Peranan Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) Dalam Menjaga Kualitas Air Pada Karamba Jaring Apung Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

(1)

PERANAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DALAM

MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING

APUNG KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

T E S I S

Oleh

KASTURI MARDI SUPRIHANTO

077004010/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

PERANAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DALAM

MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING

APUNG KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

KASTURI MARDI SUPRIHANTO

077004010/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : PERANAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa)

DALAM MENJAGA KUALITAS AIR PADA

KARAMBA JARING APUNG KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

Nama Mahasiswa : Kasturi Mardi Suprihanto

Nomor Pokok : 077004010

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S) Ketua

(Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc) Anggota

(Drs. Chairuddin, M.Sc) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 17 Februari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S Anggota : 1. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc

2. Drs. Chairuddin, M.Sc

3. Prof. Dr. Ir. Ternala A. Barus, M.Sc 4. Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, M.S


(5)

PERANAN RUMPUT LAUT (Glacilaria verrucosa) DALAM MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING APUNG

KERAPU MACAN (Epineplhus fuscoguttatus)

ABSTRAK

Adanya penelitian ini diharapkan untuk mengetahui apakah dengan adanya rumput laut jenis (Gracilaria verrucosa) dapat berperan dalam menjaga kualitas air pada karamba jaring apung ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap parameter fisika dan kimia perairan budidaya yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada ikan budidaya. Penggunaan rumput laut (Gracilaria verrucosa) sebagai biofilter untuk menjaga kualitas air untuk budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah diteliti. Penelitian dilaksanakan dari 6 September 2010 sampai dengan 10 Nopember 2010 di tambak UD. Sundoro, Belawan, Sumatera Utara sedangkan penelitian kualitas air dilakukan di Laboratotium Pra Panen Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan membandingkan sifat fisika, kimia perairan tambak dan tingkat kelangsungan hidup dari ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) pada sistem budidaya monokultur (kontrol) dengan sistem budidaya polikultur (perlakuan). Adapun dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada parameter kekeruhan, kecerahan, oksigen terlarut, ammonia, nitrit, pH, fosfat dan besi berbeda nyata, sedangkan parameter suhu, Salinitas dan nitrat berbeda tidak nyata, selain itu juga rumput laut jenis Gracilaria verrucosa mengalami pertambahan berat sebesar 31,2 gram atau 31,2% selama 70 hari pemeliharaan dan rumput laut jenis Glacilaria verrucosa, penambahan kandungan nitrogen sebesar 0,04 ppm (36%), fosfor 0,05 ppm (25%), yang mempunyai arti bahwa rumput laut menggunakan nitrat, fosfat sebagai nutrien/ makanan untuk pertumbuhannya. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada kontrol sebesar 55% dan pada perlakuan sebesar 72%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa petak perlakuan lebih baik dan dapat menjaga kualitas air jika dibandingkan dengan petak kontrol baik dari aspek fisika air, kimia air maupun biologi (komoditas yang dibudidayakan).


(6)

THE ROLE OF SEAWEED (Gracilaria verrucosa) IN KEEPING THE WATER QUALITY IN THE FLOATING NET FISH RAISING OF THE TIGER

GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRACT

This research is expected to notice whether the seaweed of Gracilaria verrucosa can have a role in keeping the water quality in the floating net fish raising of tiger grouper of Epinephelus fuscoguttatus to physics and chemistry parameter of waters cultivationwhich finally will influence the survival rate on fish raised. The use of seaweed (Gracilaria verrucosa) as biofilter in maintaining water quality for fishery of tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) has been studied. The research was carried out from September 6th, 2010 up to November 10th, 2010 in the fishpond of UD. Sundoro, Belawan, North Sumatra Province. Meanwhile, the study of water quality was done in Laboratory of Pra Panen Naval Service and Fishery of North Sumatra.The methodology of this research is descriptive and it compares the physic characteristics, chemical fishpond waters and the survival rate of the tiger grouper Epinephelus fuscoguttatus on the cultivation system of monoculture as a control and polyculture cultivation system as a treatment. From the result of the research, it can be comprehended that parameter of turbidity, brightness, dissolved oxygen, ammonia, nitrite, pH, fosfate, and iron, there is clear difference, meanwhile on the parameter of temperature, salinity, and nitrate, there is no clear difference, instead of that the Gracilaria verrucosa seaweed grows 31.2 grams or 31.2% during 70 days of treatment and Gracilaria verrucosa seaweed gets addition of nitrogen 0.04 ppm (36%) and fosfore 0.05 ppm (25%), which means that seaweed consumes nitrate and fosfate as nutrient for its growth, meanwhile the survival rate on the system of monoculture cultivation is 55% and on the polyculture cultivation is 72%. From this research, it can be concluded that polyculture cultivation system is better and it can keep the stability of water quality compared with monoculture cultivation system either from the aspects of physical water, chemical water or biology (commodity cultivated).


(7)

KATA PENGANTAR

Penulis senantiasa bersyukur kehadirat Allah SWT, atas selesainya tesis ini. Selesainya tesis ini merupakan karunia bagi penulis melalui kerja keras, pengorbanan dan dukungan doa, motivasi dan material dari berbagai pihak.

Oleh karenanya penulis menghaturkan terima kasih secara khusus kepada

yang terhormat Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, Drs. Chairuddin, M.Sc, yang telah banyak memberikan motivasi dan bimbingan

dalam penyusunan tesis ini dengan sabar dan bijaksana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana USU dan Ketua Program Bidang Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi ini.

2. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan rekomendasi tugas belajar;

3. Istri dan anak-anakku terkasih, Yunik Supiherti, Erynata Puja Dharmawan Kasturi, Nikenada Wildha Oktavia Kasturi, Najwa Faranaiga Assyabina Kasturi yang telah mendukung sepenuhnya, Ayahanda Almarhum S. Tuwuh dan Ibunda tercinta Kasminah yang telah membesarkan ananda dengan penuh perjuangan dan kesabaran yang tinggi serta Saudaraku di mana pun berada yang terus memberikan motivasi demi selesainya tesis ini.

4. Bapak Efendi dan Sdr. Fredy serta rekan di tambak UD. Sundoro yang telah berkenan menyediakan sarana dan prasarana sehingga penelitian dapat terlaksana.

5. Rekan-rekan mahasiswa S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU.


(8)

6. Rekan-rekan pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara dan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Di dalam tesis ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, meskipun telah diupayakan dengan cermat dan teliti. Oleh karena itu penulis akan berterima kasih apabila pembaca berkenan memberi saran dan koreksi membangun demi sempurnanya tesis ini.

Kendatipun disadari masih banyak kekurangan di dalam tesis ini penulis sangat berharap semoga penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan dapat bermanfaat.

Medan, Februari 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Temanggung Jawa Tengah, pada tanggal 20 Maret 1964, penulis merupakan anak ke 4 dari 7 bersaudara sebagai putera dari Ayahanda Alm. S. Tuwuh dan Ibunda Kasminah. Penulis menikah dengan Yunik Supiherti dan telah dikarunai 3 (tiga) orang anak.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut: 1. Tahun 1970-1975, menempuh pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Tomang

Ancak Pagi, Jakarta Barat.

2. Tahun 1976 -1979, menempuh pendidikan tingkat pertama di SMP Negeri XVI, Jakarta Selatan.

3. Tahun 1979-1982, menempuh pendidikan tingkat atas di SMA Negeri XXXII, Jakarta Selatan.

4. Tahun 1983-1986, menempuh pendidikan D-III Perikanan di Akademi Usaha Perikanan, Jakarta.

5. Tahun 1994-1995, menempuh Pendidikan D-IV Perikanan di Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta.

6. Tahun 2007, memasuki Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Penulis pada tahun 1986-1989 bekerja pada PT. Bonecom di Sulawesi Selatan pada Divisi Penelitian dan Pengembangan, pada tahun 1989 sampai dengan saat ini sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara dan ditugaskan sebagai Kepala Seksi Budidaya Air Payau.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Hipotesis Penelitian ... 5

1.5 Kerangka Pikir Penelitian ... 6

1.6 Manfaat Penelitian... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Peranan Rumput Laut dalam Tambak dengan Sistem Polikultur ... 7

2.2 Biologi dan Taksonomi Rumput Laut... 8

2.3 Reproduksi Rumput Laut ... 10

2.4 Parameter Kualitas Air untuk Rumput Laut ... 11

2.5 Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ... 13

2.6 Kualitas Air Bagi Kerapu Macan ... 15

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 18

3.1 Tempat dan Waktu ... 18

3.1.1 Tempat ... 18

3.1.2 Waktu ... 18

3.1.3 Bahan dan Alat Penelitian ... 18


(11)

3.2.1 Prosedur Penelitian ... 20

3.2.1.1 Persiapan lahan ... 21

3.2.1.2 Penanaman rumput laut dan penebaran ikan Kerapu Macan ... 22

3.2.1.3 Operasional budidaya ... 25

3.2.1.4 Monitoring kualitas air dan tingkat kelangsungan hidup ... 32

3.3 Analisis Data ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Fisika Air ... 35

4.1.1 Suhu ... 35

4.1.2 Kekeruhan... 37

4.1.3 Kecerahan ... 38

4.2 Kimia Air ... 40

4.2.1 Oksigen Terlarut ... 40

4.2.2 Ammonia ... 42

4.2.3 Nitrit ... 44

4.2.4 Nitrat ... 47

4.2.5 pH (Derajat Keasaman) ... 49

4.2.6 Salinitas ... 51

4.2.7 Fosfat ... 52

4.2.8 Kandungan Besi... 54

4.3 Biologi... 56

4.3.1 Penambahan Berat Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) ... 56

4.3.2 Kandungan Nitrogen dalam Rumput Laut ... 57

4.3.3 Kandungan Fosfor dalam Rumput Laut ... 58

4.3.4 Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

5.1 Kesimpulan ... 62

5.2 Saran ... 63


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Bahan dan Alat Penelitian Sesuai Jenis Parameter Kualitas Air ... 19 2. Jenis-Jenis Ikan Rucah yang Diberikan pada Benih ... 27 3. Tingkat Kelangsungan Hidup (Survivall Rate) Ikan Kerapu Macan


