Keanekaragaman tumbuhan obat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan di hutan terfragmentasi Kebun Raya Cibodas serta pemanfaatannya oleh masyarakat lokal

(1)

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO DAN DI HUTAN TERFRAGMENTASI KEBUN RAYA CIBODAS

SERTA PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT LOKAL

IRPAN FAHRUROZI

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO DAN DI HUTAN TERFRAGMENTASI KEBUN RAYA CIBODAS

SERTA PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT LOKAL

Oleh :

IRPAN FAHRUROZI 109095000029

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Bidang Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

(5)

iv

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Mei 2014

Irpan Fahrurozi 109095000029


(6)

v ABSTRAK

IRPAN FAHRUROZI, Keanekaragaman Tumbuhan Obat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan di Hutan Terfragmentasi Kebun Raya Cibodas serta Pemanfaatannya oleh Masyarakat Lokal. Dibawah bimbingan Priyanti, M.Sidan

Sri Astutik, M.Si.

Informasi tentang keanekaragaman tumbuhan obat di hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan di hutan terfragmentasi Kebun Raya Cibodas (KRC) belum banyak dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang keanekaragaman tumbuhan obat di kawasan tersebut. Metode yang digunakan adalah analisis vegetasi menggunakan metode kuadrat dengan ukuran 2 x 2 m2, 5 x 5 m2, 10 x 10 m2, dan 20 x 20 m2yang dilakukan di TNGGP dan di 3 lokasi hutan terfragmentasi KRC (Wornojiwo, Kompos, dan Jalan Akar). Wawancara dilakukan untuk mengetahui penggunaan berbagai jenis tumbuhan obat oleh masyarakat lokal. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 45 jenis tumbuhan obat di TNGGP dan 59 jenis di hutan terfragmentasi KRC. Indeks Keanekaragaman Jenis (Indeks Shannon) menunjukkan tingkat keanekaragaman di TNGGP lebih tinggi dibandingkan di hutan terfragmentasi KRC. Masyarakat lokal menggunakan sebanyak 162 jenis tumbuhan obat yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya. Informasi potensi tumbuhan obat yang ada di kawasan tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dan dapat mendukung upaya konservasi untuk tetap menjaga kelestariannya.

Kata kunci : keanekaragaman tumbuhan obat, hutan terfragmentasi, pemanfaatan, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kebun Raya Cibodas


(7)

vi ABSTRACT

IRPAN FAHRUROZI, Medicinal Plants Diversity on Mount Gede Pangrango National Park (TNGGP) and Fragmented Forest of Cibodas Botanical Garden (KRC) and Its Utilization by Local People. Under the supervision of Priyanti, M.Si and Sri Astutik, M.Si.

Nowadays, information about medicinal plants diversity on Mount Gede Pangrango National Park (TNGGP) and fragmented forest of Cibodas Botanical Garden (KRC) has not been widely reported. The purpose of this research is to obtain information about its diversity on those areas. The method of measurement used vegetation analysis by applying quadratic sample plots as follows: 2 x 2 m2, 5 x 5 m2, 10 x 10 m2, and 20 x 20 m2 on TNGGP and on three locations of fragmented forests of KRC (Wornojiwo, Kompos, and Jalan Akar). Meanwhile, utilization data were collected by interview technique. This research showed that approximately 45 species of TNGGP and 59 species of fragmented forest of KRC. On the Shannon Index, higher plant diversity was found on TNGGP. In addition, local people utilize around 162 species which are found in the neighbourhood. This finding is supposed to be useful for local people in supporting conservation sustainably.

Keywords : medicinal plants diversity, fragmented forest, utilization, Mount Gede Pangrango National Park, Cibodas Botanical Garden


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Puji beserta syukur selalu terpanjat kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunianya yang dianugerahkan kepada penulis maka skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat beserta salam penulis sampaikan pada sebaik-baiknya suri tauladan, yakni junjungan kita semua Habibana wa Nabiyana Muhammad SAW. Rasa syukur dan terima kasih yang tiada henti pun ingin penulis sampaikan pada keluarga tercinta, terutama ayahanda H.Asep Jumri S.Ag, dan ibunda Hj.Yoyoh Yohanah, yang senantiasa memberikan motivasi, semangat, dan doa’nya.

Selama proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari halangan dan rintangan, akan tetapi dengan dorongan dan motivasi dari berbagai pihak, Alhamdulillahirabbil ‘alamin akhirnya skripsi ini dapat dituntaskan. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada :

1. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dasumiati, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Priyanti, M.Si, selaku pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan motivasinya kepada penulis.

4. Sri Astutik, M.Si, selaku pembimbing II yang selalu memberikan pengarahan, pengetahuan, serta motivasinya kepada penulis.


(9)

viii

5. Dosen-dosen jurusan Biologi yang selalu memberikan ilmu dan pelajaran-pelajaran berharganya.

6. Ir. Heri Subagiadi, M.Sc, selaku Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango atas fasilitas yang diberikan selama kegiatan. 7. Agus Suhatman, M.P, selaku Kepala UPT Balai Konservasi Tumbuhan

Kebun Raya Cibodas-LIPI atas fasilitas yang diberikan selama kegiatan. 8. Hayati Nufus, Amd.Keb yang selalu memberi dukungan, motivasi,

semangat, dan kasih sayangnya.

9. Teman-teman Mahasiswa Biologi 2009 yang telah memberikan semangat dan dukungannya.

10. Pihak-pihak lain yang turut serta membantu penulis dalam penyususnan skripsi ini, Bapak Sofyan, Bapak Rustandi, Bapak Mahmudin dan keluarga, Ibu Heryati, Asep, Tedi, Anto, dan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Harapan terbesar penulis adalah semoga amal kebaikan semua yang turut serta dalam penyusunan, hingga terselesaikannya skripsi ini dibalas oleh Allah SWT dengan balasan pahala yang tidak terputus sepanjang masa. Semoga dengan penulisan skripsi ini dapat memberikan pengetahuan baru dan memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, Mei 2014


(10)

ix DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Lembar Persetujuan Pembimbing ... ii

Lembar Pengesahan Ujian ... iii

Lembar Pernyataan ... iv

Abstrak ... v

Abstract ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... ix

Daftar Gambar ... xi

Daftar Tabel... xii

Daftar Lampiran ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Hipotesis ... 6

1.4 Tujuan ... 6

1.3 Manfaat ... 7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Obat ... 8

2.2 Keanekaragaman Tumbuhan Obat ... 9

2.2.1 Berdasarkan familinya ... 9

2.2.2 Berdasarkan formasi hutannya ... 10

2.2.3 Berdasarkan habitusnya ... 11

2.3 Etnobotani ... 12

2.4 Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ... 14

2.4.1 Sejarah ... 14

2.4.2 Tinjauan umum TNGGP ... 15

2.5 Kawasan Kebun Raya Cibodas ... 16

2.5.1 Sejarah ... 16

2.5.2 Tinjauan umum KRC ... 17


(11)

x

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

3.2 Alat dan Bahan ... 22

3.3 Metode Pengambilan Data ... 22

3.3.1 Analisis vegetasi ... 23

3.3.2 Pengukuran faktor fisik lingkungan ... 24

3.3.2.1 Intensitas cahaya... 25

3.3.2.2 Suhu dan kelembaban udara relatif ... 25

3.3.2.3 Kelembaban tanah ... 25

3.3.3 Identifikasi jenis tumbuhan obat ... 25

3.3.4 Wawancara... 26

3.4. Pengolahan dan Analisis Data ... 26

3.4.1 Indeks nilai penting ... 27

3.4.2 Tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan obat ... 28

3.4.3 Tingkat kekayaan jenis tumbuhan obat ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ... 30

4.1.1 Indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis tumbuhan obat ... 31

4.1.2 Struktur dan komposisi vegetasi hutan TNGGP ... 33

4.2 Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat di Hutan Terfragmentasi Kebun Raya Cibodas ... 39

4.2.1 Indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis tumbuhan obat... 40

4.2.2 Struktur dan komposisi vegetasi di KRC... 42

4.3 Perbandingan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat di Hutan TNGGP dan di Hutan Terfragmentasi KRC ... 50

4.4 Pemanfaatan Tumbuhan oleh Masyarakat Lokal ... 53

4.4.1. Bagian yang dimanfaatkan ... 56

4.4 Rekomendasi Tumbuhan Obat Potensial Budidaya ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 61

5.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian …. ... 21 Gambar 3.2 Plot pengamatan analisis vegetasi …... 23 Gambar 4.1 Indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis tumbuhan obat

pada pada plot sampling di TNGGP …... 32 Gambar 4.2 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan obat di hutan

terfragmentasi KRC ... 41 Gambar 4.3 Indeks kekayaan jenis tumbuhan obat di hutan terfragmentasi

KRC... 42 Gambar 4.4 Jenis kelamin dan usia responden... 54 Gambar 4.5 Persentase penggunaan bagian tumbuhan obat yang


(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Jumlah jenis tumbuhan obat di Indonesia …... 10

Tabel 2.2 Jumlah dan persentase jenis tumbuhan obat berdasarkan formasi hutannya di Indonesia…... 11

Tabel 2.3 Jumlah dan persentase jenis tumbuhan obat berdasarkan habitusnya di Indonesia... 11

Tabel 4.1 Jumlah jenis tumbuhan obat pada plot sampling di hutan TNGGP 30 Tabel 4.2 Analisis vegetasi tingkat herba di hutan TNGGP ... 34

Tabel 4.3 Analisis vegetasi tingkat pancang di hutan TNGGP ... 36

Tabel 4.4 Analisis vegetasi tingkat tiang di hutan TNGGP ... 37

Tabel 4.5 Analisis vegetasi tingkat pohon di hutan TNGGP ... 38

Tabel 4.6 Jumlah jenis tumbuhan obat di hutan terfragmentasi KRC ... 39

Tabel 4.7 Analisis vegetasi tingkat herba di hutan Wornojiwo, Kompos dan Jalan Akar ... 44

Tabel 4.8 Analisis vegetasi tingkat pancang di hutan Wornojiwo, Kompos dan Jalan Akar ... 46

Tabel 4.9 Analisis vegetasi tingkat tiang di hutan Wornojiwo, Kompos Dan Jalan Akar ... 48

Tabel 4.10 Analisis vegetasi tingkat pohon di hutan Wornojiwo, Kompos dan Jalan Akar ... 49

Tabel 4.11 Perbandingan keanekaragaman jenis tumbuhan obat... 50

Tabel 4.12 Sepuluh tumbuhan obat yang banyak digunakan masyarakat ... 55

Tabel 4.13 Sepuluh jenis tumbuhan obat potensi budidaya di hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC ... 59


(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data fisik lokasi penelitian ... 66

Lampiran 2. Data responden Desa Cimacan ... 67

Lampiran 3. Kuisioner pemanfaatan tumbuhan obat Desa Cimacan ... 68

Lampiran 4. Data tumbuhan obat hutan TNGGP …. ... 69

Lampiran 5. Data tumbuhan obat hutan terfragmentasi KRC …... 71

Lampiran 6. Penggunaan tumbuhan obat oleh masyarakat lokal (Desa Cimacan) …. ... 74

Lampiran 7. Dokumentasi kegiatan penelitian …. ... 91


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mulai meningkat sehingga dibutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Upaya Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam pemerataan kesehatan seperti pelayanan jaminan kesehatan telah semakin optimal. Akan tetapi masih saja ada kalangan yang belum terjangkau terutama masyarakat di pelosok daerah dan masyarakat yang tingkat ekonominya masih rendah. Keterisoliran dan pendapatan yang masih rendah merupakan penyebab dari tidak terpenuhinya pelayanan kesehatan yang memadai. Oleh karena itu, peranan pengetahuan pengobatan dengan memanfaatkan tumbuhan obat sangat penting untuk diketahui.

