Analysis of labor market and economic growth in South Sulawesi province

(1)

EKONOMI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

MAHYUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis yang berjudul:

ANALISIS PASAR TENAGA KERJA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicamtumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2006

MAHYUDDIN NIM A155030021


(3)

MAHYUDDIN, Analysis of labor market and economic growth in South Sulawesi province. Under direction of BAMBANG JUANDA and HERMANTO SIREGAR

South Sulawesi province has relativity high economic growth, but it also has high level of unemployment. The study generally aims to analyze sources of economic growth, including total factor productivity (TFP) and the effect toward the performance of labor market in South Sulawesi. TFP is counted by indirect accounting method. The performance of labor market is analyzed by using simultaneous equation model, while wage rigidity indicator is assessed by using an equation of error correction model (ECM). The result of analysis indicated that, from supply side, TFP has given the highest contribution toward economic growth of South Sulawesi (2.09%) and labor has given the lowest contribution (1.70%). The high contribution of TFP is mainly in industrial sector (4.20%), while contribution of TFP in agricultural sector decreased, specially, since monetary crisis, with the average contribution -1.02%. TFP in urban industrial sector significantly reduced job opportunity, while in agricultural sector and in rural industrial sector significantly supporting enlarged job opportunity. Furthermore, sources of economic growth from demand side were only investment and export significantly and consistently increased sectoral job opportunity. The wage is generally rigid, specially, in industrial sector.


(4)

ABSTRAK

MAHYUDDIN, Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi di

Provinsi Sulawesi Selatan (BAMBANG JUANDA sebagai Ketua dan

HERMANTO SIREGAR sebaga Anggota Komisi Pembimbing)

Studi ini secara umum bertujuan untuk menganalisis sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, termasuk total factor productivity (TFP) dan pengaruhnya terhadap keragaan pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan. TFP dihitung dengan metode indirect accounting. Keragaan pasar tenaga kerja di analisis dengan model persamaan simultan, sedangkan indikator kekakuan upah di taksir dengan menggunakan persamaan error corection model (ECM). Ditemukan bahwa, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan tidak berbasis pada sektor padat karya, pertumbuhan tenaga kerja hanya 1.70% dan pertumbuhan modal sebesar 1.87%, sementara pertumbuhah TFP 2.09%. Pertumbuhan TFP yang besar terjadi di sektor industri (4.20%), sedangkan pertumbuhan TFP di sektor pertanian merosot terutama sejak krisis ekonomi dengan pertumbuhan -1.02 %. Lebih lanjut, TFP di sektor industri perkotaan secara nyata mereduksi kesempatan kerja, sedangkan di sektor pertanian dan industri pedesaan justru mendorong perluasan kesempatan kerja. Kesempatan kerja sektoral juga dipengaruhi oleh sumber-sumber pertumbuhan ekono mi dari sisi demand, namun hanya investasi dan ekspor yang secara konsisten signifikan secara positif di semua sektor, sedangkan komponen lainnya bahkan mereduksi kesempatan kerja pada sektor tertentu, terutama sektor pertanian. Upah di Sulawesi Selatan bersifat kaku, terutama di sektor industri.


(5)

Hak cipta milik

Institut Pertanian Bogor

, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi,


(6)

ANALISIS PASAR TENAGA KERJA DAN PERTUMBUHAN

EKONOMI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

MAHYUDDIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(7)

Danau Tempe, tepatnya Kecamatan Belawa, Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis merupakan anak ke empat dari tujuh bersaudara dari ayahanda tercinta Riwu T dan ibunda tercinta Marellang.

Karir pendidikan diawali pada tahun 1975 untuk jenjang pendidikan SD dan tamat pada tahun 1981. Pada tahun itu juga melanjutkan pendidikan pada jenjang SLTP di SMP Negeri Belawa dan tamat tahun 1984. Tingkat pendidikan SLTA di tamatkan pada SMA Negeri I Pare-Pare pada tahun 1987. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin, jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan selesai pada bulan Desember tahun 1991. Dua tahun setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, tepatnya tahun 1994, penulis diterima sebagai staf pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Unhas.

Pada tanggal 7 September tahun 1998, penulis menikah dengan A.Anugrahwaty SP. yang juga merupakan alumni Jurusan Sosek Pertanian Unhas, dan saat ini kami telah dikaruniai dua buah hati, putra dan putri titipan Illahi yaitu Muh. Agung yang lahir pada tanggal 8 Agustus 1999 dan Nurul Izzah lahir pada tanggal 26 Mei 2001.

Pada tahun 2003, penulis mendapat beasiswa BPPS-Dikti untuk menempuh pendidikan S2 dan diterima di Program Studi Ilmu- Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Institut Pertanian Bogor.


(8)

Judul Tesis : Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan

Nama Mahasiswa : Mahyuddin NIM : A155 030 021

Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Juanda , MS

Ketua

Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc.

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Isang Gonarsyah, Ph.D.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M S


(9)

limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga sebuah kristalisasi pemikiran penulis yang diwujudkan dalam bentuk tesis dengan judul ”Analisis Pasar Tenaga Kerja dan

Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan”dapat terselesaikan.

Tulisan ini dapat dirampungkan, berkat kontribusi berbagai pihak. Karena itu, dengan rasa bangga dan tulus penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah mencurahkan segenap waktu, pikiran serta dengan sabar memberi arahan dan masukan bagi penulis. Ucapan terima kasih yang tak terkira pula, penulis haturkan kepada bapak Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, M.Sc, yang sejak awal perkuliahan telah banyak memberi wawasan kepada penulis dan sebagai penguji luar komisi sehingga tulisan ini dapat lebih disempurnakan.

Penulis juga menghaturkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada teman-teman seperjuangan di program pascasarjana IPB angkatan 2003 PWD dan segenap warga Melati 5 terima kasih atas kebersamaannya serta dukungan morilnya selama ini

Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan pula kepada ibunda Marellang dan ayahanda Riwu T. yang senangtiasa berdoa dan memberikan dukungan tak terkira kepada penulis. Demikian pula kepada ibu mertua A.Cahaya Hakim dan bapak mertua almarhum Drs. Abd. Hakim, serta seluruh sanak keluarga lainnya, terima kasih atas doa, dorongan dan dukungan yang diberikan selama ini. Secara khusus ucapan terima kasih kepada istriku tercinta A.Anugrahwaty, SP dan kepada buah hatiku Muh.Agung dan Nurul Izzah, yang senangtiasa berdoa dan memberi dukungan dengan penuh kesabaran dan ketulusan selama ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini sungguh masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan keritikan dan saran konstruktif dari pembaca demi penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengemb angan ilmu pengetahuan saat ini maupun di masa datang dan bermanfaat bagi pembangunan daerah dan kemajuan ummat manusia pada umumnya. Amin

Bogor, Juli 2006 Penulis


(10)

v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Industrialisasi dan Transformasi Struktural Ekonomi dan Tenaga Kerja. ... 13

2.2. Model-Model Pertumbuhan Ekonomi... 16

2.2.1. Pertumbuhan Ricardian ... 17

2.2.2. Model Lewis ... 18

2.2.3. Model Harrod-Domar ... 22

2.2.4. Model Pertumbuhan Solow ... 25

2.2.5. Model Pertumbuhan Endogenous ... 28

2.3. Total Factor Productivity ... 30

2.4. Pasar Tenaga Kerja ... 31

2.4.1. Penawaran Tenaga Kerja ... 31

2.4.2. Permintaan Tenaga Kerja ... 33

2.4.3. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja ... 35

2.4.4. Pengangguran, Upah Kaku dan Distorsi Pasar Tenaga Kerja 37 2.5. Tinjauan Studi Terdahulu ... 39

2.6.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Perubahan Struktural ... 39

2.6.2. Total Factor Productivity ... 40

2.6.3. Pasar Tenaga Kerja ... 41

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS... 43

3.1. Kerangka Pemikiran ... 43

3.2. Hipotesis ... 46

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN... 47

5.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 47

5.2. Jenis dan Sumber Data ... 47

5.3. Pengembangan Model Analisis ... 47


(11)

vi 4.3.4. Simulasi Kebijakan dan Dampaknya terhadap Kesempatan

kerja, pertumbuhan ekonomi dan NTB Sektoral ... 62

4.4. Identifikasi Model Ekonometrika ... 62

4.5. Metode Pendugaan ... 65

4.6. Prosedur Pembentukan dan Penerapan Model ... 65

4.7. Definisi Operasional ... 68

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

5.1. Profil Perekonomian Sulawesi Selatan... 69

5.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan ... 69

5.1.2. Struktur Perekonomian Sulawesi Selatan dan Kontribusinya dalam Perekonomian Regional dan Nasional ... 75

5.1.3. Ciri Perekonomian secara Spatial di Sulawesi Selatan ... 81

5.2. Profil Ketenaga Kerjaan Sulawesi Selatan... 84

5.2.1. Permintaan Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ... 85

5.2.2. Penawaran Tenaga Kerja Perkotaan dan Pedesaan ... 89

5.3. Total Factor Productivity ... 91

5.4. Keragaan Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Sul-Sel 100 5.4.1. Gambaran Umum Model Dugaan Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan ... 100

5.4.2. Kesempatan Kerja Sektoral di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ... 101

5.4.3. Upah Riil Sektoral di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ... 113

5.4.4. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tambah Sektoral ... 123

5.4.5. Produktivitas Tenaga Kerja Sektoral ... 127

5.4.6. Angkatan Kerja Perkotaan dan Pedesaan ... 130

5.4.7. Pengangguran Perkotaan dan Pedesaan ... 134

5.5. Analisa Kekakuan Upah dan Kelambanan Respon Permintaan Tenaga Kerja Sektoral di Sulawesi Selatan ... 137

5.6. Analisa Simulasi Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan ... 150

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 161

6.1. Simpulan ... 161

6.2. Saran-Saran ... 163

DAFTAR PUSTAKA ... 165


(12)

vii

DAFTAR TABEL

1. Beberapa indikator makro pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan dan Indonesia Tahun 1993 – 2003 ... 5 2. Pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan PDRB per kapita Sulawesi Selatan,

kawasan timur Indonesia (KTI) dan nasional, tahun 1985-2004 ... 72 3. Pergeseran struktur ekonomi Sulawesi Selatan dan nasional, serta

kontribusi Sulawesi Selatan dalam perekonomian regional dan nasional, tahun 1985-2004 ... 79 4. Kontribusi PDRB dan nilai tambah sektoral Sulawesi Selatan terhadap

PDRB dan nilai tambah sektoral Pulau Sulawesi, KTI dan nasional, tahun 1985-2004 ... 80 5. Indikator ekonomi kabupaten/kota di Sulawesi Selatan berdasarkan ciri

ekonomi daerah, tahun 2001-2004 ... 82 6. Pegeseran struktur dan pertumbuhan tenaga kerja dirinci menurut sektor

dan jenis kelamin di wilayah pedesaan dan perkotaan di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ... 87 7. Pertumbuhan jumlah penduduk, penduduk usia kerja, angkatan kerja,

bukan angkatan kerja dan migrasi masuk di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ... 90 8. Perkembangan pertumbuhan tenaga kerja, modal dan TFP, menurut fase

pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ... 96 9. Hasil estimasi parameter persamaan kesempatan kerja sektoral di

wilayah perkotaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ... 104 10. Hasil estimasi parameter persamaan kesempatan kerja sektoral di

wilayah pedesaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ... 109 11. Hasil estimasi parameter persamaan upah riil sektoral di wilayah

perkotaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ... 115 12. Hasil estimasi parameter persamaan upah riil sektoral di wilayah


