 sudah tampak pertumbuhan koloni
cendawan yang cepat maka dapat dipastikan
bahwa koloni tersebut ialah bukan cendawan
entomopatogen.
Faktor
lain
yang
menyebabkan ketidakberhasilan dalam isolasi
ialah keterbatasan spesimen yang ditemukan,
umumnya spesimen yang diperoleh hanya satu
sehingga tidak dapat diisolasi.
SIMPULAN
Selama bulan Maret sampai April 2012
ditemukan
lima
genus
cendawan
entomopatogen,
yaitu
Cordyceps
dan
Hypocrella (teleomorf), serta Aschersonia,
Gibellula, dan Lecanicillium (anamorf) di
Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango. Isolat Lecanicillium berhasil
diisolasi pada medium ADK.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia R. 2008. Ragam cendawan
entomopatogen di kawasan Cagar Alam
Telaga Warna, Cisarua Bogor [skripsi].
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Aung OM, Soytong K, Hyde KD. 2008.
Diversity of entomopathogenic fungi in
rainforests of Chiang Mai Province,
Thailand. Fungal Divers 30:15-22.
[BTNGGP] Balai Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango. 2011. Keanekaragaman
11
hayati TNGGP dalam bingkai pameran
biodiversity day [terhubung berkala].
http://www.gedepangrango.org [12 Juni
2012].
Chaverii P, Liu M, Hodge KT. 2008. A
monograph of the entomopathogenic
genera Hypocrella, Moelleriella, and
Samuelsia gen. nov. (Ascomycota,
Hypocrella, Clavicipitaceae), and their
Aschersonia like anamorphs in the
neotropics. Stud Mycol 60:1-66.
Herlis R, Kusumawardhani G, Nugroho IA,
Aryo RK. 2009. Ragam cendawan
entomopatogen
di
Wana
Wisata
Cangkuang [laporan studi lapangan].
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Hodge KT, Liu M. 2005. Hypocrella
zhongdongii sp. nov., the teleomorph of
Aschersonia incrassata. Mycol Res
109:818-824.
Humber RA. 2005. Entomopathogenic Fungal
Identification [ASP/ESA Workshop]. Las
Vegas: USDA-ARS.
Humber RA. 2012. Identification of
Entomopathogenic Fungi. Di dalam:
Lacey L, editor. Manual of Techniques in
Invertebrate
Pathology.
Washington:
Academic Pr.
Hywel-Jones NL. 2002. The importance of
invertebrate pathogenic fungi from the
tropics. Trop Mycol 2:133-142.
Kim JJ, Goettel MS, Gillespie DR. Potential
of Lecanicillium species for dual microbial
control of aphids and the cucumber
powdery mildew fungus, Sphaerotheca
fuliginea. Biol Cont 40:327-332.
Luangsa-Ard
JJ,
Tasanathai
K,
Mongkolsamrit S, Hywel-Jones NL,
Spatafora JW. 2006. The Collection,
Isolation, and Taxonomy of InvertebratePathogenic Fungi [Workshop Manual].
Pathum Thani: NSTDA.
Luangsa-Ard
JJ,
Tasanathai
K,
Mongkolsamrit S, Hywel-Jones NL. 2008.
Atlas of Invertebrate-Pathogenic Fungi of
Thailand Volume 2. Pathum Thani:
NSTDA.
Meeks ETM, Fransen JJ, Lenteren JCV. 2002.
Pathogenicity of Aschersonia spp. against
whiteflies Bemisia argentifolii and
Trialeurodes vaporariorum. J Invert
Pathol 81:1-11.
Meyling NV, Kristensen KT, Eilenberg J.
2011. Below- and aboveground abudance
and
distribution
of
fungal
entomopathogens
in
experimental
conventional and organic cropping system.
Biol Cont 59:180-186.
Palupi SN, Sinaga N. 2007. Keragaman
cendawan parasit serangga di Wana
Wisata
Cangkuang
[laporan
Studi
Lapangan]. Bogor: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
[PHT] Program Hama Terpadu. 1991. Kunci
Determinasi Serangga, Program Nasional
Pelatihan
dan
Pengembangan
Pengendalian
Hama
Terpadu.
Yogyakarta: Kanisius.
Quesada-Moraga E, Navas-Cortés JA,
Maranhao EAA, Ortiz-Urquiza A,
Santiago-Alverez C. 2007. Factors
affecting the occurrence and distribution
of entomopathogenic fungi in natural and
cultivated soils. Mycol Res 111:947-966.
Supriatna J, Indrawan M, Primack RB. 1998.
Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Yanto A. 2007. Eksplorasi keragaman
cendawan entomopatogen di kawasan
Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Zare R, Gams W. 2008. A revision of the
Verticillium fungicola species complex
and its affinity with the genus
Lecanicillium. Mycol Res 112:811-824.
LAMPIRAN
13
Lampiran 1 Peta dan lokasi pengambilan spesimen di Cibodas, TNGGP
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO,
KAWASAN CIBODAS
RAGIL PRATIWI
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
RAGIL PRATIWI. Keragaman Cendawan Entomopatogen di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango, Kawasan Cibodas. Di bimbing oleh AGUSTIN WYDIA GUNAWAN dan SRI
LISTIYOWATI.
Cendawan entomopatogen (CE) merupakan cendawan parasit serangga, yang dapat
dimanfaatkan sebagai agens pengendali hama tanaman yang ramah lingkungan. Keberadaan dan
keragaman cendawan parasit serangga di Indonesia, khususnya di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (TNGGP), belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi keragaman
CE yang berada di TNGGP. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak empat kali, yaitu pada
tanggal 13 dan 28 Maret; 4 dan 21 April 2012 dengan musim yang sama, pada dua jalur yang
memiliki ketinggian berbeda. Sampel yang diambil berupa cendawan yang berasosiasi dengan
serangga. Sampel yang berhasil diperoleh kemudian diidentifikasi dan diisolasi menggunakan
teknik spora langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Cibodas, TNGGP terdapat lima
genus CE, yaitu Hypocrella, Cordyceps, Aschersonia, Gibellula, dan Lecanicillium. Dua genus
pertama merupakan fase teleomorf CE dan yang lainnya merupakan fase anamorf. Spesimen yang
berhasil diisolasi ialah Lecanicillium PR 08.
