Interregional Disparities Determinants and Economic Growth in West Jawa and Banten Province

DISPARITAS ANTARWILAYAH DAN DETERMINAN
PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI JAWA BARAT
DAN BANTEN

ARIA KHARSA NEGARA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesisDisparitas Antarwilayahdan Determinan
Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Barat dan Banten adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Aria Kharsa Negara
NIM: H151100271

RINGKASAN

ARIA KHARSA NEGARA. Disparitas Antarwilayahdan Determinan
Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Dibimbing oleh DEDI
BUDIMAN HAKIM and SRI MULATSIH.
Perekonomian suatu wilayah digambarkan melalui pertumbuhanekonomi
yang
sekaligus
merupakansalah
satuindikator
untukmelihathasil
pembangunanyang
telahdilakukan
serta
bergunauntukmenentukanarah

pembangunan di masamendatang. Dalam pembangunan infrastruktur,
peranpemerintah sangat strategis yaitu sebagai mobilisatordalammendukung
peningkatan pertumbuhanekonomi, dan menjadikan suatu daerah mengalami
penurunan disparitas dan pembangunan diharapkan konvergen. Pemerintah
Provinsi Jawa Barat telah menyusun konsep awal pengembangan tiga
Metropolitan dan dua Growth Center. Konsep ini dikembangkan dengan
memperhatikan posisi strategis wilayah Metropolitan (Bodebek Karpur, Bandung
Raya dan Cirebon Raya) sebagai pusat aglomerasi penduduk, aktivitas ekonomi
dan sosial masyarakat; serta Growth Center (Palabuhanratu dan Pangandaran)
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang berpotensi untuk menghela
pertumbuhan dan perkembangan wilayah-wilayah lain di sekitarnyadankondisi
makrodiIndonesia.
Kebijakan percepatan pembangunan daerah dilakukan melalui peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan pengurangan disparitas untuk mendorong peningkatan
pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan. Studi
terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur berupa sarana dan
prasarana transportasi, jaringan listrik dan telekomunikasi serta pengadaan air
bersih sangatlah penting dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat
di suatu wilayah. Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak hanya oleh
rumah tangga namun juga oleh dunia usaha, peningkatan infrastruktur diharapkan

dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Daerah dengan infrastruktur yang memadai mempunyai keuntungan yang
lebih besar dalam menarik investasi masuk ke daerahnya sehingga menyebabkan
daerah akan menjadi lebih cepat berkembang dibandingkan dengan daerah yang
memiliki infrastruktur yang kurang memadai. Hal ini dikarenakan terbukanya
keterisolasian daerah sehingga akses ke berbagai faktor produksi dimungkinkan
untuk membuka peluang bergeraknya perekonomian daerah. Tujuan tujuan
penelitian
ini
adalah:
Pertama,
Menganalisis
disparitas
ekonomi
regionalKabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Kedua,
Menguji konvergensi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan Banten
melalui pendekatan Produk Domestik Regional Bruto. Ketiga, Menganalisis
disparitas antarwilayah dan determinan pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa
Barat dan Banten.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai disparitas antarwilayah dan

determinan pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Barat dan Banten pada kurun
waktu 2004 sampai 2010 dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1)
Pertumbuhan ekonomi di Kota dan Kabupaten di Jawa Barat dan Banten dari
tahun 2004 sampai 2010 sangat berfluktuatif. Hasil penghitungan dengan

menggunakan indeks Williamson di menunjukkan pada tahun 2004 sampai 2010
di Provinsi Jawa Barat dan Banten cukup tinggi. (2) Pembangunan infrastruktur di
Indonesia selama periode tahun 2004 sampai 2010 secara umum mengalami
peningkatan. DarinilaiBetakonvergencePDRBBanten lebihbesarketika berpisah
dengan Jawa Barat daripadaketika bergabungdenganJawaBarat.Waktu yang
dibutuhkan untuk menutup setengah kesenjangan awal di Banten lebih cepat
daripada di Jawa Barat. (3) Hasil estimasi disparitas antarwilayah dan determinan
pertumbuhan ekonomi berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa variabel
listrik dan air berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional.
Elastisitas infrastruktur air lebih besar daripada elastisitas infrastruktur listrik.
Sedangkan infrastruktur jalan berpengaruh secara negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi regional dikarenakan jumlah panjang jalan kualitas baik yang mengalami
penurunan karena besarnya pertumbuhan jumlah kendaraan tidak diimbangi
dengan penambahan jalan sehingga jalan cepat rusak.
Saran yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut: (1)Pembangunan

ekonomi perlu dibuat titik-titik wilayah pertumbuhan baru. Dalam jangka panjang
interkoneksi berbagai infrastruktur tersebut secara meluas akan memberikan
potensi pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan jika terpusat.
(2) Pembangunan infrastruktur diprioritaskan untuk penambahan jumlah panjang
jalan karena kondisi infrastruktur transportasi yang masih memprihatinkan
memerlukan program peningkatan infrastruktur transportasi. (3) Pemerintah
hendaknya memperhatikan aspek peningkatan sumber daya manusia. Karena
sumber daya manusia merupakan variabel penting dan terbukti dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya konsentrasi kegiatan
ekonomi. Perlu ditetapkan dan disosialisasikan standar pelayanan minimum
pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia, yang
mencakupi aspek equity, efisiensi, partisipasi, kualitas dan sustainability.
Kata Kunci: infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, panel data dinamis, konvergensi