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 6

2. Gracilaria verrucosa ... 9

3. Bentuk Tubuh (Morfologi) Ikan Kerapu Macan ... 15

4. Persiapan Bibit Gracilaria verrucosa Sebagai Bahan Uji ... 20

5. Pengikatan Gracilaria verrucosa pada Tali Ris di Lahan Tambak ... 23

6. Pengukuran Benih Ikan Kerapu Macan Sebelum Ditebar... 24

7. Penghitungan dan Penebaran Bibit Ikan Kerapu Macan ... 24

8. Penebaran Benih Ikan Kerapu Macan ... 25

9. Proses Aklimatisasi ... 26

10. Ikan Rucah Sebagai Pakan ... 28

11. Perendaman dengan Air Laut yang Dicampur dengan Prefuran ... 31

12. Pengukuran pH Tanah. ... 32

13. Ukuran Panen Ikan Kerapu Macan ... 33

14. Fluktuasi Suhu pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 36

15. Fluktuasi Kekeruhan pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 38

16. Fluktuasi Kecerahan pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 40

17. Fluktuasi Oksigen Terlarut pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 41

18. Fluktuasi Ammonia pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 43


(14)

20. Fluktuasi Nitrat pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 48

21. Fluktuasi pH pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 50

22. Fluktuasi Salinitas pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 52

23. Fluktuasi Fosfat pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 53

24. Fluktuasi Kandungan Besi pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 55

25. Pertambahan Berat Rumput Laut Gracilaria verrucosa ... 57

26. Fluktuasi Kandungan Nitrat dalam Perairan dan Nitrogen dalam Rumput Laut ... 58

27. Fluktuasi Kandungan Fosfat dalam Perairan dan Fosfor dalam Rumput Laut ... 59


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Denah Lokasi Penelitian UD. Sundoro Belawan ... 68 2. a. Sumber Air Masuk

b. dan Saluran Air Buang ... 69 3. a. Pembersihan Keramba Jaring Apung

b. Penjemuran Keramba Jaring Apung ... 70 4. a. Benih Ikan Kerapu Macan Siap

b. Ikan Kerapu Macan Siap Ekspor ... 71 5. a. Palkah Sebagai Wadah Pengangkutan Ikan

b. Kapal Pengangkutan Benih Ikan Kerapu Macan ... 72 6. Hasil Analisis Parameter Suhu pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 73 7. Hasil Uji Statistik Parameter Suhu ... 74 8. Hasil Analisis Parameter Kekeruhan pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 75 9. Hasil Uji Statistik Parameter Kekeruhan ... 76 10. Hasil Analisis Parameter Kecerahan pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 77 11. Hasil Uji Statistik Parameter Kecerahan ... 78 12. Hasil Analisis Parameter Oksigen Terlarut pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 79 13. Hasil Uji Statistik Parameter Oksigen Terlarut ... 80 14. Hasil Analisis Parameter Ammonia pada Petak Kontrol


(16)

15. Hasil Uji Statistik Parameter Ammonia ... 82 16. Hasil Analisis Parameter Nitrit pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 83 17. Hasil Uji Statistik Parameter Nitrit ... 84 18. Hasil Analisis Parameter Nitrat pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 85 19. Hasil Uji Statistik Parameter Nitrat ... 86 20. Hasil Analisis Parameter pH pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 87 21. Hasil Uji Statistik Parameter pH ... 88 22. Hasil Analisis Parameter Salinitas pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 89 23. Hasil Uji Statistik Parameter Salinitas ... 90 24. Hasil Analisis Parameter Fosfat pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 91 25. Hasil Uji Statistik Parameter Fosfat ... 92 26. Hasil Analisis Parameter Besi pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 93 27. Hasil Uji Statistik Kandungan Parameter Besi ... 94 28. Data Pertumbuhan Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) ... 95 29. Hasil Analisis Kandungan Nitrogen pada

Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) ... 96 30. Hasil Analisis Kandungan Fosfor pada


(17)

PERANAN RUMPUT LAUT (Glacilaria verrucosa) DALAM MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING APUNG

KERAPU MACAN (Epineplhus fuscoguttatus)

ABSTRAK

Adanya penelitian ini diharapkan untuk mengetahui apakah dengan adanya rumput laut jenis (Gracilaria verrucosa) dapat berperan dalam menjaga kualitas air pada karamba jaring apung ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap parameter fisika dan kimia perairan budidaya yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada ikan budidaya. Penggunaan rumput laut (Gracilaria verrucosa) sebagai biofilter untuk menjaga kualitas air untuk budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah diteliti. Penelitian dilaksanakan dari 6 September 2010 sampai dengan 10 Nopember 2010 di tambak UD. Sundoro, Belawan, Sumatera Utara sedangkan penelitian kualitas air dilakukan di Laboratotium Pra Panen Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan membandingkan sifat fisika, kimia perairan tambak dan tingkat kelangsungan hidup dari ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) pada sistem budidaya monokultur (kontrol) dengan sistem budidaya polikultur (perlakuan). Adapun dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada parameter kekeruhan, kecerahan, oksigen terlarut, ammonia, nitrit, pH, fosfat dan besi berbeda nyata, sedangkan parameter suhu, Salinitas dan nitrat berbeda tidak nyata, selain itu juga rumput laut jenis Gracilaria verrucosa mengalami pertambahan berat sebesar 31,2 gram atau 31,2% selama 70 hari pemeliharaan dan rumput laut jenis Glacilaria verrucosa, penambahan kandungan nitrogen sebesar 0,04 ppm (36%), fosfor 0,05 ppm (25%), yang mempunyai arti bahwa rumput laut menggunakan nitrat, fosfat sebagai nutrien/ makanan untuk pertumbuhannya. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada kontrol sebesar 55% dan pada perlakuan sebesar 72%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa petak perlakuan lebih baik dan dapat menjaga kualitas air jika dibandingkan dengan petak kontrol baik dari aspek fisika air, kimia air maupun biologi (komoditas yang dibudidayakan).


(18)

THE ROLE OF SEAWEED (Gracilaria verrucosa) IN KEEPING THE WATER QUALITY IN THE FLOATING NET FISH RAISING OF THE TIGER

GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRACT

This research is expected to notice whether the seaweed of Gracilaria verrucosa can have a role in keeping the water quality in the floating net fish raising of tiger grouper of Epinephelus fuscoguttatus to physics and chemistry parameter of waters cultivationwhich finally will influence the survival rate on fish raised. The use of seaweed (Gracilaria verrucosa) as biofilter in maintaining water quality for fishery of tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) has been studied. The research was carried out from September 6th, 2010 up to November 10th, 2010 in the fishpond of UD. Sundoro, Belawan, North Sumatra Province. Meanwhile, the study of water quality was done in Laboratory of Pra Panen Naval Service and Fishery of North Sumatra.The methodology of this research is descriptive and it compares the physic characteristics, chemical fishpond waters and the survival rate of the tiger grouper Epinephelus fuscoguttatus on the cultivation system of monoculture as a control and polyculture cultivation system as a treatment. From the result of the research, it can be comprehended that parameter of turbidity, brightness, dissolved oxygen, ammonia, nitrite, pH, fosfate, and iron, there is clear difference, meanwhile on the parameter of temperature, salinity, and nitrate, there is no clear difference, instead of that the Gracilaria verrucosa seaweed grows 31.2 grams or 31.2% during 70 days of treatment and Gracilaria verrucosa seaweed gets addition of nitrogen 0.04 ppm (36%) and fosfore 0.05 ppm (25%), which means that seaweed consumes nitrate and fosfate as nutrient for its growth, meanwhile the survival rate on the system of monoculture cultivation is 55% and on the polyculture cultivation is 72%. From this research, it can be concluded that polyculture cultivation system is better and it can keep the stability of water quality compared with monoculture cultivation system either from the aspects of physical water, chemical water or biology (commodity cultivated).


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia hasil dari sektor budidaya baik udang maupun ikan telah memberikan konstribusi yang signifikan pada industri perikanan secara keseluruhan dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2008) dan Menteri Kelautan dan Perikanan pada permulaan tahun 2010 telah mencanangkan program peningkatan produksi dari sektor budidaya sebesar 353% sampai dengan tahun 2014. Adapun produksi budidaya ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus), di Sumatera Utara mampu mengekspor benih ikan Kerapu Macan ukuran 5 inchi sebesar 12.783.144 ekor pada tahun 2008, 4.695.000 ekor pada tahun 2009 dan 4.329.920 ekor ekspor sampai dengan 2 Desember 2010 (Departemen Kalautan dan Perikanan, Balai Karantina Ikan Polonia Medan, 2009) maupun ekspor ukuran ikan konsumsi (di atas 500 Gram) sebesar 1.422,1 ton pada tahun 2008, 975,6 ton pada tahun 2009 dan 912,1 ton ekspor sampai dengan September 2010 (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Utara, 2009).

Budidaya perairan merupakan bentuk pembudidayaan organisme air termasuk ikan, udang, kerang, kepiting dan tumbuhan air (FAO, 1991). Pada dasarnya budidaya cenderung menguasai ekosistem perairan agar memperoleh produksi yang lebih tinggi dengan menerapkan teknologi dan pengelolaannya secara terkontrol. Di Indonesia kegiatan budidaya perairan ini dibagi menjadi 3 kategori yaitu sistem


(20)

tradisional, semi intensif dan intensif (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2003).

Secara umum budidaya perairan dilakukan melalui ekosistem buatan manusia “Satuan Budidaya” yang biasanya terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik terdiri dari ikan dan udang yang dibudidayakan, organisme plankton, organisme lain yang hidup didalam air seperti: parasit, kompetititor, predator dan mikroba, sedangkan komponen abiotik terdiri dari bahan kimia dan fisika baik dari tanah maupun air sebagai media pembudidayaan. Seluruh komponen ekosistem pembudidayaan baik biotik maupun abiotik memberikan fungsi ekoligis dan hubungan satu sama lain.

Kegiatan budidaya ikan/udang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak tahun 60an, kemudian berkembang dan menjadi primadona pada era tahun 80an. Berkembangnya teknologi budidaya ikan/udang dari sistem tradisional menjadi sistem intensif bahkan super intensif mampu meningkatkan produksi, tetapi tanpa disadari juga merupakan bencana bagi kegiatan budidaya itu sendiri. Terbukti sejak tahun 90an budidaya ikan/udang mulai mengalami kegagalan demi kegagalan dengan berkurangnya fungsi imun terhadap penyakit, penurunan pembiakan dan peningkatan kematian pada biota budidaya sehingga mengakibatkan rendahnya volume panen. Jika disimak lebih dalam maka kegagalan tersebut disebabkan oleh terbatasnya daya tampung alam atau lingkungan budidaya untuk menampung beban limbah yang dihasilkan baik dari kegiatan eksternal maupun kegiatan internal budidaya.


