Daya saing jasa penerbangan nasional dan faktor yang memengaruhi permintaannya dalam menghadapi Open Sky Policy AEC 2015

DAYA SAING JASA PENERBANGAN NASIONAL DAN
FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERMINTAANNYA
DALAM MENGHADAPI OPEN SKY POLICY AEC 2015

AZMAL GUSRI BERLIANSYAH

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Saing Jasa
Penerbangan Nasional dan Faktor yang Memengaruhi Permintaannya dalam
Menghadapi Open Sky Policy AEC 2015 adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Azmal Gusri Berliansyah
NIM H14100029

ABSTRAK
AZMAL GUSRI BERLIANSYAH. Daya Saing Jasa Penerbangan Nasional dan
Faktor yang Memengaruhi Permintaannya dalam Menghadapi Open Sky Policy
AEC 2015. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI
Industri jasa penerbangan merupakan salah satu industri utama Indonesia
yang bergerak di bidang jasa dan memiliki potensi yang sangat besar. Namun,
dengan adanya kebijakan open sky policy sebagai bagian dari Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015 akan memberikan tantangan baru bagi industri jasa
penerbangan nasional. Pelaku usaha industri jasa penerbangan nasional harus siap
bersaing dengan pelaku usaha dari berbagai negara ASEAN dalam memperoleh
pasar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keunggulan komparatif jasa
penerbangan nasional di pasar internasional, keunggulan kompetitif industri jasa
penerbangan nasional, dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
permintaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri jasa penerbangan

nasional memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Faktorfaktor yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan adalah produk domestik
bruto, populasi, harga avtur, dan armada yang berpengaruh positif secara
signifikan, sedangkan konsumsi rumah tangga berpengaruh negatif secara
signifikan terhadap permintaan jasa penerbangan nasional.
Kata kunci: Daya Saing, Jasa Penerbangan, Keunggulan Komparatif, Keunggulan
Kompetitif, Permintaan,

ABSTRACT
AZMAL GUSRI BERLIANSYAH. The Competitiveness of Indonesia’s Air
Travel Service and the Determinants of Demand Facing Open Sky Policy AEC
2015. Supervised by RINA OKTAVIANI
Air travel industry is one of main service industries in Indonesia and has a
great potential. The Open Sky Policy as a part of ASEAN Economic Community
2015 will give other challenges for the Indonesian’s air travel industry. Every
player of the Indonesia’s air travel industry has to be ready to compete with air
travel industry’s players from other ASEAN countries to get market share. This
research is aimed to analyze the comparative advantage of Indonesian air travel
industry in international market, the competitive advantage of Indonesian air
travel industry, and analyze determinants of the air travel demand in Indonesia.
The results show that Indonesia’s air travel industry has comparative advantage

and competitive advantage. The determinants of air travel demand are GDP,
population, avtur price, and aircraft with positive and significant effects, and
household consumption with negative and siginificant effect.
Keywords: Air Travel Service, Competitiveness, Comparative Advantage,
Competitive Advantage, Demand,

DAYA SAING JASA PENERBANGAN NASIONAL DAN
FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERMINTAANNYA
DALAM MENGHADAPI OPEN SKY POLICY AEC 2015

AZMAL GUSRI BERLIANSYAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah Asean
Economic Community 2015, dengan judul Daya Saing Jasa Penerbangan Nasional
dan Faktor yang Memengaruhi Permintaannya dalam Menghadapi Open Sky
Policy AEC 2015.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak
yang telah memberikan bimbingan, saran, semangat, dan dukungan kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, terutama kepada:
1.
Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Ulta Dusri dan Ibuk Gusneti beserta
seluruh keluarga besar penulis atas doa, motivasi, dan dukungan baik morol
maupun materil bagi penulis dalam menyelesaikan skrpsi ini.
2.
Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan bimbingan secara teknis maupun teoritis dalam penyusunan
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3.
Dr Ir Wiwiek Rindayati, M.Si. dan Dr Eka Puspitawati, S.P M.Si. selaku
penguji ujian skripsi.
4.
Para dosen, staff, dan seluruh civitas akademi Departemen Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB yang telah memberikan ilmu selama
penulis menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
5.
Sahabat-sahabat penulis Agus Harianto, Irvan Afikri, Eko Harsono, M.
Wahyu, dan Jaka Rahmadan atas dukungan, semangat, dan motivasinya.
6.
Teman-teman satu bimbingan Nicco Andrian, Ramdhani Budiman, M.
Dwiki, Silvia Sari, Febrina, dan Faqih atas kerjasama, motivasi, dan
semangat selama ini.
7.
Teman-teman Ilmu Ekonomi 47 atas kebersamaan dan keceriaan selama di
IE.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis

berharap semoga segala kekurangan yang ada pada skripsi ini dapat dijadikan
bahan pembelajaran untuk penelitian yang lebih baik di masa yang akan datang.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya.

Bogor, Juni 2014
Azmal Gusri Berliansyah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Teori Daya Saing

Teori Keunggulan Komparatif
Teori Keunggulan Kompetitif
Teori Permintaan
Masyarakat Ekonomi ASEAN
Kebijakan Langit Terbuka
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Analisis RCA
Analisis Porter’s Diamond
Analisis Regresi Linier Berganda
GAMBARAN UMUM
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Daya Saing (Keunggulan Komparatif)
Hasil Analisis Daya Saing (Keunggulan Kompetitif)
Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Saran

viii
viii
viii
1
1
3
6
6
6
6
6
7
8
10
10
13
13
14

16
16
16
17
19
20
25
32
32
36
51
55
55
55

DAFTAR PUSTAKA

56

LAMPIRAN


59

RIWAYAT HIDUP

65

DAFTAR TABEL
1. PDB negara anggota ASEAN
2. Sumbangan industri jasa penerbangan terhadap PDB Indonesia
3. Pertumbuhan rata-rata penerbangan berjadwal domestik
4. Sektor prioritas integrasi
5. Jenis data dan sumber data
6. Statistik finansial maskapai besar ASEAN tahun 2012
7. Bandara utama ASEAN
8. Hasil perhitungan RCA dan Indeks RCA
9. Jumlah tenaga kerja berlisensi angkutan udara
10. Jumlah armada menurut Air Operator Certificate (AOC) tahun 2012
11. Jumlah armada yang dimiliki oleh maskapai besar Indonesia
12. Jumlah kepemilikan armada maskapai besar Asia Tenggara

13. Bandara utama nasional Indonesia
14. Aset Garuda Indonesia
15. Jumlah permintaan jasa angkutan udara berjadwal domestik
16. Jumlah permintaan jasa angkutan udara berjadwal luar negeri
17. Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi permintaan
industri jasa penerbangan

