Evaluasi Efisiensi Reproduksi dan Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Melalui Inseminasi Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat

(1)

EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI DAN

STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK

SAPI POTONG MELALUI INSEMINASI BUATAN

DAN KAWIN ALAM DI KABUPATEN LANGKAT

TESIS

Oleh :

RUSTIATI SARI HARAHAP

097040013

PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI DAN

STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK

SAPI POTONG MELALUI INSEMINASI BUATAN

DAN KAWIN ALAM DI KABUPATEN LANGKAT

TESIS

Oleh :

RUSTIATI SARI HARAHAP

097040013

Untuk Memperoleh Gelar Magister Peternakan dalam Program Studi Ilmu Peternakan

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul : EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG MELALUI INSEMINASI BUATAN DAN KAWIN ALAM DI KABUPATEN LANGKAT

Nama Mahasiswa : Rustiati Sari Harahap

NIM : 097040013

Program Studi : Ilmu Peternakan

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, MSi

An. Ketua Program Studi Dekan Fakultas Pertanian

Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS


(4)

Tesis ini telah diuji di Medan pada Tanggal : 27 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS

Anggota : Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si

Penguji : 1. Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si


(5)

LEMBARAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam tesis EVALUASI

EFISIENSI REPRODUKSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

TERNAK SAPI POTONG MELALUI INSEMINASI BUATAN DAN KAWIN ALAM DI KABUPATEN LANGKAT adalah benar merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri dibawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber informasi yang digunakan dalam tesis ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis serta dapat diperiksa kebenarannya. Tesis ini juga belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi lain.

Medan, Agustus 2013

RUSTIATI SARI HARAHAP NIM. 097040013


(6)

RINGKASAN

RUSTIATI SARI HARAHAP, Evaluasi Efisiensi Reproduksi dan Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Melalui Inseminasi Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat, dibimbing oleh Sayed Umar dan Ma’ruf Tafsin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan hasil kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam ditinjau dari efisiensi reproduksi, dan menganalisis strategi pengembangan ternak sapi potong. Penelitian dilaksanakan di lima lokasi di Kabupaten Langkat yaitu Kecamatan Selesai, Kecamatan Kuala, Kecamatan Padang Tualang, Kecamatan Binjai dan Kecamatan Wampu. Penelitian ini berlangsung dari bulan Oktober 2012 sampai dengan bulan Juni 2013. Metode yang digunakan adalah metode survey dan observasi kelapangan dengan bantuan kuisioner. Jumlah responden sebanyak 150 orang terdiri dari 75 orang peternak yang mengawinkan ternaknya dengan sistem inseminasi buatan dan 75 orang peternak yang mengawinkan ternaknya dengan sistem kawin alam. Data yang diambil adalah data-data peternak dan data-data efisiensi reproduksi seperti Non Return Rate (NRR), Conception Rate (CR), Service per Conception (S/C) dan Calf Crop (CC). Data dianalisis dengan metode analisis deskriptif, analisis uji t dan analisis SWOT.

Nilai rata-rata efisiensi reproduksi untuk Inseminasi Buatan adalah : NRR sebesar 68,17%, CR sebesar 49,85%, S/C sebesar 1,20 dan CC sebesar 63,30% dan nilai rata-rata untuk Kawin Alam adalah : NRR sebesar 67,30%, CR sebesar 47,46%, S/C sebesar 1,23 dan CC sebesar 60,51%. Kegiatan inseminasi buatan di Kabupaten Langkat menunjukkan bahwa kemampuan inseminator sebanyak 955 dosis/tahun, S/C sebesar 1,76, CR sebesar 56,7%, pelaksanaan selama 10 tahun dengan jumlah akseptor 452 ekor/tahun/inseminator dan cakupan wilayah binaan 27.120 ekor/tahun, sumber dana APBN dan APBD. Dari analisis SWOT didapatkan 10 faktor-faktor internal terdiri dari 5 kekuatan dan 5 kelemahan serta 9 faktor-faktor eksternal terdiri dari 4 peluang dan 5 ancaman.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kegiatan inseminasi buatan dan kawin alam menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata ditinjau dari nilai NRR, CR dan S/C. Kegiatan inseminasi buatan di Kabupaten Langkat dilihat dari nilai CR dan S/C menunjukkan grafik yang cenderung menaik setiap tahunnya dan telah memenuhi beberapa kriteria wilayah tahapan swadaya serta alternatif strategi pengembangan ternak sapi potong melalui inseminasi buatan dan kawin alam di Kabupaten Langkat adalah strategi SO yaitu memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang yang ada dimana strategi yang digunakan adalah strategi yang mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif.

Kata kunci : Inseminasi Buatan, Kawin Alam, Efisiensi Reproduksi, Strategi Pengembangan.


(7)

SUMMARY

RUSTIATI SARI HARAHAP, Evaluation of Reproduction Efficiency and Development Strategy of Cow by Artificial Insemination and Natural Copulation in Regency of Langkat, under supervision of Sayed Umar and Ma’ruf Tafsin.

This research aims to evaluate and compare the results of artificial insemination and natural copulation in the view point of reproduction efficiency and to analyze the development strategy of cow. This research was conducted at file locations in Regency of Langkat, i.e. subdistrict of Selesai, subdistrict of Kuala, subdistict of Padang Tualang, subdistrict of Binjai and subdistrict of Wampu. This research was conducted since October 2012 up to June 2013. The applied method is a survey method and field observation by using questionaire. The number of respondent is 150 persons that consist of 75 breeder that copulate the livestock by artificial insemination and 75 breeders using natural copulation system. The collected data are the breeders data and reproduction efficiency such as Non Return Rate (NRR), Conception Rate (CR), Service per Conception (S/C) and Calf Crop (CC). The data is analyzed by descriptive analysis method, t-test analysis and SWOT analysis.

The average of reproduction efficiency for artificial insemination is NRR for 68.17%, CR for 49.85%, S/C for 1.20 and CC for 63.30% and the average score for natural copulation is NRR for 67.30%, CR for 47.46%, S/C fo 1.23 and CC for 60.51%. The artificial insemination in Regency of Langkat indicates that the capability of inseminator is 955 dosage/year, S/C for 1.76, CR for 56.7%, implementation during 10 years with the number of acceptor is 452 tails/year/inseminator and the range of area is 27,120 tails/year, and the source of fund is National and Regional Budget. Based on SWOT analysis there are 10 internal factors that consist of 5 strongs and 5 weakness and 9 external factors that consists of 4 opportunities and 5 threats.

The conclusion of this research is the artificial insemination and natural copulation indicates that did not different significantly between NRR, CR and S/C score. The natural insemination at Regency of Langkat based on CR and S/C indicates the increase graphic in each year and fulfil the regional criteria for self sufficiency and strategi alternative of the development of cow through artificial insemination and natural copulation at regency of Langkat is SO stategy, i.e. using the strong to get opportunity in which the applied strategy will support the aggresive growth policy.

Keywords : Natural Insemination, Natural Copulation, Reproduction Efficiency, Development Strategy.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 September 1970 di Padang Provinsi Sumatera Barat dari Ayahanda drh. H. Rusli Harahap dan Ibunda Hj. Liana Herlina Siregar sebagai anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Umum di SMA Negeri 1 Medan pada tahun 1989. Tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Peternakan dari Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Sumatera Utara Medan Sumatera Utara.

Pada tahun 1995 penulis mengikuti seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Deli Serdang dan lulus seleksi pada tahun 1996 bekerja pada Dinas Peternakan Kabupaten Deli Serdang. Tahun 2009 penulis pindah ke Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Sumatera Utara dan sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Sumatera Utara.

Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Magister Ilmu Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan menyelesaikan pendidikan S2 pada tahun 2013.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang berjudul “Evaluasi Efisiensi Reproduksi dan Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Melalui Inseminasi Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat” merupakan syarat dalam memperoleh gelar Magister Peternakan pada Program Magister Ilmu Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini merupakan sebuah karya yang mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran, dukungan, pengetahuan dan bimbingan kepada penulis hingga tesis ini selesai.

Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Alm. Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP sebagai ketua Program Magister Ilmu Peternakan dan Ibu Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si sebagai sekretaris Program Magister Ilmu Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan sehat, saran dan masukan dari semua pihak. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.

Medan, Agustus 2013


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. viii

DAFTAR GAMBAR ……… ix

DAFTAR LAMPIRAN ………. x

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang……… 1

Tujuan Penelitian………. 4

Kegunaan Penelitian……… 4

Hipotesis……….. 4

Defenisi dan Batasan Operasional……….. 4

TINJAUAN PUSTAKA………. 6

Perkembangan Populasi Sapi ……….………...… 6

Upaya Untuk Meningkatkan Populasi Sapi ……….. 7

Inseminasi Buatan Sebagai Salah Satu Teknologi Reproduksi Tepat Guna di Indonesia……… 10

Tolok Ukur Keberhasilan Pelaksanaan Inseminasi Buatan ………. 12

Intensifikasi Kawin Alam (InKA) ……… 16

Efisiensi Reproduksi ….………... 17

Angka Tidak Kembali Minta Diinseminasi…………...……… 18

Angka Kebuntingan……….. 19

Kawin Per Kebuntingan ………... …………... 20

Persentase Calf Crop ……… 20

Pengelompokan Wilayah Inseminasi Buatan ………...…… 21

MATERI DAN METODE PENELITIAN………. 23

Lokasi dan Waktu Penelitian.……….. 23

Bahan dan Alat Penelitian ……….. 23

Metode Penelitian ……….…….. 24

Metode Pengumpulan Data …...……….. 24

Metode Analisis Data ……….. 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ……….………...…… 32

Gambaran Umum Kabupaten Langkat ………..………. 32

Populasi Ternak Sapi Potong ………..……… 35

Karakteristik Responden Penelitian ………..………. 36

Penguasaan Bioreproduksi ……….. 42

Pemberian Pakan Ternak ……….……… 48

Gangguan Reproduksi ……….…… 50

Kandang Ternak ……….…. 51

Efisiensi Reproduksi ……… 52

Pengelompokan Wilayah Inseminasi Buatan (IB) di Kabupaten Langkat ………. 60


(11)

Analisis Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Melalui Inseminasi

Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat ……….. 65

KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 81

Kesimpulan ……… 81

Saran ……….. 82

DAFTAR PUSTAKA……….. 83


(12)

DAFTAR TABEL

No Hal

1. Tolak Ukur Keberhasilan Pelaksanaan IB di lapangan…… ... 15

2. Tolak Ukur Keberhasilan Pelaksanaan Inseminasi Buatan di Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan (SP-IB) ………..….……… .. 16

