Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango: Sikap dan Strategi Bertahan Petani
PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK AGRARIA
KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE
PANGRANGO: SIKAP DAN STRATEGI
BERTAHAN PETANI
IRMA HANDASARI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan Resolusi
Konflik Agraria Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango: Sikap dan
Strategi Bertahan Petani adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya
melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Irma Handasari
NIM I34090136
ABSTRAK
IRMA HANDASARI. Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango: Sikap dan Strategi Bertahan Petani.
Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO.
Pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan pada kasus perluasan TNGGP
di Desa Ciputri Blok Sarongge Girang menyebabkan gabungan kelompok tani
hutan Sawargi terpecah menjadi dua yakni kelompok yang telah menyatakan
keluar dari garapan dan kelompok yang masih menggarap di kawasan. Penelitian
ini bermaksud untuk melihat sikap kelompok tani dan hubungan antara sikap
kelompok tani dengan strategi bertahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sikap yang dihasilkan oleh kedua kategori kelompok tani tersebut sama-sama
positif. Hal ini menunjukkan bahwa sikap terbentuk berdasarkan fakta sosial yang
berlaku di dalam Gapoktan Sawargi. Terdapat hubungan hanya pada sikap dengan
tingkat resistensi petani yang telah menyatakan keluar dari garapan. Pada tingkat
ketergantungan petani penggarap dan tingkat resistensi petani yang masih
menggarap tidak terdapat hubungan. Hal ini dikarenakan keputusan strategi
bertahan muncul akibat adanya pergolakan dari collective action akan kebutuhan
lahan tiap individu dan disisi lain sikap muncul akibat adanya tekanan dari fakta
sosial yang berlaku di dalam Gapoktan Sawargi.
Kata kunci: pengelolaan resolusi konflik agraria, petani penggarap hutan, sikap
petani penggarap, strategi bertahan
ABSTRACT
IRMA HANDASARI. Management Agrarian Conflict Resolution Gede
Pangrango Mt. National Park: Attitudes and Survival Strategies of Peasants.
Supervised by ENDRIATMO SOETARTO.
Management of conflict resolution has done in the case of expansion in the
Village TNGGP Ciputri Block Sarongge Girang cause Sawargi forest farmer
group divided into two groups that have been declared out of the claim and the
group is still working in the area. This study intends to look at the attitude of the
farmer groups and the relationship between the attitude of the farmer groups with
survival strategies. The results showed that the attitude of these two categories of
farmer groups are equally positive. This shows that social attitudes are formed
based on the social facts that apply in Gapoktan Sawargi. Relationship exists only
at farmers' attitudes to the level of resistance that has been declared out of the
claim. At the level of dependence of the resistance level of tenant farmers and
growers who still work there is no relation. This is because the survival strategy
decisions arising from upheaval of collective action will land needs of each
individual and on the other hand attitude arising from the pressure of prevailing
social facts in Gapoktan Sawargi.
Keywords: management agrarian conflict resolution, forest peasants,
peasants attitudes, survival strategies
PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK AGRARIA
KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE
PANGRANGO: SIKAP DAN STRATEGI
BERTAHAN PETANI
IRMA HANDASARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango: Sikap dan Strategi
Bertahan Petani
: Irma Handasari
: I34090136
Disetujui oleh
Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA
NIP. 19521225 1986 1 002
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
NIP 19550630 1981031 003
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang
berjudul Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango: Sikap dan Strategi Bertahan Petani. Penelitian yang dilakukan
sejak bulan Februari dengan pemilihan lokasi di salah satu desa penyangga di
Resort Sarongge yakni desa Ciputri.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Endriatmo
Soetarto, MA sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan
selama proses penulisan hingga penyelesaian penulisan karya ilmiah ini. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staff Balai TNGGP, Green
Radio maupun staff Resort Sarongge dan staff pemerintahan desa Ciputri serta
seluruh responden yang telah membantu selama pengumpulan data. Penulis juga
menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, Bapak
Syamsul Bachri (alm) dan Ibu Siti Nurma. Tak lupa kepada kakak tercinta, Irvan
Subandri yang senantiasa memberi dukungan, doa, serta limpahan kasih sayang
kepada penulis.
Beribu terima kasih penulis ucapkan pada rekan seperjuangan satu lokasi
penelitian Indra Setiyadi. Tidak lupa kepada Anugrah Ramadhan Syah, Rendy
Fernandi dan Fajar Hidayat yang telah membantu dalam pengambilan data di
lapangan. Terima kasih juga kepada Annisa, Selvia Oktaviyani, Mega Pratiwi,
Natasha Cristdavina, Suhermanto, Seno Bayu, Ike Asih, Angga Tribintari, Fitri
Nisa, Fitria Aprilianti yang selalu memotivasi dan menghibur penulis. Ungkapan
terima kasih juga penulis ucapkan kepada Jajang Somantri, Bonita A. Wenas, Suci
Anggrayani dan Rafi Nugraha serta kepada teman-teman yang namanya tidak bisa
disebutkan satu per satu sebagai teman berdiskusi, saling bertukar pikiran,
membantu dan selalu memotivasi penulis dalam proses penulisan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2013
Irma Handasari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
PENDEKATAN TEORITIS
5
Tinjauan Pustaka
5
Kerangka Pemikiran
10
Hipotesis Penelitian
11
Definisi Konseptual
11
Definisi Operasional
12
PENDEKATAN LAPANG
13
Lokasi dan Waktu Penelitian
13
Penentuan Responden Penelitian
13
Teknik Pengumpulan Data
14
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
14
PROFIL DESA CIPUTRI
15
Kondisi Geografis
15
Kondisi Sosial Budaya
16
Kondisi Ekonomi
17
Sarana dan Prasarana
17
MANAJEMEN PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK AGRARIA
TNGGP
19
Sejarah Penetapan Kawasan TNGGP
19
Agraria Dulu Dan Sekarang: Perubahan Akses Petani
22
Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria
23
Pemetaan Aktor-aktor
27
Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
27
Perkumpulan GEDE PAHALA
28
Green Radio
29
Gabungan Kelompok Tani Hutan Sawargi
30
SIKAP KELOMPOK TANI
33
Tekanan Fakta Sosial Membentuk Sikap Petani
33
Realita dan Sikap Tak Sejalan
34
HUBUNGAN SIKAP PETANI DENGAN STRATEGI BERTAHAN
37
Gejolak Perlawanan Dibalik Sikap Petani
37
Lahanku Hidupku Versus Solidaritas Kelompok
39
SIMPULAN DAN SARAN
43
Simpulan
43
Saran
43
DAFTAR PUSTAKA
45
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
59
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Populasi dan sampel penelitian
Mata pencaharian penduduk Desa Ciputri
Kronologis penetapan kawasan TNGGP
Karakteristik pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan resolusi
konflik
Jumlah dan persentasi petani penggarap terhadap pengelolaan resolusi
konflik
Jumlah dan persentase sikap petani berdasarkan hubungan dengan
tingkat resistensi
Jumlah dan persentase sikap petani berdasarkan hubungan dengan
tingkat ketergantungan
Mata pencaharian responden petani yang telah menyatakan keluar dari
garapan
13
17
20
32
33
37
39
40
DAFTAR GAMBAR
1 Berbagai pendekatan dalam mengelola konflik
2 Tingkatan berdasarkan jumlah anggota kelompok
3 Kerangka pemikiran
4 Peta lokasi penelitian
5 Lokasi perkebunan masyarakat
6 Alat musik karinding
7 Studio siaran Radio Edelweis
8 Peta adopsi pohon
9 Sertifikat penghargaan petani keluar dari garapan
10 Salah satu surat perjanjian TNGGP dan Gapoktam Sawargi
7
10
11
15
16
17
18
24
25
31
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Kerangka sampling
Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013
Dokumentasi
Cerpen Lahanku Hidupku
47
49
50
54
PENDAHULUAN
Bagian ini akan menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Berikut ini adalah penjelasan
dari masing-masing bagian tersebut.
Latar Belakang
Maraknya sengketa tanah yang terjadi pada tahun 2011, beberapa
diantaranya berujung anarkisme. Mulai dari kasus Aceh, Mesuji, hingga Bima.
Penyebaran potensi konflik dari sengketa tanah hingga di kawasan hutan. Menurut
data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebutkan dari 192 juta ha wilayah
daratan Indonesia, seluas 136 juta ha diantaranya adalah hutan. Sekitar 18%
mengenai urusan tapal batas antara lahan pemerintah, masyarakat dan perusahaan
di kawasan hutan yang selesai. Kepala Departemen Advokasi Walhi, Mukri
Friatna mengatakan masih ada 82% atau setara dengan 115.5 juta ha area hutan di
Indonesia yang berpotensi menjadi daerah konflik. (wan et al. 2012)
Sumber-sumber agraria di Indonesia yang sejatinya bertujuan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat menjadi ajang kontestasi para kapitalis, masyarakat
menjadi bagian yang termarjinalkan. Soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup
dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi
manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup
manusia. Oleh karena itu, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala
yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya (Tauchid 2009). Menurut
Tadjudin (1999), rakyat akan melawan ketika terusik maka terjadilah konflik.
Penyebabnya karena adanya perbedaan persepsi, pengetahuan, tata nilai,
kepentingan atau akuan hak kepemilikan. Konflik agraria yang marak terjadi di
Indonesia tidak lepas dari kedudukan tanah dan sumber daya alam mempunyai
peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia erat hubungannya dengan
kesejahteraan dan keberlangsungan hidup suatu kelompok masyarakat.
Banyaknya penelitian mengenai konflik agraria menjelaskan tentang ciri
khas tiap konflik yang terjadi di setiap sektor dengan penyelesaian yang sesuai
dengan karakteristik dan eskalasi konfliknya. Pada kenyataannya tidak semua
resolusi konflik disepakati oleh pihak yang berkepentingan. Di lain pihak, banyak
rakyat kecil yang dirugikan karena tuntutan dari penyelesaian konflik tidak
terpenuhi.
Pemerintah yang cenderung mengedepankan hukum formal tertulis yaitu
hukum positif nasional tentang agraria. Masyarakat sendiri memiliki hukum dan
mekanisme untuk menyelesaikan konflik bahkan mencegah jika ada potensi
terjadinya konflik. Mereka punya kelaziman-kelaziman dan tradisi turun temurun,
punya hukum tradisional yang digunakan mengatur antara lain pembagian tanah
dan konflik, bahkan punya lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan
berbagai persoalan (Safitri 2012). Sudut pandang yang berbeda inilah yang
menyebabkan penyelesaian konflik yang “alot”.
Masyarakat sendiri memiliki kesamaan rasa, pemikiran dan perilaku yang
muncul akibat adanya norma dan nilai yang terbentuk. Hal ini sebagai bentuk
2
perwujudan dari hati nurani kolektif yang oleh Durkheim (Sunarto 1993) disebut
fakta sosial. Fakta sosial dalam kasus konflik agraria bisa muncul dari solidaritas
yang terbentuk di masyarakat. Solidaritas itu timbul akibat “sama nasib” dalam
mempertahankan lahannya. dengan kepentingan yang sama. Hal tersebut akan
memicu terjadinya aksi kolektif.
Aksi kolektif merupakan perwujudan dari aksi atas nama kelompok dimana
anggota kelompok bertindak atas kepentingan kelompok. Aksi kolektif dapat pula
memicu free rider dimana anggota tidak bertindak tetapi “menumpang” pada
kelompok (Olson 1980). Olson (1980) juga menambahkan bahwa tidak semua
aksi kolektif berdasarkan kepentingan kelompok tetapi atas dasar kepentingan
individu.
Undang–undang No. 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa salah
satu penyelenggaraan kehutanan bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan aneka fungsi
hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk
mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan
lestari. Hal ini menjadi dasar pemikiran terhadap kasus–kasus konflik taman
nasional dan masyarakat sekitarnya. Menurut undang-undang tersebut dapat
dirumuskan pengelolaan hutan secara lestari antara masyarakat dengan lembaga
milik Negara. Sama halnya yang dilakukan oleh Pihak Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (yang selanjutnya disebut TNGGP).
Keberadaan TNGGP sendiri yang berstatus sebagai hutan penyangga bagi
masyarakat sekitar Jabodetabek saat ini mengalami kondisi yang sangat kritis. Hal
ini ditinjau dari kerusakan pada lahan sebelum penetapan kawasan sebagai taman
nasional. Perubahan alih fungsi lahan ini dilakukan karena perlunya rehabilitasi
akibat dari penggunaan lahan yang merusak ekologi dan membahayakan. Tidak
hanya untuk sumberdaya hutan yang ada tetapi juga bagi masyarakat.