Indonesia sangat kaya dengan berbagai jenis tumbuhan yaitu terdapat kurang lebih 30 ribu jenis dari 40 ribu jenis tumbuhan yang ada di dunia. Sekitar 26% telah dibudidayakan dan sisanya sekitar 74% masih tumbuh liar di hutan-hutan. Lebih dari 8000 jenis merupakan tumbuhan yang berkhasiat obat dan baru 800-1200 jenis saja yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat tradisional atau jamu (Hidayat, 2006). Hal ini mendorong berkembangnya upaya penelitian dan eksplorasi jenis-jenis tumbuhan obat potensial untuk kepentingan saat ini maupun masa mendatang.

Tumbuhan obat yang beragam jenis dapat terancam keberadaannya akibat adanya beberapa permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang mengancam


(16)

2

kelestarian tumbuhan obat Indonesia diantaranya adalah : (1) sebagian besar bahan baku obat berasal dari tumbuhan yang diambil secara langsung dari hutan alam, (2) adanya kerusakan habitat akibat aktivitas manusia atau alami, (3) konversi hutan

(ekploitasi kayu/pohon yang sekaligus merupakan jenis tumbuhan obat), (4) kurangnya perhatian terhadap pengelolaan dan budidayanya, dan (5) hilangnya

budidaya dan pengetahuan tradisional dari penduduk lokal/adat (Pusat Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001). Dokumentasi konservasi dan budidaya tumbuhan obat menjadi hal yang mendesak yang diperlukan untuk menjamin kelestarian dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.

Permintaan terhadap simplisia (bahan baku tumbuhan obat) untuk obat-obatan tradisional yang sangat tinggi juga dapat mengancam kelestarian tumbuhan obat. Data tahun 1999 menunjukkan bahwa produksi tumbuhan obat tradisional Indonesia telah mencapai 8.288 ton (Pusat Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001). Hal ini diperburuk dengan adanya fragmentasi hutan dan perusakan habitat alami sebagai desakan kebutuhan lahan untuk berbagai peruntukan, seperti pertanian, industri, dan perumahan, serta akibat dari berbagai bencana alam yang melanda Indonesia.

Daerah tepian hutan yang terfragmentasi dapat mempengaruhi organisme yang ada didalamnya. Adanya aliran energi, nutrisi, dan jenis serta perubahan-perubahan pada lingkungan biotik dan abiotiknya menyebabkan komposisi jenis, struktur dan proses-proses ekologi dalam suatu ekosistem yang dekat daerah tepian


(17)

3

tersebut selalu berubah. Fragmentasi penting mendapat perhatian, karena berpengaruh pada kekayaan jenis, dinamika populasi, dan keanekaragaman hayati ekosistem secara keseluruhan (Gunawan, dkk., 2009).

Indonesia memiliki budaya pengobatan tradisional termasuk penggunaan tumbuhan obat sejak dahulu dan dilestarikan secara turun-temurun. Interaksi masyarakat setempat dengan lingkungan hidupnya, khususnya dengan tumbuh-tumbuhan dikenal dengan istilah Etnobotani. Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2001 menjelaskan bahwa 57,7% penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri tanpa bantuan medis, dan 31,7% diantaranya menggunakan tumbuhan obat tradisional (Santhyami dan Sulistyawati, 2007). Terdapat sekitar 400 etnis di Indonesia yang memiliki hubungan erat dengan hutan dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat (Pusat Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001).

Kecenderungan masyarakat dunia untuk back to nature menyebabkan kebutuhan akan obat bahan alam dirasa akan terus meningkat. WHO menjelaskan bahwa hampir 60% populasi dunia menggunakan tumbuhan obat dan di beberapa negara secara luas telah memasukkannya ke dalam sistem kesehatan masyarakat (WHO, 2014). Oleh karena itu, pengadaan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku obat tradisional dari alam merupakan tantangan di masa depan. Untuk mengantisipasi hal ini dan mencegah kelangkaan bahan baku, maka harus dikembangkan dan


(18)

4

dikelola potensi tumbuhan obat masing-masing wilayah dengan azas kelestarian jenis tumbuhan obat tersebut.

Usaha penyebarluasan pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan obat merupakan hal yang perlu dilakukan. Salah satu pekerjaan yang harus dilakukan sebelum penyebarluasan pemanfaatan tumbuhan obat adalah dengan cara pengenalan kepada masyarakat. Hal ini dimaksudkan guna mendekatkan masyarakat kepada

pemanfaatan tumbuhan obat, sekaligus berfungsi sebagai sarana untuk

mengikutsertakan masyarakat dalam upaya pelestarian sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati.

Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan hutan terfragmentasi Kebun Raya Cibodas (KRC) merupakan salah satu kawasan yang terbasah di pulau Jawa. Diasumsikan bahwa kawasan ini sangat kaya dengan beranekaragam jenis tumbuhan karena kelembaban lingkungan mikro hutan tropis dan tanah yang subur mampu untuk menjaga agar vegetasi tetap hijau dan bertumbuh (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2014). Tumbuhan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dibedakan menjadi tiga zona berdasarkan perbedaan tumbuhan yang menyusunnya, yaitu zona Sub Montana (1.000-1.500 m dpl), zona Montana (1.500-2.400 m dpl) dan zona Sub Alpin (2.400-3.019 m dpl). Zona Sub Montana merupakan ekosistem hutan dengan keragaman jenis yang tinggi (Van Stennis, 1972). Oleh karena itu, beberapa titik sampling dari zona Sub Montana dan Montana dapat dipergunakan untuk melihat keragaman tumbuhan obat dalam penelitian ini.


(19)

5

Tumbuhan obat yang beragam jenisnya kurang memiliki arti signifikan untuk mendukung pemanfaatan yang lestari, jika data potensi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas. Oleh karenanya, upaya konservasi tumbuhan obat secara efektif perlu dilakukan untuk tetap menjaga keanekaragaman dan kelestariannya. Informasi mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan obat di hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC belum banyak tersedia termasuk tentang data tumbuhan obat apa saja yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal kawasan tersebut. Penelitian sebelumnya terhadap masyarakat di sekitar kawasan TNGGP menemukan sebanyak 23 jenis penyakit dengan 72 resep yang menggunakan 80 jenis tumbuhan obat (Rosita, dkk., 2007), sementara itu dari penelitian tentang tumbuhan bernilai ekonomi diketahui bahwa kulit kayu Cinnamomum sp. dipergunakan untuk ramuan perawatan paska persalinan dan kulit kayu Beilschmiedia gemmiflora untuk obat gatal-gatal (Rahayu, 2010).

Pada gilirannya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah demi terwujudnya pengetahuan tentang tumbuhan obat yang sudah terintegrasi serta dapat menjadi tambahan data ilmiah untuk mendukung kelestarian kawasan konservasi global mengingat TNGGP dan KRC menjadi bagian penting dari Cagar Biosfer Cibodas yang telah ditetapkan UNESCO sejak tahun 1977.


(20)

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut :

1) Bagaimanakah keanekaragaman jenis tumbuhan obat di hutan TNGGP dan di hutan terfragmentasi KRC ?

2) Tumbuhan obat apa saja yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sekitar hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC ?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah di atas, hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Terdapat keanekaragaman jenis tumbuhan obat yang tinggi di hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC.

2) Masyarakat lokal banyak memanfaatkan berbagai jenis dari tumbuhan obat yang ada di sekitar hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC.

1.4 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1) Mengetahui tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan obat di hutan TNGGP dan di hutan terfragmentasi KRC.

2) Mengetahui berbagai jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC.


(21)

7

1.5 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan baru mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan obat yang ada di hutan TNGGP dan di hutan terfragmentasi KRC, serta pemanfaatannya oleh masyarakat lokal. Informasi penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak pengelola kawasan konservasi dan masyarakat sebagai acuan dalam menyusun kebijakan terkait upaya perlindungan dan pelestarian potensi tumbuhan obat dan pemanfaatannya sebagai bentuk pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang perlu dijaga.


(22)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Obat

Tumbuhan obat merupakan obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Departemen Kesehatan RI, 2007). Jurusan Konservasi Sumber Daya Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB (1994) mendefinisikan tumbuhan obat atau fitofarmaka yaitu sebagai obat tradisional yang bahan bakunya adalah simplisia yang telah mengalami standarisasi dan telah dilakukan penelitian mengenai sediaan galeniknya (Adi, 2003). Bagian-bagian dari tumbuhan obat memiliki khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat modern atau tradisional. Tumbuhan obat dapat diartikan sebagai jenis tumbuhan yang sebagian, seluruh bagian dan atau eksudat tumbuhan digunakan sebagai obat, bahan atau ramuan obat-obatan.

Tumbuhan berkhasiat obat digolongkan menjadi tiga kelompok (Putri, 2008), yaitu :

1) Tumbuhan obat tradisional, merupakan jenis tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.


(23)

9

2) Tumbuhan obat modern, merupakan jenis tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggung jawabkan secara medis.

3) Tumbuhan obat potensial, merupakan jenis tumbuhan yang diduga

mengandung senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara farmakologis sebagai bahan obat.

2.2 Keanekaragaman Tumbuhan Obat

Luas hutan tropika Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 143 juta ha. Kawasan yang sangat luas ini merupakan tempat tumbuh hampir 80% dari tumbuhan obat yang ada di dunia, dimana terdapat sekitar 28.000 jenis tumbuhan dan kurang lebih 1.000 jenis di antaranya telah digunakan sebagai tumbuhan obat (Rini, 2009).

2.2.1 Berdasarkan familinya

Berdasarkan kelompok familinya jenis-jenis tumbuhan obat yang ada di Indonesia dikelompokkan kedalam 203 famili. Jumlah jenis tumbuhan obat yang paling banyak termasuk dalam famili Fabaceae, yakni sebanyak 110 jenis. Secara umum terdapat 22 famili yang memiliki jumlah jenis tumbuhan obat lebih dari 20, sedangkan 181 famili lainnya memiliki jumlah jenis tumbuhan obat yang kurang dari 20 (Tabel 2.1).


(24)

10

2.2.2 Berdasarkan formasi hutannya

Berdasarkan formasi hutannya, penyebaran jenis tumbuhan obat tertinggi berada di hutan hujan tropika dataran rendah sebanyak sekitar 772 jenis (45,82%) dari jumlah total jenis tumbuhan obat. Penyebaran terendah jenis-jenis tumbuhan obat terdapat di hutan rawa sebanyak sekitar 8 jenis (0,47%) (Tabel 2.2).

