Pengaruh Umur Panen dan Metode Penjemuran terhadap Mutu Fisik Rumput Laut Eucheuma collonii sp

PENGARUH UMUR PANEN DAN METODE PENJEMURAN
TERHADAP MUTU FISIK RUMPUT LAUT
Eucheuma cottonii sp

ENY SULISTIYOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Umur Panen
dan Metode Penjemuran Terhadap Mutu Fisik Rumput Laut Eucheuma cottonii sp
adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Eny Sulistiyowati
NIM F153110041

RINGKASAN

ENY SULISTIYOWATI. Pengaruh Umur Panen dan Metode Penjemuran
Terhadap Mutu Fisik Rumput Laut Eucheuma cottonii sp. Dibimbing oleh
LEOPOLD OSCAR NELWAN dan SUTRISNO.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik pengeringan
dari penjemuran dan menganalisis pengaruh umur panen dan metode penjemuran
para-para dan gantung terhadap mutu fisik rumput laut kering Eucheuma cottonii
sp. Penelitian dilaksanakan dalam empat tahap, yaitu budidaya rumput laut
Eucheuma cottonii sp, pemanenan, pengeringan serta uji organoleptik dengan
rancangan petak petak terbagi (RPPT) 2 x 3 x 2 yang diulang 2 kali sebagai blok.
Metode penjemuran (A) merupakan faktor pertama (faktor petak utama) yang
terdiri dari 2 taraf yaitu para-para (a1) dan gantung (a2). Faktor kedua (faktor anak

petak) adalah umur panen (B) yang terdiri dari 3 taraf yaitu 35 hari (b1), 45 hari
(b2) dan 55 hari (b3). Faktor ketiga (faktor anak–anak petak) adalah
ketebalan/jarak (C) yang terdiri dari 2 taraf yaitu ketebalan 10 cm/jarak 15 cm (c1)
dan ketebalan 20 cm/jarak 30 cm (c2).
Intensitas radiasi matahari berkisar antara 50 W m-2 – 700 W m-2, suhu
udara 23.3 0C – 31.7 0C, kelembaban relatif (RH) 56% – 95% sedangkan
kecepatan angin 2 m s-1 – 9 m s-1. Intensitas matahari lebih berkorelasi pada
peningkatan laju pengeringan pada metode gantung dibandingkan faktor suhu dan
kecepatan angin.
Kadar air awal rumput laut 82.57% – 83.00%. Hasil penelitian kadar air
awal tertinggi rumput laut Eucheuma cottonii pada umur panen 35 hari sebesar
83.90% dan kadar air awal terendah pada umur panen 45 hari sebesar 82.57%.
Laju pengeringan tercepat dicapai pada umur panen 35 hari yang dijemur dengan
metode gantung pada jarak 15 cm. Kadar kotoran berkisar 0.42% – 2.25% dengan
rata-rata 1.10%. Uji organoleptik untuk kenampakan rumput laut kering rata-rata
3.26 dengan kisaran 2.70 – 4.40. Tekstur rumput laut kering rata-rata 3.18 dengan
kisaran 2.40 – 4.17. Skor bau rumput laut kering rata-rata 3.94 dengan kisaran
2.60 – 4.30.
Metode penjemuran para-para menghasilkan mutu fisik rumput laut kering
berupa kadar kotoran yang lebih kecil, kenampakan dan bau yang lebih baik.

Umur panen 45 hari menghasilkan kadar kotoran yang lebih kecil dan
menghasilkan kenampakan, tekstur serta bau yang terbaik dibandingkan rumput
laut yang dipanen saat berumur 35 hari maupun 55 hari. Ketebalan 20 cm atau
jarak 30 cm lebih baik dibandingkan ketebalan/jarak 10/15 cm. Mutu fisik rumput
laut kering Eucheuma cottonii sp yang terbaik sebaiknya dipanen pada saat
berumur 45 hari kemudian dikeringkan menggunakan metode para-para.
Kata kunci: umur panen, metode penjemuran, mutu fisik, rumput laut, eucheuma
cottonii sp

SUMMARY

ENY SULISTIYOWATI. Effect of Harvest Time and Drying Methods on
Physical Quality Seaweed Eucheuma cottonii sp. Supervised by LEOPOLD
OSCAR NELWAN and SUTRISNO.
The purpose of this study was to the characteristics of drying and analyze
the effects of harvesting age, rack drying and standing drying methods on physical
quality of dried seaweed Eucheuma cottonii sp. The research was conducted in
four stages consist of seaweed cultivation of Eucheuma cottonii sp, harvest time,
drying and organoleptic tests with split-split-plot design (SSPD) 2 x 3 x 2 with 2
replications as block. Drying method (A) is the whole plot factor which consisted

of 2 levels i.e. rack drying (a1) and standing drying (a2). Harvesting age (B) is
sub-plot factor which consisted of 3 levels i.e. 35 days of harvest time (b1), 45
days (b2) and 55 days (b3). Thickness/distance (C) was sub – subplot which
consisted of 2 levels i.e. 10 cm/15 cm (c1) and 20 cm/30 cm (c2).
Sun radiation intensity ranged between 50 W m-2 – 700 W m-2, air
temperature ranged between 23.3 0C – 31.7 0C, relative humidity (RH) 56% to
95% while the wind speed ranged between 2 m s-1 – 9 m s-1. Sun intensity was the
most significant factor in increasing drying rate compared to temperature and
wind speed during drying process.
Initial moisture content of Euchema cottonii sp seaweed ranged between
82.57% – 83.90%. The highest moisture content was found at seaweed which
harvested at 35 days i.e. 83.90%. The lowest moisture content occurred at
seaweed which harvested at 45 days i.e. 82.57%. The fastest drying rate generated
seaweed Eucheuma cottonii sp that is harvested at 35 days and then dried using a
hanging method with a distance of 15 cm. The range of impurities from 0.42% –
2.25% with average 1.10%. The average of organoleptic test for visibly of dried
seewead was 3.26 with range 2.70 to 4.40, dried seaweed texture was 3.18 with
range 2.40 to 4.17 and smell was 3.94 with 2.60 to 4.30 of range.
Rack drying method generating the physical qualities of dried seaweed such
as the foreign material, visibility and flavor was better. Harvesting age at 45 days

produced less foreign material and best visibility, texture and flavor compared
with harvest time at 35 days and 55 days. Drying with 20 cm thickness and 30 cm
distance was significantly produced better dried seaweed quality compared to
10/15 cm of thickness or distance. The best physical quality of dried seaweed
Eucheuma cottonii sp was produced by harvesting the seaweed at 45 days and
followed by rack drying method.
Keywords: harvesting age, drying methods, physical quality, seaweed, eucheuma
cottonii sp

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH UMUR PANEN DAN METODE PENJEMURAN

TERHADAP MUTU FISIK RUMPUT LAUT
Eucheuma Cottonii sp

ENY SULISTIYOWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dyah Wulandani, MSi

