BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Potensi Pengembangan Sapi Potong - Studi Komparatif Dan Strategi Pengembangan Sapi Potong Melalui Kelompok Peternak Di Kabupaten Serdang Bedagai

  dengan peningkatan kesadaran tentang nilai-nilai gizi, menyebabkan peningkatan permintaan akan produk asal ternak meningkat dengan sangat pesat. Namun, peningkatan konsumsi protein hewani yang membaik ini belum dapat diantisipasi dengan suplai protein asal ternak yang memadai. Pada kenyataannya sumber daging di Indonesia berasal dari daging ayam (62%), daging sapi dan kerbau (25%), dan sisanya berasal dari aneka ternak lainnya (Bamualim et al. 2007). Suplai protein asal ternak terutama daging sapi yang dihasilkan secara domestik belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat, sehingga kebijakan impor daging dan sapi hidup masih diberlakukan. Kebutuhan konsumsi daging masyarakat Indonesia baru mencapai 6,5 kg/kapita/tahun, yang berasal dari daging sapi hanya sebesar 1,7 kg/kapita/tahun (Ditjennak 2009).

  Menurut Najib et al. (1997) ternak sapi mempunyai peran yang cukup penting bagi petani sebagai penghasil pupuk kandang, tenaga pengolah lahan, pemanfaat limbah pertanian dan sebagai sumber pendapatan. Menurut Syafruddin

  

et al . (2003) ternak merupakan salah satu sumber protein hewani masyarakat,

  mempunyai prospek yang cerah dan menjanjikan untuk dikembangkan. Selain itu, ternak dapat menjadi sumber pendapatan petani ternak, lapangan kerja, tenaga kerja dan sumber devisa yang potensial serta perbaikan kualitas tanah. Ditambahkan oleh Sumadi et al. (2004) bahwa sapi potong mempunyai fungsi sosial yang penting di masyarakat sehingga merupakan komoditas yang sangat penting untuk dikembangkan.

  Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu

sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk

dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Menurut Saragih dalam

Mersyah (2005), ada beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha

ternak sapi potong, yaitu: 1) budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada

ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas tinggi, 2) memiliki

  

kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes, 3) produk sapi potong

memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang tinggi, dan 4) dapat

membuka lapangan pekerjaan.

  Pembangunan peternakan ditujukan untuk meningkatkan produksi hasil ternak yang sekaligus meningkatkan pendapatan peternak, menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak. Berdasarkan dan mengacu pada visi pembangunan peternakan, maka telah digariskan Misi Pembangunan Peternakan yaitu : 1) memfasilitasi penyediaan pangan asal ternak yang cukup baik secara kuantitas maupun kualitasnya, 2) memberdayakan sumberdaya manusia peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, 3) menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan peternakan, 4) membantu menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis peternakan dan 5) melestarikan serta memanfaatkan sumber-daya alam pendukung peternakan (Departemen Pertanian 2001).

  Sementara itu tujuan khusus pembangunan peternakan tersebut adalah 1) meningkatkan kuantitas dan kualitas bibit ternak, 2) mengembangkan usaha budidaya untuk meningkatkan populasi, produktivitas dan produksi ternak, 3) meningkatkan dan mempertahankan status kesehatan hewan, 4) meningkatkan jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal) dan 5) meningkatkan pelayanan prima pada masyarakat peternakan (Sjamsul Bahri 2008).

  Upaya pengembangan sapi potong telah lama dilakukan oleh pemerintah.

Nasoetion dalam Winarso et al. (2005) menyatakan bahwa dalam upaya

pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua kebijakan, yaitu

ekstensifikasi dan intensifikasi. Pengembangan sapi potong secara ekstensifikasi

menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh pengadaan

dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit, penyuluhan dan

pembinaan usaha, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan,

dan pemasaran. Menurut Isbandi (2004), penyuluhan dan pembinaan terhadap

petani-peternak dilakukan untuk mengubah cara beternak dari pola tradisional

menjadi usaha ternak komersial dengan menerapkan cara-cara zooteknik yang

baik. Zooteknik tersebut termasuk saptausaha beternak sapi potong, yang meliputi

  

penggunaan bibit unggul, perkandangan yang sehat, penyediaan dan pemberian

pakan yang cukup nutrien, pengendalian terhadap penyakit, pengelolaan

reproduksi, pengelolaan pascapanen, dan pemasaran hasil yang baik.

