Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo

STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG
DI KABUPATEN GORONTALO

RINI WIDIASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir berjudul Strategi
Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tugas akhir ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor,

September 2014
Rini Widiastuti
NRP H252124075

RINGKASAN
RINI WIDIASTUTI, 2014. Strategi Pengembangan Sapi Potong di
Kabupaten Gorontalo. Di bawah bimbingan MA‟MUN SARMA dan ANNA
FARIYANTI.
Sapi potong merupakan salah satu hewan ternak potensial dalam pemenuhan
kebutuhan protein hewani berupa daging. Hingga saat ini Indonesia belum mampu
memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Kabupaten Gorontalo dengan populasi
sapi potong terbesar di Provinsi Gorontalo mempunyai peluang sebagai salah satu
penyedia sapi potong. Kendala yang dihadapi adalah pemasaran yang ada masih
bersifat umum, yakni masih berorientasi penyediaan pasokan dalam daerah
dengan kualitas seadanya, tanpa ada standar tertentu. Selain itu, pemasaran juga
belum mengarah kepada terciptanya mekanisme pasar yang berkeadilan, di mana
pembelian sapi potong oleh pedagang hanya dengan mengandalkan perkiraan fisik
ternak tanpa ditimbang. Oleh karena itu diperlukan strategi agar usaha sapi potong

di Kabupaten Gorontalo berkembang lebih baik dan menghasilkan produk yang
bisa berkompetisi di pasaran.
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menganalisis faktor-faktor
keunggulan kompetitif yang paling berpengaruh dalam pengembangan sapi
potong di Kabupaten Gorontalo, (2) Mengidentifikasi dan menganalisis keragaan
rantai nilai komoditas sapi potong di Kabupaten Gorontalo dan (3) Merumuskan
strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gorontalo pada bulan April dan Mei
2014. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer pada penelitian ini diperoleh dengan cara pengamatan
langsung di daerah penelitian dan wawancara dengan tiga jenis responden.
Responden pertama dipilih dari instansi terkait untuk mendapatkan faktor-faktor
keunggulan kompetitif yang paling berpengaruh pada pengembangan sapi potong.
Responden kedua adalah aktor rantai nilai yang terdiri dari peternak, pedagang
sapi bakalan, pedagang lokal, pedagang antar wilayah, pemotong serta instansi
terkait. Responden ketiga adalah pakar dalam pengembangan sapi potong di
Kabupaten Gorontalo yang berasal dari instansi terkait, peternak, perbankan serta
akademisi. Ketiga jenis responden ditentukan secara sengaja (purposive
sampling), dan lembaga pemasaran dipilih dengan penelusuran informasi dari
peternak. Data sekunder diperoleh dari instansi/lembaga terkait, dukungan

regulasi serta dokumen kebijakan daerah yang relevan dengan penelitian ini.
Penelitian dimulai dengan analisis terhadap faktor-faktor keunggulan
kompetitif yang paling berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong di
Kabupaten Gorontalo. Faktor-faktor tersebut dikembangkan dengan pendekatan
model Berlian Porter. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis Delphi.
Selanjutnya dilakukan analisis rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo
dengan mengidentifikasi masing-masing aktor yang terlibat di dalamnya,
melakukan analisis marjin pemasaran dan farmer’s share serta mengidentifikasi
hambatan dan peluang pada setiap aktivitas rantai nilai. Hasil dari analisis faktorfaktor keunggulan kompetitif yang paling berpengaruh terhadap pengembangan
sapi potong dan analisis rantai nilai dijadikan pertimbangan dalam penyusunan

hirarki untuk perumusan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten
Gorontalo dengan menggunakan Proses Hirarki Analitik (PHA).
Berdasarkan hasil penilaian responden, diketahui bahwa faktor kondisi dan
peran pemerintah mempunyai pengaruh yang kuat sebagai faktor keunggulan
kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo dengan total skor
3,080 dan 3,127. Elemen-elemen dari setiap faktor yang mempunyai pengaruh
sangat kuat antara lain: sumberdaya alam mendukung sentra produksi,
sumberdaya manusia, dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan sapi
potong. Aktivitas utama rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo meliputi

logistik ke dalam, produksi, dan pemasaran dengan pelaku utama adalah: pemasok
sarana produksi, peternak, pedagang lokal, pedagang antar wilayah dan pemotong.
Terdapat 3 saluran pemasaran sapi potong di Kabupaten Gorontalo, yaitu: (1)
peternak - pedagang lokal – pemotong - konsumen, (2) peternak - pedagang antar
wilayah - konsumen luar daerah, dan (3) peternak – pemotong - konsumen. Dari
ketiga saluran tersebut, peternak memperoleh keuntungan per hari paling rendah.
Peternak sebagai pelaku utama pada kegiatan produksi (operasi) dalam aktivitas
rantai nilai sapi potong masih menghadapi berbagai kendala yang menyebabkan
produk yang dihasilkan berkualitas rendah. Belum ada koordinasi yang baik antar
aktivitas dalam sistem rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo.
Urutan prioritas strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo
dengan metode PHA adalah sebagai berikut: (1) Meningkatkan teknik budidaya,
pemeliharaan, dan pengelolaan usaha, (2) Menyusun regulasi pemasaran ternak,
(3) Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha, (4)
Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan, (5) Meningkatkan
pengembangan pemasaran domestik, dan (6) Meningkatkan kualitas input dan
output produksi melalui pemanfaatan teknologi.
Kata kunci:

analisis rantai nilai, Kabupaten Gorontalo, keunggulan kompetitif,

strategi pengembangan sapi potong.

