Keefektifan Kombinasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria dan Unsur Mikro dalam Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Cabai Merah

KEEFEKTIFAN KOMBINASI PLANT GROWTH PROMOTING
RHIZOBACTERIA DAN UNSUR MIKRO DALAM
PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA
PADA CABAI MERAH

WINAR NUR AISYAH FATIMAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keefektifan Kombinasi
Plant Growth Promoting Rhizobacteria dan Unsur Mikro dalam Pengendalian
Penyakit Antraknosa pada Cabai Merah adalah benar karya saya dengan arahan
dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014
Winar Nur Aisyah Fatimah
NIM A34100077

ii

3

ABSTRAK

WINAR NUR AISYAH FATIMAH. Keefektifan Kombinasi Plant Growth
Promoting Rhizobacteria dan Unsur Mikro dalam Pengendalian Penyakit
Antraknosa pada Cabai Merah. Dibimbing oleh WIDODO.
Antraknosa merupakan penyakit penting pada buah cabai yang disebabkan

oleh cendawan Colletotrichum sp.. Patogen tersebut menginfeksi buah cabai muda
hingga buah cabai yang siap panen. Kerugian akibat antraknosa berkisar dari 4080%, bahkan buah cabai bisa hancur 100%. Plant Growth Promoting
Rhizobacteria (PGPR) merupakan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan yang
memiliki manfaat sebagai zat pengatur tumbuh, agens pengendali hayati yang
memiliki kemampuan bersaing dalam mendapatkan zat makanan, dan secara tidak
langsung memproduksi enzim yang dapat melarutkan dinding sel cendawan.
PGPR saat ini mulai banyak dikembangkan dalam pengendalian penyakit
antraknosa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan PGPR yang
terdiri dari bakteri Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa yang
dikombinasikan dengan unsur mikro MnSO4 0.05%, PGPR dengan unsur mikro
ZnSO4 0.05%, PGPR dengan unsur mikro MnSO4 0.05%+ZnSO4 0.05%, dan
PGPR dengan pupuk komersial Growmore 10-55-10 dalam menekan tingkat
keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai. Percobaan dilakukan di lapangan
dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan dan 3 blok. Adapun
peubah yang diamati meliputi perkecambahan benih, tinggi tanaman, jumlah daun
tanaman, dan keparahan penyakit antraknosa. Hasil pengamatan menunjukkan
seluruh kombinasi perlakuan memiliki potensi dalam meningkatkan
perkecambahan benih, tinggi tanaman, dan jumlah daun tanaman, akan tetapi
tidak dapat menekan keparahan penyakit antraknosa. Kombinasi perlakuan PGPR
dengan unsur mikro MNSO4 adalah kombinasi perlakuan paling baik dalam

meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah buah cabai
Kata kunci: Antraknosa, cabai, Plant Growth Promoting Rhizobacteria, unsur
mikro.

4

5

ABSTRACT

WINAR NUR AISYAH FATIMAH. The Effectiveness Combination of Plant
Growth Promoting Rhizobacteria and Micronutrients in Anthracnose Disease
Control in Chilli Red Pepper. Supervised by WIDODO.
Anthracnose is an important disease on chili pepper caused by
Colletotrichum sp.. The pathogen can attack from early stage of fruit until
harvesting. The losses due to this disease ranging from 40-80%, and even up to
100%. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) is a group of bacteria
which growth and colonize arround roots area (rhizosphere), that has some
beneficial effects in plant, such as growth promoting and as biological control
agent. The purpose of this research was to determine the effectiveness of PGPR

consisting of Pseudomonas fluorescens and Bacillus polymixa, combined with
micronutrients MnSO4 0.05%, ZnSO4 0.05%, MnSO4 0.05%+ ZnSO4 0.05%, and
commercial fertilizer Growmore 10-55-10, to suppress anthracnose disease on
chili pepper. This experiment used a Randomized Block Design (RBD) with 6
treatments and 3 blocks. Variables measured were seed germination, plant height,
number of leaves, and the severity of anthracnose disease. The results showed that
the treatments with PGPR and or combined with micronutrients could not
suppress the disease severity comparing with conventional control measure.
Combining with micronutrients (MnSO4) increased the PGPR capability on plant
growth promoting effects.
Keywords: Anthracnose, chili, micronutrients, Plant Growth Promoting
Rhizobacteria.

6

7

©

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

viii

ix

KEEFEKTIFAN KOMBINASI PLANT GROWTH PROMOTING
RHIZOBACTERIA DAN UNSUR MIKRO DALAM
PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA
PADA CABAI MERAH

WINAR NUR AISYAH FATIMAH


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

x

vi

vii

: Keefektifan
Kombinasi

Plant
Growth
Promoting
Rhizobacteria dan Unsur Mikro dalam Pengendalian
Penyakit Antraknosa pada Cabai Merah
Nama Mahasiswa : Winar Nur Aisyah Fatimah
NIM
: A34100077
Judul Skripsi

Disetujui oleh

Dr. Ir. Widodo, MS
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

viii

ix

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul
“Keefektifan Kombinasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria dan Unsur Mikro
dalam Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Cabai Merah” sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi
Tanaman, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua tercinta, Ibu Engkis
Djunkisah dan Bapak Edi Suhaedi, serta kelima kakak atas doa yang senantiasa
dipanjatkan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Widodo
MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, arahan,
motivasi, dan bimbingan selama ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Abdul Munif
MScAgr. selaku dosen pembimbing akademik, dan seluruh dosen Departemen