  Berbagai kebijakan dan program yang terkait dengan pengembangan usaha ternak sapi potong telah diluncurkan dan diimplementasikan, baik secara nasional maupun di tingkat daerah. Dalam implementasinya, program dan kebijakan tersebut masih belum mampu mengatasi kesenjangan antara permintaan dan penawaran. Menurut Ilham et al. (2001), hal ini disebabkan oleh : 1) belum semua program yang dilakukan pemerintah sampai pada peternak. Seandainyapun sampai, peternak tidak mengaplikasikannya, Keberhasilan penerapan teknologi peternakan belum merata, 2) pengembangan usaha peternakan masih belum menjadi prioritas utama pemerintah, sehingga dana program untuk sub sektor peternakan masih relatif kecil dibandingkan dengan sub sektor lainya, 3) kebijakan intensifikasi pada lahan sawah mengurangi penggunaan tenaga kerja ternak, sehingga banyak petani tidak lagi mengusahakan ternak sapi, 4) masih banyak ternak sapi yang dipelihara secara ekstensif, sehingga menyulitkan dalam pengendalian penyakit dan terjadinya penurunan genetik akibat inbreeding, 5) menyempitnya lahan padang penggembalaan akibat alih fungsi lahan.

  Alasan pentingnya peningkatan populasi sapi potong dalam upaya

mencapai swasembada daging antara lain adalah: 1) subsektor peternakan

berpotensi sebagai sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian, 2) rumah

tangga yang terlibat langsung dalam usaha peternakan terus bertambah, 3)

tersebarnya sentra produksi sapi potong di berbagai daerah, sedangkan sentra

konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan perekonomian

regional dan 4) mendukung upaya ketahanan pangan, baik sebagai penyedia bahan

pangan maupun sebagai sumber pendapatan yang keduanya berperan

meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan (Kariyasa 2005).

  Menurut Wiyatna (2002) beberapa kendala yang dijumpai dalam

pengembangan ternak sapi potong adalah : 1) penyempitan lahan penggembalaan,

2) kualitas sumberdaya rendah, 3) produktivitas rendah, 4) akses ke pemodal sulit,

5) penggunaan teknologi rendah. Selanjutnya Direktorat Jenderal Peternakan

  (2010) menambahkan berbagai permasalahan pengembangan usaha sapi potong di dalam negeri diantaranya adalah pemotongan sapi betina produktif. Terjadinya pemotongan sapi betina produktif selama ini penyebab utamanya adalah motif ekonomi bagi pemiliknya yang rata-rata income pendapatannya masih rendah dengan tingkat kepemilikan sapi potong hanya rata-rata 2-3 ekor. Para peternak cenderung akan menjual ternak mereka ketika menghadapi permasalahan finansial dengan pertimbangan bahwa sapi potong merupakan asset yang paling mudah dijual tanpa mempertimbangkan produktifitas ternak tersebut.

  Faktor – faktor yang menjadi pendorong bagi pengembangan ternak sapi potong adalah 1) permintaan pasar terhadap daging sapi semakin meningkat, 2) ketersediaan tenaga kerja cukup besar, 3) kebijakan pemerintah mendukung, 4)

hijauan dan sisa pertanian tersedian sepanjang tahun, 5) usaha peternakan sapi

lokal tidak terpengaruh krisis (Kariyasa 2005; Gordeyase et al. 2006; Rosida

2006; Nurfitri 2008). Kendala dan peluang pengembangan peternakan pada suatu

wilayah dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan strategi

pengembangan sapi potong di wilayah tersebut.

  Agar pengembangan sapi potong berkelanjutan, Winarso et al. (2005)

mengemukakan beberapa saran sebagai berikut, 1) perlunya perlindungan dari

pemerintah daerah terhadap wilayah-wilayah kantong ternak, terutama dukungan

kebijakan tentang tata ruang ternak serta pengawasan terhadap alih fungsi lahan

pertanian yang berfungsi sebagai penyangga budi daya ternak, 2) pengembangan

teknologi pakan terutama pada wilayah padat ternak, antara lain dengan

memanfaatkan limbah industri dan perkebunan (Gordeyase et al. 2006; Utomo dan Widjaja 2006) dan 3) untuk menjaga sumber plasma nutfah sapi potong, perlu

adanya kebijakan impor bibit atau sapi bakalan agar tidak terjadi pengurasan

terhadap ternak lokal dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam

negeri.