(21)

Kegiatan internal budidaya inilah yang sering kali terlupakan oleh para praktisi (pembudidaya) padahal dalam sistem teknologi intensif/super intensif memerlukan input produksi yang sangat tinggi, seperti padat tebar tinggi, pakan tambahan, pupuk, obat-obatan dan lain-lain. Oleh karena itu pembudidaya seharusnya selalu memperhatikan dan memperhitungkan daya dukung lahan dan daya tampung lingkungan agar usaha budidaya ikan dapat berkelanjutan.

Selama ini limbah yang dihasilkan pada kegiatan operasional budidaya tambak selalu dibuang langsung ke badan air penerima tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Padahal dalam kegiatan operasional budidaya terdapat kandungan bahan organik yang sangat tinggi. Tingginya bahan organik ini terutama dihasilkan oleh pakan ikan udang yang tidak termakan (uneaten feed) berkisar antara 30-40% dan hasil ekskresi ikan/udang itu sendiri. Dengan sistem pembuangan air seperti ini, dapat diprediksi tingginya nilai BOD pada saluran efluent dan berdampak nyata pada kualitas perairan badan air penerima. dan akan menyebabkan penurunan kualitas linkungan baik di kolam/tambak sebagai media budidaya maupun di lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan limbah air dari sistem pembudidayaan mengalir langsung ke perairan badan air penerima.

Sejalan dengan tuntutan dunia, melalui gerakan ekolabel (keamanan terhadap lingkungan dan keamanan makanan) pada produk budidaya ikan/udang, kemudian pencapaian keberlanjutan produk (sustainable aquaculture) dan gerakan budidaya ikan/udang berwawasan lingkungan dengan melakukan teknologi yang ramah dan bertanggung jawab terhadap lingkungan (Gambar 1), maka sudah sepantasnya para


(22)

pembudidaya tambak memikirkan kembali tentang sistem pengelolaan limbah tambak ikan/udang yang dapat berdampak negatif terhadap kualitas perairan.

Salah satu upaya untuk mengatasi besarnya limbah buangan tambak adalah penggunaan sistem polikultur antara ikan/udang (Jones, 1999) dan organisme yang umumnya dikembangkan di air payau adalah biota budidaya (ikan/udang), tanaman air (ganggang laut), kerang. Tanaman air yang umum digunakan adalah rumput laut (makro alga) baik Eucheuma spp maupun Gracilaria spp. Oleh karena itu, dengan menerapkan teknologi budidaya yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sistem budidaya polikultur oleh pembudidaya ikan baik tradisional maupun intensif dengan menggunakan organisme penyaring (rumput laut) salah satu teknologi yang menjanjikan, selain akan berdampak ekonomi melalui peningkatan produksi panen.

Rumput laut yang ditanam dapat berfungsi sebagai biofilter yang dapat menyerap bahan organik/nutrient yang dihasilkan dari sisa-sisa pakan maupun proses metabolisme biota air tambak serta rumput laut dapat sebagai hasil sampingan secara ekonomi. Dalam rangka menciptakan tambak ramah lingkungan yang berkelanjutan dan upaya meminimasi limbah proses budidaya tambak, maka penulis tertarik untuk meneliti peranan rumput laut (Gracilaria verrucosa) pada kestabilan kualitas air dan tingkat kehidupan Kerapu Macan dalam karamba jaring apung di tambak. Lebih lanjut sistem pembudidaya dengan sistem polikultur mempunyai nilai lebih didalam mengurangi polusi bahan organik dan anorganik serta secara ekonomis dapat menghasilkan pendapatan tambahan dari organisme sekunder bahkan tersier yang dibudidayakan seperti ganggang laut dan kerang.


(23)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan berbagai permasalahan tentang fungsi ekologis penggunaan rumput laut dalam pembesaran ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebagai berikut:

a. Apakah terdapat perbedaan kualitas air di tambak yang menggunakan rumput laut (perlakuan) dengan yang tidak menggunakan rumput laut (kontrol)?

b. Bagaimana hubungan antara keberadaan rumput laut (perlakuan) dengan tingkat kehidupan ikan Kerapu Macan di tambak?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui perbedaan kualitas air di tambak yang menggunakan rumput laut (perlakuan) dengan yang tidak menggunakan rumput laut (kontrol).

b.Mengkaji hubungan antara keberadaan rumput laut (perlakuan) dengan tingkat kehidupan (survival rate) ikan Kerapu Macan di tambak.

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

a. Terdapat perbedaan kualitas air di tambak yang menggunakan rumput laut (perlakuan) dengan yang tidak menggunakan rumput laut (kontrol).

b. Keberadaan rumput laut (perlakuan) mampu meningkatkan tingkat kehidupan ikan Kerapu Macan.


(24)

1.5 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini:

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

a. Terciptanya tambak yang ramah lingkungan dan usaha yang berkelanjutan. b. Berkurangnya limbah dari proses kegiatan budidaya tambak ikan Kerapu

Macan.

PENGGUNAAN RUMPUT LAUT SEBAGAI BIOFILTER

SUSTAINABILITY TRACE ABILITY

FOOD SAFETY

PENGELOLAANKUALITAS AIR

MEMINIMALISASI LIMBAH BUDIDAYA PENGELOLAAN PAKAN

ISU PRODUKSI BUDIDAYA TAMBAK

 TAMBAK RAMAH LINGKUNGAN  PENINGKATAN PRODUKTIVITAS  PENINGKATAN MUTU KUALITAS AIR


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peranan Rumput Laut dalam Tambak dengan Sistem Polikultur

Menurut Djajadiredja dan Yunus dalam Ditjen Perikanan Budidaya (2005), budidaya Gracillaria verrucosa, dan jenis rumput laut lainnya, dapat dilakukan secara monokultur dan polikultur bersama ikan (finfish) di tambak. Dengan menggunakan sistem budidaya polikultur dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan tambak dan pendapatan pembudidaya secara berkesinambungan. Budidaya ini didasari atas prinsip keseimbangan alam. Rumput laut berfungsi sebagai penghasil oksigen dan tempat berlindung bagi ikan-ikan dan udang dari predator dan sebagai biological filter. Ikan dan udang membuang kotoran yang dapat dipakai sebagai nutrien oleh rumput laut. Rumput laut menyerap CO2 terlarut hasil pernapasan ikan dan udang. Secara umum, kehadiran rumput laut dalam tambak udang/bandeng berdampak positif.

Selain itu juga menurut Izzati (2004), rumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan yang juga berperan sebagai biofilter, karena dalam pertumbuhannya rumput laut menyerap nutrien (amonia, nitrat, dan nitrit) dari media perairan secara difusi melalui dinding thallusnya. Fungsi biofilter pada kawasan tambak sangat diperlukan terutama yang sumber airnya sangat keruh karena lumpur atau partikel lainnya. Kegiatan budidaya yang menggunakan biofiltrasi, kandungan bahan organik dan amonia di dalam petak pemeliharaan relatif lebih rendah dibandingkan dengan tambak pemeliharaan yang tidak menggunakan sistem


(26)

biofiltrasi. Hal ini disebabkan karena rumput laut mampu menyerap ion-ion amonia, nitrat dan phospat. Selain itu rumput laut juga mempunyai kemampuan mengabsorbsi unsur atau senyawa lainnya seperti logam berat. Dijelaskan pula oleh Supito et al., (2005) dalam Ditjen Perikanan Budidaya (2005), bahwa rumput laut sebagai tumbuhan air dapat menyerap degradasi bahan organik air yang akan diperlukan untuk pertumbuhan, sehingga mengurangi resiko meningkatnya bahan organik air yang akan dipergunakan untuk memelihara Udang Windu.

2.2 Biologi dan Taksonomi Rumput Laut

Salah satu sistem pengenalan suatu organisme adalah penamaan yang lebih dikenal dengan istilah taksonomi. Makrofitobentik merupakan sekumpulan tumbuhan alga yang hidup di perairan laut yang termasuk 3 divisio (filum), yaitu Rhodophyta, Chlorophyta, dan Phaeophyta. Urutan-urutan tingkat taksonomi dari pada algae menggunakan suatu aturan yang berlaku dan umum dipakai berdasarkan“The International Code of Botanical Nomenclatur” (Utrech, 1952).

Gracillaria verrucosa (Gambar 2) merupakan algae bentik yaitu algae yang tumbuh menancap atau melekat pada subtrat. Bentuk thallus menyerupai silinder,

licin, berwarna coklat atau kuning hijau, percabangan tidak beraturan, memusat di bagian pangkal, cabang-cabang lateral memanjang menyerupai rambut dengan


(27)

Rumput laut Gr et al., 1997), sebagai b Domain : Eukar (unranked) : Archa Phylum : Rhod Class : Florid Order : Gracil Family : Gracil Genus : Gracil Species : Gracil Duri-duri pad tersusun melingkari utama keluar saling b dan kedua tumbuh m

Gambar 2. Gracilaria verrucosa Gracilaria verrucosa. dapat diklasifikasikan ai berikut:

karyota chaeplastida

odophyta rideophyceae acillariales acillariaceae

acillaria Greville, 1830 acillaria verrucosa

ada thallus mirip seperti pada E. verrucosai ri thallus. Percabangan ke berbagai arah den g berdekatan di daerah basal (pangkal). Caba membentuk rumpun yang rimbun dengan cir

an Menurut (Stentoft,

sainosum tetapi tidak dengan batang-batang bang-cabang pertama ciri khusus mengarah


(28)

kearah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang ada yang memanjang dan melengkung (Ditjenkanbud, 2005).

2.3 Reproduksi Rumput Laut

Rumput laut mempunyai dua bentuk umum reproduksi, yaitu aseksual dan seksual. Produksi aseksual berupa pembentukan individu baru melalui perkembangan verrucosaora dan fragmentasi. Pembiakan dengan verrucosaora berupa gametatif tetraverrucosaora yang dihasilkan tetraverrucosaorofit. Tipe pembiakan ini terdapat pada kebanyakan rumput laut merah. Pada rumput laut multiselular (bersel banyak) atau digolongkan makroalgae, seperti Eucheuma, Gracillaria, Enteromorpha, Gelidium dan lain-lain, potongan thallus-nya mempunyai kemampuan untuk berkembang meneruskan pertumbuhan selanjutnya (Yulianda, 2003). Menurut Aslan (1991) pada tanaman rumput laut dikenal tiga macam pola reproduksi, yaitu: Reproduksi generatif (seksual), reproduksi Vegetatif (aseksual).