SUMMARY
RINI WIDIASTUTI, 2014. The Development Strategy of Beef Cattle at
Gorontalo Regency. Guided by MA‟MUN SARMA and ANNA FARIYANTI.
The beef cattle is one of the potential livestocks as a source of animal protein
such as meat. Nowadays, Indonesia has not been able to fullfil the needs of meat on
domestic region. Gorontalo Regency is the biggest of population beef cattle in
Gorontalo Province. It has opportunity as one of the supplier. The constraints faced
is marketing there is still a general, which is still oriented supply in the area
without any quality standards. In addition, marketing is also not lead to a fair
market mechanism, which is the purchase of beef cattle by traders by relying on
physical estimates of livestock without weighed. Therefore, the development
strategy is required to develop the business of beef cattle in Gorontalo regency so that
it can produce the product to compete the market.
The aim of study are: (1) To analyze the factors of competitive advantage that
most influencing in the development of beef cattle, (2) To indentify and analyze the
variability of value chain of beef cattle commodity and (3) To formulate the strategy
of beef cattle development at Gorontalo Regency.
The study was done at Gorontalo Regency on April and May 2014. The data

were collected consist of primary and secondary data. The primary data in this
study were obtained by direct observation at the area of research and interviews
with three types of respondents. The first respondent was selected from the
relevant agencies to gain the factors of competitive advantage influencing the
development of beef cattle. The second respondent was the actors value chain
consisting of cattlemen, cattle traders, local traders, inter-regional traders,
slaughters and related institutions. The third respondent was the experts in the
development of beef cattle at Gorontalo Regency who‟s from relevant agencies,
cattlemen, banking and academia. The three types of respondents were chosen
purposively and the marketing agencies of beef cattle were chosen by tracing the
information from the cattlemen. The secondary data were obtained from relevance
agencies/institutions, regulatory support and documents of local policy which was
relevant with this study.
The study began with the analysis of the competitive advantage factors that
most influencing in the development of beef cattle at Gorontalo Regency with
approach Porter Diamond model. The data collection were analyzed by using
Delphi analysis. Furthermore, the value chain analysis of beef cattle at Gorontalo
Regency was carried out to identify each actor involved, to analyze marketing
margin and farmer's share, and to identify the barriers and opportunities in every
activity of value chain. Afterwards, the formulation of the development strategy of

beef cattle at Gorontalo Regency was analyzed by using Analitycal Hierachy
Process (AHP).
Based on the results of the assessment respondents, it could be found out
that the condition factor and the role of government have a strong influence as
competitive advantage in the development of beef cattle at Gorontalo Regency
with a total score of 3,080 and 3,127. The elements of each factor that very strong
influencing the development of beef cattle are the natural resource supported the
center of production, human resources, and government policy in the development

of beef cattle. The main activites of value chain of beef cattle at Gorontalo
Regency are: inbound logistics, production, and marketing with the main actors
are: the supplier of production means, cattlemen, local traders, inter-regional
traders and slaughters. There are 3 channels of beef cattle marketing at Gorontalo
Regency, namely: (1) cattleman – local trader – slaughter – consumers, (2)
cattleman – inter-regional trader – non-local consumers, and (3) cattleman –
slaughter – consumers. From the three channels above, the profit per day of
cattleman are lowest. The cattlemen as the main actors in the production activities
(operations) in the value chain activities still face many obstacles that lead to lowquality products. There is no good coordination among activities in the system.
The priority sequence of beef cattle development strategy at Gorontalo
Regency with AHP method is as follows: (1) Increasing the breeding technique, the

raising, and the management of beef cattle, (2) Arranging a livestock marketing
regulation, (3) Facilitating the capital and investment, (4) Optimizing the facilities
and infrastructures supporting the livestock, (5) Increasing domestic marketing
development, and (6) Improving input and output quality of production through
the use of technology.
Key words: competitive advantage, development strategy of beef cattle,
Gorontalo Regency, value chain analysis

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG
DI KABUPATEN GORONTALO


RINI WIDIASTUTI

Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional
pada
Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji luar komisi pada Ujian Tugas Akhir: Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS

Judul
Nama
NRP
Program Studi


: Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten
Gorontalo
: Rini Widiastuti
: H252124075
: Manajemen Pembangunan Daerah

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ma‟mun Sarma, MS MEc
Ketua

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Plh. Ketua Program Studi
Manajemen Pembangunan Daerah


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Lukman M Baga, MAEc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 25 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya imiah yang berjudul “Strategi Pengembangan
Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo” berhasil diselesaikan dengan baik dan
lancar.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ma‟mun Sarma, MS
MEc sebagai dosen pembimbing pertama dan Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
sebagai dosen pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan,
arahan, saran dan masukan kepada penulis, serta kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi
Asmarantaka, MS selaku penguji dari luar komisi dan Bapak A. Faroby Falatehan,
SP ME selaku wakil program studi yang telah memberikan arahan dan masukan
kepada penulis pada saat ujian sidang. Penghargaan dan terima kasih penulis
sampaikan kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam hal ini Bapak Drs H
Rusi Habibie, MAP selaku Gubernur Gorontalo, Bapak Drs H Idris Rahim, MM
selaku Wakil Gubernur Gorontalo, Ibu Prof Dr Ir Hj Winarni Monoarfa, MSc
selaku Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo, dan Bapak Drs H Sofyan Maku,
MM selaku Kepala BKPPD Provinsi Gorontalo atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk melanjutkan studi S2. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada seluruh staf Dinas Peternakan dan Perkebunan Provinsi
Gorontalo dan Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan Kabupaten Gorontalo
serta pihak-pihak terkait yang telah membantu dalam pengumpulan data. Terakhir,
ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua, suami, anak-anak dan
seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan, motivasi serta doa dan kasih
sayangnya kepada penulis hingga menyelesaikan studi.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Rini Widiastuti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
5
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Agribisnis dan Subsistem-subsistem dalam Agribisnis
Profil Komoditas Sapi Potong
Konsep Rantai Nilai dan Analisis Rantai Nilai
Konsep dan Pengertian Saluran Pemasaran, Margin Pemasaran dan
Farmer’s Share
Pendekatan Model Berlian Porter
Sekilas tentang Proses Hirarki Analitik (PHA)
Penelitian Terdahulu

6
6
7
7
9
11
12
13

3 METODE
Kerangka Pemikiran
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pendekatan Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Penentuan Jumlah Sampel dan Metode Pemilihan Sampel
Prosedur Analisis Data

16
16
18
18
18
19
21
21

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH
Keadaan Geografis Kabupaten Gorontalo
Kondisi Iklim Kabupaten Gorontalo
Keadaan Demografis Kabupaten Gorontalo
Keadaan Ekonomi Kabupaten Gorontalo
Penyebaran dan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo

26
26
26
26
27
28

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keunggulan Kompetitif Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten
Gorontalo
Keragaan Rantai Nilai Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo

32
32
43

6 PERUMUSAN STRATEGI
Hasil Analisis dengan PHA
Implikasi Kebijakan

62
64
67

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

72
72
72

DAFTAR PUSTAKA

72

LAMPIRAN

76

DAFTAR TABEL
1 PDB atas harga konstan menurut lapangan usaha (Miliar Rupiah) di
Provinsi Gorontalo Tahun 2010-2012
2 Luas wilayah dan populasi sapi potong per kabupaten/kota
di Provinsi Gorontalo tahun 2012
3 Ringkasan penelitian terdahulu yang relevan
4 Daftar responden dan informan beserta jumlahnya
5 Panduan Pembobotan Responden
6 Panduan penilaian responden
7 Skala banding secara berpasang
8 Struktur penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja berdasarkan
lapangan usaha di Kabupaten Gorontalo Tahun 2012
9 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut subsektor pada sektor
pertanian di Kabupaten Gorontalo (Jutaan Rupiah) tahun 2009-2012
10 Jumlah Rumah Tangga pemelihara sapi potong menurut kecamatan
tahun 2013
11 Penyebaran kelompok ternak, kelas, jumlah anggota dan jumlah sapi di
Kabupaten Gorontalo
12 Jumlah pemotongan dan pengeluaran ternak sapi potong di Provinsi
Gorontalo tahun 2011-2013
13 Hasil penilaian faktor (input) kondisi
14 Hasil penilaian faktor industri penunjang dan terkait
15 Hasil penilaian faktor kondisi permintaan
16 Hasil penilaian faktor strategi perusahaan dan persaingan
17 Hasil penilaian faktor peran pemerintah
18 Hasil penilaian faktor peran kesempatan
19 Program, kegiatan dan anggaran APBD II pendukung peternakan di
Kabupaten Gorontalo tahun 2013
20 Nilai marjin dan farmer’s share pada saluran pemasaran tingkat I
21 Nilai marjin dan farmer’s share pada saluran pemasaran tingkat II
22 Nilai marjin dan farmer’s share pada saluran pemasaran tingkat III
23 Analisis finansial usaha ternak sapi potong/ekor/periode 6 bulan
(183hari) pola penggemukan

1
2
14
20
22
23
25
27
27
29
30
32
33
36
38
39
40
42
47
50
50
51
56

24 Daftar harga sapi potong dan daging sapi (Rupiah) di Kabupaten
Gorontalo
25 Aktivitas pendukung rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo
26 Rencana program dan kegiatan

58
59
71

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Diagram Rantai Nilai
Saluran pemasaran pelanggan
Kerangka pemikiran
Struktur hirarki strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten
Gorontalo
Populasi sapi potong di Kabupaten Gorontalo tahun 2011-2013
Produksi sapi potong di Kabupaten Gorontalo tahun 2011-2013
Pohon industri sapi potong
Saluran pemasaran sapi potong di Kabupaten Gorontalo
Rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo
Struktur dan nilai bobot hierarki PHA

8
10
17
24
28
28
32
49
52
64

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta wilayah dan penyebaran populasi sapi potong Kabupaten
Gorontalo tahun 2013
2 Rekapitulasi nilai hasil analisis delphi
3 Kondisi pemeliharaan sapi potong, kondisi pasar dan sarana
pengangkutan dalam pemasaran sapi potong di Kabupaten Gorontalo
4 Hasil pengolahan Proses Hirarki Analitik (PHA)
5 Prioritas strategi berdasarkan hasil Proses Hirarki Analitik (PHA)
6 Kuesioner faktor-faktor keunggulan kompetitif
7 Kuesioner Proses Hirarki Analitik (PHA)

76
77

79
80
81
82
85

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu agenda penting pemerintah dalam pembangunan nasional di
sektor pertanian adalah revitalisasi pertanian yang antara lain diarahkan untuk
meningkatkan ketersediaan pangan asal ternak, meningkatkan nilai tambah dan
daya saing produk pertanian, serta meningkatkan produksi dan ekspor komoditas
pertanian. Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB)
sektor pertanian dan PDB Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa peternakan
merupakan salah satu motor penggerak perekonomian Indonesia.
Dalam perekonomian Indonesia, kontribusi subsektor peternakan terhadap
pembentukan PDB Indonesia sektor pertanian secara umum selama tahun 2010,
2011 dan 2012 di atas 12 persen sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Kedudukan
strategis subsektor peternakan dalam pembangunan nasional, yaitu terkait dengan
penyediaan pangan sumber protein hewani seperti daging, susu dan telur sebagai
faktor essensial dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu komoditas
peternakan penghasil daging adalah sapi potong.
Tabel 1 PDB atas harga konstan menurut lapangan usaha (Miliar Rupiah) di
Indonesia Tahun 2010-2012
Sektor
2010
2011
2012*
Pertanian umum
304.777,10
315.036,80
328.279,70
Peternakan
38.214,40
40.040,30
41.918,60
- (% terhadap pertanian)
12,54
12,71
12,77
Subsektor lain (pertanian)
266.562,70
274.996,50
286.361,10
- (% terhadap pertanian)
87,46
87,29
87,23
Ekonomi lainnya
2.009.681,70 2.149.639,70
2,290.118,70
PDB
2.314.458,80 2.464.676,50
2.618.938,40
Sumber:
BPS (2013)
Keterangan: * angka sementara
Permintaan daging sapi sampai saat ini terus mengalami peningkatan dan
masih dilakukan impor secara nasional. Proyeksi kebutuhan daging sapi tahun
2013 adalah sebesar 549,7 ribu ton. Dari jumlah tersebut, 474,4 ribu ton mampu
dipenuhi dari populasi ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu ton
(14,6 persen) harus diimpor (Kementerian Pertanian 2013). Berdasarkan hasil
Sensus Pertanian tahun 2013, jumlah populasi sapi dan kerbau sebanyak 14,24
juta ekor (BPS 2013), turun dibandingkan dengan hasil Pendataan Sapi Potong,
Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) tahun 2011 sebanyak 16,7 juta ekor (BPS 2011).
Hal tersebut menunjukkan bahwa antara ketersediaan dan permintaan daging sapi
dalam negeri masih terjadi kesenjangan yang cukup besar, sementara populasi
sapi potong justru mengalami penurunan. Oleh karena itu prospek pasar dan
pengembangan agribisnis sapi potong baik pada subsistem hulu, subsistem
budidaya, maupun subsistem hilir masih terbuka lebar di Indonesia.