  Strategi Pengembangan Sapi Potong

  Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi sumberdaya (Chandler, 1962 dalam Rangkuti, 1997). Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan sapi potong dapat dilaksanakan dengan tiga pendekatan yaitu ; 1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak dan perbaikan genetik ternak, 2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang tercakup dalam “sapta usaha peternakan”, serta pembentukan kelompok peternak yang bekerjasama dengan instansi terkait, 3) pendekatan agribisnis dengan tujuan mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu lahan, pakan, plasma nutfah dan sumberdaya manusia (Gunardi 1998).

  Strategi pembangunan peternakan adalah pengembangan wilayah berdasarkan komoditas ternak unggulan, pengembangan kelembagaan petani peternak, peningkatan usaha dan industri peternakan, optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan serta perlindungan sumberdaya alam lokal, pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan ( Pambudy dan Sudardjat, 2000).

  Situmorang dan Gede dalam Mersyah (2005) menyatakan, untuk

meningkatkan produktivitas sapi potong perlu dilakukan pemuliaan terarah

melalui perkawinan, baik secara alami maupun melalui Inseminasi Buatan (IB),

bergantung pada kondisi setempat. Selanjutnya Hadi dan Ilham (2002)

menyatakan terdapat beberapa permasalahan dalam industri perbibitan sapi

potong, yaitu: 1) angka service per conception (S/C) cukup tinggi, mencapai 2,60,

karena terbatasnya fasilitas pelayanan (IB), baik ketersediaan semen beku, tenaga

inseminator maupun masalah transportasi, 2) calving interval terlalu panjang, 3)

tingkat mortalitas pedet prasapih tinggi, ada yang mencapai 50%. Oleh karena itu,

usaha pembibitan harus diiringi dengan upaya menekan biaya pakan. Salah satu

upaya untuk menekan biaya pakan adalah dengan memanfaatkan limbah kebun

dan pabrik sebagai sumber pakan melalui pemeliharaan sapi secara terintegrasi

pada kawasan perkebunan atau areal tanaman pangan.

  Dewasa ini pola kebijakan pengembangan pengusahaan sapi potong masih tetap berorientasi pada pola peternakan rakyat atau keluarga. Usaha peternakan sapi potong rakyat memiliki posisi yang lemah dan sangat peka terhadap perubahan ( Yusdja et al. 2001). Hal ini disebabkan oleh sifat usahanya, dimana menurut Azis (1993), karakteristik usaha peternakan rakyat dicirikan oleh kondisi sebagai berikut : 1) skala usaha relatif kecil, 2) merupakan usaha rumah tangga, 3) merupakan usaha sampingan, 4) menggunakan teknologi sederhana, 5) bersifat padat karya dengan basis organisasi kekeluargaan. Untuk mengembangkan usaha peternakan rakyat ini menjadi usaha yang maju diperlukan reformasi, baik yang menyangkut masalah permodalan, sistem kelembagaan, penerapan teknologi dan penciptaan pasar yang efisien (Aziz 1993).

  Dengan demikian untuk menghasilkan produk ternak sapi potong yang kompetitif, ketersediaan pakan dan keberadaan lokasi usaha sangat menentukan. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Nyak Ilham, (1995) yakni dalam strategi pengembangan ternak adalah didasarkan sumber pakan dan lokasi usaha. Manfaat yang dapat diambil dari model atau pola tersebut adalah : 1) Berputarnya pergerakan modal dari daerah perkotaan ke pedesaan, antara lain berupa bantuan kredit bank, kerjasama kemitraan dan investasi lain. Keadaan ini mendorong terbukanya kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan, 2) Pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustri yang lebih bermanfaat, 3) Dengan berkembangnya usaha penggemukan sapi dapat mengurangi biaya-biaya yang dikeluarkan selama transportasi, 4) Terkumpulnya kotoran ternak yang diolah menjadi kompos dan terciptanya perbaikan lingkungan berupa penghijauan serta penyuburan kualitas tanah pertanian dipedasaan, 5) Daerah pedesaan merupakan basis pengembangan ternak sapi potong. Ada tiga prinsip yang harus dipenuhi salah satunya adalah mengurangi ketergantungan impor daging (Soehadji 1995) dapat dijalankan. Dimana yang selama ini ketergantungan akan daging impor dan sapi bakalan yang cenderung meningkat dapat dikurangi secara bertahap.