3. Batasan dan Kriteria Wilayah Tahapan Pelayanan IB ………..………… 22

4. Luas Daerah Menurut Kecamatan (km2) dari Rasio Terhadap Total (%).. ... 33

5. Jumlah Kelurahan/Desa, Ibukota Kecamatan, Jarak Ibukota Kecamatan ke Stabat, Jumlah Penduduk per Kecamatan ... 34

6. Jumlah Sapi Potong di Kabupaten Langkat per Kecamatan………… ... 36

7. Karakteristik Usia/Umur Responden…… ... 37

8. Karakteristik Tingkat Pendidikan Responden…… ... 38

9. Lama Beternak……….. ... 39

10. Karakteristik Pekerjaan Responden…… ... 40

11. Jumlah Ternak Sapi Potong Yang Dipelihara Responden………. 41

12. Jumlah Ternak Sapi Potong Betina Produktif Yang Dipelihara Responden………. 41

13. Penguasaan Umur Pubertas……… 42

14. Penguasaan Tanda-Tanda Berahi………... 43

15. Penguasaan Lama Berahi……… 44

16. Penguasaan Siklus Berahi……… 45

17. Penguasaan Waktu Mengawinkan Setelah Timbul Gejala Berahi Ternak.. 46

18. Penguasaan Timbul Berahi Kembali Pasca Beranak……….. 47

19. Penguasaan/Pengetahuan Bioreproduksi Peternak ……… 48

20. Pemberian Konsentrat di Lokasi Penelitian……… 49

21. Pemberian Pakan Hijauan Tambahan di Lokasi Penelitian……… 49

22. Gangguan Reproduksi……… 50

23. Keadaan Perkandangan di Lokasi Penelitian………. 51

24. Hasil Evaluasi NRR di Lokasi Penelitian Selama Lima Tahun……….. .. 52

25. Hasil Evaluasi CR di Lokasi Penelitian Selama Lima Tahun…………. .. 54

26. Hasil Evaluasi S/C di Lokasi Penelitian Selama Lima Tahun………… .. 56

27. Hasil Evaluasi CC di Lokasi Penelitian Selama Lima Tahun…………. .. 58

28. Gambaran Batasan dan Kriteria Wilayah Tahapan Pelayanan Inseminasi Buatan sesuai Standart dan Keadaan di Kabupaten Langkat………. 60

29. Perkembangan Evaluasi CR dan S/C Kegiatan Inseminasi Buatan Ternak Sapi Potong di Kabupaten Langkat Kurun Waktu Tahun 2008 Sampai Tahun 2012……… 61

30. Pencapaian Populasi Ternak Sapi Potong melalui Inseminasi Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat ….……….. 63

31. Matrik Faktor Strategi Internal……… . 73


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Hal

1. Teknik IB dan Hasil Radiografi……… 12

2. Kerangka Penyusunan Formula Strategi……….. 27

3. Matrik SWOT……….. 30

4. Penentuan Matrik Grand Strategi………. 31

5. Grafik Garis Trend Nilai NRR Kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam Ternak Sapi Potong di Lokasi Penelitian Kurun Waktu Tahun 2008 Sampai Tahun 2012………..……… 53

6. Grafik Garis Trend Nilai CR Kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam Ternak Sapi Potong di Lokasi Penelitian Kurun Waktu Tahun 2008 Sampai Tahun 2012………..……… 55

7. Grafik Garis Trend Nilai S/C Kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam Ternak Sapi Potong di Lokasi Penelitian Kurun Waktu Tahun 2008 Sampai Tahun 2012………..……… 57

8. Grafik Garis Trend Nilai CC Kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam Ternak Sapi Potong di Lokasi Penelitian Kurun Waktu Tahun 2008 Sampai Tahun 2012………..……… 59

9. Grafik Garis Trend Nilai CR Kegiatan Inseminasi Buatan Ternak Sapi Potong di Kabupaten Langkat Kurun Waktu Tahun 2008 Sampai Tahun 2012……… 61

10. Grafik Garis Trend Nilai S/C Kegiatan Inseminasi Buatan Ternak Sapi Potong di Kabupaten Langkat Kurun Waktu Tahun 2008 Sampai Tahun 2012……… 62

11. Matrik Strategi SWOT……….. 75


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal

1. Kuisioner Penelitian Untuk Responden Inseminator……….. 88 2. Kuisioner Penelitian Untuk Responden Peternak……….. 90 3. Responden Peternak Inseminasi Buatan Berdasarkan Umur, Tingkat

Pendidikan dan Pekerjaan……….. 93 4. Responden Peternak Kawin Alam Berdasarkan Umur, Tingkat

Pendidikan dan Pekerjaan……….. 95 5. Responden Peternak Inseminasi Buatan Berdasarkan Lama Beternak,

Jumlah Ternak Sapi Potong Yang Dipelihara, Jumlah Ternak Betina

Produktif Yang Dipelihara dan Penguasaan Umur Pubertas Ternak….. 97 6. Responden Peternak Kawin Alam Berdasarkan Lama Beternak,

Jumlah Ternak Sapi Potong Yang Dipelihara, Jumlah Ternak Betina

Produktif Yang Dipelihara dan Penguasaan Umur Pubertas Ternak….. 99 7. Responden Peternak Inseminasi Buatan Berdasarkan Penguasaan

Tanda- Tanda Berahi, Penguasaan Lama Berahi, Penguasaan Siklus Berahi Dan Penguasaan Waktu Mengawinkan Setelah Timbul Gejala Berahi……….. 101 8. Responden Peternak Kawin Alam Berdasarkan Penguasaan

Tanda-Tanda Berahi, Penguasaan Lama Berahi, Penguasaan Siklus Berahi Dan Penguasaan Waktu Mengawinkan Setelah Timbul Gejala Berahi……….. 103 9. Responden Peternak Inseminasi Buatan Berdasarkan Penguasaan

Timbul Berahi Pasca Beranak, Pemberian Konsentrat, Pemberian

Tambahan Pakan Hijauan dan Keadaan Kandang………..… 105 10. Responden Peternak Kawin Alam Berdasarkan Penguasaan

Timbul Berahi Pasca Beranak, Pemberian Konsentrat, Pemberian

Tambahan Pakan Hijauan dan Keadaan Kandang………….………… 107 11. Evaluasi NRR, CR, S/C Hasil Inseminasi Buatan di Lokasi

Penelitian Tahun 2008………..……….. 109 12. Evaluasi NRR, CR, S/C Hasil Kawin Alam di Lokasi Penelitian

Tahun 2008……….………..……….. 111 13. Evaluasi NRR, CR, S/C Hasil Inseminasi Buatan di Lokasi

Penelitian Tahun 2009………..……….. 113 14. Evaluasi NRR, CR, S/C Hasil Kawin Alam di Lokasi Penelitian

Tahun 2009………….………..……….. 115 15. Evaluasi NRR, CR, S/C Hasil Inseminasi Buatan di Lokasi

Penelitian Tahun 2010………..……….. 117 16. Evaluasi NRR, CR, S/C Hasil Kawin Alam di Lokasi Penelitian

Tahun 2010………...……….. 119 17. Evaluasi NRR, CR, S/C Hasil Inseminasi Buatan di Lokasi

Penelitian Tahun 2011………..……….. 121 18. Evaluasi NRR, CR, S/C Hasil Kawin Alam di Lokasi Penelitian


(15)

19. Evaluasi NRR, CR, S/C Hasil Inseminasi Buatan di Lokasi

Penelitian Tahun 2012………..……….. 125 20. Evaluasi NRR, CR, S/C Hasil Kawin Alam di Lokasi Penelitian

Tahun 2012………….………..……….. 127 21. Evaluasi Calf Crop Hasil Inseminasi Buatan di Lokasi Penelitian

Dari Tahun 2008 sampai Tahun 2012………..……….. 129 22. Evaluasi Calf Crop Hasil Kawin Alam di Lokasi Penelitian

Dari Tahun 2008 sampai Tahun 2012………..……….. 131 23. Hasil Uji t NRR, CR, S/C dan CC Inseminasi Buatan dan Kawin

Alam di Lokasi Penelitian Tahun 2008 ……… 133 24. Hasil Uji t NRR, CR, S/C dan CC Inseminasi Buatan dan Kawin

Alam di Lokasi Penelitian Tahun 2009.……… 135 25. Hasil Uji t NRR, CR, S/C dan CC Inseminasi Buatan dan Kawin

Alam di Lokasi Penelitian Tahun 2010 ……… 137 26. Hasil Uji t NRR, CR, S/C dan CC Inseminasi Buatan dan Kawin

Alam di Lokasi Penelitian Tahun 2011 ……… 139 27. Hasil Uji t NRR, CR, S/C dan CC Inseminasi Buatan dan Kawin


(16)

RINGKASAN

RUSTIATI SARI HARAHAP, Evaluasi Efisiensi Reproduksi dan Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Melalui Inseminasi Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat, dibimbing oleh Sayed Umar dan Ma’ruf Tafsin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan hasil kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam ditinjau dari efisiensi reproduksi, dan menganalisis strategi pengembangan ternak sapi potong. Penelitian dilaksanakan di lima lokasi di Kabupaten Langkat yaitu Kecamatan Selesai, Kecamatan Kuala, Kecamatan Padang Tualang, Kecamatan Binjai dan Kecamatan Wampu. Penelitian ini berlangsung dari bulan Oktober 2012 sampai dengan bulan Juni 2013. Metode yang digunakan adalah metode survey dan observasi kelapangan dengan bantuan kuisioner. Jumlah responden sebanyak 150 orang terdiri dari 75 orang peternak yang mengawinkan ternaknya dengan sistem inseminasi buatan dan 75 orang peternak yang mengawinkan ternaknya dengan sistem kawin alam. Data yang diambil adalah data-data peternak dan data-data efisiensi reproduksi seperti Non Return Rate (NRR), Conception Rate (CR), Service per Conception (S/C) dan Calf Crop (CC). Data dianalisis dengan metode analisis deskriptif, analisis uji t dan analisis SWOT.

Nilai rata-rata efisiensi reproduksi untuk Inseminasi Buatan adalah : NRR sebesar 68,17%, CR sebesar 49,85%, S/C sebesar 1,20 dan CC sebesar 63,30% dan nilai rata-rata untuk Kawin Alam adalah : NRR sebesar 67,30%, CR sebesar 47,46%, S/C sebesar 1,23 dan CC sebesar 60,51%. Kegiatan inseminasi buatan di Kabupaten Langkat menunjukkan bahwa kemampuan inseminator sebanyak 955 dosis/tahun, S/C sebesar 1,76, CR sebesar 56,7%, pelaksanaan selama 10 tahun dengan jumlah akseptor 452 ekor/tahun/inseminator dan cakupan wilayah binaan 27.120 ekor/tahun, sumber dana APBN dan APBD. Dari analisis SWOT didapatkan 10 faktor-faktor internal terdiri dari 5 kekuatan dan 5 kelemahan serta 9 faktor-faktor eksternal terdiri dari 4 peluang dan 5 ancaman.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kegiatan inseminasi buatan dan kawin alam menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata ditinjau dari nilai NRR, CR dan S/C. Kegiatan inseminasi buatan di Kabupaten Langkat dilihat dari nilai CR dan S/C menunjukkan grafik yang cenderung menaik setiap tahunnya dan telah memenuhi beberapa kriteria wilayah tahapan swadaya serta alternatif strategi pengembangan ternak sapi potong melalui inseminasi buatan dan kawin alam di Kabupaten Langkat adalah strategi SO yaitu memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang yang ada dimana strategi yang digunakan adalah strategi yang mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif.