PRAKATA


Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau membuat segala sesuatu indah pada
waktunya, semua dicapai bukan karena kuat dan gagahnya Penulis. Penyertaan
dan pertolonganMulah yang memampukan Penulis menyelesaikan penulisan Tesis
dengan judul Pengaruh Umur Panen dan Metode Penjemuran terhadap Mutu Fisik
Rumput Laut Eucheuma cottonii sp.
Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian karya ilmiah tesis ini. Ucapan terima kasih
disampaikan kepada Dr Leopold Oscar Nelwan, STP MSi dan Prof Dr Ir Sutrisno,
MAgr sebagai Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan
dan arahan kepada Penulis. Kesempatan ini Penulis juga menyampaikan terima
kasih kepada Dr Ir Dyah Wulandani, MSi yang telah bersedia menjadi Penguji
luar komisi pada ujian tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Kak
Yorem sekeluarga yang telah banyak membantu Penulis selama pelaksanaan
penelitian. Penulis juga menghaturkan terima kasih yang tulus kepada kedua
orang tua tercinta Bapak Suparman dan Ibunda tercinta Sumiyati serta ketiga
adikku Tanti, Efan, Ditta terima kasih atas doa dan perhatiannya kepada ananda.
Terima kasih terkhusus untuk Onyongku terkasih Erick Wollo atas cinta
kasih, doa dan perjuangannya bersama penulis. Onyong ini adalah perjuangan kita
bersama. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada
teman-teman seperjuangan Teknologi Pascapanen 2011, Kak Beba Pablo, Maun

Luis Pareira, Nilton Ribero dan Uzhu Hornai atas pertemanan dan persaudaraanya
selama ini. Terima kasih untuk kakakku Rico Taolin atas waktu, bantuan dan
persaudaraanya di saat–saat tersulit penulis menyelesaikan penulisan ini.
Terima kasih untuk malam yang setia menemani penulis saat penulis merasa
sendirian, dan untuk kehidupan yang selalu mengajarkan kepada penulis untuk
selalu rendah hati, tidak mudah menyerah dan mengucap syukur untuk setiap
kejadian yang pernah dialami. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Juli 2015

Eny Sulistiyowati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi 

DAFTAR GAMBAR


xi 

DAFTAR LAMPIRAN

xii 



PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian








2   TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi dan Klasifikasi Eucheuma cottonii sp
Pascapanen Rumput Laut
Karakteristik Pengeringan
Kadar Air
Pengeringan
Laju Pengeringan
Kondisi Cuaca
Radiasi Matahari
Suhu
Kelembaban Relatif (RH)
Kecepatan Angin
Ketebalan/Jarak Penjemuran
Kadar Kotoran
Uji Organoleptik



5
6

6
7
8
10
10
11
12
12
13
13
14



15 
15 
15
15
15
16
16 
17
18 
18
19
20
20
20
21
21
21
22

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Prosedur Penelitian
Budidaya Rumput laut Eucheuma cottonii sp
Pemanenan
Pengeringan
Rancangan Percobaan
Parameter Pengamatan
Pengukuran Kadar Air Awal Rumput Laut
Pengukuran Kadar Air Rumput Laut Selama Proses Pengeringan
Pengukuran Kondisi Cuaca
Radiasi Matahari
Suhu dan Kelembaban Relatif (RH)
Kecepatan Angin
Kadar Kotoran
Uji Organoleptik
Analisis Data

4    HASIL DAN PEMBAHASAN
Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii sp
Karakteristik Pengeringan dari Metode Penjemuran
Kadar Air Awal
Kadar Air dan Lama Pengeringan
Laju Pengeringan
Kondisi Cuaca
Radiasi Matahari
Suhu
Kelembaban Relatif (RH)
Kecepatan Angin
Kadar Kotoran Rumput Laut
Uji Organoleptik
Kenampakan (Kebersihan dan Warna)
Tekstur
Bau
5

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

22 
23 
23 
23
25
28
28
30
30
31
32 
34 
34 
37 
38
40 
40 
40

DAFTAR PUSTAKA

41 

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

56

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Standar mutu rumput laut kering
Kriteria uji kesukaan
Rata–rata kadar air awal rumput laut Eucheuma cottonii sp
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air 32% (jam)
Rata–rata laju pengeringan (% b.k/jam)
Hubungan laju pengeringan relatif terhadap keadaan cuaca
Sidik ragam kadar kotoran rumput laut
Pengaruh metode penjemuran, umur panen dan ketebalan/jarak terhadap
kadar kotoran
9 Pengaruh interaksi metode penjemuran dan umur panen terhadap
kadar kotoran
10 Sidik ragam kenampakan rumput laut
11 Pengaruh metode penjemuran, umur panen dan ketebalan/jarak terhadap
kenampakan
12 Sidik ragam tekstur rumput laut
13 Pengaruh umur panen terhadap tekstur
14 Sidik ragam bau rumput laut
15 Pengaruh metode penjemuran dan umur panen terhadap bau

1
21
23
23
27
31
32
33
33
34 
38 
38
38
39
39 

 

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Bagan alir penelitian
Rumput laut Eucheuma cottonii sp
Kurva laju pengeringan terhadap kadar air (Canovas dan Mercado 1996)
Kurva penurunan kadar air terhadap waktu (Hall 1980)
Pergerakan air selama pengeringan pada pori–pori bahan (Fellow 1990)
Radiasi langsung dan radiasi sebaran pada permukaan horizontal (Vetri
2011)
Kontruksi penanaman rumput laut
Metode penjemuran para–para dan gantung
Pengikatan bibit
Rumput laut Eucheuma cottonii sp yang dibudidayakan di Tablolong
Kupang
Grafik perubahan kadar air terhadap waktu penjemuran pada umur
panen 35 hari (a), 45 hari (b) dan 55 hari (c)
Laju pengeringan berbagai metode penjemuran dan ketebalan/jarak
pada umur panen 35 hari (a), 45 hari (b) dan 55 hari (c)
Variasi radiasi matahari (a), kelembaban relatif (b), suhu udara (c) dan
kecepatan angin (d) selama pengeringan
Diagram pencar hubungan laju pengeringan dengan radiasi total pada
metode para–para (a) dari metode gantung (b)
Grafik rata–rata kadar kotoran rumput laut Eucheuma cottonii sp
Grafik rata–rata kenampakan rumput laut Eucheuma cottonii sp
Warna rumput laut kering Eucheuma cottonii sp umur panen 35 hari (a),
45 hari (b), 55 hari (c) yang dijemur dengan metode para–para
Warna rumput laut kering Eucheuma cottonii sp umur panen 35 hari (a),
45 hari (b), 55 hari (c) yang dijemur dengan metode gantung
Grafik rata–rata tekstur rumput laut Eucheuma cottonii sp
Grafik rata–rata bau rumput laut Eucheuma cottonii sp