Perluasan kawasan TNGGP dengan penunjukkan perubahan pada wilayah
hutan produksi yang ditindaklanjuti oleh Berita Acara Serah Terima (BAST)
Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas menjadi
kawasan konservasi TNGGP dari Perum Perhutani yang mencakup kawasan
PHBM antara petani hutan dan Perum Perhutani. Perubahan status kawasan ini
menjadikan akses petani penggarap hutan terhadap kawasan menjadi tertutup.
Perlunya mempertahankan fungsi kawasan taman nasional sebagai penyangga
sistem kehidupan, perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta
menunjang pemanfaatannya secara lestari.
Petani hutan menganggap kawasan TNGGP sebagai ruang hidup sedangkan
TNGGP berkepentingan untuk mengkonservasikan SDA yang terdapat di dalam
kawasan. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik karena adanya perbedaan
kepentingan. Faktanya, pihak TNGGP dinilai berhasil menciptakan suatu
pengelolaan resolusi konflik sehingga konflik tidak mencuat ke permukaan
dengan mengakomodasikan kepentingan petani hutan. Pihak Balai TNGGP
menetapkan pengelolaan resolusi konflik guna pelestarian hutan di kawasan yang
dilakukan secara bersama dengan petani penggarap hutan.
Situasi harmonis diciptakan sehingga perbedaan kepentingan yang dapat
memicu konflik tidak mencuat dengan try to find the common enemy yakni
kerusakan ekologi. Hubungan asosiatif diciptakan melalui proses dialektif untuk
mengakomodasi kepentingan dari situasi yang ada. Pengelolaan resolusi konflik
bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan altenatif mata pencaharian lain
3
agar menghentikan aktifitas bertani di kawasan. Selain itu, dalam pengelolaan
resolusi konflik ini juga sebagai peningkatan kesadaran petani penggarap akan
pentingnya arti kawasan taman nasional. Pengelolaan ini telah berjalan selama ± 5
tahun.
Hasilnya terdapat petani penggarap yang telah menyatakan keluar dari
kegiatan bertani di kawasan namun sebagian besar petani masih bertahan. Pada
dasarnya seluruh petani penggarap diikutsertakan dalam pengelolaan resolusi
konflik yang dilakukan. Permasalahannya jumlah petani yang masih tetap
menggarap di kawasan lebih besar dibandingkan petani yang telah menyatakan
keluar dari garapannya. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat pengelolaan
resolusi konflik yang dilakukan antara pihak TNGGP dengan kelompok petani
hutan di Resort Sarongge Blok Sarongge Girang kawasan TNGGP.
Perumusan Masalah
Masalah penelitian yang diangkat adalah:
1. Bagaimana manajemen pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan antar
pihak di Resort Sarongge Blok Sarongge Girang Kawasan TNGGP?
2. Bagaimana fakta sosial memberi tekanan terhadap sikap kelompok tani hutan
terhadap pengelolaan resolusi konflik?
3. Bagaimana hubungan bentuk perlawanan dan keterikatan petani terhadap lahan
dibalik sikap petani terhadap pengelolaan resolusi konflik?
Tujuan Penelitian
Atas dasar rumusan pertanyaan yang sudah dikemukakan sebelumnya maka
tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis dan mendapat gambaran manajemen pengelolaan resolusi konflik
yang dilakukan antar pihak Resort Sarongge Blok Sarongge Girang Kawasan
TNGGP.
2. Menganalisis tekanan fakta sosial yang diberikan dalam membentuk sikap
kelompok tani terhadap pengelolaan resolusi konflik.
3. Menganalisis hubungan bentuk perlawanan dan keterikatan petani terhadap
lahan dibalik sikap petani terhadap pengelolaan resolusi konflik.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Bagi akademisi, sebagai bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut mengenai
pengelolaan resolusi konflik agraria;
2. Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam penanganan konflik
agraria yang terjadi di kawasan taman nasional yang lebih melibatkan
masyarakat; dan
3. Bagi swasta, sebagai rujukan kerjasama dalam melestarikan ekosistem dan
sumberdaya alam melalui program pemberdayaan masyarakat berbasis
lingkungan.
4
5
PENDEKATAN TEORETIS
Bab ini menjelaskan mengenai pustaka rujukan yang diambil dari beberapa
sumber seperti buku, peraturan pemerintah maupun hasil penelitian. Bab ini juga
menjelaskan mengenai kerangka pemikiran yang diikuti oleh hipotesis penelitian,
definisi konseptual dan definisi operasional. Berikut ini penjelasan masing-masing
bagian tersebut.
Tinjauan Pustaka
Taman Nasional
Menurut UU No. 41 tahun 1999 Pasal 1 hutan konservasi adalah kawasan
hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Menurut fungsi
pokoknya hutan terbagi menjadi 3 jenis yakni hutan konservasi, hutan lindung dan
hutan produksi (Pasal 6). Pada penjelasan di pasal 7 hutan konservasi terdiri dari
kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru.
Kawasan hutan Suaka Alam (KSA) berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka
Margasatwa (SM); Kawasan hutan Pelestarian Alam (KPA) berupa Taman
Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura) dan Taman Wisata Alam (TWA);
dan Taman Buru (TB).
“National parks are large areas of public land set aside for native plants, animals and the
places in which they live. National parks protect places of natural beauty.” (Anonim 2012)
Taman Nasional adalah salah satu contoh kawasan hutan pelestarian alam
yang merupakan salah satu bentuk dari hutan konservasi. Menurut UU No. 5
Tahun 1990 di dalam Kamus Rimbawan, Taman Nasional merupakan kawasan
perlestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan dengan tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Fungsi zonasi yakni
membatasi gangguan terhadap perubahan ekosistem dan mempertahankan
ekosistem asli yang berada di taman nasional.
Konsep Konflik Agraria
Salah satu definisi konflik dalam ilmu sosial adalah suatu situasi proses
yaitu proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok dalam
memperebutkan objek yang sama demi kepentingannya. Mengacu pada Ritzer dan
Douglas (2010) mengenai teori konflik Dahrendrof melihat masyarakat setiap saat
tunduk pada proses perubahan, pertikaian dan konflik dalam sistem sosial serta
melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan
perubahan. Keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan
terhadap anggotanya oleh mereka yang berada diatas dengan menekankan pada
peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Dalam
teorinya Dahendrof beranggapan bahwa masyarakat terbentuk dengan adanya
konsensus dan konflik menjadi persyaratan satu sama lain.
Analisa mengenai konflik ala Dahendrof mencakup tiga kunci, yaitu otoritas,
kepentingan dan kelompok. Dahendrof membedakan menjadi tiga tipe kelompok
6
utama yakni kelompok semu (quasi grup), kelompok kepentingan dan kelompok
konflik. Singkatnya segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu
melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial.
Perubahan secara radikal akan terjadi jika konflik itu hebat. Akan terjadi
perubahan struktur secara tiba-tiba jika konflik disertai tindakan kekerasan.
Konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Berkaitan dengan
konflik agraria, maka objek yang sama yang diperebutkan itu berupa tanah dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang, dan
juga udara yang berada di atas tanah bersangkutan (Wiradi 2009). Konflik dibagi
menjadi dua level jenis menurut level permasalahannya, yaitu konflik vertikal dan
konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak
lainnya berada pada level yang berbeda. Sedangkan konflik horizontal terjadi
antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya (Fuad dan Maskanah 2000).
Fuad dan Maskanah (2000) berpendapat konflik dapat berwujud konflik
tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tertutup
(latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak
sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik.
Sering kali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan
yang paling potensial. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan antara
pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan,
kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaiannya sendiri belum
berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik pihak-pihak yang
berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah
memulai untuk bernegosiasi atau mencapai jalan buntu.
Pengelolaan Resolusi Konflik
Berbagai cara dikembangkan untuk menampung, mengatasi dan
menyelesaikan keluhan atau perasaan tidak diperlakukan secara adil maupun
konflik-konflik yang terbuka. Faktor yang mempengaruhi pilihan yang diambil
dalam mengelola konflik tergantung dari bagaimana pihak yang berkonflik
menilai pentingnya menjaga hubungan baik dengan pihak lawannya dan
pentingnya meraih satu tujuan.
Fuad dan Maskanah (2000) merumuskannya dalam penyelesaian konflik
alternatif (PKA). Konsepsi PKA dikelompokkan dalam kelompok besar yakni
pengelolaan konflik yang melibatkan pihak ke-3 dan pengelolaan konflik tanpa
melibatkan pihak ke-3. Pengertian pihak ke-3 dalam wacana pengelolaan konflik
ini adalah satu atau beberapa pihak yang pada hakikatnya tidak terkait secara
langsung dengan kepentingan masing-masing pihak yang berkonflik, sehingga
bersifat netral dan nonpartisan. Pengelolaan konflik harus ada perencanaan yang
baik mengenai strategi, taktik dan teknik dengan pertimbangan setiap resiko yang
ada pada setiap pilihan dan harus dapat meminimalisir resiko (Fuad dan Maskanah
2000).
Pelibatan para aktor dalam menangani konflik dapat mempengaruhi
keberhasilan pengelolaan konflik. Dikutip dari CICR (the Canadian Institute for
Conflict Resolution) dalam Fuad dan Maskanah (2000), pengelolaan konflik yang
melibatkan pihak ke-3 ini antara lain dalam bentuk fasilitasi, konsultasi,
koordinasi, konsiliasi dan mediasi; sedangkan yang tidak melibatkan pihak ke-3
adalah negosiasi. Adapun pengertian dari masing-masing bentuk pengelolaan
konflik, yakni:
7
1. Fasilitasi yakni bantuan dari pihak ke-3 untuk memungkinkan terjadinya
suatu pertemuan atau perundingan yang produktif dimana pihak ke-3
berperan sebagai fasilitator.
2. Konsultasi merupakan pertemuan antara kedua pihak atau lebih untuk
membahas permasalahan yang dianggap penting sehingga dapat dicarikan
pemecahan bersama.
3. Koordinasi merupakan upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
memiliki otoritas atau kewenangan tertentu untuk menyelesaikan timbulnya
masalah akibat perbedaan interpretasi agar terhindar dari penanganan yang
bersifat tumpang tindih.
4. Konsiliasi adalah usaha yang dilakukan pihak ke-3 yang bersifat netral,
untuk berkomunikasi dengan kelompok-kelompok yang berkonflik secara
terpisah dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan dan mengusahakan ke
arah tercapainya persetujuan untuk berlangsungnya suatu proses
penyelesaian konflik.
5. Mediasi adalah bantuan dari pihak ke-3 dalam suatu proses negosiasi namun
pihak ke-3 (mediator) tidak ikut serta mengambil keputusan.
6. Negosiasi merupakan proses yang berlangsung secara sukarela diantara
beberapa pihak, dengan bertatap muka secara langsung untuk memperoleh
kesepakatan yang dapat diterima mengenai suatu isu atau masalah tertentu.
Tinggi
Menampung
(Accomodation)
Arti penting
hubungan baik
dengan
pihak lain
Kesepakatan
(Consensus)
Kompromi
(Compromise)
Atau
Tawar menawar
(Trade – Offs)
Menghindar
(Withdrawal)
Rendah
Pemaksaan
(Force)
Arti penting
Rendah
tujuan yang
hendak diraih
Tinggi
Gambar 1 Berbagai Pendekatan dalam Mengelola Konflik
(Anonim dalam Fuad dan Maskanah 2000)
Konsep Sikap
Menurut Robbins (2001), sikap sebagai pernyataan evaluatif baik yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai suatu objek, orang atau
peristiwa. Sikap bukan perilaku, tapi kecenderungan untuk berperilaku dengan
cara-cara tertentu terhadap objek sifat. Sikap lebih dapat dibentuk, dikembangkan,
dipengaruhi dan diubah karena sikap merupakan suatu yang dipelajari (bukan
bawaan). Sarwono (2002) berpendapat bahwa sikap merupakan suatu
8
kecenderungan berperilaku terhadap suatu objek tertentu yang menunjukkan rasa
suka atau tidak suka, setuju dan tidak setuju serta mengandung tiga komponen
yang mengorganisasikan sikap individu tersebut, yakni:
a. Kognitif
Komponen ini merupakan komponen pengetahuan atau kesadaran akan
suatu objek sikap tertentu yang terdiri dari pemikiran seseorang mengenai
objek seperti fakta, pengetahuan dan keyakinan.
b. Afektif
Komponen ini meliputi bagaimana faktor emosi dan perasaan individu
mempengaruhi sikap, baik itu positif maupun negatif yang diasosiasikan
dengan objek sikap.
c. Konatif
Komponen ini berupa kecendrungan berperilaku (melakukan tindakan)
tertentu yang berkaitan dengan objek sikap.
