Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

KOMUNIKASI PARTISIPATIF KELOMPOK SADAR
WISATA DALAM PENGELOLAAN WISATA GUNUNG
API PURBA NGLANGGERAN, KABUPATEN GUNUNG
KIDUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi
Partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016
R. Restama Gustar Hastosaptyadhan
I 352114011

RINGKASAN
R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN. 2016. Komunikasi
Partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh
SUMARDJO dan DWI SADONO
Salah satu keunikan objek wisata gunung api purba di Gunung Kidul
terletak di Desa Nglanggeran yang terdiri dari material vulkanik tua,
geologis sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Komunikasi partisipatif
memiliki prinsip komunikasi horizontal untuk mendorong partisipasi
masyarakat melalui dialog. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dimulai
dengan proses dialog oleh orang-orang muda yang memiliki visi yang sama

dalam mengembangkan potensi alami gunung api purba Nglanggeran.
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. menjelaskan komunikasi partisipatif
dari Pokdarwis; 2. menganalisis hubungan antara karakteristik individu,
kredibilitas fasilitator, dukungan kelembagaan dan komunikasi partisipatif;
dan 3. menganalisis hubungan antara komunikasi partisipatif dari Pokdarwis
dan pengelolaan gunung api purba Nglanggeran.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Studi ini menyimpulkan bahwa: 1) Pokdarwis dapat menerima informasi
baru, pengetahuan yang lebih tinggi, dan sangat termotivasi. Kejujuran,
keahlian, daya tarik dan keakraban fasilitator dapat mendukung pengelolaan
pariwisata yang lebih baik. Modal, sarana dan prasarana cukup untuk
mendukung kegiatan pengelolaan wisata; 2) Ada hubungan yang signifikan
dan positif antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dukungan
kelembagaan dan komunikasi partisipatif dan 3) Ada hubungan yang
signifikan dan positif antara manajemen pariwisata dan komunikasi
partisipatif.

Kata kunci: komunikasi, partisipatif, fasilitator, pokdarwis , gunung api
purba, gunung kidul


SUMMARY
R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN. 2016. Participatory
Communication of Pokdarwis in the Management of Nglanggeran Ancient
Volcano Tourism, Gunung Kidul District, Yogyakarta Special Region
Province. Supervised by SUMARDJO and DWI SADONO.
One of the uniqueness ancient volcano attractions in Gunung Kidul is
located in the village of Nglanggeran which composed of old volcanic
material, geologically very unique and high scientific value. Participatory
communication has the principle of horizontal communication to encourage
community participation through dialogue. Tourism Awareness Formation
Group (Pokdarwis) begins with the dialogue process by young people who
have a common vision in developing the natural potential Nglanggeran
ancient volcano. The purposes of this study are: 1. Describe the
participatory communication of Pokdarwis; 2. Analyze the relationship
between individual characteristics, the credibility of the facilitator, the
institutional support and participatory communication; and 3. Analyze the
relationship between participatory communication of Pokdarwis and the
management of Nglanggeran ancient volcano.
This study used quantitative and qualitative approaches. The study
conclude that :1) Pokdarwis able to receive new information properly,

higher knowledge, and highly motivated. Honesty, expertise, attractiveness
and familiarity of facilitators able to support better tourism management.
Capital, facilities and infrastructures have sufficiently enough to support
tourist management activities; 2) There is significant and positive
relationship between individual characteristics, facilitator's credibility,
institutional support and the participatory communication and 3) There is
significant and positive relationship between tourism management and
participatory communication.
Key Words : participatory communication, pokdarwis, facilitator, ancient
volcano, Gunung Kidul

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KOMUNIKASI PARTISIPATIF KELOMPOK SADAR WISATA
DALAM PENGELOLAAN WISATA GUNUNG API PURBA
NGLANGGERAN, KABUPATEN GUNUNG KIDUL,
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Sarwititi Sarworasodjo, MS


Judul

Nama
NIM

: Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Dalam
Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
: R. Restama Gustar Hastosaptyadhan
: I 352114011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS
Ketua

Dr. Ir. Dwi Sadono, MSi
Anggota


Diketahui oleh

Ketua
Program
Studi
Komunikasi
Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 1 Februari 2016

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis penelitan ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipiih dalam proposal penelitian ini yaitu Komunikasi Partisipatif Kelompok
Sadar Wisata Dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba, Nglanggeran,
Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS dan Dr.
Ir. Dwi Sadono, MSi selaku pembimbing atas dukungan, arahan, masukan berupa
teori serta waktu dengan penuh kesabaran membimbing penulis hingga dapat
menghasilkan sebuah tulisan yang lebih baik selama pembuatan tesis penelitian
ini. Kepada rekan-rekan sejawat atas dukungan yang diberikan (KMP angkatan
genap 2011) dan angkatan 2012.
Akhir kata penulis ucapkan mohon maaf jika ada kesalahan dan
kekurangan, sesungguhnya kesalahan dan kekurangan ada pada penulis,
kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016
R. Restama Gustar Hastosaptyadhan

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
PerumusanMasalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Partisipatif
Kelompok Sosial
Komunikasi Partisipatif dalam Kelompok Sadar Wisata
Kredibilitas Fasilitator
Desa Wisata dengan Kawasan Ekowisata Berwawasan Lingkungan
Berbasis Masyarakat
Hasil Penelitian Terdahulu
Kerangka Penelitian
Hipotesis Penelitian
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian

Populasi dan Sampel Penelitian
Data dan Instrumen Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Definisi Operasional
Validitas Instrumentasi
Reliabilitas Instrumentasi
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kelompok Sadar Wisata
Karakteristik Individu Pokdarwis
Kredibilitas Fasilitator
Dukungan Kelembagaan
Komunikasi Partisipatif
Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran
Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Komunikasi
Partisipatif Pokdarwis
Hubungan antara Kredibilitas Fasilitator dengan Komunikasi
Partisipatif Pokdarwis
Hubungan antara Dukungan Kelembagaan dengan Komunikasi

Partisipatif Pokdarwis
Hubungan antara Pengelolaan Wisata dengan Komunikasi
Partisipatif Pokdarwis
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xii
xii
1
1
3
4
4
5
5
9
9
12
13
13
17
19
20
20
20
20
20
21
22
22
24
25
26
26
27
29
32
35
37
39
42
44
46
47
49
49
50
53
57