5
8


10 
16 
17
22
22 
25 
27 
28 
29 
32 
34
36
37
37 
39 

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Peta lokasi penelitian
Spesifikasi alat ukur
Lay out rancangan percobaan
Data kadar air awal
Standar deviasi kadar air
Score sheet
Data kadar air basis basah hari pertama
Data kadar air basis kering hari pertama
Data laju pengeringan hari pertama
Data organoleptik
Data cuaca tanggal 28 dan 29 Mei 2013
Foto penelitian

45 
45 
46 
47
47
48 
49 
50 
51 
52 
53 
54

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

 

Rumput laut merupakan salah satu komoditi ekspor yang bernilai ekonomi
tinggi. Nilai gunanya yang cukup tinggi sebagai produk pangan dan non pangan
menjadikan rumput laut sebagai komoditi andalan sumberdaya perairan. Rumput
laut merupakan salah satu sumberdaya hayati yang ketersediaanya sangat
melimpah di perairan Indonesia yaitu sekitar 8.6% dari biota di laut (Dahuri
1998).
Orientasi pemasaran rumput laut didominasi dalam bentuk ekspor kering
utuh (dried seawead), sehingga kebanyakan penjualan rumput laut yang dilakukan
para petani dalam bentuk rumput laut kering. Mutu fisik rumput laut kering
ditingkat petani masih dihargai sangat murah karena rendahnya kualitas rumput
laut kering yang dihasilkan. Menurut (Mubarak et al. 1990) panen merupakan
tahap akhir dari suatu kegiatan budidaya oleh karena itu panen harus dilaksanakan
dengan mempertimbangkan cara dan waktu yang tepat agar diperoleh hasil yang
memenuhi permintaan pasar secara kualitas dan kuantitas. Untuk mendapatkan
nilai jual yang tinggi, persyaratan mutu bahan baku rumput laut kering harus
memenuhi standar. Standar mutu rumput laut kering Eucheuma sesuai yang
ditetapkan SNI 01 – 2690 (1992) seperti pada (Tabel 1) adalah rumput laut yang
kandungan benda asingnya seperti pasir atau batu karang tidak lebih dari 5% dan
kandungan airnya sekitar 32%.
Tabel 1. Standar mutu rumput laut kering
Syarat
Eucheuma
Galidium
Gramacilaria
Kadar air maksimal (%)
32
15
25
Benda asing maksimal (%)
5*)
5**)
5**)
Bau
spesifik rumput laut
spesifik rumput laut
spesifik rumput laut
*) Benda asing (garam, pasir, karang, kayu dan jenis lainnya)
**) Benda asing (garam, pasir, karang, dan kayu)
Karakteristik

Hypnen
30
5**)
spesifik rumput laut

Kualitas rumput laut kering yang dihasilkan selain ditentukan oleh teknik
budidaya, lingkungan tempat tumbuh, iklim, juga dipengaruhi oleh umur panen
dan penanganan pascapanen yang tepat. Usia panen rumput laut harus
diperhatikan untuk mendapatkan rumput laut kering yang berkualitas. Pemanenan
yang terlalu cepat atau lambat akan berakibat pada turunnya kualitas rumput laut.
Umur panen rumput laut jenis Eucheuma cottonii sp adalah 45 – 55 hari. Menurut
(Sukri 2006) umur panen optimal rumput laut Eucheuma cottonii sp yang
menghasilkan rendemen, kekuatan gel dan viskositas (tingkat kekentalan)
tertinggi adalah umur panen 45 hari.
Sedangkan (Suryaningraum et al. 1991) menyatakan bahwa rumput laut
sebaiknya dipanen setelah berumur 40 hari atau lebih. Panen rumput laut yang
kurang dari seharusnya akan menyebabkan rendahnya rendemen dan kekuatan gel
karaginan. Karaginan merupakan hidrokoloid dari rumput laut yang paling
penting dalam produk pangan karena sifat karaginan yang dapat berfungsi sebagai
stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi, pengikat, pencegah kristalisasi
dan penggumpal (Satari 1998).

2

Sebelum umur 45 hari proses fotosintesa rumput laut digunakan untuk
pertumbuhan, sebaliknya setelah berumur lebih dari 50 hari proses fotosintesa
digunakan untuk regenerasi tunas baru. Panen yang dilakukan sebelum umur
panen yang optimal akan berpengaruh terhadap rendahnya rendemen karaginan
serta tingkat kekuatan gel yang dihasilkan. Masa pemeliharaan dibawah umur 40
hari dapat menyebabkan kualitas rumput laut kering yang dihasilkan menjadi
rendah (Rusdi et al. 2013).
Salah satu tahap penanganan pascapanen yang sangat mempengaruhi mutu
rumput laut kering adalah proses pengeringan. Pengeringan yang umum di tingkat
petani adalah rumput laut dikeringkan langsung di bawah sinar matahari dengan
menggunakan metode penjemuran yang konvensional, yakni rumput laut hanya
dijemur atau dihamparkan disepanjang pantai atau jalananan di sekitar rumah.
Akibatnya peluang terjadinya kontaminasi kotoran menjadi lebih banyak.
Penggunaan teknologi untuk mengeringkan rumput laut di tingkat petani masih
sulit dilakukan karena alasan biaya dan kemudahan secara teknis. Pengeringan
dengan cara penjemuran langsung yang memanfaatkan panas sinar matahari
mempunyai kelebihan diantaranya tidak memerlukan bahan bakar sehingga biaya
menjadi lebih murah, ketersediaannya yang melimpah pada musim kemarau, sinar
infra merah mampu menembus sel–sel bahan (Taib et al. 1988). Kelemahannya
membutuhkan tempat penjemuran yang luas, ketergantungan terhadap cuaca, suhu
pengeringan dan RH tidak dapat dikontrol. Selain itu intensitas sinar matahari
yang tidak tetap dapat menyebabkan proses pengeringan tidak dapat berjalan
secara maksimal akibatnya dapat terjadi pembusukan sebelum bahan menjadi
kering.
Perbaikan mutu fisik rumput laut kering dapat dilakukan oleh para petani
dengan cara mengoptimalkan metode penjemuran yang sudah biasa dilakukan
dengan memanfaatkan panas sinar matahari. Untuk menurunkan kadar kotoran
rumput laut kering maka penjemuran bisa dilakukan di atas media tertentu seperti
para–para atau dijemur dengan cara digantung. Rusdi et al. (2013) menyatakan
bahwa berdasarkan anjuran cara budidaya yang baik dan benar, bila menggunakan
cara digantung atau para–para saat dijemur, maka kadar kotoran yang ada
biasanya maksimal 5%.
Menjemur rumput laut dengan menggunakan metode para–para selain
rumput laut tidak langsung menyentuh permukaan tanah, waktu pengeringan
menjadi lebih efisien karena sirkulasi udara yang melewati rongga pada alas
jemur, selain itu media para–para juga berkontribusi memberikan panas pada
bahan yang dikeringkan karena adanya aliran panas dari media ke bahan. Rumput
laut yang dikeringkan dengan menggunakan metode gantung mempunyai
kelebihan yakni tidak banyak mengalami benturan fisik atau patahan thalus, posisi
menjemur secara gravitasi juga mengurangi persentase garam dan benda
asing/kotoran yang menempel dan air pada rumput laut menjadi lebih mudah
menetes.
Ketebalan dan jarak penjemuran pada rumput laut perlu diatur untuk
mempercepat proses pengeringan. Tebal tipisnya bahan yang dijemur
berhubungan dengan luas permukaan bahan yang terkena paparan panas matahari.
Semakin tipis bidang penjemuran akan mengurangi jarak dimana panas harus
bergerak sampai ke permukaan bahan. Ukuran thalus pada rumput laut juga akan
mempengaruhi kecepatan penguapan. Penguapan pada permukaan thalus rumput