Kata kunci:
anamorf, cendawan entomopatogen, Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango, teleomorf
ABSTRACT
RAGIL PRATIWI. Diversity of entomopathogenic fungi in Gunung Gede Pangrango National
Park, Cibodas Area. Supervised by AGUSTIN WYDIA GUNAWAN and SRI LISTIYOWATI.
Entomopathogenic fungi is fungi which are parasite on insect. These fungi can be used as pest
control agents that are environmentally friendly. In Indonesia, their existence and diversity
especially Gunung Gede Pangrango National Park (TNGGP) is not well known. This research was
conducted to explore their biodiversity in TNGGP. Samples were taken four times, at March 13 rd
and 28th; April 4th and 21st 2012 with a same season, on two pathways that are have different in
heights. They were successfully obtained, identified, and isolated using direct spore method. The
result showed that in Cibodas, TNGGP there were five genera of entomopathogenic fungi, namely
Hypocrella, Cordyceps, Aschersonia, Gibellula, and Lecanicillium. The first two genera were in
teleomorf phase and the others are in anamorf. Successfully isolated specimen is Lecanicillium PR
08.
Key word: anamorf, entomopathogenic fungi, Cibodas, Gunung Gede Pangrango National Park,
teleomorf
KERAGAMAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO,
KAWASAN CIBODAS
RAGIL PRATIWI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Keragaman Cendawan Entomopatogen di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, Kawasan Cibodas
: Ragil Pratiwi
: G34080033
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Agustin Wydia Gunawan, M.S.
NIP 19480821 197301 2 001
Dr. Sri Listiyowati, M.Si.
NIP 19640714 199002 2 001
Diketahui
Ketua Departemen Biologi
Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si.
NIP 19641002 198903 1 002
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga karya
ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul “Ragam Cendawan Entomopatogen di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kawasan Cibodas” dilakukan mulai Februari 2012
sampai dengan Juni 2012 di Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Agustin Wydia Gunawan, M.S. dan Dr. Sri
Listiyowati, M.Si. atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan, serta Ibu Dr. Ir. Utut
Widyastuti, M.Si. yang memberikan saran kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Ibu Ir. Helyu Mizawati beserta staf laboratorium Mikologi atas bantuan selama
penulis melakukan penelitian, serta Bapak Nanang yang telah membantu dalam pengambilan
spesimen di lapang. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk bapak, ibu, kakakku
Nugroho, serta Dwi Wahyudi atas segala do’a, pengertian serta kasih sayang yang tercurah untuk
penulis, teman seperjuangan Siti, Kang Agus, Inggit, Oktan, Latifah, Roma, Reyna, Yeni, Wiwid,
dan teman Biologi 45 yang telah memberikan dukungan dan semangatnya.
Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.
Bogor, September 2012
Ragil Pratiwi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 24 Oktober 1990 dari pasangan Sogiran dan
Kusmiati. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMP Negeri 11
Bekasi pada tahun 2005, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA PGRI 1 Bekasi dan lulus
tahun 2008. Setelah itu, penulis lulus seleksi masuk Jurusan Biologi di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Biologi
Cendawan. Pada tahun 2011 penulis melakukan Praktik Lapangan di PT Pindo Deli Paper Product
dengan judul Peran Mikroorganisme dalam Proses Pengolahan Limbah Cair. Selama kuliah
penulis aktif berorganisasi di Komunitas Teater Masyarakat Rompoet sebagai anggota pada tahun
kepengurusan 2008-2009, Himpunan Mahasiswa Biologi (Himabio) sebagai anggota divisi
Observasi Wahana Alam (OWA) pada tahun kepengurusan 2009-2010 dan 2010-2011, serta
menjadi panitia di berbagai kegiatan. Pengalaman kepanitiaan penulis antara lain sebagai panitia
Morfologi 47 tahun 2010, Pesta Sains tahun 2010, dan Eksplorasi alam di Bodogol tahun 2010.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... viii
PENDAHULUAN .....................................................................................................................
1
BAHAN DAN METODE
Pengambilan Spesimen ....................................................................................................
Identifikasi ......................................................................................................................
Isolasi ..............................................................................................................................
1
1
2
HASIL
Keragaman Cendawan Entomopatogen ........................................................................
Isolasi Cendawan Entomopatogen ................................................................................
2
7
PEMBAHASAN ......................................................................................................................
8
SIMPULAN .............................................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................
10
LAMPIRAN ..............................................................................................................................
12
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Aschersonia: a stroma pada inang yang diparasit terdapat di bagian bawah daun
Zingiberaceae, b piknidium berisi konidiofor, c konidium dengan pewarnaan
laktofenol ...........................................................................................................................
3
2 Cordyceps: a struktur tubuh buah pada inang yang diparasit, b kumpulan stroma di
sepanjang clava, c askus berisi askosopra, d askospora ....................................................
4
3 Hypocrella: a kumpulan stroma pada inang yang diparasit terdapat di bagian bawah
daun Zingeberaceae, b irisan stroma yang menunjukkan peritesium, c askus dengan
tudung hialin yang tebal, d askospora ................................................................................
5
4 Gibellula: a dan d sinema pada inang yang diparasit, b dan e sinema dengan massa
konidium, c dan f konidium ...............................................................................................
6
5 Lecanicillium: a miselium pada inang Himenoptera, b struktur konidiogen berupa
fialid, c konidium, d koloni pada medium ADK tampak depan, e tampak belakang
.........
6
6 Spesimen cendawan entomopatogen belum dapat diidentifikasi: a PR 01 pada
Himenoptera, b PR 03 pada Araneae, c PR 05 pada Araneae, d PR 10 pada
Homoptera .........................................................................................................................
7
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Cendawan entomopatogen yang diperoleh dari Cibodas, TNGGP beserta inangya
..........
2
..........................................
8
...........................................................................
8
............................................................................................
9
...............................................................................................