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Karakteristik individu
Kredibilitas fasilitator
Dukungan kelembagaan
Komunikasi partisipatif Kelompok Sadar Wisata
Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran
Jumlah dan persentase karakteristik individu Pokdarwis
Jumlah dan persentase kredibilitas fasilitator Pokdarwis
Jumlah dan persentase dukungan kelembagaan Pokdarwis
Jumlah dan persentase komunikasi partisipatif Pokdarwis

10

Hubungan antara karakteristik individu dengan komunikasi
partisipatif Pokdarwis

11

Hubungan antara kredibilitas fasilitator dengan komunikasi
partisipatif
Hubungan antara dukungan kelembagaan dengan komunikasi
partisipatif Pokdarwis
Hubungan antara pengelolaan wisata dengan komunikasi
partisipatif Pokdarwis

12
13

21
21
22
22
22
30
33
35
37
38
39
40
41

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka berpikir penelitian komunikasi partisipatif
kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung
Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta

16

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan sumber
daya alam dan bentang alam yang melimpah dan tinggi nilainya. Kekayaan
tersebut menjadi modal penting bagi pembangunan bangsa Indonesia dan akan
punah apabila tidak dikelola secara optimal baik oleh Pemerintah maupun
masyarakat. Di samping itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara majemuk yang
kaya akan keberagaman suku, budaya, agama dan sejarah. Kedua potensi tersebut
apabila dikelola secara baik dan benar disertai upaya-upaya pelestariannya, dapat
mendukung pencapaian kesejahteraan rakyat.
Selaras dengan visi, misi dan program aksi untuk mewujudkan Indonesia
yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian, maka pemerintah telah menetapkan
Jalan Perubahan yang disebut Nawa Cita. Sesuai Nawa Cita ke-7 yaitu
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik, maka upaya pengembangan usaha lokal merupakan bagian
kekuatan pendorong pembangunan ekonomi bangsa. Pengembangan ekonomi
lokal dapat berperan dalam mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan pendapatan masyarakat, serta mampu menyediakan peluang lapangan
kerja. Masyarakat perlu difasilitasi oleh Pemerintah agar mempunyai jiwa
wirausaha, tidak tergantung pada bantuan pemerintah. Fasilitas ini dapat berupa
peningkatan kapasitas usaha, pendampingan dan bantuan permodalan sehingga
masyarakat yang sebelumnya hanya menerima bantuan sosial dapat berkembang
menjadi pelaku usaha mikro yang pada waktunya bisa mandiri bahkan dapat
membantu masyarakat di sekitarnya dalam pengembangan ekonomi lokal yang
dapat berdampak pada meningkatnya perekonomian regional dan nasional untuk
mewujudkan kemandirian ekonomi sebagai perwujudan dari Tri Sakti.
Kekayaan alam dan keberagaman bangsa Indonesia menyimpan banyak
potensi sekaligus peluang berharga untuk membangun kepariwisataan Indonesia
agar lebih bergairah di mata dunia serta memiliki karakteristik berdasarkan
kearifan lokal, oleh karena itu pemerintah memiliki peranan penting dalam
menggali potensi dan membuat kebijakan terhadap pengembangan
kepariwisataan, sehingga masyarakat lokal meningkat kesadarannya untuk
menggali potensi dan bergerak membangun desa dan kawasan perdesaan serta
kota.
Menurut BPS (2015) Kabupaten Gunungkidul yang memiliki luas wilayah
1.485,36 Km2 dengan 18 kecamatan dan 144 desa dan kelurahan merupakan
kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sedang giat
mengembangkan potensi pariwisata. Pada umumnya masyarakat menganggap
bahwa Kabupaten Gunungkidul adalah kabupaten miskin, rawan kekeringan dan
tidak banyak memiliki tempat wisata yang khas. Namun seiring dengan
perkembangan pembangunan dan kemajuan masyarakat, kabupaten tersebut
mempunyai potensi besar bagi pengembangan kegiatan pariwisata yang
merupakan perpaduan yang harmonis antara kekayaan alam, kebudayaan
tradisional, dan cara hidup masyarakatnya.
Salah satu obyek wisata di Kabupaten Gunung Kidul yang banyak
dikunjungi wisatawan karena keunikannya adalah Gunung Api Purba yang

terletak di Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk pada ketinggian 200-700 m dpl
dengan jarak tempuh 22 km dari kota Wonosari melalui perjalanan darat. Adapun
Litologi lokasi ini tersusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya
memiliki keindahan yang secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi.
Dari hasil penelitian dan referensi yang ada, dinyatakan gunung Nglanggeran
adalah gunung berapi purba.
Pada tahun 2007 berkembang ide kreatif para pemuda Desa Nglanggeran
yang mulai membenahi dan menata lokasi ekowisata Gunung Api Purba
Nglanggeran secara swadaya dengan membangun jalur pendakian, fasilitas MCK
(Mandi, Cuci, Kakus), serta gubuk-gubuk peristirahatan pendakian. Pada saat
mengembangkan lokasi tersebut para pemuda ini membuat wadah organisasi yang
bernama Pokdarwis (kelompok sadar wisata) yang terdiri dari unsur Karang
Taruna Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, kelompok tani, ibu-ibu PKK, dan
pemilik rumah singgah (homestay). Pada Tahun 2009, Pokdarwis telah
mengantarkan desanya menjadi juara Desa Wisata se-Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat
melalui pengembangan desa wisata telah dilakukan oleh masyarakat lokal yaitu
Pokdarwis Nglanggeran yang telah mampu mengangkat potensi lokal menjadi
potensi regional bahkan selanjutnya dapat diangkat menjadi potensi nasional.
Komunikasi partisipatif merupakan paradigma komunikasi pembangunan
yang memiliki prinsip komunikasi horisontal untuk mendorong partisipasi
masyarakat melalui dialog. Masyarakat lokal diajak berpartisipasi dalam
mengidentifikasi kebutuhan dan tindakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan
pembangunannya melalui dialog dengan stakeholder lainnya yang terlibat dalam
proses pembangunan (Bessette 2007). Proses dialog dalam komunikasi partisipatif
bersifat dinamis, interaksional dan transformatif. Dialog terjadi antar individu,
kelompok dan institusi dengan pihak lainnya baik individu maupun kolektif,
untuk mewujudkan potensi mereka dan meraih kesejahteraan hidupnya (Singhal
2001).
Dialog merupakan hal yang paling penting dalam komunikasi partisipatif
pada sebuah komunitas/kelompok sosial. Dagron (2008) menambahkan bahwa
dialog merupakan kunci dari komunikasi partisipatif dalam pembangunan, jika
ingin melibatkan masyarakat sipil dalam pembangunan maka adanya dialog tidak
bisa dihindarkan, begitu juga jika sebuah organisasi pembangunan ingin
membangun hubungan dengan pemerintah dan masyarakat sosial, maka dialog
merupakan hal yang paling penting dilakukan dalam tingkat komunitas/kelompok.
Dalam dialog terjadi sharing knowledge dan pengalaman dengan para stakeholder
untuk mengidentifikasi masalah, menganalisis dan menetapkan solusi atas
permasalahan yang terjadi serta mengevaluasi (Tufte&Mefalopulos 2009). Tidak
akan ada kelompok tanpa adanya dialog di dalamnya, begitu pula sebaliknya tidak
ada dialog bila tidak terbentuk kelompok. Proses dialog sendiri dimaknai dengan
pembentukan makna dan menyampaikan nilai sosial antara individu yang saling
bertukar informasi. Hal tersebut menandakan bahwa dialog selalu diawali dengan
proses komunikasi dalam diri individu (intrapersonal) sebelum menyampaikan
ide/aspirasinya ke anggota kelompok yang lain maupun komunikator
pembangunan dengan memperhatikan norma dan nilai-nilai yang berlaku (Rahim
2004).
Pembentukan Pokdarwis diawali dengan proses dialog oleh kalangan muda
yang mempunyai kesamaan visi dalam mengembangkan potensi alam gunung api