SUMMARY
ARIA KHARSA NEGARA. Interregional Disparities Determinants and
Economic Growth in West Jawa and Banten Province. Supervisedby DEDI
BUDIMAN HAKIM and SRI MULATSIH.
The economy of a region portrayed through economic growth as well as one
indicator to see the results of the development that has been done and is useful for

determining the direction of future development. In infrastructure development,
government's role as a very strategic mobilizer in supporting economic growth,
anddisparityof regional became decreasing and development expected to
convergence. West Java Provincial Government has developed the initial concept
development and two three Metropolitan Growth Center. This concept was
developed by considering the strategic position of Metropolitan Areas (Bodebek
Karpur, Bandung and Cirebon) as the center of population agglomeration, and
economic and social activities, as well as Growth Center (Palabuhanratu and
Pangandaran) as the center of economic growth that has the potential for growth
and development of the region in another areas and macro conditions in
Indonesia.
Policy to accelerated development of the region through increased
economic growth and reduction of disparities to push economic growth, followed
by the even distribution of income. Past studies have shown that the development
of infrastructure such as transport infrastructure, electricity and
telecommunications networks and the provision of clean water is essential in
order to improve the economy in a region. Infrastructure facilities needed not
only by households but also by the business community. Infrastructure
improvements are expected to bring prosperity and accelerate economic growth.
Areas with adequate infrastructure has a greater advantage in attracting

investment into the region, causing the area will be growing faster than areas
with poor infrastructure. This is due to the opening of the isolation of the area so
that access to the various factors of production may be possible to open up the
movement of the region's economy. The purpose of this study is: First, analyze the
regional economic disparities district/ City in the province of West Java and
Banten. Second, Testing the convergence between the district/ city in the province
of West Java and Banten approach Gross Regional Domestic Product. Third,
analyze the determinants of disparities between regions and economic growth in
the Province of West Java and Banten.
Based results of research on disparities between regions and the
determinants of economic growth in the Province of West Java and Banten in the
period 2004 to 2010 can be drawn some conclusions as follows: (1) Economic
growth in the City and County in West Java and Banten from 2004 to 2010 was
very volatile. The results of calculations using Williamson indeks 2004 to 2010 in
the province of West Java and Banten quite high. (2) Infrastructure development
in Indonesia during the period of 2004 to 2010 in general has increased. Beta
convergence of GDP Banten value greater when separated with West Java during
joining West Java. The half Life needed to close the gap in Banten faster than in
West Java.


(3) The result of disparities between regions and estimate the determinants of
economic growth based on existing data indicates that the electrical and water
variables influence positively the regional economic growth. Water infrastructure
elasticity is greater than the elasticity of electricity infrastructure. While the road
infrastructure influence negatively effect the growth of the regional economy due
to the amount of good quality road length has decreased because of the growing
number of vehicles does not offset by the addition of the road so that the road
quickly broken.
Advice can be given as follows: ( 1 ) Economic development needs to be
made point of new growth areas. In the long term the infrastructure
interconnecting various widely will provide better growth potential than if
centralized. ( 2 ) prioritized infrastructure development to increase the number of
road length because conditions are still poor transport infrastructure requires a
transportation infrastructure improvement program. ( 3 ) The government should
pay attention to aspects of human resource development. Because human
resources is an important variable and is proven to increase economic growth
and the creation of concentration of economic activity. Need to set minimum
service standards and socialized education on various types and levels of
education in Indonesia, which includes aspects of equity, efficiency, participation,
quality and sustainability.

Keywords:Infrastructure, Economic Grow, Dynamic Panel Data, Convergency

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DISPARITAS ANTARWILAYAH DAN DETERMINAN
PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI JAWA BARAT
DAN BANTEN

ARIA KHARSA NEGARA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:Dr Ir D S Priyarsono, MS

udul Tesis : Disparitas Antarwilayah dan Determinan Pertmnbuhan Ekonomi di
Provinsi Jawa Barat dan Banten
: Aria Kharsa N egara
セ 。ュ@
_ 1M
: H151100271

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

\.

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc
Ketua

Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr
Anggota

Diketahui oleh

BGNウセ^u@

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dr Ir

fカ|GヲMセ@エ
Jnオョセァ

Tanggal Ujian:

lah Pascasarj ana

Nuryartono, Ms)

14

a ug@

ャュセ@

Tanggal Lulus: 27 September 2013

Judul Tesis:Disparitas Antarwilayah dan Determinan Pertumbuhan Ekonomi di
Provinsi Jawa Barat dan Banten
Nama
: Aria Kharsa Negara
NIM
: H151100271

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Dedi Budiman Hakim,
MEcKetua

Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir R Nunung Nuryartono, Msi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat
dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Disparitas Antarwilayah dan
Determinan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Barat dan Banten dapat
terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang
pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu
Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc selaku Ketua
KomisiPembimbing dan Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr selaku Anggota Komisi
Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk
memberikan arahan dan bimbingan dalampenyusunantesisini. Ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir D S Priyarsono, MS atas kesediaannya
menjadi penguji luar komisi, dan Dr Ir Lukytawati Anggraeni, MSi selaku
perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Demikian juga terima kasih dan
penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan
kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas
Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan
dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan
dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Bapak dan Ibu
tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Penulis juga
menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman di Fakultas
Ilmu Ekonomi angkatan reguler empat yang telah banyak membantu penulis
mulai dari proses kuliah hingga menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang membantu dan memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi
Ilmu Ekonomi IPB namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang
bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan
memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, September 2013

Aria Kharsa Negara

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

vi
vi
vii
1
1
3
5
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan Ekonomi
Disparitas Regional
Konvergensi
Infrastruktur
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran

7
7
12
13
15
18
19

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Spesifikasi Model

21
21
21
25

4 GAMBARAN UMUM
Aspek Geografis dan Demografis
Pembangunan Ekonomi

29
29
30

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Disparitas Regional antar Provinsi
Analisis KonvergensiSigma (σ)
Analisis Konvergensi Beta (β)