9
2 Genus cendawan entomopatogen fase teleomorf dan anamorf
3 Ukuran struktur reproduksi Aschersonia
4 Ukuran konidium Hypocrella
5 Ukuran konidium Gibellula
6 Ukuran konidium Lecanicillium
........................................................................................
10
PENDAHULUAN
Cendawan merupakan salah satu golongan
organisme heterotrof, yaitu organisme yang
mendapatkan nutrisi bahan organik dari
organisme hidup atau mati untuk kebutuhan
hidup
dan
perkembangbiakannya.
Pemanfaatan nutrisi tersebut oleh cendawan
dapat berlangsung secara parasit maupun
saprob. Cendawan parasit merugikan karena
dapat menimbulkan penyakit dan akhirnya
mematikan inang yang diserangnya. Salah
satu cendawan yang memiliki sifat parasit
ialah
cendawan
entomopatogen
yang
memarasit serangga.
Indonesia
merupakan
negara
megabiodiversitas yang memiliki keragaman
hayati nomor dua paling banyak di dunia
(Supriatna et al. 1998). Keragaman hayati
yang tinggi ini dikarenakan wilayah Indonesia
berada di daerah tropik tanpa perubahan suhu
yang besar yang memiliki dua macam musim
dan berbagai macam tipe habitat. Penelitian
tentang cendawan entomopatogen (CE) di
negara tetangga seperti Thailand telah banyak
dilaporkan. Keragaman CE yang ditemukan di
hutan hujan tropik Thailand sebanyak 15
genus (Aung et al. 2008) dan dilaporkan ada
170 spesies yang telah diisolasi (Luangsa-Ard
et al. 2006), sedangkan di Indonesia
dilaporkan 9 genus dari Telaga Warna (Yanto
2007, Amalia 2008) dan 3 genus dari
Cangkuang (Palupi dan Sinaga 2007, Herlis et
al. 2009).
Penyebaran CE umumnya berasal dari
Ordo Hypocreales, Famili Clavicipitaceae
(Hywel-Jones 2002). Cendawan parasit pada
serangga di alam, banyak ditemukan di dareah
tropik, yang dapat ditemukan di tanah dengan
keadaan lembap, serasah daun, permukaan
daun bagian bawah (abaksial), dan pada
daerah yang berbukit (Luangsa-Ard et al.
2006). Cibodas yang masuk ke dalam wilayah
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP) di Jawa Barat merupakan wilayah
hutan hujan tropik. Keanekaragaman fauna
dan floranya berlimpah (BTNGGP 2011),
tetapi data mengenai keragaman CE belum
mendapat perhatian. Penelitian ini bertujuan
mengeksplorasi keragaman CE yang berada di
Cibodas, TNGGP.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan
Februari sampai dengan Juni 2012.
Pengambilan sampel dilakukan di Cibodas,
TNGGP. Kawasan ini memiliki curah hujan
rata-rata 3000-4200 mm/tahun, suhu rata-rata
sebesar 23 ºC, dan kelembapan relatif berkisar
antara 80% dan 90% sepanjang tahun. Secara
geografi TNGGP terletak antara 106o 5’ BT
dan 107o 0’ BT sampai dengan 6o 5’ LS yang
memiliki ketinggian beragam, mulai dari 1000
m dpl sampai 3019 m dpl. Isolasi dan
identifikasi CE yang berhasil ditemukan
dilakukan
di
Laboratorium Mikologi,
Departemen Biologi, FMIPA, IPB.
Pengambilan Spesimen
Bahan yang diteliti ialah CE yang
menempel pada serangga mati yang dikoleksi
dari kawasan Cibodas, TNGGP. Serangga
inang yang ditumpangi oleh CE dikoleksi dari
permukaan daun maupun serasah lantai hutan.
Spesimen CE diambil sebanyak empat kali,
yaitu pada tanggal 13 dan 28 Maret, serta 4
dan 21 April 2012.
Pengambilan spesimen dilakukan di
sepanjang jalur dari Resort Mandalawangi
hingga Telaga Biru. Pada jalur tersebut dilalui
dua jalan setapak yang berbeda (Lampiran 1).
Perbedaan kedua jalan setapak tersebut
didasarkan pada perbedaan ketinggian. Jalan
setapak pertama merupakan jalur wisata yang
memiliki ketinggian 1300-1575 m dpl. Jalur
setapak kedua merupakan jalur hutan yang
merupakan jalur terjal dengan ketinggian
1425-1595 m dpl. Jumlah spesimen yang
diambil sesuai dengan keberadaan cendawan
tersebut, misalnya terdapat CE yang berada
pada permukaan daun dalam jumlah banyak,
maka dapat diambil 3-5 spesimen daun.
Spesimen dipotret di habitat alaminya, lalu
disimpan dalam wadah spesimen agar
strukturnya tidak rusak. Data paspor spesimen
yang dicatat meliputi waktu dan lokasi
pengambilan, ketinggian dan nomor spesimen.
Spesimen yang berhasil dikumpulkan
kemudian diidentifikasi dan/atau diisolasi.
Identifikasi
Identifikasi CE didasarkan pada struktur
reproduksi yang ada pada tubuh serangga
(teleomorf atau anamorf) menggunakan kunci
identifikasi Humber (2005, 2012) dan
Luangsa-Ard et al. (2006, 2008). Identifikasi
dilakukan terhadap struktur reproduksi
cendawan yang tampak pada permukaan
serangga. Struktur tersebut diamati secara
makroskopi dan mikroskopi. Pengamatan
secara makroskopi meliputi warna, bentuk,
2
dan ukuran stroma, warna dan ukuran sinema,
serta inang yang diserangnya. Pengamatan
secara mikroskopi dilakukan dengan membuat
irisan tipis spesimen, kemudian dibuat
preparat dengan pewarnaan laktofenol biru
untuk diamati menggunakan mikroskop.
Pengamatan tersebut meliputi bentuk dan
ukuran peritesium, askus, dan askospora,
warna dan bentuk piknidium dan konidium.
Pengukuran panjang dan lebar askus,
askospora, peritesium, piknidium, dan
konidium dilakukan sebanyak 10-20 buah.