2
Di Provinsi Gorontalo, ternak sapi potong telah menjadi komoditas
unggulan subsektor peternakan sejak tahun 2007 dengan kriteria penetapannya
sebagai berikut: (1) Pasarnya ada dan dapat ditingkatkan, (2) Teknologinya sudah
ada dan dapat diperbaiki, (3) Sudah ada pelaku usaha yang melakukan kegiatan
baik pengembangbiakan, budidaya, maupun pemasarannya, dan (4)
Agroekosistem wilayah mendukung (Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi
Gorontalo 2007). Dukungan pemerintah daerah terhadap pengembangan
komoditas sapi potong sangatlah besar yang diwujudkan dengan tekad Gorontalo
untuk menjadi Lumbung Ternak Sapi Potong di Kawasan Timur Indonesia Tahun
2017 serta anggaran APBD maupun APBN yang difokuskan pada pengembangan
ternak sapi potong. Tekad Provinsi Gorontalo menjadi Lumbung Ternak Sapi
Potong di Kawasan Timur Indonesia tahun 2017 merupakan komitmen bersama
Pemerintah Provinsi Gorontalo sejak pelaksanaan Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) Peternakan Tahun 2013 dan diimplementasikan
dalam Rencana Kinerja Dinas Peternakan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo.
Tekad tersebut harus didukung oleh seluruh Kabupaten/Kota se-Provinsi
Gorontalo termasuk Kabupaten Gorontalo.
Kabupaten Gorontalo sebagai daerah tropis dengan potensi sumberdaya
alam yang melimpah sangat berpotensi untuk pengembangan ternak sapi potong.
Dengan luas wilayah hanya 17,24 persen dari seluruh wilayah Provinsi Gorontalo,
berdasarkan Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Gorontalo mempunyai populasi
ternak sapi potong terbanyak, yakni sebesar 40,56 persen dari seluruh populasi
sapi potong di Provinsi Gorontalo sebagaimana terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Luas wilayah tahun 2012 dan populasi sapi potong tahun 2013 per
kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo
Luas
Populasi Sapi Potong
Kabupaten/Kota
2
(km )
(%ase)
(Ekor)
(%ase)
Boalemo
1.736,61
13,97
29.504
16,87
Gorontalo
2.143,48
17,24
70.924
40,56
Pohuwato
4.455,60
35,83
25.748
14,73
Bone Bolango
1.891,49
15,21
22.042
12,61
Gorontalo Utara
2.141,86
17,22
23.750
13,58
Kota Gorontalo
65,96
0,52
2.890
1,65
TOTAL

12.435,00

100,00

174. 858

100,00

Sumber: BPS Provinsi Gorontalo 2013
Melihat potensi yang ada tersebut, didukung adanya permintaan komoditas
sapi potong baik dari dalam maupun luar wilayah serta masih adanya impor
daging sapi secara nasional maka Kabupaten Gorontalo berpotensi sebagai salah
satu pemasok sapi potong. Di sisi lain, pembangunan industri peternakan
menghadapi persaingan global yang mencakup kesiapan daya saing dan tantangan
pemenuhan kebutuhan protein hewani dalam negeri. Menurut Imaroh (2014)
dalam upaya memasuki pasar global, sebagai faktor utama adalah kemampuan
SDM yang berdaya saing dan daya saing produk (barang dan jasa) Indonesia
dalam berkompetisi perlu diperkuat. Strategi peningkatan keunggulan kompetitif
merupakan prasyarat bagi suatu bangsa untuk dapat bersaing di dalam arus

3
globalisasi yang semakin kuat. Adanya keunggulan kompetitif pada daerah sentra
agribisnis akan mendorong para pelaku yang terlibat di dalamnya memiliki
kemampuan merespon dengan baik segala tantangan dan peluang yang ada
(Cahyani 2010).
Dalam rangka menghasilkan produk sapi potong yang sesuai dengan
permintaan pasar serta mengurangi ketergantungan impor, maka diperlukan peran
peternak skal kecil dalam pasar peternakan. Untuk mendorong peran serta
peternak skala kecil tersebut, maka pemerintah harus terus memacu
memberdayakan mereka sehingga daya saing mereka meningkat, yaitu dalam
membangun sistem rantai nilai yang efisien (Daryanto 2009). Oleh karena itu
maka perlu diidentifikasi pelaku rantai nilai (value chain) kegiatan mulai dari
subsistem hulu, proses produksi (budidaya/penggemukan), subsistem hilir dan
pemasaran serta bagaimana mengembangkan dan meningkatkan produksi dan
produk olahannya secara maksimal.
Menurut Daryanto (2009), salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan
konsumen secara berkesinambungan adalah melalui peningkatan daya saing dan
keunggulan kompetitif dengan rantai nilai yang terintegrasi. Untuk menjawab
tantangan tersebut, maka diperlukan strategi agar usaha sapi potong di Kabupaten
Gorontalo berkembang baik dan bisa menghasilkan produk yang mampu
berkompetisi di pasar. Oleh karen itu perlu dijawab pertanyaan pokok:
“Bagaimana strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo?”
Perumusan Masalah
Usaha agribisnis peternakan sapi potong di Indonesia memiliki potensi dan
pertumbuhan yang menjanjikan ke depan. Sampai dengan saat ini Indonesia
belum mampu untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat, sehingga
harus mengimpor produk daging dan sapi bakalan. Meskipun konsumsi daging
sapi penduduk Indonesia hanya sebesar 2,2 kg/kapita/tahun atau lebih rendah dari
konsumsi daging dunia yang mencapai 42 kg/kapita/tahun, namun permintaan
daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk, daya beli masyarakat, dan kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya pemenuhan gizi yang seimbang.
Sebagai sebagai daerah yang berpotensi menjadi salah satu mata rantai
penyedia sapi potong antar wilayah, maka sapi potong yang dihasilkan oleh
Kabupaten Gorontalo harus mampu berdaya saing di pasaran dan diperlukan
syarat strategi keunggulan kompetitif. Untuk membantu memahami konsep
keunggulan kompetitif, Michael Porter menciptakan Model Berlian Porter (Porter
1990). Model tersebut dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan kompetitif
yaitu dengan menganalisis tiap komponen dari faktor-faktor yang ada di
dalamnya. Faktor-faktor keunggulan kompetitif berdasarkan gambaran model
Berlian Porter antara lain: (1) Faktor (input) kondisi, (2) faktor permintaan, (3)
faktor pendukung dan industri terkait, (4) strategi perusahaan, (5) peran
pemerintah dan (6) peran kesempatan.
Dari hasil penelitian Wiranata (2002) diketahui bahwa kelima faktor
keunggulan kompetitif sapi potong lokal di daerah Kalimantan Timur saling
berpengaruh sebagai penentu bisnis. Kondisi permintaan pasar sapi potong lokal