  Dalam strategi pengembangan ternak sapi potong ini harus melibatkan instansi lintas sektoral, khususnya di luar Departemen Pertanian. Dalam hal pengadaan dan pemasaran hasil dapat dilakukan kerjasama dengan swasta. Didalam kerjasama ini akan terlihat hubungan secara vertikal yang memberdayakan kelompok peternak secara optimal yang tujuannya adalah dalam satu kelompok akan mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. Sehingga pada era perdagangan bebas ini, sistem produksi pertanian khususnya peternakan harus senantiasa dikelola dengan berorientasi pada permintaan pasar. (Badan Agribisnis 1995).

  Penerapan konsep kemitraan antara peternak sebagai mitra dan pihak

kelompok peternak perlu dilakukan sebagai upaya khusus agar usaha ternak sapi

potong, baik sebagai usaha pokok maupun pendukung dapat berjalan seimbang.

Upaya khusus tersebut meliputi antara lain pembinaan finansial dan teknik serta

aspek manajemen. Pembinaan manajemen yang baik, terarah, dan konsisten

terhadap peternak sapi potong sebagai mitra akan meningkatkan kinerja usaha,

yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, melalui

kemitraan, baik yang dilakukan secara pasif maupun aktif akan menumbuhkan

jalinan kerja sama dan membentuk hubungan bisnis yang sehat (Safuan dalam

Hermawan 1998).

  Kelembagaan Kelompok Peternak Berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, Soehadji dalam

Anggraini (2003) mengklasifikasikan usaha peternakan menjadi empat kelompok,

yaitu: 1) peternakan sebagai usaha sambilan, yaitu petani mengusahakan

komoditas pertanian terutama tanaman pangan, sedangkan ternak hanya sebagai

usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga (subsisten) dengan tingkat

pendapatan usaha dari peternakan lebih kecil dari 30%, 2) peternakan sebagai

cabang usaha, yaitu peternak mengusahakan pertanian campuran dengan ternak

dan tingkat pendapatan dari usaha ternak mencapai 30 sampai dengan 70%, 3)

peternakan sebagai usaha pokok, yaitu peternak mengusahakan ternak sebagai

usaha pokok dengan tingkat pendapatan berkisar antara 70 sampai dengan 100%,

4) peternakan sebagai industri dengan mengusahakan ternak secara khusus

(specialized farming) dan tingkat pendapatan dari usaha peternakan mencapai 100

persen.

  Usaha sapi potong rakyat sebagian besar merupakan usaha yang bersifat turun – temurun dengan pola pemeliharaan sesuai dengan kemampuan peternak, terutama dalam hal pemberian pakan. Pakan hijauan bervariasi jenis dan jumlahnya sedangkan pakan penguat diberikan dalam jumlah yang tidak menentu dan diberikan dalam jumlah banyak saat musim panen, sebaliknya sangat terbatas pada musim tanam (Aryogi et al. 2000).

  Selain penurunan populasi, produktivitas yang rendah merupakan kendala peningkatan produksi daging terutama pada usaha sapi potong rakyat. Keterbatasan modal, kurang berwawasan agribisnis serta tatalaksana pemeliharaan yang masih tradisional merupakan penyebab rendahnya produktivitas (dengan tingkat pertumbuhan dibawah 0,5 kg/hari (Utomo et al. 1999).

  Usaha peternakan komersial umumnya dilakukan oleh peternak yang

memiliki modal besar serta menerapkan teknologi modern (Mubyarto dalam

Anggraini 2003). Usaha peternakan memerlukan modal yang besar, terutama

untuk pengadaan pakan dan bibit. Biaya yang besar ini sulit dipenuhi oleh

peternak pada umumnya yang memiliki keterbatasan modal (Hadi dan Ilham

2000).