Kata kunci : Inseminasi Buatan, Kawin Alam, Efisiensi Reproduksi, Strategi Pengembangan.


(17)

SUMMARY

RUSTIATI SARI HARAHAP, Evaluation of Reproduction Efficiency and Development Strategy of Cow by Artificial Insemination and Natural Copulation in Regency of Langkat, under supervision of Sayed Umar and Ma’ruf Tafsin.

This research aims to evaluate and compare the results of artificial insemination and natural copulation in the view point of reproduction efficiency and to analyze the development strategy of cow. This research was conducted at file locations in Regency of Langkat, i.e. subdistrict of Selesai, subdistrict of Kuala, subdistict of Padang Tualang, subdistrict of Binjai and subdistrict of Wampu. This research was conducted since October 2012 up to June 2013. The applied method is a survey method and field observation by using questionaire. The number of respondent is 150 persons that consist of 75 breeder that copulate the livestock by artificial insemination and 75 breeders using natural copulation system. The collected data are the breeders data and reproduction efficiency such as Non Return Rate (NRR), Conception Rate (CR), Service per Conception (S/C) and Calf Crop (CC). The data is analyzed by descriptive analysis method, t-test analysis and SWOT analysis.

The average of reproduction efficiency for artificial insemination is NRR for 68.17%, CR for 49.85%, S/C for 1.20 and CC for 63.30% and the average score for natural copulation is NRR for 67.30%, CR for 47.46%, S/C fo 1.23 and CC for 60.51%. The artificial insemination in Regency of Langkat indicates that the capability of inseminator is 955 dosage/year, S/C for 1.76, CR for 56.7%, implementation during 10 years with the number of acceptor is 452 tails/year/inseminator and the range of area is 27,120 tails/year, and the source of fund is National and Regional Budget. Based on SWOT analysis there are 10 internal factors that consist of 5 strongs and 5 weakness and 9 external factors that consists of 4 opportunities and 5 threats.

The conclusion of this research is the artificial insemination and natural copulation indicates that did not different significantly between NRR, CR and S/C score. The natural insemination at Regency of Langkat based on CR and S/C indicates the increase graphic in each year and fulfil the regional criteria for self sufficiency and strategi alternative of the development of cow through artificial insemination and natural copulation at regency of Langkat is SO stategy, i.e. using the strong to get opportunity in which the applied strategy will support the aggresive growth policy.

Keywords : Natural Insemination, Natural Copulation, Reproduction Efficiency, Development Strategy.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai 1,08% pertahun, sementara laju pertumbuhan penduduk meningkat dengan kisaran antara 1,5-5% pertahun. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk maka permintaan terhadap daging akan terus meningkat (Dirjennak & Keswan 2010). Bila tidak dilakukan upaya untuk meningkatkan populasi dan produksinya, maka populasi ternak potong lokal akan terkuras karena tingginya angka pemotongan ternak. Demikian halnya di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 tingkat pertumbuhan penduduk 1,57% pertahun dengan pertumbuhan konsumsi 17,82% dan tingkat konsumsi daging sapi sebesar 0,99 kg/kapita/tahun. Angka ini masih jauh dari rata-rata konsumsi nasional yaitu sebesar 1,84 kg/kapita/tahun. Siregar (2009) mengemukakan bahwa produksi sapi potong di Sumatera Utara berjalan sangat lambat rata-rata sebesar 0,24% pertahun, sedangkan kenaikan tingkat pemotongan mencapai 21,24%.

Untuk mengatasi masalah ini dalam jangka pendek dilakukan impor sapi potong dan jangka panjang meningkatkan populasi dan produktivitas sapi potong lokal. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktifitas sapi potong lokal adalah dengan melakukan program seleksi keunggulan sapi lokal yang dapat dikembangkan sesuai harapan yang diinginkan serta persilangan sapi potong lokal dengan sapi unggul impor berupa bibit hidup atau teknologi reproduksi, seperti inseminasi buatan atau teknologi lainnya sehingga diperoleh keturunan yang lebih baik dibanding induknya.

Dalam sistem budidaya ternak, baik ternak sapi maupun kerbau di Indonesia dikenal 2 cara perkawinan yaitu melalui Inseminasi Buatan (IB) dan Kawin Alam (KA). Kawin alam merupakan salah satu pilihan dalam pengembangbiakan ternak karena akseptor pada sapi potong untuk IB ditargetkan berjumlah 2,5 juta ekor sehingga dari 4 juta betina produktif yang ada saat ini 1,5 juta ekor memakai teknologi kawin alam.


(19)

Banyak pertimbangan oleh para peternak yang menjadikan alasan kenapa kawin alam digunakan antara lain (1) secara alamiah ternak memiliki kebebasan hidup dialam bebas, sehingga dengan sikap alamiah ini perkembangbiakannya terjadi secara normal mendekati sempurna (2) secara alamiah ternak jantan mampu mengetahui ternak betinanya yang birahi, sehingga sedikit kemungkinan terjadinya keterlambatan perkawinan yang dapat merugikan dalam proses perbanyakan populasi (3) penanganan perkawinan secara kawin alam memerlukan biaya sangat murah karena manusia sebagai pelaku usaha budidaya tidak banyak lagi menangani proses perkawinan ini (4) metode kawin alam sangat efektif dan efisien digunakan pada pola usaha budidaya ternak baik secara semi intensif atau ekstensif dan tidak mungkin dilakukan metoda IB. KA dapat juga dilakukan dibeberapa perusahaan yang melakukan budidaya dengan sistem penggembalaan (Dirjennak & Keswan 2011).

Teknologi persilangan yang digunakan dengan harapan efisiensi tinggi adalah melalui teknologi inseminasi buatan (IB) yaitu dengan penggunaan semen beku dari sapi pejantan unggul import. Hal ini dilakukan agar peningkatan mutu genetik ternak diiringi dengan biaya murah, mudah dan cepat serta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para peternak. Di daerah-daerah pertanian intensif, IB semakin popular karena dengan jumlah sapi pejantan yang lebih sedikit dapat dikawinkan dengan jumlah betina yang lebih banyak dibanding kawin alam dan adanya pelayanan IB dari Dinas Peternakan setempat (Hadi & Ilham 2000; Hadi et al. 2002).

Perkembangbiakan sapi dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknologi inseminasi buatan serta telah dibuktikan keunggulan teknologi reproduksi ini. Keberhasilan inseminasi dipengaruhi berbagai faktor, yaitu: fertlitas pejantan, keahlian pengumpulan dan pengolahan semen, penyimpanan, peralatan, inseminator dan lainnya (Toelihere 1993).

Evaluasi terhadap keberhasilan pelaksanaan IB adalah menghasilkan kebuntingan pada ternak sapi, yang dapat dilihat sebagai penunjuk keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan dari angka Non Return Rate; Conception Rate, Service per Conception (berapa kali inseminasi agar bunting). Laju pertambahan


(20)

populasi ternak dari hasil inseminasi buatan dapat diukur dengan cara menghitung

Calf Crop.

Berdasar Pedoman Teknis Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi dilakukan untuk pengembangan Kelompok I untuk penerapan Kawin Suntik; Kelompok II Daerah Campuran Inseminasi Buatan dan Kawin Alam yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo dan Kelompok III untuk penerapan dengan Kawin Alam. Ketiga kelompok daerah tersebut ditugaskan untuk melakukan upaya peningkatan populasi, produksi dan produktivitas ternak sapi dan secara bersama-sama melakukan peningkatan penyediaan daging sapi (Dirjenak 2008).

Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah penghasil sapi yang cukup besar dan juga merupakan daerah konsumen sapi potong serta pemasaran yang dekat ke Kota Medan. Pengembangan sapi potong diarahkan untuk penyediaan kebutuhan sapi bakalan dan sapi potong untuk menjamin ketersediaan daging sapi secara berkesinambungan. Populasi Sapi Potong di Kabupaten Langkat tahun 2012 mencapai 152.115 ekor (24,93% dari populasi ternak sapi potong di Sumatera Utara) dan merupakan Kabupaten yang mempunyai populasi ternak sapi potong yang terbesar dibandingkan kabupaten lainnya di Sumatera Utara, sebagian besar merupakan bangsa sapi lokal yaitu sapi-sapi keturunan Peranakan Ongole (PO) disilangkan dengan bangsa sapi-sapi lain.

Melihat jumlah populasi ternak sapi potong di Kabupaten Langkat dibandingkan dengan jumlah akseptor yang ada maka dapat diasumsikan bahwa masih ada peternak sapi potong di Kabupaten Langkat yang tidak menggunakan teknologi Inseminasi Buatan untuk ternaknya atau melaksanakan sistem perkawinan alam dengan penggunaan ternak sapi pejantan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka diperlukan suatu penelitian tentang pelaksanaan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam dalam mengembangkan populasi ternak sapi potong di Kabupaten Langkat.


(21)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengevaluasi dan membandingkan efisiensi reproduksi (NRR, S/C, CR dan CC) hasil perkawinan alam dan kegiatan Inseminasi Buatan.

2. Mengevaluasi perkembangan kegiatan Inseminasi Buatan (S/C dan CR) sapi potong di Kabupaten Langkat

3. Menganalisis strategi pengembangan ternak sapi potong melalui Inseminasi Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat.

Kegunaan Penelitian

1. Mendapat hasil evaluasi efisiensi reproduksi dari metode kawin alam dan pelaksanaan Inseminasi Buatan serta informasi mengenai pelaksanaan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi instansi terkait dalam menentukan langkah-langkah kebijakan dan merencanakan pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Langkat sesuai dengan potensi kemampuan peternak dalam mengadopsi teknologi Inseminasi Buatan dan atau Kawin Alam.

Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan tingkat efisiensi reproduksi antara kawin alam dan Inseminasi Buatan serta terdapat perbedaan hasil evaluasi dilapangan dengan standar Inseminasi Buatan terhadap S/C dan CR.

Defenisi dan Batasan Operasional

1. Inseminasi Buatan (IB) adalah memasukkan semen/mani beku dari ternak jantan kedalam alat kelamin ternak betina sehat dengan menggunakan alat inseminasi agar ternak tersebut menjadi bunting

2. Kawin Alam (KA) adalah memasukkan semen/mani ternak jantan kedalam alat kelamin ternak betina sehat dengan menggunakan pejantan agar ternak tersebut menjadi bunting

3. Berahi (estrus) adalah suatu kondisi dimana sapi betina siap atau bersedia dikawini oleh pejantan dengan disertai gejala yang khas


(22)

4. Inseminator adalah petugas yang telah dididik dan lulus dalam latihan ketrampilan khusus untuk melakukan inseminasi buatan serta memiliki Surat Izin Melakukan Inseminasi (SIMI)

5. Pemeriksa Kebuntingan (PKB) adalah petugas yang telah dididik dan lulus dalam latihan ketrampilan khusus untuk melakukan pemeriksaan kebuntingan 6. Asisten Teknis Reproduksi (ATR) adalah petugas yang telah dididik dan lulus

dalam latihan ketrampilan dasar manajemen reproduksi untuk melakukan pengelolaan reproduksi

7. Akseptor adalah ternak betina produktif yang dimanfaatkan untuk inseminasi 8. Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan (SP-IB) adalah Unit kerja atau kelompok

yang dibentuk untuk melaksanakan pelayanan inseminasi buatan kepada peternak.