Isolasi
Cendawan parasit pada serangga yang
diisolasi ialah spesimen yang tubuh buahnya
sudah dewasa yang ditandai oleh keberadaan
struktur
reproduksi.
Isolasi
dilakukan
menggunakan teknik isolasi langsung
menggunakan medium agar-agar dekstrosa
kentang (ADK) (Luangsa-Ard et al. 2006).
Teknik isolasi langsung dilakukan dengan
menggoreskan spora cendawan yang tumbuh
pada permukaan tubuh serangga pada medium
ADK secara aseptik. Selanjutnya cawan
disimpan di tempat tertutup dalam kondisi
yang lembap. Spora yang tumbuh dipindahkan
ke medium ADK yang baru untuk
memperoleh biakan murni.
HASIL
Keragaman Cendawan Entomopatogen
Cendawan
entomopatogen
dapat
ditemukan pada empat habitat, yaitu
permukaan daun maupun batang, di
permukaan bawah batu, di permukaan bawah
kayu rebah, dan di serasah lantai hutan.
Cendawan yang ditemukan berasosiasi dengan
Homoptera, Himenoptera, Coleoptera, dan
Araneae (PHT 1991). Sebanyak sepuluh
spesimen yang berhasil ditemukan pada dua
jalur pengambilan spesimen. Spesimen
cendawan entomopatogen yang berhasil
diidentifikasi ialah Aschersonia, Cordyceps,
Hypocrella, Gibellula, dan Lecanicillium,
sedangkan empat spesimen lainnya tidak
dapat diidentifikasi. Genus Aschersonia,
Cordyceps, Hypocrella, dan Gibellula
umumnya ditemui pada permukaan bawah
daun famili Zingeberaceae (Nanang 13 Maret
2012, komunikasi pribadi), sedangkan
Lecanicillium ditemukan pada permukaan
bawah batu. Pada umumnya spesimen
ditemukan di jalur hutan (Tabel 1).
Cendawan entomopatogen berdasarkan
pada morfologi makroskopi memiliki bentuk
stroma dan sinema. Stroma yang ditemukan
Tabel 1 Cendawan entomopatogen yang diperoleh dari Cibodas, TNGGP beserta inangnya
No
Koleksi
PR 01ª
Inang (Ordo)
Lokasi
Himenoptera
Di permukaan bawah daun
PR 02b
Homoptera
Di permukaan bawah daun
PR 03b
Araneae
Di permukaan bawah daun
PR 04b
Homoptera
Di permukaan bawah daun
PR 05ª
Araneae
Di serasah lantai hutan
PR 06ª
PR 07b
Araneae
Araneae
PR 08a
PR 09b
PR 10b
Genus
tidak
teridentifikasi
Aschersonia
Ketinggian
(m dpl)
1393
Jumlah
1
1595
3
tidak
teridentifikasi
Hypocrella
1430
1
1425
1
1530
3
Di permukaan bawah kayu rebah
Di permukaan bawah daun
tidak
teridentifikasi
Gibellula
Gibellula
1538
1567
5
3
Himenoptera
Coleoptera
Di permukaan bawah batu
Di permukaan bawah daun
Lecanicillium
Cordyceps
1541
1592
1
1
Homoptera
Di permukaan batang
tidak
1588
teridentifikasi
ªSpesimen yang ditemukan di jalur wisata, bSpesimen yang ditemukan di jalur hutan.
2
3
pada permukaan bawah daun Zingeberaceae
diidentifikasi
sebagai
Aschersonia,
Hypocrella, dan Cordyceps, sedangkan yang
berbentuk sinema diidentifikasi sebagai
Gibellula. Sebanyak lima spesimen CE yang
ditemukan tertutupi oleh miselium, satu
spesimen di antaranya yang tidak membentuk
stroma dan sinema berhasil diidentifikasi
sebagai Lecanicillium.
Aschersonia. Aschersonia (nomor koleksi
PR 02) ditemukan pada permukaan bawah
daun Amomum pseudofoetens dan berasosiasi
dengan Homoptera. Hifa cendawan ini
menutupi
permukaan
tubuh
inangnya
membentuk stroma. Stroma berwarna kuning,
berbentuk bulat, dan berdiameter 3 mm.
Piknidium berbentuk botol dan berukuran
97.6 (47.6-128.6) µm × 61.9 (28.5-79.9) µm.
Sayatan melintang dari stroma menunjukkan
piknidium yang berisi konidiofor. Konidium
berbentuk fusoid dengan ujung runcing,
bersekat 2-5 buah, berukuran 13.4 (12.7-13.8)
µm × 1.8 (1.6-2.0) µm (Gambar 1).
Cordyceps. Cendawan ini berasosiasi
dengan Coleoptera di bawah permukaan daun
A. pseudofoetens (nomor koleksi PR 09).
Cendawan ini membentuk clava yang terdapat
di antara kepala dan toraks. Clava memiliki
bentuk yang ramping dengan panjang
makroskopi 54 mm. Kumpulan stroma yang
berwarna hitam berukuran 2.0-3.0 × 1.0 mm
terdapat di sepanjang clava. Di dalam stroma
terdapat peritesium yang memiliki warna
cokelat
kemerahan,
berbentuk
botol,
kedudukan
tenggelam
atau
tertanam
seluruhnya di dalam stroma, berukuran 437.4
(432-459) µm × 249.5 (243-259.2) µm dan
mengadung askus. Askus hialin berukuran
217.4 (175.1-306) µm × 13 (9.8-14) µm,
berbentuk silinder, dan berisi askospora.
Askospora hialin, berbentuk silinder, memiliki
panjang yang sama dengan askus dengan lebar
5.8 (5.1-6.8) µm (Gambar 2).
(b)
(a)
konidium
(c)
Gambar 1
Aschersonia: a stroma pada inang yang diparasit terdapat di bagian bawah daun
Zingiberaceae, b piknidium berisi konidiofor, c konidium dengan pewarnaan
laktofenol.
4
(a)
(b)
askospora
(c)
Gambar 2
(d)
(e)
Cordyceps: a struktur tubuh buah pada inang yang diparasit, b kumpulan stroma di
sepanjang clava, c stroma yang mengandung peritesium, d askus berisi askospora, e
askospora.