(13)

viii 14. Hasil estimasi parameter persamaan produktivitas tenaga kerja sektoral

di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ... 129 15. Hasil estimasi parameter persamaan angkatan kerja perkotaan dan

pedesaan di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ... 132 16. Hasil estimasi parameter persamaan pengangguran perkotaan dan

pedesaan di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ... 135 17. Hasil estimasi parameter ECM persamaan respon upah riil Rata-Rata,

Upah Riil Perkotaan dan Pedesaan Terhadap Guncangan Permintaan dan

Penawaran Tenaga Kerja di Sulawesi Selatan ... 141 18. Hasil estimasi parameter ECM persamaan respon upah riil sektoral di

wilayah perkotaan dan pedesaan terhadap guncangan permintaan tenaga

kerja sektoral di Sulawesi Selatan ... 144 19. Hasil estimasi parameter ECM persamaan respon kesempatan kerja

perkotaan dan pedesaan terhadap guncangan upah riil di Sulawesi

Selatan ... 148 20. Hasil estimasi dampak simulasi kebijakan terhadap variabel kesempatan

kerja dan nilai tambah sektoral, serta terhadap pertumbuhan ekonomi


(14)

ix

DAFTAR GAMBAR

1. Kontribusi komponen permintaan agregat terhadap PDRB Sulawesi

Selatan tahun 2003 ... 7

2. Pertumbuhan PDRB, investasi dan tenaga kerja di Sulawesi Selatan tahun 1994 – 2003 ... 8

3. Kerangka perumusan masalah pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan ... 9

4. Model Lewis ... 19

5. Model Lewis dinamis ... 21

6. Model Harrod-Domar ... 25

7. Model Pertumbuhan Neoklasik ... 27

8. Penentuan kurva penawaran tenaga kerja ... 32

9. Penentuan kurva permintaan tenaga kerja ... 34

10. Keseimbangan pasar tenaga kerja dan pengangguran ... 36

11. Kerangka pemikiran konseptual analisis pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan ... 44

12. Tahapan dan umpan balik dalam penelitian analisis pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan ... 67

13. Kinerja pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, kawasan timur Indonesia (KTI) dan nasional, periode 1986-2004 ... 70

14. Perkembangan PDRB per kapita Provinsi Sulawesi Selatan, kawasan timur Indonesia (KTI) dan nasional, periode 1986-2004 (juta Rp.) ... 74

15. Struktur PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2004 ... 77

16. Sebaran PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan menurut ciri ekonomi wilayah, tahun 2004 ... 83


(15)

x 18. Pergeseran struktur tenaga kerja dan PDRB sektoral di Sulawesi Selatan,

tahun 1985-2004 ... 86 19. Perkembangan pertumbuhan tenaga kerja, modal dan TFP terhadap

pertumbuhan ekono mi Sulawesi Selatan (analisa semua sektor) ... 94 20. Respon dinamis rata-rata upah riil Sulawesi Selatan terhadap guncangan

permintaan tenaga kerja total ... 142 21. Respon dinamis upah riil perkotaan terhadap guncangan permintaan

tenaga kerja perkotaan ... 143 22. Respon dinamis upah riil pedesaan terhadap guncangan permintaan tenaga

kerja pedesaan ... 143 23. Respon dinamis upah riil sektor pertanian perkotaan terhadap guncangan

permintaan tenaga kerja pertanian perkotaan ... 145 24. Respon dinamis upah riil sektor industri perkotaan terhadap guncangan

permintaan tenaga kerja industri perkotaan ... 145 25. Respon dinamis upah riil sektor lain perkotaan terhadap guncangan

permintaan tenaga kerja sektor lain perkotaan ... 146 26. Respon dinamis upah riil sektor pertanian pedesaan terhadap guncangan

permintaan tenaga kerja pertanian pedesaan ... 146 27. Respon dinamis upah riil sektor industri pedesaan terhadap guncangan

permintaan tenaga kerja industri pedesaan ... 146 28. Respon dinamis upah riil sektor lain pedesaan terhadap guncangan

permintaan tenaga kerja sektor lain pedesaan ... 146 29. Respon dinamis kersempatan kerja perkotaan terhadap guncangan upah

riil perkotaan ... 149 30. Respon dinamis kersempatan kerja pedesaan terhadap guncangan upah riil

pedesaan ... 149 31. Dampak peningkatan konsumsi masyarakat (CS) 25% terhadap


(16)

xi 32. Dampak peningkatan investasi (INV) 25 % terhadap pertumbuhan

ekonomi dan kesempatakan kerja Sulawesi Selatan ... 153 33. Dampak peningkatan ekxpor (Expr) 25 % terhadap pertumbuhan ekonomi

dan kesempatakan kerja sektoral Sulawesi Selatan ... 154 34. Dampak peningkatan impor (IMP) 25% terhadap pertumbuhan ekonomi

dan kesempatakan kerja sektoral Sulawesi Selatan ... 155 35. Dampak peningkatan PAD = 25% terhadap kesempatan kerja dan

pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ... 156 36. Dampak peningkatan total factor productivity (TFP) 2% terhadap

pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ... 157 37. Dampak peningkatan total factor productivity pertanian (TFPP) 2%

terhadap kesempatan kerja pertanian dan nilai tambah bruto sektor

pertanian di Sulawesi Selatan ... 158 38. Dampak peningkatan total factor productivity sektor industri pengolahan

(TFPI) 2% terhadap kesempatan kerja dan nilai tambah bruto sektor

industri pengolahan di Sulawesi Selatan ... 158 39. Dampak peningkatan total factor productivity sektor lain (TFPL) 2%

terhadap kesempatan kerja dan nilai tambah bruto sektor lain di Sulawesi


(17)

xii 1. Hasil perhitungan total factor productivity (TFP) seluruh sektor, TFP

sektor pertanian, TFP sektor industri pengolahan dan TFP sektor

lainnya di Sulawesi Selatan tahun 1986-2004 ... 169 2. Output pendugaan parameter persamaan simultan (Two-Stage Least

Squares) pada model analisis pasar tenaga kerja dan pertumbuhan

ekonomi Sulawesi Selatan ... 173 3. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan simultan pasar

tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ... 181 4. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga

kerja dan upah riil dalam persamaan error correction model (ECM) .... 206 5. Hasil uji kointegrasi persamaan autoregressive redisual dari

persamaan respon upah riil dan respon kesempatan kerja ... 220 6. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil dan

persamaan respon permintaan tenaga kerja di Sulawesi Selatan ... 229

7. Uji root mean squared error dan uji theil inequality coeficient pada

persamaan-persamaan estimasi dalam analisa simulasi kebijakan ... 238 8. Nilai masing- masing variabel persamaan pasar tenaga kerja dan


(18)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi, seringkali dikaitkan tidak hanya sebagai penciri tingkat pendapatan yang lebih tinggi bagi suatu perekonomian atau mekanisme yang berkelanjutan dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Tetapi juga dikaitkan sebagai mekanisme “mujarab” untuk mendorong perluasan kesempatan kerja guna mengatasi pengangguran, karena dengan pertumbuhan ekonomi, berarti memberikan peluang bagi semua jenis usaha untuk menciptakan pekerjaan. Bahkan secara eksplisit, hukum Okun1) (Okun’s law) menyebutkan bahwa pengangguran berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi. Alasan lainnya adalah di dasarkan pada mekanisme transformasi struktur produksi dan struktur tenaga kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi, seperti yang diungkapkan oleh Fisher (1953) dalam Juanda (2001) bahwa pertumbuhan ekonomi biasanya disertai dengan pergeseran permintaan dari sektor primer ke sektor sekunder kemudian ke sektor tersiar. Selanjutnya pergeseran tersebut akan diikuti oleh pergeseran struktur produksi, melalui pergeseran kesempatan kerja dan alokasi dana dari sektor primer ke sektor sekunder kemudian ke sektor tersier.

Akan tetapi, tampaknya pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak sertamerta akan di ikuti oleh perluasan kesempatan kerja dan pengurangan pengangguran. Seperti halnya yang terjadi di Sulawesi Selatan, di mana dalam dua dekade terahkir (1986-2004), daerah ini memiliki kinerja pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi yakni tumbuh rata-rata 5.88 persen per tahun. Kinerja ini melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional dan wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang masing- masing tumbuh sekitar 4.70 persen dan 5.25 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama. Namun kenyataan lain juga menunjukkan bahwa pengangguran di daerah ini, dari tahun ketahun menunjukkan trend peningkatan dan semakin memprihatinkan. Bahkan pada tahun 2003, Sulawesi Selatan

1) Hukum Okun dari Arthur M.Okun (1983) menyatakan bahwa laju pengangguran (Ut)

berbanding terbalik dengan selisih laju pertumbuhan ekonomi (gt) terhadap laju pertumbuhan

dalam kondisi normal (gt”), atau : Ut = -q(gt - gt”) + et di mana q adalah konstanta positif dan

et adalah factor-faktor lain yang secara agregat bersifat acak dengan rataan nol. Dapat dibaca


(19)

memiliki skor tertinggi tingkat pengangguran di Indonesia yakni mencapai 16.97 persen (Sakernas, 2003).

Penomena “growth-unemployment puzzle” yang terjadi di Sulawesi Selatan ini boleh jadi terkait dengan kinerja pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu menciptakan transformasi struktural sesuai pola normal, seperti yang ditekankan oleh Cooper (2005) bahwa peningkatan kinerja ekonomi sangat ditentukan oleh keberhasilan menjalankan transformasi struktural. Transformasi struktural baru dapat dikatakan berhasil apabila kenaikan peranan industri manufaktur dan kenaikan ekspor disertai dengan berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian, karena secara sinifikan diserap oleh sektor industri manufaktur. Bahkan menurut Siregar (2006) bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat barulah merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan laju pengangguran, tetapi hal itu dipandang belum cukup (not sufficient). Syarat kecukupannya adalah peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Peningkatan kualitas yang dimaksud antara lain ialah pertumbuhan ekonomi harus dinikmati secara merata oleh segenap produsen dan berkelanjutan (sustainable). Menurutnya, laju pengangguran akan dapat diturunkan secara cepat apabila pertumbuhan ekonomi dipacu pada sektor padat karya. Sektor-sektor yang dimaksud adalah terutama sektor pertanian dalam arti luas dan industri pertanian (agroindustri).