Proteksi Tanaman yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi selama
penulis meyelesaikan studi di Departemen Proteksi Tanaman.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Muhammad Syukur SP MSi, Undang, dan
Abdul. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Wirathazia E. L. Chenta,
Endah Wahyuni, Siti Nurul Benowati, Hagia Sophia Khairani, Widi Astuti, Dian
Novitasari, Supriyanto, Almira Pintari Supraba, Gita Sri Lestari, Miranti Sasmita,
Susilawati, Titah Nurjanah, Rian Andini, M. Ridho Rasyid, Mia Sri Listiani
Ahmad, Lilis Heryati, dan Ratna Dwi Hirma W. atas bantuan, dukungan, saran
dan semangat yang diberikan. Terima kasih kepada rekan-rekan Laboratorium
Mikologi Tumbuhan, teman-teman Proteksi Tanaman 47, dan seluruh adik serta
kakak tingkat yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas persahabatan,
kebersamaan, dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita.

Bogor, Desember 2014
Winar Nur Aisyah Fatimah

vi

vii


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Penelitian
Bahan Penelitian
Penyemaian Benih
Penanaman
Pengamatan Agronomi
Pengamatan Keparahan Penyakit
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh PGPR terhadap Perkecambahan dan Karakter Agronomi di
Persemaian
Pengaruh PGPR terhadap Karakter Agronomi di Lapangan
Keparahan Penyakit Antraknosa
Kejadian Penyakit Layu Bakteri di Lapangan
Pembahasan Umum
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

ix
ix
ix
1
1
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
5
6
6
7
9
11
12
15
15
15
16
20
23

viii

ix

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Perlakuan PGPR di lapangan
Skoring penyakit antraknosa berdasarkan skala kerusakana
Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap persentase daya
berkecambah di persemaian
Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap tinggi dan jumlah
daun bibit pada 6 MSS
Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap tinggi tanaman di
lapangan
Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap jumlah daun tanaman
di lapangan
Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap persentase keparahan
penyakit antraknosa
Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap jumlah dan bobot
buah cabai
Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap kejadian penyakit
layu di lapangan

4
5
6
7
8
8
10
11
12

DAFTAR GAMBAR

1
2

Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai
Gejala layu bakteri di lapangan

9
11

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6

Hasil analisis ragam keparahan penyakit antraknosa
Hasil analisis ragam tinggi tanaman di lapangan
Hasil analisis ragam jumlah daun tanaman di lapangan
Hasil analisis ragam jumlah buah cabai
Hasil analisis ragam bobot buah cabai
Hasil analisis ragam jumlah tanaman layu

20
20
21
22
22
22

x

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan komoditas sayuran yang
penting dan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia (Syukur et al. 2012). Cabai
merupakan salah satu yang paling populer dan banyak ditanam sayuran di dunia
dan yang paling populer di Asia (Makari et al. 2009). Namun, seorang mayor
masalah bagi produksi cabai di daerah tropis dan subtropis daerah adalah penyakit
antraknosa (Sharma et al. 2005). Cabai selain dimanfaatkan sebagai bumbu masak
cabai juga digunakan sebagai bahan baku berbagai industri makanan, minuman
dan obat-obatan, dapat dipasarkan dalam bentuk segar dan olahan sehingga
menambah pentingnya komoditas tersebut. Sebagai salah satu komoditas
unggulan hortikultura Indonesia, persentase luas pertanaman cabai 20.46% atau
paling tinggi dibandingkan dengan sayuran lainnya (Syukur et al. 2012). Produksi
cabai merah segar dengan tangkai tahun 2012 sebanyak 954.36 ribu ton.
Dibandingkan tahun 2011, terjadi kenaikan produksi sebanyak 65.51 ribu ton
(7.37%). Kenaikan ini disebabkan oleh kenaikan produktivitas sebanyak 0.59 ton
per hektar (8.04%) sementara luas panen terjadi penurunan seluas 788 hektar
(0.65%) dibandingkan tahun 2011 (BPS 2013).
Dalam upaya meningkatkan produksi cabai dalam negeri, tidak sedikit
permasalahan yang dihadapai oleh petani Indonesia. Kendala yang paling penting
dalam proses produksi dan dapat menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi
adalah kualitas benih, kesuburan tanah, teknik budidaya, penanganan pasca panen,
serta gangguan hama dan penyakit (Maria 2010). Penyakit yang umumnya terjadi
pada tanaman cabai dapat disebabkan oleh bakteri, cendawan, nematoda, dan
virus. Antraknosa pada cabai merupakan penyakit yang paling sering ditemukan
dan hampir selalu terjadi di setiap areal tanaman cabai. Penyakit antraknosa pada
tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan Colletotrichum yaitu
Colletotrichum acutatum, Colletotrichum gloeosporioides, dan Colletotrichum
capsici (AVRDC 2003). Colletotrichum gloeosporioides merupakan spesies yang
paling luas serangannya pada tanaman Solanaceae terutama pada tanaman cabai
namun akhir-akhir ini spesies yang utama menyerang cabai adalah spesies C.
acutatum (Park 2005). Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. & Bisby. termasuk ke
dalam divisi Amastigomycota, subdivisi Deuteromycotina, kelas Deuteromycetes,
subkelas Coelomycetidae, ordo Melanconiales, famili Melanconiaceae dan genus
Colletotrichum (Alexopolus 1996). Penyakit ini selain mengakibatkan penurunan
hasil juga dapat merusak nilai estetika dari cabai itu sendiri. Infeksi patogen ini
dapat terjadi baik sebelum maupun setelah panen. Antraknosa atau sering disebut
sebagai penyakit patek. Penyakit antraknosa ini menyebabkan kerugian yang
sangat besar baik di daerah tropis maupun subtropis. Gejala penyakit timbul
terutama pada buah masak, berupa bercak sirkular berlekuk yang ukuran
diameternya dapat mencapai 30 mm. Warnanya cokelat sementara jaringan di
bawahnya berwarna hitam karena dipenuhi setae dan konidium cendawan.
Serangan berat dapat menyebabkan seluruh buah mengering dan mengerut