9. Non Return Rate (NRR) adalah angka yang menunjukkan berapa persen ternak yang diinseminasi tidak kembali minta diinseminasi dalam kelompok dan dianggap bunting (keberhasilan inseminasi dilihat dari persentase ternak yang tidak minta kawin).

10.Conception Rate (CR) adalah angka yang menunjukkan berapa persen ternak yang diinseminasi pertama berhasil bunting dalam kelompok berdasarkan pemeriksaan kebuntingan (keberhasilan inseminasi dilihat dari persentase ternak sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama).

11.Service per Conception (S/C) adalah angka yang menunjukkan berapa jumlah inseminasi yang diperlukan oleh ternak untuk menjadi bunting.

12.Calf Crop (CC) adalah angka yang menunjukkan berapa persen jumlah kenaikan populasi ternak dalam satu waktu tertentu dalam kelompok.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Populasi Sapi

Pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya kesejahteraan dan pendidikan masyarakat Indonesia, mengakibatkan permintaan akan produk peternakan semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena masyarakat semakin sadar dan peduli terhadap pemenuhan kebutuhan proteinnya. Dalam pemenuhan kebutuhan protein tersebut, daging sapi adalah salah satu produk sumber suplai terbesar. Menurut data Dirjennak dan Keswan (2010), 20,4% kebutuhan daging nasional dipenuhi dari daging sapi. Namun disayangkan 30% diantaranya berasal dari impor luar negeri. Oleh karena itu pemerintah menetapkan Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014). Program ini merupakan lanjutan dari Program Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010 yang sampai sekarang belum berhasil dicapai. Untuk Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 ini. Di Sumatera Utara pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, populasi sapi selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Menurut data Statistik Peternakan (2009), terjadi peningkatan rata-rata populasi sapi potong sebesar 15,11% per tahun yaitu 250.465 ekor tahun 2005 menjadi 401.821 ekor pada tahun 2009.

Perkembangan populasi sapi potong dan tingkat penyebarannya pada beberapa wilayah di Indonesia sangat bervariasi. Secara nasional yaitu 6,07%; 6,35%; 3,20%; 6,67%; dan 11% masing-masing terdapat di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Di wilayah Jawa dan Bali perkembangannya hanya 1,85% sedangkan di Sulawesi mengalami penurunan sebesar 2,57%. Dikemukakan pula bahwa rendahnya tingkat perkembangan populasi sapi potong secara nasional terjadi akibat rendahnya perkembangan populasi di wilayah sentra-sentra produksi utama yakni Jawa-Bali dan Sulawesi. Kedua wilayah tersebut menampung sekitar 61% dari populasi sapi nasional (Pambudy 2001).

Pada awalnya kegiatan peternakan berkembang pada dua tipe wilayah yang masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan relatif. Tipe wilayah


(24)

pertama adalah wilayah yang memiliki keunggulan relatif pada aspek sosial ekonomi (terutama akses ke pasar), namun lemah dalam aspek biofisik. Tipe wilayah kedua adalah wilayah yang memiliki keunggulan relatif pada aspek biofisik (ketersediaan bahan baku dan kesesuaian agroklimat) namun lemah dalam aspek sosial ekonomi (Saragih 1995).

Secara nasional ada tiga periode perkembangan populasi ternak ruminansia (besar dan kecil) yang menunjukkan pola yang sama yaitu rendah (1969-1976), tinggi (1977-1986) dan rendah kembali (1987-1996). Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama yang dapat mempengaruhi perubahan populasi tersebut. Faktor pertama adalah penambahan jumlah ternak yang terjadi melalui kelahiran dan impor ternak, dimana pada periode 1977-1986 impor ternak dari luar negeri dalam bentuk ternak bibit banyak dilakukan, sedangkan pada periode 1987-1996 sudah menurun. Program Inseminasi Buatan untuk meningkatkan angka kelahiran terus ditingkatkan, namun kelihatan masih belum memberikan hasil yang diharapkan. Faktor kedua adalah pengurangan jumlah ternak akibat kematian, pemotongan dan ekspor. Kegiatan ekspor ternak hidup dua periode terakhir sudah tidak dilakukan, artinya kematian ternak akibat penyakit dan pemotongan ternak merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah populasi ternak tersebut (Pambudy 2001)

Keberhasilan usaha pengembangan peternakan di suatu daerah sangat tergantung pada tiga faktor utama yaitu: (1) kondisi fisik alami daerah (tanah, iklim dan ketersediaan sumber daya pakan), (2) kondisi sosial masyarakat penduduk, terutama tingkat ketrampilan dan pengetahuan peternak, (3) kondisi ekonomi daerah yag bersangkutan antara lain harga ternak, keadaan prasarana dan harga pasar (Soewardi 1987).

Upaya untuk Meningkatkan Populasi Sapi

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1997 menyebabkan terjadinya penghentian sementara impor daging dan sapi bakalan. Akibatnya hampir semua kebutuhan daging di Indonesia dipenuhi oleh pasokan dalam negeri yang bakalannya diperoleh dari peternakan rakyat. Kondisi ini menyebabkan pengurasan populasi ternak lokal termasuk kerbau, sapi dengan


(25)

berat dibawah 200 kg dan sapi betina produktif sehingga menambah terpuruknya perkembangan populasi ternak di Indonesia, sebelum terjadi krisis ekonomi, Indonesia masih kekurangan daging sekitar 139.400 ton atau 28% dari kebutuhan, sehingga untuk mengatasinya dilakukan impor sebanyak 30.000 ton daging atau ekuivalen dengan 181.818 ekor sapi (Herdis et al. 2010).

Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan upaya antara lain: peningkatan populasi dan produktivitas ternak baik secara kualitatif dan kuantitatif sehingga dapat meningkatkan populasi ternak lokal dan mengurangi impor ternak sapi dari negara lain. Upaya kedua adalah pemanfaatan ilmu dan teknologi dibidang reproduksi ternak.

Menurut Nursyam (2012) perkembangkan teknologi di bidang reproduksi ternak diawali dengan pemanfaatan teknologi inseminsi buatan (IB), kemudian transfer embrio (TE) dan saat ini telah dikembangkan teknologi prosessing semen, fertilisasi in vitro, teknologi criopreservasi gamet, pembentukan ternak

transgenik, cloning dan pembentukan ternak chimera. Upaya pengembangan dan pemanfaatan teknologi reproduksi ternak tersebut perlu dukungan peralatan yang memadai dan dana yang cukup serta tenaga ahli yang terampil. Aplikasinya oleh petani peternak di Indonesia baru sampai pada tahap inseminasi buatan (IB) dan transfer embrio (TE).

Syam Rahadi (2008) mengemukakan bahwa contoh bioteknologi pada bidang peternakan, khususnya bioteknologi reproduksi adalah inseminasi buatan (IB), transfer embrio (TE), pemisahan jenis kelamin, pemisahan spermatozoa X dan Y, In Vitro Fertilization (IVF), kloning dan sebagainya. Di bidang peternakan khususnya sapi, bioteknologi reproduksi mulai berkembang pesat pada tahun1970-an. Teknologi Inseminasi Buatan berperan penting dalam rangka peningkatan mutu genetik dari sapi pejantan. Sperma beku dapat diproduksi dan digunakan dalam jumlah banyak cukup dengan memelihara pejantan berkualitas baik dipusat IB.

Teknologi transfer embrio yang diterapkan secara bersama dengan teknologi IB dapat mengoptimalkan sekaligus potensi dari sapi jantan dan betina berkualitas unggul. Kemajuan di bidang manipulasi mikro, khususnya pembelian embrio sebelum ditransfer pada resipien sangat bermanfaat bila ditinjau dari segi


(26)

ekonomi. Sapi jantan lebih menguntungkan untuk usaha produksi daging., sedangkan sapi betina lebih menguntungkan untuk usaha produksi susu. Untuk tujuan penentuan jenis kelamin embrio, biopsi dapat dilakukan pada tahap embrional dan selanjutnya embrio dapat langsung ditransfer pada resipien tau disimpan dengan teknik pembekuan.

Program peningkatan produksi dan kualitas pada hewan ternak (dalam hal ini sapi) berjalan lambat bila proses reproduksi dilakukan secara alamiah. Dengan rekayasa bioteknologi reproduksi, proses reproduksi dapat dimaksimalkan antara lain dengan teknologi Inseminasi Butana (IB). Transfer Embrio (TE), pembekuan embrio dan manipulasi embrio. Tujuan utama dari teknik IB adalah memaksimalkan potensi pejantan berkualitas unggul. Sperma dari satu pejantan berkualitas unggul dapat digunakan untuk beberapa ratus bahkan ribuan betina, meskipun sperma tersebut dikirim kesuatu tempat yang jauh. Perkembangan selanjutnya adalah teknologi TE dimana bukan hanya potensi dari jantan saja yang dioptimalkan, melainkan potensi betina berkualitas unggul juga dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada betina untuk bunting hanya sekali dalam setahun (9 bulan bunting dan persiapan bunting selanjutnya) dan hanya mampu menghasilkan satu atau dua anak bila terjadi kembar. Teknik TE dimana sapi betina unggul tidak perlu bunting tetapi hanya berfungsi menghasilkan embrio yang untuk selanjutnya bisa ditransfer (dititipkan) pada induk titipan (resipien) dengan kualitas yang tidak perlu bagus tetapi mempunyai kemampuan untuk bunting.

Kematian bukan lagi merupakan berakhirnya proses untuk meneruskan keturunan. Teknik IVF, sel telur yang berada dalam ovarium betina berkualitas unggul sesaat setelah mati dapat diproses diluar tubuh sampai tahap embrional. Selanjutnya embrio tersebut ditransfer pada resipien sampai dihasilkan anak. Produksi embrio dalam jumlah banyak ternyata juga dapat menghasilkan masalah karena keterbatasan resipien yang siap menerima embrio. Untuk mengatasi masalah tersebut dikembangkan metode pembekuan embrio. Selain berbagai teknik tersebut di atas, potensi dari hasil yang masih dapat dioptimalkan dengan teknologi manipulasi mikro, penentuan jenis kelamin tahap embrional, sexing


(27)

Tetapi dari sekian banyak teknologi reproduksi yang ada, inseminasi buatan merupakan teknik reproduksi yang cukup berhasil dan dapat diterapkan terutama dinegara-negara berkembang seperti Indonesia, sehingga sampai saat ini di Indonesia telah berkembang balai-balai IB yang memproduksi semen beku dari pejantan yang berkualitas unggul.

Upaya peningkatan populasi ternak selain penggunaan teknologi Inseminasi Buatan dengan penggunaan semen dari pejantan unggul diupayakan juga penggunaan ternak pejantan unggul yang telah terseleksi dikenal dengan istilah Intensifikasi Kawin Alam (INKA).

Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan populasi dan produksi serta produktivitas ternak sapi potong dan kerbau perlu dilakukan upaya-upaya intensifikasi kawin alam (INKA), karena cara ini sangat menunjang keberhasilan budidaya ternak di pedesaan dan masih banyak dilakukan didaerah-daerah di Indonesia. Diyakini bahwa sampai tahun 2014 bahkan sampai masa mendatang metoda pelaksanaan intensifikasi kawin alam akan tetap menjadi pilihan untuk melakukan pengembangbiakan atau pembibitan ternak di Indonesia, karena diluar negeri pun pilihan kawin alam tetap menjadi program yang dilaksanakan oleh masyarakat. Indonesia banyak memiliki lahan-lahan pengangonan bersama terutama di daerah-daerah luar Jawa sehingga memungkinkan pelaksanaan kawin alam (sistem semi ekstensif), bahkan didaerah intensif sekalipun masih dapat dilaksanakan kawin alam dengan metode tertentu tergantung kebiasaan masing-masing masyarakat (Dirjennak & Keswan 2011)

Inseminasi Buatan sebagai Salah Satu Teknologi Reproduksi Tepat Guna di Indonesia

Penerapan inseminasi buatan (IB) pada ternak merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan populasi. Dilihat dari bentuk semen yang diinseminasikan teknologi IB terdiri dari dua macam yaitu IB dengan semen segar dan IB dengan semen beku. IB dengan semen segar biasanya digunakan untuk perkawinan ternak pada areal terbatas, yang dapat dijangkau dengan waktu yang cepat. Hal ini terjadi karena semen segar yang akan diinseminasikan dapat rusak apabila disimpan dalam waktu yang lama. Teknologi IB yang dikembangkan sekarang ini adalah


(28)

teknologi IB dengan menggunakan semen beku. Semen beku atau frozen semen

adalah semen yang disimpan pada suhu di bawah titik beku -79 oC sampai -196 oC. Perkawinan IB dengan metode ini dapat dilakukan tanpa dibatasi oleh masalah jarak dan waktu karena semen yang digunakan dalam keadaan beku. Metabolisme yang terjadi pada semen yang dibekukan ditekan sampai pada tahap basal metabolisme sehingga energi yang digunakan sangat sedikit. Keadaan ini menyebabkan semen dapat disimpan dalam waktu yang lama bahkan bisa sampai lebih dari 10 tahun karena asam laktat yang terbentuk tidak akan meracuni spermatozoa.

Semen beku menurut Badan Standardisasi Nasional (2005) adalah semen yang berasal dari pejantan sapi terpilih yang diencerkan sesuai prosedur proses produksi sehingga menjadi semen beku dan disimpan di dalam rendaman nitrogen cair pada suhu -196oC pada container.

Pada dasarnya pengertian IB adalah suatu kegiatan pemasukan sperma (semen) kedalam saluran kelamin betina dengan menggunakan peralatan buatan manusia yang tujuannya untuk memperoleh kebuntingan dalam usaha meningkatkan populasi dan produksi ternak secara kuantitatif dan kualitatif (Toelihere 1985). Inseminasi buatan adalah proses memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa perlu terjadi perkawinan alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari, sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu spermatozoon. Potensi terpendam yang dimiliki seekor pejantan sebagai sumber informasi genetik, apalagi yang unggul dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak betina (Hafez 1993).

Ihsan (1997) mengatakan ada dua teknik inseminasi, yaitu menggunakan metode:

1. Speculum atau vaginoscope Metode ini kurang efektif pada sapi, karena membutuhkan tabung speculum yang besar dan panjang membutuhkan sterilisasi, sehingga tidak efisien, tetapi ini tidak membutuhkan keterampilan dan banyak latihan dan lebih mudah dilakukan. Biasanya digunakan pada ternak kambing dan domba;


(29)

2. Metode Rectovaginal Semen yang digunakan pada metode ini adalah semen beku dengan menggunakan peralatan insemination gun untuk deposisi semen dalam bentuk straw kedalam alat kelamin betina. Alat ini terbuat dari stainless steel yang diselubungi plastic sheat. Peralatan lainnya dalam metode ini adalah container yang berisi nitrogen cair untuk menyimpan semen beku yang terbuat dari alumunium (Toelihere 1993).

Gambar 1. Teknik IB dan hasil radiografi (Senger 2003).

Namun dalam perkembangan lebih lanjut, program IB tidak hanya mencakup memasukan semen ke dalam saluran reproduksi betina, tetapi juga menyangkut seleksi dan pemeliharaan pejantan yang akan diambil semennya, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan dan penentuan hasil inseminasi pada hewan/ternak betina, bimbingan dan penyuluhan pada peternak. Dengan demikian pengertian IB menjadi lebih luas yang mencakup aspek reproduksi dan pemuliaan, sehingga istilahnya menjadi

artificial breeding atau perkawinan buatan (Toelihere 1985).

Tolok Ukur Keberhasilan Inseminasi Buatan (IB)

Penerapan bioteknologi IB pada ternak ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu semen beku, ternak betina sebagai akseptor Inseminasi Buatan, keterampilan tenaga pelaksana (inseminator) dan pengetahuan zooteknis peternak. Keempat faktor ini berhubungan satu dengan yang lain dan bila salah satu nilainya rendah akan menyebabkan hasil IB juga akan rendah, dalam pengertian efisiensi


(30)

produksi dan reproduksi tidak optimal (Toelihere 1997). Permasalahan utama dari semen beku adalah rendahnya kualitas semen setelah dithawing, yang ditandai dengan terjadinya kerusakan pada ultrastruktur, biokimia dan fungsional spermatozoa yang menyebabkan terjadi penurunan motilitas dan daya hidup, kerusakan membran plasma dan tudung akrosom, dan kegagalan transport dan fertilisasi.

Menurut Bailey dan Buhr (1994) ada empat faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya kualitas semen beku, yaitu: (1) perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang bertalian dengan pembentukan kristal-kristal es, (2) cold-shock (kejutan dingin) terhadap sel yang dibekukan, (3) plasma semen mengandung egg-yolk coagulating enzyme yang diduga enzim fosfolipase A yang disekresikan oleh kelenjar bulbourethralis dari pejantan; dan (4) triglycerol lipase yang juga berasal dari kelenjar bulbourethralis dan disebut SBUIII.

Pengaruh yang ditimbulkan akibat fenomena di atas adalah rendahnya kemampuan fertilisasi spermatozoa yang ditandai oleh penurunan kemampuan sel spermatozoa untuk mengontrol aliran Ca2+. Padahal ion kalsium memainkan peranan penting dalam proses kapasitasi dan reaksi akrosom spermatozoa. Kedua proses ini harus dilewati oleh spermatozoa selama dalam saluran reproduksi betina sebelum membuahi ovum (Partodiharjo 1992).

Faktor terpenting dalam pelaksanaan inseminasi adalah ketepatan waktu pemasukan semen pada puncak kesuburan ternak betina. Puncak kesuburan ternak betina adalah pada waktu menjelang ovulasi. Waktu terjadinya ovulasi selalu terkait dengan periode berahi. Pada umumnya ovulasi berlangsung sesudah akhir periode berahi. Ovulasi pada ternak sapi terjadi 15-18 jam sesudah akhir berahi atau 35-45 jam sesudah munculnya gejala berahi. Sebelum dapat membuahi sel telur yang dikeluarkan sewaktu ovulasi, spermatozoa membutuhkan waktu kapasitasi untuk menyiapkan pengeluaran enzim-enzim zona pelucida dan masuk menyatu dengan ovum menjadi embrio (Hafez 1993). Waktu kapasitasi pada sapi, yaitu 5-6 jam (Bearden & Fuquay 1980). Oleh sebab itu, peternak dan petugas lapangan harus mutlak mengetahui dan memahami kapan gejala birahi ternak terjadi sehingga tidak ada keterlambatan IB. Kegagalan IB menjadi penyebab


(31)

membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan peternak. Apabila semua faktor di atas diperhatikan diharapkan bahwa hasil IB akan lebih tinggi atau hasilnya lebih baik dibandingkan dengan perkawinan alam. Hal ini berarti dengan tingginya hasil IB diharapkan efisiensi produktivitas akan tinggi pula, yang ditandai dengan meningkatnya populasi ternak dan disertai dengan terjadinya perbaikan kualitas genetik ternak, karena semen yang dipakai berasal dari pejantan unggul yang terseleksi. Dengan demikian peranan bioteknologi IB terhadap pembinaan produksi peternakan akan tercapai.

Manfaat penerapan bioteknologi IB pada ternak (Hafez 1993) adalah sebagai berikut: (1) menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan, (2) dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik, (3) mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding), (4) dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan dalam jangka waktu yang lama, (5) semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantan telah mati, (6) menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar, sedangkan betina tidak sebanding dan (7) menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan dengan hubungan kelamin.

Menurut Dirjennak dan Keswan (2010) Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan IB dapat dilihat dari 2 (dua) aspek yaitu aspek Petugas Lapangan dan aspek Wilayah Tahapan dimana masing-masing aspek mempunyai kriteria penilaian tersendiri berdasarkan wilayah tahapan pelayanan IB.


(32)

1. Petugas Lapangan

Tabel 1. Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan IB di lapangan

Uraian Lokasi

Introduksi Pengembangan Swadaya Petugas Lapangan

1. Inseminator - S/C - CR (%) - Dinilai oleh

- Waktu pelaksanaan penilaian dalam setahun - Pelaporan

2. PKB

- Ketepatan diagnosa kebuntingan - Dinilai oleh

- Waktu pelaksanaan penilaian dalam setahun - Pelaporan

3. ATR

- Ketepatan diagnosa gangguan reproduksi - Keberhasilan penanganan gangguan reproduksi - Dinilai oleh

- Waktu pelaksanaan penilaian dalam setahun - Pelaporan

3 50 PKB 4 bulan sekali Tertib

90% ATR 4 bulan sekali Tertib

70% > 50 ekor Supervisor II 3 bulan sekali Tertib

2 70 PKB 4 bulan sekali Tertib

90% ATR 4 bulan sekali Tertib

70% > 50 ekor Supervisor II 3 bulan sekali Tertib

1,5 80

PKB 4 bulan sekali Tertib

90% ATR 4 bulan sekali Tertib

70% > 50 ekor Supervisor II 3 bulan sekali Tertib Sumber: Dirjennak dan Keswan (2010).

2. Wilayah Tahapan

Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan Inseminasi Buatan pada SP-IB di tingkat Kabupaten/Kota hal-hal yang perlu dinilai adalah seperti dalam Tabel 2.