Tidak berhasilnya transformasi struktural seperti yang ditekankan oleh Cooper, serta tidak terpenuhinya syarat kecukupan (sufficient condition) dari pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, tampaknya menjadi jawaban terhadap puzzle pertumbuhan-pengangguran di daerah ini. Hal ini terlihat dari kinerja pertumbuhan ekonomi, di mana sektor industri manufaktur mengalami “loncatan” pertumbuhan yang memukau, terutama pada periode awal proses industrialisasi di Indonesia, yang diawali pada pertengahan tahun 1980 an. Pertumbuhan industri manufaktur dalam periode 1986-2004, tumbuh rata-rata 11.11 persen pertahun, sementara sektor pertanian yang menampung lebih dari separuh total tenaga kerja hanya tumbuh sekitar 4.17 persen pertahun dalam periode yang sama. Sebagai konsekuensi logis dari disvarietas pertumbuhan ini, menyebabkan terjadinya pergeseran dalam struktur perekonomian. Kontribusi sektor industri manufaktur


(20)

3 meningkat secara signifikan dari sekitar 3.99 persen tahun 1985 menjadi sekitar 13.36 persen tahun 2004. Sedangkan kontribusi sektor pertanian mengalami kemerosotas secara signifikan pula yakni dari 44.73 persen tahun 1985 menjadi sekitar 33.04 persen tahun 2004.

Akan tetapi transformasi struktur ekonomi tersebut tidak diikuti oleh transformasi struktur tenaga kerja secara seimbang. Sektor industri manufaktur yang meningkat tajam kontribusinya dalam struktur ekonomi, memiliki kemampuan kecil dalam menyerap tenaga kerja. Pada tahun 1985 sektor ini tercatat hanya menampung tenaga kerja sekitar 5.18 persen dari total tenaga kerja dan dalam kurun waktu hampir dua dekade, peranannya dalam menyerap tenaga kerja hanya meningkat tipis yakni menjadi sekitar 5.52 persen tahun 2004. Sebaliknya sektor pertanian yang kontribusinya dalam struktur ekonomi menurun tajam, namun jumlah tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor ini tidak banyak berubah, yakni sebesar 55.01 persen pada tahun 1985 menjadi 55.04 tahun 2004. Dampaknya adalah kesenjangan produktivitas tenaga kerja antar sektoral dan regional menjadi tidak dapat dihindari, sehingga memperburuk kondisi ketenaga kerjaan di daerah ini, yang tergambar dari angga pengangguran yang semakin memprihatinkan.

Pengangguran yang tinggi di daerah ini, tidak hanya disebabkan adanya semacam “bottleneck” dalam pasar tenaga kerja yang menyertai transformasi strukturalnya, tetapi juga diperparah oleh inflasi tinggi pada era krisis ekonomi tahun 1998, serta dipicu oleh banyaknya “migran-eksodus” dari berbagai daerah rawan konflik di tanah air, yang dimulai dari krisis Timur-Timur (Timor Leste) tahun 1998, kemudian konflik Ambon dan Maluku Utara, Poso serta Papua tahun 1999-2001.

Tingkat pengangguran yang tinggi dapat menjadi beban yang berat bagi pembangunan itu sendiri karena dapat mengganggu kestabilan sosial, ekonomi dan politik. Banyaknya pengangguran tidak hanya menyebabkan rata-rata pendapatan masyarakat rendah dan menimbulkan kesenjangan, tetapi juga dapat mendorong meningkatnya angka kriminalitas tinggi. Bahkan dapat mendorong mewabahnya ekonomi siluman (underground-economy), sehingga penerimaan pajak pemerintah menjadi kecil. Dengan demikian pengangguran yang tinggi


(21)

sekaligus dapat menyebabkan terjadinya kontraksi pertumbuhan ekonomi. Karena itu upaya mengatasi pengangguran di daerah ini dipandang merupakan sesuatu yang urgen.

Karena itu, arah pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan ke depan diharapkan tidak hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja, tapi juga harus mampu mendorong perluasan kesempatan kerja yang tinggi pula, guna mengatasi persoalan pengangguran. Sasaran-sasaran ini, sesungguhnya terkait erat dan saling mempengaruhi satu sama lain secara timbal balik. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada peningkatan investasi guna mendorong perluasan kapasitas usaha dan produksi dapat mendorong perluasan kesempatan kerja. Sebaliknya penurunan angka pengangguran yang berarti pula meningkatnya partisipasi angkatan kerja tentunya dapat memberikan kontiribusi signifikant dalam pertumbuhan ekonomi (output), seperti yang telah dimodelkan oleh Solow dalam Todaro (2000) bahwa pertumbuhan output bergantung pada tiga faktor penting yakni kuantitas dan kualitas tenaga kerja, penambahan barang modal (physical capital) serta penyempurnaan teknologi.

Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji sumber-sumber pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan baik dari sisi demand-nya maupun dari sisi supply-nya termasuk kemajuan teknologi (didasarkan pada pertumbuhan total factor productivity)2) dan dampaknya terhadap keragaan pasar tenaga kerja di daerah ini. Dengan memadukan kedua hal tersebut, maka studi ini nantinya diharapkan dapat memberikan arahan konstruktif dalam rangka menentukan arah kebijakan strategis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi dan sekaligus mampu mendorong perluasan kesempatan kerja sehingga angka pengangguran di Sulawesi Selatan dapat diminimalkan.

1.2. Perumusan Masalah

Secara umum pasar tenaga kerja memang selalu dipengaruhi oleh dua sisi yakni sisi penawaran tenaga kerja (labor supply) dan sisi permintaan tenaga kerja

2). TFP (total factor productivity) adalah jumlah pertumbuhan yang tersisa (residu) setelah dikurangkan dengan kontribusi pertumbuhan masing-masing factor produksi yang terukur (tenaga kerja dan modal) . TFP, seringkali digunakan sebagai ukuran kemajuan teknologi atau peningkatan efisiensi tenaga kerja (Mankiw, 2003)


(22)

5 (labor demand). Perubahan yang tidak seimbangan dari kedua sisi pasar tenaga kerja tersebut, akan menghasilkan ketidak seimbangan pasar tenaga kerja pula. Perubahan sisi penawaran tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat partisipasi angkatan kerja dan migrasi, (Ruby, 2003). Sedangkan perubahan sisi permintaan tenaga kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi, termasuk sumber-sumber pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Menurut Kasliwal, (1995) ketidak seimbangan pasar tenaga kerja yang bermuara pada pengangguran merupakan pencerminan dari terjadinya exccess supply dalam pasar tenaga kerja.

Angka pengangguran di Sulawesi Selatan meningkat dari tahun ketahun dan semakin memprihatinkan, bahkan pada tahun 2003, daerah ini memiliki skor tertinggi dalam tingkat pengangguran di Indonesia yakni mencapai 16.97 persen. Peningkatan tajam angka pengangguran di daerah ini terutama terjadi pasca krisis ekonomi tahun 1998. Berikut ini disajikan beberapa indikator makro pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan.

Tabel 1. Beberapa indikator makro pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan dan Indonesia tahun 1993-2003

Tahun 1993 – 2003 Indikator Pasar Kerja di

Sul- Sel & Indonesia 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Sulawesi Selatan

Penduduk (juta) Angkatan Kerja (juta) Tenaga Kerja (juta) Pengangguran (Ribu) Angka Pengangguran (%) Tenaga Kerja Men. Sektor

• Pertanian (% thd. Tot)

• Industri (% thd. Tot)

• Jasa (% thd. Tot)

7.21 2.76 2.66 100.22 3.63 57.79 9.75 32.46 7.36 3.09 2.93 160.86 5.21 61.07 10.09 28.85 7.42 2.92 2.61 310.39 10.63 53.35 9.82 36.83 7.59 3.20 3.03 167.08 5.22 57.80 10.76 31.44 7.71 3.16 3.02 138.16 4.37 50.18 11.08 38.74 7.84 3.24 3.07 170.04 5.25 55.87 9.16 34.98 7.98 3.29 3.08 213.19 6.48 55.41 8.72 35.87 7.80 3.06 2.87 376.35 6.09 55.28 8.92 35.80 7.89 3.28 2.88 335.83 10.03 56.23 8.76 35.01 7.96 3.30 2.89 405.34 12.29 57.85 8.69 33.46 8.21 3.46 2.87 586.77 16.97 59.76 8.80 31.45 Indonesia

Angka Pengangguran (%) Tenaga Kerja Men. Sektor

• Pertanian (% thd. Tot)

• Industri (% thd. Tot)

• Jasa (% thd. Tot)

2.76 50.60 15.68 33.72 3.36 62.06 15.31 22.63 7.24 43.98 18.42 37.60 4.89 44.02 18.09 37.89 4.68 41.18 19.01 39.81 5.46 44.96 16.28 38.76 6.35 43.21 17.84 38.95 6.1 45.38 17.43 37.29 8.1 43.88 17.54 38.58 9.1 44.34 13.21 42.45 9.50 46.26 12.84 40.90 Sumber : BPS : Sakernas 1993-2003, Sulawesi Selatan dalam angka dan statistik


(23)

Berbagai faktor yang menyebabkan sehingga angka pengangguran di Sulawesi Selatan tinggi bahkan cenderung meningkat antara lain sebagai berikut : (1) Dalam dua dekade terkhir (1985-2004) Angkatan kerja (labor supply)

tumbuh sekitar 3.78 persen per tahun yang berarti lebih besar dari pertumbuhan kesempatakan kerja (labor demand) dengan pertumbuhan hanya sekitar 2.50 persen per tahun. Kesenjangan pertumbuhan yang semakin melebar dari kedua sisi pasar tenaga kerja ini bermuarah pada semakin tingginya angka pengangguran. Pertumbuhan yang besar pada sisi angkatan kerja selain didorong oleh pertumbuhan populasi sekitar 1.38 persen pertahun, juga disebabkan oleh banyaknya arus migrasi masuk terutama sejak tahun 1999. Arus migrasi ini umumnya merupakan “migran-eksodus” yang berasal dari berbagai daerah rawan konflik di Kawasan Timur Indonesia dimulai konflik Tim- Tim di penghujung tahun 1998, kemudian konflik Ambon, Maluku Utara, Poso, dan Papua dari tahun 1999-2001.

(2) Sektor industri yang diharapkan menjadi leading sektor perekonomian ternyata tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menyerap tenaga kerja, yakni hanya sekitar 5.80 persen tahun 2003. Sementara di sisi lain sektor pertanian dengan produktivitas tenaga kerja yang rendah, sudah jenuh dengan surplus tenaga kerja, sehingga peluang “angkatan kerja baru” untuk terserap dalam pasar tenaga kerja sangat tipis yang kemudian perdampak pada pengangguran tinggi. Kesenjangan daya tampung tenaga kerja yang disertai kesenjangan produktivitas tenaga kerja yang tajam antara sektor industri dan sektor pertanian sekaligus menunjukkan adanya semacam “Bottleneck” dalam pasar tenaga di Sulawesi Selatan. Sehingga memperburuk kondisi ketena ga kerjaan dan menyebabkan semakin tingginya angka pengangguran di daerah ini.

(3) Pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan tidak bersumber pada fundamental ekonomi yang kuat. Sektor produksi terutama sektor industri sangat tergantung pada impor (lihat Gambar 1, ekspor-impor total defisit). Akibatnya sistem ekonomi rentang terhadap goncangan global seperti era krisis ekonomi tahun 1998, sehingga berdampak pada semakin tingginya


(24)

7 pengangguran. Rapuhnya struktur perekonomian ini, tentunya juga terkait dengan kebijakan insetif (subsidi dan protektif) selama ini, sehingga sektor industri dalam negeri kurang kompetitif dengan dunia luar.