1
4
5
13
17
30
31
32
37
39
39
40
41
42
43
44
51

DAFTAR GAMBAR
1. Permintaan jasa penerbangan ASEAN
2. Pertumbuhan PDB Indonesia
3. Kerangka pemikiran penelitian
4. Porter’s Diamond Theory
5. Perkembangan rute penerbangan nasional
6. Permintaan jasa penerbangan nasional
7. Pertumbuhan ekspor jasa penerbangan Indonesia
8. Permintaan jasa penerbangan negara-negara ASEAN
9. Permintaan jasa penerbangan ASEAN 2008 dan 2012
10. Pergerakkan pesawat berpenumpang di ASEAN tahun 2008 dan 2012
11. Jumlah maskapai negara-negara ASEAN tahun 1998 dan 2012
12. Pangsa pasar angkutan udara penerbangan domestik
13. Pangsa pasar angkutan udara penerbangan internasional
14. Ringkasan analisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing
industri jasa penerbangan dengan pendekatan Porter’s Diamond

2
4
15
20
26
27
27
28
29
29
30
45
46
50

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.

Perhitungan RCA
Perhitungan indeks RCA
Data nominal periode 1981-2012
Data nominal periode 1981-2012 (dalam bentuk logaritma natural)

60
60
61
62

5.
6.
7.
8.
9.

Hasil estimasi dengan model Ordinary Least Square
Uji Autokorelasi
Uji Heteroskedastisitas
Correlation Matrix
Uji Normalitas

63
63
64
64
64

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Semenjak terbentuknya ASEAN (Association Southeast Asian Nation) pada
tahun 1967, perkembangan perekonomian negara-negara anggota ASEAN
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini tidak lepas dari amanat
deklarasi Bangkok sebagai basis ASEAN yang mengutamakan kerja sama
ekonomi sebagai pilar utama kerja sama regional ini. Salah satu tujuan utama
ASEAN adalah meningkatkan perekonomian negara-negara anggota. Sejauh ini
ASEAN cukup berperan dalam meningkatkan perekonomian negara-negara
anggota. Hal ini terlihat dari peningkatan GDP negara anggota dari tahun ke tahun
seperti yang terlihat pada Tabel 1. Meski pernah terguncang oleh krisis 1998 dan
2008, perekonomian negara anggota ASEAN tetap mampu bangkit dan
berkembang.
Tabel 1 PDB negara anggota ASEAN (ribu dollar Amerika)
Negara
Brunei
Cambodia
Indonesia
Lao PDR
Malaysia
Myanmar
Philippines
Singapore
Thailand
Viet Nam
ASEAN

2008
14482.9
11073.4
513032.3
5285.3
223188.1
25435.2
173427.2
193535.4
272946.4
90515.1
1522921.4

2009
10812.1
10353.7
546527.0
5585.0
193180.0
31830.8
168643.9
183798.9
264036.2
97078.3
1511845.8

2010
12401.9
11229.3
708903.6
6852.5
247328.2
42228.1
200192.5
227754.8
319277.7
106530.9
1882699.6

2011
16359.6
12775.0
846821.3
8163.3
287922.8
52841.5
224337.4
259858.4
345810.8
123266.9
2178156.8

Sumber : Sekretariat ASEAN (2012)

Hubungan regional ASEAN semakin meningkat dengan adanya ASEAN
Vision 2020, yang telah direncanakan oleh pemimpin-pemimpin negara ASEAN
pada ulang tahun ASEAN yang ke-30 pada tahun 1997 tentang akan dibentuknya
suatu visi bersama ASEAN untuk masa depan, kehidupan yang damai, stabilitas
dan kemakmuran, terikat bersama dalam hubungan kerja sama pembangunan
dinamis, dan dalam kepedulian antar sesama anggota. Pada tahun 2003,
pemimpin-pemimpin negara ASEAN memutuskan untuk membentuk ASEAN
Community. Pada tahun 2007, disepakati bahwa ASEAN Community 2020
dipercepat ke tahun 2015 sehingga ditandatanganinya Deklarasi Cebu Percepatan
Pembentukan ASEAN Community 2015. ASEAN Community 2015 berisi 3 pilar
penting yakni ASEAN Political-Security, ASEAN Economic Community dan
ASEAN Socio-Cultural Community.
ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN
merupakan tujuan akhir dari integrasi ekonomi regional pada tahun 2015. ASEAN
Economic Community telah mempertimbangkan karakteristik-karakteristik kunci
seperti; pasar tunggal dan basis produksi, kawasan dengan daya saing ekonomi

2
yang tinggi, kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata, dan kawasan
yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global. Tujuan utama
ASEAN Economic Community 2015 adalah terbentuknya pasar tunggal dan
berbasis produksi. Untuk mewujudkan tujuan ini, seluruh negara anggota ASEAN
harus melakukan liberalisasi dalam beberapa elemen. Elemen-elemen yang
terkandung dalam liberalisasi tersebut adalah terciptanya arus bebas barang, arus
bebas investasi, arus modal yang lebih bebas, arus bebas tenaga kerja terampil,
sektor prioritas integrasi dan arus bebas jasa.
Arus bebas jasa merupakan salah satu elemen penting dalam pembentukan
ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi. Liberalisasi jasa bertujuan
untuk menghilangkan hambatan penyediaan jasa di antara negara-negara ASEAN
yang dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam ASEAN Framework
Agreement on Service (AFAS). Dalam ASEAN Framework Agreement on Service
terdapat beberapa isi perjanjian mengenai liberalisasi jasa transpotasi udara atau
disebut dengan istilah Open Sky Policy. Open Sky bertujuan untuk meningkatkan
persaingan dalam industri penerbangan sipil, lebih tepatnya industri jasa maskapai
penerbangan antar negara ASEAN. Isi perjanjian ini adalah memberikan
keleluasaan bagi seluruh penyedia jasa penerbangan yang ada di ASEAN untuk
bersaing secara sehat di seluruh rute penerbangan ASEAN.
250000

Jumlah Permintaan
(000 orang)

200000

150000

100000

50000

0
2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

105867

120180

120775

138042

147680

175790

198358

Internasional 108426

120340

121106

121695

139785

156138

175235

Domestik

Sumber: ASEAN-Japan Transport Partnership Information Center (2012)

Gambar 1 Permintaan jasa penerbangan ASEAN
Industri jasa penerbangan merupakan salah satu sektor yang mengalami
pertumbuhan di kawasan ASEAN. Berdasarkan Gambar 1 di atas, dalam beberapa
tahun terakhir permintaan masyarakat terhadap jasa penerbangan mengalami
peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2006 permintaan jasa angkutan udara
domestik mencapai 105 867 000 orang dan internasional 108 426 000 orang.
Jumlah tersebut semakin mengalami pertumbuhan hingga pada tahun 2012
permintaan domestik mencapai 198 358 000 orang dan internasional 175 235 000
orang. Berdasarkan data ASEAN-Japan Transport Partnership Information Center
(2012), setiap negara anggota ASEAN memiliki pola permintaan tersendiri.