43
43
43
44

6 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

51
51
51

DAFTAR PUSTAKA

53

DAFTAR LAMPIRAN

55

RIWAYAT HIDUP

63

DAFTAR TABEL
1PDRBJawaBarat dan Banten tahun 2010
2PDRB Kota dan Kabupaten di JawaBarat
3PDRB Kota dan Kabupaten di Banten
4Belanja modal APBD Kota dan Kabupaten di Jawa Barat
5 Belanja modal APBD Kota dan Kabupaten di Banten
6 Investasi asing Kota dan Kabupaten di Jawa Barat
7 Investasi asing Kota dan Kabupaten di Banten
8 Investasi dalam negeri Kota dan Kabupaten di Jawa Barat
9Investasi dalam negeri Kota dan Kabupaten di Banten
10 Panjang jalan Kota dan Kabupaten di Jawa Barat
11 Panjang jalan Kota dan Kabupaten di Banten
12 Listrik tersambung Kota dan Kabupaten di Jawa Barat
13 Listrik tersambung Kota dan Kabupaten di Banten
14 Volume air PDAM terjual Kota dan Kabupaten di Jawa Barat
15 Volume air PDAM terjual Kota dan Kabupaten di Banten
16 RLS Kota dan Kabupaten di Jawa Barat
17 RLS Kabupaten dan Kota di Banten
18 Konvergensi Beta AbsolutJawa Barat dan Banten.
19 Konvergensi Beta Kondisional Jawa Barat dan Banten.
20 Pengujian System GMMKonvergensi Beta Kondisional

3
31
32
33
33
34
34
35
36
36
37
38
38
39
40
42
42
45
46
46

DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat, Banten dan Indonesia
2 PDRB Kabupaten/ Kota di Jawa Barat tahun 2010 (Milyar)
3 Kurva disparitas pembangunan (Kuznets)
4 KonvergensiMenujuKondisiMapan
5 Diagram alur kerangka pemikiran
6 Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat dan Banten (persen)
7 Pertumbuhan APBD Provinsi Jawa Barat dan Banten
8 Pertumbuhan investasi asing Provinsi Jawa Barat dan Banten
9 Pertumbuhan investasi dalam negeri Provinsi Jawa Barat dan Banten
10 Pertumbuhan panjang jalan Provinsi Jawa Barat dan Banten
11 Pertumbuhan listrik PT. PLN Provinsi Jawa Barat dan Banten
12 Pertumbuhan air PDAM terjual Provinsi Jawa Barat dan Banten
13 APS Propinsi Jawa Barat dan Banten
14 RLS Propinsi Jawa Barat dan Banten
15 Indeks Williamson Provinsi Jawa Barat dan Banten
16 Standar Deviasi PDRB riil per kapita

3
4
12
14
19
31
32
34
35
36
37
39
41
41
43
44

DAFTAR LAMPIRAN
Output absolute convergenceKabupaten/ Kota di Jawa Barat dan Banten
Sys-GMM
2 Output conditional convergenceKabupaten/ Kota Jawa Barat dan Banten
Sys-GMM
3 Output conditional convergenceKabupaten/ Kota Jawa Barat dan Banten
Pool Least Square
4 Output conditional convergenceKabupaten/ Kota Jawa Barat dan Banten
Random Effect
5 Output conditional convergenceKabupaten/ Kota Jawa Barat dan Banten
dummy Banten Sys-GMM
6 Output conditional convergenceKabupaten/ Kota Jawa Barat dan Banten
dummy Banten Pool Least Square
7 Output conditional convergence Kabupaten/ Kota Jawa Barat dan Banten
dummy Banten Random Effect
8 Output conditional convergenceKabupaten/ Kota Jawa Barat dan Banten
dummy Jawa Barat Sys-GMM
9 Output conditional convergenceKabupaten/ Kota Jawa Barat dan Banten
dummy Jawa Barat Pool Least Square
10 Output conditional convergenceKabupaten/ Kota Jawa Barat dan Banten
dengan dummy Jawa Barat Fixed Effect
1