(4) Dari aspek sumber pertumbuhan ekonomi, khususnya dari segi permintaan output agregat, pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan masih di dorong oleh komponen konsumsi yang pada tahun 2003 memiliki kontribusi sekitar 57.01 persen sedangkan investasi hanya sekitar 23.43 persen, demikian pula aspek eksternal dimana secara total ekspor- impor masih defisit.

57.01

0.59

20.46 23.07

0.36

5.50

(6.99)

(10.00) -10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

Kons.RT

Kons. Nirlaba Ko ns. P

em. Pem

b. M odal

Perub ahan

Stok (X-M

) Anta r Neg

.

(X-M ) Anta

r Prop .

Share (%)

Gambar 1 Kontribusi komponen permintaan agregat terhadap PDRB Sulawesi Selatan, Tahun 2003

Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh oleh konsumsi masyarakat bukanlah pertumbuhan yang dapat mengurangi tekanan pasar tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi tekanan pasar tena ga kerja haruslah berbasiskan pada investasi yang mengarah kepada perluasan kapasitas usaha dan produksi.

(5) Pertumbuhan perekonomian Sulawesi Selatan, dilihat dari sisi supply, menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB lebih responsif terhadap perumbuhan modal (investasi) dibandingkan terhadap pertumbuhan faktor produksi tenaga kerja. Penomena ini tampaknya bertentangan dengan


(25)

“mitos” dalam perekonomian selama ini, yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan selalu diikuti perluasan kesempatan kerja.

(5.33) 24.88

(20.61) (30.00)

(20.00) (10.00) -10.00 20.00 30.00

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

1. Pertumbuhan PDRB 2. Pertumbuhan Investasi 3. Pertumbuhan Tenaga Kerja

Pertumbuhan (%)

Gambar 2 Pertumbuhan PDRB, investasi dan tenaga kerja di Sulawesi Selatan, Tahun 1994-2003

Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pertumbuhan modal (investasi) yang tidak disertai pertumbuhan tenaga kerja, setidaknya menjelaskan tiga poin utama yakni. Pertama : sektor produksi padat modal lebih berkembang dibandingkan sektor produksi padat pekerja. Lebih berkembangnya sektor produksi padat modal dibanding sektor yang padat pekerja, tentu tidak banyak membantu dalam mengurangi tekanan pasar tenaga kerja. Kedua: harga relatif dari penggunaan modal lebih murah dibandingkan penggunaan tenaga kerja, yang berarti pula bahwa produktifitas modal lebih tinggi dibandingkan produktifitas tenaga kerja, sehingga pengusaha cenderung menggunakan modal lebih banyak dibanding menggunakan tenaga kerja. Rendahnya produktivitas tenaga kerja ini menyebabkan permintaan tenaga kerja pun tidak berkembang. Ketiga: penggunaan modal secara intensif mendorong peningkatan teknologi yang secara umum menghemat tenaga kerja. Berikut skematis kerangka perumusan masalah.


(26)

9

Gambar 3. Kerangka perumusan masalah pasar tenaga kerja dan pertumbuh ekonomi di Sulawesi Selatan

Berdasarkan uraian panjang diatas, maka persoalan pengangguran secara garis besarnya terkait dengan dua permasalahan pokok, yakni permasalahan yang berkaitan dengan pasar tenaga kerja (point 1 - 2) dan permasalahan yang berkaitan dengan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi (point 3 – 5). Dengan mengkaji secara dalam kedua pokok masalah trsebut, maka penelitian ini diharapkan dapat memberi arah dalam rangka mengatasi pengangguran di Sulawesi Selatan yang sekaligus dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta penyesuaian arah industrialisasi di Indonesia pada umunya. Adapun rincian rumusan masalah yang akan di kaji dalam studi ini adalah sebagai berikut :

Kebijakan :

• Insentif : Subsidi dan Proteksi

• Menjaga inflasi dan suku bunga rendah

Kebijakan Kompetitif Transformasi Struktural

(Eko. & TK)

Kesenjangan Produktivitas dan Pengangguran

Permintaan Output Agregat

Penawaran Output Agregat

• Kons. Msy.

• Kons. Pem

• Investasi

• Ekspor-Impor

• Tenaga Kerja.

• Modal

• Teknologi Pertanian Industri Lainnya

Pasar Tenaga kerja

Produktivitas TK

Peningkatan Pertumbuhan dan pengurangan pengangguran Kesempatan kerja

Padat modal VS Padat Pekerja

Desa Kota

Pertumbuhan Output Agregat (PDRB)


(27)

1. Seberapa besar kontribusi faktor produksi tenaga kerja, modal dan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan ?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan keragaan pasar tenaga kerja, seperti : kesempatan kerja, angkatan kerja, pengangguran, upah riil, migrasi tenaga kerja, dan produktifitas tenaga kerja di Sulawesi Selatan ?

3. Apakah upah riil di Sulawesi Selatan bersifat kaku (rigid) ?

4. Bagaimana dampak perubahan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran output agregat terhadap kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis keragaan pasar tenaga kerja dan kaitannya dengan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara khusus penelitian ini diarahkan untuk menjawab beberapa tujuan sebagai berikut :

1. Menghitung total factor productivity (TFP) di Sulawesi Selatan, TFP sektor pertanian, TFP sektor industri dan TFP sektor lainnya di Sulawesi Selatan. 2. Menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan

keragaan pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan yang meliputi angkatan kerja, kesempatan kerja, pengangguran, dan upah riil, migrasi tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja.

3. Menganalisis indikator tingkat kekakuan upah riil sektoral di wilayah pedesaan dan di wilayah perkotaan Sulawesi Selatan.

4. Menganalisis dampak perubahan : konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, perubahan ekspor, impot, pendapatan asli daerah (PAD), dan kemajuan teknologi terhadap kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini terdiri dari tiga point utama yakni sebagai berikut :

(1) Dari segi pengembangan ilmu : studi ini akan menggunakan pendekatan makro dan mikro ekonomi dalam menkaji mengenai pasar tenaga kerja dan


(28)

11 pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan. Dari aspek model analisis, studi ini akan menggunakan pemodelan ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Dalam model tersebut sumber-sumber pertumbuhan baik dari sisi permintaan agregat maupun dari sisi penawarannya diinterna lisasikan dalam pemodelan pasar tenaga kerja. Dengan demikian studi ini diharapkan dapat memperkaya kajian ketenaga kerjaan di Indonesia pada umumnya

(2) Dari segi informasi: dapat dijadikan bahan informasi yang dapat menjelaskan keragaan pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan serta berbagai hambatan pembangunan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi dan mengatasi pengangguran di Sulawesi Selatan. Studi ini sekaligus dapat dijadikan acuan untuk penitian selanjutnya.

(3) Dari segi terapan: dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan untuk merumuskan langkah strategis dalam rangka menanggulangi pengangguran, dan pemulihan ekonomi serta penyesuaian arah pergeseran struktural (industrialisasi) di Sulawesi Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini adalah skala regional. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika. Dalam mengkaji model, tenaga kerja didisagregasi berdasarkan wilayah kota dan desa serta didisagregasi menurut klasifikasi tiga sektor, yaitu sektor pertanian, ind ustri pengolahan dan sektor lainnya. Sektor pertanian yang dimaksudkan adalah pertanian dalam arti luas yang meliputi sub sektor tanaman pangan, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan. Sektor industri pengolahan mencakup industri pengolahan tampa migas. Sektor lainnya mencakup , sektor bangunan termasuk pertambangan dan penggalian, listrik, gas, dan air bersih, pengangkutan dan komunikasi, perdagangan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, administrasi pemerintah dan pertahanan, serta jasa-jasa lainnya.

Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah: Model analisa ekonometrika hanya menggunakan indikator- indikator makro seperti nilai tambah


(29)

bruto sektoral, investasi, upah riil, inflasi dan PDRB. Jenis migrasi yang dianalisis adalah migrasi masuk kabupaten/kota yang diagregasi pada tingkat Provinsi di Sulawesi Selatan. Data tenaga kerja seperti kesempatan kerja, angkatan kerja dan pengangguran yang dianalisis adalah data berdasarkan hasil Sakernas (BPS, tahun 1985 - 2004). Selain itu, penelitian ini memiliki keterbatasan dalam kajian mikro, sehingga perilaku dari berbagai komponen pelaku pasar tenaga kerja tidak dapat dikaji secara mendalam.


(30)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Industrialisasi dan Transformasi Struktur Ekonomi dan Tenaga Kerja

Pembahasan yang sistematis mengenai perubahan struktur produksi dan struktur kesempatan kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi di mulai oleh Fisher (1935) yang mengatakan bahwa, pertumbuhan ekonomi biasanya disertai dengan pergeseran permintaan dari sektor primer ke sektor sekunder dan akhirnya bergeser lagi ke sektor tersier. Pergeseran tersebut akan mengakibatkan terjadinya perubahan dalam struktur produksi yang sesuai dengan pergeseran dalam permintaannya, yaitu melalui pergeseran dalam kesempatan kerja dan alokasi dana dari sektor primer, ke sektor sekunder dan akhirnya ke sektor tersier. Hal serupa juga terungkap dari hasil studi Kuznets, bahwa peran industri di negara-negara maju secara umum sudah melebihi 30 persen dari produk nasional. Proses pertumbuhan industri itu disertai oleh penyerapan 35 persen dari angkatan kerja. Sedangkan angkatan kerja yang masih tergantung di sektor pertanian hanya meliputi 5 hingga 10 persen.

Guna menguji ke absahan hipotesis Fisher tersebut, Noor (1991) meneliti mengenai perubahan struktur produksi yang menyertai pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Noor, mengkaji perubahan yang terjadi antara daerah provinsi dengan menggunakan model yang pernah digunakan Chanary dan Syrquin (1975) ketika mereka melakukan penelitian di sejumlah negara berkembang mengenai pergeseran struktur ekonominya selama kurun waktu 1950-1970. Model tersebut diduga dengan multiple regression analysis. Noor, menyimpulkan bahwa hanya sebagian daerah Provinsi di Indonesia yang menerima hipotesis Fisher, yaitu terdapat hubungan yang negatif antara pergeseran sektor primer dengan pertumbuhan pendapatan nasional atau pendapatan perkapita, (Juanda, 2001).

Tampaknya pergeseran struktur ekonomi dan struktur tenaga kerja yang menyertai proses industrialisasi di Indonesia menunjukkan trend berbeda dengan pergeseran ala Fisher dan Kuznets. Transformasi struktural yang tejadi di Indonesia ditunjukkan trend peningkatan yang tajam kontribusi sektor industri dalam struktur ekonomi nasional, tetapi tidak disertai peningkatan yang signifikan dalam struktur tenaga kerja nasional. Pada tahun 1980 sektor industri pengolahan


(31)

2003, atau secara total kelompok industri (termasuk sektor pertambangan dan bangunan) memberikan kontribusi sekitar 41.3 persen, akan tetapi penyerapan tenaga kerjanya yang pada tahun 1980 sebesar 12.1 persen hanya meningkat tipis yakni kurang dari 20 persen pada periode sebelum krisis ekonomi, bahk an pada tahun 2003 hanya menyerap sekitar 12.8 persen. Sementara sektor pertanian pada tahun yang sama (2003) dengan kontribusi sekitar 15.8 persen dalam PDB harus menampun tenaga kerja sekitar 46.3 persen dalam strktur tenaga kerja nasional. Gambaran dari transformasi struktural yang menyertai proses industrialisasi di Indnesia, secara implisit memperlihatkan ketimpangan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat, jika dibiarkan akan semakin memperbesar kesenjangan.