2
(keriput). Buah yang seharusnya berwarna merah menjadi berwarna seperti jerami
(Agrios 2005).
Gejala pada biji berupa kegagalan berkecambah dan pada kecambah
menyebabkan layu semai, yang sudah dewasa menyebabkan mati pucuk, pada
daun dan batang yang terserang menyebabkan busuk kering. Buah yang terserang
C. capsici menjadi busuk dengan warna seperti terekspos sinar matahari (terbakar)
yang diikuti busuk basah berwarna hitam, karena penuh dengan rambut hitam
(setae), jamur ini pada umumnya menyerang buah cabai menjelang masak (buah
berwarna kemerahan). Jamur C. gloeosporioides memiliki dua strain yaitu strain
R dan G. Strain R hanya menyerang buah cabai masak yang berwarna merah,
sedangkan strain G dapat menyerang semua bagian tanaman, termasuk buah cabai
yang masih berwarna hijau maupun buah yang berwarna merah (Piay et al. 2010).
Selama ini pengendalian penyakit ini masih bertumpu pada penggunaan
fungisida. Saat ini varietas cabai komersial berdaya hasil tinggi dan tahan
terhadap penyakit busuk antraknosa masih belum ada. Umumnya spesies cabai
yang memiliki ketahanan terhadap antraknosa berdaya hasil rendah dan bentuk
buahnya tidak disukai pasar (Syukur et al. 2009). Meskipun telah dilakaukan
pengendalian sangat intensif menggunakan fungisida di daerah Brebes, Jawa
Tengah, penyakit ini masih menyebabkan kerugian hingga 45%, di Demak hingga
65%, sedangkan di Sumatera Barat mencapai 35% (Sastrosumarjo 2003). Strategi
pengendalian penyakit antraknosa yang mulai banyak dikembangkan saat ini
adalah dengan PGPR (plant growth promoting rhizobacteria) atau di Indonesia
memiliki istilah bakteri perakaran pemacu pertumbuhan.
PGPR adalah agens (mikroba) yang bersifat menguntungkan bagi tanaman,
dan termasuk sebagai agens penginduksi ketahanan. PGPR, yaitu kelompok
bakteri yang dapat mengkolonisasi perakaran tanaman dan memiliki kemampuan
untuk memacu pertumbuhan tanaman (Nelson 2004). Mikroorganisme yang bisa
hidup pada daerah rizosfir sangat sesuai digunakan sebagai agen pengendalian
hayati ini mengingat bahwa rizosfer adalah daerah yang utama dimana akar
tumbuhan terbuka terhadap serangan patogen. Jika terdapat mikroorganisme
antagonis pada deerah ini patogen akan berhadapan selama menyebar dan
menginfeksi akar (Hasanudin 2003). Kemampuan PGPR sebagai agens
pengendalian hayati adalah karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan
zat makanan, bersifat antibiosis, sebagai hormon pertumbuhan, dan ramah
lingkungan. Bacillus dan Pseudomonas adalah genus yang paling banyak diteliti,
potensinya tinggi sebagai agens pengendali hayati. Bacillus polymixa adalah
bakteri yang hidup di bagian rizosfer dan dapat melarutkan fosfor di alam menjadi
bentuk yang dapat langsung digunakan oleh tanaman. Pseudomonas fluorescens
bersifat patogenik dan saprofit pada tanah dan daerah rizosfer tanaman. Bakteri
tersebut mengkolonisasi tanah, permukaan tanaman, dan memanfaatkan bahan
organik sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya (Ratdiana 2007).
Unsur hara mikro adalah unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah
yang sangat kecil, tetapi fungsinya penting dan tidak tergantikan. Mangan
berfungsi sebagai katalisator berbagai enzim yang berperan dalam proses
perombakan karbohidrat dan metabolisme nitrogen. Seng berfungsi sebagai
katalisator dalam pembentukan protein, mengatur pembentukan asam indoleasetik

3
(asam yang berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh tanaman), dan berperan aktif
dalam transformasi karbohidrat (Kobraee et al. 2011).
Hasil penelitian Widodo (1993) menunjukkan keefektifan bakteri
Pseudomonas spp. kelompok fluorescens yang diaplikasikan pada benih dan tanah
dalam menekan luas dan intensitas serangan penyakit akar gada pada caisin yang
disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. Maria (2010) dalam
penelitiannya menyebutkan perlakuan PGPR (P. fluorescens, B. polymixa, dan
campuran keduanya) dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman cabai
genotipe IPB C10, IPB C5, dan Kopay meskipun perlakuan PGPR tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi tanaman maupun kejadian
penyakit antraknosa dan layu bakteri. Pada penelitian lain, kombinasi B. polymixa
dan P. fluorescens sangat efektif dalam menurunkan tingkat kejadian penyakit
antraknosa pada cabai (Sutariati 2005).
Kombinasi PGPR dan unsur mikro belum banyak diuji terhadap penyakit
antraknosa. Berdasarkan beberapa hal di atas, perlu dilakukan pengujian untuk
mengetahui manfaat yang dapat diperoleh dari kombinasi PGPR dan unsur mikro.
Penggunaan kedua bahan tersebut dengan aplikasi kombinasi dapat menjadi
alternatif pengendalian yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji beberapa kombinasi PGPR dan unsur mikro
dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai dan menekan keparahan
penyakit antraknosa.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan kombinasi PGPR dan unsur
mikro yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai dan menekan
keparahan penyakit antraknosa.