purba Nglanggeran yang pada akhirnya berhasil membawa kelompok lain secara
partisipatif berperan dalam mengelola kawasan wisata tersebut. Keberhasilan ini
perlu dikaji sehingga diketahui bahwa komunikasi partisipatif berperan membawa
keberhasilan Pokdarwis dalam mengelola kawasan Wisata Gunung Api Purba
Nglanggeran. Demikian pula dengan komunikasi partispatif yang dikembangkan
sehingga anggota Pokdarwis mempunyai peran yang sama dalam wujud
kepedulian dan keinginan untuk maju dan berkembang dengan memanfaatkan
potensi lokal yang ada sehingga dapat menjadi faktor kemajuan daerah wisata ini.

Perumusan Masalah
Pengelolaan kawasan wisata Gunung api purba diinisiasi dengan
pembentukan desa wisata dalam PNPM Mandiri Pariwisata oleh Kementerian
Pariwisata tahun 2011. Prinsip-prinsip PNPM Mandiri seperti yang disebutkan
pada pasal 4 UU No 6/2014 tentang Desa bahwa pengaturan Desa salah satunya
bertujuan untuk mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa
untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama. Hal ini
dibuktikan bahwa melalui komunikasi partisipatif telah dibentuk kelompok sadar
wisata (Pokdarwis) yang sangat berperan dalam pengelolaan kawasan wisata ini,
namun demikian perlu dikaji lebih jauh permasalahan yang dihadapi Pokdarwis
ini sehingga diharapkan dapat tetap berkelanjutan perannya pada waktu yang akan
datang. Beberapa penelitian terdahulu seperti Saputra (2011), Mulyasari (2009),
Muchlis (2009), dan Satriani (2011) memiliki sumber referensi yang berbeda, dan
fokus obyek penelitiannya juga berbeda sesuai dengan sudut pandang masingmasing peneliti. Penelitian terdahulu tersebut tidak membahas hingga pengelolaan
wisata. Penelitian ini menganalisis tentang fasilitator yang juga merupakan
kelompok sosial masyarakat dengan nama kelompok sadar wisata (Pokdarwis),
dan peran komunikasi partisipatif juga dianalisis hubungannya dengan
pengelolaan wisata. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka penelitian
mengenai komunikasi partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam pengelolaan
wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi penting untuk diteliti.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dikaji
dalam pengelolaan lokasi wisata Gunung Api Purba ini adalah :
(1) Bagaimanakah komunikasi partisipatif yang terjadi pada kelompok sadar
wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ?
(2) Bagaimana hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas
fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif
dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ?
(3) Bagaimana hubungan komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar
wisata yang dapat berperan dalam pengelolaan wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran ?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan kajian tentang peran
komunikasi partisipatif dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba
Nglanggeran. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

(1) Mendeskripsikan komunikasi partisipatif yang terjadi pada kelompok
sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
(2) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas
fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif
dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
(3) Menganalisis hubungan komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar
yang wisata dapat berperan dalam pengelolaan wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran.
Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian sejenis
atau penelitian lanjutan dalam pengkajian komunikasi partisipatif untuk
mendukung pengelolaan potensi wisata dan menjadi bahan pertimbangan dalam
penyusunan rekomendasi kebijakan bagi instansi terkait baik di daerah maupun di
pusat.

TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Partisipatif
Selama ini pogram pembangunan kerap ditentukan sendiri oleh pemerintah
pusat (top-down), sehingga tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat hingga
tingkat bawah (grassroot). Aliran komunikasi yang searah dan cenderung topdown ini memaksa masyarakat hanya menjadi pihak penerima pasif, dan
mengesampingkan hak mereka untuk berpartisipasi, bersuara maupun
berpendapat. Freire (1972) mengistilahkan ketidakmampuan masyarakat untuk
menyuarakan aspirasi dan permasalahan yang dihadapi dengan istilah voiceless
people.
Keterlibatan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam setiap kegiatan
pembangunan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan
pembangunan (McPhail 2009). Srampickal (2006) menambahkan dibutuhkan
partisipasi aktif dari grassroot untuk melancarkan jalannya pembangunan.
Semua partisipasi merupakan hasil dari adanya komunikasi, namun tidak
semua komunikasi berbentuk partisipatif (Singhal 2001). Partisipasi masyarakat
bisa diraih dengan menggunakan komunikasi horisontal yang berlangsung dua
arah. Proses komunikasi partisipatif juga menekankan pada kemampuan anggota
komunitas agar mampu menyampaikan aspirasinya serta berbagi informasi yang
lebih dikenal dengan istilah voice. Komunikasi partisipatif menjunjung tinggi
adanya voice sebagai hak asasi dari seluruh masyarakat yang terlibat dalam proses
pembangunan (Warnock et al. 2007).
Aspirasi atau voice dalam komunikasi partisipasi menekankan pada hak
seluruh individu untuk didengar, berbicara, dan kemungkinan bagi tiap individu
berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan dalam menentukan
kehidupannya (Warnock et al. 2007; McPhail 2009). Bentuk partisipasi
masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya adalah dengan berkontribusi pada
setiap proses komunikasi, diantaranya adalah menyampaikan pandangan,
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, bertindak dalam pencarian informasi.
Konsep action-reflection-action sebagai bahan yang penting dalam
komunikasi partisipatif bukan hanya merefleksikan masalah, tetapi juga
mengumpulkan tindakan dengan mencoba mengumpulkan gerakan dari masalah
yang diidentifikasi dalam sebuah komunitas/kelompok. Kata kunci dalam konsep
ini adalah meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk bertindak dalam sebuah
kelompok. Hal tersebut bisa dicapai dengan melibatkan tindakan kolektif dalam
kelompok yang mempunyai komitmen dan rasa memiliki pada masalah yang
dihadapi. McKee et al. (2008) menjelaskan bahwa untuk memunculkan rasa
memiliki, kompetensi dan komitmen pada sebuah kelompok adalah dengan
adanya collective action dan kontrol berdasarkan partisipasi antara anggota
komunitas dengan organisasi dalam konteks sosial. Intervensi komunikasi
pembangunan dalam collective action pada level kelompok tergantung pada
kegiatan komunikasi di dalamnya, termasuk adanya dialog, identifikasi masalah
dan solusinya, berbagi informasi, negosiasi, persetujuan, bergabung dalam proses
pengelolaan, dan proses pertanggungjawaban yang sama dalam komunitas
(Warnock et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut, komunikasi partisipatif dalam
penelitian ini dimaknai sebagai bentuk partisipasi anggota kelompok dalam

menjalankan proses komunikasi (voice, dialog dan refleksi aksi) pada kegiatan
pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Salah satu perbedaan yang paling mendasar dari kelompok adalah
karakteristiknya. Karakteristik merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang melekat pada
sesuatu baik itu benda, orang maupun makhluk hidup lainnya, yang berhubungan
dengan berbagai aspek kehidupannya (Mardikanto 1993). Bisa diasumsikan bahwa
karaktersitik kelompok merupakan ciri-ciri yang melekat dalam kelompok tersebut.
Ciri-ciri tersebut menjadi pembeda antara kelompok satu dengan yang lainnya
(Suharno 2009). Syam et al (2000) menyebutkan bahwa karakteristik pada kelompok
tani yang mendasar adalah umur kelompok, aktifitas keanggotaan kelompok dan luas
areal usaha tani. Tidak jarang program pembangunan harus mengelola beberapa
kelompok sekaligus, yang tentu saja karakteristik kelompok satu dan lainnya berbeda.
Perbedaan itulah yang kemudian difasilitasi oleh komunikator pembangunan melalui
dialog untuk membangun konsensus sesuai dengan masalah dan kebutuhan masingmasing kelompok.
Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi
semua pihak dalam program pembangunan. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif
lebih tepat digunakan dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999),
pendekatan tersebut lebih memungkinkan terjadi integrasi antara kepentingan
nasional dengan kepentingan masyarakat dan potensi dan permasalahan lingkungan
setempat. Pendekatan partisipatif lebih menempatkan martabat manusia secara layak,
keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya lebih dikenali
dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadi partisipasi yang lebih luas.
Partisipasi masyarakat pada kenyataannya berawal atau dilandasi dengan
adanya kebersamaan (togetherness, commonality). Kebersamaan dalam mengartikan
atau mempersepsikan sesuatu (misalnya masalah atau kesulitan) yang penting bagi
masyarakat bersangkutan. Kebersamaan dalam cara-cara memecahkan masalah.
Kebersamaan dalam melaksanakan keputusan-keputusan untuk masalah yang
dirasakan. Model partisipasi masyarakat telah bergeser dari yang sebelumnya terfokus
pada penerima manfaat atau kelompok terabaikan (sebagaimana yang diterapkan
dalam banyak proses pembangunan), ke bentuk pelibatan warga yang lebih luas di
bidang-bidang yang mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung (Sumarto
2003). Komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang
menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespon setiap stimulus yang
muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah
wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakan.Individu adalah
wujud dinamis yang menjadi subjek dalam setiap perilaku yang diperankan termasuk
perilaku komunikasi (Hamijoyo 2005).
Pemikiran inti dari model komunikasi partisipatif adalah bahwa dalam proses
pembicaraan dapat dimungkinkan dan diperhitungkan timbulnya ide-ide baru pada
waktu komunikasi sedang berlangsung. Jika dalam model linier titik berat pada
pesan-pesan yang telah dipersiapkan dulu, dalam model partisipasi ini ada satu
cerminan situasi komunikasi yang sebenarnya, sehingga dengan jelas dapat dilihat
apakah pihak-pihak yang berkomunikasi telah berhasil saling mempengaruhi atau
tidak, dapat dilihat akibat dari pesan yang telah dikirim. Model ini juga
memperlihatkan situasi interaktif antara pihak-pihak yang berkomunikasi dan dapat
berlangsung dalam bentuk komunikasi antar pribadi dan kelompok (Sulistyowati et
al. 2005).
Menurut Servaes (2002) adapun prinsip-prinsip komunikasi partisipatif yang
terdiri dari: (1) masyarakat biasa (bukan agen perubahan atau struktur kekuasaan
formal) sebagai “agen utama” perubahan. Komunikasi diarahkan untuk mendorong