Selain itu, Margono (2005) menyebutkan bahwa perubahan struktural yang berlangsung di Indonesia memperlihatkan ketidakmatangan transformasi, karena prosesnya terlalu dipercepat sehingga menyebabkan sektor industri nasional tidak berkembang dengan baik. Perkembangan industri banyak dilakukan melalui proteksi-proteksi oleh pemerintah terhadap sektor industri. Menurutnya, walaupun perkembangan sektor industri, yang dipacu oleh kebijakan pemerintah, cukup tinggi, namun bukan bersumber dari fundamental perekonomian yang kuat. Sektor tersebut sangat tergantung pada impor, khususnya barang modal, input antara, dan bahan baku, demikian pula terlalu tergantung kepada kapital dan teknologi dari luar, akibanyanya sangat rentang terhadap perubahan ekonomi global yang berubah secara dinamik.

Aziz (1990) pernah mengkaji perubahan struktural dalam perekonomian Indonesia di masa lalu dengan menggunakan pendekatan yang di dasarkan pada perubahan struktural menurut 3 jenis proses, yaitu proses alokasi, akumulasi serta demograsi dan distribusi; selain itu juga diperhitungkan masalah penyusutan sumberdaya alam. Namun analisa kuantitatif yang digunakan untuk mengamati proses perubahan tiap peubah hanya melalui dimensi waktu sehingga perkiraan perubahan struktural di masa depan hanya merupakan hasil dari pendekatan model proyeksi, bukan model perencanaan.

Mengenai kaitan pertumbuhan ekonomi dengan ketenaga kerjaan di Indonesia, Ninasapti (2005) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang


(32)

15 tinggi di Indonesia pada periode 1990-1996 menghasilkan tambahan lapangan kerja yang tidak jauh berbeda dengan pada saat pertumbuhan ekonomi rendah dalam periode 2000-2002. Temuan ini menurutnya berbeda dengan berbagai pernyataan yang merupakan ”mitos” dalam perekonomian bahwa jika pertumbuhan ekonomi cukup tinggi maka akan terjadi penciptaan lapangan kerja yang tinggi pula. Menurutnya sumber pertumbuhan pekerja akan sangat tergantung kepada jenis usaha yang dikembangkan. Pengembangan sektor usaha padat modal akan mengakibatkan penyerapan pekerja yang lebih kecil daripada pengembangan sektor usaha yang padat karya, walaupun dari sisi pertumbuhan PDB akan lebih tinggi.

Selanjutnya Ikhsan (2005) menunjukkan bahwa berdasarkan pada analisis I-O dan seri pendapatan nasional, secara jelas menunjukkan adanya penurunan dalam pangsa industri padat karya. Pangsa industri padat karya mengalami penurunan dari 16.9 persen pada tahun 1995 menjadi 13.4 persen pada tahun 2000. Diantara industri padat karya tersebut penurunan terbesar terjadi pada industri tekstil dan pakaian jadi yang menurun dari 4.2 persen menjadi 2.8 persen pada tahun 2000. Sebaliknya pangsa industri permesinan mengalami peningkatan dari 16.0 persen (1995) menjadi 20.8 persen (2000). Pertanyaan yang harus dijawab, menurut Ikhsan, adalah apakah trend ini memang merefleksikan pola normal dalam perubahan struktural atau sebaliknya mencerminkan distorsi dalam pasar faktor produksi atau pasar output yang kemudian menimbulkan disalokasi sumberdaya. Jika yang terakhir terjadi, maka gejala akselerasi pertumbuhan yang sudah mulai ini tidak akan berumur panjang dan dalam waktu tidak begitu lama akan terjadi perlambata laju pertumbuhan ekonomi dan kemudian mendorong proses ”deindustrialisasi” di Indonesia.

Oleh karena itu, dalam rangka pemulihan ekonomi dan upaya penyesuaian struktural perekonomian nasional, maka strategi pembangangunan di Indonesia ke depan, tentunya tidak lagi hanya sekedar mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi diharapkan pertumbuhan ekonomi nasional dapat berkualitas dan berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai apabila pertumbuhan ekonomi nasional bersumber dari fundamental ekonomi yang kuat, sehingga dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai penyerapan tenaga kerja yang tinggi


(33)

disertai kajian aspek pasar tenaga kerja dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perluasan kesempatan kerja di anggap relevan dengan upaya proses penyesuaian struktural yang dimaksud.

2.2. Model-Model Pertumbuhan Ekonomi

Prof. Simon Kuznets, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebaga i “kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya”. Lebih lanjut Kuznets menunjukkan enam ciri dari pertumbuhan modern. Dari ke enam ciri tersebut dua diantaranya adalah kuantitatif yang berhubungan dengan pertumbuhan produk nasional dan pertumbuhan penduduk, kemudian dua yang berhubungan dengan peralihan structural dan dua yang berkaitan dengan penyebaran internasional, (Jhingan, 1999).

Menurut Mankiw (2003) untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data produk domestic bruto (GDP), yang mengukur output barang dan jasa total suatu negara dan pendapatan total setiap orang dalam perekonomian. Pada bagian lain Mankiw, menyebutkan output barang dan jasa suatu perekonomian (GDP) bergantung pada (1) jumlah input, yang disebut factor- faktor produksi, (2) kemampuan untuk mengubah input menjadi output. GDP yang di tentukan dari kedua factor tersebut disebutkannya sebagai sisi penawaran dari pendapatan nasional (GDP). Selanjutnya output atau GDP dari sisi penggunaannya terdiri dari konsumsi (C) , Investasi (I), Pembelian pemerintah (G) dan Ekspor netto (NX). GDP dari sisi penggunaannya disebut sebagai sisi permintaan dari pendapatan nasional.

Teori pertumbuhan ekonomi, telah diuraiakan oleh banyak ahli dengan cara pengklasifikasian yang berbeda-beda. Rasidi, 1991 dalam Hadi (2001) menyebutkan bahwa terdapat tiga kategori dalam perkembangan teori pertumbuhan ekonomi. Kategori pertama, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses pertumbuhan seluruh masyarakat, tidak hanya bidang


(34)

17 ekonomi, tetapi termasuk pertumbuhan bidang sosial, politik, psikologi masyarakat. Kategori kedua menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah termasuk dalam teori ekonomi pembangunan, khususnya dalam mengatasi permasalahan pembangunan ekonomi negara-negara sedang berkembang. Sedangkan kategori ketiga disebut sebagai tori modern dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu termasuk ke dalam model Keynesian. Tidak seperti ke dua kategori sebelumnya maka model keynesian bisa disebutkan sebagai murni teori ekonomi. Sedangkan Kasliwal (1995) membagi dua kategori teori pertumbuhan yakni (1) model pertumbuhan clasik (Classical Growth Models) dan (2) model pertumbuhan modern (Modern Growth Models). Yang termasuk dalam model klasik adalah pertumbuhan Ricardian (Ricardian growth) dan model Lewis (The Lewis Model), sedangkan yang tergolong dalam teori pertumbuhan modern adalah Model Harrod-Domar, Pertumbuhan Model Solow, Pertumbuhan endogenous. Terlepas dari berbagai pengklasifikasian teori pertumbuhan tersebut, maka berikut ini diuraikan beberapa model pertumbuhan sebagai berikut.

2.2.1. Pertumbuhan Ricardian

Model pertumbuhan Ricardian (Ricardian Growth) adalah model teoritis yang menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh David Ricardo, Tho mas Malthus, dan Adam Smith di akhir abad kedelapanbelas. Model klasik ini mempunyai dua unsur penting, yakni : (1) Sumber daya alam dianggap sebagai constraint utama untuk pertumbuhan. Teori ini menganggap bahwa produktivitas marjinal tenaga kerja merosot ketika lebih banyak lahan digunakan dalam produksi. (2) Unsur utama lainnya di dasarkan pada gagasan Malthusian bahwa populasi meningkat secara endogen dengan output. Apabila output tumbuh, populasi juga akan meningkat sampai rata-rata konsumsi turun pada tingkat yang subsisten.

Implikasi utama dari model pertumbuhan klasik bahwa dari waktu ke waktu, ekspansi output melambat karena produktivitas marjinal yang menurun dari tenaga kerja pada lahan tertentu. Semakin banyak tenaga kerja yang dipekerjakan, maka tambahan output (extra output) akan terus meningkat hingga mencapai tingkat subsistensi. Akhirnya keuntungan juga tertekan, dengan


(35)

stationer (stationary state), di mana garis konsumsi subsisten dan garis output berpotongan.

Ekonomi klasik menganggap bahwa sekalipun kemajuan teknologi berlangsung, perekonomian akan tetap mencapai keadaan stasioner (stationary state). Dengan asumsi itu, model Ricardian mempunyai implikasi bahwa dalam jangka panjang, konsumsi per kapita tenaga kerja akan kembali pada tingkat yang subsisten. Ketika permintaan untuk makanan naik bersama populasi, harga pangan akan naik secara relatif untuk harga barang-barang pabrik. Dan karena upah subsisten harus dibelanjakan makanan, laba pabrikasi akan ditekan sampai investasi berhenti.

Salah satu kemungkinan untuk keluar dari stagnasi klasik adalah jika pangan dapat diimport pada suatu harga tertentu, sehingga sektor industri dapat berkembang secara esensial. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa, pada hakekatnya, aplikasi model Ricardian hanya untuk perekonomian tertutup, atau bahkan lebih baik, perekonomian besar di mana pengaruh dunia dipastikan kecil. Cara penting lainnya untuk melepaskan tingkat subsistensi dari keadaan stationary adalah menumbuhkan produktivitas pertanian secara terus menerus pada suatu tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dari pertumbuhan populasi.

Menurut Kasliwal (1995) bahwa model ini menuai banyak kritik dari banyak ahli, terutama pada asumsi Malthusian, bahwa populasi tumbuh secara endogen dengan output. Populasi tidak secara otomatis tumbuh sebagai konsekwensi dari pertumbuhan pendapatan. Selain itu dianggap mengabaikan pengaruh teknologi, karena menganggap bahwa kemajuan seperti itu tidak bisa melebihi langkah perluasan populasi pada jangka panjang.

2.2.2. Model Lewis

Menurut Kasliwal (1995) model Lewis tentang surplus tenaga kerja dikenal sejak tahun 1950an, dan dipandang memberikan kontribusi penting dalam pengembangan teori ekonomi pembangunan, terutama karena elaborasinya mengenai ekonomi dua sektor (dual economy) yang terdiri (1) sektor tradisional dan (2) sektor modern. Lewis membuat asumsi bahwa lahan yang terbatas


(36)

19 menyebabkan produk marjinal tenaga kerja pertanian menurun. Tetapi membuang asumsi Malthusian bahwa populasi akan tumbuh secara endogen.