4
sangat besar dibandingkan dengan ketersediaan ataupun persaingan penggemukan
sapi potong lokal, sedangkan kondisi faktor produksi dan industri
pendukung/terkait di samping kebijakan pemerintah secara kumulatif dan sinergis
dapat meraih sekaligus meningkatkan peluang bisnis tersebut, sehingga investasi
penggemukan di Kalimantan Timur layak dilaksanakan. Faktor kondisi meliputi
kondisi agroekosistem, sapi bakalan, sumberdaya manusia, dan teknologi ditinjau
sebagai aspek teknis di Kalimantan Timur dapat dilaksanakan secara terpadu
dengan teknologi sederhana oleh sumberdaya setempat sesuai dengan tujuan dan
kriteria investasi penggemukan sapi potong lokal.
Mengingat pentingnya faktor-faktor keunggulan kompetitif dalam upaya
peningkatan daya saing sapi potong, maka akan dijawab pertanyaan: “Apakah
faktor-faktor keunggulan kompetitif yang paling berpengaruh terhadap
pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo?”
Pemasaran yang ada di Kabupaten Gorontalo masih bersifat umum dan
belum mengarah kepada terciptanya mekanisme pasar yang berkeadilan.
Pemasaran sapi potong masih berorientasi penyediaan pasokan dalam daerah
dengan kualitas seadanya, tanpa ada standar/kriteria tertentu dan pembelian sapi
potong oleh pedagang/blantik hanya dengan mengandalkan perkiraan fisik ternak
tanpa ditimbang. Hal tersebut menjadikan posisi tawar peternak lemah sehingga
menjadi peluang untuk mengambil keuntungan yang besar bagi pedagang/blantik.
Selain itu, pemeliharaan sapi potong umumnya diusahakan secara tradisional atau
sambilan, skala usaha kecil dan modal kecil. Keuntungan pemasaran pada pelaku
pasar sapi potong di Kecamatan Srandakan, Bantul terbukti bahwa blantik sebagai
pelaku pasar mendapatkan keuntungan sebesar 28,50 persen, pedagang
pengumpul 17,10 persen, jagal 29,65 persen dan pedagang daging 24,75 persen
untuk setiap unit ternak sapi potong yang dipotong (Kurnianita et al 2009).
Sampai dengan saat ini, Indonesia belum mampu menjadi produsen hasil
peternakan sapi potong yang mampu bersaing di pasar global. Semua subsistem
agribisnis berdiri sendiri-sendiri dan cenderung mengunggulkan subsistemnya
masing-masing dan bukannya bekerjasama mengunggulkan pembangunan sistem
agribisnis (Yusdja dan Ilham 2010).
Salah satu kunci untuk menjawab tantangan-tantangan ke depan peternakan
Indonesia adalah penciptaan nilai tambah terhadap produk, operasional bisnis, dan
pelayanan terhadap konsumen. Peningkatan nilai tambah industri peternakan
tersebut dapat dicapai apabila rantai kegiatan dari hulu hingga ke hilir dapat
terkelola dengan baik secara nilai maupun biaya yang tentunya
mempertimbangkan aspek animal welfare dan keamanan produk (Daryanto 2009).
Oleh karena itu maka perlu diidentifikasi pelaku rantai nilai (value chain) kegiatan
mulai dari subsistem hulu, proses produksi (budidaya/penggemukan), subsistem
hilir dan pemasaran serta bagaimana mengembangkan dan meningkatkan produksi
dan produk olahannya secara maksimal. Pendekatan Value Chain Analysis (VCA)
memegang posisi yang cukup strategis dalam rangka memanfaatan sumberdaya
secara efisien pada setiap simpul kegiatan yang bermuara pada nilai tambah pada
kegiatan agribisnis sehingga bisa mengidentifikasi para aktor yang berperan dalam
rantai nilai, mengidentifikasi kendala yang mereka hadapi serta mengidentifikasi
biaya dan pendapatan yang mereka hasilkan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
akan dijawab pertanyaan: “Bagaimana keragaan rantai nilai komoditas sapi
potong di Kabupaten Gorontalo?”

5
Menurut Daryanto (2009), salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan
konsumen secara berkesinambungan adalah melalui peningkatan daya saing dan
keunggulan kompetitif dengan rantai nilai yang terintegrasi. Keberhasilan
pengembangan usaha ternak sapi potong ditentukan oleh dukungan kebijakan
yang strategis yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis, yaitu kebijakan pasar
input, budidaya, serta pemasaran dan perdagangan dengan melibatkan pemerintah,
swasta, dan masyarakat peternak (Mayulu et al 2010). Peran pemerintah sangat
diperlukan dalam mempertahankan keberadaan usaha peternakan rakyat apalagi
adanya tuntutan penciptaan daya saing. Oleh karena itu, setelah terjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka melalui penelitian ini penulis akan
merumuskan “Bagaimana proses-proses perumusan kebijakan yang strategis
dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo?”
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan di atas, dapat disampaikan tujuan umum dilaksanakannya penelitian
ini adalah untuk merumuskan strategi kebijakan pengembangan ternak sapi
potong berdasar analisis rantai nilai di Kabupaten Gorontalo. Adapun tujuan
khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Menganalisis faktor-faktor keunggulan kompetitif yang berpengaruh dalam
pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo.
b. Mengidentifikasi dan menganalisis keragaan rantai nilai komoditas sapi potong
di Kabupaten Gorontalo.
c. Merumuskan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan:
a. Memberikan bahan evaluasi dan masukan kepada pemerintah daerah, terutama
para pengambil keputusan dalam pengambilan kebijakan dan perumusan
perencanaan pembangunan daerah khususnya yang berkaitan dengan
pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo.
b. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi para stakeholder dalam upaya
pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi faktor -faktor keunggulan
kompetitif, kemudian melakukan analisis rantai nilai sapi potong. Setelah itu akan
dirumuskan strategi kebijakan pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten
Gorontalo.
Ruang lingkup substansi dalam penelitian ini adalah :
a. Profil komoditas sapi potong
b. Kegiatan utama dari rantai nilai sapi potong: logistik ke dalam dan ke luar,
operasional, pemasaran, penjualan dan pelayanan

6
c. Kegiatan-kegiatan pendukung yang secara tidak langsung berkontribusi pada
kegiatan operasional di kegiatan hulu-hilir komoditas sapi potong. Hal-hal yang
tercakup di dalamnya adalah infrastruktur di dalam organisasi, manajemen sumber
daya manusia, serta pembangunan dan penerapan teknologi.
Hasil dari analisis faktor-faktor penentu keunggulan kompetitif dan analisis
rantai nilai komoditas sapi potong digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
penyusunan hirarki dalam penetapan strategi pengembangan sapi potong di
Kabupaten Gorontalo .