kemandirian masyarakat; (2) tujuan pembangunan adalah pendidikan dan aktivitas
orang terhadap perbaikan diri dan masyarakat, keterlibatan orang lokal dalam
pengelolaan dan evaluasi program pembangunan, pendidikan penting untuk
pemberdayaan bukan instruksi “know-how”, belajar bukan proses pasif; (3)
pergeseran kembali fokus dari negara kepada masyarakat lokal; (4) partisipasi
melibatkan pendistribusian kembali kekuasaan dari elit kepada masyarakat lokal dan
(5) komunikasi partisipatif memerlukan pelaksanaan penelitian dalam tradisi baru
yang disebut “penelitian partisipatif”. Maksudnya penelitian yang memungkinkan
masyarakat melakukan sendiri bukan temuan akademisi atau “ahli”, karena
masyarakat dipercaya dapat merefleksikan situasi yang menindas mereka dan
mengubahnya, mereka lebih mengetahui kebutuhan dan realitasnya daripada “para
ahli”.
White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif sebagai dialog terbuka,
sumber dan penerima berinteraksi secara kontinyu, memikirkan secara konstruktif
situasi, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan pembangunan, memutuskan
apa yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan situasi dan bertindak atas situasi
tersebut. Singhal (2001) mengartikan komunikasi partisipatif adalah sebuah proses
dinamis, interaktif dan transformasional, di mana orang terlibat dalam dialog, dengan
individu dan kelompok masyarakat dalam rangka merealisasikan potensi secara
penuh agar dapat meningkatkan kehidupan mereka.
Menurut Bordenave dalam White (2004) komunikasi partisipatif dapat diartikan
sebagai proses komunikasi yang memberikan kebebasan, hak dan akses yang sama
dalam memberikan pandangan, perasaan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan
informasi ke masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah melalui dialog. Dialog
adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver)
pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada
makna-makna yang saling berbagi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan
menghormati pembicara lain atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi
hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang 12 memiliki hak yang
sama untuk bicara atau untuk didengar dan mengharap bahwa suaranya tidak akan
ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain.
Rahim dalam White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif adalah
suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga
menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Dalam
konsep public sphere, dialog merupakan suatu aktivitas komunikasi yang terbuka dan
dapat diakses oleh para peserta. Dalam konsep ini yang dicari bukan saja berorientasi
pada keberhasilannya masing-masing, namun yang lebih penting adalah bagaimana
situasi pemahaman bersama terhadap realitas menjadi dasar bagi pencapaian
kepentingan mereka, tanpa mengabaikan kesesuaian antara rencana dan aksi
(Habermas 1990).
Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi
pihak atas (pemerintah) dan pihak bawah (masyarakat) dalam program pembangunan
wilayah setempat. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif lebih tepat digunakan
dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999), pendekatan tersebut lebih
memungkinkan terjalin integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan
masyarakat dan potensi (dan permasalahan) lingkungan setempat. Pendekatan
tersebut lebih menempatkan martabat manusia secara lebih layak, keberadaan
masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali
dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang lebih
luas.

Menurut Freire (1972) semua orang baik secara individual dan kolektif
memiliki hak untuk berbicara. Berbicara bukan hak istimewa dari beberapa orang,
namun hak setiap manusia. Freire menyadari bahwa kebodohan dan kelalaian mereka
membuat mereka menjadi tidak memiliki keberanian dan kemampuan uantuk
menjawab realitas-realitas kongkret dari dunia mereka. Mereka tetap saja tenggelam
dalam suatu keadaan di mana kesadaran kritis dan jawaban semacam itu praktis tidak
mungkin. Mereka merupakan masyarakat yang tersisihkan, tak berdaya, yang
kemudian menjadi tidak berani berbicara sehingga kemudian memunculkan satu
kebudayaan yang dikenal dengan nama “kebudayaan bisu” atau “cultures of silence”.
Budaya bisu akan bisa diubah menjadi budaya kritis, di mana orang berani bicara
untuk memperjuangkan hak hidupnya menjadi manusia yang sesungguhnya. Walau
upayanya tersebut tampaknya “hanya” dalam aspek pendidikan, namun dampaknya
secara cukup kuat dan signifikan mempengaruhi ikhtiar pembangunan nasional.
Komunikasi partisipatif memiliki kegiatan dialog yang menyaratkan bahwa orangorang yang terlibat di dalamnya berada dalam level yang sama, berbicara dalam
frekuensi yang sama tentang sesuatu hal yang dihadapi. Tatkala seseorang merasa
lebih pintar dari orang lain dari anak-anak itu dan memaksakan pendapatnya maka
yang terjadi adalah proses transfer sebagaimana yang kerap terjadi dalam pendidikan
formal. Model komunikasi partisipatif, di sisi lain mengubah pandangan dalam
kerangka keragaman. Ini menekankan pentingnya identitas budaya masyarakat lokal
dan demokratisasi dan partisipasi di semua tingkat-internasional, nasional, lokal dan
individu. Proses pemberdayaan (empowerment) sejatinya harus ditujukan untuk
“membantu partisipan memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan
menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk
mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini
dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan
daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.“ (Payne
1979 diacu dalam Nasdian 2003). Harus diakui bahwa selama ini, peran serta
masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di
pandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi
ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program;
masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan
harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi
menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian 2003).

Kelompok Sosial
Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan manusia
yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan
tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong (Soekanto
2006:104).
Kelompok sosial walaupun jumlahnya sedikit tetapi ada, dan umumya
dibentuk untuk urusan-urusan ritual seperti kematian, pelestarian adat dan untuk
urusan yang berhubungan dengan ritual peribadatan suatu agama. Di luar ritual,
kelompok sosial
untuk kepentingan ekonomi sifatnya marginal tetapi sarat
dengan nilai-nilai yang bettentangan dengan nilai-nilai universal yang senantiasa
memberikan bobot pada peningkatan produktivitas, nilai tambah, kompetisi,
efisiensi, kebebasan dan persamaan. Kelompok teresebut berkembang atas dasar
beraktivitas bersama bukan beraktivitas sama-sama untuk mengubah nasib dan
kekayaan material untuk hari esok yang lebih baik.