Sikap yang positif cenderung tindakannya adalah mendekati, menyenangi
dan mengharapkan pada objek tertentu, sedangkan pada sikap yang negatif
terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak
menyukai objek tertentu. Tidak semua sikap selaras dengan perilaku jika terdapat
tekanan yang besar terhadap individu untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai
(Sarwono 2002).
Durkheim berpendapat meskipun ego dapat memilih perilaku tertentu untuk
berhadapan dengan lainnya dalam realitasnya pilihan itu sudah disediakan untuk
ego. Adanya aturan-aturan atau standar-standar perilaku secara kolektif sebagai
tempat manusia belajar. Durkheim menyebut hal tersebut dengan fakta sosial.
Fakta sosial berada eksternal dan mempengaruhi individu-individu (Jones 2010).
Durkheim mengemukakan tiga karakteristik fakta sosial yang berbeda.
Pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Kedua, fakta sosial itu
memaksa individu. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan
fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang
untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Ketiga, fakta sosial
bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat.
Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat
individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan
beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif dan
pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
Durkheim ingin menegakkan pentingnya tingkat sosial daripada menarik
kenyataan sosial dari karakteristik individu. Durkheim juga mengatakan dalam
meneliti masyarakat ditinjau dari struktur sosial, norma kebudayaan, dan nilai
sosial yang dimasukan dan dipaksakan (koersi) kepada pelaku sosial.
Konsep Kelompok
Kelompok memiliki berbagai makna. Sejak lahir hingga kini ego telah
menjadi anggota berbagai kelompok. Merton mendefinisikan kelompok sebagai
sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain sesuai dengan pola-pola yang
telah mapan (Sunarto 1993). Merton juga menyebutkan tiga kriteria objektif dari
suatu kelompok yakni sering terjadinya interaksi, pihak-pihak berinteraksi
mendefiisikan diri mereka sebagai anggota dan pihak-pihak berinteraksi
didefinisikan orang lain sebagai anggota kelompok.
9
Menurut Merton dalam Sunarto (1993) keanggotaan dalam suatu kelompok
tidak berarti bahwa seseorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi
cara bersikap, menilai maupun bertindak. Terkadang perilaku seseorang tidak
mengacu pada kelompok yang didalamnya ia menjadi anggota, melainkan pada
kelompok lain. Dalam berperilaku dan bersikap seseorang dapat menunjukan
konformitas pada kelompok luar.
Pengklasifikasian kelompok menurut Durkheim dalam Sunarto (1993)
berdasarkan solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis
mengutamakan perilaku dan sikap dimana anggota kelompok diikat dengan suatu
kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan
kelompok, bersifat ekstern serta memaksa. Solidaritas mekanis mencirikan
masyarakat yang masih sederhana. Pembagian kerja belum berkembang dan tidak
memerlukan bantuan dan kerjasama dengan kelompok diluarnya. Peranan semua
anggota sama sehingga ketidakhadiran seorang anggota kelompok tidak
mempengaruhi kelangsungan hidup kelompok. Sanksi terhadap pelanggaran
hukum disini bersifat represif.
Solidaritas organis telah mengenal pembagian kerja yang rinci dan
dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian. Solidaritas organis ini
mencirikan masyarakat yang kompleks. Anggota kelompok solidaritas organis
diikat berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terjalin di antara berbagai
profesi. Jika terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan bersama maka dikenakan
sanksi restitutif.
Adanya solidaritas dalam sebuah kelompok akan memicu aksi kolektif.
Menurut Olson (1980), sekelompok orang dengan kepentingan bersama
diharapkan untuk bertindak atas nama kepentingan bersama mereka sebagai
individu tunggal untuk bertindak atas nama kepentingan pribadi. Kepentingan
bersama dianggap sebagai kepentingan pribadi. Olson menekankan bahwa
kepentingan bersama muncul dari kepentingan individu yang sama dalam sebuah
kelompok.
Olson (1980) juga berpendapat bahwa jika semua orang dalam kelompok
(dari berbagai ukuran) memiliki kepentingan yang sama, maka mereka akan
bertindak secara kolektif untuk mencapai tujuan mereka. Pada dasarnya kelompok
yang terlalu besar tidak dapat memenuhi tujuan aksi kolektif perindividu
sedangkan kelompok kecil akan mendapatkan banyak pemenuhan tujuan aksi
kolektif yang berhasil. Oleh karena itu kelompok besar kurang mampu bertindak
sesuai dengan kepentingan bersama mereka dari yang kecil.
Tidak hanya akan tindakan kolektif oleh kelompok besar sulit dicapai
bahkan ketika mereka memiliki kepentingan yang sama namun situasi juga bisa
terjadi dimana minoritas dapat mendominasi mayoritas. Hal inilah yang dapat
menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan oleh kelompok besar. Perlunya
tindakan yang dapat menjaga sistem dalam kelompok.
Menurut Merton (2013) fungsi manifest adalah mereka yang dimaksudkan
dan diakui. Ini adalah fungsi yang orang berasumsi dan berharap lembagalembaga untuk memenuhi. Fungsi laten adalah fungsi yang belum diakui dan tidak
disengaja. Ini adalah konsekuensi yang tak terduga lembaga. Fungsi laten struktur
lembaga atau parsial dapat mendukung fungsi manifest. Fungsi laten mungkin
tidak relevan dengan fungsi nyata bahkan dapat merusak fungsi nyata. Perbedaan
antara manifest dan fungsi laten dasarnya relatif dan tidak mutlak. Sebuah fungsi
10
mungkin tampak nyata untuk beberapa dalam sistem sosial dan laten bagi orang
lain.
Bureaucracy
Association
Organization
Group
Crowded
Gambar 2 Tingkatan berdasarkan jumlah anggota kelompok
Kerangka Pemikiran
Berawal dari teori mengenai konflik agraria sektor taman nasional yang
menjadi ajang kontestasi antara pemerintah dan petani haus lahan akibat adanya
perubahan rezim dari Perhutani menjadi taman nasional. Berbagai cara dilakukan
untuk mengakomodasi kepentingan petani guna mengkondusifkan situasi pemicu
konflik berupa pengelolaan resolusi konflik. Manajemen taman nasional
dilakukan dengan proses yang panjang bekerjasama dengan berbagai instansi baik
LSM maupun swasta. Pengelolaan resolusi konflik yang dihasilkan berupa adopsi
pohon dan pemberian insentif usaha ternak.
Pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan ini menyebabkan kelompok
tani terbagi menjadi dua bagian. Peneliti menggolongkannya menjadi petani yang
sudah menyatakan keluar dari garapan hutan dan petani yang masih menggarap di
hutan. Perbedaan sikap pada petani terhadap pengelolaan resolusi konflik perlu
dibandingkan untuk mengetahui pengaruh fakta sosial yang berlaku pada
kelompok tani. Adapun variabel yang digunakan kognitif, afektif dan konatif
petani terhadap pengelolaan resolusi konflik.
Variabel selanjutnya adalah strategi bertahan petani. Strategi bertahan petani
untuk menunjukkan pengaruh kelompok dalam aksi bersama petani terhadap
lahan garapan hutan. Adanya hubungan sikap dan strategi bertahan petani dilihat
dari tingkat resistensi dan tingkat ketergantungan petani. Tingkat resistensi ini
menunjukkan sejauh mana petani akan bertahan terhadap lahan garapan. Tingkat
ketergantungan menunjukkan keterikatan petani terhadap lahannya.
Lengkapnya disajikan dalam bentuk kerangka pemikiran. Lihat Gambar 3.
11
Manajemen
Taman Nasional
Pengelolaan
Resolusi
Konflik Agraria:
1. Adopsi Pohon
2. Insentif Usaha Ternak
Sikap petani hutan yang
masih menggarap di
dalam kawasan:
1. Kognitif
2. Afektif
3. Konatif
Sikap petani hutan yang
telah
keluar
dari
menggarap di kawasan:
1. Kognitif
2. Afektif
3. Konatif
Strategi Bertahan:
a. Tingkat Resistensi
b. Tingkat Ketergantungan
Keterangan
: berhubungan
: dianalisa secara deskriptif
Gambar 3 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan sikap antara kelompok tani terhadap pengelolaan resolusi
konflik.
2. Terdapat hubungan antara sikap kelompok tani terhadap strategi bertahan
(tingkat resistensi dan tingkat ketergantungan).
Definisi Konseptual
1.
2.
Manajemen taman nasional sebagai sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk
mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan
dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa
tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan
jadwal (Griffin 2006).
Pengelolaan resolusi konflik agraria adalah hasil dari manajemen yang
dilakukan oleh taman nasional berupa adopsi pohon dan insentif usaha ternak
12
3.
untuk mengakomodasi kepentingan petani terhadap lahan garapan. Hal ini
guna mengkondusifkan situasi pemicu konflik.
Kelompok tani diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan yang sudah
menyatakan keluar dari kawasan dan yang masih menggarap di kawasan.
Definisi Operasional
1.
2.
Sikap adalah kecenderungan petani dalam menanggapi pengelolaan resolusi
konflik (adopsi pohon dan insentif usaha ternak). Sikap dikategorikan
menjadi 3 yakni positif, netral dan negatif. Skoring untuk penentuannya yakni
positif: 7-9 ; netral: 5-6 ; negatif 3-4. Diukur melalui 3 indikator secara
komposit melalui pernyataan tertutup dengan skala ordinal yakni:
a. Kognitif adalah aspek sikap yang menyangkut pengetahuan petani
tentang pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Data diukur
menggunakan skala likert, dengan skor Ya (2) dan Tidak (1). Dibagi
menjadi 3 kelas yaitu tinggi (3): skor 19-22 ; sedang (2): skor 15-18 ;
rendah (1): 11-14.
b. Afektif adalah aspek sikap yang menyangkut perasaan serta penilaian
petani terhadap pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Data diukur
menggunakan skala likert, dengan skor Sangat Setuju (4), Setuju (3),
Tidak Setuju (2) dan Sangat Tidak Setuju(1). Dibagi menjadi 3 kelas
yaitu tinggi (3): skor 24-32 ; sedang (2): skor 16-23 ; rendah (1): 8-15
c. Konatif adalah aspek sikap berupa kecendrungan dalam perilaku petani
terhadap pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Data diukur
menggunakan skala likert, dengan skor Ya (2) dan Tidak (1).Dibagi
menjadi 3 kelas yaitu tinggi (3): skor 10-12 ; sedang (2): skor 8-9 ;
rendah (1): 6-7.
Strategi bertahan adalah cara petani untuk mempertahankan lahan garapannya
yang diukur melalui:
a. Tingkat resistensi adalah tingkatan yang menunjukkan pada posisi
sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan, menentang
atau upaya oposisi pada umumnya sikap ini tidak berdasarkan atau
merujuk pada paham yang jelas. Tingkat resistensi dibedakan dengan
menggunakan skala ordinal melalui pertanyaan terbuka yaitu:
i. Masih ada teman sekawan yang masih membuka lahan: tinggi, diberi
skor 3
ii. Butuh lahan, masih ada waktu perjanjian hingga agustus 2013:
sedang, diberi skor 2
iii. Keputusan bersama untuk keluar dari garapan, modal mahal, situasi
terdesak: rendah, diberi skor 1
b. Tingkat ketergantungan adalah tingkatan petani memaknai lahan sebagai
ruang hidup sebagai sumber mata pencaharian. Tingkat ketergantungan
dibedakan dengan menggunakan skala ordinal melalui pertanyaan semi
terbuka yaitu:
i. Sangat tergantung
: tinggi, diberi kode 3
ii. Tergantung
: sedang, diberi kode 2
iii. Tidak tergantung
: rendah, diberi kode 1
13
PENDEKATAN LAPANG
Bab ini menjelaskan mengenai metode pelaksanaan penelitian yang
dilakukan. Beberapa hal yang berkaitan dengan waktu, tempat penelitian
dilakukan. Selain itu juga dideskripsikan bagaimana pengolahan data hasil dari
wawancara dan pengisian kuesioner. Ada pula penjelasan mengenai penentuan
sampel dan responden.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Ciputri. Pemilihan lokasi dilakukan secara
sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa:
1. Merupakan desa penyangga yang termasuk kawasan eks-PHBM terdapat
kelompok tani penggarap hutan yang terkena perluasan kawasan TNGGP
sehingga dilakukan manajemen resolusi konflik yang telah berjalan selama
hampir lima tahun.
2. Adanya petani yang menyatakan keluar dari menggarap di kawasan serta petani
yang masih menggarap sehingga dilakukan perbandingan antara dua golongan
kelompok.
Penelitian dilaksanakan dalam waktu lima bulan (Lampiran 2). Kegiatan
penelitian meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal
penelitian, pengambilan data di lapang, pengolahan dan analisis data, penulisan
draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi.