Model Lewis (1954) percaya bahwa sebagian besar negara-negara berkembang memiliki banyak tenaga kerja yang setengah menganggur (underemployed) dengan tingkat upah sekedar cukup untuk hidup (subsisten). Tenaga kerja tersebut dapat di tempatkan untuk bekerja dalam suatu sektor baru yang dinamis untuk menghasilkan pertumbuhan. Lewis mencatat bahwa sektor pertanian mempunyai banyak surplus tenaga kerja seperti itu. Ketika pekerja marginal ditransfer dari pertanian ke sektor industri yang lebih produktif, output agregat mengalami loncatan peningkatan.

Beberapa implikasi dalam Model Lewis dapat dilihat di Gambar 4. Gambar ini dibangun dengan memutar balik kurva tenaga kerja pertanian dan memasang di sisi sebelah kanan kurva sektor industri. Kita dapat lihat bagaimana tenaga kerja dipekerjakan di industri L1, dan tenaga kerja pertanian LA menambahkan sampai kepada total angkatan kerja. Ketika industri berkembang, upah tetap konstan sampai semua surplus tenaga kerja diserap; baru setelah itu upah mulai naik secara keseluruhan.

Model itu menyiratkan adanya akumulasi modal yang terus menerus, paling tidak sampai surplus tenaga kerja dihabiskan. Sepanjang tingkat upah tetap rendah, ratio modal/tenaga kerja yang digunakan di dalam industri juga tetap konstant. Jadi tingkat pengembalian (rate of return) atas modal tetap tinggi,

Sumber : Kasliwal, (1995) Gambar 4. Model Lewis


(37)

yang cukup kuat dari Model Lewis adalah :

(1) Sektor industri harus di dorong khusus, mungkin merangsang ketertarikan kapitalis asing yang ingin menginvestasikan modalnya karena adanya tingkat upah yang rendah. Sebagai alternative pemerintah dapat melakukan intervensi untuk merangsang (stimulate) industri domestic yang pada awalnya dilindungi dari kompetisi import. Dengan kata lain, industri dapat dimulai dengan industri substitusi impor (import-substituting-industrialization).

(2) Tabungan yang tersedia untuk investasi bagi para pemodal (capitalists), harus di dorong khusus. Rangsangan yang penting adalah menjamin suatu tingkat keuntungan industri yang lebih tinggi dengan memastikan bahwa upah tentu saja tetap rendah, sampai pada akhirnya semua surplus tenaga kerja dihabiskan. Pada garis besarnya hal ini dilakukan dengan perpajakan atau harga pangan yang murah dan mengalihaknnya ke industri.

(3) Tingkat pertumbuhan populasi (dan pertumbuhan angkatan kerja) harus dikendalikan agar lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga kerja (employment) yang diciptakan oleh perluasan industri. Jika tenaga kerja (labor) tumbuh lebih cepat dari penyerapan potensi nya ke dalam industri, penentuan titik peningkatan upah atau pengurangan pengangguran tidak pernah dicapai.

Model Lewis dikritik karena berbagai kegagalan dalam pengalaman pembangunan di Negara berkembang. Kenyataannya upah industri terus meningkat bahkan sebelum banyak surplus tenaga kerja pedesaan diserap. Sementara penciptaan lapangan kerja industri mengecewakan, tenaga kerja migrasi dari pedesaan ke wilayah perkotaan terus berlanjut. Urbanisasi yang berlebihan ini telah mendorong suatu permasalah baru di Negara berkembang. Suatu kritik yang lebih serius diarahkan pada model ini adalah implikasinya yang bias terhadap pertanian dan lebih menyokong industri. Kebijakan yang bias seperti itu kelihatannya telah menekan pertumbuhan perekonomiana secara keseluruhan di banyak Negara berkembang. Model Lewis, juga mengabaikan kemungkinan


(38)

21 kemajuan teknologi dalam pertanian. Lewis tidak membayankan kesuksen yang spektakuler seperti kesuksean Revolusi Hijau.

Revolusi Hijau yang tak diduga di sekitar 1970an telah meningkatkan produktivitas marjinal tenaga kerja pertanian seperti ditunjukkan pada Gambar-5. Peningkatan tingkat upah ini secara independent dari aktivitas industri. Teknologi baru secara efektif mengurangi kendala lahan yang terbatas. Model Lewis telah mendorong suatu sikap yang pengabaian pertanian yang ramah (benign). Bahkan yang lebih buruk adalah mendorong kebijakan yang bias terhadap pertanian dengan mendorong perpajakan dari sektor ini dan terus mentransfer ke sektor industri. Pelajaran baru dari revolusi hijau adalah bahwa pembangunan pertanian itu tidak bisa diabaikan. Keadaan pertanian yang tangguh nampaknya menjadi suatu prasyarat penting untuk pembangunan industri.

Secara historis pertumbuhan industri menunjukkan bahwa setelah dua generasi dari pembangunan sektor ini belum secara signifikan menghabiskan surplus tenaga kerja yang tersedia di Negara berkembang. Penduduk yang bermigrasi ke kota seperti disiratkan oleh model Lewis, tetapi tidak semua tertampung pada pekerjaan industri di sana. Tingkat penyerapan tenaga kerja dalam aktivitas produksi lain tidak memadai bagi tenaga kerja yang dilepas dari pertanian. Penyebab utamanya mungkin dari penggunaan metode teknologi yang hemat tenaga kerja (labor saving) karena berbagai alasan. Seperti pemerintah

Gambar 5. Model Lewis Dinamis Sumber : Kasliwal, 1995


(39)

insentif untuk investasi. Modal yang dibuat jadi murah (artificially-cheapened) telah merangsan perusahaan untuk menggunakan teknik padat modal yang berlebihan. Lebih dari itu, industri tergantung pada teknologi import dari negara maju yang pada umumnya hemat tenaga kerja dan tidak sesuai bagi negara berkembang dengan surplus tenaga kerja.

Selain itu Model Lewis dianggap dapat memperburuk distribusi pendapatan yang saat ini semakin dipandang sebagai suatu masalah serius untuk pembangunan di negara berkembang. Model Lewis mengasumsikan bahwa upah industri akan (dan perlu) tetap sedikit lebih tinggi dibanding upah subsisten di pertanian. Perbedaan upah ini diperlukan untuk mengimbangi biaya hidup yang lebih tinggi di perkotaan, terutama karena migrant kehilangan semua pekerjaan penyokong yang tersedia di pedesaan. Tetapi dalam kenyataan empiris, kesenjangan upah telah bervariasi secara dramatis dari waktu ke waktu dan pada semua negara. Sepanjang tahun 1960an dan awal 1970an, upah industri membumbung tinggi dalam hubungannya dengan upah pertanian pada sebagian besar negara berkembang, sehingga kesenjangan upah dilebarkan dengan baik sebelum full employment dicapai.

2.2.3. Model Harrod-Domar

Menurut Kasliwal (1995) bahwa Model Harrod-Domar menganggap bahwa, lahan dan pertanian mulai kehilangan peran ekonomi utamanya setelah pertumbuhan pertanian terdesak oleh pertumbuhan populasi secara meyakinkan. Sejak era revolusi industri, ketika industri mengalami pertumbuhan pesat berdasarkan akumulasi modal dibandingkan berdasarkan sumber daya alam yang terbatas, suatu pandangan baru telah berkembang menyangkut faktor penentu pertumbuhan ekonomi, dimana modal dianggap input yang paling significant untuk peningkatan output. Model Harrod Domar merumuskan dua asumsi yang krusial :

1. Produksi tergantung pada modal (Production depends on capital).

K v

Y = ∆


(40)

23

dimana =

∆ ∆ =

Y K

v Incremental capital output ratio (ICOR)

2. Akumulasi modal tergantung pada pendapatan (Capital accumulation depends on income)

Tabungan S = s . Y,

Dimana s = Kecenderungan tabungan (savings propensity)

Persamaan pertama menunjukkan bahwa pertambahan (increment) dalam stok modal K menghasilkan suatu pertambahan output tertentu. Efektivitas modal tercermin di dalam parameter ICOR v. Tercatat bahwa peranan tenaga kerja tidaklah dinyatakan karena dianggap bukan sebagai kendala yang membatasi. Persamaan yang kedua menyatakan bahwa modal itu terakumulasi melalui tabungan domestik, yang secara sederhana merupakan fraksi (fraction) tertentu, s, dari output. Penyederhanaan asumsi bahwa investasi dibiayai semata- mata oleh uang tabungan domestik menyiratkan : S =I =∆K dengan mensubstitusi faktor ini dalam persamaan pertama kita lihat bahwa

Y s y

v∆ = .

Jadi, Tingkat pertumbuhan GNP adalah

v s Y

Y = ∆

Persamaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat tabungan, maka semakin tinggi tingkat pertumbuhan output yang dihasilkan oleh investasi produktif. Nilai v yang kecil berarti bahwa negara itu menggunakan modal secara efisien.

Beberapa implikasi dari Model Harrod-Domar nampak bertentangan dengan bukti empiris dunia nyata. Salah satunya adalah implikasinya bahwa output harus tumbuh pada tingkat yang sama dengan modal dalam jangka panjang. Ini terlihat dari hubungan yang konstan antara output dan modal :

K v

Y =1 . Ratio modal/output yang konstan menyiratkan bahwa persentase perubahan persediaan modal dan output harus sama. Studi yang dilakukan dengan menghitung pertumbuhan negara-negara berkembang menemukan bahwa pertumbuhan pendapatan lebih tinggi dari pertumbuhan modal bersih (Yˆ> Kˆ ). Oleh karena itu adalah tidak benar bagi Harrod-Domar untuk berasumsi bahwa


(41)

pertumbuhan. Denga n jelas sumber pertumbuhan yang penting lainnya digolongkan dalam parameter v, seperti pertambahan tenaga kerja produktif, ketrampilan, peningkatan teknologi, dan lainnya.

Model Harrod-Domar yang mengasumsikan ratio K/L yang tetap, juga dikritik sebab pertumbuhan yang disiratkannya dilihat seperti tidak stabil pembawaannya. Ketidakstabilan ini muncul dari ketidak cocokan (mismatch) antara tingkat pertumbuhan modal dan angkatan kerja. Tidak ada alasan bagi tingkat pertumbuhan tenaga kerja akan sama pertumbuhan output (asumsi pertumbuhan modern : tenaga kerja independent terhadap pertumbuhan output), kecuali oleh kejadian yang kebetulan. Jadi pertumbuhan L harus pula berbeda dengan pertumbuhan K, dengan demikian akan menyebabkan salah satu dari dua hal berikut terjadi: (1) pengangguran, atau (2) perubahan dalam perbandingan modal/tenaga kerja. Kondisi pertumbuhan yang tidak sehat seperti itu akan menyebabkan siklus yang kronis.