Teori sosiologi senantiasa membedakan dua jenis kelompok sosial. Pertama,
apa yang disebut kelompok primer yaitu suatu wadah tempat berhimpunnya satu
atau lebih individu yang memiliki hubungan personal antar mereka yang sangat
dekat dan pola interaksi sesamanya biasanya sangat informal. Pada kelompok
primer ini hampir semua persoalan didiskusikan walau tanpa arah dan
penyelesaian tertentu yang jelas, serta tidak ada rahasia antar anggota kelompok.
Keanggotaan kelompok ini biasanya homogeny dari suatu garis keturunan,
kepercayaan, pertemanan, informal dan sejenisnya. Wujud pembentukan
kelompok ini biasanya mulai dari keluarga, perkumpulan sesame teman-teman
dekat, kelompok garis keturunan dan sejenisnya. Kedua, yaitu kelompok sekunder
yang didalamnya berimpun sekelompok orang dengan spesialisasi tertent atau
memiliki tujuan-tujuan khusus organisasi dan dengan pembagian tugas, untuk
para pengurus dan anggotanya, secara jelas yang merefleksikan peran mereka
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Hubungan interpersonal
dalam kelompok ini relative terbatas dan frekuensi pertemuan antar anggota
kelompok biasaya tidak berlangsung secara terus menerus. Pada kelompok yang
disebut terakhir, dalam wujud kekiniannya merupakan bentuk organisasi modern
yang bersifat lebih formal.
Komunikasi Partisipatif dalam Kelompok Sadar Wisata
Pembangunan kepariwisataan memerlukan dukungan dan keterlibatan
seluruh pemangku kepentingan di bidang pariwisata. Masyarakat adalah salah satu
unsur penting pemangku kepentingan untuk bersama-sama dengan Pemerintah
dan kalangan usaha/swasta bersinergi melaksanakan dan mendukung
pembangunan kepariwisataan, oleh karena itu pembangunan kepariwisataan harus
memperhatikan posisi, potensi dan peran masyarakat baik sebagai subjek atau
pelaku maupun penerima manfaat pengembangan, karena dukungan masyarakat
turut menentukan keberhasilan jangka panjang pengembangan kepariwisataan.
Dukungan masyarakat dapat diperoleh melalui penanaman kesadaran masyarakat
akan arti penting pengembangan kepariwisataan, untuk itu dibutuhkan proses dan
pengkondisian untuk mewujudkan masyarakat yang sadar wisata. Kelompok
Sadar Wisata (Pokdarwis) merupakan salah satu komponen dalam masyarakat
yang memiliki peran dan kontribusi penting dalam pengembangan kepariwisataan
di daerahnya. Keberadaan Pokdarwis tersebut perlu terus didukung dan dibina
sehingga dapat berperan lebih efektif dalam turut menggerakkan partisipasi
masyarakat untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif bagi
tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di sekitar destinasi
pariwisata.
Pedoman Kelompok Sadar Wisata (2012) menyatakan bahwa Peningkatan
peran masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan memerlukan berbagai
upaya pemberdayaan (empowerment), agar masyarakat dapat berperan lebih aktif
dan optimal serta sekaligus menerima manfaat positif dari kegiatan pembangunan
yang dilaksanakan untuk peningkatan kesejahteraannya. Pemberdayaan
Masyarakat dalam konteks pembangunan kepariwisataan dapat didefinisikan
sebagai:“Upaya penguatan dan peningkatan kapasitas, peran dan inisiatif
masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan, untuk dapat berpartisipasi
dan berperan aktif sebagai subjek atau pelaku maupun sebagai penerima manfaat
dalam pengembangan kepariwisataan secara berkelanjutan”. Renstra Dit.

Pemberdayaan Masyarakat (2010). Definisi tersebut menegaskan posisi penting
masyarakat dalam kegiatan pembangunan, yaitu masyarakat sebagai subjek atau
pelaku pembangunan, dan masyarakat sebagai penerima manfaat pembangunan.
Masyarakat sebagai subyek atau pelaku pembangunan, mengandung arti, bahwa
masyarakat menjadi pelaku penting yang harus terlibat secara aktif dalam proses
perencanaan dan pengembangan kepariwisataan, bersama-sama dengan pemangku
kepentingan terkait lainnya baik dari pemerintah maupun swasta. Dalam
fungsinya sebagai subjek atau pelaku masyarakat memiliki peran dan tanggung
jawab untuk bersama-sama mendorong keberhasilan pengembangan
kepariwisataan di wilayahnya. Masyarakat sebagai penerima manfaat,
mengandung arti, bahwa masyarakat diharapkan dapat memperoleh nilai manfaat
ekonomi yang berarti dari pengembangan kegiatan kepariwisataan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat yang
bersangkutan. Dalam kerangka pembangunan kepariwisataan tersebut, salah satu
aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat
diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan
berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Iklim atau lingkungan
kondusif tersebut terutama dikaitkan dengan perwujudan Sadar Wisata dan Sapta
Pesona yang dikembangkan secara konsisten di kalangan masyarakat yang tinggal
di sekitar destinasi pariwisata.
Sadar wisata dalam hal ini digambarkan sebagai bentuk kesadaran
masyarakat untuk berperan aktif dalam 2 (dua) hal berikut, yaitu:
a) Masyarakat menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai tuan
rumah (host) yang baik bagi tamu atau wisatawan yang berkunjung untuk
mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif sebagaimana tertuang dalam
slogan Sapta Pesona.
b) Masyarakat menyadari hak dan kebutuhannya untuk menjadi pelaku
wisata atau wisatawan untuk melakukan perjalanan ke suatu daerah tujuan wisata,
sebagai wujud kebutuhan dasar untuk berekreasi maupun khususnya dalam
mengenal dan mencintai tanah air.
Sapta pesona, sebagaimana disinggung di atas adalah : “7 (tujuh) unsur
pesona yang harus diwujudkan bagi terciptanya lingkungan yang kondusif dan
ideal bagi berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat yang
mendorong tumbuhnya minat wisatawan untuk berkunjung”. Ketujuh unsur Sapta
Pesona yang dimaksud di atas adalah : 1. Aman, 2. Tertib, 3. Bersih, 4. Sejuk, 5.
Indah, 6. Ramah,7. Kenangan.
Terwujudnya ketujuh unsur Sapta Pesona dalam pengembangan
kepariwisataan di daerah akan bermuara pada:
(1) Meningkatnya minat kunjungan wisatawan ke destinasi.
(2) Tumbuhnya iklim usaha kepariwisataan yang prospektif.
(3) Meningkatnya lapangan pekerjaan dan peluang pendapatan, serta dampak
ekonomi multi ganda pariwisata bagi masyarakat.
Sadar Wisata dan Sapta Pesona sebagai unsur penting dalam mendukung
pengembangan destinasi pariwisata tentu tidak dapat terwujud secara otomatis
tanpa adanya langkah dan upaya-upaya untuk merintis, menumbuhkan,
mengembangkan dan melaksanakan secara konsisten di destinasi pariwisata. Oleh
karena itu, perlu ditumbuhkan peran serta masyarakat secara aktif dalam
mengembangkan Sadar Wisata dan Sapta Pesona bersama-sama dengan