55
56
57
57
58
59
59
60
61
61

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perekonomian suatu wilayah digambarkan melalui pertumbuhanekonomi
yang merupakansalah satuindikator untukmelihathasil pembangunanyang
telahdilakukan
serta
bergunauntukmenentukanarah
pembangunan
di
masamendatang. Pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak dapat dipisahkan dari
ketersediaan infrastruktur seperti transportasi, telekomunikasi, dan energi
sehingga pembangunan sektor ini menjadi pondasi dari pembangunan ekonomi
selanjutnya. Pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang miskin
atau memiliki pendapatan yang lebih rendah salah satunya melalui pembangunan
infrastrukturpada wilayah miskin sehingga mampu memperkecil ketertinggalan
perekonomiannya dan mencapai suatu kondisi mapan (steady state),terhadap
wilayah yang sudah kaya hal ini dapat disebut sebagai konvergensi pendapatan,
yaitu pengejaran pertumbuhan ekonomi agar wilayah mencapai suatu kondisi
mapan (steady state). Pembangunan infrastruktur menjadikan suatu daerah
mengalami penurunan disparitas dan pembangunan diharapkan konvergen.
Infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan yaitu
sebagai roda penggerak perekonomian. Penyediaan infrastruktur jalan dapat
menurunkan biaya transportasi dan logistik sehingga dapat meningkatkan daya
saing
produk.
Secara
ekonomimakro,ketersediaandarijasa
pelayananinfrastrukturmempengaruhi marginal productivity ofprivate capital,
sedangkan dalam konteks ekonomi mikro,ketersediaanjasa pelayananinfrastruktur
berpengaruh terhadap penguranganbiayaproduksi (Kwik2004). Dengan demikian,
pembangunan infrastruktur dapat menarik investasi yang pada akhirnya
mempercepat gerak ekonomi.
Peraninfrastruktursebagailokomotif
pembangunannasionaldandaerah
sangat dibutuhkan untuk menggerakkanroda pertumbuhan ekonomi.
Wong(2004)menunjukkanbahwa
pembangunan
infrastrukturfisikmempunyaidampakyangnyataterhadap
kenaikanpajakdaerah.
Dengankatalain,pembangunanberbagaifasilitasiniakan
berujungpadapeningkatankemandiriandaerah
sehinggameningkatkan
taraf
hidupdan kesejahteraan masyarakat. Secara umum JawaBaratadalah provinsi
yang potensial denganwilayahyangsangat luasdenganjumlah penduduk sangat
besar. Jawa Barat bersama Banten merupakan wilayah yang berbatasan langsung
dengan DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Dengan posisi sebagai penyangga
ibukota,makaJawaBarat dan Banten merupakan penunjang pembangunan nasional.
Dalam rangka mengakselerasi pembangunan ekonomi, kesejahteraan,
modernisasi dan keberlanjutan di seluruh Jawa Barat, Pemerintah Provinsi Jawa
Barat telah menyusun konsep awal pengembangan tiga Metropolitan dan dua
Growth Center. Konsep ini dikembangkan dengan memperhatikan posisi strategis
Wilayah Metropolitan (Bodebek Karpur, Bandung Raya dan Cirebon Raya)
sebagai pusat aglomerasi penduduk, aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat;
sertaGrowth Center (Palabuhanratu dan Pangandaran) sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi yang berpotensi untuk menghela pertumbuhan dan perkembangan
wilayah-wilayah
lain
di
sekitarnyadankondisi

2
makrodiIndonesia.Bertolakdarikondisitersebut
makaberbagaikebijakanstrategis
dalam
bidang
ekonomiyang
diambilpemerintahJawaBarattentunya
sangatberpengaruhpadaakselerasi pertumbuhan sektor-sektor dominandi Jawa
Barat.
Kebijakan percepatan pembangunan daerah dilakukan melalui peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan pengurangan disparitas untuk mendorong peningkatan
pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aziz (1994) bahwa untuk memperkecil
ketertinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa alternatif pengembangan
suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa investasi yang langsung diarahkan
pada sektor produktif atau investasi pada bidang social overhead, seperti
pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur
lainnya. Studi terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur berupa
sarana dan prasarana transportasi, jaringan listrik dan telekomunikasi serta
pengadaan air bersih sangatlah penting dalam rangka meningkatkan
perekonomian masyarakat di suatu wilayah. (Aschauer 1989; Munnel 1990;
Canning 1999; Sibarani 2002; Prasetyo 2010). Sarana dan prasarana infrastruktur
dibutuhkan tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha.
Sehingga peningkatan infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan
mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Daerah dengan infrastruktur yang memadai mempunyai keuntungan yang
lebih besar dalam menarik investasi masuk ke daerahnya sehingga menyebabkan
daerah akan menjadi lebih cepat berkembang dibandingkan dengan daerah yang
memiliki infrastruktur yang kurang memadai. Hal ini dikarenakan terbukanya
keterisolasian daerah sehingga akses ke berbagai faktor produksi dimungkinkan
untuk membuka peluang bergeraknya perekonomian daerah. Secara umum pada
periode 2006-2010 pertumbuhan ekonomi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta
relatif sama yaitu berkisar antara 4% hingga 6%. Hal ini mengindikasikan
keterkaitan yang erat antara perekonomian DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya
yaitu Jawa Barat dan Banten. Pada Gambar 1 pertumbuhan ekonomi Jawa Barat
lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2006 dan 2007.
Hal ini menunjukkan adanya investasi di Jawa Barat sebagai penyangga daerah
DKI Jakarta, pertumbuhan Jawa Barat mengalami penurunan di tahun 2008
karena adanya kenaikan harga BBM. Pada tahun yang sama pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Banten juga menunjukkan penurunan.
7,0
6,5

6,4
6,1

(%)

6,0
5,7

5,5
5,0

Jawa Barat

5,2

Banten
4,7

Indonesia

4,5
4,0
2006

DKI Jakarta

2007

2008

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat dan Banten

2009

2010

3
Gambar 1Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat, Banten dan Indonesia
Struktur perekonomian Jawa Barat dan Banten pada tahun 2010
didominasi oleh sektor industri pengolahan yaitu secara berturut-turut sebesar
37.73% dan 42.52%. Tabel 1 menunjukkan bahwa perekonomian di Jawa Barat
dan Banten telah bergeser dari sektor primer ke sektor sekunder yang ditandai oleh
peran sektor pertanian yang semakin kecil. Peran sektor pertanian dalam
pembentukan PDRB Jawa Barat dan Banten tahun 2010 masing-masing sebesar
12.6% dan 8.9%, jauh lebih rendah dibandingkan peran sektor-sektor sekunder
yang mencapai lebih dari 20%.
Tabel1PDRBJawaBarat dan Banten tahun2010
Banten (milyar) Jawa Barat (milyar)
LapanganUsaha
Pertanian
13249.342
97194.393
Pertambangandan Penggalian
187.871
15546.258
IndustriPengolahan
63349.921
290754.724
Listrik,GasdanAir Bersih
6025.195
21294.460
Bangunan
5114.992
29047.786
PerdaganganHotel danRestoran
30918.012
172713.197
Pengangkutandan Komunikasi
15471.856
54635.684
Keuangan,Persewaan danJasa Perusahaan
6032.776
21155.314
Jasa-jasa
8626.249
68318.685
TotalPDRB
148976.218
770660.505
Sumber: BPSJawaBarat(2011) dan BPS Banten (2011)