3

laut dengan diameter yang lebih besar akan lebih lambat bila dibandingan dengan
thalus yang berdiameter lebih kecil. Bagian thalus yang lebih muda banyak
memiliki kandungan air jika dibandingkan thalus yang lebih tua sehingga
terjadinya penguapan dapat lebih cepat. Kondisi lingkungan seperti kecepatan
angin akan lebih mempercepat terjadinya penguapan dimana jarak antara bahan
yang digantung juga akan mempengaruhi laju pengeringan.
Berkaitan dengan hal tersebut maka melakukan proses pengeringan rumput
laut dengan metode penjemuran para–para dan gantung dengan memperhatikan
aspek ketebalan/jarak penjemuran perlu dilakukan agar dapat menghasilkan mutu
fisik rumput laut kering yang sesuai SNI. Proses pengeringan rumput laut yang
belum tepat dapat menyebabkan rendahnya mutu fisik rumput laut yang
dihasilkan sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai cara pengeringan rumput
laut yang memperhatikan umur panen, metode penjemuran, aspek ketebalan/jarak
penjemuran agar diperoleh rumput laut kering yang sesuai SNI.

Tujuan Penelitian

 

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pengeringan dari
penjemuran rumput laut dan menganalisis pengaruh umur panen dan metode
penjemuran terhadap mutu fisik rumput laut kering Eucheuma cottonii sp.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang penanganan
pascapanen rumput laut khususnya proses pengeringan untuk mendapatkan
rumput laut kering yang sesuai standar SNI.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh umur panen, metode
penjemuran yang mengkaji aspek ketebalan/jarak penjemuran terhadap mutu fisik
rumput laut Eucheuma cottonii sp.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan petak petak
terbagi (RPPT) 2 x 3 x 2 yang diulang 2 kali sebagai blok. Objek yang diteliti
meliputi budidaya rumput laut Eucheuma cottonii sp, pemanenan, pengeringan
dan uji organoleptik. Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi
pengukuran kadar air awal rumput laut, pengukuran kadar air rumput laut selama
proses pengeringan, kadar kotoran serta uji organoleptik. Data hasil pengamatan
diolah dengan analisis sidik ragam dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan
Uji Beda Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torie 1993). Data diolah dengan
program SAS 9.1.3.
Tahapan secara keseluruhan dari penelitian ini dapat dilihat pada alir
penelitian dibawah ini, yang merupakan gambaran secara keseluruhan dari
penelitian yang dilakukan (Gambar 1).

4
Budidaya rumput laut E. Cottonii

 
Umur Panen 35, 45, dan 55 hari

Penjemuran Metode 
Para-Para  

Tebal 10 cm

Penjemuran Metode
Gantung 

Tebal 20 cm

Jarak 15 cm

Jarak 30 cm

Pengeringan Rumput laut
hingga kadar air ± 32 %

Kadar Kotoran

Uji Organoleptik (Kenampakan,
Tekstur dan Bau)

Informasi

Gambar 1. Bagan alir penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi dan Klasifikasi Eucheuma cottonii sp

 

Eucheuma cottonii sp merupakan salah satu jenis rumput laut merah
(Rhodophyceae) penghasil karaginan, dikenal dengan nama Kappaphycus
alvarezii. Berdasarkan klasifikasi taksonomi Eucheuma cottonii sp (Anggadiredja
2009), digolongkan ke dalam:
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Bangsa
: Gigartinales
Suku
: Solierisceae
Marga
: Eucheuma
Jenis
: Eucheuma cottonii sp (Kappaphycus alvarezii)

 

5

Gambar 2. Rumput laut Eucheuma cottonii sp
Ciri–ciri Eucheume cottonii sp yaitu thalus silindris, permukaan licin,
cartilageneus (lunak seperti tulang rawan), serta berwarna hijau terang, hijau olive
dan cokelat kemerahan. Percabangan thalus berujung runcing atau tumpul,
ditumbuhi nodulus (tonjolan–tonjolan), dan duri lunak/tumpul yang melindungi
gametangia. Percabangan bersifat alternatus (berseling), tidak teratur, serta dapat
bersifat dichotomus (percabangan dua–dua) atau trichotomus (sistem percabangan
tiga–tiga) (Anggadiredja 2009). Rumput laut Eucheuma berwarna hijau
kemerahan pada keadaan hidup dan berwarna kuning kecoklatan bila kering.
Pascapanen Rumput Laut
Penentuan saat panen merupakan tahap awal dari kegiatan penanganan
pascapanen rumput laut. Tahap kegiatan panen dan pascapanen yang dilakukan
yaitu :
a. Menentukan umur panen
Penentuan umur panen merupakan faktor penting untuk menjaga kualitas
rumput laut. Menurut (Yunizal et al. 2000) sebagai bahan baku pengolahan,
rumput laut harus dipanen pada umur yang tepat. Rumput laut jenis Eucheuma
dipanen setelah tanaman berumur 45 – 60 hari. Mubarak (1987) menyatakan
bahwa pemanenan rumput laut dilakukan setelah tanaman mencapai berat 4 – 5
kali dari berat semula. Pemanenan juga tergantung pada kesuburan lokasi
penanaman, dengan memilih tanaman yang dianggap sudah cukup matang untuk
dikeringkan (Basmal 1992). Sedangkan (Doty 1987) menyatakan bahwa umur
panen 45 hari dapat dilakukan jika rumput laut dibudidayakan dengan metode
lepas dasar dan mempunyai ukuran berat thalus antara 512 – 1028 gram. Aslan
(1998) menyatakan pemanenan dilakukan bila rumput laut telah mencapai berat
tertentu yakni sekitar empat kali berat awal (dalam waktu pemeliharaan 1.5 – 4
bulan). Untuk jenis Eucheuma dapat mencapai berat sekitar 500 – 600 gram, maka
jenis ini sudah dapat dipanen. Menurut Mukti (1987) pemanenan rumput laut
sudah dapat dilakukan setelah enam minggu yaitu saat tanaman dianggap cukup
matang dengan kandungan polisakarida maksimum.