Hypocrella. Spesimen Hypocrella (nomor
koleksi PR 04) ditemukan pada permukaan
bawah daun A. pseudofoetens dan berasosiasi
dengan Homoptera. Spesimen ini memiliki
kumpulan stroma berbentuk bulat dengan
permukaan tidak rata berukuran 19.5 × 11.1
mm dan berwarna putih-kuning. Pada
permukaan stroma terdapat ostiolum yang
berwana merah kecokelatan. Stroma berisi
satu peritesium yang berbentuk botol,
berukuran 450.6 (270-648) µm × 278.5 (135405) µm. Sayatan membujur dari stroma
menunjukkan keberadaan askus dengan
tudung (cap) di ujungnya yang hialin dan
tebal. Askus hialin, berbentuk silinder,
berukuran 363,0 (144.5-528.7) µm × 7.6 (5.18.5) µm. Askospora hialin, tidak bersekat,
berbentuk silinder-oval, dan berukuran 8.1
(6.8-11.9) µm × 4.0 (3.4-5.1) µm (Gambar 3).
5
(a)
tudung
hialin
askospora
(c)
Gambar 3
(b)
(d)
Hypocrella: a kumpulan stroma pada inang yang diparasit terdapat di bagian bawah
daun Zingiberaceae, b irisan stroma yang menunjukkan peritesium, c askus dengan
tudung hialin yang tebal, d askospora.
Gibellula. Gibellula (nomor koleksi PR 06
dan PR 07) berasosiasi dengan Araneae di
bawah permukaan kayu rebah dan di bawah
permukaan daun Zingeberaceae. Spesimen ini
membentuk
struktur
sinema.
Sinema
merupakan kumpulan konidiofor yang
tersusun secara kompak. Massa konidium
tampak bergerombol pada seluruh permukaan
sinema yang tampak sebagai kepala konidum.
Konidium memiliki bentuk fusoid-elips, tidak
bersekat, dan berwarna hialin (Gambar 4).
Pada spesimen PR 06 terdapat dua struktur
sinema yang muncul di chephalothoraks dan
di bagian bawah opisthosoma dari laba-laba
(Araneae). Kepala konidium berwarna kuning
pucat, berdiameter 41.2 (40.4-42.2) µm yang
disangga
oleh
konidiofor.
Konidiofor
memiliki panjang 58.6 (40.9-75.4) µm. Pada
kepala konidium menempel konidia berwarna
hialin, berbentuk fusoid dengan ukuran 6.7
(5.9-7.5) × 3.3 (3.2-3.5) µm (Gambar 4a-c).
Pada spesimen PR 07 terdapat struktur sinema
yang muncul pada tubuh inangnya. Pada
bagian sinema menempel kepala konidium
berwarna putih, berdiameter 50.3 (49.3-51)
µm yang disangga oleh konidiofor.
Konidiofor memiliki panjang 120.3 (85161.5) × 8.5 µm. Pada kepala konidium
menempel
konidium berwarna hialin,
berbentuk fusoid-elips dengan ukuran 5.7
(4.5-6) µm × 3 µm (Gambar 4d-f).
6
konidium
sinema
(c)
(b)
(a)
sinema
konidium
(d)
(e)
(f)
Gambar 4 Gibellula: a dan d sinema pada inang yang diparasit, b dan e sinema dengan massa
konidium, c dan f konidium.
Lecanicillium. Lecanicillium (nomor
koleksi PR 08) ditemukan di bawah
permukaan batu berlumut. Cendawan
berasosiasi
pada
permukaan
tubuh
Himenoptera. Miselium cendawan ini
berwarna putih yang menutupi tubuh
inangnya. Terdapat struktur hifa bersepta
dengan
fialid
yang
bercabang
dua
menghasilkan konidium. Konidium hialin,
berbentuk oval-bulat, dan berukuran 5.1 (4-6)
µm × 3.2 (3-4) µm (Gambar 5).
Fialid
(a)
(c)
(b)
(d)
(e)
Gambar 5 Lecanicillium: a miselium pada inang Himenoptera, b struktur konidiogen berupa
fialid bercabang dua, c konidium, d koloni pada medium ADK tampak depan, e
tampak belakang.
7
Spesimen Lain. Spesimen ini hanya dapat
diamati struktur somatiknya sedangkan
struktur reproduksi seksual atau aseksualnya
belum dibentuk. Cendawan entomopatogen
PR 01 ditemukan pada permukaan bawah
daun Zingeberaceae. Cendawan berasosiasi
pada permukaan tubuh Himenoptera sehingga
koloni menutupi ke substrat daun dan tidak
dijumpai konidium (Gambar 6a).
Cendawan entomopatogen PR 03 dan PR
05 masing-masing spesimen dijumpai pada
permukaan bawah daun Podocarpaceae dan
serasah lantai hutan, berasosiasi dengan
Araneae. Spesimen PR 03 memiliki miselium
cendawan berwarna putih kecokelatan
(Gambar 6b), sedangkan PR 05 memiliki
miselium berwarna putih yang terdapat di
sepanjang sinema (Gambar 6c). Pengamatan
secara mikroskopi tidak dijumpai keberadaan
konidum.
Cendawan
entomopatogen
PR
10
ditemukan
pada
permukaan
batang
Gambar 6
Zingeberaceae. Cendawan berasosiasi pada
permukaan tubuh Homoptera sehingga koloni
menutupi inangnya. Miselium cendawan ini
berwarna cokelat muda-gelap dan di bagian
tepi menonjol stroma berbentuk botol
berwarna
merah
kecokelatan.
Pada
pengamatan mikroskopi belum tampak ada
struktur reproduksinya (Gambar 6d).
Isolasi Cendawan Entomopatogen
Pertumbuhan CE lambat pada medium
ADK. Cendawan entomopatogen yang
tumbuh pada medium ADK ialah spesimen
dari PR 08 yang merupakan genus
Lecanicillium. Diameter miselium mencapai
27 mm dalam waktu 15 hari masa inkubasi
pada suhu 25 ºC. Pada waktu 15 hari masa
inkubasi sudah terbentuk struktur reproduksi,
yaitu fialid dan konidium.