4

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2013 sampai Juni 2014 di
Kebun Percobaan Leuwikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Mikologi Tumbuhan,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya benih cabai varietas
Seloka IPB, formulasi PGPR komersial berbahan aktif Bacillus polymixa dan
Pseudomonas fluorescens dengan konsentrasi 10 g/l, larutan MnSO4 0.05%,
larutan ZnSO4 0.05%, dan pupuk komersial Growmore konsentrasi 1 g/l.
Kombinasi perlakuan yang akan diuji keefektifannya disajikan dalam tabel
berikut:

No
1
2
3
4
5
6

Tabel 1 Perlakuan PGPR di lapangan
Perlakuan
Konvensionala
PGPRb
PGPR+MnSO4
PGPR+ZnSO4
PGPR+MnSO4+ZnSO4
PGPR+Growmorec

a

Berdasarkan budidaya secara umum. bFormulasi PGPR komersial berbahan aktif Bacillus
polymixa dan Pseudomonas fluorescens. cpupuk komersial Growmore 10-55-10.

Penyemaian Benih
Media semai yang digunakan adalah Super Metan dan Bio Phoska dengan
perbandingan 1:1. Benih direndam dalam setiap cairan perlakuan selama 2 jam,
untuk perlakuan Konvensional, benih direndam dengan air hangat selama 15
menit. Kemudian benih dikeringanginkan, dan ditanam pada tray 50 lubang yang
telah diisi media semai, masing-masing lubang diisi dua benih. Dilakukan
penyiraman setiap hari, penyiraman berbagai cairan perlakuan saat 3 minggu
setelah semai (MSS) sebanyak 10 ml/bibit, dan pada umur bibit 6 minggu
dilakukan pindah tanam ke lapangan.
Penanaman
Lahan dipersiapkan dengan pengolahan tanah yakni gulma dibersihkan,
tanah digemburkan, dilakukan pengapuran, dibuat bedengan dan saluran drainase.
Lahan yang telah diolah kemudian diberikan pupuk dasar yaitu pupuk kandang 20
ton/ha, urea 250 kg/ha, SP-36 500 kg/ha, KCl 400 kg/ha, NPK 700 kg/ha.
Selanjutnya dilakukan pemasangan mulsa plastik dan pembuatan lubang tanam.

5
Bibit ditanam dengan jarak tanam 50 cm x 60 cm. Masing-masing perlakuan
dilakukan dalam 3 blok sebagai ulangan, dan masing-masing ulangan terdiri dari
16 tanaman. Jumlah tanaman yang diamati sebanyak 288 tanaman. Perawatan
tanaman dilakukan dengan memberikan pupuk NPK Mutiara 16:16 dengan dosis
10 g/l setiap minggu sebanyak 250 ml/tanaman. Pada saat 30 hari setelah tanam
(HST) dilakukan penyiraman berbagai cairan perlakuan sebanyak 100
ml/tanaman, dan aplikasi kedua sebanyak 200 ml/tanaman pada umur 60 HST.
Perlakuan Konvensional diberikan pestisida sintetik dengan merek dagang
Curacron 500 EC, fungisida dengan merek dagang Antracol, penyemprotan
dilakukan setiap minggu sampai 3 hari sekali.
Pengamatan Agronomi
Karakter agronomi yang diamati diantaranya daya kecambah, tinggi bibit
dan jumlah daun bibit pada saat 6 MSS, tinggi tanaman, dan jumlah daun tanaman
2-8 minggu setelah tanam (MST). Jumlah buah per tanaman dan bobot buah per
tanaman dihitung pada setiap pemanenan.
Pengamatan Keparahan Penyakit
Pengamatan keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut:

ni: jumlah tanaman terinfeksi pada skor ke-i
Vi: skor ke-i
z: skor tertinggi
N: jumlah tanaman yang diamati

Skor
1
2
3
4
5
a

Tabel 2 Skoring penyakit antraknosa berdasarkan skala kerusakana
Kerusakan tanaman
0%
1-20%
21-40%
41-60%
>60%

(Herwidyarti et al. 2013)

Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan
ANOVA dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) for
windows versi 9.1.3 Perlakuan yang berpengaruh diuji lanjut dengan uji Duncan
pada α=5%.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh PGPR terhadap Perkecambahan dan Karakter Agronomi di
Persemaian
Daya berkecambah diamati pada 2 MSS (Tabel 3). Sutariati (2005)
melaporkan dalam penelitiannya, perlakuan benih dengan agens biokontrol B.
polymixa dan P. fluorescens mampu meningkatkan hasil, mutu fisiologis, dan
patologis benih cabai. Akan tetapi, perlakuan Konvensional memiliki persentase
daya berkecambah paling tinggi dibanding perendaman benih menggunakan
PGPR, kombinasi PGPR dengan unsur mikro, dan kombinasi PGPR dengan
pupuk komersial Growmore. Benih yang direndam larutan PGPR+MnSO 4+ZnSO4
menunjukkan persentase daya berkecambah paling tinggi di antara perlakuan
PGPR yang lain. Daya berkecambah untuk setiap perlakuan berkisar dari 91-99%,
artinya benih dapat dikatakan bermutu baik. Hal ini sesuai dengan ketetapan
Deptan (2003) mengenai standar mutu benih, bahwa benih bermutu baik adalah
benih yang memiliki daya berkecambah ≥ 80%.
Tabel 3

Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap persentase daya
berkecambah di persemaian
Perlakuan
Daya berkecambah (%)
Konvensional
99
PGPR
91
PGPR+MnSO4
95
PGPR+ ZnSO4
95
PGPR+MnSO4+ZnSO4
97
PGPR+Growmore
93
Penyiraman berbagai kombinasi perlakuan PGPR saat umur bibit 3 MSS
memberikan dampak positif bagi pertumbuhan bibit cabai, di antaranya tinggi
bibit dan jumlah daun bibit (Tabel 4). Tinggi bibit pada tabel di bawah merupakan
rata-rata dari 20 sampel bibit yang diukur untuk setiap perlakuan, satu tray
merupakan satu perlakuan. Tinggi bibit pada perlakuan PGPR+ZnSO 4 lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan Konvensional, dan menunjukkan nilai paling
tinggi dari perlakuan yang lain. Perlakuan PGPR+ZnSO4 merupakan PGPR yang
disuspensikan ke dalam larutan ZnSO4 0.05%. Unsur mikro seng (Zn) adalah
katalisator dalam pembentukan asam indoleasetik (zat pengatur tumbuh), dan
berfungsi dalam transformasi karbohidrat. Perlakuan PGPR+MnSO 4 dan
perlakuan PGPR+Growmore memiliki tinggi bibit berturut-turut 7.67 cm dan 7.33
cm. Sedangkan untuk perlakuan PGPR+MnSO4+ZnSO4 dan PGPR saja memiliki
nilai tinggi bibit paling rendah yaitu 6.75 cm dan 6.00 cm. Jumlah daun bibit
paling banyak terdapat pada perlakuan Konvensional, namun nilai tersebut
memiliki selisih yang kecil dengan perlakuan PGPR+MnSO 4, PGPR+ZnSO4, dan
PGPR+Growmore. Perlakuan PGPR+MnSO4+ZnSO4 dan PGPR memiliki jumlah
daun paling sedikit seperti halnya tinggi bibit yaitu 7.50 dan 6.65 helai/bibit. Hal

7
ini diduga perlakuan PGPR saja yang tidak dikombinasikan maupun PGPR yang
dikombinasikan dengan dua unsur mikro sekaligus kurang efektif dalam
meningkatkan pertumbuhan bibit di persemaian. PGPR yang dikombinasikan
dengan satu unsur mikro (MnSO4 atau ZnSO4) menunjukkan nilai yang lebih baik
dalam meningkatkan efektivitas pertumbuhan bibit.
Tabel 4 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap tinggi dan jumlah daun
bibit pada 6 MSS
Perlakuan
Konvensional
PGPR
PGPR+MnSO4
PGPR+ ZnSO4
PGPR+MnSO4+ZnSO4
PGPR+Growmore

Tinggi bibit (cm)

Jumlah daun bibit (helai)

8.56
6.00
7.67
9.73
6.75
7.33

8.38
6.65
8.35
8.25
7.50
8.20

Pengaruh PGPR terhadap Karakter Agronomi di Lapangan
Keberhasilan aplikasi PGPR di lapangan sangat dipengaruhi oleh banyak
faktor, di antaranya yaitu faktor lingkungan (suhu, kelembaban), pupuk,
kombinasi PGPR dengan unsur mikro. Meskipun dalam penelitian laboratorium
dan rumah kaca pengaruh PGPR memiliki pengaruh signifikan untuk mengontrol
patogen tanaman, namun hasil di lapangan tidak konsisten. Keberhasilan PGPR
tergantung pada pembentukan kepadatan populasi yang efektif dari sel aktif dalam
rizosfer tanaman (Pracoyo 2013). Berdasarkan pengamatan pada 2 MST di
lapangan (Tabel 5), perlakuan PGPR+ZnSO4 memiliki rata-rata tinggi tanaman
paling tinggi dibanding perlakuan lainnya. Namun, berdasarkan uji Duncan taraf
5%, aplikasi PGPR memiliki pengaruh yang sama terhadap tinggi tanaman saat
berumur 2 MST. Perbedaan terlihat pada 4, 5, dan 7 MST. Pada minggu terakhir
pengamatan, yaitu 8 MST, tidak terdapat perbedaan yang nyata di setiap
perlakuan. Rata-rata tinggi tanaman paling tinggi pada pengamatan terakhir
adalah perlakuan Konvensional. Hal ini karena tanaman pada perlakuan
Konvensional memiliki jumlah tanaman lebih banyak pada setiap ulangannya.
Sedangkan pada perlakuan lainnya, tanaman mengalami kelayuan, sehingga hal
tersebut memengaruhi nilai rata-rata.
Menurut hasil pengamatan, jumlah daun tanaman di lapangan pada umur
tanaman 3 dan 4 MST pada setiap perlakuan memiliki pengaruh sama (Tabel 6).
Pada umur tanaman 5 dan 6 MST penyiraman berbagai perlakuan memberikan
pengaruh yang positif dalam meningkatkan jumlah daun tanaman. Hal ini
dibuktikan pada perlakuan PGPR+MnSO4 yang memiliki jumlah daun paling
banyak di antara perlakuan PGPR lainnya, meskipun jumlah daun paling banyak
adalah perlakuan Konvensional. Pada pengamatan terakhir yaitu umur tanaman 6
MST, perlakuan Konvensional memiliki jumlah daun terbanyak yaitu 189.31

8
helai/tanaman, dan perlakuan PGPR saja memiliki jumlah daun paling sedikit
yaitu 116.79 helai/tanaman.
Tabel 5

Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap tinggi tanaman di
lapangan

Umur
tanaman
(MST)

Konv.