6

b. Proses pemanenan
Kualitas rumput laut yang baik akan menghasilkan rendemen dan karaginan
yang baik. Tujuan pemanenan rumput laut dikategorikan menjadi dua yaitu:
1) pemanenan untuk mendapatkan bibit yang dilakukan saat memasuki umur 25
– 30 hari
2) pemanenan untuk mendapatkan rumput laut basah siap jemur
Rumput laut dapat dipanen dengan dua cara yaitu secara parsial dan total.
Pemanenan rumput laut secara parsial dilakukan dengan cara memisahkan
cabang–cabang dari tanaman induknya dan selanjutnya digunakan kembali untuk
penanaman berikutnya. Pemanenan secara total dengan cara mengangkat semua
rumpun rumput laut secara keseluruhan, dan thalus yang masih muda dapat dipilih
kembali untuk dijadikan bibit.
Karakteristik Pengeringan
Kadar Air
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kadar air.
Kadar air akan mempengaruhi lama pengeringan, mekanisme pengeringan,
perubahan pada bahan dan perancangan alat pengeringan (Sopyan 2001).
Kadar air suatu bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan
bobot bahan yang dinyatakan dalam persen basis basah (wet basis) atau dalam
persen basis kering (dry basis). Kadar air basis basah (b.b) adalah perbandingan
antara berat air dalam bahan dengan berat totalnya. Kadar air basis basah dapat
ditentukan dengan persamaan berikut:

Kadar air basis kering (b.k) adalah perbandingan antara berat air dalam
bahan dengan berat bahan keringnya. Kadar air basis kering dapat ditentukan
dengan persamaan berikut :

dimana:
m
M
Wm
Wd
Wt

: kadar air basis basah (% bb)
: kadar air basis kering (% bk)
: berat air dalam bahan (gram)
: berat padatan dalam bahan atau berat kering bahan (gram)
: berat total (gram)

Kadar air basis basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100%,
sedangkan kadar air basis kering dapat lebih dari 100%. Analisis kadar air bahan
dalam proses pengeringan ditentukan berdasarkan basis kering, karena
perhitungan berdasarkan basis basah mempunyai kelemahan yakni basis basah
bahan selalu berubah-ubah, sedangkan perhitungan berdasarkan basis kering maka
berat basah bahan selalu tetap.
Menurut (Wirakartakusumah 1989) air pada suatu bahan terdiri dari tiga
jenis yaitu:

7

1) Air bebas (free water), yakni air yang terdapat di permukaan bahan, mudah
diuapkan pada proses pengeringan karena tidak terikat dalam jaringan suatu
bahan.
2) Air terikat secara fisik, yakni bagian air yang terdapat dalam jaringan matriks
bahan (tenunan bahan) akibat adanya ikatan–ikatan fisik pada bahan, terdiri
dari dari tiga jenis yaitu :
- air terikat yang ada dalam bahan karena adanya pipa–pipa kapiler pada
bahan
- air absorpsi, terdapat pada tenunan-tenunan bahan karena adanya tenaga
penyerapan dari dalam bahan
- air yang terkurung diantara tenunan bahan karena adanya hambatan
mekanis, biasanya terdapat pada bahan yang berserat
3) Air terikat secara kimia, yakni molekul air yang terikat secara kimia
membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lainnya
Kekuatan diantara ketiga bagian air tersebut berbeda–beda, untuk
memutuskan ikatannya diperlukan energi penguapan. Besarnya energi penguapan
untuk air yang terikat bebas adalah paling rendah bila dibandingkan dengan energi
penguapan untuk air yang terikat secara fisik, sedangkan energi penguapan untuk
air yang terikat secara kimiawi adalah yang paling besar diantara ketiga macam
air tersebut (Taib et al. 1988).
Pengeringan
Pengeringan adalah proses pengeluaran air dari suatu bahan pertanian
menuju kadar air kesetimbangan dengan udara sekeliling atau pada tingkat kadar
air dimana mutu bahan pertanian dapat dicegah dari serangan jamur, enzim dan
aktifitas serangga (Henderson dan Perry 1976). Penurunan kadar air sampai batas
tertentu dapat memperlambat laju kerusakan bahan akibat aktifitas biologis dan
kimia sebelum bahan diolah atau dimanfaatkan.
Prinsip pengeringan merupakan proses pemindahan panas dan pemindahan
massa (air dan uap air) yang terjadi secara bersamaan (simultan). Berpindahnya
sejumlah massa uap air karena adanya perbedaan konsentrasi uap air dari bahan
dan lingkungan, yakni kandungan uap air di udara atau kelembaban nisbi yang
lebih rendah daripada bahan sehingga menyebabkan terjadinya penguapan (Taib
et al.1988).
Mekanisme terjadinya pengeringan yakni sebelum proses pengeringan
berlangsung tekanan uap air di dalam bahan dan lingkungan berada dalam kondisi
keseimbangan. Panas yang diberikan akan menaikkan suhu bahan akibatnya
tekanan uap air di dalam bahan menjadi lebih tinggi daripada tekanan uap air di
lingkungan, sehingga akan mengakibatkan terjadinya penguapan dari bahan ke
udara.
Wirakartakusuma (1992) menyatakan bahwa adanya perbedaan kelembaban
(humidity) antara udara kering dengan bahan yang dikeringkan, jumlah kadar air
bahan, kecepatan pengeringan dan perpindahan panas dari udara ke dalam bahan
akan menyebabkan terjadinya penguapan. Setelah kenaikan suhu yang terjadi
pada seluruh bagian bahan, maka akan terjadi pergerakan air secara difusi dari
bahan ke permukaan yang berlangsung secara terus menerus. Akibatnya
kandungan air pada bahan menjadi berkurang, sehingga tekanan uap air di
permukaan akan menurun sampai terjadi keseimbangan dengan udara

8

disekitarnya. Keseimbangan kadar air menentukan batas akhir dari proses
pengeringan. Kelembaban udara nisbi dan suhu udara pada bahan kering biasanya
akan mempengaruhi keseimbangan kadar air. Pada saat kadar air mencapai
keseimbangan, proses penguapan air pada bahan terhenti dan jumlah molekul–
molekul air yang diuapkan sama dengan jumlah molekul air yang diserap oleh
permukaan bahan. Laju pengeringan bergantung pada perbedaan antara kadar air
bahan dengan kadar air keseimbangan (Siswanto 2004).
Laju Pengeringan
Laju pengeringan menggambarkan kecepatan suatu bahan terhadap waktu
yang dibutuhkan untuk menurunkan kadar air tersebut. Laju pengeringan
dipengaruhi oleh keadaan dari bahan seperti kadar air bahan, bentuk bahan,
ukuran, luas permukaan, volume bahan dan komposisi kimia dari bahan yang akan
dikeringkan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi laju pengeringan adalah
suhu, kelembaban, laju aliran udara.
Henderson dan Perry (1976) menyatakan bahwa proses pengeringan
mempunyai dua periode utama yaitu: 1) periode laju pengeringan tetap (constant
rate period) dan 2) fase laju pengeringan menurun (falling rate period). Kedua
periode ini dibatasi oleh kadar air kritis (critical moisture content) yakni kadar air
terendah saat laju aliran air bebas dalam bahan ke permukaan sama dengan laju
pengambilan uap air maksimum dari bahan. Menurut (Nasution 1982) laju
pengeringan tetap adalah laju pengeringan yang terjadi pada permukaan bahan,
sedangkan laju pengeringan menurun terjadi ketika tidak ada lagi lapisan tipis air
yang menutupi permukaan bahan.
Kurva laju pengeringan terhadap kadar air menurut (Canovas dan Mercado
1996) pada Gambar 3 menunjukkan bahwa (titik A) merupakan kandungan air
awal pada tahap pengeringan. Periode laju pengeringan awal ditunjukkan pada
titik (A – B) dimana kadar air yang berkurang masih sangat sedikit. Titik (B – C)
merupakan periode laju pengeringan tetap dan air yang diuapkan merupakan air
tidak terikat. Laju pengeringan menurun kemudian terbagi menjadi dua tahap
yaitu laju pengeringan menurun pertama (titik C – D), terjadi ketika permukaan
masih basah dan secara kontinyu berkurang selama pengeringan berlangsung.
Tahap kedua adalah laju pengeringan menurun kedua (titik D – E) terjadi ketika
permukaan mengering dengan laju penguapan yang rendah.