Reproduksi secara vegetasi menurut Meiyana et al., (2001), proses perbanyakan secara vegetatif berlangsung tanpa melalui perkawin an, setiap bagian cabang rumput laut yang dipotong akan tumbuh menjadi tanaman rumput laut yang mempunyai sifat seperti induknya, atau perkembangbiakannya bisa dilakukan dengan cara menstek cabang tanaman dengan syarat, potongan cabang-cabang rumput laut tersebut merupakan thallus yang muda, masih segar, berwarna cerah dan mempunyai percabangan yang banyak, tidak tercampur lumut atau kotoran, serta bebas atau terhindar dari penyakit. Dalam usaha budidaya rumput laut marga Gracilaria


(29)

verrucosa, umumnya dilakukan dengan penyetekan (pemotongan thallus) yang nantinya digunakan sebagai bibit untuk dikembangbiakan secara produktif. Rumpunan thallus algae dipotong dengan ukuran 30-150 g, untuk dijadikan bibit stek ini ditanam dengan mengikat pada tali-tali nilon atau pada tali utama (ris) di atas perairan dengan jarak tertentu. Pertumbuhan dapat dilihat dengan bertambah besarnya berat bibit tanaman rumput laut yang ditanam tersebut. Cepat atau lambat pertumbuhannya tergantung dari jenis rumput laut yang dibudidaya dan mutu lingkungan perairan tersebut.

2.4 Parameter Kualitas Air untuk Rumput Laut a. Suhu

Rumput laut memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis, karena itu rumput laut hanya dapat tumbuh pada perairan dengan kedalaman tertentu di mana sinar matahari dapat sampai ke dasar perairan. Puncak laju fotosintesis terjadi pada intensitas cahaya yang tinggi dengan suhu antara 20-28 ºC, namun masih ditemukan tumbuh pada suhu 31 ºC (Ismail, et al., 2002).

b. pH

Dalam memilih lokasi untuk budidaya Gracillaria verrucosa, harus memperhatikan faktor biologis, fisika dan kimiawi. Salah satu faktor kimiawi tersebut adalah pH sedangkan pH air yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 7-8 (Meiyana, et al., 2001).


(30)

c. Kedalaman Air

Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Gracilaria verrucosa, adalah 0,5-1,0 m pada waktu surut terendah (lokasi yang berarus kencang), untuk metode lepas dasar, dan 2-15 m untuk metode rakit apung, 5-20 m untuk metode long line dan sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari (Ditjenkanbud, 2006).

d. Kecerahan

Cahaya matahari adalah merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya matahari. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 m. Air yang keruh (biasanya mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Di samping itu kotoran dapat menutupi permukaan thallus dan menyebabkan thallus tersebut membusuk dan patah. Secara keseluruhan kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan rumput laut (Ditjenkanbud, 2006).

e. Salinitas

Rumput laut Gracilaria verrucosa, adalah rumput laut yang bersifat stenohaline. Ia tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik berkisar antara 15-30 ppt di mana kadar garam optimal adalah 20-25 ppt. Untuk


(31)

memperoleh perairan dengan kondisi salinitas tersebut harus dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai (Ditjenkanbud, 2006).

f. Kecepatan Arus

Menurut Ditjenkanbud (2006), rumput laut merupakan organisme yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan rumput laut. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil (Effendi, 2003). Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung dalam kondisi aerob. Oksidasi ammonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang mendapatkan energi dari proses kimiawi. Nitrat dan amonium adalah sumber utama nitrogen di perairan. Namun amonium lebih disukai oleh tumbuhan. Kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter. Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air. Arus dapat disebabkan oleh arus pasang surut, maupun karena angin dan ombak. Besarnya kecepatan arus yang baik antara 20-40 cm/detik. Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik adanya tumbuhan karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu arah.


(32)

2.5 Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

Penyebaran kerapu macan terbesar saat sekarang ini adalah Malaysia dengan asal benih dari Indonesia. Pasokan dari wilayah Sumatera Utara sendiri bisa mencapai sekitar lima belas juta ekor benih per tahun (Sisterkarolin, 2008). Sedangkan untuk ekverrucosaor ikan Kerapu ukuran konsumsi negara tujuan yang selama ini sebagai pasar adalah Hongkong, Jepang, Singapura, Malaysia, China.

Menurut Randall (1962) dalam Evalawati et al., (2001), klasifikasi ikan kerapu macan adalah sebagai berikut:

Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Class : Osteichtyes Sub class : Actinopterigi Ordo : Percomorphi Sub ordo : Percoidea Family : Serranidae Genus : Epinephelus

Species : Epinephelus fuscoguttatus

Kerapu Macan (Gambar 3) memiliki sirip dorsal (punggung), sirip anal (perut), sirip pektorial (sirip dada), sirip garis literal (gurat sisi) dan sirip caudal (ekor). Sirip dorsal memanjang hampir sepanjang bagian punggung, di mana jari-jari kerasnya memiliki jumlah yang sama dengan jari-jari lunaknya. Jumlah jari-jari adalah 13-15 buah. Sirip anal terdiri dari 3 buah jari-jari. Sedangkan jumlah jari-jari


(33)

di sirip ekor adalah 15-17 buah dan bercabang dengan jumlah 13-15 buah. Sisik yang menutupi seluruh permukaan tubuh terbentuk kecil, mengikat dengan bentuk sikloid. Warna dasar Kerapu Macan adalah coklat, dengan perut berwarna putih serta bercak hitam dan putih di sekujur tubuh yang tidak beraturan (Sudradjat, 2008).

Gambar 3. Bentuk Tubuh (Morfologi) Ikan Kerapu Macan

Ikan ini termasuk ikan pemakan aktif dan sensitif terhadap perubahan kualitas air yang fluktuatif, perlu cahaya tetapi tidak langsung dari matahari, hidup di daerah karang, berenang di dasar air dengan temperatur optimal 260 C, panjang rata-rata maksimal 90 cm (Burgess et al., 1990).

Penyebaran Kerapu Macan di Indonesia untuk pembenihan terbesar adalah di Bali dan Lampung. Wilayah lain seperti Aceh, Batam, Sulawesi Selatan dan

Sumatera Utara adalah merupakan tempat penggelondongan, sedangkan Sumatera Utara telah berhasil melakukan penggelondongan dengan ukuran 6-8 inci (Diskanla Sumut, 2008).


(34)

2.5 Kualitas Air Bagi Kerapu Macan

Menurut Chua dan Teng (1978), kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan Kerapu, seperti suhu berkisar antara 24 - 31ºC, salinitas antara 30-33 ppt, oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH berkisar antara 7,8 - 8,0. Sementara itu Suprakto dan Fahlivi (2007) melaporkan kualitas air pada lokasi budidaya, yaitu kecepatan arus 15-30 cm/detik, suhu 27-29ºC, salinitas 30-33 ppt, pH 8,0-8,2, oksigen >5 ppm dan kedalaman > 5 m. Kualitas perairan pada lokasi penangkapan di Tanimbar Utara, yaitu suhu 27,00-29,62 ºC, salinitas 34,259-34,351 ppt, oksigen terlarut 3,95-4,28 ml/l, nitrat 1,00-6,00 ìg.at/l dan fosfat berkisar 0,80-1,40 ìg.at/l (Langkosono, et al., 2003). Parameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu, seperti suhu berkisar antara 24-31 º C, salinitas 30-33 ppt, oksigen terlarut > 4,9 ppm, pH antara 7,8-8,0 (Yoshimitsu, et al.,1986).

Menurut Anggadiredja, et al., (2006), dari beberapa jenis marga Gracillaria, seperti Gracillaria chorda, G.tenuis tipitata, G.edulis, G.verrucosa, G. compressa, dan G. gigasi, jenis yang paling menonjol yaitu G. verrucosa karena kemampuannya beradaptasi dengan kisaran kondisi ekologis yang lebar di tambak, dan laju pertumbuhannya yang tinggi. Menurut Izzati (2004), Gracilaria verrucosa dapat meningkatkan kualitas air tambak dan produktivitas budidaya. Dikemukakan pula oleh Bagarinao (1984) dalam Ditjenkanbud (2005), keuntungan ekologis yang diperoleh dari beberapa sifat biologis biota polikultur tersebut akan dapat memperbaiki kualitas lingkungan tambak. Salah satunya adalah rumput laut dapat menyerap senyawa berbahaya bagi hewan air serta kelebihan nutrien sebagai hasil


(35)

dari degradasi bahan organik, sehingga mengurangi resiko terjadinya eutrofikasi akibat penguraian bahan organik yang kurang sempurna.

Budidaya sistem polikultur juga telah dibuktikan oleh Chung, et al., (1997) pada uji laboratorium, percobaan dengan akuarium (ikan dan sistem kultur rumput laut) menunjukkan bahwa Gracilaria bisa mengurangi kandungan nutrien secara efektif. Konsentrasi dari NH4+-N menurun dari 85.53% menjadi 69.45%, dan konsentrasi dari PO4-P berkurang dari 65.97% menjadi 26.74% di aquaria dengan Gracilaria setelah 23 hari dan 40 hari, berturut-turut. Hasil ini menunjukkan bahwa Gracilaria mempunyai potensi untuk mereduksi kelebihan nutrien di kawasan pantai, dan penanaman besar-besaran dari Gracilaria lemaneiformis merupakan cara yang efektif untuk mengendalikan eutrophication di perairan.


(36)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

3.1.1 Tempat

Penelitian dilaksanakan di lahan pertambakan milik UD. Sundoro di Desa Paluh Nona Kec. Medan Belawan Sumatera Utara. Pengujian parameter fisika dan kimia air dilakukan pada Laboratorium Pra Panen Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Sumatera Utara.

3.1.2 Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2010 hingga tanggal 10 November 2010.

3.1.3. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan alat yang digunakan dalam pengamatan adalah disesuaikan dengan jenis parameter pengamatan. Pada Tabel 1 disajikan bahan dan alat untuk pengujian parameter Fisika, Kimia dan Biologi Air.