Pertumbuhan model Harrod-Domar dilukiskan pada Gambar-6. Sumbu vertikal dapat ditafsirkan sebagai output per pekerja dan sumbu horisontal sebagai persediaan modal per pekerja : yakni ratio K/L. Fungsi produksi menunjukkan output meningkat secara linier dengan K. Secara implisit hal ini mengasumsikan bahwa terdapat tenaga kerja yang menganggur yang terletak di bawah titik tenaga kerja penuh (full employment). Tingkat output yang diproduksi seperti ditunjukkan oleh garis yang benkok OY dan tabungan yang merupakan pecahan sisa dari output seperti itu ditunjukkan oleh garis putus-putus OS. Ini digambar secara proporsional di bawah kurva output menurut tingkat tabungan.

Mengingat bahwa model pertumbuhan modern itu berasumsi bahwa tenaga kerja tumbuh- secara exogenous pada suatu tingkat output n% per tahun. Untuk pertumbuhan berimbang (balanced growth), ratio K/L harus tetap konstan, juga pertumbuhan persediaan modal harus tidak melebihi pertumbuhan angkatan kerja. Modal juga harus tumbuh pada tingkat yang sama dengan n, sehingga investasi harus K = I = n K seperti ditandai oleh garis lurus I = nK, sepanjang mana ratio K/L tetap konstan. Juga, untuk keseimbangan (equilibrium) kita harus mempunyai tabungan yang sama dengan investasi. Pertumbuhan berimbang


(42)

25 seperti itu hanya dapat terjadi pada titik 0 atau B. Ketika 0 menandai tidak adanya output (zero output), keseimbangan pada B juga tidak masuk akal (implausible) karena berada di luar F. Jika tabungan berada di bawah investasi yang diperlukan, ekonomi akan bergerak ke arah keseimbangan lain pada 0, yang tidak masuk akal.

Model Harrod-Domar menyiratkan bahwa proses pertumbuhan pasti tidak stabil secara terus menerus (chronically), tetapi dalam pengalaman kita seperti crises tidaklah endemik walaupun pertumbuhan tenaga kerja dan modal berjalan pada tingkat yang sungguh berbeda.

2.2.4. Mode l Perumbuhan Solow

Model pertumbuhan neoklasikal pertama dirumuskan oleh Solow pada tahun 1950an. Model ini menekankan bahwa banyak input dapat dengan bebas disubstitusikan satu sama lain dalam suatu fungsi produksi untuk meningkatkan output. Persediaan secara relatif dari faktor- faktor akan berubah bersama pertumbuhan ekonomi yang mendorong ke arah suatu perubahan dalam harga relatifnnya. Sebagai reaksi, produsen mensubstitusi antara berbagai input. Jadi ratio K/L dianggap tidak konstan dalam model neoklasikal. Model neoklasikal Solow terdiri dari unsur- unsur berikut .

) , (K L F

Y =

Sumber : Kasliwal, 1995


(43)

adalah suatu fungsi dari berbagai input. Fungsi ini mempunyai produksi marginal (MP) yang menurun (diminishing) dari tiap faktor produksinya

0 dX ,

0 2

2 < > d F

dX dF

di mana X mewakili masing- masing faktor K, L Terlihat bahwa keduanya tenaga kerja dan modal dapat digunakan untuk menghasilkan output. Jika tenaga kerja menjadi berlimpah, teknik produksi berubah untuk menggunakan lebih banyak tenaga kerja dalam hubungan dengan penggunaa modal. Model neoklasikal menekankan bahwa kemampuan memsubstitusi (substitutability) faktor berlangsung dalam merespon perubahan harga factor relatif, Pk / PL.

Model pertumbuhan neoklasikal membuat asumsi bahwa tingkat pertumbuhan tenaga kerja L ditentukan secara exogenous. Jika persediaan modal tumbuh pada tingkat yang lebih cepat, ratio K/L akan cenderung meningkat. Tetapi ketika peningkatan jumlah modal yang digunakan oleh masing- masing pekerja, produk marjinal modal akan menurun. Sebagai konsekwensinya pertumbuhan output akan lambat, dan akumulasi modal juga akan merosot. Suatu implikasi penting dari Model Solow adalah bahwa dengan mengabaikan tingka tabungan, pertumbuhan output pada akhirnya akan hanya sama tingkat pertumbuhan tenaga kerja. Pendapatan per kapita akan tetap konstan seperti akan ratio K/L. Ini adalah suatu kondisi pertumbuhan yang mapan (steady state) di mana K dan L tumbuh pada tingkat yang sama.

Y L

Kˆ = ˆ = ˆ

Gambar-7 menggambarkan elemen-elemen proses pertumbuhan itu. Sumbu datar merupakan ratio K/L sebagai k. Pada sumbu yang lain dilukiskan bagaimana output per kapita Y/L bereaksi dengan perubahan k. Ketika intensitas modal meningkat, output tumbuh, tetapi pada tingkat yang semakin menurun karena kemerosotan MPK. Pertumbuhan tabungan juga lambat, seperti ditunjukkan oleh garis putus-putus. Garis ini ditarik di bawah output pada suatu proporsi tertentu yang menjadi tingkat tabunga n s. Garis ke tiga, yang lurus, ditarik untuk menunjukkan kenaikan K yang diperlukan untuk menjaga ratio K/L yang konstan. Pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan sampai pada titik B, di mana tingkatan


(44)

27 tabungan sama dengan tingkat investasi, kondisi ini dis ebutkannya sebagai kondisi mapan (steady state). Pertumbuhan kondisi mapan (steady state) berlanjut tanpa pengangguran baik K ataupun L karena pemakaian dari faktor ini melakukan penyesuaian dengan lebih ketat, karena itu pertumbuhan stabil memungkinkan dalam model Solow.

Pada pertumbuhan kondisi mapan (steady state growth), k = L sehingga ratio K/L stabil. Ratio ini disebut teknik produksi. Penggunaan teknik berubah sebagai respon atas perubahan endogin dalam harga faktor relatif, yang, pada gilirannya, mencerminkan perubahan kelangkaan relatif faktor itu.

Sekalipun begitu model neoklasikal mempunyai suatu implikasi yang tidak masuk akal (implausible): Dengan mengabaikan tingkat seving, ekonomi pada akhirnya berada (settle) pada suatu tingkat pendapatan per kapita yang konstan. Sehingga peningkatan tingkat tabungan hanya akan mempercepat pertumbuhan yang bersipat sementara. Kesimpulan ini muncul karena semakin banyak akumulasi modal, percepatan menyebabkan produksi marjinal modal yang semakin menurun (diminishing marginal product of capital). Model Solow menyiratkan pertumbuhan cepat hanya dalam kasus di mana persediaan modal kecil. Sementara data empiris menunjukkan bahwa bagi negara-negara termiskin justru memiliki pertumbuhan yang paling lambat pula.

Sumber : Kasliwal, 1995


(45)

pembangunan karena didasarkan pada asumsi neoklasikal yang bersandar pada efisiensi pasar. Ahli ekonomi structuralist (seperti Lance Taylor di MIT dan Hollis Chenery di Harvard) menunjukkan berbagai kegagalan pasar yang terjadi di negara berkembang: (1) Harga tidak melakukan penyesuaian secara bebas, dan (2) agen ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan harga yang terjadi. Kegagalan pasar telah tersebar luas dan berkaitan dengan keterbatasan informasi, eksternalitas, skala peningkatan hasil yang semakin meningkat, dan cara alokasi yang tidak melalui pasar (non-market), yang lebih muda diterapkan. Lebih lanjut, ketika pemerintah campurtangan, mereka sering menciptakan yang bahkan lebih penyimpangan. Apapun sumber kegagalan pasar mereka, hal itu pasti benar bahwa factor distorsi pasar dapat terjadi secara serius di negara berkembang. Barangkali yang paling kritis adalah ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja tersebar luas di mana tenaga kerja menerima upahnya lebih besar dari upah pasar bebasnya.

Model pertumbuhan neoklasikal juga dikritik pada penekanannya atas keseimbangan ketika pemakaian faktor diasumsikan untuk berubah secara perlahan dalam merespon perubahan harga faktor. Pada kenyataannya ketakseimbangan yang dinamis mungkin jauh lebih penting. Pertumbuhan ekonomi yang lebih masuk akal ditandai ketika proses kemajuan teknologi yang tersentak-sentak oleh adaptasi dan penemuan. Proses ini diatur terutama sekali oleh insentif innova tor dan usahawan, yang, pada gilirannya, merupakan suatu fungsi kendala yang melekat dalam kerangka kelembagaan masyarakat. Kemajuan teknologi dilukiskan sebagai pergeseran yang menaik dari keseluruhan fungsi produksi.

2.2.5. Model Pertumbuhan Endogenous

Model pertumbuhan endogen modern bertujuan untuk menghilangkan asumsi exogen dari kemajuan teknologi. Dimana kemajuan teknologi ini di lambangkan sebagai peningkatan produktivitas Y/L. Kasliwal (1995) menyatakan tiga versi model yang berkaitanpeningkatan produktivitas dengan alasan yang


(46)

29 berbeda: (1) spillovers, (2) difusi, dan (3) investasi sumberdaya manusia (human capital investment)

Sebagai permulaan model Romer mengungkapkan keseluruhan kemajuan tehnis yang terjadi disebabkan karena adanya limpahan (spillover) pengetahuan dari peningkatan stock modal. Jadi investasi individu - atau pengeluaran riset (research expenditures) – menghasilkan suatu eksternalitas positif sebagai dorongan secara teknis terhadap keseluruhan perekonomian. Investasi seperti itu menyebabkan pergeseran keluar fungsi produksi agregat. Barro dan Martin (1992) dalam Kasliwal (1995) dengan jelas menyatakan bahwa teknologi itu tidaklah serupa untuk semua negara-negara. Dengan Gap Teknologi yang ada suatu difusi pengetahuan yang lambat berlangsung dari negara maju kepada negara-negara yang terkebelakang, mendorong ke arah suatu convergensi yang lambat. Model ketiga dapat juga menghilangkan efek MPK yang semakin berkurang di negara maju. Mankiw, Romer dan Weil (1992) membantah bahwa factor modal manusia menyediakan dorongan secara terpisah terhadap pertumbuhan di dalam suatu fungsi produksi. Pertumbuhan yang terjadi secara endogen seperti negara maju cenderung untuk mengakumulasi modal manusia pada tingkat yang lebih tinggi. Bahkan jika modal phisik bersipat mobile ke arah bidang yang memberikan hasil lebih tinggi (produktivitas), Kurangnya modal manusia di daerah miskin akan memuat sesuatu kecenderungan ke arah convergensi.

Margono (2005) menyebutkan bahwa model ini menekankan pentingnya peningkatan tabungan, perubahan teknologi, peningkatan barang modal dan investasi sumberdaya manusia. Persamaan berikut merupakan persamaan sederhana dari model pertumbuhan endogen.

AK

Y =

Dalam persamaan tersebut, A mewakili factor- faktor yang mempengaruhi teknologi, sedangkan K melambangkan modal fisik dan modal manusia. Dalam rumusan tersebut ditekankan adanya kemungkinan bahwa investasi modal fisik dan modal sumberdaya manusia yang dapat menciptakan eksternalitas positif dan pengkatan produktivitas yang melampaui keuntungan pihak swasta yang melakukan investasi itu, dan hasilnya cukup untuk mengimbangi skala penurunan hasil.