Tinggi tanaman (cm) pada setiap perlakuan
PGPR+ PGPR+
PGPR+MnS
PGPR+
PGPR MnSO
O4+ZnSO4
Growmore
4
ZnSO4

2
3
4
5
6
7
8

21.48a
23.72a
28.67a
31.47a
33.85a
35.22a
35.20a

20.04a
22.09a
25.75b
27.41b
31.46a
29.85b
28.45a

22.17a
23.84a
28.78a
31.59a
31.91a
35.01a
34.85a

22.32a
23.81a
27.81a
30.18ab
32.19a
33.16ab
33.66a

21.00a
21.65a
26.50ab
29.04ab
31.88a
33.87ab
34.01a

22.08a
23.28a
27.65ab
30.23ab
33.40a
34.50a
32.88a

a

Angka pada satu baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (uji Duncan α=5%).

Tabel 6 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap jumlah daun tanaman di
lapangan
Jumlah daun (helai)
Perlakuan
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
33.35a
57.65a
134.94a
189.31a
Konvensional
27.52a
42.86a
76.77b
116.79b
PGPR
32.46a
60.00a
115.58ab
186.81a
PGPR+MnSO4
31.31a
50.67a
101.19ab
148.96ab
PGPR+ ZnSO4
26.23a
43.67a
83.63b
136.08ab
PGPR+MnSO4+ZnSO4
30.96a
50.58a
99.29ab
153.38ab
PGPR+Growmore
a

Angka pada satu kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (uji Duncan α=5%).

9
Keparahan Penyakit Antraknosa
Keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai diamati pada setiap
pemanenan. Gejala penyakit antraknosa terlihat saat buah masih hijau hingga buah
siap dipanen. Buah cabai yang terinfeksi cendawan genus Colletotrichum sp.
memiliki bercak hitam cekung yang akan terus melebar pada permukaan buahnya.
Menurut Setiadi (2008), baik buah muda atau buah yang telah matang akan
tampak bercak-bercak yang semakin lama akan semakin melebar, selanjutnya
buah akan mengerut dan mengering dengan warna kehitaman. serta memiliki
bobot buah yang lebih ringan dibanding buah cabai yang sehat.

Gambar 1 Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai
Aplikasi berbagai kombinasi PGPR belum dapat menekan keparahan
penyakit antraknosa di lapangan, terlihat pada Tabel 7 yang menunjukkan
persentase keparahan cukup tinggi untuk semua perlakuan. Hal ini kurang sesuai
dengan pernyataan Sutariati (2005) bahwa aplikasi campuran bakteri B. polymixa
dan P. fluorescens efektif dalam menurunkan tingkat kejadian penyakit
antraknosa. Perlakuan Konvensional dan perlakuan PGPR+MnSO4+ZnSO4
memiliki persentase keparahan lebih rendah dari perlakuan lainnya, yaitu 72.07%
dan 73.87%. Sedangkan perlakuan PGPR, kombinasi PGPR dengan salah satu
unsur mikro, dan kombinasi PGPR dengan pupuk komersial Growmore memiliki
persentase keparahan penyakit cukup tinggi, yakni >80%. Akan tetapi nilai
keparahan penyakit antraknosa tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
untuk semua perlakuan.
Tingginya persentase keparahan penyakit pada setiap perlakuan diduga
karena lahan di lapangan merupakan lahan marjinal, sehingga pertumbuhan
tanaman cabai kurang optimal. Lahan marjinal merupakan lahan yang memiliki
mutu dan unsur hara rendah. Lahan tersebut kehilangan kemampuan untuk
mendukung kegiatan fisiologis tumbuhan yang terjadi akibat pembentukan,
kerusakan alam, atau akibat aktivitas manusia, yang membutuhkan perlakuan
lebih untuk kegiatan pertanian (Yuwono 2009). Selain itu, lahan tersebut memang
sudah diketahui endemik terhadap berbagai penyakit, terutama penyakit
antraknosa, karena selalu ditanami cabai setiap musim dan sepanjang tahun.

10
Faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban juga sangat berpengaruh. Untuk
menjadi efektif PGPR, bakteri harus mampu mengkolonisasi akar karena bakteri
perlu populasi yang cukup untuk menghasilkan efek yang menguntungkan
(Ashrafuzzaman et al. 2009).
Tabel 7 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap persentase keparahan
penyakit antraknosa
Perlakuan
Konvensional
PGPR
PGPR+MnSO4
PGPR+ ZnSO4
PGPR+MnSO4+ZnSO4
PGPR+Growmore

Persentase keparahan penyakit (%)a
72.07a
85.80a
86.02a
88.44a
73.87a
80.51a

a

Angka pada satu kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (uji Duncan α=5%).