(a)
(b)
(c)
(d)
Spesimen cendawan entomopatogen yang belum dapat diidentifikasi: a PR 01 pada
Himenoptera, b PR 03 pada Araneae, c PR 05 pada Araneae, d PR 10 pada
Homoptera.
PEMBAHASAN
Cendawan entomopatogen (CE) dapat
tumbuh dan berkembang dengan mengambil
nutrisi dari serangga dan laba-laba yang
ditumpanginya sehingga inangnya tersebut
tidak mampu lagi melakukan metabolisme dan
kemudian akan mati. Pada penelitian ini CE
yang ditemukan umumnya pada inang stadium
dewasa. Luangsa-Ard et al. (2006)
melaporkan CE dapat menyerang inangnya
pada stadium telur, larva, pupa, maupun
stadium dewasa.
Cendawan entomopatogen memiliki dua
struktur reproduksi dalam siklus hidupnya,
yaitu fase teleomorf dan anamorf. Teleomorf
merupakan
fase
reproduksi
yang
menghasilkan spora seksual, sedangkan
anamorf merupakan fase reproduksi yang
menghasilkan spora aseksual (konidium).
Genus CE yang ditemukan di kawasan
Cibodas, TNGGP merupakan fase teleomorf
(Cordyceps dan Hypocrella), sedangkan
Aschersonia, Gibellula, dan Lecanicillium
merupakan fase anamorf. Genus Cordyceps
dan Lecanicillium memiliki hubungan
anamorf-teleomorf, begitu pula dengan genus
Hypocrella dan Aschersonia. Fase teleomorf
cendawan entomopatogen dapat memiliki satu
atau lebih dari satu fase anamorf, begitu pula
sebaliknya (Tabel 2).
Hubungan anamorf-teleomorf di habitat
alaminya kemungkinan dapat dijumpai secara
bersamaan (Hywel-Jones 2002). Yanto (2007)
melaporkan adanya anamorf-teleomorf yang
dihasilkan secara bersamaan pada inang yang
sama, yaitu genus Torrubiella yang memiliki
hubungan anamorf dengan Gibellula, dan
Cordyceps yang memiliki hubungan anamorf
dengan Hymenostilbe. Ada sebanyak 143
bentuk anamorf dari famili Clavicipitaceae,
namun hanya 38% di antaranya yang memiliki
bentuk teleomorf (Hywel-Jones 2002). Bentuk
anamorf-teleomorf tidak dapat dipastikan dari
morfologi luarnya saja. Adanya bentuk stroma
dan sinema tidaklah cukup dijadikan panduan
untuk mengelompokkan tiap spesimen pada
bentuk
anamorf
ataupun
teleomorf.
Pengamatan
secara
mikroskopi
perlu
dilakukan untuk menentukan peritesium, yaitu
struktur reproduksi seksual atau piknidium,
yaitu struktur reproduksi aseksual.
Genus Aschersonia yang ditemukan pada
penelitian ini memiliki ukuran panjang
konidium yang lebih besar dan lebar konidium
yang lebih kecil daripada penemuan Yanto
(2007) dan Amalia (2008) (Tabel 3). Ukuran
konidium ini mengindikasikan bahwa spesies
pada penelitian ini berbeda dari penemuan
oleh peneliti sebelumnya di Telaga Warna.
Spesies yang berbeda dapat diketahui dengan
pengamatan morfologi secara terperinci.
Humber (2012) mengemukakan konsep
identifikasi secara terperinci dapat dilakukan
berdasarkan
pada
morfologi
struktur
reproduksi, pertumbuhan dan sporulasi pada
medium, serta sifat patogen terhadap inang.
Meeks et al. (2002), Hodge dan Liu (2005)
melaporkan semua spesies dari genus
Aschersonia bersifat patogen pada lalat putih
(Aleyrodidae) atau Cocidae.
Tabel 2 Genus cendawan entomopatogen fase teleomorf dan anamorf
Teleomorf
Anamorf
Hypocrella
Moelleriellaª
Aschersonia
Aschersoniaª
Samuelsiaª
Torrubiella
Aschersoniaª
Acremonium, Akanthomyces, Gibellula, Hirsutella, Paecilomyces, dan
Verticillium,
Acremonium, Akanthomyces, Beauveria, Gibellula, Hirsutella, Hymenostilbe,
Isaria, Lecanicillium, Metrhizium, Paecilomyces, Stilbella, dan Verticillium
Cordyceps
Sumber: Luangsa-Ard et al. (2006) dan ªChaverri et al. ( 2008)
Tabel 3 Ukuran konidium Aschersonia
Konidium (µm)
Sumber
6.5-9.7 × 1.1-2.2
6.0-10.5 × 1.3-2.5
12.7-13.8 × 1.6-2.0
Yanto (2007)
Amalia (2008)
Penelitian ini
9
Cordyceps
yang
ditemukan
pada
permukaan bawah daun Zingeberaceae
memiliki stroma yang terdapat di sepanjang
clava. Clava merupakan struktur yang
menyangga kumpulan stroma. Luangsa-Ard et
al. (2006) melaporkan Cordyceps unilateralis
berasosiasi dengan Himenoptera, namun
Cordyceps yang ditemukan pada penelitian ini
berasosiasi dengan Coleoptera. Yanto (2007)
dan Amalia (2008) melaporkan Cordyceps
dapat berasosiasi dengan inang serangga dari
ordo Diptera dan Lepidoptera.
Genus Hypocrella yang ditemukan pada
penelitian ini berwarna putih kekuningan.
Yanto (2007) melaporkan warna stroma
Hypocrella yang lebih bervariasi, yaitu putih,
kuning, merah muda, dan oranye. Stroma
Hypocrella pada keadaan segar dapat
berwarna putih kekuningan, kuning pucat,
kuning, kuning keabu-abuan, oranye pucat,
oranye, oranye keabu-abuan, cokelat, dan
kehijau-hijauan (Chaverii et al. 2008). Ukuran
peritesium, askus, dan askospora pada
penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan
yang dilaporkan oleh Yanto (2007), Amalia
(2008), dan Luangsa-Ard et al. (2006) (Tabel
4). Kemungkinan spesies yang ditemukan di
Cibodas, TNGGP merupakan spesies yang
berbeda.