3
Singapura, Thailand, dan Kamboja memiliki permintaan jasa penerbangan
internasional lebih tinggi daripada permintaan domestiknya. Sedangkan Indonesia,
Filipina, dan Malaysia memiliki permintaan domestik yang lebih tinggi daripada
permintaan internasional. Perbedaan pola ini disebabkan oleh luas wilayah dan
jumlah populasi.
Kebijakan open sky akan menciptakan persaingan antara seluruh maskapai
penerbangan yang ada di ASEAN. Oleh karena itu, akan tercipta peningkatan
pelayanan maskapai penerbangan yang akan dirasakan oleh masyarakat sebagai
konsumen. Untuk meningkatkan daya saingnya di kawasan ASEAN dan regional,
maka industri penerbangan Indonesia perlu mengambil berbagai langkah besar,
mulai dari kualifikasi SDM yang profesional, standar keamanan penerbangan dan
kualitas pelayanan yang baik. Industri penerbangan juga membutuhkan
manajemen profesional mengacu pada standar internasional. Bentuk-bentuk
peningkatan pelayanan yang mulai muncul adalah harga murah dan promosipromosi yang ditawarkan beberapa maskapai penerbangan. Selain dari segi pelaku
usaha penyedia jasa penerbangan, peningkatan aspek kualitas dan kuantitas juga
perlu diterapkan pada bandara-bandara yang ada di Indonesia. Hal ini bertujuan
untuk memberikan pelayanan yang baik dan efisien bagi konsumen
Perumusan Masalah
Indonesia dengan kondisi geografis yang sangat luas membutuhkan moda
transportasi yang efisien dan bergerak cepat. Moda transportasi yang dibutuhkan
itu adalah transportasi udara. Transportasi udara memiliki karakteristik dan
keunggulan yang berbeda jika dibandingkan dengan transportasi lainnya.
Keunggulan ini terlihat dari kemampuan pesawat terbang berpindah dari satu
tempat ke tempat lainnya dalam waktu yang relatif singkat. Keunggulan ini
menarik perhatian masyarakat luas, sehingga pengguna jasa penerbangan pun
terus bertambah dari tahun ke tahun. Akibatnya, industri jasa penerbangan
nasional akan semakin mengalami perkembangan.
Perkembangan industri jasa penerbangan nasional semakin marak sejak
dikeluarkannya peraturan mengenai transportasi udara pada tahun 2004. Peraturan
tersebut adalah Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 81 Tahun 2004 mengenai
Pendirian Perusahaan Penerbangan di Indonesia. Menurut data dari Kementerian
Perhubungan, jumlah perusahaan penerbangan di Indonesia yang memiliki izin
usaha per Maret 2014 berjumlah empat puluh perusahaan. Banyaknya jumlah
maskapai penerbangan yang beroperasi di Indonesia menciptakan persaingan yang
ketat. Meskipun menghadapai tekanan dari pelemahan rupiah dan meningkatnya
harga bahan bakar, industri penerbangan nasional tetap mengalami pertumbuhan
dengan pertumbuhan penumpang sebesar 20 persen dari 68 juta pada tahun 2011
menjadi 81 juta pada tahun 2012.
Pertumbuhan ekonomi nasional yang pesat menstimulus perkembangan
industri jasa penerbangan. Setelah lepas dari masa-masa krisis, perekonomian
nasional terus tumbuh secara signifikan. Hal ini menyebabkan semakin
meningkatnya kegiatan perekonomian masyarakat yang secara otomatis akan
meningkatkan pergerakan masyarakat dalam nageri maupun ke luar negeri.
Permintaan terhadap jasa penerbangan pun mengalami peningkatan drastis,
sehingga banyak melahirkan penyedia jasa penerbangan swasta. Peran pemerintah

4
yang semula sebagai penyedia jasa dan pelaku kegiatan ekonomi, kini telah
berubah menjadi regulator yang menerbitkan aturan-aturan, mensertifikasi dan
mengawasi pelaksanaan kegiatan jasa penerbangan.

Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)

Gambar 2 Pertumbuhan PDB Indonesia
Menurut Airbus Industry (2001), peningkatan 1 persen dari Produk
Domestik Bruto suatu negara akan meningkatkan permintaan perjalanan udara
sebesar 1-2.5 persen. Di Indonesia, peningkatan perekonomian yang signifikan
seperti yang terlihat pada Gambar 2, dan ditopang jumlah masyarakat kelas
menengah yang terus meningkat, sangat berpotensi memacu penggunaan jasa
penerbangan. Apalagi pasar industri jasa penerbangan di Indonesia tumbuh pesat
seiring dengan maraknya penerbangan murah, low cost carriers (LCC).
Tabel 2 Sumbangan industri jasa penerbangan terhadap PDB Indonesia
Tahun
Nilai (Miliar Rupiah)
persen dari PDB
2004
9728.0
0.42
2005
11979.2
0.43
2006
14669.3
0.44
2007
16547.2
0.41
2008
19665.9
0.40
2009
24248.8
0.43
2010
34781.0
0.54
2011
46701.8
0.63
2012
62153.3
0.75
2013
79038.2
0.87
Sumber: Badan Pusat Statistik (2013)

Berdasarkan Tabel 2 di atas industri jasa penerbangan memberikan
sumbangan yang cukup besar di dalam tatanan struktur PDB Indonesia. Meskipun
persentase yang diberikan tidak sampai 1 persen, namun dibandingkan sub-sub
sektor industri lainnya, sumbangan dari industri jasa penerbangan layak
diperhitungkan. Angka sumbangan sektor industri jasa penerbangan mengalami
petumbuhan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Dari tahun 2004 hingga tahun

5
2013, besar sumbangan sektor angkutan udara meningkat pesat hingga 10 kali
lipat. Besaran persentase sumbangan industri angkutan udara juga naik secara
perlahan dari tahun ke tahun dimana pada tahun 2013, sumbangan industri
angkutan udara mencapai 0.87 persen dari total PDB nasional.
Tabel 3 Pertumbuhan rata-rata penerbangan berjadwal domestik (persen)
Deskripsi
2005-2009
2009-2010
2011-2012
Domestik :
Jumlah Penumpang
10.9
18.1
18.65
Keberangkatan Pesawat
3.2
7
21.84
Freight Carried
11.3
114
18.18
Internasional :
Jumlah Penumpang
Keberangkatan Pesawat
Freight Carried