Tabel 2.1. Jumlah jenis tumbuhan obat di Indonesia

No Nama famili Jumlah jenis

1 Fabaceae 110

2 Euphorbiaceae 94

3 Lauraceae 77

4 Rubiacea 72

5 Poaceae 55

6 Zingiberacea 49

7 Moraceae 46

8 Myrtaceae 45

9 Annonaceae 43

10 Asteraceae 40

11 Apocynaceae 39

12 Cucurbitaceae 34

13 Piperaceae 30

14 Menispermaceae 30

15 Melastomataceae 26

16 Arecaceae 25

17 Verbenaceae 23

18 Rutaceae 23

19 Acanthaceae 22

20 Sterculiaceae 21

21 Myristicaceae 21

22 Rhizophoraceae 20

23 Famili lainnya (181 famili) < 20

24 Tidak ada data 66


(25)

11

2.2.3 Berdasarkan habitusnya

Jenis-jenis tumbuhan obat jika dilihat dari segi habitusnya dapat dikelompokan kedalam 7 macam, yaitu habitus bambu, herba, liana, pemanjat, perdu, pohon, dan semak. Dari semua habitus tersebut, habitus pohon memiliki jumlah jenis dan persentase yang tertinggi dibandingkan habitus lainnya, yaitu sebanyak 717 jenis (40,58%) (Tabel 2.3).

Tabel 2.2. Jumlah dan persentase jenis tumbuhan obat berdasarkan formasi hutannya di Indonesia

No Formasi hutan

Tumbuhan obat Jumlah

jenis

Persentase (%) 1 Hutan hujan tropika dataran rendah (< 1000 m dpl) 772 45,82

2 Hutan hujan tropika pegunungan 356 21,13

3 Hutan musim 291 17,27

4 Hutan savanna 146 8,66

5 Hutan pantai 65 3,86

6 Hutan mangrove 47 2,79

7 Hutan rawa 8 0,47

8 Tidak ada data 511 -

Jumlah 1845 100.00

Sumber : P2KKH Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001).

Tabel 2.3. Jumlah dan persentase jenis tumbuhan obat berdasarkan habitusnya di Indonesia

No Habitus Tumbuhan obat

Jumlah jenis Persentase (%)

1 Pohon 717 40,58

2 Herba 486 27,50

3 Semak 173 9,79

4 Pemanjat 138 7,81

5 Liana 126 7,13

6 Perdu 120 6,79

7 Bambu 7 0,40

8 Tidak ada data 78 -

Jumlah 1845 100.00

Sumber : P2KKH Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001).

Terdapat 55 jenis tumbuhan obat yang mulai langka di Indonesia dengan status kelangkaan yang bervariasi (Rini, 2009), yaitu :


(26)

12

1. Terkikis (indeterminate), seperti Jinten (Cuminum cyminum), Temu Giring (Curcuma heyneana), Jati Belanda (Guazuma ulmifolia), Bidara Laut (Strychnos ligustriana), Jaha (Terminalia bellirica), dan Bangle (Zingiber cassumunar).

2. Jarang (rare), seperti Pulai (Alstonia scholaris), Pulasari (Alyxia reindwardtii), Kayu Rapat (Parameria laevigata), dan Kedawung (Parkia rogburhii).

3. Rawan (vulnerable) dan Genting (endangered), seperti Pasak Bumi (Eurycoma longifolia).

2.3 Etnobotani

Etnobotani merupakan kajian interaksi antara manusia dengan tumbuhan (Purnawan, 2006). Studi etnobotani dapat memberi kontribusi yang besar dalam proses pengenalan tumbuhan yang ada di suatu wilayah melalui kegiatan pengumpulan kearifan lokal dari dan bersama masyarakat setempat. Istilah etnobotani digunakan untuk menjelaskan interaksi masyarakat setempat (etno atau etnis) dengan lingkungan hidupnya, khususnya dengan tumbuh-tumbuhan. Studi etnobotani ini dapat membantu masyarakat dalam mencatat atau merekam kearifan lokal yang dimiliki selama ini, untuk masa mendatang (Purnawan, 2006).

Indonesia sebagai negara beriklim tropis, mempunyai tumbuhan obat yang sangat beragam, sehingga tradisi pengenalan, penggunaan, dan pemanfaatan tumbuhan obat sudah ada dari nenek moyang yang dipercaya dapat menyembuhkan


(27)

13

berbagai jenis penyakit, baik penyakit dalam maupun penyakit luar. Umumnya masyarakat memanfaatkan bahan-bahan asal tumbuhan obat masih dalam keadaan segar, maupun yang sudah dikeringkan sehingga dapat disimpan lama yang disebut dengan simplisia. Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern.

Kelebihan pengobatan dengan menggunakan ramuan tumbuhan secara tradisional tersebut disamping tidak menimbulkan efek samping, ramuan tumbuh-tumbuhan tertentu mudah didapat di sekitar pekarangan rumah, dan mudah proses pembuatannya. Proses pengolahan obat tradisional pada umumnya sangat sederhana, diantaranya ada yang diseduh dengan air, dibuat bubuk kemudian dilarutkan dalam air, ada pula yang diambil sarinya. Cara pengobatan pada umumnya dilakukan per oral (diminum).

Tumbuhan obat di Indonesia terdiri dari beragam jenis yang kadang kala sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain. Komponen aktif yang terdapat pada tumbuhan obat yang menentukan tercapai atau tidaknya efek terapi yang diinginkan. Obat tradisional terdiri dari berbagai jenis tumbuhan dan bagian-bagiannya. Bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun dan berupa bahan yang telah dikeringkan disebut simplisia (bagian tumbuhan yang dipergunakan). Pengetahuan tentang kegunaan masing-masing simplisia sangat penting, sebab dengan diketahui kegunaan masing-masing simplisia diharapkan tidak


(28)

14

terjadi tumpang tindih pemanfaatan tumbuhan obat serta dapat mencarikan alternatif pengganti yang tepat apabila simplisia yang dibutuhkan ternyata tidak dapat diperoleh.

2.4 Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) 2.4.1 Sejarah

Kawasan TNGGP diumumkan pada tahun 1980, ketika pemerintah mengadakan program pendirian taman nasional pertama di Indonesia bersama dengan empat taman nasional yang lain. TNGGP merupakan taman nasional kedua terkecil di Indonesia yang mempunyai potensi keragaman hayati tinggi di dunia sehingga menjadi tempat yang sangat penting untuk konservasi flora dan fauna didunia. Pada tahun 1977 UNESCO menetapkan TNGGP sebagai daerah inti dari salah satu Cagar Biosfer Dunia dengan nama Cagar Biosfer Cibodas.

Sejarah penelitian dan konservasi wilayah ini dimulai dengan didirikannya sebuah kebun kecil dekat istana Gubernur Jendral Belanda di Cipanas pada tahun 1830. Perkebunan ini kemudian diperluas dan dikenal sebagai salah satu tempat kunjungan utama para ahli botani dunia yaitu Kebun Raya Cibodas saat ini. Wilayah Gunung Gede Pangrango berperan sebagai pusat penelitian dunia selama dua abad dan telah mempunyai reputasi di dunia. Sir Thomas Raffles mengatur pengembangan wilayah tenggara pegunungan ini pada tahun 1811.


(29)

15

2.4.2 Tinjauan umum TNGGP

Secara geografis, kawasan TNGGP terletak antara 106050’- 1060‘56’ BT dan 6032’-6034’LS. Secara administrasi taman nasional ini terletak pada tiga wilayah Kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi dan Cianjur. TNGGP memiliki potensi keragaman hayati tinggi di dunia sehingga menjadi tempat yang sangat penting untuk konservasi tumbuhan dan hewan, kegiatan penelitian, pendidikan, dan rekreasi (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2014).

Jenis ekosistem di kawasan hutan TNGGP adalah ekosistem hutan hujan tropis pegunungan dengan tiga sub ekosistem, yaitu hutan Montana, Sub Montana dan Sub Alpin. Selain itu juga terdapat sub ekosistem lainnya seperti padang rumput pegunungan, danau, rawa pegunungan, air terjun, air panas, kawah, hutan tanaman (damar) dan hutan sekunder. Kekayaan tumbuhan di kawasan hutan TNGGP dibedakan menjadi tiga zona berdasarkan perbedaan tumbuhan yang menyusunnya, yaitu zona Sub Montana (1.000-1.500 m dpl), zona Montana (1.500-2.400 m dpl) dan zona Sub Alpin (2.400-3.019 m dpl) (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2014).

Zona Sub Montana adalah ekosistem hutan dengan keragaman jenis yang tinggi, ditandai dengan adanya tajuk pohon besar dan tinggi, misalnya pohon Rasamala dan Buni. Sedangkan pada ekosistem Montana ditandai dengan sedikitnya variasi flora. Batang-batang pohon umumnya ditumbuhi dengan lumut. Zona sub Alpin merupakan hutan yang jenisnya rendah dengan pohon-pohon kerdil, misalnya pohon Cantigi Gunung (Vaccinum varingiaeolium) dengan batang yang ditumbuhi


(30)

16

lumut janggut putih. Kekhasan hutan ini adalah terdapatnya dataran yang ditumbuhi rumput Isachne pangrangensis dan bunga abadi Eidelweis (Anaphalis javanica) (Van Stennis, 1972).

Kawasan hutan TNGGP yang memiliki luas area sekitar 21.975 ha merupakan lahan terbasah di pulau jawa. Kelembaban lingkungan mikro hutan tropis dan tanah yang tinggi merupakan habitat yang disukai oleh berbagai jenis flora, karena keadaan lingkungan seperti itu dapat menjaga vegetasi tetap hijau dan bertumbuh. Keragaman hayati yang tinggi di kawasan ini menjadikannya sebagai salah satu kawasan konservasi di Indonesia.

Dalam rangka untuk menjamin pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman tumbuh-tumbuhannya, di kaki Gunung Gede Pangrango dibuatlah sebuah kawasan konservasi ex-situ. Kawasan ini memiliki peran sebagai penyangga kawasan taman nasional dan dalam pengelolaan tumbuhan asli dari kawasan hutan TNGGP maupun jenis-jenis tumbuhan introduksi dari luar yang dikelola dengan baik didalam suatu Kebun Raya. Kebun Raya merupakan suatu tempat untuk mengumpulkan dan memelihara tumbuh-tumbuhan, yang memiliki fungsi penting sebagai tempat pendidikan, estetika, ilmu pengetahuan dan rekreasi (Adi, 2003).

2.5 Kawasan Kebun Raya Cibodas (KRC) 2.5.1 Sejarah

Kawasan KRC didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yakni zaman pemerintahan Raja Willem III. Pada tanggal 11 April 1852, Johannes Ellias


(31)

17

Taijasmann yang merupakan seorang kurator Kebun Raya Bogor pada waktu itu mendirikan Kebun Raya Cibodas dengan nama Bertguin te Tjibodas (Kebun Pegunungan Cibodas). Pendirian Kebun Raya Cibodas dimaksudkan sebagai tempat aklimatisasi jenis-jenis tumbuhan asal luar negeri yang memiliki nilai penting dan ekonomi yang tinggi, salah satunya adalah Pohon Kina (Chinchona calisaya).

Kebun Raya Cibodas awalnya merupakan pengembangan dari Kebun Raya Bogor, dengan nama Cabang Balai Kebun Raya Cibodas. Mulai tahun 2003 nama Kebun Raya Cibodas menjadi lebih mandiri sebagai Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, dalam kedeputian Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Kebun Raya Cibodas, 2014). 2.5.2 Tinjauan umum KRC

Kebun Raya adalah kawasan konservasi tumbuhan secara ex-situ yang memiliki koleksi tumbuhan terdokumentasi dan ditata berdasarkan pola klasifikasi taksonomi, bioregion, tematik, atau kombinasi dari pola-pola tersebut untuk tujuan kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, wisata dan jasa lingkungan (Perpres RI Nomor 93 Tahun 2011).