(37)

Tabel 1. Bahan dan Alat Penelitian Sesuai Jenis Parameter Kualitas Air

No Parameter Bahan dan Alat

A Aspek Fisika 1 2 3 Suhu Kekeruhan Kecerahan Thermometer alcohol Turbidity meter Secchi disk

B Aspek Kimia

1 2 3 4 5 6 7 8 Oksigen terlarut Ammonia Nitrit Nitrat pH Salinitas Fosfat Besi DO meter

Spectroquan DR 890 colotrimeter Spectroquan DR 890 colotrimeter Spectroquan DR 890 colotrimeter pH Meter

Refraktometer

Spectroquan DR 890 colotrimeter Spectroquan DR 890 colotrimeter C Aspek Biologi

1 Biota yang dibudidayakan

a. Pertumbuhan Rumput laut nitrogen dan fosfor

b. Tingkat kelulusan hidup Ikan Kerapu

Spectroquan DR 890 colotrimeter, Timbangan

Hand Coloni Counter

3.2 Metode Pengumpulan Data

Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah: (1) kualitas air tambak; (2) Tingkat kehidupan ikan Kerapu Macan, dan (3) Pertumbuhan, kandungan nitrogen dan fosfor pada rumput laut jenis Gracilaria verrucosa (Gambar 4).


(38)

Gambar 4. Persiapan Bibit Gracilaria verrucosa Sebagai Bahan Uji

Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel masing-masing data tersebut akan diuraikan lebih lanjut pada sub bab. Namun secara umum untuk pengukuran kualitas air aspek fisika, kimia dan biologi akan dilakukan pengukuran per 5 (lima) hari selama penelitian berlangsung, sedangkan penghitungan tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate) ikan Kerapu Macan akan dilakukan penghitungan pada awal dan akhir penelitian.

3.2.1 Prosedur Penelitian

Tahapan dari kegiatan penelitian ini meliputi: persiapan lahan, penanaman rumput laut dan penebaran ikan, operasional budidaya, monitoring kualitas air dan panen. Akan digunakan 2 tambak yang akan digunakan dalam penelitian ini. Satu petak tambak akan digunakan sebagai petak perlakuan penggelondongan ikan Kerapu


(39)

Macan dengan rumput laut, sedangkan 1 petak tambak lainnya digunakan petak kontrol untuk penggelondongan ikan Kerapu Macan tanpa rumput laut.

3.2.1.1 Persiapan lahan

Persiapan lahan sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan dari perubahan (fluktuasi) parameter fisika dan kimia yang akan mengakibatkan ikan akan mudah terserang penyakit yang pada akhirnya akan menimbulkan kematian ikan Kerapu Macan yang dibudidayakan, adapun langkah-langkah yang dijalankan adalah sebagai berikut:

a. Pembersihan dasar tambak (pencucian) perlakuan dengan cara pengambilan lumpur yang mempunyai lumpur hitam dan menimbulkan bau yang menyengat (kandungan H2S tinggi) yang disebabkan sisa pakan yang menumpuk di 4 (empat) sudut tambak sebagai tempat yang disukai oleh bakteri dan virus yang merugikan budidaya.

b. Pengukuran pH tanah pada petak 3 (tiga) digunakan sebagai petak kontrol yang menghasilkan rataan sebesar 6,3 dan petak 4 (empat) digunakan sebagai petak perlakuan yang menghasilkan rataan sebesar 6,5 dari hasil tersebut dibutuhkan kapur sebanyak 400 Kg untuk petak kontrol dan 300 Kg pada petak perlakuan yang disebar secara merata keseluruh lahan tambak dan dilakukan penjemuran lahan tambak sekitar 7 (tujuh) hari, hal ini dilakukan agar kapur dapat terikat oleh tanah dan dapat menaikkan pH tanah pada petak kontrol maupun petak perlakuan sebesar 7,1.


(40)

c. Pemberantasan hama dan penyakit dengan cara pengisian air setinggi 5 Cm, pemberian saponin sebanyak 50 Kg pada petakan budidaya untuk mematikan hama ikan yang dapat sebagai pemangsa dan kompetitor pakan dari ikan budidaya dan pemberian kaporit 65% sebanyak 10 ppm pada petakan budidaya untuk menghindari penyaki berupa bakteri dan virus yang masih tertinggal pada perairan budidaya.

d. Persiapan media perairan budidaya dengan cara pengisian air secara perlahan setinggi 120 Cm, pemberian probiotik yang berisi bakteri yang menguntungkan untuk budidaya seperti Bacillus licheniformis, Bacillus subtilis, Saccharomyces cereviceea yang berfungsi sebagai pengurai bahan organik dari sisa pakan, plankton yang mati dan kotoran dan dapat menekan bakteri Vibrio sp dalam perairan budidaya dan bakteri Nitrosomonas, Nitrobacter yang dapat membantu proses penguraian ammonia menjadi nitrat dan nitrit pada perairan budidaya, e. Pemasangan karamba jaring apung sebanyak 40 (empat puluh) unit yang

mempunyai ukuran jaring 2,5 X 2,5X 4 meter pada masing-masing petakan dan penanaman rumput laut dengan metode long line pada petak perlakuan sebagai petakan yang digunakan sebagai budidaya dengan sistem polikultur.

3.2.1.2 Penanaman rumput laut dan penebaran ikan Kerapu Macan

Jenis rumput laut yang ditanam adalah Gracilaria verrucosa. Bibit Gracilaria verrucosa yang ditanam, ditimbang seberat 100 gram dan diikatkan pada tali ris dengan metode long line. Jarak tanam antar bibit adalah 50 cm, sedangkan jarak antara tali ris adalah 100 Cm (Gambar 5).


(41)

Gambar 5. Pengikatan Gracilaria verrucosa pada Tali Ris di Lahan Tambak Bibit Gracilaria verrucosa yang akan digunakan harus sehat, menurut Gavino C. Trono Jr. (1990), memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Bercabang banyak, rimbun dan elastis. b. Tidak terdapat bercak dan terkelupas. c. Warna spesifik cerah.

d. Thallus muda (umur 25-35 hari). e. Berat bibit 50-100 gram per rumpun.

Benih ikan Kerapu Macan yang ditebar berasal dari hasil pembenihan di Bali dan berukuran 7-8 Cm (Gambar 6). Adapun benih ikan Kerapu Macan sehat menurut Sunaryat (2004), dengan ciri sebagai berikut:

1. Warna ikan lebih cerah; 2. Tubuh tidak cacat;


(42)

4. Memiliki respon yang tinggi terhadap pakan yang diberikan.

Padat tebar yang digunakan pada masing-masing keramba jaring apung adalah 500 ekor/keramba dengan ukuran keramba sebesar 2,5 X 2,5 X 4 meter (Gambar 7).

Gambar 6. Pengukuran Benih Ikan Kerapu Macan Sebelum Ditebar


(43)

3.2.1.3 Operasional budidaya 1. Padat tebar

Padat tebar yang dilakukan dalam penggelondongan di lokasi penelitian adalah 500 ekor/keramba dengan ukuran ikan tebar antara 7-7,5 cm 3 (tiga) inchi (Gambar 8). Hal ini didasarkan dengan diketahuinya jumlah dan ukuran benih yang dipesan pada unit pembenihan rakyat yang telah dikembangkan oleh UD. Sundoro.

Penebaran benih dilakukan pada pagi hari tepatnya pada jam 07.00, sebelum dilakukan penebaran benih di dalam jaring, terlebih dahulu dilakukan penyesuaian terhadap lingkungan barunya (aklimatisasi). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Evalawati et al., (2001), yang menyatakan bahwa sebelum dilakukan penebaran benih, sebaiknya dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu karena adanya perbedaan suhu dan salinitas antara air yang berada di dalam kantong dengan air yang terdapat pada keramba.


(44)

Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam aklimatisasi yaitu dengan memasukkan kantong yang berisikan benih ke dalam jaring dan didiamkan selama ± 20 menit, kemudian karet pengikat dilepas dan secara perlahan air yang berada di luar kantong dimasukkan sedikit demi sedikit sampai kantong benih tersebut terisi dua kali lebih banyak sebelum dimasukkannya air dari jaring/luar kantong. Kantong yang berisikan benih dimiringkan hingga semua benih keluar dengan sendirinya, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tinggal et al., (2003). Salah satu proses aklimatisasi disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Proses Aklimatisasi 2. Pemberian pakan

Dalam frekuensi pemberian pakan di lokasi penelitian untuk pemeliharaan gelondongan ini dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari dan secara adlibitum (sekenyang-kenyangnya). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sunaryat (2004) yang menyatakan bahwa pakan diberikan 2 kali sehari untuk ukuran


(45)

penggelondongan dan dilakukan pemberian pakan secara adlibitum. Adapun jenis pakan yang akan diberikan pada benih yaitu pakan rucah (ikan non ekonomis penting). Hal ini dikarenakan ikan rucah memiliki harga yang relatif murah, namun memiliki nilai gizi yang masih mencukupi untuk benih kerapu macan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tinggal et al. (2003), yang menyatakan bahwa secara umum untuk jenis pakan yang diberikan pada ikan jenis kerapu berupa ikan rucah segar karena memiliki harga yang relatif lebih murah dan mempunyai nilai gizi yang cukup untuk ikan-ikan budidaya dan sesuai juga yang dikemukakan oleh Kast dan Rosenzweig dalam Komaruddin (1991) seperti yang terlihat pada Gambar 10, yang menyatakan bahwa dalam suatu kegiatan usaha perlu diadakan penekanan biaya. Adapun jenis ikan rucah yang diberikan pada benih Kerapu Macan terdiri dari beberapa jenis, seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis-jenis Ikan Rucah yang Diberikan pada Benih

No Nama Lokal Nama Latin

1 Ikan Gendang Saurida sp. 2 Ikan Merah/Jenggot Parupeneus sp. 3 Ikan Mata Besar Priachanthus sp.

4 Ikan Peperek Gazza minuta, Leiognauthus sp. 5 Ikan Tembang Clupea sp.


(46)

Gambar 10. Ikan Rucah Sebagai Pakan

Sebelum pemberian pakan dilakukan, pakan dibilas dengan air laut terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan pembuangan sisik kemudian pencincangan. Ukuran dalam pencincangan pakan ini disesuaikan dengan bukaan mulut benih, penyiapan pakan untuk diberikan pada benih dilakukan secara bersamaan untuk diberikan pada pagi dan sore hari. Setelah pakan siap, maka pakan yang akan diberikan pada sore hari dimasukkan pada box yang telah diberi es, agar pakan tersebut tetap segar sampai pada saat akan diberikan pada benih pada sore hari.