2 TINJAUAN PUSTAKA
Agribisnis dan Subsistem-subsistem dalam Agribisnis
Agribisnis merupakan suatu cara lain untuk melihat pertanian sebagai suatu
sistem bisnis yang terdiri dari empat subsistem yang terkait satu sama lain.
Keempat subsistem tersebut adalah: (1) subsistem agribisnis hulu, (2) subsistem
usahatani, (3) subsistem agribisnis hilir, dan (4) subsistem jasa penunjang
(supporting institution). Subsistem agribisnis hulu mencakup semua kegiatan
untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian dalam arti luas
sehingga di dalamnya termasuk kegiatan pabrik pupuk, usaha pengadaan bibit
unggul, baik untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan, ternak maupun ikan,
pabrik pakan, serta kegiatan perdagangannya (Saragih 2010).
Subsistem agribisnis usahatani merupakan kegiatan yang selama ini dikenal
sebagai kegiatan usahatani, yaitu kegiatan di tingkat petani, pekebun, peternak dan
nelayan, serta dalam arti khusus termasuk pula kegiatan kehutanan, yang berupaya
mengelola input-input (lahan, tenaga kerja, modal, teknologi, dan manajemen)
untuk menghasilkan produk pertanian. Subsistem agribisnis hilir, seringkali
disebut sebagai kegiatan agroindustri, adalah kegiatan industri yang menggunakan
produk pertanian sebagai bahan baku. Subsistem perdagangan hasil pertanian atau
hasil olahannya merupakan kegiatan terakhir untuk menyampaikan output sistem
agribisnis kepada konsumen, baik konsumen di dalam negeri maupun konsumen
di luar negeri (ekspor). Kegiatan-kegiatan pengangkutan dan penyimpanan
merupakan bagian dari subsistem ini. Subsistem jasa penunjang (supporting
institution) merupakan kegiatan jasa yang melayani pertanian, seperti kebijakan
pemerintah, perbankan, penyuluhan, pembiayaan dan lain-lain. Secara ringkas
dapat dinyatakan, sistem agribisnis menekankan pada keterkaitan dan integrasi
vertikal antara beberapa subsistem bisnis dalam satu sistem komoditas. Keempat
subsistem tersebut saling terkait dan tergantung satu sama lainnya. Kemandekan
dalam satu subsistem akan mengakibatkan kemandekan subsistem lainnya.
Kinerja usahatani ditentukan oleh kinerja atau keberadaan relasi sinergis dan
elemen-elemen sistem agribisnis di mana usahatani tersebut menjadi elemen inti.
Strategi untuk menumbuhkembangkannya ialah dengan mengelolanya sebagai
bagian integral dari pengelolaan sistem agribisnis tersebut. Strategi tersebut
disebut sebagai Manajemen Sistem Agribisnis (Agribussines System Management
= ASM). Sesungguhnya Manajemen Sistem Agribisnis sama dengan Manajemen
Rantai Pasok (Supply Chain Management = SCM), istilah yang lebih banyak

7
dipakai akhir-akhir ini. Perbedaan kedua konsep ini hanyalah pada komoditas inti,
dimana konsep Manajemen Sistem Agribisnis hanya berlaku berlaku khusus
untuk komoditas pertanian, sedangkan Manajemen Rantai Pasok berlaku umum,
dapat digunakan untuk komoditas dagangan apa saja (Simatupang 2010).

Profil Komoditas Sapi Potong
Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau
dikonsumsi dan memiliki arti yang sangat strategis di Indonesia, terutama
dikaitkan dengan fungsinya sebagai penghasil daging, tenaga kerja, penghasil
pupuk kandang, tabungan, atau sumber rekreasi. Arti yang lebih utamanya adalah
sebagai komoditas sumber pangan hewani yang bertujuan untuk mensejahterakan
manusia, memenuhi kebutuhan selera konsumen dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup dan mencerdaskan masyarakat. Pemeliharaan sapi potong bila
dilakukan dengan benar akan sangat menguntungkan, karena tidak hanya
menghasilkan daging dan susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan
sebagai tenaga kerja. Kotoran sapi dapat menjadi sumber hara yang dapat
memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih gembur dan subur. Selain itu,
semua organ tubuh sapi dapat dimanfaatkan antara lain: kulit, sebagai bahan
industri tas, sepatu, ikat pinggang, topi, jaket. Tulang, dapat diolah menjadi bahan
perekat/lem, tepung tulang dan barang kerajinan. Tanduk, digunakan sebagai
bahan kerajinan seperti: sisir, hiasan dinding dan masih banyak manfaat sapi bagi
kepentingan manusia (Balitbang Pertanian 2008).
Menurut Murtidjo (2012) beberapa keuntungan ekonomis dari beternak sapi
potong antara lain: (1) Sapi potong dapat memanfaatkan bahan makanan yang
rendah kualitasnya menjadi produksi daging, (2) Sapi potong sanggup
menyesuaikan diri pada lokasi atau tanah yang kurang produktif untuk pertanian
tanaman pangan dan perkebunan, (3) Ternak sapi potong membutuhkan tenaga
kerja dan peralatan yang lebih murah daripada usaha ternak lain, misalnya sapi
perah, (4) Usaha ternak sapi potong bisa dikembangkan secara bertahap sebagai
usaha komersial sesuai dengan tingkat keterampilan dan kemampuan modal
peternak, (5) Limbah ternak sapi potong bermanfaat untuk pupuk kandang
tanaman pertanian dan perkebunan, selain mampu memperbaiki struktur tanah
yang tandus, (6) Angka kematian ternak sapi potong relatif rendah, karena untuk
usaha ternak yang dikelola secara sederhana, rata-rata angka kematian hanya 2
persen di Indonesia, dan (7) Sapi potong dapat dimanfaatkan tenaganya untuk
pekerjaan pengangkutan dan pertanian.
Sapi potong diperdagangkan dalam bentuk produk daging dan sapi hidup.
Sapi hidup yang diperdagangkan adalah anak lepas sapih, sapi bakalan, sapi
penggemukan untuk dipotong, dan sapi afkir atau sapi tua. Penjualan sapi hidup
ini dilaksanakan di desa yang dijual kepada pedagang desa (blantik) atau di pasar
hewan yang dibeli oleh pedagang desa (blantik) juga (Sitepoe 2008).
Konsep Rantai Nilai dan Analisis Rantai Nilai
Rantai nilai (value chain) didefinisikan sebagai sekumpulan aktivitas bisnis
dimana di setiap tahapan/langkah dalam aktivitas bisnis tersebut menambahkan