Secara geografis KRC berada pada lereng Gunung Gede Pangrango dengan ketinggian 1300-1425 mdpl. Luas areal efektifnya sekitar 80 ha dan sisanya sekitar 6 ha masih areal hutan. Keadaan topografinya bervariasi landai, berbukit-bukit, bergelombang, dan bagian yang curam. Kawasannya memiliki hawa sejuk dengan panorama yang indah dengan persentase kawasan yang miring sekitar 60%.


(32)

18

KRC memiliki curah hujan sebesar 3.300 mm/tahun. Suhu udara berkisar antara 180 hingga 240 C dengan curah hujan per tahun 3380 mm. Curah hujan tertinggi dicapai pada bulan Januari (2288,5 mm) dan terendah pada bulan Agustus yaitu 744 mm. Kelembaban rata-rata di KRC berkisar antara 80-90%.

2.5.2 Hutan terfragmentasi KRC

Kurang lebih 10% luasan KRC atau sekitar 8.43 hektar merupakan kawasan berhutan, termasuk didalamnya hutan yang terfragmentasi dan hutan yang terhubung dengan kawasan hutan TNGGP yang mengelilingi kawasan kebun raya. Sisa hutan tersebut terbagi menjadi empat blok hutan, yaitu hutan Wornojiwo (3,934 ha), hutan Kompos (2,555 ha), hutan Jalan Akar (1,086 ha) dan hutan Lumut (0,855 ha).

Petak-petak hutan di KRC berpotensi untuk dikembangkan sebagai laboratorium lapangan dan keperluan pendidikan lingkungan. Akan tetapi, ukurannya yang kecil dan tingginya derajat fragmentasi, hutan sisa KRC sangat rentan terhadap gangguan secara biotik maupun abiotik (Mutaqien, dkk., 2011). Konsekuensi dari fragmentasi dan efek tepi termasuk meningkatnya kerentanan terhadap invasi oleh tumbuh-tumbuhan dan hewan asing (Ecroyd dan Brockerhoff, 2005).

Hutan alam di Pulau Jawa pada umumnya merupakan kantong-kantong habitat untuk perlindungan keanekaragaman hayati. Akan tetapi, Seiring meningkatnya angka pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lahan untuk menyediakan pemukiman, pertanian, pembangunan sarana jalan dan infrastruktur lainnya menyebabkan pengikisan kantong-kantong habitat tidak dapat dihindari. Hingga pada akhirnya fungsi utama hutan sebagai pelindung keanekaragaman hayati


(33)

19

akan berkurang karena habitatnya terpecah atau mengalami fragmentasi (Gunawan, 2009).

Fragmentasi didefinisikan sebagai pemecahan habitat organisme menjadi fragment-fragment (petak) habitat lebih kecil karena pembangunan jalan, pertanian, urbanisasi atau pembangunan lain. Kerusakan habitat alami diberbagai belahan dunia saat sekarang ini berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Hutan hujan tropika basah yang merupakan habitat dari setengah jenis tumbuhan dunia , berada dalam kondisi yang sangat berbahaya, pengurangannya diperkirakan 16,8 juta ha/tahun. Salah satu penyebabnya adalah exploitasi hutan yang berlebihan yang dapat mengakibatkan tumbuhan obat yang berada pada habitat alaminya dalam keadaan berbahaya pada erosi genetik dan terancam kepunahan (Pusat Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001).

Fragmentasi umumnya terjadi melalui hilangnya habitat, sebaliknya hilangnya habitat juga dapat dipandang sebagai akibat adanya fragmentasi. Fragmentasi bekerja dalam empat cara, yaitu: (1) habitat hilang tanpa fragmentasi, (2) pengaruh kombinasi hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi petak lebih kecil, (3) pemecahan habitat menjadi petak lebih kecil tanpa kehilangan habitat, dan (4) hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi petak lebih kecil serta penurunan kualitas habitat. Mekanisme dan proses fragmentasi menghasilkan tiga tipe pengaruh, yaitu pengaruh terhadap ukuran petak (patch), pengaruh tepi (edge effect), dan pengaruh isolasi (Fahrig, 2003).


(34)

20

Dampak adanya fragmentasi yang paling utama adalah dapat menyebabkan berkurangnya fungsi hutan sebagai habitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar. Fragmentasi penting mendapat perhatian, karena berpengaruh pada kekayaan jenis, dinamika populasi, dan keanekaragaman hayati ekosistem secara keseluruhan (Gunawan, dkk., 2007). Oleh karena itu, penelitian tumbuhan obat di hutan terfragmentasi KRC diharapkan dapat menambah kajian ilmiah di kawasan ini.


(35)

21

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di hutan TNGGP dan di hutan terfragmentasi Kebun Raya Cibodas (KRC) selama 2 (dua) bulan, yakni Oktober hingga

Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian (Sumber : USGS, 2014)


(36)

22

November 2013. Penentuan lokasi penelitian di hutan TNGGP dilakukan di 3 (tiga) titik sampling yang berbeda yaitu pada ketinggian 1400, 1500, dan 1600 m dpl. Sedangkan di hutan terfragmentasi KRC dilakukan di hutan Wornojiwo, Kompos, dan Jalan Akar (Gambar 3.1).

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa GPS (GlobalPositioning System), lux meter, temperature & humidity meter , soil tester, kompas, tali rafia, golok, peta kerja, meteran besar, patok kayu, alkohol, alat tulis menulis dan kamera digital.

Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah jenis tumbuhan obat yang ada di hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC.

3.3 Metode Pengambilan Data

Data yang diambil dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui pengamatan secara langsung di lapangan. Data tersebut meliputi jenis-jenis tumbuhan obat beserta hasil analisis vegetasinya, faktor fisik lingkungan, dan data tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dengan cara wawancara. Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan untuk menunjang pelaksanaan penelitian. Data tersebut didapatkan dengan cara studi pustaka atau pencarian literatur melalului buku, jurnal, artikel ilmiah maupun internet.


(37)

23

3.3.1 Analisis vegetasi

Metode analisis vegetasi yang digunakan adalah metode kuadrat. Penentuan lokasi sampling dilakukan secara acak di setiap titik lokasi penelitian baik di hutan TNGGP maupun hutan terfragmentasi KRC dengan jumlah masing-masing 2 (dua) plot. Pada setiap lokasi sampling dibuat petak-petak dengan ukuran 2 x 2 m2, 5 x 5 m2, 10 x 10 m2, dan 20 x 20 m2 (Purba, 2009).

Gambar 3.2. Plot pengamatan analisis vegetasi

Keterangan : A : 2 x 2 m2; B : 5 x 5 m2; C : 10 x 10 m2; D : 20 x 20 m2

Setiap petak ukur dilakukan pengukuran terhadap semua tingkat tumbuhan, yaitu :


(38)

24

1) Petak 2 x 2 m2 dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat herba. Parameter yang diamati atau yang diukur meliputi nama jenis dan jumlah setiap jenis, dengan batasan anakan pohon mulai dari tingkat kecambah sampai yang memiliki tinggi < 1,5 m.

2) Petak 5 x 5 m2 dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat pancang. Parameter yang diamati atau diukur meliputi nama jenis dan jumlah setiap jenisnya, dengan batasan pohon muda yang berdiameter < 10 cm. Atau anakan pohon dengan tinggi > 1,5 m.

3) Petak 10 x 10 m2 dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat tiang. Parameter yang diamati atau yang diukur meliputi nama jenis, jumlah dan diameter tumbuhan pada tingkat tiang, dengan batasan diameter yang diambil adalah antara 10 ≤ dbh < 20 cm (dbh: diameter breast height: diameter setinggi dada).

4) Petak 20 x 20 m2 dilakukan pengukuran dan pencatatan terhadap tingkat pohon. Parameter yang diamati dan yang diukur meliputi nama jenis, jumlah dan diameter pohon. Diameter yang diambil adalah diameter setinggi dada (dbh) serta ukuran diameternya ≥ 20 cm.

3.3.2 Pengukuran faktor fisik lingkungan

Pengukuran faktor fisik lingkungan dilakukan di setiap titik lokasi penelitian baik di hutan TNGGP maupun di hutan terfragmentasi KRC pada pukul 10.30 WIB. Pengukurannya meliputi intensitas cahaya, suhu udara, kelembababan udara relatif, dan kelembaban tanah. Data fisik lokasi penelitian terdapat dalam Lampiran 1.


(39)

25

3.3.2.1 Intensitas cahaya

Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan lux meter. Sensor pada lux meter diarahkan pada sumber cahaya selama tiga menit atau sampai angka yang ditunjukkan monitor konstan. Hasil pengukuran intensitas cahaya yang terbaca di layar monitor kemudian dicatat.

3.3.2.2 Suhu dan kelembaban udara relatif

Suhu dan kelembaban udara relatif diukur dengan menggunakan alat temperature & humidity meter. Data yang diperoleh kemudian di catat.

3.3.2.3 Kelembaban tanah

Kelembaban tanah diukur dengan menggunakan soil tester. Alat ini ditancapkan ketanah, kemudian besarnya nilai kelembaban yang diperoleh dicatat. 3.3.3 Identifikasi jenis tumbuhan obat

Identifikasi jenis tumbuhan obat dilapangan dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan tidak langsung (wawancara non formal dengan bertanya langsung pada para taksonom). Identifikasi jenis-jenis tumbuhan obat merujuk pada Indeks Tumbuhan Obat di Indonesia (1995) dan dengan melakukan pemeriksaan silang melalui berbagai buku/literatur tentang tumbuhan obat, yang meliputi nama lokal, nama jenis, famili, habitus, dan manfaatnya. Nama jenis mengacu pada The Plant List (http://www.theplantlist.org) dan IPNI (The International Plant Names Index) (http://www.ipni.org). Status konservasi dari jenis yang ditemukan dalam penelitian merujuk pada kriteria IUCN (http://www.iucnredlist.org).


(40)

26

3.3.4 Wawancara

Wawancara dilakukan secara langsung dengan masyarakat lokal TNGGP dan berbatasan langsung dengan KRC, yakni di Desa Cimacan. Metode yang digunakan dalam menentukan sasaran wawancara (key person) yaitu dengan cara Snow ball dimana pemilihan responden berdasarkan informasi responden sebelumnya (Ernawati, 2009). Wawancara dilakukan terhadap 25 0rang warga Desa Cimacan yang merupakan rekomendasi dari responden kunci. Pemilihan responden kunci dilakukan dengan memilih responden yang memiliki pengetahuan terhadap pemanfaatan tumbuhan obat secara turun-temurun dalam keluarganya (Sofyan). Adapun data responden dapat dilihat pada Lampiran 2.

Data diambil dengan menggunakan tabel isian kuisioner yang meliputi jenis tumbuhan yang digunakan, macam penggunaan, bagian yang digunakan, proses pembuatan, dan cara penggunaannya (Lampiran 3).