Teknik yang digunakan dalam pemberian pakan di lokasi penelitian yaitu dengan pemberian secara sedikit demi sedikit sampai pakan yang akan diberikan tersebut habis, hal ini dilakukan karena pakan merupakan salah satu faktor eksternal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan budidaya khususnya untuk Kerapu Macan, sebab pakan memiliki nilai konstribusi yang cukup besar (> 60%) terutama dalam biaya operasional hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Evalawati et al., (2001). Oleh


(47)

karena itu teknik pemberian pakan harus diperhatikan agar tidak terjadi pemborosan pakan sehingga biaya operasional dapat ditekan seminim mungkin, hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Kast dan Rosenzweig dalam Komaruddin (1991), yang menyatakan bahwa prosedur pengurangan biaya perlu dilakukan untuk menggantikan metoda yang ada, pemberian pakan yang tidak sesuai juga mengakibatkan terjadinya proses pembusukan yang akan mengakibatkan salah satu penyebab meningkatnya kematian ikan budidaya.

Rasio pemberian pakan pada usaha penggelondongan di KJA harus diperhitungkan secara tepat agar ikan dapat tumbuh dengan baik, mempunyai nilai tingkat kelulusan hidup yang tinggi (SR) serta secara ekonomis menguntungkan. Untuk nilai rasio pemberian pakan di lokasi praktek untuk pemeliharaan gelondongan Kerapu Macan yaitu 7,5-10% berat badan per hari untuk pakan jenis rucah segar, akan tetapi apabila pada saat pemberian pakan benih sudah kenyang maka pemberian pakan dihentikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Puja et al., (2003), yang menyatakan bahwa rasio pemberian pakan yang baik untuk kegiatan penggelondongan yaitu 7,5-10% dari berat total benih yang dipelihara.

3. Pencegahan penyakit

Salah satu aspek yang dapat menjadi hambatan dalam suatu kegiatan usaha budidaya adalah penyakit yang menyerang pada ikan budidaya merupakan hambatan besar yang ditemui dalam kegiatan budidaya di lokasi penelitian. Adapun untuk mengatasi hal tersebut diambil tidakan-tindakan pencegahan sehingga tidak akan


(48)

menjadi suatu permasalahan. Langkah-langkah yang ditempuh dalam menanggulangi hal tersebut dapat dijelaskan di bawah ini:

1) Perendaman air tawar: Perendaman ini dilakukan apabila pada saat pengontrolan dilakukan terdapat benih yang terserang oleh penyakit. Perendaman dilakukan selama ± 5 menit secara rutin setiap 5 hari sekali tanpa menggunakan aerasi.

2) Perendaman dengan air laut: Perendaman ini dilakukan dengan melarutkan formalin dengan dosis 1 ppm ke dalam air laut.

3) Pemisahan ikan yang sakit: Upaya ini dilakukan dengan adanya kegiatan monitoring yang dilakukan secara rutin, apabila ditemukan benih yang menimbulkan gejala terserang penyakit maka segera dilakukan pemisahan jaring dari benih yang sehat lainnya dan benih yang sakit dimasukkan ke dalam jaring karantina yang sudah disiapkan dan letaknya cukup jauh terpisah dari jaring benih yang sehat. Apabila ditemukan benih yang mati maka segera diserok dan dibawa ke darat untuk dimusnahkan.

4) Mengatur sirkulasi air: Hal ini dilakukan dengan mengatur tata letak jaring yang digunakan dalam suatu petakan kegiatan budidaya di KJA ataupun dengan membersihkan jaring dari organisme penempel pada jaring sesering mungkin. 5) Pencampuran pakan dengan obat: Langkah ini merupakan upaya dini yang

dilakukan pada benih dan diberikan saat penebaran sampai ukuran benih berkisar 100 gram. Sekali sehari pakan rucah dicampur secara merata dengan Oxytetracyclin dengan dosis 1:1 (1 gram obat dan 1 kg pakan).


(49)

Tindakan yang diambil dalam upaya pengobatan pada benih yang terserang penyakit yaitu dengan melakukan perendaman dengan air laut Gambar 11. Benih yang terserang penyakit dapat dilihat dari luka yang ditimbulkan. Serangan jenis bakteri menyebabkan sirip ekor terputus dan lain sebagainya. Adapun langkah-langkah dalam melakukan perendaman yaitu wadah diisi sampai ukuran maksimal dengan air laut tanpa pengendapan ataupun penyaringan diselingi dengan menyiapkan aerasi yang disetel kuat. Penambahan obat berupa prefuran dengan dosis 10mg/liter, yang berfungsi sebagai pemisah/mengangkat kotoran dari badan air. Setelah obat merata di dalam air maka benih segera direndam selama ± 15 jam, perendaman ini dilakukan pada sore hari dan pada pagi harinya benih dapat ditebar lagi ke dalam jaring.


(50)

4. Lama pemeliharaan

Budidaya ikan Kerapu Macan dari ukuran 3 inci sampai panen berukuran 5 inci diperkirakan selama 2 (dua) bulan pemeliharaan.

3.2.1.4 Monitoring kualitas air dan tingkat kelangsungan hidup

Selama operasional pemeliharaan, kedua petak tambak dilakukan pemantauan kualitas air. Prosedur pengamatan dan pengukurannya adalah sebagai berikut:

a. Pengamatan kualitas air

Parameter kualitas air yang akan diamati meliputi beberapa parameter lingkungan perairan yang mencakup aspek fisika, kimia, dan biologi yang terdiri dari: 1. Parameter fisika kualitas air yang akan diamati meliputi suhu, kekeruhan.

Kecerahan.

2. Parameter kimia kualitas air yang akan diamati meliputi salinitas, ammonia, nitrit, nitrat, nitrogen, pH, fosfat, besi (Gambar 12).


(51)

3. Parameter Biologi meliputi biota yang dibudidayakan dan rumput laut meliputi pertumbuhan, kandungan nitrogen, karbon, fosfor dan kelangsungan hidup ikan Kerapu.

b. Pengamatan tingkat kelangsungan hidup

Pengamatan rumput laut yang mati dan jatuh akan dilakukan 5 (lima) hari sekali diganti dengan rumput laut baru dan membersihkan rumput laut dari partikel debu yang menempel atau kotoran yang melekat pada rumput laut sehingga dapat mengganggu proses metabolisme pada rumput laut dengan cara menggoyang tali ris utama agar fungsinya dalam tambak sebagai biofilter tetap efektif. Untuk melakukan sampling tingkat kehidupan (survival rate) ikan Kerapu Macan dilakukan setelah panen (Gambar 13) yang akan dilaksanakan dengan waktu 70 hari.


(52)

3.3 Analisis Data Untuk menga menggunakan rumput uji statistik beda rata-H0 : µ1 = µ2 H1 : µ1 ≠ µ2

Kriteria pengu derajat kebebasan (dk : rata-rata para : rata-rata para n : besar sampel S : simpangan ba n1 : jumlah data p n2 : jumlah data p S1 : besarnya varia S2 : besarnya va

rumput laut ta

ganalisis perbedaan kestabilan kualitas air put laut dengan yang tidak menggunakan rum

-rata dengan rumus sebagai berikut:

t hitung =

(Sudjana, 2002)

gujian adalah: terima H0 jika – t tabel < t hitu dk) = (n1+n2-2) dan peluang (1-á), di mana: arameter air dengan perlakuan rumput laut arameter air tidak dengan perlakuan rumput lau pel

baku

ta parameter air dengan perlakuan rumput laut ta parameter air tidak dengan perlakuan rumput

arians data rata-rata parameter air dengan perla varians data rata-rata parameter air tidak

air di tambak yang umput laut digunakan

itung < t tabel dengan

laut

ut laut

rlakuan rumput laut k dengan perlakuan


(53)

Untuk mengetahui hubungan tingkat kelangsungan hidup ikan Kerapu Macan pada tambak yang menggunakan rumput laut dan tidak menggunakan rumput laut digunakan rumus menurut Sunyoto, (1994) sebagai berikut:

Survival rate (SR) =

Keterangan: Nt = Jumlah Kerapu yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) N0 = Jumlah Kerapu yang ditebar (ekor)

Nt

N0


(54)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Fisika Air 4.1.1 Suhu

Suhu mempunyai peran penting bagi budidaya ikan, untuk tumbuhan seperti fitoplankton dan rumput laut fotosintesa dapat berjalan optimal sedangkan untuk zooplankton dan ikan yang dibudidayakan metabolisme dapat maksimal sehingga pertumbuhan ikan berlangsung secara optimal. Hasil penelitian suhu pada kedua petak tambak dengan sistem budidaya polikultur dan monokultur didapatkan hasil: pada petak kontrol dengan sistem budidaya monokultur mempunyai suhu rata-rata terendah 30 oC dan suhu rata-rata tertinggi 31,7 oC, sedangkan pada petak perlakuan dengan sistem budidaya polikultur suhu rata-rata terendah 29,5 oC dan suhu rata-rata tertinggi 31,2 oC.