Rumusan Masalah
Prosespembangunan
diJawaBaratdiindikasikanmengalamidisparitaspendapatan
antar
Kabupaten/
Kotayang kemudiandijadikansalahsatu alasanuntukmemekarkan dirimembentuk
daerah otonom yang baru. Disparitas antarwilayah menandakan pembangunan
infrastruktur tidak merata,sebagai contoh pemekaranProvinsi Banten
padatahun2000 danmenyusultuntutanmasyarakat di wilayah III Cirebon (meliputi
Kabupaten
Indramayu,
Kabupaten
Cirebon,Kabupaten
Majalengka,KabupatenKuningan,danKotaCirebon) untuk memisahkan diri dari
ProvinsiJawa Barat.Pada Gambar 2, wilayah dengan PDRB tertinggi adalah
Kabupaten Bekasi keduatertinggi di Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung yang
merupakan ibukotaProvinsi. Pada tahun 2010, PDRB Kabupaten Bekasi
memberikan sumbangan 18.23% terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat. Kabupaten
Bogor dan Kabupaten Bandung juga merupakan wilayah dengan sumbangan
PDRB yang cukup besar masing-masing 10.79% dan 10.51%. Sementara wilayah
dengan PDRB terkecil adalah Kota Banjar, Kota Sukabumi dan Kabupaten
Kuningan.

4
60000

54989

50000
40000
32526

31697

29868

30000
21768

20000

15476
11134

10000

7430 8300 8130

7259 7420 8641

7811
3967 4428

5609 5517

4782
750

6509 5247 6519
1921

3879

0

Sumber: BPS (2011)

Gambar 2PDRB Kabupaten/ Kota di Jawa Barat tahun 2010 (Milyar)
Keterbatasan infrastruktur menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.
Perbedaan ketersediaan infrastruktur antardaerah menimbulkan disparitas
antardaerah yang semakin melebar. Konvergensi akan diukur dari seberapa besar
suatu daerah bisa mencapai suatu kondisi mapan(steady state) yaitu lamanya
tahun yang dicapai agar Provinsi Jawa Barat dan Provisi Banten dalam kondisi
mapannya. Sejak dilakukannya desentralisasi/ otonomi daerah, pemerintah daerah
memiliki hak mengelola keuangannya sendiri menyebabkan pengeluaran untuk
infrastruktur menjadi lebih kecil, hal ini sesuai dengan hasil
SimulasimodelsimultanyangdigunakanolehYudhoyono (2004). Ketika pemerintah
pusat meningkatkan porsi pengeluarannya untuk pembangunan infrastruktur,
sementara pemerintah daerah tidak menambah pengeluaran mereka untuk
pembangunan infrastruktur di daerah, maka terjadi kepincangan pembangunan
infrastruktur antara tingkat nasional dan daerah, yang akhirnya akan
menghambat kelancaran investasi dan pembangunan ekonomi antarwilayah di
dalam
negeri.Desentralisasi
menurutYudhoyono(2004)menemukanbahwapengeluaranpemerintahuntukinfrastr
ukturberdampak positif terhadap pertumbuhan dan penyerapan tenaga
kerja.Semakin kecil pengeluaran terhadap infrastruktur menyebabkan cakupan
dan mutu pelayanan infrastruktur menjadi rendah.
Pembangunan infrastruktur yang tinggi dapat menunjang pertumbuhan
sektor lain, sehingga mampu menjadi daya tarik investasi baik asing maupun
investasi dalam negeri. Layanan infrastruktur yang buruk, dilihat dari kualitas dan
kuantitasnya, berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi, sebaliknya semakin
efektif (optimal) layanan infrastruktur tersebut dimanfaatkan, maka akan
memberikan rate of return yang tinggi (Yanuar 2006). Infrastruktur menjadikan
sistemdistribusidiarahkan
untukmemperlancararusbarang,memperkecil
disparitasantardaerah,
mengurangifluktuasihargadanmenjamin
ketersediaanbarangyang terjangkau oleh masyarakat. ProvinsiJawaBarat memiliki
potensi pariwisata, industri dan pertanian yang memerlukan dukungan
infrastruktur.

5
Bagaimana peran infrastruktur pada daerah di Kabupaten/ Kota di
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten terhadap pertumbuhan
ekonomi secara spesifik. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1 Bagaimana disparitas ekonomi regional Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat
dan Provinsi Banten ?
2 Apakah konvergensi ekonomi telah dicapai oleh Provinsi Jawa Barat dan Provinsi
Banten?
3 Bagaimana dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan
ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten ?
Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, penelitian memiliki
tujuan antara lain:
1 Menganalisis disparitas ekonomi regionalKabupaten/ Kota di Provinsi Jawa
Barat dan Provinsi Banten.
2 Menguji konvergensi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan Banten
melalui pendekatan Produk Domestik Regional Bruto.
3 Menganalisis dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten.
Manfaat Penelitian
Selain untuk menjawab permasalahan yang diteliti, penulis juga berharap
penelitian ini berguna di kemudian hari. Penelitian ini diharapkan mampu
memberi nilai tambah dalam memperkaya pengetahuan dan wawasan.Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pembangunan
pemerintah yang terutama terkait dengan pembangunan infrastruktur. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan
bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan masalah pada penelitian ini.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakupi 7 tahun, dimulai dari tahun 2004 sampai dengan
2010. Analisis dan pengamatan dilakukan dengan menggabungkan daerah-daerah
pemekaran untuk menjamin konsistensi data sehingga Kabupaten/Kota yang
dianalisis sebanyak 16 Kabupaten dan 9 Kota di Jawa Barat serta Provinsi Banten
sebanyak 4 Kabupaten dan 2 Kota.