Penentuan Responden Penelitian
Unit analisis penelitian ini adalah individu. Responden adalah petani
penggarap hutan. Populasi adalah anggota gabungan kelompok tani hutan Sawargi
dengan jumlah 154 orang. Semua anggota tinggal di Desa Ciputri yang
didominasi di Kampung Sarongge Girang. Data populasi anggota kelompok
diperoleh dari daftar petani penggarap yang dimiliki oleh pihak TNGGP dan ketua
Gapoktan. Kerangka sampling adalah sama dengan populasi (Lampiran 1). Jumlah
responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 33 orang petani penggarap dan 13
petani penggarap yang telah menyatakan keluar dari garapan (Tabel 1).
Pengambilan responden dengan menggunakan sistem Lingkar Survei Indonesia
dimana jumlah responden 30% dari total populasi. Responden diambil secara acak
sederhana dari kerangka sampling dengan menggunakan bantuan program Ms.
Excel 2007.
Tabel 1 Populasi dan sampel penelitian
No.
1.
2.
Lokasi
∑populasi ∑ sampel
Petani yang masih menggarap di dalam kawasan
110 orang
33 orang
TNGGP
Petani yang sudah menyatakan untuk tidak
45 orang
13 orang
menggarap di kawasan TNGGP
Total
46 orang
14
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh peneliti atas dasar jawaban responden.
Data sekunder sendiri diperoleh dari kajian pustaka dan analisis literatur-literatur
yang terkait dengan manajemen TNGGP dan pengelolaan resolusi konflik yang
dilakukan. Untuk menjawab perumusan masalah mengenai sikap petani dan
strategi bertahan disajikan wawancara terstruktur melalui kuesioner yang diisi
oleh peneliti. Data primer dan data sekunder saling mendukung satu sama lain
untuk menyempurnakan hasil penelitian.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data hasil kuesioner ini dicatat apa adanya dan dilakukan analisis serta
interpretasi untuk menarik kesimpulan tentang hasil penelitian. Variabel-varibel
yang ada dalam pertanyaan kuesioner kemudian diberi kode sesuai dengan
ketentuan yang tertera dalam definisi operasional. Data kemudian dimasukkan ke
dalam Ms. Excel 2007 dan dituliskan dalam bentuk kode. Kemudian dilakukan
entri data ke dalam program SPSS versi 16.0 for Windows. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan tabel frekuensi, tabulasi silang dan Rank
Spearman. Selanjutnya menginterpretasi hasil pengolahan data dengan mengacu
pada hipotesis. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah
untuk menjawab perumusan masalah.
15
PROFIL DESA CIPUTRI
Profil Desa Ciputri memuat informasi mengenai desa yang dijadikan tempat
penelitian. Adapun informasi yang tersaji dalam bab ini adalah mengenai kondisi
geografis Desa Ciputri. Digambarkan juga bagaimana kondisi sosial budaya yang
tercermin dari keseharian masyarakat. Dijabarkan pula mengenai kondisi ekonomi
melalui penjabaran mata pencaharian dan penghasilan rata-rata terutama
responden.
Kondisi Geografis
Desa Ciputri merupakan salah satu desa yang tergabung dalam wilayah
Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Desa ini berbatasan langsung dengan
wilayah TNGGP di sebelah barat, sebelah utara berbatasan dengan Desa Ciherang
Kecamatan Pacet, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Galudra Kecamatan
Cugenang dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Cibeureum Kecamatan
Cugenang. Desa Ciputri termasuk topografi wilayah dataran tinggi dengan curam
kemiringan rata-rata 75% dengan ketinggian antara 100-2 900 mdpl dan memiliki
luas 636 ha.
Sumber: data profil desa Ciputri
Gambar 4 Peta lokasi
Curah hujan di Desa Ciputri mencapai rata-rata 3 380 mm/tahun. Desa
Ciputri terdiri dari 35 Rukun Tetangga (RT) yang tergabung ke dalam 9 Rukun
Warga (RW). Desa Ciputri terdiri dari Kampung Tunggilis (RW 01), Kampung
Ciherang Pom (RW 02), Kampung Ciherang Rawajaya (RW 03), Kampung
Ciherang (RW 04), Kampung Babakan Nagrog (RW 05), Kampung Sarongge
Pabrik (RW 06), Kampung Babasaran (RW 07), Kampung Sarongge Kidul (RW
16
08), Kampung Sarongge Girang (RW 09). Kampung Sarongge Girang (RW 09)
merupakan domisili dari sebagian besar petani penggarap hutan. Kampung ini
terdiri dari empat RT dan merupakan kampung yang berbatasan langsung dengan
kawasan TNGGP.
Desa Ciputri sebagian besar berupa lahan pertanian. Kebun masyarakat yang
ditanami oleh sayuran, kebun buah berry (strawberry, rasberry dan blueberry) dan
kebun teh PTPN VIII. Kondisi kemiringan lahan di kampung Sarongge Girang
sebenarnya tidak layak untuk dijadikan perkebunan ditambah lagi dalam
perkebunan tersebut jarangnya pohon pemecah angin sehingga kemungkinan
terjadinya bencana angin kencang semakin besar.
Gambar 5 Lokasi perkebunan masyarakat
Kondisi Sosial Budaya
Jumlah penduduk yang ada di Desa Ciputri adalah 11 133 orang. Jumlah
tersebut terbagi kedalam 5 729 orang laki-laki dan 5 404 orang perempuan.
Jumlah kepala keluarga ada 2 044 KK dengan kepadatan penduduk 17 505
jiwa/ha (sumber: profile desa). Pendidikan terakhir yang ditempuh sebagian besar
penduduk desa Ciputri hanya sampai Sekolah Dasar.
Bahasa yang digunakan sehari-hari yakni bahasa Sunda dan bahasa
Indonesia. Terdapat kelompok kesenian Sunda di Kampung Sarongge Girang
bernama Paguyuban Seni Sunda Medal Surya. Paguyuban seni sunda ini melatih
anak-anak bermain musik, silat dan jaipong. Karinding menjadi icon alat musik
khas Sarongge. Pak Maman salah satu pembuat karinding yang terkenal di Desa
Ciputri.
Gambar 6 Alat musik karinding
17
Peneliti berbincang-bincang dengan beberapa anak di luar kelompok
tersebut mengenai kesenian sunda seperti lagu Manuk Dadali, sungguh
disayangkan mereka tidak mengetahui. Orang tua tidak pernah memaksakan
pendidikan untuk anak-anaknya. Selama anaknya ingin bersekolah maka akan
disekolahkan namun jika anaknya ingin berhenti maka berhenti. Ada pemberian
beasiswa untuk anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah ke SMK bidang
pertanian dan komputer yang diberikan oleh Green Radio (yang selanjutnya
disebut GR).
Kondisi Ekonomi
Bertani merupakan mata pencaharian yang paling dominan di Desa Ciputri.
Dominasi sumber penghidupan seluruhnya berada dan diperoleh di lahan milik
dan lahan garapan. Hal ini menunjukkan bahwa selain milik, lahan kehutanan
memang menjadi tumpuan utama masyarakat Desa Ciputri, terutama Kampung
Sarongge Girang. Penyebabnya karena sebagian besar petani di Kampung
Sarongge Girang melakukan kegiatan pertanian di lahan kehutanan. Menurut
sejarah kampung Sarongge Girang awalnya hanya terdiri dari 7 rumah yang
merupakan penduduk pendatang. Mereka berdatangan pada jaman Soeharto untuk
mengikuti program Perhutani dengan sistem PHBM pada tahun 1980.
Ragam mata pencaharian lain di Desa Ciputri yakni PNS, karyawan,
pertukangan, ojeg, pengrajin industri rumah tangga, pedagang keliling, montir dan
peternak (sumber: profile desa). Di Desa Ciputri sendiri terdapat kebun teh yang
dimiliki oleh PTPN VIII dan beberapa perusahaan swasta yakni perkebunan
strawberry, rasberry dan blueberry yang dimiliki oleh Hans (Dutchman) serta BFI
milik Ibu Ina (Jakarta). Banyak pekerja perempuan pada perkebunan milik Hans.
Upah buruh perkebunan ini berkisar Rp 12 000-20 000/hari. Awalnya pengelolaan
perkebunan ini diserahkan pada orang-orang pribumi namun perlahan mulai
digantikan oleh orang non pribumi.
Meskipun bertani merupakan mata pencaharian dominan jumlah petani tidak
bertanah hampir 40% dari total keseluruhan petani dan buruh tani. Upah buruh
tani sendiri berkisar Rp 25 000-30 000/hari. Ada juga yang berprofesi sebagai
petani dan merangkap buruh tani untuk mencukupi sehari-hari.
Tabel 2 Mata pencaharian penduduk Desa Ciputri
No.
Pekerjaan
1
PNS
2
TNI/Polri
3
Petani
4
Pedagang
5
Peternakan/Perikanan/Perkebunan
6
Buruh
7
Wiraswasta
8
Lain-lain
Jumlah
Sumber: Profil desa penyangga TNGGP
Jumlah
(orang)
29
1
1 188
48
0
650
335
0
2 251
18
Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang ada di Desa Ciputri meliputi transportasi darat,
komunikasi dan informasi, air bersih, peribadatan, pendidikan, serta kebersihan.
Jalan utama yang bisa diakses sudah beraspal walaupun jalanan banyak berlubang.
Transportasi yang beroperasi yakni ojek. Meskipun ada angkutan umum namun
hanya beroperasi sampai kantor desa. Setelah itu hanya bisa menggunakan
kendaraan pribadi atau berjalan kaki.
Demi menunjang kelancaran program di Blok Sarongge Girang, fasilitas
yang disediakan oleh TNGGP-GR adalah radio komunitas, Radio Edelweiss.
Radio ini diperuntukkan untuk komunikasi serta pusat aktifitas kegiatan adopsi
pohon. Ketersediaan air bersih di desa ini cukup terjamin. Sumber air langsung
dari kawasan yang dialirkan ke rumah warga.
Gambar 7 Studio siaran Radio Edelweis
Mayoritas masyarakat desa Ciputri beragama Islam. Sarana peribadatan
yang ada meliputi 14 buah masjid dan 34 buah langgar atau mushola.
Kelembagaan yang ada di Desa Ciputri ini sendiri ada pramuka, PKK, Dasa
Wisma, Pamswakarsa, Masyarakat Peduli Api (MPA), Kader Konservasi,
Masyarakat Mitra Polhut (MMP), Kelompok Tani, Kelompok Ternak Kelinci,
Kelompok Ternak Kambing. Desa ini juga memiliki sarana pendidikan seperti
gedung SD sebanyak satu unit, gedung TK sebanyak satu unit, dan perpustakaan
desa sebanyak satu unit yang terletak di basecamp Sarongge Organik Farm (SOF).
19
MANAJEMEN PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK
AGRARIA TNGGP
Bab ini menjelaskan mengenai manajemen taman nasional dalam
pengelolaan resolusi konflik agraria. Ditinjau dari sejarah penetapan kawasan,
pengelolaan yang dilakukan dan aktor-aktor yang terlibat.
Sejarah Kawasan TNGGP
TNGGP pada awalnya merupakan kawasan cagar alam, taman wisata alam
dan hutan produksi baik tetap maupun terbatas. Pada tahun 2003 berdasarkan SK
Menhut No.174 dengan menimbang kawasan memiliki monografi yang cukup
curam dan merupakan habitat hidup dari beberapa hewan yang dilindungi maka
diputuskanlah perubah alih fungsi kawasan tersebut sebagai taman nasional.
Penetapan ini pun disertai dengan perluasan kawasan taman nasional yang
didalamnya tercakup kawasan kelola Perhutani yang digunakan sebagai kawasan
PHBM dengan masyarakat sekitar hutan.
Perluasan kawasan taman nasional dengan penunjukkan perubahan pada
wilayah hutan produksi yang ditindaklanjuti oleh Berita Acara Serah Terima
(BAST) Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas
yang telah diubah Menjadi Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango dari Perum Perhutani kepada Departemen Kehutanan Nomor
07/SJ/DIR/2009, Nomor BA.6/IV-SET/2009 tanggal 29 Januari 2009 dan Berita
Acara Serah Terima (BAST) Pengelolaan Hutan dari Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat dan Banten kepada BBTNGGP Nomor 002/BAST-HUKAMAS/III/
2009-Nomor 1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus 2009 yang termuat
didalamnya petak-petak yang diserahkan dengan total luas 7 655.03 ha, sehingga
luas total kawasan sesuai BAST adalah 22 851.030 ha.