(47)

Total factor productivity (TFP), merupakan ukuran yang sering digunakan untuk menggambarkan kemajuan teknologi. TFP diukur secara tidak langsung (indirect accounting), karena tidak dapat diamati langsug (Mankiw, 2000). TFP ditunjukkan dari pertumbuhan nilai tambah setelah pertumbuhan tenaga kerja dan capital dikeluarkan. Menurut Pressman (2004) bahwa model yang digunakan untuk mengukur TFP di dasarkan pada fungsi produksi Cobb-Douglas:

β

αK

AL Y =

Model fungsi produksi Cobb-Douglas yang digunakan adalah memperhitungkan dua faktor produksi terukur yakni tenga kerja (L) dan modal (K). Nilai A pada fungsi produksi tersebut diartikan sebagai total factor productivity (TFP). Untuk keperluan perhitungan TFP, maka dilakukan transformasi logaritma terhadap fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan tahapan sebagai berikut: β α β α 1 1 1 2 2 2 1

2 Y A L K A L K

Y − = −

1 1 2 1 2 1 2 1 1 2         =

− α β

K K L L A A Y Y Y β α         = + − 1 2 1 2 1 2 1 1 2 1 K K L L A A Y Y Y β α         = 1 2 1 2 1 2 1 2 K K L L A A Y Y     +     +     =     1 2 1 2 1 2 1

2 ln ln ln

ln K K L L A A Y Y β α * * * * t t t

t Y L K

A = −α −β

* * * * ) 1 ( t t t

t Y L K

A = −α − −α

TFP At* = Keterangan:

* t

Y = Pertumbuhan output tahun-t

* t


(48)

31

* t

K = Pertumbuhan modal (capital) pada tahun-t

* t

A = Pertumbuhan total factor productivity (TFP) tahun-t

Nilai α pada persamaan di atas menunjukkan bagian (share) tenaga kerja dari total output atau (MPL x L)/Y, di mana MPL (produk marginal tenaga kerja) tidak lain adalah upah riil tenaga kerja.

2.4. Pasar Tenaga Kerja

Keseimbangan pasar tenaga kerja, mencerminkan adanya kesesuaian dari interaksi antara penawaran tenaga kerja (labor supply) dan permintaan tenaga kerja (labor demand). Dinamika pasar tenaga kerja ditentukan perubahan-perubahan yang terjadi pada kedua sisi dari pasar tenaga kerja tersebut. Secara umum pasar tenaga kerja dapat dipengaruhi oleh tingkat upah, pertumbuhan penduduk atau angkatan kerja, migrasi, inflasi, pengangguran, pendapatan masyarakat (PDB/PDRB) dan lain sebagainya. Teori dari berbagai komponen pasar tenaga kerja tersebut akan diuraikan satu per satu sebaga i berikut.

2.4.1. Penawaran Tenaga kerja

Menurut Ruby (2003) bahwa model dari penawaran tenaga kerja dimulai dengan asumsi bahwa pekerja akan memilih kombinasi jam-kerja dan pendapatan dengan tujuan untuk memaksimumkan kepuasan (utility) meraka dengan kendala jumlah jam yang tersedia dalam sehari. Model penawaran tenaga kerja menganggap bahwa jam bekerja adalah merupakan barang yang tidak disukai, tetapi dengan bekerja akan memberikan pendapatan. Sedangkan jam tidak bekerja atau yang disebut waktu luang (leisure time) meruapakan barang yang disukai. Dengan demikian maksimisasi kepuasan akan ditentukan dari pendapatan dan waktu luang : Maximaze U = f (pendapatan, waktu luang). Dengan menggunakan analisa kurva indeferen (indifference curve) kita dapat menguj i efek dari perubahan tingkat upah terhadap jumlah penawaran jam kerja, yang dilukiskan pada gambar-8. Dimana kurva indiferen (IC) menggambarkan berbagai titik kombinasi antara pendapatan dan waktu luang yang menghasilkan tingkat kepuasan sama. Selanjutnya garis pendapatan (budget constraint) seperti garis XY, menggambarkan tingkat pendapatan berdasarkan jumlah jam bekerja dalam


(49)

digunakan maka semakin tinggi pendapatan. Kepuasan maksimal terjadi apabila kurva indeferen bersentuhan dengan garis pendapatan. Kombina optimal tersebut akan berubah apabila tingkat upah mengalami perubahan, seperti ditunjukkan bahwa peningkatan upah merubah slop dari garis anggaran menjadi X’Y, sehingga kombinasi optimal berubah dari titik R ke titik T, yang mencerminakan perubahan jam kerja yang ditawarkan.

Gambar 8-a. Peningkatan upah (Efek substitusi lebih kuat)

Gambar 8-b

Kurva penawaran tenaga terja

Sumber : Ruby, 2003.

Gambar 8 Penentuan kurva penawaran tenaga kerja

Menurut Bellente dan Jacson (1990) besarnya waktu yang disediakan atau dialokasikan untuk bekerja merupakan fungsi tingkat upah tertentu. Setelah mencapai tingkat upah tertentu pertamb ahan upah justru akan mengurangi waktu yang disediakan untuk bekerja, penomena ini akan menghasilkan apa yang disebut backward-bending supply curve, atau kurva penawaran yang berbelok. Kasliwal (1995) mengatakan phenomena tersebut banyak terjadi terutama pada kelompok perempuan dari keluarga kaya, sementara sesungguhnya mereka tergolong dalam angkatan kerja (labor force), sehingga tentu memiliki relevansi dengan pembangunan.

Tenaga Kerja (Jam) R

T $12

$10

0 2 4 6 8 10 12 14 16 Tingkat Upah (W)

SLabor

Jam Kerja lebih banyak Waktu (Jam) Waktu Senggan lebih banyak

Y

X

X’

T

R

0 2 4 6 8 10 12 14 16 Pendapatan (L x W)

IC1

IC0

$196

$160

$120


(50)

33 Pengaruh tingkat upah terhadap penawaran tenaga kerja sesungguhnya ditentukan oleh dua kekuatan yang saling berlawanan yakni pengaruh efek pendapatan (income effect) dan efek substitusi (substitution effect). Apabila efek pendapatan yang positif terhadap tingkat upah lebih kecil dari kekuatan efek substitusi yang negatif, maka efek total akan menjadi negatif yang berarti bahwa pekerja akan mengurangi konsumsi waktu luang (leisure) dan menambah waktu jam kerjanya sehingga kurva penawaran akan memiliki kemiringan positif (upward sloping). Sebaliknya jika efek total positif maka akan terjadi “bacward-bending” pada kurva penawaran tenaga kerja yang berarti bahwa pekerja justru akan mengurangi jam kerjanya dengan peningkatan upah (McConnell dan Brue, 1995). Selanjutnya Ruby (2003) mengatakan bahwa dalam analisa agregat, penawaran tenaga kerja, selain ditentukan oleh tingkat upah, juga sangat dipengaruhi oleh perubahan populasi, tingat partisipasi angkatan kerja (demographic changes) dan arus immigrasi (immigration flows).

2.4.2. Permintaan Tenaga Kerja

Permintaan tenaga kerja di dasarkan dari permintaan produsen (pengusaha) terhadap input tenaga kerja sebagai salah satu input dalam proses produksi. Produsen mempekerjakan seseorang dalam rangka untuk membantu memproduksi barang atau jasa untuk dijual kepada konsumen. Apabila permintaan konsumen terhadap barang atau jasa yang diproduksi meningkat, maka, pengusaha terdorong untuk meningkatkan produksinya melalui penambahan input, termasuk input tenaga kerja, selama manfaat dari penambahan produksi tersebut lebih tinggi dari tambahan biaya karena penambahan input. Dengan kata lain, pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja, tergantung dari pertambahan permintaan konsumen dari barang dan jasa yang dihasilkannya. Oleh karena itu permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand) dari permintaan konsumen. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuatan permintaan untuk tenaga kerja akan tergantung pada : (1) tingkat produktifitas tenaga kerja dalam membantu menghasilkan barang atau jasa, dan (2) nilai pasar dari barang atau jasa tersebut. (Swastika dan Kuastiari, 2000).


(51)

fungsi produksi yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K). Fungsi produksinya adalah sebagai berikut :

TP (Y) = f(L,K)

Dimana : TP = Produksi total (output) L = Tenaga kerja

K = Modal

Dengan asumsi bahwa pengusaha senangtiasa ingin memaksimumkan pendapatannya, maka dalam jangka pendek, produksi optimal (profit maximizing) terjadi pada saat produktivitas marginal tenaga kerja (MPL) sama dengan ratio upah (wt) terhadap harga produk (wt/Px) atau kondisi dimana nilai produk marginal tenaga kerja (VMPL) = wt. Upah (wt) tidak lain adalah jumlah tambahan biaya yang diperlukan untuk mempekerjakan tambahan seorang pekerja. Apabila MPL lebih besar dari wt/Px, maka perusahaan akan menambah permintaan tenaga kerjanya. Secara umum, dalam jangka pendek permintaan tenaga kerja berkorelasi negatif dengan tingkat upah (wt). Akan tetapi terdapat hubungan positif antara harga produk (Px) dengan permintaan tenaga kerja jangka pendek, karena kurva MPL (kurva permintaan tenaga kerja), akan bergeser keluar (outwards) jika harga output menjadi lebih mahal (Borjas, 1996).

Sumber : Ruby, 2003.

Gambar 9. Penentuan kurva permintaan tenaga terja

Dalam jangka panjang, semua faktor produksi akan mengalami perubahan. Penentuan faktor produksi mana yang digunakan di dasarkan pada daya substitusi

L2 d

0 L1 b P

W

Tingkat Upah Riil (W/P)

MPL = D

(L) MPL*= D*

Y2

Output (Y)

d

L2

0 Y1

L1

Produksi optimal yg baru

b

Profit1

Labor (L)

Profit2

Y=f(L,K) Y=f*(L,K)


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

42,36 42,57 42,34 42,05 41,27 38,15 37,22 37,01 36,35 34,66 36,63 36,51 37,91 36,45 36,63 35,09 33,04 7,29 7,52 8,17 8,20 9,12 11,62 11,91 11,88 11,89 12,61 12,54 12,61 12,97 13,05 12,91 13,23 13,36 50,35 49,91 49,49 49,75 49,60 50,23 50,87 51,11 51,75 52,74 50,83 50,88 49,12 50,50 50,47 51,67 53,60 62,85 64,15 64,81 66,09 63,51 60,23 60,40 58,12 57,78 55,44 54,66 54,49 55,99 58,02 61,30 58,11 55,04 5,51 5,25 5,30 5,34 5,58 6,08 6,30 6,39 6,11 5,74 5,82 5,42 5,00 4,94 4,56 5,18 5,52 31,64 30,60 29,88 28,57 30,91 33,69 33,30 35,50 36,11 38,82 39,52 40,09 39,01 37,04 34,14 36,71 39,44 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004