pemangku kepentingan terkait lainnya. Dalam hal ini Kelompok Sadar Wisata
(Pokdarwis) atau kelompok penggerak pariwisata sebagai bentuk kelembagaan
informal yang dibentuk anggota masyarakat (khususnya yang memiliki
kepedulian dalam mengembangkan kepariwisataan di daerahnya), merupakan
salah satu unsur pemangku kepentingan dalam masyarakat yang memilki
keterkaitan dan peran penting dalam mengembangkan dan mewujudkan Sadar
Wisata dan Sapta Pesona di daerahnya.
Kelompok sadar wisata, selanjutnya disebut dengan Pokdarwis, adalah
kelembagaan di tingkat masyarakat yang anggotanya terdiri dari para pelaku
kepariwisataan yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab serta berperan
sebagai penggerak dalam mendukung terciptanya iklim kondusif bagi tumbuh dan
berkembangnya kepariwisataan serta terwujudnya Sapta Pesona dalam
meningkatkan pembangunan daerah melalui kepariwisataan dan manfaatkannya
bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Pokdarwis ini merupakan kelompok
swadaya dan swakarsa masyarakat yang dalam aktivitas sosialnya berupaya untuk:
(1) Meningkatkan pemahaman kepariwisataan.
(2) Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
kepariwisataan.
(3) Meningkatkan nilai manfaat kepariwisataan bagi masyarakat/anggota
Pokdarwis.
(4) Mensukseskan pembangunan kepariwisataan.
Kredibilitas Fasilitator
Komunikasi akan efektif bila komunikan mengalami proses internalisasi,
jika komunikan menerima pesan yang sesuai dengan sistem nilai yang di anut.
Komunikan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat jika pesan yang
disampaikan memiliki rasionalitas yang dapat diterima. DeVito (1997) memahami
kredibilitas komunikator sebagai hal penting untuk menjadikan orang lain
(komunikan) percaya atau tidak percaya terhadap apa yang disampaikan
komunikator. Kredibilitas penting dalam dunia pendidikan, karena ini
mempengaruhi citra pendidik di depan kelas. Kredibilitas penting bagi fasilitator
karena akan mempengaruhi anggota komunitas untuk menjalankan programprogram pemberdayaan. Tidak ada situasi komunikasi dimana kredibilitas tidak
mempunyai pengaruh atau efek bagi komunikan. Lebih lanjut DeVito (1997)
mengidentifikasi tiga aspek kualitas utama dari kredibilitas : (1) Kompetensi,
mengacu pada pengetahuan dan kepakaran yang menurut khalayak dimiliki oleh
komunikator; (2) Karakter, mengacu pada itikad dan perhatian komunikator
kepada khalayak dan (3) Kharisma, mengacu pada kepribadian dan kedinamisan
komunikator.
Belch (2001) mengatakan bahwa seorang komunikator atau sumber yang
kredibel sangat penting bila audiens memiliki sikap yang negatif terhadap produk,
jasa, perusahaan atau isu yang tengah diangkat. Hal ini dikarenakan komunikator
atau sumber yang kredibel dapat menghambat konter argumen dari audien.
(1). Keahlian
Seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman
disebut sebagai orang yang memiliki keahlian. Menurut Belch dan
Belch (2001), keahlian adalah tingkatan dimana seorang komunikator

dipresepsikan sebagai orang yang dapat memberikan penilaian yang
benar dan tegas.
(2). Kejujuran
Kejujuran adalah tingkat kepercayaan terhadap niat komunikator dalam
mengkomunikasikan penilaian yang dianggapnya paling benar.Jujur
atau tidaknya sumber bergantung pada persepsi audiens tentang
motivasinya dalam menyampaikan sebuah informasi. Menurut Belch
dan Belch (2001) jika audiens merasa sumber bias atau memiliki
kepentingan pribadi atau uang ketika menyampaikan suatu produk atau
institusi, maka ia menjadi kurang persuasi dibanding orang yang
dianggap tidak memiliki motif pribadi apapun.
(3). Daya tarik
Daya tarik bukan dilihat dari kecantikan fisik saja melainkan juga
berbagai sifat dan karakter yang dimiliki oleh fasilitator, misalnya
kemampuan intelektual, kepribadian, gaya hidup dan sebagainya.
Seorang fasilitator memiliki nilai tambah berupa kekaguman dari
banyak orang. Penampilan seseorang dalam berkomunikasi akan
mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Dalam kaitan
dengan kredibilitas sumber pesan, pengaruh penampilan terutama pada
kontak pertama antara sumber dan penerima pesan.
(4). Keakraban
Aspek ini merujuk pada pengetahuan tentang sumber yang dimiliki
audien melalui terpaan media massa. Keakraban sering diabaikan oleh
institusi karena mereka lebih memperhatikan aspek kesamaan dan daya
tarik sumber (Belch dan Belch 2001).
Ada beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam pemberdayaan
masyarakat. Dalam suatu dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat
berperan sebagai “enabler” atau “organizar” atau “educator”. Peranan ini
bergerak dari satu ke lainya, sehingga ia memiliki peranan ganda.Oleh karena itu,
tampak jelas, peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang
“generalist” (Nasdian 2003).
Desa Wisata dengan Kawasan Ekowisata Berwawasan Lingkungan Berbasis
Masyarakat
Kelompok sadar wisata di Nglanggeran memiliki arah pengembangan
pengelolaan wisata yang akan dilakukan sesuai dengan konsep rintisan awal
bersama masyarakat yaitu:
(1) Prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya): memperdulikan daya
dukung lingkungan, pelestarian SDA dan budaya masyarakat,
menerapkan zonasi kawasan untuk meminimalkan kerusakan dan
meningkatkan kenyamanan pengunjung, menyusun dan implementasi
mekanisme monitoring untuk mengurangi ancaman kerusakan dari
kegiatan pariwisata, menyusun tata kelola pengunjung
(2) Prinsip Ramah Masyarakat: menggunakan konsep partisipatif dan
perencanaan dari bawah, melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan

implementasi, masyarakat desa sebagai pelaku dan penerima manfaat
terbesar dalam pengembangan pariwisata desa, menyusun mekanisme
distribusi keuntungan dari kegiatan pariwisata, menyusun mekanisme
investasi pariwisata yang memprioritaskan peluang untuk warga desa
(3) Prinsip Ramah Wisatawan: pelibatan masyarakat sebagai pelaku wisata,
program pelatihan untuk meningkatkan SDM insan wisata, menciptakan
kenyamanan pengunjung dengan menerapkan SOP pengelola soal
kebersihan kesehatan keamanan, monitoring kepuasan pengunjung dan
juga kepuasan masyarakat