Rentang waktu antara SK Menteri Kehutanan mengenai perluasan pada
tahun 2003 hingga BAST pada tahun 2009 terjadi status quo pada areal perluasan
tersebut (AA, Kabid
KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE
PANGRANGO: SIKAP DAN STRATEGI
BERTAHAN PETANI
IRMA HANDASARI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan Resolusi
Konflik Agraria Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango: Sikap dan
Strategi Bertahan Petani adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya
melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Irma Handasari
NIM I34090136
ABSTRAK
IRMA HANDASARI. Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango: Sikap dan Strategi Bertahan Petani.
Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO.
Pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan pada kasus perluasan TNGGP
di Desa Ciputri Blok Sarongge Girang menyebabkan gabungan kelompok tani
hutan Sawargi terpecah menjadi dua yakni kelompok yang telah menyatakan
keluar dari garapan dan kelompok yang masih menggarap di kawasan. Penelitian
ini bermaksud untuk melihat sikap kelompok tani dan hubungan antara sikap
kelompok tani dengan strategi bertahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sikap yang dihasilkan oleh kedua kategori kelompok tani tersebut sama-sama
positif. Hal ini menunjukkan bahwa sikap terbentuk berdasarkan fakta sosial yang
berlaku di dalam Gapoktan Sawargi. Terdapat hubungan hanya pada sikap dengan
tingkat resistensi petani yang telah menyatakan keluar dari garapan. Pada tingkat
ketergantungan petani penggarap dan tingkat resistensi petani yang masih
menggarap tidak terdapat hubungan. Hal ini dikarenakan keputusan strategi
bertahan muncul akibat adanya pergolakan dari collective action akan kebutuhan
lahan tiap individu dan disisi lain sikap muncul akibat adanya tekanan dari fakta
sosial yang berlaku di dalam Gapoktan Sawargi.
Kata kunci: pengelolaan resolusi konflik agraria, petani penggarap hutan, sikap
petani penggarap, strategi bertahan
ABSTRACT
IRMA HANDASARI. Management Agrarian Conflict Resolution Gede
Pangrango Mt. National Park: Attitudes and Survival Strategies of Peasants.
Supervised by ENDRIATMO SOETARTO.
Management of conflict resolution has done in the case of expansion in the
Village TNGGP Ciputri Block Sarongge Girang cause Sawargi forest farmer
group divided into two groups that have been declared out of the claim and the
group is still working in the area. This study intends to look at the attitude of the
farmer groups and the relationship between the attitude of the farmer groups with
survival strategies. The results showed that the attitude of these two categories of
farmer groups are equally positive. This shows that social attitudes are formed
based on the social facts that apply in Gapoktan Sawargi. Relationship exists only
at farmers' attitudes to the level of resistance that has been declared out of the
claim. At the level of dependence of the resistance level of tenant farmers and
growers who still work there is no relation. This is because the survival strategy
decisions arising from upheaval of collective action will land needs of each
individual and on the other hand attitude arising from the pressure of prevailing
social facts in Gapoktan Sawargi.
Keywords: management agrarian conflict resolution, forest peasants,
peasants attitudes, survival strategies
PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK AGRARIA
KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE
PANGRANGO: SIKAP DAN STRATEGI
BERTAHAN PETANI
IRMA HANDASARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango: Sikap dan Strategi
Bertahan Petani
: Irma Handasari
: I34090136
Disetujui oleh
Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA
NIP. 19521225 1986 1 002
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
NIP 19550630 1981031 003
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang
berjudul Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango: Sikap dan Strategi Bertahan Petani. Penelitian yang dilakukan
sejak bulan Februari dengan pemilihan lokasi di salah satu desa penyangga di
Resort Sarongge yakni desa Ciputri.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Endriatmo
Soetarto, MA sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan
selama proses penulisan hingga penyelesaian penulisan karya ilmiah ini. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staff Balai TNGGP, Green
Radio maupun staff Resort Sarongge dan staff pemerintahan desa Ciputri serta
seluruh responden yang telah membantu selama pengumpulan data. Penulis juga
menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, Bapak
Syamsul Bachri (alm) dan Ibu Siti Nurma. Tak lupa kepada kakak tercinta, Irvan
Subandri yang senantiasa memberi dukungan, doa, serta limpahan kasih sayang
kepada penulis.
Beribu terima kasih penulis ucapkan pada rekan seperjuangan satu lokasi
penelitian Indra Setiyadi. Tidak lupa kepada Anugrah Ramadhan Syah, Rendy
Fernandi dan Fajar Hidayat yang telah membantu dalam pengambilan data di
lapangan. Terima kasih juga kepada Annisa, Selvia Oktaviyani, Mega Pratiwi,
Natasha Cristdavina, Suhermanto, Seno Bayu, Ike Asih, Angga Tribintari, Fitri
Nisa, Fitria Aprilianti yang selalu memotivasi dan menghibur penulis. Ungkapan
terima kasih juga penulis ucapkan kepada Jajang Somantri, Bonita A. Wenas, Suci
Anggrayani dan Rafi Nugraha serta kepada teman-teman yang namanya tidak bisa
disebutkan satu per satu sebagai teman berdiskusi, saling bertukar pikiran,
membantu dan selalu memotivasi penulis dalam proses penulisan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2013
Irma Handasari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
PENDEKATAN TEORITIS
5
Tinjauan Pustaka
5
Kerangka Pemikiran
10
Hipotesis Penelitian
11
Definisi Konseptual
11
Definisi Operasional
12
PENDEKATAN LAPANG
13
Lokasi dan Waktu Penelitian
13
Penentuan Responden Penelitian
13
Teknik Pengumpulan Data
14
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
14
PROFIL DESA CIPUTRI
15
Kondisi Geografis
15
Kondisi Sosial Budaya
16
Kondisi Ekonomi
17
Sarana dan Prasarana
17
MANAJEMEN PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK AGRARIA
TNGGP
19
Sejarah Penetapan Kawasan TNGGP
19
Agraria Dulu Dan Sekarang: Perubahan Akses Petani
22
Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria
23
Pemetaan Aktor-aktor
27
Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
27
Perkumpulan GEDE PAHALA
28
Green Radio
29
Gabungan Kelompok Tani Hutan Sawargi
30
SIKAP KELOMPOK TANI
33
Tekanan Fakta Sosial Membentuk Sikap Petani
33
Realita dan Sikap Tak Sejalan
34
HUBUNGAN SIKAP PETANI DENGAN STRATEGI BERTAHAN
37
Gejolak Perlawanan Dibalik Sikap Petani
37
Lahanku Hidupku Versus Solidaritas Kelompok
39
SIMPULAN DAN SARAN
43
Simpulan
43
Saran
43
DAFTAR PUSTAKA
45
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
59
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Populasi dan sampel penelitian
Mata pencaharian penduduk Desa Ciputri
Kronologis penetapan kawasan TNGGP
Karakteristik pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan resolusi
konflik
Jumlah dan persentasi petani penggarap terhadap pengelolaan resolusi
konflik
Jumlah dan persentase sikap petani berdasarkan hubungan dengan
tingkat resistensi
Jumlah dan persentase sikap petani berdasarkan hubungan dengan
tingkat ketergantungan
Mata pencaharian responden petani yang telah menyatakan keluar dari
garapan
13
17
20
32
33
37
39
40
DAFTAR GAMBAR
1 Berbagai pendekatan dalam mengelola konflik
2 Tingkatan berdasarkan jumlah anggota kelompok
3 Kerangka pemikiran
4 Peta lokasi penelitian
5 Lokasi perkebunan masyarakat
6 Alat musik karinding
7 Studio siaran Radio Edelweis
8 Peta adopsi pohon
9 Sertifikat penghargaan petani keluar dari garapan
10 Salah satu surat perjanjian TNGGP dan Gapoktam Sawargi
7
10
11
15
16
17
18
24
25
31
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Kerangka sampling
Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013
Dokumentasi
Cerpen Lahanku Hidupku
47
49
50
54
PENDAHULUAN
Bagian ini akan menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Berikut ini adalah penjelasan
dari masing-masing bagian tersebut.
Latar Belakang
Maraknya sengketa tanah yang terjadi pada tahun 2011, beberapa
diantaranya berujung anarkisme. Mulai dari kasus Aceh, Mesuji, hingga Bima.
Penyebaran potensi konflik dari sengketa tanah hingga di kawasan hutan. Menurut
data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebutkan dari 192 juta ha wilayah
daratan Indonesia, seluas 136 juta ha diantaranya adalah hutan. Sekitar 18%
mengenai urusan tapal batas antara lahan pemerintah, masyarakat dan perusahaan
di kawasan hutan yang selesai. Kepala Departemen Advokasi Walhi, Mukri
Friatna mengatakan masih ada 82% atau setara dengan 115.5 juta ha area hutan di
Indonesia yang berpotensi menjadi daerah konflik. (wan et al. 2012)
Sumber-sumber agraria di Indonesia yang sejatinya bertujuan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat menjadi ajang kontestasi para kapitalis, masyarakat
menjadi bagian yang termarjinalkan. Soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup
dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi
manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup
manusia. Oleh karena itu, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala
yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya (Tauchid 2009). Menurut
Tadjudin (1999), rakyat akan melawan ketika terusik maka terjadilah konflik.
Penyebabnya karena adanya perbedaan persepsi, pengetahuan, tata nilai,
kepentingan atau akuan hak kepemilikan. Konflik agraria yang marak terjadi di
Indonesia tidak lepas dari kedudukan tanah dan sumber daya alam mempunyai
peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia erat hubungannya dengan
kesejahteraan dan keberlangsungan hidup suatu kelompok masyarakat.
Banyaknya penelitian mengenai konflik agraria menjelaskan tentang ciri
khas tiap konflik yang terjadi di setiap sektor dengan penyelesaian yang sesuai
dengan karakteristik dan eskalasi konfliknya. Pada kenyataannya tidak semua
resolusi konflik disepakati oleh pihak yang berkepentingan. Di lain pihak, banyak
rakyat kecil yang dirugikan karena tuntutan dari penyelesaian konflik tidak
terpenuhi.
Pemerintah yang cenderung mengedepankan hukum formal tertulis yaitu
hukum positif nasional tentang agraria. Masyarakat sendiri memiliki hukum dan
mekanisme untuk menyelesaikan konflik bahkan mencegah jika ada potensi
terjadinya konflik. Mereka punya kelaziman-kelaziman dan tradisi turun temurun,
punya hukum tradisional yang digunakan mengatur antara lain pembagian tanah
dan konflik, bahkan punya lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan
berbagai persoalan (Safitri 2012). Sudut pandang yang berbeda inilah yang
menyebabkan penyelesaian konflik yang “alot”.
Masyarakat sendiri memiliki kesamaan rasa, pemikiran dan perilaku yang
muncul akibat adanya norma dan nilai yang terbentuk. Hal ini sebagai bentuk
2
perwujudan dari hati nurani kolektif yang oleh Durkheim (Sunarto 1993) disebut
fakta sosial. Fakta sosial dalam kasus konflik agraria bisa muncul dari solidaritas
yang terbentuk di masyarakat. Solidaritas itu timbul akibat “sama nasib” dalam
mempertahankan lahannya. dengan kepentingan yang sama. Hal tersebut akan
memicu terjadinya aksi kolektif.
Aksi kolektif merupakan perwujudan dari aksi atas nama kelompok dimana
anggota kelompok bertindak atas kepentingan kelompok. Aksi kolektif dapat pula
memicu free rider dimana anggota tidak bertindak tetapi “menumpang” pada
kelompok (Olson 1980). Olson (1980) juga menambahkan bahwa tidak semua
aksi kolektif berdasarkan kepentingan kelompok tetapi atas dasar kepentingan
individu.
Undang–undang No. 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa salah
satu penyelenggaraan kehutanan bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan aneka fungsi
hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk
mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan
lestari. Hal ini menjadi dasar pemikiran terhadap kasus–kasus konflik taman
nasional dan masyarakat sekitarnya. Menurut undang-undang tersebut dapat
dirumuskan pengelolaan hutan secara lestari antara masyarakat dengan lembaga
milik Negara. Sama halnya yang dilakukan oleh Pihak Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (yang selanjutnya disebut TNGGP).
Keberadaan TNGGP sendiri yang berstatus sebagai hutan penyangga bagi
masyarakat sekitar Jabodetabek saat ini mengalami kondisi yang sangat kritis. Hal
ini ditinjau dari kerusakan pada lahan sebelum penetapan kawasan sebagai taman
nasional. Perubahan alih fungsi lahan ini dilakukan karena perlunya rehabilitasi
akibat dari penggunaan lahan yang merusak ekologi dan membahayakan. Tidak
hanya untuk sumberdaya hutan yang ada tetapi juga bagi masyarakat.