Gambar 3. Kurva laju pengeringan terhadap kadar air
(Canovas dan Mercado 1996)

9

Keterangan :
A–B
B–C
C
C–D
D–E

: periode pemanasan atau pendinginan
: periode laju pengeringan tetap
: kadar air kritis
: periode laju penurunan pertama
: periode laju penurunan kedua

Waktu yang dibutuhkan oleh bahan untuk melewati keempat periode
pengeringan tersebut berbeda–beda tergantung dari kadar air bahan dan kondisi
pengeringan. Jika panas diberikan dengan laju yang tinggi, maka laju pengeringan
konstan akan lebih pendek, sebaliknya jika rendah maka periode penyesuaian
awal hingga tercapainya kadar air kritis akan lebih panjang dan periode laju
pengeringan akan sangat pendek (Okos el al. 1992).
Laju pengeringan menurun dalam kurva pengeringan yang merupakan
hubungan kadar air terhadap waktu dapat dilihat pada (Gambar 4).

Gambar 4. Kurva penurunan kadar air terhadap waktu (Hall 1980)
Kecepatan pengeringan maksimum dipengaruhi oleh percepatan pindah
panas dan pindah massa. Proses penyerapan akan terhenti sampai kesetimbangan
tercapai. Pergerakan air selama pengeringan pada pori–pori bahan dapat dilihat
pada (Gambar 5).
Drying Air

Moisture

Food Cells

Gambar 5. Pergerakan air selama pengeringan pada pori-pori bahan (Fellow 1990)

10

Kondisi Cuaca
Radiasi Matahari
Radiasi matahari (solar radiation) merupakan pindah panas oleh radiasi
gelombang elektromagnetik (Zemansky dan Dittman 1982). Daerah tropis sangat
diuntungkan akan energi yang bersumber dari panas matahari yang melimpah,
oleh karena itu pengeringan dengan cara penjemuran banyak dimanfaatkan daerah
beriklim panas dengan temperatur yang relatif tinggi, kelembaban rendah dan
sedikit menerima curah hujan. Pengeringan dengan memanfaatkan panas matahari
dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu:
1) pengeringan secara langsung atau pengeringan pada udara terbuka, yakni
bahan yang dikeringkan langsung menerima paparan panas matahari
contohnya penjemuran rak terbuka (penjemuran tradisional), penjemuran rak
tertutup (efek rumah kaca)
2) pengeringan tidak langsung (convective solar drying), yakni pengeringan
dengan mengalirkan udara panas ke produk yang dikeringkan atau secara tidak
langsung menerima paparan panas matahari
Energi matahari tiba di bumi dalam bentuk radiasi elektromagnetik. Nilai
rata–rata radiasi matahari diluar atmosfir bumi adalah 1353 W m-2 dinyatakan
sebagai konstanta matahari. Menurut (Vetri 2011) tidak seluruh energi dalam
konstanta matahari mencapai permukaan bumi, karena terdapat absorbsi yang kuat
dari karbondioksida dan uap air di atmosfer. Total energi yang sampai pada
permukaan horizontal di bumi adalah konstanta matahari dikurangi radiasi akibat
penyerapan dan pemantulan atmosfer sebelum mencapai bumi yang disebut
dengan radiasi matahari global.
Radiasi matahari global terdiri dari radiasi yang langsung memancar dari
matahari (direct radiation) dan radiasi sebaran yang dipencarkan oleh molekul
gas, debu dan uap air di atmosfer (diffuse radiation) dapat dilihat pada Gambar 6.

Radiasi sebaran

Radiasi langsung

Gambar 6. Radiasi langsung dan radiasi sebaran pada permukaan horizontal
(Vetri 2011)

11

Menurut (Arismunandar 1995) radiasi matahari yang sampai ke permukaan
bumi telah mengalami perubahan intensitas akibat penghamburan antara molekul–
molekul udara, nitrogen dan oksigen, aerosol, uap air dan debu dan partikel–
partikel lain. Penghamburan radiasi ini menyebabkan langit tampak biru pada hari
cerah. Radiasi yang sudah mengalami penghamburan, mencapai permukaan bumi
disebut dengan radiasi difusi (radiasi langit). Apabila radiasi matahari tidak
mengalami penghamburan oleh atmosfer maka radiasi sampai ke permukaan
sebagai radiasi langsung (beam radiation).
Radiasi matahari yang menimpa permukaan bumi tergantung dari kadar
debu dan zat pencemar lainnya dalam atmosfer. Energi matahari yang maksimum
akan mencapai permukaan bumi bila berkas sinar itu langsung menimpa
permukaan bumi, karena terdapat bidang pandang yang lebih luas terhadap fluks
matahari yang datang dan berkas menempuh jarak yang lebih pendek di atmosfer
sehingga mengalami penyerapan lebih sedikit daripada jika sudut timpanya miring
terhadap normal. Muhiddin (2003) menyatakan bahwa faktor penentu tinggi
rendahnya intensitas radiasi matahari antara lain perubahan iklim dan cuaca,
waktu dalam hari dan sudut datang sinar matahari pada permukaan penerimaan.
Abdullah (1995) menyatakan bahwa besarnya intensitas radiasi matahari akan
tergantung pada kecerahan atmosfer dimana intensitas akan berkurang bila langit
berawan dan tidak jernih. Intensitas radiasi matahari sangat tergantung dari
kondisi atmosfer, saat dalam tahun dan sudut timpa (angle of incidence) sinar
matahari di permukaan bumi.
Intensitas radiasi matahari pada kondisi cerah akan bertambah dari pagi hari
sejak matahari terbit sampai siang pada kondisi puncak dan akan menurun seiring
terbenamnya matahari di sore hari. Intensitas radiasi matahari rata–rata yang
diterima selama satu jam dinyatakan dengan I (insolasi matahari) dengan satuan
W m-2. Radiasi matahari sampai ke bumi dengan cara sebagai berikut:
- diserap oleh aerosol dan awan di atmosfer bumi, yang akhirnya menjadi panas
sehingga akan menaikkan suhu gas–gas dan aerosol
- dipancarkan kembali oleh lapisan atmosfer dan disebarkan ke segala penjuru,
dimana sebagian radiasi ada yang kembali ke angkasa dan sebagian lagi
sampai ke permukaan bumi
Perbedaan penerimaan radiasi matahari antar tempat di permukaan bumi
akan menciptakan pola angin yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kondisi
curah hujan, suhu dan kelembaban nisbi udara.
Suhu
Suhu merupakan derajat panas atau dingin suatu benda yang dinyatakan
sebagai energi kinetis rata–rata suatu benda. Perbedaan suhu bahan dengan suhu
lingkungan merupakan faktor pendorong pindah panas dari udara ke bahan.
Adanya panas yang diberikan pada bahan, menyebabkan tekanan uap air di
permukaan bahan menjadi lebih besar daripada tekanan uap air di udara. Semakin
besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan yang dikeringkan
maka semakin cepat pindah panas ke bahan dan semakin cepat pula penguapan air
dari bahan. Desroiser (1998) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu maka
semakin besar energi panas yang dibawa udara akibatnya jumlah massa cairan
yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan semakin banyak.