6

Halaman ini sengaja dikosongkan

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) adalah perkembangan kegiatan
ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah.
Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan
nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional
riil pada tahun sebelumnya (Sukirno 2004).
Pembangunan ekonomi adalah usaha untuk meningkatkan taraf hidup
suatu bangsa yang diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil perkapita.
Tujuan pembangunan ekonomi adalah meningkatkan pendapatan nasional riil
danmeningkatkan produktivitas.
Todaro dan Smith (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai
suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara
terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan
tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar.
Menurut Todaro dan Smith (2006), ada tiga faktor atau komponen utama dalam
pertumbuhan ekonomi yaitu:
1 Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang
ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.
2 Pertumbuhan penduduk yang akan memperbanyak jumlah angkatan kerja.
3 Kemajuan teknologi.
Jhingan (2008) menyebutkan bahwa proses pertumbuhan ekonomi
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor
ekonomi (faktor produksi) yang dipandang sebagai kekuatan utama yang
memengaruhi pertumbuhanyaitu:
1 Sumber alam, yang mencakupi kesuburan tanah, letak dan susunannya,
kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya.
2 Akumulasi modal, yang berarti persediaan faktor produksi yang secara fisik
dapat direproduksi. Proses pembentukan modal bersifat kumulatif dan
membiayai diri sendiri serta mencakupi tiga tahap yang saling berkaitan,
yaitu:(1) Keberadaan tabungan nyata dan kenaikannya, (2) Keberadaan lembaga
keuangan dan kredit untuk menggalakkan tabungan dan menyalurkannya ke
jalur yang dikehendaki. (3) Menggunakan tabungan untuk investasi barang
modal.
3 Organisasiyang terdiri atas para wiraswastawan (pengusaha) dan pemerintah,
yang melengkapi (komplemen) modal, buruh dan yang membantu
produktivitasnya, termasuk dalam menyelenggarakan overhead sosial dan
ekonomi.
4 Kemajuan teknologi, yang berkaitan dengan perubahan di dalam metode
produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil dari teknik penelitian
baru sehingga menaikkan produktivitas buruh, modal dan faktor produksi
lainnya.
5 Pembagian kerja dan skala produksi, yang menimbulkan peningkatan
produktivitas.

8
Sedangkan faktor nonekonomi yang memengaruhi kemajuan perekonomian
yaitu:
1 Faktor sosial dan budaya, yang menghasilkan perubahan pandangan, harapan,
struktur dan nilai-nilai sosial.
2 Faktor sumber daya manusia, yang disebut sebagai “pembentukan modal
insani” yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan
kemampuan seluruh penduduk, termasuk di dalamnya aspek kesehatan,
pendidikan dan pelayanan sosial lainnya.
3 Faktor politik dan administratif, termasuk pemerintahan yang baik dengan
menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan faktor
terpenting dalam pembangunan. Keberhasilan pembangunan suatu negara diukur
berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya.
Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan
menghitung persentase, peningkatanProduk Domestik Regional Bruto (PDRB)
untuk tingkat regional/daerah dan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tingkat
nasional. PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit
usaha dalam suatu wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi selama periode tertentu. Oleh
karena itu, tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat diperoleh melalui
tingkat pertumbuhan nilai PDRB. Pertumbuhan rata-rata ekonomi tersebut dapat
dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
PDRBit − PDRBi (t −1)
.....(2.1)
× 100%)
PRit = (
PDRBi (t −1)
Dalam hal ini:
PR
= pertumbuhan rata-rataekonomi
i
= jumlah wilayah penelitian
t
= tahun t

1 Teori Pertumbuhan Neo-Klasik
Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Sir Roy F. Harrod, Evsey
Domar dan Robert Solow.Teori Harrod-Domar beranggapan bahwa modal harus
dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh
peranan pembentukan modal tersebut.Sedangkan Solow berpendapat bahwa
pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada
manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan hasil atau
output.Model pertumbuhan Solow inilah yang memberikan kontribusi besar
terhadap teori pertumbuhan neo-klasik yang intinya merupakan pengembangan
dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja
dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan
Solow, input tenaga kerja dan modal menggunakan asumsi skala hasil yang terus
menurun (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan
jika keduanya dianalisis secara bersamaan maka digunakan asumsi skala hasil
tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith 2006).