3.4 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan cara deskriptif dengan menggunakan Program Microsoft Office excel 2007. Pengolahan data secara kuantitatif digunakan untuk memperoleh nama lokal, nama jenis, famili, habitus, bagian yang digunakan, dan manfaat/kegunaannya.

Hasil identifikasi jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dikelompokkan berdasarkan bagian yang digunakan. Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan dipersentasekan mulai dari bagian daun, bunga, buah, batang, akar, ataupun campuran dari semua bagiannya (Ernawati, 2009).


(41)

27

3.4.1 Indeks nilai penting

Indeks nilai penting merupakan indeks kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya. Pada lokasi penelitian dilakukan analisis kerapatan, frekuensi dan dominansi masing-masing jenis tumbuhan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasinya. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut (Purba, 2009) :

1) Kerapatan suatu jenis (K)

K = umlah indi idu uatu eni

ua t tal l t engamatan 2) Kerapatan relatif suatu jenis (KR)

KR (%) = era atan uatu eni

era atan eluruh eni x 100 %

3) Frekuensi suatu jenis (F)

F = umlah l t ditem ati uatu eni

umlah t tal l t 4) Frekuensi relatif suatu jenis (FR)

FR (%) =

rekuen i uatu eni

rekuen i eluruh eni x 100% Persentase bagian tertentu yang dimanfaatkan =

∑ bagian tertentu yang dimanfaatkan

= x 100%


(42)

28

5) Dominansi suatu jenis (D)

D (m2/ha) = ua bidang da ar uatu eni ua t tal l t

6) Dominansi relatif suatu jenis (DR)

DR (%) = mina i uatu eni

mina i eluruh eni x 100%

Indeks Nilai Penting (INP) untuk pohon dan tiang adalah Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif + Dominansi Relatif, sedangkan untuk tingkat pancang dan herba adalah Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif.

3.4.2 Tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan obat

Keanekaragaman jenis tumbuhan obat dihitung menggunakan indeks keanekaragaman Shannon (H’) (Odum, 1998).

Indeks eanekaragaman Shann n (H’) H’ = - Σ [Pi ln Pi]

dimana Pi

=

Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon Pi = Proporsi dari tiap jenis i

Ni = Jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah individu seluruh jenis


(43)

29

Semakin be ar nilai H’ menun ukkan semakin tinggi tingkat keanekaragaman jenis. Besarnya nilai keanekaragaman jenis Shannon didefinisikan sebagai berikut :

1) H’ > 3 = Keanekaragaman jenis tinggi. 2) 1 ≤ H’ ≤ 3 = Keanekaragaman jenis sedang. 3) H’ < 1 = Keanekaragaman jenis rendah. 3.4.3 Tingkat kekayaan jenis tumbuhan obat

Kekayaan jenis tumbuhan obat dihitung menggunakan indeks kekayaan jenis Margalef (R’) (Odum, 1998).

=S 1 ln Keterangan:

R = Indeks kekayaan jenis Margalef. S = Jumlah jenis.

N = Jumlah seluruh individu.

Indeks kekayaan jenis Margalef ( ’) merupakan indeks yang

menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya nilai ini dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal tersebut. Semakin besar nilai R’, menunjukan semakin tingginya kekayaan jenisnya. Besarnya nilai kekayaan jenis Margalef didefinisikan sebagai berikut :

1) R’ > 5 = Kekayaan jenis tinggi.

2) 3,5 ≤ ’ ≤ 5 R’ = ekayaan jenis sedang. 3) R’ < ,5 = Kekayaan jenis rendah.


(44)

30

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat di Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)

Tumbuhan obat yang ditemukan pada plot sampling di hutan TNGGP terdapat sebanyak 45 jenis yang berasal dari 29 famili. Jenis yang paling banyak dijumpai adalah dari famili Urticaceae sebanyak 4 jenis, Rubiaceae dan Arecaceae berjumlah 3 jenis, sedangkan famili lainnya memiliki anggota kurang dari 3 jenis (Tabel 4.1). Data jenis tumbuhan obat hutan TNGGP terdapat dalam Lampiran 4.

Tabel 4.1. Jumlah jenis tumbuhan obat pada plot sampling di hutan TNGGP

Banyaknya jenis tumbuhan obat yang ditemukan di hutan TNGGP pada penelitian ini lebih sedikit dibanding dengan penelitian Purnawan, 2006. Purnawan (2006) menemukan sebanyak 210 jenis tumbuhan obat dan merupakan

No Famili Jumlah jenis

1 Urticaceae 4

2 Rubiaceae 3

3 Arecaceae 3

4 Zingiberaceae 2

5 Euphorbiaceae 2

6 Fabaceae 2

7 Moraceae 2

8 Myrsinaceae 2

9 Piperaceae 2

10 Rosaceae 2

11 Sauraceae 2

12 Theaceae 2

13 Famili Lainnya (18 Famili) (Lihat Lampiran 4)


(45)

31

hampir sepertiga dari total jenis tumbuhan yang teridentifikasi di hutan TNGGP. Perbedaan jumlah jenis tumbuhan obat yang ditemukan dikarenakan berbedanya sampling yang dilakukan. Sampling yang dilakukan pada penelitian ini terbatas pada titik tertentu yang mewakili seluruh area sedangkan penelitian sebelumnya merupakan upaya inventarisasi tumbuhan obat yang ada di seluruh kawasan hutan TNGGP.

Data jenis tumbuhan obat yang terdapat di hutan TNGGP kurang memiliki arti yang signifikan untuk mendukung upaya pelestarian yang efektif jika data mengenai potensi dan penyebaran setiap jenisnya masih terbatas. Oleh karena itu, informasi mengenai identifikasi jenis yang akurat, kondisi stok atau populasi, gambaran penyebaran tempat tumbuh, dan taksiran kelangkaan atau kelimpahan tumbuhan obat sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaanya.

4.1.1 Indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis tumbuhan obat

Indeks keanekaragaman jenis digunakan untuk mengetahui variasi jenis pada suatu tempat dan indeks kekayaan jenis digunakan untuk menentukan tingkat kekayaan jenis yang dipengaruhi oleh keragaman dalam pembagian jenis yang merata dalam suatu kawasan (Hidayat dan Hardiasyah, 2012). Tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan obat pada plot pengamatan di hutan TNGGP yang dihitung menggunakan indeks Shannon (H’) untuk semua tingkat vegetasi memiliki keragaman yang terg l ng edang (H’ 1 ≤ H’ ≤ 3). Tingkat kekayaan jenis yang dihitung menggunakan indek Margalef ( ’) menun ukkan hanya ada


(46)

32

vegetasi herba yang memiliki kekayaan jenis tergolong tinggi ( ’ > 5) sedangkan habitus lainnya tergolong rendah ( ’ < 5) (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis tumbuhan obat pada plot sampling di hutan TNGGP

Habitus herba memiliki nilai kekayaan jenis yang tinggi karena banyaknya jenis tumbuhan obat yang ditemukan pada habitusnya tersebut. Tinggi rendahnya nilai keanekaragaman dan kekayaan jenis ditentukan oleh banyaknya jenis yang menyusun suatu komunitas tumbuhan. Begitupun sebaliknya, sedikitnya perjumpaan tumbuhan obat menyebabkan rendahnya nilai keanekaragaman dan kekayaan jenisnya (Asrianny, dkk., 2008). Dominansi jenis herba disebabkan jarangnya perjumpaan tumbuhan obat untuk tingkat tiang dan pohon, serta kecilnya nilai kerapatannya. Jarangnya jenis habitus tiang dan pohon menyebabkan berkurangnya daerah tutupan kawasan oleh tajuk, sehingga menyebabkan ruang dan nutrisi yang cukup serta cahaya matahari bisa langsung masuk ke lapisan tumbuhan bawah.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00

Herba Pancang Tiang Pohon

In

d

e

ks Indeks Shannon (H')


(47)

33

Topografi juga memiliki peran penting dalam pertumbuhan individu dalam masyarakat tumbuh-tumbuhan. Daerah dengan bentuk lapang yang sedikit dan lereng-lereng, hanya jenis tertentu saja yang dapat beradaptasi dalam kondisi seperti ini (Handayani, 2008). Keadaan topografi lokasi penelitian di hutan TNGGP berbentuk sedikit lapang dan sisanya merupakan lereng-lereng. Hal ini diduga yang menyebabkan sedikitnya jenis yang dijumpai tumbuhan obat pada tingkat tiang dan pohon di lokasi tersebut.

Keanekaragaman dan kekayaan jenis tumbuhan obat dalam suatu komunitas hutan perlu dijaga keberadaanya. Tumbuhan obat yang beragam jenis, habitus, dan khasiatnya memiliki peluang yang besar serta memiliki kontribusi dalam pembangunan dan pengembangan hutan (Hamzari, 2007).

4.1.2 Struktur dan komposisi vegetasi hutan TNGGP

Struktur hutan merupakan hasil penataan oleh komponen penyusun tegakan dan bentuk pertumbuhan. Struktur ini memiliki unsur penyusun yang berupa bentuk hidup, stratifikasi dan penutupan vegetasi yang digambarkan melalui keadaan diameter, tinggi, dan penyebaran dalam ruang. Komposisi hutan dapat diartikan sebagai variasi jenis yang menyusun suatu komunitas. Struktur hutan dengan komposisinya yang tertentu akan berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan atau habitatnya (Purba, 2009). Berdasarkan hasil analisis vegetasi, didapatkan struktur dan komposisi hutan TNGGP sebagai berikut:

a) Analisis vegetasi tingkat herba

Vegetasi herba memiliki 42 jenis dengan 28 famili. Jenis Cyrtandra picta merupakan jenis yang mendominasi dengan INP tertinggi yaitu sebesar 17,79%,


(48)

34

dan INP terendah adalah Altingia excelsa serta 17 jenis lainnya sebesar 2,27% (Tabel 4.2). Berdasarkan hasil analisis, terdapat 31 jenis tumbuhan obat dengan 22 famili. Jenis C. picta merupakan jenis yang mendominasi dalam vegetasinya dan merupakan jenis tumbuhan obat. Jenis tersebut memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi di kawasan Gunung Gede Pangrango, terlihat dari dominansinya pada vegetasi herba di hutan TNGGP. Banyaknya jenis tumbuhan obat yang ditemukan pada tingkat herba menunjukkan bahwa tumbuhan obat dapat beradaptasi dan berkembang biak dengan baik dan memiliki peranan dan kontribusi yang besar dalam penyusunan komunitas tumbuhan didalamnya.