12

Proses pengeringan kandungan air yang dikeluarkan berupa uap air. Uap air
tersebut harus segera dikeluarkan dari atmosfer di sekitar bahan yang dikeringkan,
jika tidak segera keluar udara di sekitar bahan akan menjadi jenuh oleh uap air
sehingga akan memperlambat penguapan (Estiasih dan Ahmadi 2009).
Kelembaban Relatif (RH)
Kelembaban relatif udara (RH) menunjukkan kemampuan udara untuk
menyerap air, yang akan berpengaruh terhadap pemindahan uap air dari bahan ke
permukaan bahan yang dikeringkan. Proses pengeringan akan berlangsung dengan
baik apabila sirkulasi udara atau pergerakan udara disekitarnya juga baik.
RH yang rendah akan menyebabkan perbedaan tekanan parsial uap air di
permukaan bahan dengan udara disekitarnya, akibatnya massa uap air dari bahan
ke lingkungan juga akan semakin meningkat. Semakin rendah RH maka
kemampuannya dalam menyerap uap air akan semakin besar, sebaliknya semakin
tinggi RH maka kemampuan dalam menyerap uap air juga akan semakin kecil
(Widyotomo dan Muloto 2005). Pada RH yang tinggi, perbedaan tekanan uap air
di dalam dan diluar bahan kecil sehingga pemindahan uap air dari dalam bahan
keluar menjadi terhambat.
Kelembaban udara dapat menurunkan suhu dengan cara menyerap atau
memantulkan, sekurang-kurangnya setelah radiasi matahari gelombang pendek
yang menuju permukaan bumi. Kelembaban juga menahan keluarnya radiasi
matahari gelombang panjang dari permukaan bumi pada waktu siang dan malam
(Asdak 1995). Kelembaban berkurang disebabkan oleh perbedaan tekanan uap
antara permukaan bahan dan lingkungan.
Suhu dan RH akan mempengaruhi laju dan periode pengeringan. Semakin
tinggi suhu pengeringan pada RH yang konstan maka waktu pengeringan akan
semakin pendek, sebaliknya semakin tinggi RH pada suhu yang konstan maka
waktu pengeringan akan semakin panjang (Sigge et al. 1998).
Kecepatan Angin
Angin merupakan udara yang bergerak baik secara vertikal maupun
horizontal yang terjadi secara bersamaan. Kecepatan angin merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi proses pengeringan. Angin berfungsi memindahkan
uap air yang terlepas dari bahan ke lingkungan, sehingga penguapan dapat
berlangsung lebih cepat. Menurut (Taib et al. 1988) menyatakan bahwa bila udara
tidak mengalir maka kandungan uap air di sekitar bahan yang dikeringkan
menjadi jenuh akibatnya laju pengeringan menjadi lambat. Sebaliknya jika
kecepatan aliran udara semakin tinggi maka massa uap air yang dipindahkan dari
bahan ke atmosfer menjadi lebih cepat.
Semakin tinggi suhu maka kelembaban relatif akan turun, sedangkan
tekanan uap jenuhnya akan naik (Nelwan 1997). Jika kecepatan aliran udara tinggi
maka semakin cepat massa uap air jenuh yang dipindahkan dari bahan ke
lingkungan. Gerakan angin dipengaruhi oleh besarnya massa udara yang berpusat
di beberapa tempat dan menyebar di tempat lain. Kecepatan angin yang tinggi
akan mempengaruhi penurunan kelembaban, karena semakin tinggi kecepatan
angin akan menyebabkan semakin besar kemampuan udara untuk berdifusi ke
dalam pori–pori bahan. Terjadinya difusi panas dari udara ke dalam bahan akan

13

meningkatkan suhu molekul air sehingga tekanan uap air di dalam molekul
meningkat dan air yang berada di bahan mudah keluar (Dobry et al. 2009).
Ketebalan/Jarak Penjemuran
Sifat dan ukuran bahan yang dikeringkan akan mempengaruhi kecepatan
pengeringan. Peristiwa lepasnya molekul air dari permukaan tergantung dari
bentuk dan luas permukaan bidang jemur. Wirakartakusuma (1992) menyatakan
bahwa jika dua bahan dengan ukuran dan bentuk yang sama dikeringkan pada
kondisi yang sama, maka kedua bahan tersebut akan kehilangan air dengan
kecepatan yang sama pada awal pengeringan. Kecepatan pengeringan lempengan
basah yang tipis akan berbanding terbalik dengan kuadrat ketebalannya. Oleh
karena itu lama pengeringan dapat dipersingkat dengan pengurangan ukuran
bahan yang dikeringkan.
Penjemuran dengan menggunakan metode para–para dan metode gantung
perlu diatur ketebalan dan jaraknya. Ketebalan dan jarak penjemuran rumput laut
berhubungan dengan kecepatan laju pengeringan bahan menjadi kering dalam
menerima paparan sinar matahari dan sirkulasi udara dalam membawa uap air
jenuh. Rumput laut yang dijemur dengan ketebalan yang minimal (tipis) akan
menerima paparan panas lebih luas sehingga mengurangi jarak dimana massa air
harus keluar ke permukaan bahan. Sebaliknya lapisan penjemuran yang terlalu
tebal, membutuhkan waktu lebih lama untuk menjadi kering.
Fuadi (1999) menyatakan bahwa kecepatan penurunan uap air dipengaruhi
oleh luas permukaan bahan, jenis bahan dan ketebalan bahan yang langsung
bersinggungan dengan udara. Lapisan tebal memungkinkan terjadinya penguapan
berlangsung lebih lambat, karena massa air dibagian tengah membutuhkan waktu
lebih lama untuk sampai ke permukaan, pergerakan udara yang tidak merata akan
terakumulasi di bagian tengah tumpukan bahan sehingga pengeringan menjadi
tidak merata.
Jarak penjemuran yang terlalu rapat juga memungkinkan bahan yang
dikeringkan tidak merata menerima paparan sinar matahari dan terjadinya
sirkulasi udara untuk membawa uap air jenuh tidak dapat berlangsung dengan
optimal. Sehingga udara panas lambat untuk sampai ke bahan, udara lembab
dipermukaan bahan menjadi lambat digantikan udara kering, daya tampung uap
air di udara menurun serta memungkinkan penguapan berlangsung lebih lambat.
Sebaliknya rumput laut yang dijemur dengan ketebalan terlalu tipis dan jarak yang
terlalu renggang menjadi lebih mudah kering dan terbakar sinar matahari,
komposisi kimia yang terkandung didalamnya menjadi rusak dan berwarna gelap.
Warna gelap rumput laut yang telah kering akan menurunkan mutu fisik yakni
akan menghasilkan tepung karagenan yang berwarna gelap.
Kadar Kotoran
Kotoran atau benda asing adalah jenis–jenis kotoran yang terbawa atau
melekat selama proses penjemuran rumput laut baik yang sengaja maupun tidak
sengaja. Kadar kotoran termasuk salah satu persyaratan mutu. Berdasarkan SNI
01–2690 (1992) tentang rumput laut kering jenis Eucheuma cottonii sp,
kandungan benda asing maksimal 5%. Menurut Anggadireja (2000) yang