Perluasan kawasan TNGGP dengan penunjukkan perubahan pada wilayah
hutan produksi yang ditindaklanjuti oleh Berita Acara Serah Terima (BAST)
Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas menjadi
kawasan konservasi TNGGP dari Perum Perhutani yang mencakup kawasan
PHBM antara petani hutan dan Perum Perhutani. Perubahan status kawasan ini
menjadikan akses petani penggarap hutan terhadap kawasan menjadi tertutup.
Perlunya mempertahankan fungsi kawasan taman nasional sebagai penyangga
sistem kehidupan, perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta
menunjang pemanfaatannya secara lestari.
Petani hutan menganggap kawasan TNGGP sebagai ruang hidup sedangkan
TNGGP berkepentingan untuk mengkonservasikan SDA yang terdapat di dalam
kawasan. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik karena adanya perbedaan
kepentingan. Faktanya, pihak TNGGP dinilai berhasil menciptakan suatu
pengelolaan resolusi konflik sehingga konflik tidak mencuat ke permukaan
dengan mengakomodasikan kepentingan petani hutan. Pihak Balai TNGGP
menetapkan pengelolaan resolusi konflik guna pelestarian hutan di kawasan yang
dilakukan secara bersama dengan petani penggarap hutan.
Situasi harmonis diciptakan sehingga perbedaan kepentingan yang dapat
memicu konflik tidak mencuat dengan try to find the common enemy yakni
kerusakan ekologi. Hubungan asosiatif diciptakan melalui proses dialektif untuk
mengakomodasi kepentingan dari situasi yang ada. Pengelolaan resolusi konflik
bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan altenatif mata pencaharian lain
3
agar menghentikan aktifitas bertani di kawasan. Selain itu, dalam pengelolaan
resolusi konflik ini juga sebagai peningkatan kesadaran petani penggarap akan
pentingnya arti kawasan taman nasional. Pengelolaan ini telah berjalan selama ± 5
tahun.
Hasilnya terdapat petani penggarap yang telah menyatakan keluar dari
kegiatan bertani di kawasan namun sebagian besar petani masih bertahan. Pada
dasarnya seluruh petani penggarap diikutsertakan dalam pengelolaan resolusi
konflik yang dilakukan. Permasalahannya jumlah petani yang masih tetap
menggarap di kawasan lebih besar dibandingkan petani yang telah menyatakan
keluar dari garapannya. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat pengelolaan
resolusi konflik yang dilakukan antara pihak TNGGP dengan kelompok petani
hutan di Resort Sarongge Blok Sarongge Girang kawasan TNGGP.
Perumusan Masalah
Masalah penelitian yang diangkat adalah:
1. Bagaimana manajemen pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan antar
pihak di Resort Sarongge Blok Sarongge Girang Kawasan TNGGP?
2. Bagaimana fakta sosial memberi tekanan terhadap sikap kelompok tani hutan
terhadap pengelolaan resolusi konflik?
3. Bagaimana hubungan bentuk perlawanan dan keterikatan petani terhadap lahan
dibalik sikap petani terhadap pengelolaan resolusi konflik?
Tujuan Penelitian
Atas dasar rumusan pertanyaan yang sudah dikemukakan sebelumnya maka
tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis dan mendapat gambaran manajemen pengelolaan resolusi konflik
yang dilakukan antar pihak Resort Sarongge Blok Sarongge Girang Kawasan
TNGGP.
2. Menganalisis tekanan fakta sosial yang diberikan dalam membentuk sikap
kelompok tani terhadap pengelolaan resolusi konflik.
3. Menganalisis hubungan bentuk perlawanan dan keterikatan petani terhadap
lahan dibalik sikap petani terhadap pengelolaan resolusi konflik.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Bagi akademisi, sebagai bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut mengenai
pengelolaan resolusi konflik agraria;
2. Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam penanganan konflik
agraria yang terjadi di kawasan taman nasional yang lebih melibatkan
masyarakat; dan
3. Bagi swasta, sebagai rujukan kerjasama dalam melestarikan ekosistem dan
sumberdaya alam melalui program pemberdayaan masyarakat berbasis
lingkungan.
4
5
PENDEKATAN TEORETIS
Bab ini menjelaskan mengenai pustaka rujukan yang diambil dari beberapa
sumber seperti buku, peraturan pemerintah maupun hasil penelitian. Bab ini juga
menjelaskan mengenai kerangka pemikiran yang diikuti oleh hipotesis penelitian,
definisi konseptual dan definisi operasional. Berikut ini penjelasan masing-masing
bagian tersebut.
Tinjauan Pustaka
Taman Nasional
Menurut UU No. 41 tahun 1999 Pasal 1 hutan konservasi adalah kawasan
hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Menurut fungsi
pokoknya hutan terbagi menjadi 3 jenis yakni hutan konservasi, hutan lindung dan
hutan produksi (Pasal 6). Pada penjelasan di pasal 7 hutan konservasi terdiri dari
kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru.
Kawasan hutan Suaka Alam (KSA) berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka
Margasatwa (SM); Kawasan hutan Pelestarian Alam (KPA) berupa Taman
Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura) dan Taman Wisata Alam (TWA);
dan Taman Buru (TB).
“National parks are large areas of public land set aside for native plants, animals and the
places in which they live. National parks protect places of natural beauty.” (Anonim 2012)
Taman Nasional adalah salah satu contoh kawasan hutan pelestarian alam
yang merupakan salah satu bentuk dari hutan konservasi. Menurut UU No. 5
Tahun 1990 di dalam Kamus Rimbawan, Taman Nasional merupakan kawasan
perlestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan dengan tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Fungsi zonasi yakni
membatasi gangguan terhadap perubahan ekosistem dan mempertahankan
ekosistem asli yang berada di taman nasional.
Konsep Konflik Agraria
Salah satu definisi konflik dalam ilmu sosial adalah suatu situasi proses
yaitu proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok dalam
memperebutkan objek yang sama demi kepentingannya. Mengacu pada Ritzer dan
Douglas (2010) mengenai teori konflik Dahrendrof melihat masyarakat setiap saat
tunduk pada proses perubahan, pertikaian dan konflik dalam sistem sosial serta
melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan
perubahan. Keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan
terhadap anggotanya oleh mereka yang berada diatas dengan menekankan pada
peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Dalam
teorinya Dahendrof beranggapan bahwa masyarakat terbentuk dengan adanya
konsensus dan konflik menjadi persyaratan satu sama lain.
Analisa mengenai konflik ala Dahendrof mencakup tiga kunci, yaitu otoritas,
kepentingan dan kelompok. Dahendrof membedakan menjadi tiga tipe kelompok
6
utama yakni kelompok semu (quasi grup), kelompok kepentingan dan kelompok
konflik. Singkatnya segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu
melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial.
Perubahan secara radikal akan terjadi jika konflik itu hebat. Akan terjadi
perubahan struktur secara tiba-tiba jika konflik disertai tindakan kekerasan.
Konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Berkaitan dengan
konflik agraria, maka objek yang sama yang diperebutkan itu berupa tanah dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang, dan
juga udara yang berada di atas tanah bersangkutan (Wiradi 2009). Konflik dibagi
menjadi dua level jenis menurut level permasalahannya, yaitu konflik vertikal dan
konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak
lainnya berada pada level yang berbeda. Sedangkan konflik horizontal terjadi
antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya (Fuad dan Maskanah 2000).
Fuad dan Maskanah (2000) berpendapat konflik dapat berwujud konflik
tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tertutup
(latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak
sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik.
Sering kali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan
yang paling potensial. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan antara
pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan,
kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaiannya sendiri belum
berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik pihak-pihak yang
berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah
memulai untuk bernegosiasi atau mencapai jalan buntu.
Pengelolaan Resolusi Konflik
Berbagai cara dikembangkan untuk menampung, mengatasi dan
menyelesaikan keluhan atau perasaan tidak diperlakukan secara adil maupun
konflik-konflik yang terbuka. Faktor yang mempengaruhi pilihan yang diambil
dalam mengelola konflik tergantung dari bagaimana pihak yang berkonflik
menilai pentingnya menjaga hubungan baik dengan pihak lawannya dan
pentingnya meraih satu tujuan.
Fuad dan Maskanah (2000) merumuskannya dalam penyelesaian konflik
alternatif (PKA). Konsepsi PKA dikelompokkan dalam kelompok besar yakni
pengelolaan konflik yang melibatkan pihak ke-3 dan pengelolaan konflik tanpa
melibatkan pihak ke-3. Pengertian pihak ke-3 dalam wacana pengelolaan konflik
ini adalah satu atau beberapa pihak yang pada hakikatnya tidak terkait secara
langsung dengan kepentingan masing-masing pihak yang berkonflik, sehingga
bersifat netral dan nonpartisan. Pengelolaan konflik harus ada perencanaan yang
baik mengenai strategi, taktik dan teknik dengan pertimbangan setiap resiko yang
ada pada setiap pilihan dan harus dapat meminimalisir resiko (Fuad dan Maskanah
2000).
Pelibatan para aktor dalam menangani konflik dapat mempengaruhi
keberhasilan pengelolaan konflik. Dikutip dari CICR (the Canadian Institute for
Conflict Resolution) dalam Fuad dan Maskanah (2000), pengelolaan konflik yang
melibatkan pihak ke-3 ini antara lain dalam bentuk fasilitasi, konsultasi,
koordinasi, konsiliasi dan mediasi; sedangkan yang tidak melibatkan pihak ke-3
adalah negosiasi. Adapun pengertian dari masing-masing bentuk pengelolaan
konflik, yakni:
7
1. Fasilitasi yakni bantuan dari pihak ke-3 untuk memungkinkan terjadinya
suatu pertemuan atau perundingan yang produktif dimana pihak ke-3
berperan sebagai fasilitator.
2. Konsultasi merupakan pertemuan antara kedua pihak atau lebih untuk
membahas permasalahan yang dianggap penting sehingga dapat dicarikan
pemecahan bersama.
3. Koordinasi merupakan upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
memiliki otoritas atau kewenangan tertentu untuk menyelesaikan timbulnya
masalah akibat perbedaan interpretasi agar terhindar dari penanganan yang
bersifat tumpang tindih.
4. Konsiliasi adalah usaha yang dilakukan pihak ke-3 yang bersifat netral,
untuk berkomunikasi dengan kelompok-kelompok yang berkonflik secara
terpisah dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan dan mengusahakan ke
arah tercapainya persetujuan untuk berlangsungnya suatu proses
penyelesaian konflik.
5. Mediasi adalah bantuan dari pihak ke-3 dalam suatu proses negosiasi namun
pihak ke-3 (mediator) tidak ikut serta mengambil keputusan.
6. Negosiasi merupakan proses yang berlangsung secara sukarela diantara
beberapa pihak, dengan bertatap muka secara langsung untuk memperoleh
kesepakatan yang dapat diterima mengenai suatu isu atau masalah tertentu.
Tinggi
Menampung
(Accomodation)
Arti penting
hubungan baik
dengan
pihak lain
Kesepakatan
(Consensus)
Kompromi
(Compromise)
Atau
Tawar menawar
(Trade – Offs)
Menghindar
(Withdrawal)
Rendah
Pemaksaan
(Force)
Arti penting
Rendah
tujuan yang
hendak diraih
Tinggi
Gambar 1 Berbagai Pendekatan dalam Mengelola Konflik
(Anonim dalam Fuad dan Maskanah 2000)
Konsep Sikap
Menurut Robbins (2001), sikap sebagai pernyataan evaluatif baik yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai suatu objek, orang atau
peristiwa. Sikap bukan perilaku, tapi kecenderungan untuk berperilaku dengan
cara-cara tertentu terhadap objek sifat. Sikap lebih dapat dibentuk, dikembangkan,
dipengaruhi dan diubah karena sikap merupakan suatu yang dipelajari (bukan
bawaan). Sarwono (2002) berpendapat bahwa sikap merupakan suatu
8
kecenderungan berperilaku terhadap suatu objek tertentu yang menunjukkan rasa
suka atau tidak suka, setuju dan tidak setuju serta mengandung tiga komponen
yang mengorganisasikan sikap individu tersebut, yakni:
a. Kognitif
Komponen ini merupakan komponen pengetahuan atau kesadaran akan
suatu objek sikap tertentu yang terdiri dari pemikiran seseorang mengenai
objek seperti fakta, pengetahuan dan keyakinan.
b. Afektif
Komponen ini meliputi bagaimana faktor emosi dan perasaan individu
mempengaruhi sikap, baik itu positif maupun negatif yang diasosiasikan
dengan objek sikap.
c. Konatif
Komponen ini berupa kecendrungan berperilaku (melakukan tindakan)
tertentu yang berkaitan dengan objek sikap.