Tabel 4.2. Analisis vegetasi tingkat herba di hutan TNGGP

No Nama jenis Famili K KR

(%) F FR (%)

INP (%)

1 Cyrtandra picta* Gesneriaceae 1,04 12,52 0,50 5,27 17,79

2 Isachne pangerangensis Poaceae 1,25 15,04 0,17 1,79 16,84

3 Strobilanthus fifilfor* Acanthaceae 0,63 7,58 0,50 5,27 12,86

4 Nephrolepis biserrata Polypodiaceae 0,42 5,05 0,67 7,07 12,12

5 Plectocomia elongata* Arecaceae 0,50 6,02 0,50 5,27 11,29

6 Athyrium puncticaule* Athyriaceae 0,58 6,98 0,33 3,48 10,46

7 Rubus sunndaicus* Rosaceae 0,46 5,54 0,33 3,48 9,02

8 Amomum coccineum* Zingiberaceae 0,29 3,49 0,33 3,48 6,97

9 Elatostema negrescens* Urticaceae 0,42 5,05 0,17 1,79 6,85

10 Aeschynanthus horsfieldii Gesneriaceae 0,33 3,97 0,17 1,79 5,76

11 Hedychium coronarium* Zingiberaceae 0,33 3,97 0,17 1,79 5,76

12 Pinanga coronata* Arecaceae 0,17 2,05 0,33 3,48 5,53

13 Symplocos odoratissima* Symplocaceae 0,13 1,56 0,33 3,48 5,05

14 Hyphobathrum frutescens* Rubiaceae 0,08 0,96 0,33 3,48 4,44

15 Euchresta horsfieldii* Fabaceae 0,17 2,05 0,17 1,79 3,84

16 Curculigo capitulata* Hypoxidaceae 0,13 1,56 0,17 1,79 3,36

17 Schismatoglottis calyptrata* Arecaceae 0,13 1,56 0,17 1,79 3,36

18 Tetrastigma dichotomum* Vitaceae 0,13 1,56 0,17 1,79 3,36

19 Ardisia fuliginosa* Myrsinaceae 0,08 0,96 0,17 1,79 2,76

20 Lithocarpus pseudomoluccus Fagaceae 0,08 0,96 0,17 1,79 2,76

21 Litsea resinosa Lauraceae 0,08 0,96 0,17 1,79 2,76

22 Rubus moluccanus* Rosaceae 0,08 0,96 0,17 1,79 2,76


(49)

35

Tabel 4.2 (Lanjutan…)

No Nama jenis Famili K KR

(%) F FR (%)

INP (%)

24 Asplenium caudatum Aspleniaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

25 Castanopsis argentea Fagaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

26 Castanopsis javanica Fagaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

27 Commelina obligua* Commelinaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

28 Cyatea latebrosa Cyatheaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

29 Diplasium palidum Woodsiaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

30 Ficus ribes* Moraceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

31 Laportea stimulans* Urticaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

32 Litsea cassiaefolia* Lauraceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

33 Mussaenda frondosa* Rubiaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

34 Pandanus furcatus* Pandanaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

35 Passiflora suberosa* Passifloraceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

37 Pilea melastomoides* Urticaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

38 Piper aduncum* Piperaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

39 Piper sarmentosum* Piperaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

40 Pithecellobium clypearia* Fabaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

41 Travesia sundaica* Araliaceae 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

42 Turpinia sphaerocarpa Staphyleacea 0,04 0,48 0,17 1,79 2,27

Keterangan : * Jenis tumbuhan obat

b) Analisis vegetasi tingkat pancang

Vegetasi pancang memiliki 16 jenis dengan 13 famili. Jenis Eugenia lineata, Castanopsis javanica, dan Litsea resinosa merupakan jenis yang mendominasi dengan INP tertinggi yaitu 16,69%, jenis lainnya memiliki INP yang sama yaitu sebesar 11,36% (Tabel 4.3).

Berdasarkan hasil analisis, terdapat 9 jenis tumbuhan obat dengan 8 famili. Jenis E. lineata merupakan salah satu jenis tumbuhan obat yang mendominasi. Tingginya nilai INP menunjukkan bahwa jenis E. lineata merupakan jenis tumbuhan obat memiliki peranan penting dalam penyusunan komunitasnya didalamnya.


(50)

36

Tabel 4.3. Analisis vegetasi tingkat pancang di hutan TNGGP

No Nama jenis Famili K KR

(%) F

FR (%)

INP (%)

1 Castanopsis javanica Fagaceae 0,01 6,25 0,33 10,44 16,69

2 Eugenia lineata* Myrtaceae 0,01 6,25 0,33 10,44 16,69

3 Litsea resinosa Lauraceae 0,01 6,25 0,33 10,44 16,69

4 Casearia tuberculata Flacourtiaceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63

5 Cryptocarya ferrea Lauraceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63

6 Engelhardia spicata Juglandaceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63

7 Ficus toxicaria* Moraceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63

8 Flacaurtia rukam* Flacourtiaceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63

9 Mycetia cauliflora* Rubiaceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63

10 Ostodes paniculata* Euphorbiaceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63

11 Saurauia blumiana* Sauraceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63

12 Saurauia pendula* Sauraceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63

13 Sloanea sigun Elaeocarpaceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63

14 Travesia sundaica* Araliaceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63

15 Turpinia sphaerocarpa Staphyleacea 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63 16 Villebrunea rubescens* Urticaceae 0,01 6,25 0,17 5,38 11,63 Keterangan : * Jenis tumbuhan obat

c) Analisis vegetasi tingkat tiang

Vegetasi tiang memiliki 10 jenis tumbuhan dengan 10 famili. Jenis Turpinia sphaerocarva merupakan jenis yang memiliki INP tertinggi yaitu sebesar 59,99%, dan jenis Ostodes paniculata, Ardisia villosa, dan Neonacluea lanceolata merupakan jenis tumbuhan dengan INP terendah yaitu sebesar 17,19% (Tabel 4.4).

Berdasarkan hasil analisis, terdapat 5 jenis tumbuhan obat dengan 5 famili yang berbeda. F. ribes memiliki INP tertinggi kedua dalam vegetasinya. Jenis tersebut memiliki daerah tutupan yang cukup luas yang terlihat dari nilai dominansinya. Besarnya nilai dominansi menunjukkan bahwa tumbuhan tersebut merupakan salah satu jenis tumbuhan obat yang memiliki pengaruh dalam komunitasnya.


(51)

37

Tabel 4.4. Analisis vegetasi tingkat tiang di hutan TNGGP

No Nama jenis Famili K KR

(%) F

FR (%)

D

(m2/ha) DR

INP (%) 1 Turpinia

sphaerocarpa

Staphyleacea 116,66 28,00 0,67 25,19 0,17 6,80 59,99

2 Ficus ribes* Moraceae 50,00 12,00 0,33 12,41 0,33 13,20 37,61

3 Polyosma ilicifolia

Escalloniaceae 50,00 12,00 0,33 12,41 0,33 13,20 37,61

4 Litsea cassiaefolia*

Lauraceae 66,66 16,00 0,33 12,41 0,17 6,80 35,21

5 Symplocos odoratissima*

Symplocaceae 50,00 12,00 0,17 6,39 0,17 6,80 25,19

6 Castanopsis javanica

Fagaceae 16,67 4,00 0,17 6,39 0,33 13,20 23,59

7 Prunus arborea

Rosaceae 16,67 4,00 0,17 6,39 0,33 13,20 23,59

8 Ostodes paniculata*

Euphorbiaceae 16,67 4,00 0,17 6,39 0,33 13,20 23,59

9 Ardisia villosa*

Myrsinaceae 16,67 4,00 0,17 6,39 0,17 6,80 17,19

10 Neonacluea lanceolata

Rubiaceae 16,67 4,00 0,17 6,39 0,17 6,80 17,19

Keterangan : * Jenis tumbuhan obat

d) Analisis vegetasi tingkat pohon

Vegetasi pohon memiliki 19 jenis dengan 15 famili. Schima walichii merupakan jenis yang mendominasi baik dari segi penguasaan daerah yang ditutupi/kerimbunannya, maupaun frekuensi banyaknya plot ditemukan jenis tersebut. Jenis tersebut memiliki nilai INP tertinggi, yakni 44,52%. INP terendah dimiliki oleh jenis Toona sureni yaitu sebesar 5,77% (Tabel 4.5).

Berdasarkan hasil analisis, terdapat 9 jenis tumbuhan obat dengan 7 famili. Jenis S. walichii merupakan jenis tumbuhan obat yang paling mendominasi dalam vegetasinya. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut memiliki pola penyesuaian yang besar, dan berperan penting dalam penyusunan komunitas tumbuhan obat yang ada didalamnya. Jenis S. walichii memiliki potensi untuk dikembangkan dan dibudidayakan, selain karena potensinya sebagai tumbuhan obat, jenis tersebut juga merupakan tumbuhan yang banyak dimanfaatkan kayunya oleh masyarakat.


(52)

38

Tabel 4.5. Analisis vegetasi tingkat pohon di hutan TNGGP

No Nama jenis Famili K KR

(%) F

FR (%)

D

(m2/ha) DR

INP (%)

1 Schima

walichii*

Theaceae 33,33 19,05 0,83 15,57 1,96 9,90 44,52

2 Engelhardia spicata

Juglandaceae 4,17 2,38 0,17 3,19 5,29 26,72 32,29

3 Castanopsis argentea

Fagaceae 25,00 14,29 0,50 9,31 1,33 6,72 30,31

4 Ardisia villosa*

Myrsinaceae 25,00 14,29 0,67 12,57 0,25 1,26 28,12

5 Castanopsis javanica

Fagaceae 12,50 7,14 0,50 9,31 2,10 10,61 27,06

6 Prunus arborea

Rosaceae 4,17 2,38 0,17 3,19 2,88 14,55 20,12

7 Ostodes paniculata*

Euphorbiaceae 8,33 4,76 0,17 3,19 1,04 5,25 13,20

8 Magnolia blumea

Magnoliaceae 4,17 2,38 0,17 3,19 1,46 7,37 12,94

9 Macaranga

rhizinoides*

Euphorbiaceae 8,33 4,76 0,33 6,19 0,29 1,46 12,42

10 Persea excelsa Lauracae 8,33 4,76 0,33 6,19 0,29 1,46 12,42

11 Sloanea sigun Elaeocarpaceae 4,17 2,38 0,17 3,19 0,92 4,65 10,22

12 Pithecellobium clypearia*

Fabaceae 8,33 4,76 0,17 3,19 0,25 1,26 9,21

13 Gordonia excelsa*

Theaceae 4,17 2,38 0,17 3,19 0,50 2,53 8,10

14 Vernonia arboria*

Asteraceae 4,17 2,38 0,17 3,19 0,42 2,12 7,69

15 Acer laurinum Sapindaceae 4,17 2,38 0,17 3,19 0,38 1,92 7,49

16 Ficus ribes* Moraceae 4,17 2,38 0,17 3,19 0,17 0,86 6,43

17 Castanopsis tunggurut

Fagaceae 4,17 2,38 0,17 3,19 0,13 0,66 6,23

18 Turpinia sphaerocarpa

Staphyleacea 4,17 2,38 0,17 3,19 0,13 0,66 6,23

19 Toona sureni* Meliaceae 4,17 2,38 0,17 3,19 0,04 0,20 5,77

Keterangan : * Jenis tumbuhan obat

Berdasarkan data-data diatas, terlihat bahwa masing-masing jenis tumbuhan diwakili oleh sedikit jenis individu. Hal ini disebabkan oleh keragaman jenis yang cukup tinggi di hutan alami, sehingga menyebabkan tidak adanya satu jenis yang sangat dominan. Tingginya keragaman di hutan alami disebabkan karena terdapatnya heterogenitas habitat di kawasan tersebut.


(53)

39

4.2 Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat di Hutan Terfragmentasi Kebun Raya Cibodas (KRC)

Tumbuhan obat di hutan terfragmentasi KRC terdapat sebanyak 59 jenis yang berasal dari 39 famili. Jenis yang paling banyak dijumpai adalah dari famili Rubiaceae dan Arecaceae masing-masing berjumlah 5 jenis, Moraceae dan Zingiberaceae berjumlah 3 jenis, sedangkan 35 famili lainnya memiliki anggota kurang dari 3 jenis (Tabel 4.6). Tumbuhan obat di hutan terfragmentasi KRC terdapat dalam Lampiran 5.