14

termasuk kadar kotoran adalah sampah, potongan kayu, karang pasir, termasuk
jenis rumput laut lainnya.
Penanganan pascapanen yang tidak tepat seperti memanen rumput laut
langsung ditarik dari dasar perairan dan membawanya tanpa menggunakan
keranjang atau jaring dapat mengakibatkan kotoran mudah melekat. Cara–cara
penjemuran di jalanan sekitar rumah dan tempat–tempat yang tidak memadai
tanpa menggunakan alas jemur akan memudahkan terjadinya kontaminasi kotoran
dan benda asing.
Kadar kekeringan yang tidak optimal ketika melakukan penjemuran juga
dapat menyebabkan kotoran seperti pasir menjadi mudah menempel. Mubarak
(1987) menyatakan bahwa kotoran yang melekat pada rumput laut disebabkan
perawatan saat budidaya dan penanganan pascapanen yang kurang tepat. Semakin
tinggi kadar kotoran rumput laut kering akan dapat mengurangi nilai jual produk,
karena pabrik akan membutuhkan biaya yang lebih besar untuk membersihkan
kotoran-kotoran yang menempel.
Uji Organoleptik
Mutu fisik merupakan atribut akhir dari rumput laut kering yang digunakan
untuk menentukan kualitas produk. Mutu fisik rumput laut kering dilihat secara
visual dari:
1. Kenampakan (kebersihan dan warna).
Kotoran atau benda asing adalah jenis–jenis kotoran yang terbawa selama
proses pengeringan diantaranya pasir, batu, tali rafia bekas ikatan rumput laut,
karang. Kenampakan mutu fisik rumput laut kering yang lain adalah warna.
Warna dari suatu rumput laut kering sangat bervariasi, tergantung dari
beberapa faktor diantaranya arus dan kesuburan dari suatu perairan, tingkat
kecerahan air laut dan suhu, asal bibit, metode penanaman dan metode
penjemuran yang dilakukan.
2. Tekstur
Tekstur rumput laut kering berkaitan dengan keliatan dan kekerasan dari
hasil penjemuran yang dilakukan. Rumput laut kering yang liat dan keras
karena kandungan seratnya yang tinggi. Proses pengeringan yang optimal
akan menghasilkan rumput laut kering liat yang tidak mudah dipatahkan
antara thalus–thalusnya, bila dipegang akan terasa kaku dan agak sakit di
tangan. Rumput laut yang masih banyak mengandung kadar air (> 35%) akan
terasa lembab dan thalus–thalusnya mudah sekali dipatahkan.
3. Bau (spesifik bau rumput laut)
Bau yang diharapkan pada rumput laut kering adalah bau alamiah rumput
laut, bukan bau asing atau bau yang menyengat tetapi bau rumput laut yang
khas/alamiah amis air laut. Rumput laut kering akan menghasilkan spesifik
bau rumput laut yang sangat jelas, tidak berbau campuran larutan lain seperti
kaporit (yang biasa digunakan petani untuk memutihkan warna rumput laut
yang terlanjur berwarna hitam), alkali dan campuran yang lain.

15

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Mei 2013 di
Tablolong Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemilihan lokasi
berdasarkan pertimbangan bahwa perairan Tablolong merupakan salah satu lokasi
yang banyak membudidayakan rumput laut Eucheuma cottonii sp. Peta lokasi
penelitian dapat dilihat pada (Lampiran 1).
Parameter pendukung dianalisis di Laboratorium Kimia, Fakultas Sains dan
Teknik Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah pyranometer, termometer, anemometer digital,
timbangan, drying oven, cawan, penjepit cawan dan desikator. Bahan yang
digunakan adalah rumput laut jenis Eucheuma cottonii sp, dan bahan tambahan
lain seperti tali, waring, jangkar, bambu dan terpal.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahap yakni budidaya rumput laut
Eucheuma Cottonii sp, pemanenan, pengeringan dan uji organoleptik.
Budidaya Rumput Laut Eucheuma Cottonii sp
Tahapan budidaya rumput laut Eucheuma cottonii sp dilakukan untuk
mendapatkan umur panen yang diinginkan yakni umur panen 35 hari, 45 hari dan
55 hari pada waktu yang bersamaan. Metode yang digunakan untuk menanam
rumput laut adalah metode tali panjang (long line method), dimana dalam metoda
ini menggunakan sejumlah tali yang terdiri atas tali induk atau tali utama
(berdiameter 8 mm), tali ris atau tali rentang (berdiameter 3.5 – 4 mm) dan tali
pengikat (berdiameter 1.5 – 2 mm). Selain itu dalam metode ini dibutuhkan
beberapa pelampung dan jangkar.
Bagan untuk budidaya rumput laut ini berbentuk empat persegi panjang
yang dibuat dengan menggunakan tali induk/utama dimana untuk setiap sudut
bagan dipasang dengan empat buah jangkar dan satu buah pelampung utama.
Antara tali rentang satu dengan tali rentang lainnya diberi jarak 1 m, dan di
sepanjang tali rentang dipasang pelampung tambahan dengan jarak 2.5 m. Secara
deskripsi konstruksi metode long line dilihat pada (Gambar 7).

16

Gambar 7. Kontruksi penanaman rumput laut
Bibit yang digunakan untuk budidaya mempunyai kualitas yang baik seperti
thalus yang masih muda dan segar, berwarna cerah, keras, tidak layu, memiliki
cabang yang banyak/rimbun, berujung agak runcing serta tidak terdapat bercak
atau terkelupas. Thalus dengan berat masing-masing 3 gram diikatkan pada tali ris
dengan menggunakan tali raf