13.2
10.4
-3.7

32
18.5
71.15

21.91
13.26
25.68

Sumber: INACA (2013)

Awal tahun 2000an merupakan awal kebangkitan industri jasa penerbangan
nasional. Berdasarkan Tabel 3 di atas, pertumbuhan permintaan terhadap jasa
penerbangan nasional dalam rentang waktu 2005 sampai 2009 cukup kecil baik
untuk penerbangan domestik maupun internasional. Dalam rentang waktu 5 tahun,
pertumbuhan permintaan penumpang hanya sekitar 10.9 persen untuk domestik
dan 13.2 persen untuk internasional. Pertumbuhan permintaan mulai meningkat
pada tahun 2009 dimana dalam rentang 2 tahun, permintaan domestik meningkat
hingga 18 persen bahkan peningkatan permintaan penerbangan internasional lebih
tinggi lagi yakni sekitar 32 persen. Sepanjang tahun 2012, kinerja maskapai
penerbangan nasional menunjukan peningkatan yang cukup signifikan dari
dimensi kuantitatif. Jumlah penumpang yang diangkut di dalam negeri mencapai
18.65 persen dari jumlah tahun sebelumnya. Pada penerbangan internasional,
jumlah penumpang yang diangkut mencapai 9.94 juta orang, meningkat 22 persen
dari tahun sebelumnya yang mencapai 8.15 juta orang.
Kebijakan open sky di kawasan ASEAN menciptakan persaingan baru di
kalangan pelaku usaha industri jasa penerbangan. Selain bersaing dengan pelaku
usaha dalam negeri, mereka juga akan bersaing dengan pelaku usaha jasa
penerbangan dari luar negeri dengan skala internasional khususnya ASEAN.
Kebijakan open sky akan menuntut para pelaku usaha di bidang jasa penerbangan
untuk meningkatkan kualitas dan kuantitasnya agar bisa memenuhi standar yang
telah ditetapkan internasional serta sikap profesional berkelas dunia. Open sky ini
dapat menjadi suatu peluang bagi pelaku usaha jasa penerbangan nasional dalam
meningkatkan market mereka, dan juga akan menjadi ancaman bagi mereka jika
industri jasa penerbangan nasional tidak memiliki daya saing.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana keunggulan komparatif industri jasa penerbangan nasional di
pasar internasional?
2.
Bagaimana keunggulan kompetitif industri jasa penerbangan nasional?
3.
Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan
nasional?

6
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Menganalisis keunggulan komparatif industri jasa penerbangan nasional di
pasar internasional.
Menganalisis keunggulan kompetitif industri jasa penerbangan nasional.
Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan
nasional.
Manfaat Penelitian

1.
2.
3.

Memberikan masukan kepada pemerintah dan industri terkait dalam upaya
peningkatan daya saing dan kinerja maskapai nasional.
Memberikan informasi kepada pelaku jasa penerbangan untuk
meningkatkan kinerjanya.
Menambah khasanah literatur mengenai studi industri penerbangan dalam
negeri sehingga menambah wawasan baru bagi masyarakat.
Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada industri jasa penerbangan sipil nasional untuk
melihat keunggulan komparatif dan kompetitif industri ini, serta faktor-faktor
yang memengaruhi permintaan terhadapnya. Analisis yang digunakan dalam
melihat keunggulan komparatif industri jasa penerbangan adalah dengan
menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Analisis yang
digunakan dalam melihat keunggulan kompetitif industri jasa penerbangan adalah
dengan menggunakan analisis Porter’s Diamond Theory. Analisis yang digunakan
dalam melihat faktor-faktor yang memengaruhi permintaan adalah metode
Ordinary Least Square (OLS). Penelitian ini hanya meneliti permintaan industri
jasa penerbangan bagian penumpang.

TINJAUAN PUSTAKA
Teori Daya Saing
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Porter (1990), daya saing identik
dengan produktivitas, yaitu suatu tingkat output yang dihasilkan dari setiap input
yang digunakan. Peningkatan produktivitas disebabkan oleh peningkatan jumlah
input seperti modal dan tenaga kerja, serta peningkatan kualitas input yang
digunakan, dan peningkatan teknologi. Setelah itu, menurut Porter (1995)
menjelaskan bahwa daya saing dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan
usaha perusahaan dalam industri untuk menghadapi berbagai lingkungan yang
dihadapi. Daya saing sangat penting untuk dimliki oleh suatu industri dikarenakan
oleh hal berikut; (1) mendorong produktivitas dan meningkatkan kemampuan
mandiri; (2) dapat meningkatkan kapasitas ekonomi atau economic of scale, baik
dalam hal regional ekonomi maupun entitias pelaku ekonomi sehingga
menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Tambunan (2001) daya saing merupakan kemampuan suatu
komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan

7
di dalam pasar tersebut, dalam artian jika suatu produk atau jasa mempunyai daya
saing maka produk atau jasa tersebutlah yang banyak diminati konsumen. Definisi
daya saing lainnya disampaikan oleh Organization for Economic Co-operation
and Development (OECD) yaitu sebagai kemampuan suatu negara untuk
menghasilkan barang dan jasa yang berskala internasional melalui mekanisme
perdagangan yang adil dan bebas, sekaligus menjaga dan meningkatkan
pendapatan riil masyarakat dalam jangka panjang.
Daya saing juga mengacu kepada kemampuan suatu negara untuk
memasarkan produk dan jasa yang mereka hasilkan relatif terhadap kemampuan
negara lain (Bappenas, 2007). Sedangkan menurut peraturan Mentri Pendidikan
Nasional No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, dinyatakan bahwa daya
saing merupakan suatu kemampuan untuk menunjukan hasil yang lebih baik,
lebih cepat atau lebih bermakna. Kemampuan yang dimaksud disini adalah
kemampuan memperkokoh pangsa pasarnya, kemampuan untuk terus
meningkatkan kinerja, kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan, serta
kemampuan untuk mengakkan posisi ke arah yang lebih menguntungkan.
Pendekatan yang paling umum digunakan untuk mengukur daya saing suatu
produk atau jasa adalah pendekatan menggunakan keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif.
Teori Keunggulan Komparatif
Berdasarkan Tarigan (2005), istilah keunggulan komparatif pertama kali
dikemukakan oleh David Ricardo (1917) yang menyatakan bahwa apabila ada dua
negara yang saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri
untuk mengekspor barang atau jasa yang bagi negara tersebut memiliki
keunggulan komparatif maka negara itu akan beruntung. Ricardo (1917) juga
menjelaskan mengenai hukum keunggulan komparatif di dalam bukunya yang
berjudul Principles of Political Economy and Taxation. Menurut hukum
keunggulan komparatif, “meskipun sebuah negara kurang efisien (atau memiliki
kerugian absolut) dibanding negara lain dalam memproduksi kedua komoditi,
namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang
menguntungkan kedua belah pihak kecuali jika kerugian absolut (salah satu
negara) pada kedua komoditi tersebut memiliki proporsi yang sama. Negara
pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor
komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan komoditi
dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian
absolut lebih besar (komoditi ini memiliki kerugian komparatif)” (Salvatore,
1997).
Hecker dan Ohlin dalam Salvatore (1997) juga menyatakan bahwa suatu
negara memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan komoditi secara
intensif memanfaatkan kepemilikan faktor-faktor produksi yang berlimpah di
negaranya. Teori ini disebut juga sebagai teori keunggulan komparatif
berdasarkan keberlimpahan faktor (factor endowment theory of comparatif
advantage) yang mengasumsikan bahwa setiap negara memiliki kesamaan fungsi
produksi, sehingga faktor produksi yang sama menghasilkan keluaran yang sama
namun dibedakan oleh harga-harga relatif faktor produksi setiap negara. Menurut
Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993) dalam Oktaviani