Pemanenan dimulai pada umur tanaman 10 MST, dan dilanjutkan setiap
minggu sampai tanaman berumur 16 MST. Pada setiap pemanenan, dilakukan
penghitungan jumlah buah dan pengukuran bobot buah. Penyiraman berbagai
kombinasi perlakuan PGPR pada saat umur tanaman 30 dan 60 HST diharapkan
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas buah. Perlakuan benih dengan agens
biokontrol dapat meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah cabang
primer dan sekunder, jumlah buah, dan bobot buah tanaman cabai (Sutariati
2005). Berdasarkan pengamatan, aplikasi PGPR dapat memberikan pengaruh
positif terhadap jumlah buah cabai, namun tidak pada bobot buah cabai meskipun
memiliki pengaruh berbeda pada setiap perlakuan (Tabel 8). Penyakit antraknosa
(patek) yang disebabkan oleh patogen Colletotrichum sp. bergejala mati pucuk
yang berlanjut ke bagian tanaman sebelah bawah. Daun, ranting dan cabang
menjadi kering berwarna coklat kehitam-hitaman. Pada batang cabai aservulus
cendawan terlihat seperti tonjolan (Duriat et al.2007). Patogenitas Colletotrichum
sangat kuat sehingga dapat menurunkan produksi cabai.
Jumlah buah cabai terbanyak terdapat pada perlakuan PGPR+MnSO 4
dengan jumlah buah 20.41 buah/tanaman dan bobot buah 82.93 g/tanaman.
Meskipun pada perlakuan PGPR+MnSO4 jumlah buah cabai per tanaman lebih
banyak daripada jumlah buah cabai pada perlakuan Konvensional, namun
perlakuan PGPR+MnSO4 memiliki bobot buah cabai yang lebih ringan dibanding
perlakuan Konvensional. Hal tersebut karena ukuran buah cabai perlakuan
Konvensional lebih besar dibanding perlakuan PGPR+MnSO 4 pada setiap
pemanenan, dan jumlah buah yang terinfeksi juga lebih sedikit sesuai yang telah
dibahas sebelumnya, sehingga tanaman perlakuan Konvensional memiliki bobot
buah lebih besar.

11
Tabel 8 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap jumlah dan bobot buah
cabai
Jumlah buah
Bobot buah
Perlakuan
(buah/tanaman)
(g/tanaman)
Konvensional
20.38a
99.80a
PGPR
16.15a
52.24b
PGPR+MnSO4
20.41a
82.93ab
PGPR+ ZnSO4
17.44a
70.93ab
PGPR+MnSO4+ZnSO4
14.57a
48.43b
PGPR+Growmore
16.42a
53.11b
a

Angka pada satu kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
(uji Duncan α=5%).

Kejadian Penyakit Layu Bakteri di Lapangan
Pengamatan gejala layu di lapangan bertujuan sebagai pembanding dalam
melihat keefektifan PGPR dan kombinasi dengan unsur mikro dalam
mengendalikan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan dan layu
yang disebabkan oleh bakteri. Pengamatan dilakukan setiap minggu. Gejala layu
bakteri ditandai dengan adanya gejala layu mendadak dan menyeluruh pada
individu tanaman. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Purwanto dan Tjahjono
(2001), gejala layu bakteri adalah tanaman muda yang terinfeksi akan segera mati,
sedangkan tanaman tua menunjukkan daun layu, menguning, kerdil dan akhirnya
mati. Tanaman muda akan segera mati, tanaman tua akan menunjukkan layu pada
daun yang muda, atau layu pada satu bagian tanaman dan pertumbuhan terhambat
sehingga tanaman akan layu secara permanen kemudian mati (Schaad 2001).

Gambar 2 Gejala layu bakteri di lapangan
Apabila bagian batang dipotong, dari jaringan pembuluh akan keluar massa
bakteri seperti lendir berwarna putih susu dan lendir lebih banyak keluar bila
potongan batang diletakkan di tempat lembab. Jika potongan batang sakit
dimasukkan ke dalam gelas berisi air jernih, selama beberapa menit akan terlihat
benang-benang putih halus yang akan putus bila gelas digoyang dan air berubah
menjadi keruh. Benang putih tersebut merupakan massa bakteri yang biasa disebut
dengan oose (Purwanto dan Tjahjono 2001, McCarter 2006). Oose inilah yang
membedakan tanaman yang tersinfeksi layu bakteri dengan layu akibat cendawan
maupun layu akibat gangguan fisiologis (McCarter 2006).

12
Kejadian penyakit layu bakteri mulai muncul pada saat tanaman berumur 4
MST. Penyiraman berbagai perlakuan PGPR di lapangan berdampak positif
terhadap persentase jumlah tanaman yang layu meskipun tidak menunjukkan
pengaruh berbeda nyata pada masing-masing perlakuan. Perlakuan
PGPR+MnSO4+ZnSO4 cukup efektif dalam menekan kejadian layu bakteri,
terbukti dengan persentase tanaman layu pada perlakuan tersebut paling rendah.
Akan tetapi pada perlakuan PGPR+MnSO4 memiliki persentase tanaman layu
paling tinggi. Perlakuan Konvensional yang menggunakan pestisida sintetik
memiliki persentase tanaman layu lebih tinggi dibanding perlakuan
PGPR+Growmore, PGPR+ZnSO4, dan PGPR+MnSO4+ZnSO4.
Tabel 9 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap kejadian penyakit layu di
lapangan
Perlakuan
persentase tanaman layu (%)a
Konvensional
13.38a
PGPR
14.71a
PGPR+MnSO4
15.60a
PGPR+ZnSO4
11.40a
PGPR+MnSO4+ZnSO4
11.28a
PGPR+Growmore
12.80a
a

Angka pada satu kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (uji Duncan α=5%).