  Hasil penelitian Yusmichad Yusdja et al. (2004) menyebutkan bahwa pada dasarnya ada 6 bentuk struktur penguasaan dan pengusahaan ternak yang dapat dipahami yakni : 1) Kelompok peternakan rakyat wilayah tanaman pangan. Pemeliharaan ternak sapi bersifat tradisional dan pemilikan sapi erat kaitannya dengan usaha pertanian, 2) Kelompok peternakan rakyat yang tidak terkait dengan tanaman pangan. Pemeliharaan sapi bersifat tradisional dan pemilikan erat kaitannya dengan ketersediaan padang penggembalaan atau hijauan, 3) Kelompok peternakan rakyat dengan sistem bagi hasil. Pemeliharaan ternak mempunyai tujuan yang tergantung pada kesepakatan, 4) Kelompok usaha peternakan rakyat dan skala kecil. Pemeliharaan bersifat intensif, 5) Kelompok usaha peternakan skala menengah. Pemeliharaan sapi sangat intensif, penggunaan teknologi rendah. Kelompok ini terbagi dua : a) Kelompok usaha ternak sapi potong mandiri, b) Kelompok usaha ternak sapi potong bermitra, 6) Kelompok usaha peternakan swasta skala besar (feedlotters). Pemeliharaan sapi dilakukan intensif, menggunakan teknologi tinggi.

  Untuk meningkatkan produktivitas dan mengembangkan usaha, para peternak bergabung membentuk kelompok yang biasa disebut kelompok tani ternak. Menurut surat keputusan Menteri Pertanian No. 93/KPTS/OT.210/2/97 kelompok tani adalah kumpulan petani- peternak yang tumbuh berdasarkan keakraban, keserasian, kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk bekerjasama meningkatkan produktivitas usaha tani dan kesejahteraannya. Keberadaan pengurus dan anggota yang saling berinteraksi akan mendorong terbentuknya suatu sistem yang dinamis. Melalui pertemuan anggota kelompok dapat diperoleh berbagai informasi yang mengarah pada usaha peningkatan atau pengembangan usahatani ternak sapi potong (Soeharsono 2003). Kemudian Yusuf (1989) menambahkan bahwa interaksi yang berkesinambungan di antara anggota kelompok akan membentuk pola interaksi, baik dalam bentuk peraturan, larangan atau kewajiban, sehingga anggota selanjutnya akan bertingkah laku dan bersikap sebagaimana pola yang sudah terbentuk.

  Petani-peternak yang berkeinginan membentuk suatu kelompok atau himpunan biasanya mempunyai kesatuan kepentingan, terutama menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi serta kesadaran untuk saling tolong menolong sesama anggota. Dalam penjabaran motivasi sosial dan kasih sayang, butir-butir pernyataannya menyangkut harapan untuk memperoleh pembinaan lebih baik, mendapatkan banyak teman, meningkatkan kerukunan, melakukan kerja sama, serta kebutuhan untuk bersosialisasi dengan orang lain. Lebih lanjut, motivasi fisiologis menyangkut harapan untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan lingkungan rumah, mendapat lahan baru, mendapat sapi gaduhan dan pelayanan sarana produksi peternakan (Soekanto 1982).

  Usaha peternakan rakyat mempunyai ciri-ciri antara lain : skala usaha kecil dengan cabang usaha, teknologi sederhana, produktivitas rendah, mutu produk kurang terjamin, belum sepenuhnya berorientasi pasar dan kurang peka terhadap perubahan - perubahan ( Cyrilla dan Ismail 1998 ). Berbagai kemudahan yang diperoleh bila dibentuk kelompok peternak, antara lain: 1) dapat dengan mudah membentuk koperasi untuk mendukung berbagai aktivitas kelompok, 2) informasi dapat menyebar secara merata ke setiap anggota kelompok, 3) Inovasi teknologi dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota, baik teknologi pembibitan, pakan, budidaya, pasca produksi dan sebagainya, 4) memudahkan dalam melakukan penyuluhan karena sudah terbentuk kelompok, 5) memudahkan dalam mengakses berbagai program pemerintah, 6) memudahkan dalam mengakses lembaga keuangan dalam rangka penguatan modal, 7) memudahkan dalam pemeliharaan infrastruktrur atau sarana dan prasarana yang dibangun oleh kelompok.

  Selanjutnya Torres (1977) dalam Tatok Mardikanto (1993) menambahkan beberapa keuntungan dari pembentukan kelompok tani adalah : 1) semakin eratnya interaksi dalam kelompok dan semakin terbinanya kepemimpinan kelompok 2) semakin terarahnya dan cepat peningkatan tentang jiwa kerja sama antar petani 3) semakin cepatnya proses perembesan (difusi) penerapan inovasi 4) semakin naiknya kemampuan rata-rata pengembalian hutang (pinjaman petani) 5) semakin meningkatnya orientasi pasar, baik yang berkaitan dengan masukan (input) maupun produk yang dihasilkan. Di lain pihak, Sajogyo (1978) memberikan tiga alasan utama dibentuknya kelompok tani yang mencakup : 1) untuk memanfaatkan secara lebih baik (optimal) semua sumber daya yang tersedia, 2) dikembangkan oleh pemerintah sebagai alat pembangunan dan 3) petani-peternak dapat memperoleh informasi terutama informasi teknologi.

  Pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan, yang pertama, harus merupakan upaya yang terarah atau pemihakan. Kedua, harus langsung mengikutsertakan atau dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat yang miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, juga efisien bila dilihat dari penggunaan sumber daya (Kartasasmita 1996)

  Budi Haryanto, et a.l (2002) mengatakan yang dimaksud dengan pendekatan kelembagaan disini adalah dimana kepemilikan lahan sawah dan ternak secara individu tetap ada, namun kegiatan individu peternak merupakan satu kesatuan dari kegiatan kelompok, seperti pengumpulan jerami, pengadaan sarana produksi dan lain sebagainya.

  Penyuluhan peternakan merupakan pendidikan nonformal yang diharapkan bisa meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan peternakan. Masyarakat harus dilibatkan sebagai subyek pembangunan, sehingga perlu menjalani proses pembelajaran untuk mengetahui adanya kesempatan memperbaiki kehidupan. Asngari (2001) menyebutkan penyuluhan sebagai upaya memberdayakan sumber daya manusia, mendinamiskan diri sebagai aktor yang berupaya untuk lebih berdaya dan mampu berprestasi prima.

  Pola komunikasi penyuluhan merupakan partisipasi dan tukar menukar pengetahuan serta pengalaman “petani sebagai partner,” sehingga teknologi mutakhir dan tradisi lokal bersinergi. Samsudin (1987) menyatakan bahwa salah satu tugas penyuluh pertanian adalah menumbuhkan perubahan pengetahuan, kecakapan, sikap, dan motivasi agar petani/peternak menjadi lebih terarah. Melalui kegiatan penyuluhan, pemberian bantuan berupa dana langsung untuk pembangunan fasilitas dan prasarana kelompok tani yang bersangkutan, bantuan kredit ternak dari dinas terkait diarahkan menuju bentuk yang semakin terikat oleh kepentingan dan tujuan bersama dalam meningkatkan produksi dan pendapatan dari usaha beternaknya. Bantuan dari dinas hanya diberikan kepada peternak yang sudah membentuk kelompok (Anonim 2007).

  Agribisnis peternakan juga terkait beberapa lembaga, antara lain lembaga produsen, lembaga konsumen, lembaga profesi, lembaga pemerintahan dan lembaga ekonomi (Handayani dan Priyanti 1995). Lembaga - lembaga terkait akan berperan aktif dalam pembinaan, sehingga dapat mencapai satu sasaran yang sama yaitu sistem usaha agribisnis peternakan yang berkelanjutan, antara lain melalui pemanfaatan teknologi dan manajemen modern yang dilakukan dalam skala usaha yang lebih besar.

  Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong Usaha ternak sapi telah memberi kontribusi dalam peningkatan pendapatan

keluarga peternak. Soekartawi (1995) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan

keluarga peternak sapi tidak dapat dilepaskan dari cara mereka menjalankan dan

mengelola usaha ternaknya yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial

dan faktor ekonomi.

  Analisis pendapatan berfungsi untuk mengukur berhasil tidaknya suatu

kegiatan usaha, menentukan komponen utama pendapatan dan apakah komponen

itu masih dapat ditingkatkkan atau tidak. Kegiatan usaha dikatakan berhasil

apabila pendapatannya memenuhi syarat cukup untuk memenuhi semua sarana

  

produksi. Analisis usaha tersebut merupakan keterangan yang rinci tentang

penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu tertentu (Aritonang 1993).

  Soeharjo dan Patong (1973) menyebutkan bahwa dalam analisis

pendapatan diperlukan dua keterangan pokok yaitu keadaan penerimaan dan

pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Selanjutnya disebutkan bahwa

tujuan analisis pendapatan adalah untuk menggambarkan keadaan sekarang dan

keadaan yang akan datang dari kegiatan usaha. Dengan kata lain analisis

pendapatan bertujuan untuk mengukur keberhasilan suatu usaha.