8
(2009), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing
(keunggulan) potensial. Artinya, daya saing akan dicapai apabila perekonomian
tidak mengalami distorsi. Dengan kata lain komoditas yang memiliki keunggulan
komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi ekonomi.
Teori Keunggulan Kompetitif
Definisi keunggulan kompetitif dalam Mudjayanti (2008) adalah suatu
keunggulan yang dapat dikembangkan, jadi keunggulan ini harus diciptakan untuk
dapat memilikinya. Konsep keunggulan kompetitif menurut Porter (1990) dalam
Pragari (2011) adalah suatu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk
memperkuat sisinya dalam menghadapi pesaing dan mampu menunjukkan
berbagai perbedaan-perbedaan lainnya. Selanjutnya, Porter (1990) menyatakan
ada 4 faktor utama yang menentukan daya saing suatu komoditi yaitu, kondisi
faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait
dan industri pendukung yang kompetitif (related and supporting industry), serta
kondisi struktur, persaingan dan strategi industri (firm structure, rivalry, and
strategy). Interaksi antar keempat faktor utama penentu daya saing di atas
dipengaruhi oleh faktor kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah
(goverment factor). Secara bersama-sama faktor-faktor ini membentuk sistem
dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut Porter’s Diamond Theory
(Tarigan, 2005).
Kondisi Faktor (Factor Condition)
Kondisi faktor merupakan cerminan faktor-faktor sumberdaya yang
dimiliki suatu negara yang berhubungan dengan proses produksi suatu industri.
Sumberdaya memiliki peran penting dalam suatu industri karena sumberdaya
adalah modal utama dalam menggerakan industri. Kondisi sumberdaya suatu
negara sangat menentukan posisi negara tersebut dalam bersaing dengan negara
lain. Sumberdaya dikelompokan ke dalam 5 kelompok yakni:
a. Sumber Daya Manusia (Human Resource)
Hal yang paling penting mengenai sumber daya manusia (SDM) atau tenaga
kerja yang memengaruhi industri adalah jumlah tenaga kerja yang tersedia,
kemampuan manajerial, dan keterampilan tenaga kerja, biaya tenaga kerja yang
berlaku (tingkat upah) serta etika kerja (moral).
b. Sumberdaya Fisik atau Alam (Nature Resource)
Sumberdaya fisik atau alam yang memengaruhi daya saing industri antara
lain biaya, aksebilitas, mutu dan ukuran lahan (lokasi), ketersediaan air, mineral
dan energi. Serta kondisi cuaca dan iklim, wilayah geografis, topografis dan
lainnya.
c. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Science and Technology)
Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi meliputi ketersedian
pengatahuan dan informasi mengenai pasar, pengetahuan teknis dan ilmiah yang
menunjang proses produksi barang dan jasa. Serta diperlukan pula lembaga –
lebaga penunjang sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi seperti perguruan
tinggi, lembaga penelitian dan sumber pengetahuan lainnya.

9
d. Sumberdaya Infrastruktur (Infrastructure)
Sumberdaya infrastruktur terdiri atas ketersediaan jenis, mutu dan biaya
penggunaan infrastruktur yang memengaruhi daya saing. Seperti sistem
transportasi, komunikasi, pos dan giro, serta sistem pembayaran dan transfer dana,
air bersih, energi listrik, dan lainnya.
e. Sumberdaya Modal (Capital)
Sumberdaya modal terdiri dari jumlah dana yang tersedia dan biaya yang
tersedia, jenis pembiayaan atau sumber modal, aksesibilitas terhadap pembiyaan,
dan kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan.
Kondisi Permintaan (Demand Condition)
Kondisi permintaan dalam negeri atau domestik merupakan salah satu faktor
penentu daya saing industri. Mutu permintaan dalam negeri dapat menjadi bahan
acuan dan pembelajaran bagi perusahaan-perusahaan yang akan bersaing di pasar
global. Mutu permintaan domestik memberikan tantangan bagi perusahaan untuk
meningkatkan daya saingnya dan memberikan respon terhadap persaingan yang
terjadi.
Industri Terkait dan Pendukung (Related and Supporting Industry)
Keberadaan industri terkait dan industri pendukung dapat memberikan
pengaruh bagi daya saing industri secara global. Industri terkait dan pendukung
ini antara lain industri hulu dan hilir. Industri hulu mampu memasok input bagi
industri utama dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan
yang lebih cepat, dan pengiriman yang tepat waktu serta jumlah yang sesuai
kebutuhan industri. Hal ini juga berlaku bagi industri hilir yang menggunakan
input dari industri utama. Kegiatan antar industri ini akan menciptakan suatu
kondisi saling tarik menarik diantara ketiga pihak dalam hal daya saing industri.
Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan (firm structur, rivalry, and
strategy)
Tingkat persaingan merupakan salah satu pendorong bagi perkembangan
industri yang akan membuat setiap perusahaan yang terlibat di dalamnya untuk
terus melakukan perubahan dan inovasi. Keberadaan pesaing dapat menjadi
penggerak untuk memberikan tekanan-tekanan pada perusahaan agar segera
meningkatkan daya saingnya. Perusahaan-perusahaan yang telah teruji dan
mampu selamat dari persaingan lokal, akan lebih mudah untuk bersaing dengan
perusahaan-perusahaan internasional dibanding dengan perusahaan yang belum
memiliki daya saing.
Struktur industri juga berpengaruh bagi daya saing suatu industri. Industri
yang monopolis cenderung kurang memiliki daya dorong untuk melakukan
perkembangan dan inovasi baru dibandingkan industri dengan pasar yang bersaing.
Selain itu, juga ada struktur perusahaan, struktur pasar, dan strategi perusahaan
yang akan menentukan daya saing suatu industri.
Peran Pemerintah
Peranan pemerintah dalam hal daya saing hanya sebatas pada faktor-faktor
penentu daya saing. Pemerintah tidak berperan langsung terhadap upaya
peningkatan daya saing. Dalam hal ini, pemerintah berfungsi sebagai fasilitator