Sikap yang positif cenderung tindakannya adalah mendekati, menyenangi
dan mengharapkan pada objek tertentu, sedangkan pada sikap yang negatif
terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak
menyukai objek tertentu. Tidak semua sikap selaras dengan perilaku jika terdapat
tekanan yang besar terhadap individu untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai
(Sarwono 2002).
Durkheim berpendapat meskipun ego dapat memilih perilaku tertentu untuk
berhadapan dengan lainnya dalam realitasnya pilihan itu sudah disediakan untuk
ego. Adanya aturan-aturan atau standar-standar perilaku secara kolektif sebagai
tempat manusia belajar. Durkheim menyebut hal tersebut dengan fakta sosial.
Fakta sosial berada eksternal dan mempengaruhi individu-individu (Jones 2010).
Durkheim mengemukakan tiga karakteristik fakta sosial yang berbeda.
Pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Kedua, fakta sosial itu
memaksa individu. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan
fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang
untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Ketiga, fakta sosial
bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat.
Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat
individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan
beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif dan
pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
Durkheim ingin menegakkan pentingnya tingkat sosial daripada menarik
kenyataan sosial dari karakteristik individu. Durkheim juga mengatakan dalam
meneliti masyarakat ditinjau dari struktur sosial, norma kebudayaan, dan nilai
sosial yang dimasukan dan dipaksakan (koersi) kepada pelaku sosial.
Konsep Kelompok
Kelompok memiliki berbagai makna. Sejak lahir hingga kini ego telah
menjadi anggota berbagai kelompok. Merton mendefinisikan kelompok sebagai
sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain sesuai dengan pola-pola yang
telah mapan (Sunarto 1993). Merton juga menyebutkan tiga kriteria objektif dari
suatu kelompok yakni sering terjadinya interaksi, pihak-pihak berinteraksi
mendefiisikan diri mereka sebagai anggota dan pihak-pihak berinteraksi
didefinisikan orang lain sebagai anggota kelompok.
9
Menurut Merton dalam Sunarto (1993) keanggotaan dalam suatu kelompok
tidak berarti bahwa seseorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi
cara bersikap, menilai maupun bertindak. Terkadang perilaku seseorang tidak
mengacu pada kelompok yang didalamnya ia menjadi anggota, melainkan pada
kelompok lain. Dalam berperilaku dan bersikap seseorang dapat menunjukan
konformitas pada kelompok luar.
Pengklasifikasian kelompok menurut Durkheim dalam Sunarto (1993)
berdasarkan solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis
mengutamakan perilaku dan sikap dimana anggota kelompok diikat dengan suatu
kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan
kelompok, bersifat ekstern serta memaksa. Solidaritas mekanis mencirikan
masyarakat yang masih sederhana. Pembagian kerja belum berkembang dan tidak
memerlukan bantuan dan kerjasama dengan kelompok diluarnya. Peranan semua
anggota sama sehingga ketidakhadiran seorang anggota kelompok tidak
mempengaruhi kelangsungan hidup kelompok. Sanksi terhadap pelanggaran
hukum disini bersifat represif.
Solidaritas organis telah mengenal pembagian kerja yang rinci dan
dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian. Solidaritas organis ini
mencirikan masyarakat yang kompleks. Anggota kelompok solidaritas organis
diikat berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terjalin di antara berbagai
profesi. Jika terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan bersama maka dikenakan
sanksi restitutif.
Adanya solidaritas dalam sebuah kelompok akan memicu aksi kolektif.
Menurut Olson (1980), sekelompok orang dengan kepentingan bersama
diharapkan untuk bertindak atas nama kepentingan bersama mereka sebagai
individu tunggal untuk bertindak atas nama kepentingan pribadi. Kepentingan
bersama dianggap sebagai kepentingan pribadi. Olson menekankan bahwa
kepentingan bersama muncul dari kepentingan individu yang sama dalam sebuah
kelompok.
Olson (1980) juga berpendapat bahwa jika semua orang dalam kelompok
(dari berbagai ukuran) memiliki kepentingan yang sama, maka mereka akan
bertindak secara kolektif untuk mencapai tujuan mereka. Pada dasarnya kelompok
yang terlalu besar tidak dapat memenuhi tujuan aksi kolektif perindividu
sedangkan kelompok kecil akan mendapatkan banyak pemenuhan tujuan aksi
kolektif yang berhasil. Oleh karena itu kelompok besar kurang mampu bertindak
sesuai dengan kepentingan bersama mereka dari yang kecil.
Tidak hanya akan tindakan kolektif oleh kelompok besar sulit dicapai
bahkan ketika mereka memiliki kepentingan yang sama namun situasi juga bisa
terjadi dimana minoritas dapat mendominasi mayoritas. Hal inilah yang dapat
menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan oleh kelompok besar. Perlunya
tindakan yang dapat menjaga sistem dalam kelompok.
Menurut Merton (2013) fungsi manifest adalah mereka yang dimaksudkan
dan diakui. Ini adalah fungsi yang orang berasumsi dan berharap lembagalembaga untuk memenuhi. Fungsi laten adalah fungsi yang belum diakui dan tidak
disengaja. Ini adalah konsekuensi yang tak terduga lembaga. Fungsi laten struktur
lembaga atau parsial dapat mendukung fungsi manifest. Fungsi laten mungkin
tidak relevan dengan fungsi nyata bahkan dapat merusak fungsi nyata. Perbedaan
antara manifest dan fungsi laten dasarnya relatif dan tidak mutlak. Sebuah fungsi
10
mungkin tampak nyata untuk beberapa dalam sistem sosial dan laten bagi orang
lain.
Bureaucracy
Association
Organization
Group
Crowded
Gambar 2 Tingkatan berdasarkan jumlah anggota kelompok
Kerangka Pemikiran
Berawal dari teori mengenai konflik agraria sektor taman nasional yang
menjadi ajang kontestasi antara pemerintah dan petani haus lahan akibat adanya
perubahan rezim dari Perhutani menjadi taman nasional. Berbagai cara dilakukan
untuk mengakomodasi kepentingan petani guna mengkondusifkan situasi pemicu
konflik berupa pengelolaan resolusi konflik. Manajemen taman nasional
dilakukan dengan proses yang panjang bekerjasama dengan berbagai instansi baik
LSM maupun swasta. Pengelolaan resolusi konflik yang dihasilkan berupa adopsi
pohon dan pemberian insentif usaha ternak.
Pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan ini menyebabkan kelompok
tani terbagi menjadi dua bagian. Peneliti menggolongkannya menjadi petani yang
sudah menyatakan keluar dari garapan hutan dan petani yang masih menggarap di
hutan. Perbedaan sikap pada petani terhadap pengelolaan resolusi konflik perlu
dibandingkan untuk mengetahui pengaruh fakta sosial yang berlaku pada
kelompok tani. Adapun variabel yang digunakan kognitif, afektif dan konatif
petani terhadap pengelolaan resolusi konflik.
Variabel selanjutnya adalah strategi bertahan petani. Strategi bertahan petani
untuk menunjukkan pengaruh kelompok dalam aksi bersama petani terhadap
lahan garapan hutan. Adanya hubungan sikap dan strategi bertahan petani dilihat
dari tingkat resistensi dan tingkat ketergantungan petani. Tingkat resistensi ini
menunjukkan sejauh mana petani akan bertahan terhadap lahan garapan. Tingkat
ketergantungan menunjukkan keterikatan petani terhadap lahannya.
Lengkapnya disajikan dalam bentuk kerangka pemikiran. Lihat Gambar 3.
11
Manajemen
Taman Nasional
Pengelolaan
Resolusi
Konflik Agraria:
1. Adopsi Pohon
2. Insentif Usaha Ternak
Sikap petani hutan yang
masih menggarap di
dalam kawasan:
1. Kognitif
2. Afektif
3. Konatif
Sikap petani hutan yang
telah
keluar
dari
menggarap di kawasan:
1. Kognitif
2. Afektif
3. Konatif
Strategi Bertahan:
a. Tingkat Resistensi
b. Tingkat Ketergantungan
Keterangan
: berhubungan
: dianalisa secara deskriptif
Gambar 3 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan sikap antara kelompok tani terhadap pengelolaan resolusi
konflik.
2. Terdapat hubungan antara sikap kelompok tani terhadap strategi bertahan
(tingkat resistensi dan tingkat ketergantungan).
Definisi Konseptual
1.
2.
Manajemen taman nasional sebagai sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk
mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan
dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa
tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan
jadwal (Griffin 2006).
Pengelolaan resolusi konflik agraria adalah hasil dari manajemen yang
dilakukan oleh taman nasional berupa adopsi pohon dan insentif usaha ternak
12
3.
untuk mengakomodasi kepentingan petani terhadap lahan garapan. Hal ini
guna mengkondusifkan situasi pemicu konflik.
Kelompok tani diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan yang sudah
menyatakan keluar dari kawasan dan yang masih menggarap di kawasan.
Definisi Operasional
1.
2.
Sikap adalah kecenderungan petani dalam menanggapi pengelolaan resolusi
konflik (adopsi pohon dan insentif usaha ternak). Sikap dikategorikan
menjadi 3 yakni positif, netral dan negatif. Skoring untuk penentuannya yakni
positif: 7-9 ; netral: 5-6 ; negatif 3-4. Diukur melalui 3 indikator secara
komposit melalui pernyataan tertutup dengan skala ordinal yakni:
a. Kognitif adalah aspek sikap yang menyangkut pengetahuan petani
tentang pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Data diukur
menggunakan skala likert, dengan skor Ya (2) dan Tidak (1). Dibagi
menjadi 3 kelas yaitu tinggi (3): skor 19-22 ; sedang (2): skor 15-18 ;
rendah (1): 11-14.
b. Afektif adalah aspek sikap yang menyangkut perasaan serta penilaian
petani terhadap pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Data diukur
menggunakan skala likert, dengan skor Sangat Setuju (4), Setuju (3),
Tidak Setuju (2) dan Sangat Tidak Setuju(1). Dibagi menjadi 3 kelas
yaitu tinggi (3): skor 24-32 ; sedang (2): skor 16-23 ; rendah (1): 8-15
c. Konatif adalah aspek sikap berupa kecendrungan dalam perilaku petani
terhadap pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Data diukur
menggunakan skala likert, dengan skor Ya (2) dan Tidak (1).Dibagi
menjadi 3 kelas yaitu tinggi (3): skor 10-12 ; sedang (2): skor 8-9 ;
rendah (1): 6-7.
Strategi bertahan adalah cara petani untuk mempertahankan lahan garapannya
yang diukur melalui:
a. Tingkat resistensi adalah tingkatan yang menunjukkan pada posisi
sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan, menentang
atau upaya oposisi pada umumnya sikap ini tidak berdasarkan atau
merujuk pada paham yang jelas. Tingkat resistensi dibedakan dengan
menggunakan skala ordinal melalui pertanyaan terbuka yaitu:
i. Masih ada teman sekawan yang masih membuka lahan: tinggi, diberi
skor 3
ii. Butuh lahan, masih ada waktu perjanjian hingga agustus 2013:
sedang, diberi skor 2
iii. Keputusan bersama untuk keluar dari garapan, modal mahal, situasi
terdesak: rendah, diberi skor 1
b. Tingkat ketergantungan adalah tingkatan petani memaknai lahan sebagai
ruang hidup sebagai sumber mata pencaharian. Tingkat ketergantungan
dibedakan dengan menggunakan skala ordinal melalui pertanyaan semi
terbuka yaitu:
i. Sangat tergantung
: tinggi, diberi kode 3
ii. Tergantung
: sedang, diberi kode 2
iii. Tidak tergantung
: rendah, diberi kode 1
13
PENDEKATAN LAPANG
Bab ini menjelaskan mengenai metode pelaksanaan penelitian yang
dilakukan. Beberapa hal yang berkaitan dengan waktu, tempat penelitian
dilakukan. Selain itu juga dideskripsikan bagaimana pengolahan data hasil dari
wawancara dan pengisian kuesioner. Ada pula penjelasan mengenai penentuan
sampel dan responden.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Ciputri. Pemilihan lokasi dilakukan secara
sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa:
1. Merupakan desa penyangga yang termasuk kawasan eks-PHBM terdapat
kelompok tani penggarap hutan yang terkena perluasan kawasan TNGGP
sehingga dilakukan manajemen resolusi konflik yang telah berjalan selama
hampir lima tahun.
2. Adanya petani yang menyatakan keluar dari menggarap di kawasan serta petani
yang masih menggarap sehingga dilakukan perbandingan antara dua golongan
kelompok.
Penelitian dilaksanakan dalam waktu lima bulan (Lampiran 2). Kegiatan
penelitian meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal
penelitian, pengambilan data di lapang, pengolahan dan analisis data, penulisan
draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi.