(33)

Tabel 2. Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan di Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan ( SP-IB)

Uraian Wilayah Tahapan

Introduksi Pengembangan Swadaya 1. S/C

2. CR (%)

3. Jumlah IB (dosis) 4. Jlh. Akseptor (ekor) 5. Cakupan wilayah binaan (ekor)

6. Kelahiran/tahun minimal (ekor)

7. Kasus Reproduksi (%) 8. Keberhasilan penanganan gangguan reproduksi (ekor)

9. Waktu pelaksanaan penilaian dlm setahun 10. Pelaporan

3 – 5 50 1.800 600 1.800 480 5 – 10

> 50

6 bln sekali Tertib

2 – 3 70 2.400 1.200 3.600 960 5 – 10

> 50

6 bln sekali Tertib < 2 80 3.600 2.400 7.200 1.920 5 – 10

> 50

6 bln sekali Tertib Sumber: Dirjennak dan Keswan (2010).

Intensifikasi Kawin Alam (InKA)

Intensifikasi Kawin Alam (InKA) adalah upaya peningkatan populasi ternak sapi yang dilakukan melalui pemakaian dan distribusi pejantan unggul terseleksi dari bangsa sapi lokal dengan tiga prinsip manajemen perkawinan, yaitu (1) perkawinan model kandang individu (intensif), (2) perkawinan model kandang kelompok/umbaran (semi intensif) dan (3) perkawinan model padang penggembalaan (ekstensif). Pejantan yang digunakan berasal dari hasil seleksi sederhana, yaitu berdasarkan penilaian performance tubuh, berumur lebih dari dua tahun dan bebas dari penyakit reproduksi. (Dirjennak & Keswan 2011)

Kawin alam digunakan antara lain dengan pertimbangan bahwa secara alamiah ternak memiliki kebebasan hidup di alam bebas, sehingga dengan sikap alamiah ini perkembangbiakannya terjadi secara normal mendekati sempurna dan secara alamiah ternak jantan mampu mengetahui ternak betinanya yang birahi, sehingga sedikit kemungkinan terjadinya keterlambatan perkawinan yang dapat merugikan dalam proses peningkatan populasi.


(34)

Sasaran InKA mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Penyebaran pejantan unggul untuk kawin alam di wilayah intensif, semi intensif dan ekstensif;

2. Meningkatnya nilai conception rate (CR) sebesar 70-80%;

3. Terjadinya perbaikan ratio antara bibit jantan dan betina di suatu wilayah; 4. Terbinanya kelompok-kelompok usaha penyewaan pejantan unggul baik

diwilayah intensif, semi intensif dan ekstensif;

5. Terseleksinya pejantan unggul untuk model perkawinan secara alami.

Efisiensi Reproduksi

Bearden dan Fuquay (1980) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha peternakan adalah manajemen reproduksi, antara lain menyangkut frekuensi ternak betina yang dapat beranak sehingga meningkatkan efisiensi reproduksi. Menurut Salisbury dan Van Demark (1985), efisiensi reproduksi dalam populasi ternak tidak dapat diukur semata-mata oleh proporsi ternak yang tidak mampu beranak. Ternak betina yang mampu beranak hanya apabila dikawinkan dengan seekor jantan yang menghasilkan spermatozoa yang selanjutnya dapat membuahi ovum dan memulai proses-proses yang berhubungan dengan konsepsi melalui implantasi, pertumbuhan janin dan perkembangan fetus.

Tingkat efisiensi reproduksi akan mempengaruhi perkembangan populasi ternak sapi pada suatu wilayah. Hal tersebut dapat diidentifikasikan melalui aplikasi teknologi perkembangbiakan di wilayah tersebut apakah menggunakan kawin alam, inseminasi buatan atau teknologi lainnya (Bestari et al. 1999). Sistem manajemen pemeliharaan yang bagus menghasilkan angka beranak pada sapi dari hasil perkawinan dengan IB bisa mencapai 90% (Jainudeen & Hafez 1993).

Sistem pencatatan yang tertib dan teratur terhadap akseptor dan anak hasil IB ikut berperan dalam menentukan tingkat efisiensi reproduksi. Menurut Salisbury dan Van Demark (1985), sistem pencatatan reproduksi terhadap sapi-sapi yang dimiliki peternak bila dilakukan dengan baik dapat dijadikan pertimbangan dalam meningkatkan efisiensi reproduksi. Toelihere (1993)


(35)

menjelaskan bahwa pencatatan diperlukan untuk mengetahui maju mundurnya program IB terhadap suatu individu atau kelompok ternak

Parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi reproduksi, yaitu Service per Conception (S/C), Conception Rate (CR) dan Calving Interval

(CI) dengan menggunakan data sekunder dari recording reproduksi (Susilawati 2002).

Menurut Affandhy et al. (2003), produktivitas sapi potong dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki efisiensi reproduksi antara lain dengan meningkatkan kelahiran pedet, memperpendek jarak beranak, memperpanjang masa produksi dan mengoptimalkan pengelolaan program IB, metode deteksi berahi yang tepat dapat meningkatkan efisiensi reproduksi sebesar 50%-90%.

Efisiensi reproduksi hasil program IB menurut Ismaya (1999), diukur dari angka tidak kembali minta diinseminasi, angka kebuntingan pada inseminasi ke-1, angka kawin per kebuntingan, jarak kawin pertama pasca beranak, masa kosong, angka beranak, jarak beranak berurutan dan angka panen anak. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi merupakan ukuran keberhasilan program IB.

Angka Tidak Kembali Minta Diinseminasi

Angka yang tidak kembali minta diinseminasi pada periode tertentu dianggap bunting. Evaluasi dengan cara ini merupakan yang paling cepat untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan IB dan dikenal dengan istilah Non Return Rate yang disingkat NRR (Salisbury & VanDemark 1985; Partodihardjo 1992; Toelihere 1993)

Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan bahwa kembalinya berahi dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: kegagalan ovulasi, kegagalan pembuahan dan kegagalan implantasi. Kembalinya berahi juga karena fertilitas sapi betina yang rendah dan kualitas semen yang digunakan untuk IB juga rendah (Jainudeen & Hafez 1993).

Dasar perhitungan jarak waktu yang dipakai untuk menentukan NRR adalah 60-90 hari pasca inseminasi (Salisbury & Van Demark 1985; Partodihardjo 1992; Toelihere 1993). Menurut Roberts (1971) disitasi oleh Toelihere (1993) bahwa perhitungan NRR 60-90 hari pasca inseminasi pada ternak sapi diperoleh


(36)

angka 65%-72% dengan CR sebesar 53,4% (Salisbury & Van Demark 1985) dan terjadi kecenderungan penurunan persentase dari NRR ke Conception Rate (CR) sebesar 10%-15% (Jainudeen & Hazes 1993).

Kelemahan evaluasi NRR adalah bahwa ternak yang tidak kembali diinseminasi dianggap bunting. Hal ini tidak selalu benar, ada beberapa akseptor tidak dibawa oleh peternak ke petugas inseminasi (inseminator) oleh suatu sebab atau alasan diantaranya yaitu akseptor pindah tempat, dijual, mati, peternak lupa atau peternak terlalu sibuk (Salisbury & Van Demark 1985). Menurut Toelihere (1993), sapi-sapi yang tidak kembali berahi pasca IB dianggap bunting dan tidak dilaporkan peternak disebabkan karena beberapa hal diantaranya karena ternak mengalami berahi tenang, mati, dijual, hilang atau adanya gangguan reproduksi.

Angka Kebuntingan

Angka Kebuntingan atau Conception Rate disingkat CR merupakan salah satu ukuran keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan IB (Bearden & Fuquay 1980). Menurut Jainudeen dan Hafez (1993), CR merupakan informasi berapa persen sapi yang menjadi bunting dari sejumlah sapi yang diinseminasi pertama secara bersama-sama. Menurut Partodihardjo (1992) bahwa perhitungan CR berdasarkan pada jumlah sapi yang berhasil bunting pada inseminasi pertama melalui pemeriksaan kebuntingan dengan cara eksplorasi rectal pasca inseminasi selama 45-60 hari, 40-60 hari (Toelihere 1993) dan 35-49 hari (Salisbury & Van Demark 1985).

Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan bahwa CR merupakan perhitungan jumlah sapi betina yang jelas dibuahi dan menjadi bunting pada inseminasi pertama. Conception Rate disebut juga dengan efisiensi pembuahan yang merupakan ukuran fertilitas sapi betina (Partodihardjo 1992).

Menurut Jainudeen dan Hafez (1993), Conception Rate sapi potong hasil inseminasi pertama dengan manajemen yang baik bisa mencapai 70%. Partodihardjo (1992) menyatakan bahwa CR ideal adalah 70% tetapi secara umum sebesar 40%. Hasil penelitian Affandhy et al. (2003) menunjukkan bahwa CR pada sapi PO di Jawa Timur berkisar 44,8%-50,0%. Conception Rate diantaranya dipengaruhi oleh waktu yang tepat dalam pelaksanaan IB yaitu 12 jam setelah


(37)

timbul gejala berahi dengan CR sebesar 75% (Gomes 1977) dan 72% (Partodihardjo 1992). Menurut Wiryosuhanto (1990) Conception Rate (CR) adalah persentase kebuntingan sapi betina pada pelaksanaan IB pertama dan dapat dipakai sebagai alat ukur tingkat kesuburan. Ternak yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi, CR bisa mencapai 60% sampai 70% dan apabila CR setelah inseminasi pertama lebih rendah dari 60% sampai 70% berarti kesuburan ternak terganggu atau tidak normal.

Kawin Per Kebuntingan (Service per Conception)

Tujuan perkawinan adalah untuk menghasilkan kebuntingan. Berhasil atau tidaknya perkawinan pada sapi induk untuk menghasilkan kebuntingan ditentukan oleh banyak hal diataranya kesuburan induk yang bersangkutan, kesuburan pejantan yang mengawini dan tatalaksana perkawinan yang diterapkan oleh peternak (Partodihardjo 1992)

Jumlah atau frekuensi kawin perkebuntingan dikenal dengan istilah

Service per Conception yang disingkat dengan S/C merupakan salah satu ukuran efisiensi reproduksi induk sapi potong, sehingga perhitungan S/C pada kegiatan IB mutlak diperlukan (Toelihere 1993). Menurut Salisbury dan Van Demark (1985), S/C adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor ternak menjadi bunting.

Toelihere (1993) menyebutkan bahwa angka S/C yang normal adalah 1,60 sampai 2,00. Semakin mendekati angka 1 berarti semakin tinggi tingkat kesuburan sapi induk dan pejantan (semen beku yang digunakan) dalam kelompoknya. Dilaporkan oleh Achmad (1983) bahwa S/C sapi PO di Gunung Kidul dan Kulon Progo masing-masing 2,2 dan 2,3, di Grobogan dan Wonosobo Jawa Tengah cukup tinggi yaitu 2,6 (Hadi & Ilham 2002), di Jawa Timur sebesar 2,0-2,2 (Affandhy et al. 2003) dan di Bantul Yogyakarta 2,1-2,3 (Sugiharto et al.

2004).

Persentase Calf Crop

Persentase calf crop adalah jumlah anak yang disapih dibandingkan dengan jumlah induk yang ada dalam satu tahun dikali seratus persen (Perry et al.