10
yang akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait industri. Kebijakankebijakan inilah yang akan memperkuat atau memperlemah daya saing industri.
Namun, pemerintah tidak dapat menciptakan langsung daya saing industri dari
kebijakan ini. Intinya, pemerintah menyediakan fasilitas bagi lingkungan industri
untuk memperbaiki kondisi faktor daya saing sehingga bisa didayagunakan secara
aktif dan efisien.
Peran Kesempatan
Kesempatan berada di luar kendali setiap pihak baik itu perusahaan maupun
pemerintah. Namun, kesempatan memiliki peranan tersendiri dalam suatu daya
saing industri. Beberapa hal yang dianggap sebagai keberuntungan merupakan
bagian dari kesempatan. Seperti adanya penemuan baru yang murni, biaya
perusahaan yang tidak berlanjut akibat perubahan harga minyak dan depresiasi
mata uang, serta peningkatan permintaan produk yang lebih besar dari pasokan
juga dapat dikatakan sebagai bagian dari kesempatan.
Teori Permintaan
Menurut Kotler (1996) dalam Imelda (2000) disebutkan bahwa permintaan
merupakan jumlah yang dibutuhkan dan berkembang menjadi keinginan.
Kebutuhan adalah suatu keadaan untuk memenuhi kepuasan dasar yang dirasakan
dan disadari yang artinya kebutuhan tidak diciptakan oleh masyarakat atau
lingkungannya tetapi telah ada dalam kehidupan manusia. Sedangkan keinginan
adalah hasrat untuk memperoleh pemuas tertentu untuk kebutuhan yang lebih
mendalam. Keinginan dibentuk oleh kekuatan keluarga, sosial, lembaga
pendidikan, dan lain-lain.
Hukum permintaan menjelaskan hubungan antara harga barang atau jasa
dengan jumlah yang diminta/dikonsumsi oleh konsumen. Jumlah permintaan
konsumen terhadap suatu barang atau jasa berbanding terbalik. Artinya, ketika
harga mengalami peningkatan, maka permintaan akan mengalami penurunan.
Ketika harga mengalami penurunan, maka permintaan akan mengalami kenaikan,
dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tetap seperti; pendapatan masyarakat,
jumlah penduduk, selera masyarakat, dan lain-lain dianggap tetap (cateris
paribus) (Leftwich,1988)
Lipsey et al (1995) menyatakan bahwa ada tiga hal penting dalam konsep
permintaan. Pertama, jumlah yang diminta atau jumlah yang diinginkan pada
harga barang tersebut, pada harga barang lain, pendapatan konsumen, selera, dan
lain-lain adalah tetap. Kedua, apa yang diinginkan tidak merupakan harapan
kosong, tetapi merupakan permintaan efektif, artinya jumlah dimana orang
bersedia membeli pada harga yang mereka harus bayar untuk komoditi tersebut.
Ketiga, kuantitas yang diminta menunjukan arus pembelian yang terus-menerus.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community)
Di dalam Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community Blueprint) dinyatakan bahwa ASEAN Economic Community (AEC)
merupakan realisasi tujuan akhir integrasi ekonomi sesuai visi ASEAN 2020
(dipercepat menjadi 2015), yang didasarkan pada kepentingan bersama negara

11
anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi melalui
inisiatif yang telah ada dan inisiatif baru dengan kerangka yang jelas. Untuk
membentuk AEC, ASEAN harus melaksanakan kewajiban sesuai dengan prinsipprinsip ekonomi yang terbuka, berwawasan keluar, inklusif, dan berorientasi pada
pasar sesuai dengan aturan-aturan multilateral serta patuh terhadap sistem
berdasarkan aturan hukum agar pemenuhan dan implementasi komitmenkomitmen ekonomi dapat berjalan efektif.
AEC 2015 akan membentuk ASEAN sebagai suatu pasar tunggal dan basis
produksi serta menjadikan ASEAN lebih dinamis dan kompetitif dengan langkahlangkah dan mekanisme baru untuk memperkuat implementasi inisiatif-inisiatif
ekonomi yang telah ada, mempercepat integrasi kawasan dalam sektor prioritas,
mempermudah pergerakan para pelaku usaha tenaga kerja terampil, dan berbakat
dan memperkuat mekanisme institusi ASEAN.
Menurut Kementrian Perdagangan Republik Indonesia dalam buku “Menuju
ASEAN Economic Community 2015” dikemukakan bahwa untuk mewujudkan
AEC pada tahun 2015, maka seluruh negara ASEAN harus melakukan liberalisasi
perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil secara bebas dan arus
modal yang lebih bebas sesuai tujuan AEC yakni elemen pasar tunggal dan
berbasis produksi sebagai salah satu pilar AEC.
Arus Bebas Barang
Arus bebas barang merupakan salah satu elemen utama AEC Blueprint
dalam mewujudkan AEC dengan kekuatan pasar tunggal dan berbasis produksi.
Untuk mendukung arus bebas barang ini, negara-negara anggota ASEAN telah
menyepakati ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). ATIGA merupakan
kodifikasi atas keseluruhan kesepakatan ASEAN dalam liberalisasi dan fasilitasi
perdagangan barang. Tujuan dari ATIGA antara lain:
a. Mewujudkan kawasan arus barang yang bebas sebagai salah satu prinsip
untuk membentuk pasar tunggal dan basis produksi dalam AEC 2015.
b. Meminimalkan hambatan dan memperkuat kerja sama diantara negaranegara anggota ASEAN.
c. Menurunkan biaya usaha.
d. Meningkatkan perdagangan dan investasi dan efisiensi ekonomi.
e. Menciptakan pasar yang lebih besar dengan kesempatan dan skala ekonomi
yang lebih besar untuk para pengusaha di negara-negara anggota ASEAN.
f. Menciptakan kawasan investasi yang kompetitif.
Arus Bebas Jasa
Arus bebas jasa merupakan salah satu elemen penting dalam pembentukan
ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi. Liberalisasi jasa bertujuan
untuk menghilangkan hambatan penyediaan jasa di antara negara-negara ASEAN
yang dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam ASEAN Framework on
Service (AFAS). AFAS bertujuan untuk :
a. Meningkatkan kerjasama diantara negara anggota di bidang jasa dalam
meningkatkan efisiensi dan daya saing, diversifikasi kapasitas produksi, dan
pasokan serta distribusi jasa dari para pemasok jasa masing – masing negara
anggota baik di dalam ASEAN maupun di luar ASEAN.