9
Kunci bagi model pertumbuhan neo-klasik adalah fungsi produksi
agregat.Berdasarkan variabel dalam fungsi produksi ini ada dua model
pertumbuhan yaitu model pertumbuhan tanpa perkembangan teknologi dan model
pertumbuhan dengan perkembangan teknologi.
2 Model Pertumbuhan Tanpa Perkembangan Teknologi
Dalam model ini, fungsi produksi secara umum dapat dituliskan sebagai
berikut:
Yt = f (Kt, Lt)
…(2.2)
Bentuk spesifik dari hubungan ini dikenal sebagai fungsi produksi CobbDouglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dituliskan sebagai berikut:
…(2.3)
dengan Y adalah pendapatan riil, K adalah stok modal, L adalah tenaga
kerja, A adalah faktor produksi total, t merupakan subscript untuk waktu, α dan β
adalah elastisitas output terhadap modal dan tenaga kerja. Pendapatan akan
meningkat bila setiap tenaga kerja mendapat modal peralatan yang lebih banyak
dan proses ini disebut capital deepening. Tetapi tidak dapat terus-menerus
meningkat tanpa adanya pertumbuhan teknologi karena modal (seperti juga tenaga
kerja) akhirnya akan meningkat dengan pertumbuhan yang semakin berkurang
(diminishing return).
3 Model Pertumbuhan dengan Perkembangan Teknologi
Model neo-klasik tanpa perkembangan teknologi dirasa kurang realistis.
Agar lebih realistis maka ditambahkan faktor perkembangan teknologi yang dapat
memengaruhi pertumbuhan pendapatan. Cara yang paling umum adalah
memasukkan perkembangan teknologi sebagai elemen dalam fungsi produksi.
Modal dan tenaga kerja diasumsikan dapat mengambil keuntungan dari adanya
perkembangan teknologi. Fungsi produksi dengan perkembangan teknologi
menurut Solow (1956) adalah sebagai berikut:
Yt = f (At, Kt, Lt)
...(2.4)
Dalam hal ini A adalah perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi
dapat dikatakan tidak melekat dalam model karena tidak tergantung dari masukan
modal dan tenaga kerja. Jika diasumsikan perkembangan teknologi meningkat
secara konstan sepanjang waktu (tingkat pertumbuhan tetap), maka fungsi
produksi Cobb-Douglas menjadi:
...(2.5)
dengan g adalah pertumbuhan dari perkembangan teknologi per periode
waktu t. Representasi ini merupakan penyederhanaan dengan mengabaikan
kemungkinan terjadi perkembangan teknologi melalui investasi.
Sebagai tambahan, tenaga kerja dapat juga menjadi lebih terampil sehingga dapat
menaikkan efisiensi dan dalam kasus ini (seperti juga modal) dianggap bersifat
tidak homogen. Asumsi lain yang digunakan model ini adalah sistem
perekonomian berdasarkan pasar berkompetisi sempurna dengan faktor harga
yang fleksibel serta sumber daya pada kesempatan kerja penuh.
Untuk melinearkan persamaan (2.5) maka dilakukan transformasi dalam
logaritma natural (ln) kemudian di diferensial terhadap waktu maka didapat
pertumbuhan pendapatan dan dinyatakan sebagai:
…(2.6)
dengan:

10
y = pertumbuhan pendapatan (misalnya dalam periode satu tahun)
g = pertumbuhan dari perkembangan teknologi
k = pertumbuhan stok modal
l = pertumbuhan tenaga kerja.
Notasi y, k, dan l di sini menunjukkan tingkat pertumbuhan dari Y, K dan L.
Konstanta α dan β menyatakan elastisitas pendapatan terhadap modal dan tenaga
kerjat merupakan subscript untuk waktu.Model pertumbuhan neo-klasik dengan
perkembangan teknologi memberi landasan yang cukup untuk menunjukkan
adanya faktor yang berperan dalam menjelaskan perbedaan pertumbuhan regional.
Dengan mengubah persamaan (2.6) ke dalam model pertumbuhan regional maka
akan terlihat bahwa perbedaan dapat terjadi karena:
1. Perbedaan perkembangan teknologi antarwilayah.
2. Pertumbuhan stok modal yang mungkin berlainan antarwilayah.
3. Pertumbuhan tenaga kerja dapat juga berlainan antarwilayah.
Dengan menghilangkan subskrip waktu (t) maka persamaan pertumbuhan
untuk masing-masing wilayah dapat dinyatakan sebagai:
…(2.7)
dengan r menyatakan wilayah tertentu. Sehingga gr dapat dibaca sebagai tingkat
perkembangan teknologi di wilayah r yang nilainya untuk tiap wilayah dapat
berlainan, paling tidak untuk jangka pendek.
4 Teori Pertumbuhan Endogen
Model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk memperbaiki teori
pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neo-klasik berargumen
bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa
perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi
karena penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasi dalam model Solow,
maka hal yang mendasari pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap
bahwa teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses pertumbuhan (Capello
2007), dengan demikian model Solow tidak memperdulikan bagaimana
mendorong kemajuan teknologi melalui proses belajar (learning by doing),
investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan. Maka dari itu
pengembangan teori pertumbuhan endogen berawal dari penolakan premis bahwa
teknologi yang memberi sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat
eksogen.
Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang
pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci
utama dalam perekonomian, yaitu:
1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi
peningkatan produktivitas ekonomi.
2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human
capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam
perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas
perekonomian.
Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer (1986).
Dalam mengembangkan teorinya Romer menempatkan stok pengetahuan sebagai
salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat

11
pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing
negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan, karena itu negara
maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat
dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang
lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Teori Romer ini sekaligus menolak
teori konvergensi dari neo-klasik bahwa teknologi bersifat eksogen.
Dalam model Romer, pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh
akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi. Dengan demikian variabel modal
dalam pertumbuhan agregat neo-klasik, sudah memperhitungkan unsur akumulasi
pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu:
1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan.
2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan
peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja.
3. Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya
perkembangan di sektor riset.Secara umum model Romer dirumuskan sebagai
berikut:
…(2.8)
Dalam hal iniYi adalah output produksi perusahaan, Ki adalah stok modal,
Li adalah tenaga kerja, dan H adalah stok pengetahuan/teknologi (technical
knowledge) agregat. H diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif
terhadap produksi setiap perusahaan. Pemikiran kedua (teori learning)
dikemukakan oleh Lucas (1988) melalui model akumulasi human capital. Teori
learning memasukkan unsur ekstenalitas yang terkandung dalam peningkatan
kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public
knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang
bersifat increasing return to scale.
Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal
maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat
bahwa ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum
(termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu
inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing.
Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal,
yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lukas adalah
sebagai berikut:
... (2.9)
Dalam hal ini: Ytadalah output produksi, A adalah konstanta, K adalah stok
modal, L adalah tenaga kerja, u adalah Jumlah kerja yang dihitung dengan waktu
yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi, H adalah kualitas dari human
capital yang merupakan rata-rata banyaknya pengetahuan yang dimiliki oleh
pekerja. Dengan Ht yang meningkat sejalan dengan ut maka fungsi produksi akan
bersifat increasing return to scaledalam hal ini Ht bersifat eksternal yang
bergantung pada tingkat keterampilan rata-rata tenaga kerja dalam perusahaan
tersebut.