Genus Hypocrella yang ditemukan oleh
peneliti sebelumnya memiliki persamaan
dengan spesimen yang ditemukan dalam
penelitian ini, yaitu hifa dari cendawan ini
membentuk stroma sehingga inang tidak lagi
terlihat jelas. Hypocrella yang ditemukan oleh
Luangsa-Ard et al. (2006) teridentifikasi
sebagai Hypocrella raciborskii, yang memiliki
struktur stroma tegak, berbentuk oval atau
bulat, dan berwarna kuning pucat . Spesies ini
memiliki kemiripan pada spesimen yang
ditemukan di Cibodas, TNGGP, namun
terdapat perbedaan ukuran yang nyata pada
struktur reproduksinya.
Gibellula juga dilaporkan oleh Amalia
(2008) di Telaga Warna. Konidium Gibellula
pada sinema berwarna putih, ukurannya lebih
besar daripada yang dilaporkan oleh Amalia
(2008) dan Luangsa-Ard et al. (2008) (Tabel
5). Gibellula yang ditemukan di Cibodas,
TNGGP memiliki susunan konidiofor yang
rapat. Selain perbedaan ukuran konidum dan
adanya susunan konidiofor rapat/renggang
dapat menjadi landasan untuk mengetahui
spesies yang berbeda (Humber 2005).
Luangsa-Ard et al. (2006) mengemukakan
ordo serangga yang mudah terinfeksi oleh CE
ialah Diptera, Homoptera, Lepidoptera,
Coleoptera, dan Himenoptera, namun CE juga
dapat berasosiasi dengan inang selain
serangga. Cendawan entomopatogen dalam
penelitian ini dijumpai pada laba-laba
(Araneae) yang dilaporkan juga oleh Amalia
(2008). Di alam, khususnya pada permukaan
tanah dengan keadaan yang lembap CE
Gibellula spp. merupakan musuh alami dari
populasi laba-laba yang mematikan dengan
nyata (Meyling et al. 2011).
Tabel 4 Ukuran struktur reproduksi Hypocrella
Struktur reproduksi
Peritesium (µm)
Askus (µm)
Askospora (µm)
Sumber
220.0-240.0 × 96.0-211.2
17.2-32.3 × 4.3-6.5
3.2-6.4 ×1.1-2.2
Yanto (2007)
143.0-514.8 × 14.4-271.2
5.7-9.8 × 1.5-2.4
5.5-6.3 × 0.2-0.3
300.0-450.0 × 125.0-360.0
>450.0 × 6.5
14.0-16.0 × 2.5-4.0
270.0-648.0 × 135.0-405.0
144.5-528.7 × 5.1-8.5
6.8-11.9 × 3.4-5.1
Amalia (2008)
Luangsa-Ard et al.
(2006)
Penelitian ini
Tabel 5 Ukuran konidium Gibellula
Konidium (µm)
Sumber
0.6-0.2 × 2.7-3.6
3.0-6.5 × 1.5-2.5
4.5-6.0 × 3.0
Amalia (2008)
Luangsa-ard et al. (2008)
Penilitian ini
10
Genus
Lecanicillium
memiliki
pertumbuhan yang lambat pada medium
ADK, hal ini dapat diamati dari diameter
pertumbuhannya sebesar 27 mm selama 15
hari inkubasi. Pertumbuhan Lecanicillium
dapat mencapai diameter 15-30 mm selama 10
hari masa inkubasi (Zare dan Gams 2008).
Konidium pada penelitian ini memiliki ukuran
lebar yang lebih besar dibandingkan dengan
yang dilaporkan oleh Zare dan Gams (2008)
yang mengindikasikan adanya perbedaan
spesies (Tabel 6).
Tabel 6 Ukuran konidium Lecanicillium
Konidium (µm)
Sumber
5.0-10.5 × 1.5-2.5 Zare dan Gams (2008)
4.0-6.0 × 3.0-4.0 Penelitian ini
Pemanfaatan CE sebagai mikopestisida
dari genus Lecanicillium telah digunakan di
beberapa negara seperti Inggris dan Amerika
Serikat yang terkenal dengan produk
Vertalec®.
Vertalec®
merupakan
mikopestisida
yang
berasal
dari
L.
longisporum. Spesies ini juga dapat berperan
ganda dalam mengendalikan kutu daun dan
cendawan embun tepung (Sphaerotheca
fuliginea) pada tanaman mentimun (Kim et al.
2007). Sifat patogen dari genus CE lainnya
seperti Aschersonia belum dihasilkan produk
mikopestisida secara massal. Selain sebagai
insektisida, CE juga dapat dimanfaakan
sebagai obat untuk kesehatan. Salah satu
spesies yang dapat dijumpai di Asia Timur
dan bermanfaat untuk obat ialah Cordyceps
sinensis dan Coerdyceps militaris (HywelJones 2002). Metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh CE memiliki potensi penting
dalam bidang farmakologi.
Pengambilan
spesimen
dilakukan
sebanyak 4 kali pada musim yang sama
dengan ketinggian yang berbeda. Keberadaan
CE di Cibodas, TNGGP banyak ditemukan
pada ketinggian di atas 1500 m dpl dan pada
jalur hutan (Tabel 1). Selain itu umumnya
ditemukan pada tanaman Zingeberaceae yang
dominan tumbuh pada kawasan TNGGP.
Yanto (2007) melaporkan CE di Telaga
Warna banyak ditemukan pada ketinggian
1400 m dpl. Ketinggian lokasi mempengaruhi
suhu lingkungan, semakin tinggi lokasi
menyebabkan suhu semakin rendah. Hal ini
menguntungkan untuk pertumbuhan CE.
Cendawan entomopatogen dapat tumbuh pada
habitat yang memiliki kelembapan yang tinggi
dengan suhu yang rendah (≤ 28ºC) (LuangsaArd et al. 2006, Hywel-Jones 2002).