(38)

2009). Pada sapi dara calf crop biasanya sekitar 55%, sedangkan yang telah beranak beberapa kali (cow) dapat mencapai 86% (Dyer 2010).

Jumlah anak sapi yang dilahirkan dan dapat dijual merupakan sumber pemasukan bagi usaha peternakan dan hasil dari program breeding pada ternak adalah menghasilkan turunan/anak (Dyer 2010). Pejantan yang baik adalah dapat menghasilkan kebuntingan sebesar 80% pada perkawinan pertama dengan perkawinan alami (Cooper & Willis 1989).

Perbaikan persentase Calf Crop dapat dilakukan dengan langkah : (1) Sebelum beranak, dimana induk mempunyai skor kondisi tubuh (body condition score) yang baik, memberi makanan yang lebih baik saat menjelang kawin dan menjelang melahirkan bertujuan meningkatkan ovulasi dan mempersingkat jarak beranak, (2) Saat melahirkan diharapkan kelahiran 70% dalam 21 hari pertama musim kelahiran dan menseleksi induk yang melahirkan lebih lama, dan ternak yang akan melahirkan dikumpulkan pada satu tempat yang mudah untuk pengawasan dan pertolongan saat beranak, memberi pakan yang baik untuk menjaga kondisi tubuh induk dan penurunan berat badan yang berlebihan selama menyusui, (3) Breeding, pengamatan berahi atau musim kawin kembali setelah beranak, kalau dapat 60 hari setelah beranak dan mengeluarkan induk yang berahi kembali diatas 90 hari, mengawinkan dengan tepat waktu baik kawin alam maupun dengan inseminasi buatan, (4) Perkembangan, dengan memeriksa terjadinya kebuntingan dengan palpasi, ultrasound dan uji darah (Dyer 2010).

Pengelompokan Wilayah Inseminasi Buatan

Menurut Dirjennak dan Keswan (2010), wilayah pelayanan Inseminasi Buatan ditentukan atas dasar tahapan pelaksanaan Inseminasi Buatan yang meliputi 3 (tiga) tahapan wilayah, yaitu wilayah tahapan introduksi, wilayah tahapan pengembangan dan wilayah tahapan swadaya. Lokasi pelaksanaan IB diarahkan kepada sentra produksi dan atau kawasan pengembangan sapi.

Model pelayanan Inseminasi Buatan meliputi 3 (tiga) model yaitu pelayanan aktif (peternak mendatangi inseminator), semi aktif (inseminator dan peternak bertemu disuatu tempat) dan pelayanan pasif (inseminator mendatangi


(39)

peternak). Perencanaan pelayanan Inseminasi Buatan pada setiap Satuan Pelayanan IB (SP-IB) dilakukan dengan memperhitungkan beberapa hal yaitu struktur populasi ternak sapi (dewasa, muda dan anak baik jantan maupun betina), akseptor, S/C dan CR, tenaga dan sarana yang tersedia. Batasan dan kriteria wilayah tahapan pelayanan IB disajikan pad Tabel 3.

Tabel 3. Batasan dan Kriteria Wilayah Tahapan Pelayanan IB

Uraian Wilayah Tahapan

Introduksi Pengembangan Swadaya Kinerja:

Kemampuan Inseminator/thn (dosis)

S/C CR (%)

300 3 – 5 50

500 2 – 3 70

800 < 2 80 Batasan :

1. Waktu Pelaksanaan IB < 5 thn 5-10 thn 10 thn

2. Wilayah SP-IB SP-IB SP-IB

3. Jumlah akseptor (ekor/thn/ > 100 > 200 > 400 inseminator

4. Cakupan Wilayah Binaan 1.800 3.600 7.200

(ekor/tahun)

5. Sumber Dana 100% APBN APBN & APBD 100% Peternak/ Koperasi Sumber: Dirjennak dan Keswan (2010).


(40)

BAB III

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini di lakukan di Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Langkat berada pada ketinggian 4-105 m dari permukaan laut; curah hujan rata-rata 220,09 mm/thn. Kabupaten Langkat terdiri dari 23 kecamatan dengan populasi ternak sapi yang menyebar di tiap kecamatan dengan populasi ternak sapi potongnya pada tahun 2012 sebanyak 152.115 ekor. Kabupaten ini merupakan daerah yang melaksanakan teknologi Inseminasi Buatan dan Kawin Alam kepada sapi yang dimiliki petani-peternak. Kecamatan yang terpilih adalah 5 (lima) kecamatan yang melaksanakan sistem perkembangbiakan ternak secara teknologi Inseminasi Buatan dan Kawin Alam yaitu Kecamatan Binjai, Kecamatan Wampu, Kecamatan Padang Tualang, Kecamatan Kuala dan Kecamatan Selesai.

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2012 sampai dengan bulan Juni 2013 mencakup kegiatan pra survey untuk mendapatkan data awal sebagai bahan penyusunan proposal, pengumpulan data, analisis data dan penyusunan laporan hasil penelitian dalam bentuk tesis.

Bahan dan Alat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Langkat yang dianggap cukup berhasil dalam melaksanakan program IB di Propinsi Sumatera Utara. Penelitian dilakukan dengan metode survey dan observasi kelokasi penelitian, dinas/instansi yang terkait guna mengumpulkan data – data primer dan data – data sekunder dengan bantuan kuisioner. Metode survey adalah suatu cara yang digunakan dalam proses pengumpulan data primer dengan memberikan pertanyaan kepada responden untuk mendapatkan sejumlah informasi yang dibutuhkan (Vredenbregt 1984 & Hakim 2001).

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: kuisioner, kartu Inseminasi Buatan, catatan reproduksi dan data sekunder hasil Inseminasi Buatan. Materi penelitian yang dijadikan sampel berupa responden peternak sapi


(41)

yang menjadi akseptor Inseminasi Buatan dan yang melakukan perkawinan alam pada ternak sapinya.

Metode Penelitian

Penentuan lokasi untuk pengambilan sampel dilakukan dengan secara simple random sampling yaitu metode penentuan lokasi penelitian secara acak, dimana 5 (lima) kecamatan yang terpilih yaitu Kecamatan Binjai, Kecamatan Wampu, Kecamatan Padang Tualang, Kecamatan Kuala dan Kecamatan Selesai adalah kecamatan yang melaksanakan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam pada ternak sapi potongnya dan dianggap kelima kecamatan ini bisa mewakili.

Dari masing-masing kecamatan diambil petani-peternak sampel dengan metode Purposive Random Sampling yang membedakan peternak penerima teknologi Inseminasi Buatan dan petani peternak yang mengawinkan ternaknya secara alami masing-masing 15 orang petani peternak, sehingga jumlah peternak seluruhnya berjumlah 150 orang. Menurut Hadi (1986) Purposive Random Sampling merupakan pengambilan sampel dengan mempertimbangkan ciri-ciri atau sifat tertentu, selanjutnya Sukartawi et al. (1986) menyatakan pengambilan contoh ditentukan secara sengaja yang menggambarkan sifat dalam populasi didalam penelitian ini adalah peternak yang melaksanakan sistem pengembangbiakan ternak yaitu secara Inseminasi Buatan dan Kawin Alam.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari data primer (berupa pengamatan langsung dan hasil wawancara, kuisioner, serta catatan peternak) dan data sekunder (berasal dari instansi terkait). Data primer diperoleh melalui wawancara langsung kepada responden secara individual dan kelompok atau melalui inumerator dengan menggunakan kuesioner. Menurut Hakim (2001) data primer diperoleh dengan berbagai cara yaitu dengan wawancara langsung maupun dengan kuesioner tertulis. Data diperlukan untuk memperoleh keterangan terperinci yaitu tentang efisiensi kegiatan inseminasi buatan, aspek penguasaan bioreproduksi oleh responden, aspek inseminator dan aspek penunjang (pakan, gangguan reproduksi dan sistem perkandangan).


(42)

Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari 2 jenis yaitu : data keadaan umum wilayah dan data hasil kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam. Data keadaan umum wilayah diperoleh dengan cara melihat laporan tahunan yang diterbitkan oleh instansi terkait (Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan). Data hasil kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam ternak sapi potong diperoleh dari pengamatan dilapangan, hasil wawancara atau kuisioner dengan petani peternak, petugas Dinas Peternakan setempat, petugas wilayah IB (inseminator) dan catatan atau kartu akseptor IB.

Metode Analisis Data

Ada beberapa tahapan analisis data pada penelitian ini yaitu : 1. Analisis deskriptif

Untuk mengetahui gambaran kondisi dari pelaksanaan penelitian meliputi aspek-aspek evaluasi keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam dianalisis secara deskriptif

2. Uji t

Untuk mengetahui perbedaan efisiensi reproduksi pelaksanaan Inseminasi Buatan dengan Kawin Alam. Parameter yang diamati adalah nilai Non Return Rate (NRR), Conception Rate (CR), Service per Conception (S/C) dan Calf Crop (CC).

Data yang diperoleh ditabulasi sesuai dengan pelaksanaan perkawinan yang dilakukan pada ternak sapinya, selanjutnya dianalisis menggunakan uji perbandingan dua rata-rata populasi ( Uji T atau T-test ) dengan menggunakan Microsoft Exel (Santoso 2001)

Jika t hitung < t tabel ( α = 0,05 ), maka Ho diterima berarti tidak terdapat perbedaan penilaian efisiensi reproduksi Non Return Rate (NRR), Conception Rate (CR), Service per Conception (S/C) dan Calf Crop (CC) antara Inseminasi Buatan dan Kawin Alam.

Jika t hitung > t tabel ( α = 0 ,0 5 ), maka Ho ditolak berarti terdapat perbedaan penilaian efisiensi reproduksi Non Return Rate (NRR) Conception Rate (CR) Service per Conception (S/C) dan Calf Crop (CC) antara Inseminasi Buatan dan Kawin Alam.


(43)

3. Analisis Efisiensi Reproduksi hasil kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam

Variabel yang diamati terhadap efisiensi reproduksi hasil kegiatan Inseminasi Buatan yang meliputi: (1). NRR, (2). CR, (3). S/C, (4). CC dimana perhitungannya adalah sebagai berikut:

3.1.Non Return Rate (NRR)

Data yang diperlukan dalam perhitungan NRR adalah jumlah akseptor yang tidak kembali minta diinseminasi dalam jangka waktu 60-90 hari pasca inseminasi pertama dalam kelompok dan jumlah akseptor yang diinseminasi ke-1 dalam kelompok.

Rumus yang digunakan adalah :

Jumlah akseptor yg tdk kembali minta diinseminasi 60-90 hari pasca inseminasi dianggap bunting dlm kelompok

NRR = x 100%

Jumlah akseptor yang diinseminasi ke-1 dlm kelompok

3.2. Conception Rate (CR)

Data yang diperlukan dalam perhitungan CR adalah jumlah akseptor yang menjadi bunting pada inseminasi ke-1 berdasarkan pemeriksaan kebuntingan (PKB) melalui palpasi rectal setelah 45-60 hari pasca inseminasi dalam kelompok dan jumlah akseptor yang di inseminasi ke-1 dalam kelompok.