8
nilai/value atau kemanfaatan terhadap barang dan jasa organisasi yang
bersangkutan. Porter menggambarkan bahwa setiap perusahaan adalah kumpulan
aktivitas yang difungsikan untuk mendesain, menghasilkan, memasarkan,
mengeluarkan, dan menunjuang produk yang dihasilkannya. Rantai nilai
menguraikan perusahaan menjadi aktivitas-aktivitas yang relevan secara strategis
untuk memahami perilaku biaya dan sumber diferensiasi yang sudah ada dan yang
potensial.
Porter (1990) menyatakan bahwa aktivitas rantai nilai dibagi menjadi dua
jenis aktivitas, yaitu aktivitas utama dan aktivitas pendukung. Aktivitas utama
adalah semua aktivitas yang menciptakan fisik produk dan penjualannya serta
transfer ke pembeli dan juga bantuan purna jual. Aktivitas utama dibagi menjadi
kategori generik yang diperlukan dalam bersaing di berbagai industri, yaitu:
logistik ke dalam, operasi, logistik ke luar, pemasaran dan penjualan serta
pelayanan. Aktivitas pendukung adalah aktivitas yang mendukung aktivitas utama
yang dibagi menjadi empat kategori generik, yaitu pembelian, pengembangan
teknologi, manajemen sumber daya manusia dan infrastruktur perusahaan.
Walaupun aktivitas nilai merupakan balok pembangun keunggulan bersaing,
rantai nilai bukanlah sekumpulan aktivitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah
sistem aktivitas yang saling bergantung. Aktivitas nilai dihubungkan dengan
keterkaitan di dalam rantai nilai. Keterkaitan adalah hubungan antara cara satu
aktivitas nilai dilaksanakan dan biaya atau kinerja aktivitas lain. Diagram rantai
nilai produk menurut Porter (1990) adalah disajikan pada Gambar 1.

Aktivitas
Pendukung

Infrastruktur
Sumberdaya manusia
Pengembangan teknologi

Jasa
Pelayanan

Pemasaran dan
Penjuala

Logistik ke luar

Operai

Logistik ke
dalam

Pembelian

Aktivitas Utama

Gambar 1. Diagram rantai nilai (Porter 1990)

Analisis rantai nilai (value chain analysis) menggambarkan hubungan
kegiatan-kegiatan di dalam dan di sekitar sebuah organisasi dengan suatu analisis
kekuatan kompetitif organisasi. Setiap kegiatan usaha untuk menciptakan produk
dan jasa harus dievaluasi agar nilainya meningkat. Pengevaluasian setiap kegiatan
didasarkan pada prinsip bahwa organisasi bersifat kompleks, bahkan lebih
kompleks dibandingkan dengan mesin, peralatan, orang bahkan uang. Oleh
karenanya, sebuah organisasi perlu diatur dalam sebuah sistem agar bisa
menghasilkan produk atau jasa yang bisa memuaskan kebutuhan pelanggan.
Kemampuan untuk mengelola hubungan kegiatan-kegiatan ini merupakan sumber
keunggulan kompetitif (Porter 1985).

9
Schmitz (2005) menyampaikan beberapa alasan perlunya dilakukan analisis
rantai nilai adalah sebagai berikut: (1) kegiatan dalam rantai nilai sering dilakukan
dalam bagian atau divisi yang berbeda sehingga bersifat global, (2) beberapa
kegiatan penambahan nilai dalam rantai nilai bersifat menguntungkan dan (3)
beberapa pelaku (aktor) dalam rantai nilai memiliki kekuasaan atas pelaku yang
lain. Parameter kunci dalam analisis rantai nilai adalah: (1) Produk atau jasa apa
yang akan dihasilkan, termasuk desain produk dan spesifikasinya, (2) Bagaimana
barang atau jasa tersebut dihasilkan; hal ini melibatkan definisi proses produksi,
yang mencakup unsur-unsur seperti teknologi yang akan digunakan, sistem
kualitas, standar tenaga kerja, dan standar lingkungan, dan (3) Berapa banyak
jumlah yang harus diproduksi serta kapan produk tersebut diproduksi, hal ini
mengacu pada penjadwalan produksi dan logistik.
Value Chain Analysis telah menjadi pendekatan yang semakin berguna
untuk mendapatkan pandangan yang komprehensif dari berbagai negara yang
terlibat pengambilan barang atau jasa dari bahan baku untuk produksi dan untuk
pelanggan. Value Chain Analysis juga telah berkembang dalam beberapa tahun
terakhir. Bagian dalam Value Chain Analysis dapat memberikan informasi yang
berguna bagi para pembuat kebijakan di tingkat nasional maupun lokal, yang
harus mengambil keputusan ekonomi dan sosial yang penting, terutama di negaranegara yang mencoba untuk meng-upgrade industri mereka (Schmitz 2005).

Konsep dan Pengertian Saluran Pemasaran, Margin Pemasaran dan
Farmer’s Share
Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial di mana individuindividu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan
inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produk-produk yang
bernilai. Definisi ini berpijak pada konsep-konsep inti sebagai berikut: kebutuhan,
keinginan dan permintaan; produk; nilai, biaya dan kepuasan; pertukaran,
transaksi dan hubungan; pasar; dan pemasaran dan pemasar ( Kotler 1993)
Menurut Kotler dan Amstrong (2008) saluran pemasaran atau distribusi
pemasaran merupakan sekelompok organisasi saling tergantung yang membantu
membuat produk atau jasa yang tersedia untuk digunakan atau dikonsumsi oleh
konsumen atau pengguna bisnis. Produsen menggunakan perantara karena mereka
menciptakan efisiensi yang lebih besar dalam menyediakan barang bagi pasar
sasaran. Dari sudut pandang ekonomi, peran perantara pemasaran adalah untuk
mengubah pilihan produk yang dibuat oleh produsen menjadi pilihan produk yang
diinginkan konsumen. Masing-masing lapisan perantara pemasaran yang
melakukan sejumlah pekerjaan dalam membawa produk dan kepemilikannya
lebih dekat kepada pembeli adalah tingkat saluran (channel level).
Jumlah tingkat perantara mengindikasikan panjang saluran. Beberapa
saluran distribusi konsumen dengan panjang yang berbeda diperlihatkan pada
Gambar 2. Saluran 1 disebut saluran pemasaran langsung (direct marketing
channel), tidak mempunyai tingkat perantara; perusahaan menjual langsung
kepada konsumen. Saluran lain adalah saluran pemasaran tidak langsung (indirect
marketing channel), yakni saluran yang mengandung satu atau beberapa