Dari penelitian didapat bahwa kisaran suhu pada petak kontrol maupun petak perlakuan masih di dalam kisaran suhu yang disarankan Standar Nasional Indonesia dalam budidaya ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) yaitu 26 oC sampai dengan 32 oC, tetapi suhu pada petak perlakuan lebih stabil dibandingkan pada petak kontrol seperti terlihat pada Gambar 14. Hal tersebut disebabkan pada sistem polikultur suhu dipergunakan oleh fitoplankton, zooplankton, ikan Kerapu Macan dan rumput laut (Glacilaria verrucosa) untuk berfotosistesa dan bermetabolisme sedangkan pada petak kontrol suhu akan cepat menguap sesuai dengan cuaca dikarenakan tidak terdapat rumput laut yang menyimpan suhu untuk digunakan


(55)

berfotosintesa. Pada perlakuan sebesar 1,2 ini disebabkan pada p

Gambar 14. Berdasarkan L kontrol dan perlakuan tabel < T hitung < T yang digunakan dalam nyata parameter suhu perairan sangat dipen pemeliharaan budiday oleh Standar Nasional

a penelitian ke 4 dan ke 5 terjadi penuruna ,2 oC dan pada petak kontrol terjadi penurunan a penelitian ke 4 dan ke 5 terjadi curah hujan ya

. Fluktuasi Suhu pada Kolam Pengamatan Lampiran 7 bahwa perbandingan parameter uan berbeda tidak nyata. Hal tersebut ditunjuk T tabel (-2,0555 < 1,1782 < 2,0555), dengan m

lam uji statistik (uji T) maka Ho diterima, artin hu air pada petak kontrol dan perlakuan. Hal i

engaruhi oleh suhu udara sebagai penyuplai idaya ikan Kerapu Macan masih dalam kisara

nal Indonesia yaitu sebasar 28 0C - 32 0C.

nan suhu pada petak an sebesar 0,7 oC, hal yang terus-menerus.

an Budidaya

r suhu air pada petak kkan pada nilai – T menggunakan kaidah artinya berbeda tidak l ini disebabkan suhu utama, tetapi untuk aran yang ditetapkan


(56)

4.1.2 Kekeruhan

Kekeruhan terjadi dikarenakan adanya partikel tersuspensi dan terlarut dalam air seperti lumpur, jasad renik, zat organik dan zat lainnya yang tidak mudah mengendap, kekeruhan yang tinggi dapat menimbulkan terganggunya proses respirasi pada ikan, fotosintesa pada fitoplankton, rumput laut dan produktivitas primer perairan. Dalam usaha budidaya ikan nilai kekeruhan sebaiknya berkisar antara 2-30 NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Mayunar, 1995). Hasil penelitian dari kekeruhan seperti terlihat pada Gambar 15 didapat nilai rata-rata kekeruhan pada petak kontrol adalah 8,42 NTU dengan nilai kekeruhan terkecil 7,6 NTU dan tertinggi 9,4 NTU lebih besar dibandingkan petak perlakuan adalah 7,41 NTU dengan nilai terkecil 6,4 NTU dan kekeruhan tertinggi 8,6 NTU. Kekeruhan petak perlakuan mempunyai rataan lebih kecil dibandingkan petak kontrol, hal tersebut disebabkan rumput laut berfungsi sebagai penyerap partikel lumpur, zat organik yang ada di suatu perairan dan ini dibuktikan oleh peneliti setiap 10 (sepuluh hari) rumput laut harus dibersihkan dari partikel lumpur agar pertumbuhan/perkembangan rumput laut dapat optimal.


(57)

Gambar 15. Flu Berdasarkan L kekeruhan pada air ta petak perlakuan. Hal te dengan menggunakan ditolak, artinya berb dibandingkan petak k tetapi nilai kekeruha diperbolehkan dalam b 4.1.3 Kecerahan

Perairan yang indikator kondisi per

Fluktuasi Kekeruhan pada Kolam Pengamat Lampiran 9 dapat kita lihat bahwa perba ir tambak petak kontrol berbeda nyata jika dib Hal tersebut ditunjukkan -T hitung < -T tabel

(-kan kaidah yang diguna(-kan dalam uji statistik erbeda nyata parameter kekeruhan air antar

kontrol dikarenakan rumput laut dapat mengik han pada kedua sistem budidaya masih da m budidaya ikan yaitu 2-30 NTU.

ng mempunyai kecerahan yang tinggi mer erairan tersebut baik, sedangkan tingkat kece

atan Budidaya bandingan parameter dibandingkan dengan -4,0898 < - 2,0555), tistik (uji T) maka Ho tara petak perlakuan gikat partikel lumpur, dalam kisaran yang

erupakan salah satu ecerahan yang rendah


(58)

menunjukkan kandungan partikel lumpur, kandungan bahan organik tinggi yang menjadi tempat yang subur bagi berkembangnya organisme penempel seperti lumut, cacing yang dapat mengganggu dan menjadi penyakit bagi ikan Kerapu Macan.

Adapun kecerahan yang disarankan oleh Standar Nasional Indonesia untuk budidaya ikan di tambak adalah > 30 cm. Hasil penelitian dari rata-rata kecerahan air seperti terlihat pada Gambar 16. Kecerahan pada petak kontrol adalah 49,8 cm dengan nilai kecerahan terkecil 46 cm dan kecerahan tertinggi 51 cm sedangkan pada petak perlakuan didapat rata-rata kecerahan adalah 54,6 cm dengan nilai kecerahan terkecil 53 cm dan kecerahan tertinggi 56 cm, dari hasil tersebut di atas menandakan bahwa kecerahan pada petak perlakuan lebih baik dibandingkan petak kontrol, hal tersebut disebabkan pada petak perlakuan rumput laut menyerap partikel lumpur dan bahan organik yang terdapat pada perairan sehingga kecerahan lebih tinggi.

Berdasarkan Lampiran 11 bahwa perbandingan parameter kecerahan yang terdapat pada petak kontrol berbeda nyata jika dibandingkan petak perlakuan, ditunjukkan dengan -T hitung <-T tabel ( -7,8234 < - 2,0555) dengan menggunakan kaidah uji statistik (Uji T) maka Ho ditolak artinya parameter kecerahan berbeda nyata antara petak kontrol dibandingkan petak perlakuan, hal tersebut disebabkan rumput laut menyerap partikel lumpur dan nutrien yang ada di perairan tambak sehingga cahaya dapat menembus lebih dalam. Menurut Standar Nasional Indonesia nilai kecerahan yang disarankan adalah > 30 Cm yang berarti bahwa kecerahan yang terdapat pada kedua kolam tersebut di atas masih dalam kriteria memenuhi syarat,


(59)

tetapi kekeruhan yang lumpur.

Gambar 16. Flu

4.2 Kimia Air 4.2.1 Oksigen Terla

Parameter oks budidaya ikan, oksig melalui proses difusi, aerasi yang dihasilkan WIB atau pada sian dibutuhkan dalam bud budidaya optimal dan budidaya. Nilai oksig

ng terdapat pada petak kontrol didominasi ole

Fluktuasi Kecerahan pada Kolam Pengamat

rlarut

oksigen terlarut merupakan parameter yang p sigen terlarut dalam air tambak dihasilkan si, hasil samping dari fotosintesa tumbuhan aku kan dari blower yang digunakan pada malam ha iang hari jika cuaca dalam keadaan hujan budidaya ikan untuk metabolisme sel sehingga dan menguraikan bahan kimia air yang tidak ksigen terlarut dalam budidaya ikan menurut

i oleh adanya partikel

atan Budidaya

g paling kritis dalam n berasal dari udara kuatik dan kincir atau hari setiap Jam 22.00 jan. Oksigen terlarut ga pertumbuhan ikan ak dibutuhkan dalam rut Standar Nasional


(60)

Indonesia sebaiknya terlarut mempunyai nila

Hasil penelitia rata-rata pada petak k ppm dan tertinggi 5, perlakuan adalah 5,8 p 5,9 ppm. Oksigen ter nilai oksigen terlarut petak kontrol, hal ter oksigen pada saat be siang hari.

Gambar 17. Flukt

ya > 4 ppm sedangkan menurut (Ahmad, et al., i nilai 5-8 ppm.

itian seperti terlihat pada Gambar 17 oksigen te kontrol dengan nilai 5,5 ppm, nilai oksigen 5,6 ppm lebih kecil dari rata-rata oksigen te ,8 ppm dengan nilai oksigen terlarut terkecil 5,7

terlarut pada petak perlakuan mempunyai rata rut lebih tinggi dari awal sampai akhir peneli

tersebut disebabkan pada petak perlakuan ru berfotosintesa sehingga dapat menyuplai oks

ktuasi Oksigen Terlarut pada Kolam Pengam

, 1991) nilai oksigen

n terlarut didapat nilai n terlarut terkecil 5,4 n terlarut pada petak il 5,7 ppm dan tertinggi ataan lebih besar dan nelitian dibandingkan

rumput laut melepas ksigen perairan pada


(61)

Berdasarkan Lampiran 13 bahwa perbandingan parameter oksigen terlarut yang terdapat pada air tambak pada petak kontrol berbeda nyata jika dibandingkan air tambak pada petak perlakuan ditunjukkan dengan -T hitung < -T tabel( - 8,4194 <- 2,0555) dengan menggunakan kaidah uji statistik (Uji T) maka Ho ditolak artinya parameter oksigen terlarut berbeda nyata antara petak kontrol dibandingkan petak perlakuan, hal tersebut disebabkan rumput laut yang terdapat pada petak perlakuan pada siang hari dapat menyuplai oksigen terlarut ke dalam perairan. Menurut Standar Nasional Indonesia nilai oksigen terlarut yang disarankan adalah > 4 ppm yang berarti bahwa oksigen terlarut yang terdapat pada kedua kolam tersebut di atas masih dalam kriteria memenuhi syarat yaitu > 5 ppm.

4.2.2 Ammonia

Kandungan ammonia dalam air media pemeliharaan merupakan hasil perombakan dari senyawa-senyawa nitrogen organik oleh bakteri dari penambahan pupuk yang berlebihan, matinya plankton dan sisa pakan. Di dalam air ammonia terdapat dalam dua (2) bentuk, yaitu NH4+ atau biasa disebut ionized ammonia yang kurang beracun dan NH3 atau unionized ammonia yang beracun, kedua bentuk ammonia tersebut berada dalam air dalam keseimbangan seperti terlihat dari persamaan reaksi berikut: NH4+ + H2O NH3 + H2O. Senyawa ini sangat beracun bagi organisme karena dengan meningkatnya ammonia dalam air, maka ekskresi ammonia ikan menurun dan kandungan ammonia dalam darah ikan budidaya meningkat, dengan meningkatnya kandungan ammonia mengakibatkan kebutuhan


(62)

oksigen semakin meningkat jika tidak terpenuhi maka akan merusak insang ikan yang mengakibatkan kemampuan darah membawa oksigen darah berkurang (Boyd, 1990).

Parameter ammonia dalam air media yang aman adalah 1,6 ppm dengan kadar garam di atas 20 ppt (Lin et al., 1993). Hasil penelitian dari ammonia dalam air didapat nilai rata-rata dari petak kontrol dengan nilai 0,65 ppm, nilai ammonia terkecil 0,48 ppm dan tertinggi 0,76 ppm lebih besar dari rata-rata ammonia pada petak perlakuan adalah 0,48 ppm dengan nilai ammonia terkecil 0,48 ppm dan tertinggi 0,49 ppm. Parameter ammonia pada petak perlakuan mempunyai rataan lebih kecil dibandingkan petak kontrol, hal tersebut disebabkan pada petak perlakuan rumput laut dalam pertumbuhannya membutuhkan nutrien yang berasal dari bahan organik yang sudah terdegradasi, Bacillus lichbeniformis dan Bacillus subtilisyang diberikan pada perairan budidaya membantu proses degradasi protein yang dihasilkan dari sisa pakan yang diberikan.