Tabel 4.6. Jumlah jenis tumbuhan obat di hutan terfragmentasi KRC

No Famili Jumlah jenis

1 Rubiaceae 5

2 Arecaceae 5

3 Moraceae 3

4 Zingiberaceae 3

5 Apocynaceae 2

6 Euphorbiaceae 2

7 Hydrangeaceae 2

8 Myrsinaceae 2

9 Piperaceae 2

10 Sauraceae 2

11 Symplocaceae 2

12 Theacea 2

13 Urticaceae 2

14 Famili lainnya (26 Famili). (Lihat Lampiran 5)

1

Jenis tumbuhan obat yang mendominasi dengan jumlah individu paling banyak ditemukan di hutan terfragmentasi KRC adalah jenis C. picta. Jenis tersebut juga memiliki dominansi yang tinggi di hutan TNGGP. C. picta merupakan anggota dari famili Gesneriaceae yang memiliki khasiat sebagai pereda demam dan bengkak pada bagian tubuh tertentu. Hampir semua jenis dari famili Gesneriaceae berkembang biak dengan cara penyerbukan melalui hewan.


(54)

40

Burung menjadi pemeran utama dalam proses penyerbukan dan persebaran benih tumbuhannya. Hal tersebut yang menyebabkan jenis C. picta memiliki jumlah jenis individu paling banyak pada semua habitus.

Diantara jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan terfragmentasi KRC, terdapat jenis tumbuhan asing yang merupakan tumbuhan yang diintroduksi dan dikoleksi oleh KRC yaitu Piper aduncum. Jenis P. aduncum merupakan tumbuhan yang pada awalnya berasal dari Kebun Raya Bogor kemudian diintroduksi pada tahun 1860, berasal dari tepi hutan dan daerah terbuka di Argentina dan Meksiko (Mutaqien, dkk., 2011).

4.2.1 Indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis tumbuhan obat

Berdasarkan habitusnya, keanekaragaman jenis tingkat herba dan pancang lebih beragam dibandingkan dengan tingkat tiang dan pohon. Tingkat keanekaragaman jenis tiang dan pohon yang dihitung menggunakan indeks Shann n (H’) menunjukkan keanekearagaman yang tergolong rendah (H’ < 1) dengan rata-rata nilai indeks masing-masing yaitu 0,61, dan 0,78, sedangkan untuk tingkat herba dan pancang terg l ng edang (1 ≤ H’ ≤ 3) dengan rata-rata nilai indeks masing-masing yaitu 1,47 dan 1,67.

Abdiyani (2008) menjelaskan bahwa tumbuhan di hutan terbentuk kedalam lapisan-lapisan yaitu : 1) Pohon-pohon yang sangat menjulang tinggi, 2) lapisan tajuk, yang membentuk permadani hijau berkesinambungan dengan tinggi 80-100 kaki, dan 3) stratum tumbuhan bawah yang terdiri atas lapisan semak dan herba, dan dapat menjadi lebat jika terjadi pembukaan tajuk. Dominansi jenis tumbuhan obat pada tingkat herba dan pancang disebabkan oleh


(55)

41

rendahnya jenis pada tingkat tiang dan pohon. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya daerah tutupan kawasan oleh tajuk sehingga menyebabkan ruang dan nutrisi yang cukup serta cahaya matahari bisa langsung masuk ke lapisan tumbuhan bawah. Hal ini tentu mengeuntungkan bagi tumbuhan bawah dengan kecepatan tumbuh yang tinggi dan membutuhkan ruang, nutrisi, dan cahaya matahari lebih banyak untuk bereproduksi sehingga jenisnya menjadi melimpah.

Gambar 4.2. Tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan obat di hutan terfragmentasi KRC

Hal serupa terlihat pada nilai indeks kekayaan jeni Margalef ( ’) ada Gambar 4.3, kekayaan jenis tingkat herba dan pancang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat tiang dan pohon. Kekakayaan jenis tingkat herba yang dihitung menggunakan indek Margalef ( ’) terg l ng edang ( ’ = 3,5 –5) dengan indeks rata-ratanya 3,50, sedangkan untuk tingkat pancang, tiang, dan pohon tergolong rendah ( ’ < 5) dengan rata-rata indeks masing-masing yaitu 3,24, 0,60, dan 1,06.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2

Herba Pancang Tiang Pohon

In

d

e

ks Sh

an

n

o

n

(H')

Hutan Wornojiwo Hutan Kompos Hutan Jalan Akar


(56)

42

Gambar 4.3. Indeks kekayaan jenis tumbuhan obat di hutan terfragmentasi KRC

Rendahnya keanekaragaman dan kekayaan jenis tumbuhan obat untuk tingkat tiang dan pohon di hutan Wornojiwo dan Kompos disebabkan sedikitnya dijumpai jenis tumbuhan obat pada kawasan tersebut. Sedikitnya jenis tumbuhan obat dapat disebabkan oleh gangguan aktivitas manusia karena memang kedua lokasi tersebut dekat dengan pemukiman warga dan berbatasan langsung dengan jalan KRC yang merupakan daerah wisata. Selain itu, karena ukurannya yang kecil dan tingginya derajad fragmentasi menyebabkan sisa hutan KRC tersebut rentan terhadap gangguan biotik maupun abiotik (Mutaqien, dkk., 2011).

4.2.2 Struktur dan komposisi vegetasi di KRC

Vegetasi hutan terfragmentasi KRC yang terbagi kedalam tiga lokasi penelitian yang berbeda yaitu hutan Wornojiwo, Kompos, dan Jalan Akar. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, didapatkan struktur dan komposisi hutan terfragmentasi KRC sebagai berikut:

0 1 2 3 4 5 6

Herba Pancang Tiang Pohon

In

d

e

ks

Ma

rgal

ef

(R'

)

Hutan Wornojiwo Hutan Kompos Hutan Jalan Akar


(57)

43

a) Analisis vegetasi tingkat herba

Hutan Wornojiwo memiliki 25 jenis tumbuhan dengan 17 famili. Jenis yang mendominasi dengan INP tertinggi adalah C. picta dengan INP 35,07% sedangkan P. aduncum dengan 6 jenis lainnya memiliki INP terendah yaitu 4,6% (Tabel 4.7). Berdasarkan hasil analisis, terdapat 18 jenis tumbuhan obat dengan 15 famili. Jenis C. picta merupakan jenis yang mendominasi dalam vegetasinya dan merupakan jenis tumbuhan obat. Jenis C. picta mendominasi dari segi kerapatan maupun banyaknya ditemukan jenis tesebut didalam plot.

Komposisi vegetasi herba di hutan Kompos meliputi 23 jenis tumbuhan dengan 19 famili. Jenis C. picta memiliki INP tertinggi yaitu sebesar 29% sedangkan Sloanea sigun serta 13 jenis lainnya memiliki INP terendah yaitu 5,0%. (Tabel 4.7). Berdasarkan hasil analisis, terdapat 15 jenis tumbuhan obat dengan 13 famili. Jenis C. picta merupakan tumbuhan obat yang memiliki peranan dan kontribusi yang besar dalam penyusunan komunitasnya.

Hutan Jalan Akar memiliki 18 jenis dengan 14 famili. Peristrophe hyssopifolia merupakan jenis dengan INP tertinggi, yakni 39,4% dan jenis Alpinia malaccensis dan 6 jenis lainnya memiliki INP terendah yaitu 4,8% (Tabel 4.7). Berdasarkan hasil analisis, terdapat 12 jenis tumbuhan obat dengan 11 famili.

Komposisi vegetasi tingkat herba pada ketiga hutan terfrgamentasi KRC menunjukkan adanya kesamaan jenis tumbuhan obat yang paling berkontribusi dalam penyusunan komunitasnya. Jenis C. picta merupakan tumbuhan obat yang mendominasi pada vegetasi herba di ketiga hutan terfragmentasi KRC. Dominansi


(58)

44

jenis-jenis tumbuhan obat pada vegetasi herba di hutan Wornojiwo, Kompos dan Jalan Akar menunjukkan bahwa jenis tumbuhan obat memiliki kontribusi dan peranan yang penting dalam penyusunan komunitasnya. Keberagaman dan pentingnya tumbuhan obat dalam vegetasinya memiliki peluang yang besar dalam pembangunan dan pengembangan hutan.

Tabel 4.7. Analisis vegetasi tingkat herba di hutan Wornojiwo, Kompos, dan Jalan Akar

No Nama jenis

Wornojiwo Kompos Jalan Akar

KR (%) FR (%) INP (%) KR (%) FR (%) INP (%) KR (%) FR (%) INP (%)

1 Alpinia malaccensis* 1,8 3,7 5,5 1,4 4,0 5,4 0,6 4,3 4,8

2 Ardisia fuliginosa* 9,2 3,7 13,0 - - - -

3 Arenga pinnata* 0,9 3,7 4,6 - - - -

4 Arisaema inclusum - - - 1,4 4,0 5,4 1,4 4,0 5,4

5 Asplenium nidus* - - - 1,4 4,0 5,4 2,9 4,3 7,2

6 Begonia robusta* - - - 0,6 4,3 4,8

7 Calamus heteroides 0,9 3,7 4,6 - - - 2,3 8,3 10,6

8 Calamus reinwardtii 7,3 3,7 11,0 5,5 4,0 9,5 5,5 4,0 9,5

9 Cestrum purpureum* 3,7 3,7 7,4 4,2 4,0 8,2 2,3 4,3 6,6

10 Commelina nudiflora* 11,1 3,7 15,0 - - - -

11 Commelina paludosa - - - 1,4 4,0 5,4 1,4 4,0 5,4

12 Cyperus rotundus* - - - 0,6 4,3 6,6

13 Cryptocarya ferrea 0,9 3,7 4,6 - - - -

14 Cyrtandra grandis 2,8 3,7 6,5 - - - 0,6 4,3 -

15 Cyrtandra oblonga - - - 23,0 8,3 31,4

16 Cyrtandra picta* 31,4 3,7 35,0 24,6 4,0 29,0 16,7 8,3 25,0

17 Dichroa febrifuga * 1,8 3,7 5,5 1,4 4,0 5,4 1,4 4,0 5,4

18 Elaeagnus triflora* 0,9 3,7 4,6 - - - -

19 Elaeocarpus stipularis* - - - 1,4 4,0 5,4 1,4 4,0 5,4

20 Elatostema srigosum* - - - 5,5 4,0 9,5 4,1 4,3 8,3

21 Euchresta horsfieldii* - - - 0,6 4,3 4,8

22 Ficus hispida* 1,8 3,7 5,5 - - - -

23 Ficus obscura* 1,8 3,7 5,5 - - - -

24 Helicia serrata* 1,8 7,4 9,2 - - - -

25 Homalomena pendula* - - - 0,6 4,3 4,8

26 Leea indica* 0,9 3,7 4,6 - - - -

27 Litsea noronhae - - - 1,2 8,3 9,5

28 luvunga sarmentosa* - - - 1,4 4,0 5,4 1,4 4,0 5,4

29 Macropanax dispermum 0,9 3,7 4,6 2,7 4,0 6,7 2,7 4,0 6,7

30 Musa acuminate* - - - 1,4 4,0 5,4 1,4 4,0 5,4

31 Mycetia cauliflora* 1,8 3,7 5,5 1,4 4,0 5,4 1,4 4,0 5,4

32 Nephrolepis biserrata - - - 15,1 4,0 19,0 6,9 8,3 39,4

33 Ophiopogon caulescens - - - 1,4 4,0 5,4 1,4 4,0 5,4

34 Ostodes paniculata* 1,8 3,7 5,5 - - - -

35 Pavetta Montana 1,8 3,7 5,5 - - - -

36 Peristrophe hyssopifolia - - - 31,1 8,3 39,4


(59)