Penentuan Responden Penelitian
Unit analisis penelitian ini adalah individu. Responden adalah petani
penggarap hutan. Populasi adalah anggota gabungan kelompok tani hutan Sawargi
dengan jumlah 154 orang. Semua anggota tinggal di Desa Ciputri yang
didominasi di Kampung Sarongge Girang. Data populasi anggota kelompok
diperoleh dari daftar petani penggarap yang dimiliki oleh pihak TNGGP dan ketua
Gapoktan. Kerangka sampling adalah sama dengan populasi (Lampiran 1). Jumlah
responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 33 orang petani penggarap dan 13
petani penggarap yang telah menyatakan keluar dari garapan (Tabel 1).
Pengambilan responden dengan menggunakan sistem Lingkar Survei Indonesia
dimana jumlah responden 30% dari total populasi. Responden diambil secara acak
sederhana dari kerangka sampling dengan menggunakan bantuan program Ms.
Excel 2007.
Tabel 1 Populasi dan sampel penelitian
No.
1.
2.
Lokasi
∑populasi ∑ sampel
Petani yang masih menggarap di dalam kawasan
110 orang
33 orang
TNGGP
Petani yang sudah menyatakan untuk tidak
45 orang
13 orang
menggarap di kawasan TNGGP
Total
46 orang
14
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh peneliti atas dasar jawaban responden.
Data sekunder sendiri diperoleh dari kajian pustaka dan analisis literatur-literatur
yang terkait dengan manajemen TNGGP dan pengelolaan resolusi konflik yang
dilakukan. Untuk menjawab perumusan masalah mengenai sikap petani dan
strategi bertahan disajikan wawancara terstruktur melalui kuesioner yang diisi
oleh peneliti. Data primer dan data sekunder saling mendukung satu sama lain
untuk menyempurnakan hasil penelitian.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data hasil kuesioner ini dicatat apa adanya dan dilakukan analisis serta
interpretasi untuk menarik kesimpulan tentang hasil penelitian. Variabel-varibel
yang ada dalam pertanyaan kuesioner kemudian diberi kode sesuai dengan
ketentuan yang tertera dalam definisi operasional. Data kemudian dimasukkan ke
dalam Ms. Excel 2007 dan dituliskan dalam bentuk kode. Kemudian dilakukan
entri data ke dalam program SPSS versi 16.0 for Windows. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan tabel frekuensi, tabulasi silang dan Rank
Spearman. Selanjutnya menginterpretasi hasil pengolahan data dengan mengacu
pada hipotesis. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah
untuk menjawab perumusan masalah.
15
PROFIL DESA CIPUTRI
Profil Desa Ciputri memuat informasi mengenai desa yang dijadikan tempat
penelitian. Adapun informasi yang tersaji dalam bab ini adalah mengenai kondisi
geografis Desa Ciputri. Digambarkan juga bagaimana kondisi sosial budaya yang
tercermin dari keseharian masyarakat. Dijabarkan pula mengenai kondisi ekonomi
melalui penjabaran mata pencaharian dan penghasilan rata-rata terutama
responden.
Kondisi Geografis
Desa Ciputri merupakan salah satu desa yang tergabung dalam wilayah
Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Desa ini berbatasan langsung dengan
wilayah TNGGP di sebelah barat, sebelah utara berbatasan dengan Desa Ciherang
Kecamatan Pacet, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Galudra Kecamatan
Cugenang dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Cibeureum Kecamatan
Cugenang. Desa Ciputri termasuk topografi wilayah dataran tinggi dengan curam
kemiringan rata-rata 75% dengan ketinggian antara 100-2 900 mdpl dan memiliki
luas 636 ha.
Sumber: data profil desa Ciputri
Gambar 4 Peta lokasi
Curah hujan di Desa Ciputri mencapai rata-rata 3 380 mm/tahun. Desa
Ciputri terdiri dari 35 Rukun Tetangga (RT) yang tergabung ke dalam 9 Rukun
Warga (RW). Desa Ciputri terdiri dari Kampung Tunggilis (RW 01), Kampung
Ciherang Pom (RW 02), Kampung Ciherang Rawajaya (RW 03), Kampung
Ciherang (RW 04), Kampung Babakan Nagrog (RW 05), Kampung Sarongge
Pabrik (RW 06), Kampung Babasaran (RW 07), Kampung Sarongge Kidul (RW
16
08), Kampung Sarongge Girang (RW 09). Kampung Sarongge Girang (RW 09)
merupakan domisili dari sebagian besar petani penggarap hutan. Kampung ini
terdiri dari empat RT dan merupakan kampung yang berbatasan langsung dengan
kawasan TNGGP.
Desa Ciputri sebagian besar berupa lahan pertanian. Kebun masyarakat yang
ditanami oleh sayuran, kebun buah berry (strawberry, rasberry dan blueberry) dan
kebun teh PTPN VIII. Kondisi kemiringan lahan di kampung Sarongge Girang
sebenarnya tidak layak untuk dijadikan perkebunan ditambah lagi dalam
perkebunan tersebut jarangnya pohon pemecah angin sehingga kemungkinan
terjadinya bencana angin kencang semakin besar.
Gambar 5 Lokasi perkebunan masyarakat
Kondisi Sosial Budaya
Jumlah penduduk yang ada di Desa Ciputri adalah 11 133 orang. Jumlah
tersebut terbagi kedalam 5 729 orang laki-laki dan 5 404 orang perempuan.
Jumlah kepala keluarga ada 2 044 KK dengan kepadatan penduduk 17 505
jiwa/ha (sumber: profile desa). Pendidikan terakhir yang ditempuh sebagian besar
penduduk desa Ciputri hanya sampai Sekolah Dasar.
Bahasa yang digunakan sehari-hari yakni bahasa Sunda dan bahasa
Indonesia. Terdapat kelompok kesenian Sunda di Kampung Sarongge Girang
bernama Paguyuban Seni Sunda Medal Surya. Paguyuban seni sunda ini melatih
anak-anak bermain musik, silat dan jaipong. Karinding menjadi icon alat musik
khas Sarongge. Pak Maman salah satu pembuat karinding yang terkenal di Desa
Ciputri.
Gambar 6 Alat musik karinding
17
Peneliti berbincang-bincang dengan beberapa anak di luar kelompok
tersebut mengenai kesenian sunda seperti lagu Manuk Dadali, sungguh
disayangkan mereka tidak mengetahui. Orang tua tidak pernah memaksakan
pendidikan untuk anak-anaknya. Selama anaknya ingin bersekolah maka akan
disekolahkan namun jika anaknya ingin berhenti maka berhenti. Ada pemberian
beasiswa untuk anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah ke SMK bidang
pertanian dan komputer yang diberikan oleh Green Radio (yang selanjutnya
disebut GR).
Kondisi Ekonomi
Bertani merupakan mata pencaharian yang paling dominan di Desa Ciputri.
Dominasi sumber penghidupan seluruhnya berada dan diperoleh di lahan milik
dan lahan garapan. Hal ini menunjukkan bahwa selain milik, lahan kehutanan
memang menjadi tumpuan utama masyarakat Desa Ciputri, terutama Kampung
Sarongge Girang. Penyebabnya karena sebagian besar petani di Kampung
Sarongge Girang melakukan kegiatan pertanian di lahan kehutanan. Menurut
sejarah kampung Sarongge Girang awalnya hanya terdiri dari 7 rumah yang
merupakan penduduk pendatang. Mereka berdatangan pada jaman Soeharto untuk
mengikuti program Perhutani dengan sistem PHBM pada tahun 1980.
Ragam mata pencaharian lain di Desa Ciputri yakni PNS, karyawan,
pertukangan, ojeg, pengrajin industri rumah tangga, pedagang keliling, montir dan
peternak (sumber: profile desa). Di Desa Ciputri sendiri terdapat kebun teh yang
dimiliki oleh PTPN VIII dan beberapa perusahaan swasta yakni perkebunan
strawberry, rasberry dan blueberry yang dimiliki oleh Hans (Dutchman) serta BFI
milik Ibu Ina (Jakarta). Banyak pekerja perempuan pada perkebunan milik Hans.
Upah buruh perkebunan ini berkisar Rp 12 000-20 000/hari. Awalnya pengelolaan
perkebunan ini diserahkan pada orang-orang pribumi namun perlahan mulai
digantikan oleh orang non pribumi.
Meskipun bertani merupakan mata pencaharian dominan jumlah petani tidak
bertanah hampir 40% dari total keseluruhan petani dan buruh tani. Upah buruh
tani sendiri berkisar Rp 25 000-30 000/hari. Ada juga yang berprofesi sebagai
petani dan merangkap buruh tani untuk mencukupi sehari-hari.
Tabel 2 Mata pencaharian penduduk Desa Ciputri
No.
Pekerjaan
1
PNS
2
TNI/Polri
3
Petani
4
Pedagang
5
Peternakan/Perikanan/Perkebunan
6
Buruh
7
Wiraswasta
8
Lain-lain
Jumlah
Sumber: Profil desa penyangga TNGGP
Jumlah
(orang)
29
1
1 188
48
0
650
335
0
2 251
18
Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang ada di Desa Ciputri meliputi transportasi darat,
komunikasi dan informasi, air bersih, peribadatan, pendidikan, serta kebersihan.
Jalan utama yang bisa diakses sudah beraspal walaupun jalanan banyak berlubang.
Transportasi yang beroperasi yakni ojek. Meskipun ada angkutan umum namun
hanya beroperasi sampai kantor desa. Setelah itu hanya bisa menggunakan
kendaraan pribadi atau berjalan kaki.
Demi menunjang kelancaran program di Blok Sarongge Girang, fasilitas
yang disediakan oleh TNGGP-GR adalah radio komunitas, Radio Edelweiss.
Radio ini diperuntukkan untuk komunikasi serta pusat aktifitas kegiatan adopsi
pohon. Ketersediaan air bersih di desa ini cukup terjamin. Sumber air langsung
dari kawasan yang dialirkan ke rumah warga.
Gambar 7 Studio siaran Radio Edelweis
Mayoritas masyarakat desa Ciputri beragama Islam. Sarana peribadatan
yang ada meliputi 14 buah masjid dan 34 buah langgar atau mushola.
Kelembagaan yang ada di Desa Ciputri ini sendiri ada pramuka, PKK, Dasa
Wisma, Pamswakarsa, Masyarakat Peduli Api (MPA), Kader Konservasi,
Masyarakat Mitra Polhut (MMP), Kelompok Tani, Kelompok Ternak Kelinci,
Kelompok Ternak Kambing. Desa ini juga memiliki sarana pendidikan seperti
gedung SD sebanyak satu unit, gedung TK sebanyak satu unit, dan perpustakaan
desa sebanyak satu unit yang terletak di basecamp Sarongge Organik Farm (SOF).
19
MANAJEMEN PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK
AGRARIA TNGGP
Bab ini menjelaskan mengenai manajemen taman nasional dalam
pengelolaan resolusi konflik agraria. Ditinjau dari sejarah penetapan kawasan,
pengelolaan yang dilakukan dan aktor-aktor yang terlibat.
Sejarah Kawasan TNGGP
TNGGP pada awalnya merupakan kawasan cagar alam, taman wisata alam
dan hutan produksi baik tetap maupun terbatas. Pada tahun 2003 berdasarkan SK
Menhut No.174 dengan menimbang kawasan memiliki monografi yang cukup
curam dan merupakan habitat hidup dari beberapa hewan yang dilindungi maka
diputuskanlah perubah alih fungsi kawasan tersebut sebagai taman nasional.
Penetapan ini pun disertai dengan perluasan kawasan taman nasional yang
didalamnya tercakup kawasan kelola Perhutani yang digunakan sebagai kawasan
PHBM dengan masyarakat sekitar hutan.
Perluasan kawasan taman nasional dengan penunjukkan perubahan pada
wilayah hutan produksi yang ditindaklanjuti oleh Berita Acara Serah Terima
(BAST) Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas
yang telah diubah Menjadi Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango dari Perum Perhutani kepada Departemen Kehutanan Nomor
07/SJ/DIR/2009, Nomor BA.6/IV-SET/2009 tanggal 29 Januari 2009 dan Berita
Acara Serah Terima (BAST) Pengelolaan Hutan dari Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat dan Banten kepada BBTNGGP Nomor 002/BAST-HUKAMAS/III/
2009-Nomor 1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus 2009 yang termuat
didalamnya petak-petak yang diserahkan dengan total luas 7 655.03 ha, sehingga
luas total kawasan sesuai BAST adalah 22 851.030 ha.
Rentang waktu antara SK Menteri Kehutanan mengenai perluasan pada
tahun 2003 hingga BAST pada tahun 2009 terjadi status quo pada areal perluasan
tersebut (AA, Kabid