12
b.
c.

Menghapuskan secara signifikan hambatan-hambatan perdagangan jasa
diantara negara anggota.
Meliberalisasikan perdagangan jasa dengan memperdalam tingkat dan
cakupan liberalisasi melebihi liberalisasi dalam General Agreement on
Trade in Service (GATS) dalam mewujudkan perdagangan bebas di bidang
jasa.

Arus Bebas Investasi
Investasi telah disepakati sebagai suatu komponen utama dalam
pembangunan negara dan ekonomi di ASEAN. Negara-negara ASEAN
menjadikan investasi sebagai salah satu tujuan pokok ASEAN dalam upaya
mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN. Untuk menciptakan kawasan bebas
invetasi ini maka dibentuklah ASEAN Comprehensive Investment Agreement
(ACIA). Salah satu pilar dari ACIA adalah liberalisasi invetasi yang bertujuan
untuk mendorong pertumbuhan invetasi secara progresif yang akan dilakukan
dengan cara:
a. Menerapkan perlakuan non-diskriminasi, termasuk perlakuan nasional dan
perlakuan most favoured nation kepada investor di ASEAN dengan
pengecualian terbatas, meminimalkan bahkan menghapus pengecualian
tersebut.
b. Mengurangi dan selanjutnya menghapus peraturan masuk investasi untuk
produk-produk yang masuk dalam Sektor Prioritas Integrasi.
c. Mengurangi dan selanjutnya menghapus peraturan-peraturan invetasi yang
bersifat menghambat dan berbagai hambatan lainnya.
Arus Modal yang Lebih Bebas
ASEAN memutuskan untuk menciptakan arus modal yang lebih bebas yaitu
dengan melakukan pengurangan-pengurangan atas beberapa aturan-aturan yang
kaku dalam arus modal. Hal ini dikarenakan jika arus modal terlalu terbuka atau
lebih bebas maka akan berpotensi menimbulkan resiko dan mengancam kestabilan
perekonomian suatu negara. Sebaliknya, jika aliran modal terlalu dibatasi maka
akan membuat suatu negara mengalami keterbatasan kapital yang diperlukan
untuk mendorong peningkatan arus perdagangan dan pengembangan pasar uang.
Arus Bebas Tenaga Kerja Terampil
Untuk menciptakan mobilitas yang terkelola serta menfasilitasi masuknya
tenaga kerja yang terlibat dalam setiap transaksi perdagangan barang, jasa, dan
invetasi serta modal sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara tujuan maka
ASEAN mengupayakan suatu fasilitas penerbitan visa dan employment pass bagi
tenaga kerja yang bekerja di bidang perdagangan dan berhubungan dengan antar
negara ASEAN. Salah satu upaya untuk mendukung hal di atas adalah dengan
dibentuknya Mutual Recognition Arrangement (MRA).
MRA merupakan kesepakatan setiap negara anggota untuk saling mengakui
dan menerima aspek-aspek yang berhubungan dengan pergerakan tenaga kerja
terampil seperti hasil penilaian, hasil tes ataupun sertifikat. Tujuan diciptakannya
MRA adalah untuk menciptakan suatu kesetaraan bagi setiap warga negara
ASEAN serta mengakui perbedaan antar negara untuk pendidikan, pelatihan,
pengalaman, dan persyaratan bagi tenaga kerja profesional.

13
Sektor Prioritas
Sektor prioritas merupakan sektor-sektor yang cukup strategis untuk
dijadikan liberal dalam rangka menuju pasar tunggal dan berbasis produksi. Ada
12 sektor yang telah disepakati oleh Menteri Ekonomi tiap-tiap Negara seperti
yang ditunjukan pada Tabel 4 antara lain:
Tabel 4 Sektor prioritas integrasi
Daftar Sektor Prioritas
Produk berbasis pertanian
Perjalanan Udara
Otomotif
e-ASEAN
Elektronik
Perikanan
Kesehatan
Produk berbasis Karet
Tekstil dan Pakaian
Pariwisata
Produk berbasis kayu
Logistik

Negara Koordinator
Myanmar
Thailand
Indonesia
Singapura
Filipina
Myanmar
Singapura
Malaysia
Malaysia
Thailand
Indonesia
Vietnam

Sumber: Menuju ASEAN Economic Community (2015), Kemendag (2012)

Kebijakan Langit Terbuka (Open Sky Policy)
Berdasarkan Havel (2009) dinyatakan bahwa pemahaman kebijakan langit
terbuka (open sky) merupakan suatu konsep kebijakan internasional yang
mengarah kepada liberalisasi aturan dan pengaturan dalam industri penerbangan
sipil internasional, khususnya pada penerbangan komersial dengan meminimalkan
intervensi pemerintah dalam aktifitasnya sehingga terbukanya pasar bebas industri
penerbangan. Menurut Setiawan (2012) disebutkan bahwa open sky adalah sebuah
kesepakatan yang menciptakan pasar terbuka di antara kedua negara untuk
memberikan peluang yang lebih besar bagi perusahaan penerbangan masingmasing negara dalam menawarkan dan mengoperasikan layanan penerbangan
kepada publik. Dalam laporan Final Report: Preparing ASEAN For Open Sky
dijelaskan definisi dari open sky adalah sebagai suatu kumpulan kebijakan atau
suatu paket yang terdiri dari aspek-aspek kebijakan yang jelas, seperti penataulangan kapasitas dan penghapusan kontrol harga yang mengarah ke industri jasa
penerbangan dengan lebih sedikit regulasi atau peraturan. Ini merupakan sebuah
strategi untuk membuka pintu pasar jasa penerbangan yang dapat dicapai dengan
adanya perjanjian bilateral, regional, dan multilateral.
Penelitian Terdahulu
Abed et al (2001) dalam jurnal mereka yang berjudul “An Econometric
Analysis of International Air Travel Demand in Saudi Arabia” menyatakan bahwa
ukuran populasi dan total pengeluaran merupakan faktor utama atas permintaan
jasa penerbangan di Arab Saudi. Pada penelitian ini, penulis menetapkan 16
variabel yang diduga berpengaruh terhadap permintaan jasa penerbangan yaitu,