Pada Gambar 18 terlihat bahwa ammonia pada petak perlakuan lebih stabil dan nilainya lebih kecil dari awal sampai akhir penelitian jika dibandingkan petak kontrol terjadi peningkatan yang tajam sampai akhir penelitian dan fluktuatif.


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Sistem budidaya polikultur perlakuan (ikan Kerapu Macan dalam Keramba Jaring Apung dengan rumput laut jenis Gracilaria verrucosa) dapat menjaga kualitas air lebih baik dari parameter fisika air dan parameter kimia air jika dibandingkan dengan sistem budidaya monokultur kontrol. Adapun pada parameter kekeruhan, kecerahan, oksigen terlarut, ammonia, nitrit, pH, fosfat dan besi ada beda nyata, sedangkan parameter suhu, nitrat dan salinitas tidak beda nyata dikarenakan rumput laut (Gracilaria verrucosa) dapat berfungsi sebagai bio filter pada perairan budidaya.

b. Sistem budidaya polikultur perlakuan dapat meningkatkan produksi budidaya, dari 4.000 ekor benih ikan Kerapu Macan mengalami kematian sebanyak 449 ekor (tingkat kelangsungan hidup) sebesar 72% lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya monokultur kontrol dari 4.000 ekor benih ikan Kerapu Macan mengalami kematian sebanyak 878 ekor (tingkat kelangsungan hidup) sebesar 55%.


(2)

5.2 Saran

Dengan adanya hasil penelitian ini maka penulis menyarankan beberapa hal antara lain:

a. Pada budidaya perikanan harus selalu memperhatikan daya dukung alam agar usaha dapat berkelanjutan, sebagai salah satu aspek perbaikan dapat digunakan rumput laut yang berfungsi sebagai bio filter agar perairan dapat terjaga (terciptanya areal tambak yang ramah lingkungan) dan dapat meningkatkan produksi budidaya.

b. Kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara agar melakukan pelatihan dan himbauan kepada pembudidaya ikan agar tetap menjaga lingkungannya dalam melaksanakan usahanyadengan jalan memperhatikan daya dukung alam dan penggunaan sistem budidaya polikultur sebagai salah satu alternatif.

c. Kepada pembudidaya agar melakukan monitoring kualitas air secara berkala dan teratur sehingga perubahan kualitas air dapat diketahui sedini mungkin agar komoditas budidaya terhindar dari kematian.

d. Penelitian ini tentunya mempunyai kekurangan yang masih jauh dari ideal untuk itu bagi para peneliti yang tertarik dengan bidang yang sama dapat lebih memperdalam parameter kimia air yang mempengaruhi kehidupan biota air, penggunaan mangrove dan kekerangan yang dapat berfungsi sebagai bio filter dalam perairan budidaya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T., Wiyanto, A. 1991. Operasional Pembesaran Ikan Kerapu dalam

Karamba Jaring Apung. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros.

Hal 59.

Anggadiredja, J.T., A. Zatnika., H. Purwoto dan S. Istini. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Aslan, Laode. M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta.

Boyd, C.E. 1990. Water Quality In Ponds For Aquaqulture. Birmingham Publishing CO. Birmingham, Alabama: ix+482.

Burgess, W.E and Axelrod H.R. and Raymond E.H. 1990. Marine Aquarium Fishes. T.F.H. Publications Inc. USA. 3rd edition.

Chua, T. E. and Teng, S. K. 1978. Effects of Feeding Frequency on the Growth of

Young Estuary Grouper, (Epinephelus tauvina) Forskal, Culture in Floating Net Cages. Aquaculture. 14: 31-47.

Departemen Kelautan dan Perikanan. Laporan Kegiatan dan Anggaran Tahun 2009. Balai Karantina Ikan Polonia Medan. Medan.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Masterplan Pengembangan Budidaya

Payau di Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta.

1x+164p.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut (Eucheuma spp). Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta. Hal 11-14. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara. Buku Tahunan Statistik

Perikanan Budidaya Tahun 2009. Medan.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan


(4)

Evalawati., M. Meiyana dan T.W. Aditya. 2001. Biologi Kerapu, Pembesaran

Kerapu Bebek dan Kerapu Macan di Keramba Jaring Apung. Ditjenkan. BBL

Lampung. Hal 3-6.

FAO. 1991. Reducing Enviromental Impact of Coastal Aquaculture. Report and Studies No. 47. IMO/FAO/Unesco/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP Joint GESAMP, Rome. P.v+35.

Gavino C. Trono, Jr. 1990. A Review of the Production Technologies of Tropical

Spicies of Economic Seaweeds. Vol. II, Cebu City. Philippines.

Ghufran, M dan Andi B. T. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya

Perairan. Rineka Cipta. Jakarta. xiv. Hal 85-99.

Indriani Hety dan Sumiarsih Emi. 1992. Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Ismail, W. dan Pratiwi, E. 2002. Budidaya Laut Menurut Tipe Perairan. Warta

Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 8. No 2. Pusat Riset Perikanan

Budidaya. Jakarta. Hal 8-12.

Izzati. 2004. Desain Pengelolaan Air Limbah pada Kawasan Industri Pertambakan.

http://digilib.biitb.ac.id [12 Juli 2008].

Johnny F.D. Roza dan Zafran. 2005. Penyakit Infeksi Parasit pada Ikan Laut

Budidaya dan Upaya Pengendaliannya, Sebagai Bahan Diseminasi Budidaya Laut Berkelanjutan. Balai Besar Riset Perikanan Laut. Gondol. Bali.

Jones, A.B. 1999. Enviromental Management of Aquaqulture Effluent: Development

of Biological Indicators and Biological Filters. Departement of Botany The

University of Queensland. P.117.

Komaruddin, 1991. Azas-Azas Manajemen. Kanisius. Yogyakarta.

Langkosono dan Wenno, L. F. 2003. Distribusi Ikan Kerapu (Serranidae) dan Kondisi Lingkungan Perairan Kecematan Tanimbar Utara, Maluku Tenggara.

Prosiding Lokakarya Nasional dan Pameran Pengembangan Agribisnis Kerapu II. Jakarta, 8 – 9 Oktober 2002. “Menggalang Sinergi untuk Pengembangan Agribisnis Kerapu”. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian BPPT, Jakarta. Hal 203-212.


(5)

Lin, C.K., P. Ruamthaveesub and P. Wanuchsoontorn. 1993. Integrated Colture of

The Green Mussel (Perna Viridis) In Waste Water From an Intensive Shrimp Pond. Concept and Practice. World Aquaqulture. 24: 68-73.

Mayunar, R. Purba dan P.T. Imanto. 1995. Prosiding Temu Usaha Pemasyarakatan

Keramba Jaring Apung Bagi Budidaya Laut. Jakarta. 12-13 April 1995. Hal

179-189.

Meiyana, M., Evalawati, dan Prihaningrum, A. 2001. Biologi Rumput Laut. Teknologi

Budidaya Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii). DIRJENKANBUD BBL.

Lampung. Hal 3-5.

Poernomo, A. 1997. Peranan Tata Ruang, Desain Interior Kawasan Pesisir dan Pengelolaannya dan Pengelolaannya terhadap Kelestarian Budidaya Tambak.

Majalah Techner, No. 29, Tahun VI. Jakarta. Hal 18-23.

Puja Y., Evalawati dan S. Akbar. 2001. Teknik Pembesaran. Pembesaran Kerapu

Bebek dan Kerapu Macan di Keramba Jaring Apung. Ditjenkan. BBL.

Lampung. Hal 26-30.

Reantoso, M.G.B, Shomkiat, K and Chinabut, S. 2004. Review of Grouper Diseases

and Health Management. Regional Workshop on Sea Farming Grouper Culture. Departement of Fisheries Compound. Thailand.

Sapto D.F dan Suriawan A. 2006. Petunjuk Teknis Budidaya Kerapu di Keramba

Jaring Apung. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal

Perikanan Budidaya Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Hal 7-11.

Sisterkarolin. 2008. Data Ekspor Tahunan Komoditi Ikan Hidup Melalui Pintu

Pengeluaran Bandara Polonia-Medan. Sistem Informasi Karantina Ikan On-Line. Pusat Karantina Ikan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Soegiharto, A., Wanda S., Atmadja, dan Hasan Mubarak. 1979. Rumput Laut (Algae)

Manfaat, Potensi, dan Usaha Budidayanya. LON. LIPI. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 2000. Produksi Benih Ikan Kerapu Macan

(Ephinephelus fuscoguttatus) Kelas Benih Sebar.

Steentoft, M. and Farham, W.F. 1997. Northern Distribution Boundaries and

Thermal Requirements of Gracilaria and Gracilariopsis (Gracilariales, Rhodophyta) in Atlantic Europe and Scandinavia. Nord. J. Bot. 5: 87-93.


(6)

Sudradjat. A. 2008. Komoditas Laut Menguntungkan. Budidaya 23. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sunaryat. 2004. Analisa Usaha pada Usaha Perikanan. Balai Budidaya Laut. Lampung.

Sunyoto, P. 1994. Pembesaran Kerapu dengan Keramba Jaring Apung. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suprakto, B. dan Fahlivi, M.R. 2007. Studi tentang Kesesuaian Lokasi Budidaya Ikan di KJA di Perairan Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep. Pembangunan Kelautan Berbasis IPTEK dalam rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. Prosiding Seminal Kelautan III. Universitas Hang Tuah 24 April 2007. Surabaya. Hal 58-65.

Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep-02/MENKLH/I/1988 tanggal 19 Januari 1988 tentang Baku Mutu Air untuk

Perikanan dan Taman Laut Konservasi.

Tinggal H. H. Nono. Zakimin. S. Akbar. Rusflan. H.W. Arik. M.B. Manja. L. Surya dan S. Agustiatik. 2003. Manajemen Pembesaran Kerapu Macan di Keramba

Jaring Apung. Ditjenkan. Loka Budidaya Laut. Batam.

Utrech, 1952. The International Code of Botanical Nomenclature. International Association for Plant Taxonomy (IAPT). Viena.

Yoshimitsu, T. H. Eda and Hiramatsu, K. 1986. Groupers Final Report

Marineculture Research and Development in Indonesia. ATA 192, JICA.