10
perantara. Agar saluran secara keseluruhan dapat bekerja dengan baik, masingmasing peran anggota saluran harus ditetapkan dan konflik saluran harus dikelola.
Produsen

Produsen

Produsen

Pedagang grosir

Konsumen

Pengecer

Pengecer

Konsumen

Konsumen

Gambar 2. Saluran pemasaran pelanggan (Kotler dan Amstrong, 2008)
Saluran pemasaran diartikan juga sebagai saluran atau jalur yang digunakan
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memudahkan pemilihan suatu
produk itu bergerak dari produsen sampai berada di tangan konsumen. Jalur
pemasaran tersebut dilakukan oleh badan yang membentuk rangkaian yang
disebut rantai pemasaran. Sedangkan pola pemasaran adalah merupakan jalur
distribusi suatu produk dari produsen melalui beberapa pelaku pemasaran hingga
produk tersebut sampai dan diterima oleh konsumen. Ada empat pola yang sering
dilakukan dalam memasarkan sapi potong, yaitu :
a. Peternak/produsen
Pedagang pengumpul
Konsumen
b. Peternak/produsen
Pedagang pengumpul
Rumah Potong Hewan
Eksportir/Konsumen
c. Peternak/Produsen
Pedagang pengumpul
Industri pengalengan daging
Eksportir/konsumen
d. Peternak
Blantik
Jagal/ Pedagang pengumpul besar
Pedagang
pengumpul kecil (Rianto dan Pubowati 2013)
Margin pemasaran merupakan konsep-konsep penting dalam kajian
efesiensi yang kemudian dapat menentukan apakah efesien atau tidak. Margin
pemasaran terdiri atas dua bagian, bagian pertama merupakan perbedaan antara
harga yang dibayar konsumen dengan harga yang di terima oleh produsen. Bagian
kedua margin pemasaran merupakan biaya dari jasa-jasa pemasaran tersebut.
Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyatakan bahwa marjin merupakan suatu
istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang dibayar kepada
penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir.
Sudiyono (2002) juga menyatakan bahwa marjin pemasaran merupakan
selisih harga dari dua atau lebih tingkat rantai pemasaran, atau harga di tingkat
produsen dan harga eceran di tingkat konsumen. Analisis farmer’s share
bermanfaat untuk mengetahui bagian harga yang diterima oleh petani dari harga di
tingkat konsumen yang yang dinyatakan dalam prosentase. Farmer’s share
mempunyai hubungan negatif dengan marjin pemasaran, di mana semakin tinggi
marjin pemasaran, maka bagian yang akan diperoleh petani/pembudidaya semakin
rendah.

11
Pendekatan Model Berlian Porter
Berlian Porter (Porter’s diamond) dalam Porter (1990) adalah model yang
diciptakan oleh Michael Porter untuk membantu kita dalam memahami konsep
keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu negara yang semakin
populer dalam dunia saat ini. Berbeda dengan konsep keunggulan komparatif
(comparative advantage) yang menyatakan bahwa suatu negara tidak perlu
menghasilkan suatu produk apabila produk tersebut telah dapat dihasilkan oleh
negara lain dengan lebih baik, unggul, dan efisien secara alami, konsep
keunggulan kompetitif adalah sebuah konsep yang menyatakan bahwa kondisi
alami tidaklah perlu untuk dijadikan penghambat karena keunggulan pada
dasarnya dapat diperjuangkan dan ditandingkan (dikompetisikan) dengan berbagai
perjuangan/usaha. Keunggulan suatu negara bergantung pada kemampuan
perusahaan-perusahaan di dalam negara tersebut untuk berkompetisi dalam
menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar.
Berlian ini terdiri dari empat determinan utama yang membentuk model
seperti berlian yang dalam hubungannya, keempat determinan ini saling
menguatkan satu sama lain. Unsur-unsur ini adalah sebagai berikut: kondisi faktor
produksi, kondisi permintaan, industri-industri yang berkaitan dan mendukung,
dan strategi, struktur, dan persaingan perusahaan. Kondisi faktor produksi dibagi
menjadi dua, yaitu yang biasa dan yang terspesialisasi. Yang biasa adalah faktorfaktor produksi yang diwarisi secara alami seperti kekayaan sumber daya alam
(SDA), tanah, dan tenaga kerja yang belum terlatih. Sedangkan yang
terspesialisasi adalah faktor-faktor produksi yang tidak terdapat secara alami,
melainkan harus diciptakan terlebih dahulu. Contoh dari faktor produksi yang
terspesialisasi adalah teknologi dan tenaga kerja yang terlatih. Kondisi faktor
produksi dikatakan baik apabila jumlah faktor produksi yang dimiliki ada banyak
dan perbandingan antara faktor produksi biasa dengan faktor produksi
terspesialisasi adalah proporsional. Semakin baik kondisi faktor produksi yang
dimiliki oleh perusahaan-perusahaan di dalam suatu negara, maka akan semakin
kompetitif negara tersebut.
Kondisi permintaan dikatakan dapat menaikkan kompetitivitas apabila
kondisi permintaan tersebut adalah mutakhir (sophisticated). Yang dimaksud
dengan permintaan mutakhir di sini adalah kecenderungan untuk selalu menuntut,
menuntut, dan menuntut agar produk yang dihasilkan terus diinovasi supaya bisa
memuaskan kebutuhan para demander. Selanjutnya adalah industri-indutri yang
berkaitan dan mendukung. Kompetitivitas dapat meningkat apabila industri yang
berkaitan dan mendukung memusatkan diri mereka dalam satu kawasan. Hal ini
akan menghemat biaya komunikasi, ongkos gudang penyimpanan, ongkos
transportasi, serta akan meningkatkan arus pertukaran informasi.
Unsur yang terakhir adalah strategi, struktur, dan persaingan perusahaan.
Strategi dan struktur yang diterapkan perusahaan akan menentukan
kompetitivitasnya. Hal ini lebih menyangkut kepada konteks waktu dan budaya
di mana per