14
Produk Domestik Bruto Minyak, Produk Domestik Bruto Swasta Non Minyak,
Produk Domestik Bruto Pemerintah Non Minyak, Total Produk Domestik Bruto
Minyak, Total Produk Domestik Bruto, Indeks Harga Konsumen, Pendapatan
Perkapita, Impor Barang dan Jasa, Nilai Tukar terhadap US Dollar, Nilai Tukar
terhadap Singapore Dollar, Jumlah Populasi, Total Pengeluaran, Total
Pengeluaran Konsumsi Swasta, Total Pengeluaran Konsumsi Pemerintah danTotal
Penegeluaran Konsumsi.
Mazzeo (2003) dalam papernya yang berjudul “Competition and Service
Quality in the U.S Airline Industry” meneliti adanya hubungan persaingan dengan
kualitas jasa yang akan memberikan informasi bagi pemerintah untuk
memperkirakan daya saing dalam pasar, mengevaluasi potensi untuk merger dan
meningkatkan standar industri. Dalam penelitian ini penulis menyatakan bahwa
setiap maskapai sebaiknya menyediakan layanan jasa yang bervariasi tergantung
level konsentrasi pasar dan sikap konsumen dalam menilai pelayanan yang baik
dan buruk.
Rizka (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Permintaan Jasa
Angkutan Udara Khusus Penumpang di Sumatera Barat (Studi Kasus: Rute
Penerbangan Padang-Jakarta)” menyatakan bahwa permintaan jasa angkutan
udara rute Padang-Jakarta dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan rill
rata-rata penduduk dan tarif tiket pesawat. Penulis menyimpulkan bahwa faktor
yang paling dominan dalam memengaruhi permintaan jasa angkutan udara adalah
jumlah penduduk.
Kerangka Pemikiran
Sehubungan dengan akan dimulainya kebijakan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (ASEAN Economic Community) maka akan diberlakukan berbagai
liberalisasi di setiap perdagangan antar negara anggota ASEAN. Kebijakan
liberalisasi ini juga mencakup perdagangan jasa. Salah satu jasa yang
diperdagangkan di ASEAN adalah jasa angkutan udara atau air transport.
Kebijakan liberalisasi jasa penerbangan ini semakin diperkuat dengan
dibentuknya perjanjian seluruh pemimpin-pemimpin ASEAN yang menghasilkan
kebijakan langit terbuka (open sky policy). Kebijakan ini mewajibkan masingmasing negara anggota untuk membuka atau mengizinkan setiap perusahaanperusahaan penyedia jasa penerbangan untuk beroperasi di negaranya. Hal ini
akan menciptakan suatu persaingan yang akan berpengaruh terhadap tingkat
produktivitas dan konsumsi jasa penerbangan nasional.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis melakukan penelitian untuk
melihat kondisi daya saing industri jasa penerbangan nasional dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif akan
dianalisis menggunakan metode RCA sedangkan pendekatan kualitatif akan
dianalisis menggunakan metode Porter’s Diamond Theory. Kerangka pemikiran
dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:

15

ASEAN Economic
Community 2015

Open Sky Policy

Daya Saing
Industri jasa
Penerbangan
Nasional
Pendekatan
Kualitatif

Pendekatan
Kuantitaif
Faktor yang
memengaruhi
permintaan jasa

RCA (Revealed
Comparative
Advantage)

OLS

Porter’s Diamond
Theory

Strategi dan
Upaya
Meningkatkan
Daya Saing
Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian

16
Hipotesis Penelitian

1.
2.
3.

Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah :
Industri jasa penerbangan nasional memiliki keunggulan komparatif di pasar
internasional.
Industri jasa penerbangan nasional memiliki keunggulan kompetitif.
Semua variabel bebas yang digunakan (populasi, produk domestik bruto,
konsumsi rumah tangga, harga avtur, jumlah armada, inflasi, dan dummy
krisis) memiliki pengaruh terhadap variabel tidak bebas jumlah permintaan
industri jasa Indonesia :
a. Populasi memiliki pengaruh positif terhadap permintaan industri jasa
penerbangan Indonesia, dimana semakin tinggi jumlah populasi maka
semakin tinggi permintaan jasa penerbangan.
b. Produk domestik bruto memiliki pengaruh positif terhadap permintaan
industri jasa penerbangan Indonesia, dimana semakin tinggi jumlah
produk domestik bruto maka semakin tinggi permintaan jasa
penerbangan.
c. Konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh positif terhadap
permintaan industri jasa penerbangan Indonesia, dimana semakin
tinggi jumlah pengeluaran rumah tangga maka semakin tinggi
permintaan jasa penerbangan.
d. Harga avtur memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan industri
jasa penerbangan Indonesia, dimana semakin tinggi harga avtur maka
semakin rendah permintaan jasa penerbangan.
e. Inflasi memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan industri jasa
penerbangan Indonesia, dimana semakin tinggi inflasi maka semakin
rendah permintaan jasa penerbangan.
f. Jumlah armada memiliki pengaruh positif terhadap permintaan
industri jasa penerbangan Indonesia, dimana semakin tinggi jumlah
armada maka semakin tinggi permintaan jasa penerbangan.
g. Dummy krisis memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan jasa
penerbangan, dimana ketika terjadi krisis maka akan menurunkan
jumlah permintaan jasa penerbangan nasional.

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu
(time series) beberapa tahun terakhir yaitu dari tahun 2004 sampai 2012. Jenis
data yang digunakan ini meliputi data nilai total ekspor jasa penerbangan
(penumpang) Indonesia, data nilai total ekspor jasa penerbangan (penumpang)
Indonesia, data nilai total ekspor jasa penerbangan seluruh dunia dan data nilai
total ekspor jasa dunia. Selanjutnya, juga terdapat data-data laporan keuangan
beberapa maskapai penerbangan sepeti Garuda Indonesia, Malaysia Airlines,
Singapore Airlines, Phillipines Airlines dan Thai Airlines. Untuk analisis
permintaan industri jasa penerbangan digunakan data pertumbuhan populasi, PDB

17
riil, pertumbuhan pengeluaran RT, inflasi, jumlah armada, pertumbuhan ekspor,
nilai tukar dan dummu krisis dari tahun 1981 sampai tahun 2012.
Data-data di atas diperoleh dari Kementrian Perhubungan Republik
Indonesia, Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, ASEAN, Trademap, World
Bank, International Air Transport Association (IATA), Garuda Indonesia,
Malaysia Airlines, Singapore Airlines, Phillipines Airlines, dan Thai Airlines serta
studi-studi literatur yang didapat dari buku dan jurnal yang berkaitan dengan
penerbangan (air transport).

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Tabel 5 Jenis data dan sumber data
Jenis Data
Nilai ekspor jasa penerbangan nasional (US dollar)
Nilai ekspor jasa nasional (US dollar)
Nilai ekspor jasa penerbangan dunia (US dollar)
Nilai ekspor jasa dunia (US dollar)
Permintaan jasa penerbangan nasional (orang)
Produk domestik bruto riil Indonesia (US do