Hasil Penelitian Terdahulu
Komunikasi partisipasi adalah salah satu model komunikasi program
pembangunan yang melekat pada pemberdayaan masyarakat. Hasil penelitian
terdahulu menjelaskan bahwa komunikasi partisipasi memiliki pengaruh terhadap
kelangsungan dalam sebuah program.
Saputra (2011) meneliti mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku komunikasi partisipatif fasilitator (kasus PNPM Mandiri di kota Bandar
Lampung). tujuan penelitian ini adalah, (1) mendeskripsikan karakteristik, peran
dan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator (2) menganalisis hubungan
karakteristik fasilitator dengan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator, (3)
menganalisis hubungan peran fasilitator dengan perilaku komunikasi partisipatif
fasilitator di PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung. Kesimpulan penelitian ini
adalah, jumlah terbesar peran fasilitator, yaitu untuk peran fasilitatif berada pada
tingkatan sedang. Jumlah terbesar karakteristik fasilitator yaitu untuk pengetahuan
non teknis berada pada tingkatan sedang, pendidikan nonformal dan pengetahuan
teknis berada pada tingkatan tinggi, namun pengalaman berada pada tingkatan
rendah. Pada perilaku komunikasi partisipatif, seluruh jumlah terbesar fasilitator
untuk pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan
kelompok, dan refleksi aksi berada pada tingkatan yang tinggi. Karakteristik
fasilitator yang meliputi pengalaman, pengetahuan nonteknis, pengetahuan teknis,
dan pendidikan nonformal memiliki hubungan terhadap perilaku komunikasi
partisipatif fasilitator. Peran fasilitatif fasilitator juga memiliki hubungan terhadap
perilaku komunikasi partisipatif fasilitator.
Mulyasari (2009) meneliti tentang Komunikasi Partisipatif Warga Pada
Bengkulu Regional Development Project (BRDP). Penelitian ini bertujuan untuk:
a) Menganalisis komunikasi partisipatif yang terjadi dalam proses kegiatan
BRDP, b) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi partisipatif
antara warga dan agen pendamping (fasilitator) dalam kegiatan BRDP, dan c)
Menganalisis tingkat kepuasan yang dirasakan warga sebagai dampak dari
komunikasi partisipatif dalam kegiatan BRDP. Komunikasi partisipatif warga
pada tahap perencanaan berhubungan nyata dengan peubah kemampuan.
Kemampuan yang rendah menyebabkan komunikasi partisipatif yang diharapkan
dapat berjalan antara pengurus UPKD dan warga tidak dapat dilaksanakan dengan
baik. Kemampuan yang rendah mengakibatkan rendahnya kemauan warga untuk
dapat berpartisipasi pada kegiatan BRDP. Mereka tidak memiliki kepercayaan diri
dan keberanian untukmemberikan pertanyaan, masukan atau pendapat kepada

pengurus UPKD, sedangkan pengurus UPKD telah memberikan kesempatan dan
memotivasi warga agar dapat berpartisipasi. Komunikasi partisipatif warga pada
tahap pelaksanaan juga berhubungan nyata dengan peubah kemampuan. Pengurus
UPKD telah memberikan kesempatan kepada warga untuk dapat memberikan
pertanyaan, pendapat dan saran terkait dengan kegiatan BRDP di Desa Pondok
Kubang. Tetapi dengan rendahnya pendidikan, pengalaman, dan modal yang
dimiliki oleh warga maka warga merasa tidak memiliki kemampuan untuk
berpartisipasi p

Dokumen yang terkait

Analisis pengaruh efektivitas kebijakan harga dan kualitas produk pariwisata terhadap tingkat kepuasan wisatawan domestik : studi kasus pada Kawasan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta.

0 0 143

Analisis pengaruh efektivitas kebijakan harga dan kualitas produk pariwisata terhadap tingkat kepuasan wisatawan domestik studi kasus pada Kawasan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta

0 1 141

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENGELOLAAN PROGRAM DESA WISATA OLEH KELOMPOK SADAR WISATA KREBET BINANGUN DI KREBET, SENDANGSARI, PAJANGAN,BANTUL, YOGYAKARTA.

5 17 181

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta UU NO 13 2012

0 0 23

PENGARUH DAYA TARIK WISATA, KESETAN, DAN SARANA WISATA TERHADAP KEPUASAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP LOYALITAS WISATAWAN : Studi Community Based Tourism di Gunung Api Purba Nglanggeran | Hermawan | Wahana Informasi Pariwisata : MEDIA WISATA 213 330 1 SM

0 1 16

Pedoman Kelompok Sadar Wisata (1)

0 0 56

IbM PADA KELOMPOK SADAR WISATA PANDANARAN DI DESA WISATA KANDRI, KECAMATAN GUNUNG PATI, SEMARANG Noor Suroija

0 2 7

Penerapan Prinsip Ekowisata Di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran Intan Mawar Tiani intanmawartianigmail.com Muhammad Baiquni baiquni99gmail.com ABSTRACT - Penerapan Prinsip Ekowisata Di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Homestay di Desa Wisata Nglanggeran Kabupaten Gunung Kidul

0 0 28

STUDI AWAL MENGENAI GUNUNG API PURBA DI KECAMATAN NGAWEN, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SERTA APLIKASINYA DALAM MITIGASI BENCANA GUNUNG API PADA MASA SEKARANG - Eprints UPN "Veteran" Yogyakarta

0 0 11