45

Tabel 4.7 ( an utan…)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

38 Piper sarmentosum* - - - 1,4 4,0 5,4 1,4 4,0 5,4

39 Plectocomia elongata * 2,8 3,7 6,5 1,4 4,0 5,4 1,4 4,0 5,4

40 Polygala venenosa* - - - 2,7 4,0 6,7 2,7 4,0 6,7

41 Pteris biaurita - - - 1,4 4,0 5,4 - - -

42 Rubus moluccanus* - - - 2,9 4,3 7,2

43 Sanicula europhea 4,7 3,7 8,4 - - - -

44 Saurauia pendula* - - - 0,6 4,3 4,8

45 Schismatoglottis calyptrata* - - - 13,7 8,0 22,0 2,9 4,3 4,8

46 Sloanea sigun - - - 1,4 4,0 5,4 1,4 4,0 5,4

47 Smilax macrocarpa* 3,7 7,4 11,0 - - - -

48 Zingiber infleksum* 2,8 3,7 6,5 6,9 8,0 15,0 6,9 8,0 14,9

Keterangan : * Jenis tumbuhan obat, - Jenis tidak terdapat di lokasi sampling

b) Analisis vegetasi tingkat pancang

Hutan Wornojiwo memiliki 28 jenis tumbuhan dengan 21 famili. Jenis Ostodes paniculata merupakan jenis dengan INP tertinggi yaitu sebesar 19,2% dan jenis Alstonia scholaris serta 9 jenis lainnya memiliki INP terendah yaitu sebesar 3,7% (Tabel 4.8). Berdasarkan hasil analisis, terdapat 20 jenis tumbuhan obat dengan 16 famili. Jenis O. paniculata merupakan jenis tumbuhan obat dengan INP tertinggi. Jenis tersebut memiliki peranan dan kontribusi yang besar dalam penyusunan komunitasnya.

Komposisi vegetasi pancang di hutan Kompos memiliki 24 jenis dengan 14 famili yang didominasi oleh jenis Lasianthus rigidus dengan INP sebesar 17,3%. Sedangkan INP terendah dimiliki oleh Antidesma tetandrum dan 10 jenis lainnya dengan INP 5,8% (Tabel 4.8). Berdasarkan hasil analisis, terdapat 16 jenis tumbuhan obat dengan 11 famili. L. rigidus merupakan jenis tumbuhan obat yang mendominasi dalam komunitas tumbuhan didalamnya.

Hutan Jalan Akar memiliki 19 jenis dengan 17 famili yang didominasi oleh jenis Calamus heteroides dengan INP tertinggi yaitu 33,2% dan Ardisia fuliginosa serta 8 jenis lainnya memiliki INP terendah yaitu 7,0% (Tabel 4.8).


(1)

87

1 2 3 4 5 6 7

118 Panglai Zingiber purpureum Zingiberaceae Obat mules, stimulan Rimpang Dijadikan ramuan jamu dengan tumbuhan rhizom lainnya 119 Pare Momordica charantaia Cucurbitaceae Obat liver, empedu, dan

penambah nafsu makan Daun Direbus, lalu diminum airnya 120 Pasi Passiflora edulis Passifloraceae Obat panas dalam Daun Direbus, lalu diminum airnya 121 Pecah beling Gardenia longifolia Rubiaceae Obat sakit pinggang Semua bagian Digodog, lalu diminum airnya 122 Pisang kole Musa acuminata Musaceae Obat cepat kering luka Batang Batang ditebas, diambil getahnya

lalu dioleskan ke luka 123 Poh'pohan Pilea melastomoides Urticaceae Obat kangker, mual Daun Dilalap

124 Pongporang Oroxylum indicum Bignoniaceae Obat liver Kulit batang Digodog, lalu diminum airnya 125 Pule Alyxia Reinwardtii Apocynaceae Obat liver, diabetes Kulit batang Digodog, lalu diminum airnya 126 Pungpurutan Ureana lobata Malvaceae Obat rematik, Persendian Akar Akar direbus, lalu diminum airnya 127 Rendeu badak Cyrtandra picta Gesneriaceae Obat penurun panas, step Daun Daun ditumbuk, lalu di balurkan

ke kulit

128 Rendeu beureum Cyrtandra populifolia gesneriaceae Obat penurun panas Daun Daun ditumbuk, lalu di balurkan ke kulit

129 Rukem Flacaurtia rukam Flacourtiacea Obat diare Buah Langsung dimakan

Lampiran 6 (Lanjutan…)


(2)

88

1 2 3 4 5 6 7

130 Rumput teki Cyperus rotundus Cyperaceae Obat flu, keputihan, diuretik Umbi

Direbus dengan akar pegagan dan alang-alang, diminum airnya

131 Salada Nasturtium backeri Brasicaceae Obat anti kanker Daun Di buat lalapan 132 Salak Salacca edulis Arecaceae Obat wasir Biji Dibuat kopi

133 Saliara/stekan Lantana camara Verbenaceae Obat sakit kulit, Rematik Daun Direbus, lalu airnya di minum 134 Sanagori Sida rhombifolia Malvaceae Obat sakit gigi Akar Akar air ditumbuk, diberi air

dan dijadikan obat kumur 135 Santoloyo/sintrong Gynura aromatica Asteraceae Obat magh, gemuk badan Semua

bagian Dilalap, ditumis 136 Sarikaya Annona squamosa Annonaceae Obat pencahar kencing daun, biji,

akar Digodog, lalu airnya diminum 137 Seladri gunung Sanicula elata Umelliferaceae Obat sakit pinggang, darah

tingggi, penyubur rambut Daun

Di kukus, atau dilalap, di gosokkan ke kepala untuk penyubur rambut

138 Sembung gunung Blumea balsamifera Asteraceae Obat pasca nifas, cacingan Daun

Direbus dengan air dan daun artemisia, air rebusannya diminum

139 Sente Alocasia macrorrhiza Araceae Obat batuk Batang Getah yang keluar dari batang diminum

140

Sereh

leuweung/rindu leutik

Piper arcuatum Piperaceae Obat batuk Daun Daun direbus, air rebusannya diminum


(3)

89

1 2 3 4 5 6 7

141 Sereuh kandel Piper baccatum Piperaceae Obat bau mulut Daun Daun dikunyah 142 Seureuh Piper betle Piperaceae Obat magh, batuk, bau

badan Daun Digodog, lalu diminum airnya Seureuh Piper betle Piperaceae Obat pengering luka Daun Ditumbuk, lalu ditempelkan

ke luka

Seureuh Piper betle Piperaceae Obat batuk Semua bagian Diredam didalam botol berisi air, lalu diminum

Seureuh Piper betle Piperaceae Mata kelilipan Daun

Sereh di rendam didalam segelas air, kemudian dibilaskan ke mata 143 Seureuh tangkal Piper miniatum Piperaceae Obat tetes mata untuk

bayi Daun

Daun ditumbuk, airnya diteteskan ke mata 144 Singgugu Clerodendrum

serratum Verbenaceae Obat sariawan, panas Daun Digodog, dan dibuat tehh 145 Singkong Manihot utilisima Euphobiaceae Obat magh/asam lambung Umbi

Diparut, lalu diperas, dicampur gula merah dan diminum

146 Suji Pleomele angustifolia Liliaceae Obat disentri, keputihan Daun Direbus, air rebusannya di minum

147 Takokak Solanum torvum Solanaceae Obat magh Buah Dibuat lalapan 148 Tataropongan/Paku

ekor kuda Equisetum debile Equisetaceae

Obat luar bagian kulit

yang sakit Daun

Daun ditumbuk lalu di poko kan ke bagian yang sakit 149 Teeh Thea sinensis Theaceae Obat sakit kepala Daun

Teeh diseduh, ditambah sedikit gula lalu tiduran dengan leher diganjal bantal tuk meregangkan otot

Lampiran

6 (Lanjutan…)


(4)

90

1 2 3 4 5 6 7

150 Teklan Eupatorium riparium Asteraceae Obat luka Daun Daun ditumbuk lalu ditempelkan ke luka 151 Tepus sigung Amomum pseudofoetens Zingiberaceae Obat memar Rimpang Diparut, lalu dibubuhkan ke

luka 152 Terong belanda Solanum

aculeatissimum Solanaceae Obat hipertensi

Buah, daun

muda Langsung dimakan 153 Terong belang Solanum melongena Solanaceae Menurunkan kolesterol Buah Dilalap

154 Teter Solanum verbascifolium Solanaceae Obat patah tulang Batang dan kulit batang

Getah batang dioleskan pada bagian patah tulang

155 Tobat barito Ficus deltoidea Moraceae Obat penambah stamina, Sari rapet

Semua

bagian Digodog, lalu airnya diminum 156 Tomat Solanum lycopersicum Solanaceae Obat Pusing Pucuk daun Dimakan langsung

Tomat Solanum lycopersicum Solanaceae Obat hipertensi Buah Direbus, atau diblender 157 Tongtak Zingiber odoriperum Zingiberaceae Obat mengeluarkan bisa Rimpang

Akar rimpang ditumbuk, lalu di bubuhkan ke bagian terkena bisa tanpa menutupi lubang bisa masuk

158 Tongtak leutik Zingiber inflexum Zingiberaceae Obat sesak nafas Rimpang Direbus, air rebusannya di minum

159 Totongoan Debregeasia longifolia Urticaceae Panas dalam, sakit

pinggang Buah Dimakan langsung

160 Ubi jalar Dioscorea pentaphylla Dioscoreaceae Obat maag Umbi Direbus, lalu dimakan

161 Walen Ficus ribes Moraceae Obat sakit gigi bolong Batang Getah dari batang dioleskan ke gigi yang sakit

162 Waluh Cucurbita moschata Cucurbitaceae Obat sakit maag Buah Di rebus, lalu dimakan

Lampiran 6 (Lanjutan…)


(5)

91

Keterangan :

Lampiran 7. Dokumentasi kegiatan penelitian

b

c

a

d

e

f

a. Pembuatan plot penelitian b. Pendataan jenis tumbuhan obat c. Pengukuran diameter pohon

d, Wawancara dengan tabib Desa Cimacan e. Wawancara dengan paraji Desa Cimacan f. Wawancara dengan masyarakat Desa Cimacan


(6)

92

Keterangan :

Lampiran 8. Dokumentasi tumbuhan obat

a

b

c

e

d

f

g

h

i

a. Budidaya tumbuhan obat di pekarangan warga b. Jenis Orthosiphon aristatus

c. Jenis Agerotum conyzoides d. Jenis Artemisia vulgaris e. Jenis Physalis minima f. Jenis Polygala venenosa g. Jenis Piper beatle h. Jenis Zingiber officinale i. Jenis Pilea Melastomoides