12
Disparitas Regional
Pendapatan penduduk tidak selalu merata, bahkan yang sering terjadi
justru sebaliknya. Ketika pendapatan terbagikan secara merata kepada seluruh
penduduk di wilayah tersebut, maka dikatakan distribusi pendapatannya merata,
sebaliknya apabila pendapatan regional tersebut terbagi secara tidak merata (kecil,
sedang dan besar) dikatakan disparitas dalam distribusi pendapatannya. Semakin
besar perbedaan pembagian pendapatan regional tersebut, semakin besar
disparitas distribusi pendapatan.
Menurut Sjafrizal (2008), disparitas pembangunan ekonomi regional
merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah.
Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan
sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masingmasing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam
mendorong proses pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Oleh sebab
itulah, tidak mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat
wilayah maju dan wilayah terbelakang.
Terjadinya disparitasantarwilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat antarwilayah. Karena itu, aspek disparitas pembangunan
antarwilayah ini juga mempunyai implikasi terhadap formulasi kebijakan
pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Menurut Sjafrizal
(2008) upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam
rangka penanggulangan disparitas pembangunan antardaerah dalam suatu negara
atau wilayah yaitu:
1. Penyebaran pembangunan prasarana perhubungan
2. Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan
3. Pengembangan pusat pertumbuhan
4. Pelaksanaan otonomi daerah
Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat
pembangunan ekonomi nasional dan disparitas pembangunan antarwilayah.
Hipotesis ini kemudian dikenal sebagai hipotesis neo-klasik. Dalam hipotesis neoklasik menggambarkan hubungan tingkat disparitas dengan tingkat pembangunan.
Disparitas pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini
akan terjadi sampai disparitas tersebut mencapai titik puncak, setelah itu, bila
proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur disparitas
pembangunan wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain disparitas pada
negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju disparitas
tersebut relatif lebih rendah. Kurva disparitas pembangunan (Kuznets) berbentuk
U terbalik, pada Gambar 3.
Tingkat
Disparitas
Kurva Disparitas

Sumber: Sjafrizal (2008)

Gambar 3Kurva disparitas pembangunan (Kuznets)

Tingkat
Pembangunan

13
Disparitas pada negara sedang berkembang relatif lebih tinggi karena pada
waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan
yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi
pembangunannya sudah lebih baik. Sedangkan daerah yang masih terbelakang
tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana
serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Oleh sebab itulah, pertumbuhan
ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik,
sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan.
Negara yang sudah maju dalam hal ini kondisi yang lebih baik dari segi
prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan
peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antardaerah. Oleh
sebab itu, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi
disparitas pembangunan antarwilayah.
Penelitian tentang hipotesis neo-klasik dilakukan oleh Williamson (1965)
melalui suatu studi tentang disparitas pembangunan antarwilayah pada negara
maju dan negara berkembang dengan menggunakan data time series dan cross
section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hipotesis neo-klasik
ternyata terbukti benar secara empirik. Fakta empirik ini menunjukkan bahwa
peningkatan disparitas pembangunan yang terjadi di negara-negara sedang
berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan pemerintah atau
masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural di seluruh negara.
Ukuran disparitas pembangunan antarwilayah yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya disparitas adalah indeks Williamson. Secara ilmu
statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim
digunakan mengukur suatu perbedaan. Semakin kecil indeks Williamson
menunjukkan disparitas yang semakin kecil pula atau dapat dikatakan semakin
merata.Tetapi jika angka yang didapatkan besar maka indeks ini menggambarkan
disparitas yang semakin lebar.
Konvergensi
Secara umum konvergensi dipahami sebagai proses pengurangan
disparitas pendapatan antardaerah yang dihitung berdasarkan pendapatan per
kapita. Teori konvergensi menyatakan bahwa tingkat kemakmuran yang dialami
oleh negara-negara maju dan negara-negara berkembang pada suatu saat akan
konvergen, bertemu pada satu titik. Ilmu ekonomi juga menyatakan bahwa
negara-negara berkembang akan berhasil mengejar negara-negara maju ketika
terjadi catching up effect. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa negara-negara
maju telah berada dalam kondisi steady state, yaitu kondisi dalam hal ini
tambahan investasi tidak lagi menghasilkan tambahan pendapatan karena seluruh
biaya produksi sudah tertutupi oleh investasi yang ada sehingga tabungan tidak
lagi dapat dijadikan tambahan investasi.
Sementara itu, negara-negara berkembang yang memiliki tambahan
investasi dapat terus menambah pendapatannya dan mengejar pertumbuhan
negara-negara maju. Tingkat investasi negara berkembang masih berada di bawah
biaya produksi sehingga tambahan tabungan di negara berkembang dapat diubah
menjadi tambahan investasi yang akan menambah pendapatan. Jadi, pada saat
pertumbuhan negara-negara maju mulai melambat, negara-negara berkembang

14
justru mencapai pertumbuhan yang tinggi sampai pada satu titik negara maju dan
berkembang bertemu.
Teoriekonomineoklasikberpendapatbahwaperekonomianakanbergerak
menuju steady state atau kondisi mapan, pergerakan tersebut ditentukan oleh
tingkat teknologi, tingkat investasitermasuk modal manusia dan modal fisik,
tingkatpertumbuhanpenduduk,Pergerak