Meskipun demikian pengaruh ketinggian
lokasi tidak cukup untuk menggambarkan
kelimpahan CE, hal ini dikarenakan distribusi
yang sangat luas dari CE. Quesada-Moraga et
al. (2007) melaporkan ketinggian tempat tidak
berpengaruh terhadap keberadaan CE.
Kelimpahan CE juga dipengaruhi oleh faktor
tipe habitat dan keberadaan inang. Hutan
hujan tropik yang lembap memiliki
keragaman serangga yang tinggi dan sebagian
besar spesies termasuk dalam genus
Cordyceps (Aung et al. 2008).
Cendawan entomopatogen yang dapat
diisolasi hanya satu isolat dengan nomor
koleksi PR 08 dan disimpan di IPB Culture
Collection (IPBCC). Beberapa spesimen
lainnya tidak berhasil didapatkan isolatnya
karena pada hari ke-3 setelah inkubasi
terdapat banyak kontaminan yang tumbuh,
koloni kontaminan berwarna putih-hijau,
putih-hitam dengan pertumbuhan massa
miselium yang cepat. Umumnya, jika sebelum
hari ke-5 sudah tampak pertumbuhan koloni
cendawan yang cepat maka dapat dipastikan
bahwa koloni tersebut ialah bukan cendawan
entomopatogen.
Faktor
lain
yang
menyebabkan ketidakberhasilan dalam isolasi
ialah keterbatasan spesimen yang ditemukan,
umumnya spesimen yang diperoleh hanya satu
sehingga tidak dapat diisolasi.
SIMPULAN
Selama bulan Maret sampai April 2012
ditemukan
lima
genus
cendawan
entomopatogen,
yaitu
Cordyceps
dan
Hypocrella (teleomorf), serta Aschersonia,
Gibellula, dan Lecanicillium (anamorf) di
Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango. Isolat Lecanicillium berhasil
diisolasi pada medium ADK.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia R. 2008. Ragam cendawan
entomopatogen di kawasan Cagar Alam
Telaga Warna, Cisarua Bogor [skripsi].
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Aung OM, Soytong K, Hyde KD. 2008.
Diversity of entomopathogenic fungi in
rainforests of Chiang Mai Province,
Thailand. Fungal Divers 30:15-22.
[BTNGGP] Balai Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango. 2011. Keanekaragaman
11
hayati TNGGP dalam bingkai pameran
biodiversity day [terhubung berkala].
http://www.gedepangrango.org [12 Juni
2012].
Chaverii P, Liu M, Hodge KT. 2008. A
monograph of the entomopathogenic
genera Hypocrella, Moelleriella, and
Samuelsia gen. nov. (Ascomycota,
Hypocrella, Clavicipitaceae), and their
Aschersonia like anamorphs in the
neotropics. Stud Mycol 60:1-66.
Herlis R, Kusumawardhani G, Nugroho IA,
Aryo RK. 2009. Ragam cendawan
entomopatogen
di
Wana
Wisata
Cangkuang [laporan studi lapangan].
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Hodge KT, Liu M. 2005. Hypocrella
zhongdongii sp. nov., the teleomorph of
Aschersonia incrassata. Mycol Res
109:818-824.
Humber RA. 2005. Entomopathogenic Fungal
Identification [ASP/ESA Workshop]. Las
Vegas: USDA-ARS.
Humber RA. 2012. Identification of
Entomopathogenic Fungi. Di dalam:
Lacey L, editor. Manual of Techniques in
Invertebrate
Pathology.
Washington:
Academic Pr.
Hywel-Jones NL. 2002. The importance of
invertebrate pathogenic fungi from the
tropics. Trop Mycol 2:133-142.
Kim JJ, Goettel MS, Gillespie DR. Potential
of Lecanicillium species for dual microbial
control of aphids and the cucumber
powdery mildew fungus, Sphaerotheca
fuliginea. Biol Cont 40:327-332.
Luangsa-Ard
JJ,
Tasanathai
K,
Mongkolsamrit S, Hywel-Jones NL,
Spatafora JW. 2006. The Collection,
Isolation, and Taxonomy of InvertebratePathogenic Fungi [Workshop Manual].
Pathum Thani: NSTDA.
Luangsa-Ard
JJ,
Tasanathai
K,
Mongkolsamrit S, Hywel-Jones NL. 2008.
Atlas of Invertebrate-Pathogenic Fungi of
Thailand Volume 2. Pathum Thani:
NSTDA.
Meeks ETM, Fransen JJ, Lenteren JCV. 2002.
Pathogenicity of Aschersonia spp. against
whiteflies Bemisia argentifolii and
Trialeurodes vaporariorum. J Invert
Pathol 81:1-11.
Meyling NV, Kristensen KT, Eilenberg J.
2011. Below- and aboveground abudance
and
distribution
of
fungal
entomopathogens
in
experimental
conventional and organic cropping system.
Biol Cont 59:180-186.
Palupi SN, Sinaga N. 2007. Keragaman
cendawan parasit serangga di Wana
Wisata
Cangkuang
[laporan
Studi
Lapangan]. Bogor: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
[PHT] Program Hama Terpadu. 1991. Kunci
Determinasi Serangga, Program Nasional
Pelatihan
dan
Pengembangan
Pengendalian
Hama
Terpadu.
Yogyakarta: Kanisius.
Quesada-Moraga E, Navas-Cortés JA,
Maranhao EAA, Ortiz-Urquiza A,
Santiago-Alverez C. 2007. Factors
affecting the occurrence and distribution
of entomopathogenic fungi in natural and
cultivated soils. Mycol Res 111:947-966.
Supriatna J, Indrawan M, Primack RB. 1998.
Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Yanto A. 2007. Eksplorasi keragaman
cendawan entomopatogen di kawasan
Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Zare R, Gams W. 2008. A revision of the
Verticillium fungicola species complex
and its affinity with the genus
Lecanicillium. Mycol Res 112:811-824.
LAMPIRAN
13
Lampiran 1 Peta dan lokasi pengambilan spesimen di Cibodas, TNGGP