Rumus yang digunakan adalah:

Jumlah akseptor yg bunting pd inseminasi ke-1 melalui PKB secara palpasi rectal 45-60 hari pasca

inseminasi dalam kelompok

CR = x 100% Jumlah akseptor yang diinseminasi dlm kelompok

3.3. Service per Conception (S/C)

Data yang digunakan dalam perhitungan ini adalah jumlah inseminasi yang diperlukan akseptor dalam kelompok dan jumlah akseptor yang menjadi bunting dalam kelompok


(44)

Rumus yang digunakan adalah:

Jumlah inseminasi yang dilakukan akseptor dlm kelompok S/C =

Jumlah akseptor yang bunting dalam kelompok

3.4. Calf Crop

Data yang dipergunakan dalam perhitungan ini adalah jumlah anak yang dapat disapih dari sekelompok populasi induk betina dikali seratus persen. Hal ini dibutuhkan untuk menunjukkan kenaikan populasi ternak sapi pada suatu kelompok populasi sapi dalam waktu yang sama.

Rumus yang digunakan adalah:

Jumlah anak yang disapih dlm kelompok atau populasi

CC = x 100% Jumlah induk yang dipelihara dalam kelompok/populasi

4. Tahap Perencanaan Strategi Pengembangan

Dalam penyusunan rencana strategi pengembangan dilakukan melalui tiga tahapan yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis dan tahap pengambilan keputusan. Proses penyusunan rencana strategi pengembangan dapat dilihat pada kerangka formulasi strategis seperti pada Gambar 2 berikut ini :

1. TAHAP PENGUMPULAN DATA

Evaluasi Evaluasi Faktor Eksternal Faktor Internal

2. TAHAP ANALISIS

Matriks Matriks SWOT Grand Strategi

3. TAHAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif Gambar 2. Kerangka penyusunan formula strategi

1. Tahap Masukan

Pada tahap masukan ini pada dasarnya tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dibedakan menjadi dua yaitu data eksternal dan data internal.


(45)

a. Matriks Faktor Strategi Eksternal

Sebelum membuat matriks faktor strategi eksternal, perlu diketahui terlebih dahulu faktor strategi eksternal (EFAS) yang terdiri dari faktor-faktor yang dapat menjadi peluang (opportunities) dan ancaman (treathts) terhadap suatu program/kegiatan. Berikut adalah cara-cara penentuan EFAS (External Factors Analysis Summary) :

•Menentukan faktor-faktor yang menjadi peluang (opportunities) dan ancaman (treathts) dalam kolom 1 (5 sampai dengan 10 peluang dan ancaman)

•Memberi bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting).

•Menghitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding). Sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi organisasi yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang sangat besar diberi rating +4, tetapi jika peluangnya kecil diberi rating +1). Pemberian nilai rating ancaman adalah kebalikannya.

•Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4, hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).

•Menjumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi organisasi bersangkutan

b.Matriks Faktor Strategi Internal

Setelah faktor-faktor strategi internal diidentifikasi dan disusun kemudian dibuat tabel IFAS (Internal Factors Analysis Summary) untuk merumuskan dan menyimpulkan faktor-faktor strategi internal tersebut dalam faktor-faktor yang menjadi kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness). Berikut adalah cara-cara penentuan IFAS (Internal Factors Analysis Summary) :

•Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) dalam kolom 1 (5 sampai dengan 10 kekuatan dan kelemahan)


(46)

•Memberi bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting).

•Menghitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding). Sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi organisasi yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor kekuatan bersifat positif (kekuatan yang sangat besar diberi rating +4, tetapi jika kekuatannya kecil diberi rating +1). Pemberian nilai rating kelemahan adalah kebalikannya.

•Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4, hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).

•Menjumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi organisasi bersangkutan

2. Tahap Analisis a. Analisis SWOT

Untuk menyusun langkah-langkah strategi pengembangan ini data-data yang termasuk kepada faktor internal (kekuatan, kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) didapatkan dari berbagai pihak/instansi terkait baik melalui data primer ataupun sekunder untuk selanjutnya digunakan dalam penyusunan matrik SWOT dan matrik Grand Strategi.

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematika untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (treathts). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencana strategis harus menganalisis faktor-faktor strategi perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling popular untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT (Rangkuti 1997).


(47)

Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis seperti pada Gambar 3 dibawah ini.

Faktor Internal

Faktor Eksternal

Strengths (S) (Kekuatan)

Weakness (W) (Kelemahan)

Opportunities (O) (Peluang)

Strategi SO

Ciptakan strategi yang menunjukkan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi WO

Ciptakan strategi yang meminimalkan kelema-han untuk memanfaatkan peluang

Treathts (T) (Ancaman)

Strategi ST

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

Startegi WT

Ciptakan strategi yang meminimalkan kelema-han untuk menghindari ancaman

Gambar 3. Matrik SWOT

Dari gambar diatas dapat dirumuskan beberapa hal yaitu :

Strategi SO : Strategi ini dilakukan dengan menggunakan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi ST : Strategi ini dilakukan dengan menggunakan seluruh kekuatan untuk mengatasi peluang

Strategi WO : Strategi ini dilakukan dengan pemanfaatan peluang dan mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada

Strategi WT : Strategi ini dilakukan secara defensive dengan tujuan untuk meminimalisir kelemahan yang ada serta menghindari ancaman

b.Matriks Grand Strategi

Matriks Grand Strategi bermanfaat untuk memperoleh letak/posisi strategi yang akan digunakan dalam menjalankan program/kegiatan yang dilakukan. Letak/posisi strategi yang akan diambil ditentukan dari skor faktor strategi internal dan eksternal. Matriks grand strategi dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini.


(48)

Peluang

2. Turn around 1. Agresif

Kelemahan Kekuatan

3. Defensif 4. Diversifikasi

Ancaman Gambar 4. Penentuan Matriks Grand Strategi

Keterangan :

Kuadran 1 : Strategi Agresif yaitu strategi memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang

Kuadran 2 : Strategi Turnaround yaitu strategi memanfaatkan peluang dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada

Kuadran 3 : Strategi Defensif yaitu strategi berusaha menghindari ancaman dan meminimalkan kelemahan

Kuadran 4 : Strategi Diversifikasi yaitu strategi mengatasi ancaman dengan meraih peluang

3. Tahap Pengambilan Keputusan

Setelah dua tahapan teratas selesai diidentifikasi dan dianalisis, maka tahap selanjutnya adalah menyusun daftar prioritas yang harus dilakukan. Pada tahapan ini empat strategi yang telah dirumuskan dalam tahapan sebelumnya (SO, ST, WO, WT) dikaji ulang dan kemudian diambil keputusan strategi mana yang paling menguntungkan, efektif dan efisien bagi organisasi untuk diterapkan dari strategi-strategi yang ada yang pada akhirnya akan dapat dijadikan acuan/pedoman dalam melakukan program/kegiatan selanjutnya.


(1)

153

Observations 75 75

Pearson Correlation -0,048206162

Hypothesized Mean Difference 0

df 74

t Stat 1,361325599

P(T<=t) one-tail 0,088770844

t Critical one-tail 1,665706893

P(T<=t) two-tail 0,177541689

t Critical two-tail 1,992543466

t-Test: Paired Two Sample for Means (CC)

Inseminasi

Buatan Kawin Alam

Mean 64,83015873 61,27407407

Variance 808,346423 687,5382003

Observations 75 75

Pearson Correlation 0,040496834 Hypothesized Mean Difference 0

df 74

t Stat 0,812831514

P(T<=t) one-tail 0,209461045 t Critical one-tail 1,665706893 P(T<=t) two-tail 0,418922091 t Critical two-tail 1,992543466


(2)

t-Test: Paired Two Sample for Means (NRR)

Inseminasi Buatan Kawin Alam

Mean 68,21904762 67,7005291

Variance 430,8594717 448,6767334

Observations 75 75

Pearson Correlation 0,035503818

Hypothesized Mean Difference 0

df 74

t Stat 0,154175777

P(T<=t) one-tail 0,438945424

t Critical one-tail 1,665706893

P(T<=t) two-tail 0,877890848

t Critical two-tail 1,992543466

t-Test: Paired Two Sample for Means (CR)

Inseminasi Buatan Kawin Alam

Mean 52,27301587 46,72486772

Variance 359,567159 262,1194891

Observations 75 75

Pearson Correlation -0,109642877

Hypothesized Mean Difference 0

df 74

t Stat 1,830487143

P(T<=t) one-tail 0,035601788

t Critical one-tail 1,665706893

P(T<=t) two-tail 0,071203576


(3)

155

Observations 75 75

Pearson Correlation 0,056663042

Hypothesized Mean Difference 0

df 74

t Stat -1,783923738

P(T<=t) one-tail 0,039267838

t Critical one-tail 1,665706893

P(T<=t) two-tail 0,078535677

t Critical two-tail 1,992543466

t-Test: Paired Two Sample for Means (CC)

Inseminasi

Buatan Kawin Alam

Mean 65,56190476 62,1047619

Variance 435,574309 476,545995

Observations 75 75

Pearson Correlation 0,059786477 Hypothesized Mean Difference 0

df 74

t Stat 1,022338491

P(T<=t) one-tail 0,154975662 t Critical one-tail 1,665706893 P(T<=t) two-tail 0,309951324 t Critical two-tail 1,992543466


(4)

t-Test: Paired Two Sample for Means (NRR)

Inseminasi Buatan Kawin Alam

Mean 74,72265512 72,43174603

Variance 467,9799258 478,7618639

Observations 75 75

Pearson Correlation 0,108371996

Hypothesized Mean Difference 0

df 74

t Stat 0,682856035

P(T<=t) one-tail 0,248415044

t Critical one-tail 1,665706893

P(T<=t) two-tail 0,496830089

t Critical two-tail 1,992543466

t-Test: Paired Two Sample for Means (CR)

Inseminasi Buatan Kawin Alam

Mean 61,27705628 58,17883598

Variance 631,4063642 412,8599507

Observations 75 75

Pearson Correlation 0,181259383

Hypothesized Mean Difference 0

df 74

t Stat 0,915381527

P(T<=t) one-tail 0,18148235

t Critical one-tail 1,665706893

P(T<=t) two-tail 0,362964701


(5)

157

Observations 75 75

Pearson Correlation -0,111226341

Hypothesized Mean Difference 0

df 74

t Stat -0,916714421

P(T<=t) one-tail 0,181135136

t Critical one-tail 1,665706893

P(T<=t) two-tail 0,362270272

t Critical two-tail 1,992543466

t-Test: Paired Two Sample for Means (CC)

Inseminasi

Buatan Kawin Alam

Mean 67,23318903 64,32910053

Variance 519,9594903 447,6345892

Observations 75 75

Pearson Correlation 0,09035713 Hypothesized Mean Difference 0

df 74

t Stat 0,84761393

P(T<=t) one-tail 0,19969311 t Critical one-tail 1,665706893 P(T<=t) two-tail 0,39938622 t Critical two-tail 1,992543466


(6)