Pembahasan Umum
Cabai termasuk komoditas unggulan nasional dan sumber vitamin C (Duriat
1995; Kusandriani dan Muharam 2005; Rahmawati et al. 2009; Wahyudi dan Tan
2010). Daerah penanamannya luas karena dapat diusahakan di dataran rendah
maupun dataran tinggi, sehingga banyak petani di Indonesia yang menanam cabai
merah (Kusandriani 1996; Ameriana et al. 1998). Dalam menghadapi persaingan
pada era global, agribisnis sayuran dituntut dapat memenuhi persyaratan budidaya
dalam upaya menghasilkan efisiensi produksi yang tinggi, produk yang
berkualitas, dan keuntungan. Penyakit antraknosa merupakan penyebab utama
kerugian ekonomi produksi cabai di seluruh dunia, terutama daerah tropis dan
subtropis (Pakdeevaraporn et al. 2005). Adanya penyakit antraknosa
menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas buah cabai, bahkan jika infeksi
berat dapat menyebabkan kegagalan panen. Buah cabai merah yang terinfeksi
cendawan Colletotrichum sp. tentu tidak dapat dipasarkan.
Keberhasilan PGPR tergantung pada pembentukan kepadatan populasi yang
efektif dari sel aktif dalam rizosfer tanaman. Karena hal ini merupakan prinsip
yang sederhana, telah terbukti sulit untuk menentukan pengaruh respon terhadap
dosis di mana tingkat peningkatan pertumbuhan tanaman atau penekanan penyakit
bisa langsung berkorelasi dengan ukuran populasi PGPR. Secara umum, suspensi
bakteri PGPR siap dengan kepadatan 108-109 cfu/ml untuk pencelupan akar dan
inokulasi tanah. Setelah inokulasi dengan kepadatan yang tinggi, jumlah sel akan
mengalami penurunan dengan cepat tergantung pada steril tidaknya tanah yang

13
digunakan. Pada tanah yang diautoklaf/ disterilkan, inokulum biasanya akan
bertahan pada kepadatan sel 107-108 cfu/g tanah selama beberapa minggu. Dalam
tanah yang tidak steril di mana terdapat persaingan dengan flora penghuni tanah,
pemangsaan oleh protozoa dan nematoda, populasi bakteri akan menurun dengan
cepat per minggunya hingga populasi mencapai keseimbangan dengan
lingkungannya. Hal ini kemungkinan besar karena perbedaan yang diamati dalam
studi laboratorium dan rumah kaca di mana tanah yang disterilkan, dibandingkan
di lapangan dimana hasil dari inokulasi PGPR jauh lebih tidak konsisten (Viveros
et al. 2010).
Secara umum, mekanisme PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman adalah (1) biostimulan, PGPR mampu menghasilkan atau mengubah
konsentrasi hormon tanaman seperti asam indolasetat, asam giberelin, sitokinin,
dan etilen di dalam tanaman, tidak bersimbiosis dalam fiksasi N2, melarutkan
fosfat mineral; (2) bioprotektan, PGPR memberi efek antagonis terhadap patogen
tanaman melalui beberapa cara yaitu produksi antibiotik, siderofore, enzim
kitinase, parasitisme, kompetisi sumber nutrisi dan relung ekologi, menginduksi
ketahanan tanaman secara sistemik (Khalimi dan Wirya 2009). Menurut Glick dan
Pasternak (2003), keuntungan dari mekanisme PGPR dibedakan menjadi dua
yaitu secara langsung dan tidak langsung. Keuntungan secara langsung pada
tanaman mencakup mampu memfiksasi nitrogen dan memberikannya pada
tanaman, meningkatkan ketersediaan atau menyimpan besi dan fosfor dari tanah,
menyediakan mineral-mineral tersebut dalam bentuk yang dapat digunakan oleh
tanaman, mensintesis enzim yang dapat mengatur tingkat hormon etilen tanaman,
dan mensintesis fitohormon seperti auksin, sitokinin, atau giberelin yang memicu
perkembangbiakan sel tanaman.
PGPR ini dapat menekan penyakit dengan cara menginduksi ketahanan
terhadap penyakit. Mekanisme PGPR dalam menginduksi ketahanan terhadap
tanaman adalah menaikkan produksi fitohormon, melawan mikroorganisme
patogenik dengan memproduksi siderofor, mengsintesis antibiotik, enzim, dan
komponen fungisida, serta melarutkan mineral fosfat dan nutrisi/ mineral lain
(Gholami et al. 2009). Induksi ketahanan sistemik akibat perlakuan PGPR ini
berspektrum luas. Karena PGPR ini menginduksi ketahanan terhadap bakteri,
cendawan, maupun virus. Dengan pengaplikasian PGPR maka tanaman akan lebih
tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh cendawan, bakteri maupun virus.
Bacillus dan Pseudomonas sebagai kelompok PGPR merupakan genus yang
paling banyak diteliti dan berpotensi tinggi sebagai agens pengendali penyakit
tanaman. Keduanya dilaporkan mampu menekan patogen secara langsung dengan
mengeluarkan senyawa antibiotik dan induksi ketahanan sistemik pada tanaman
(Wardanah 2007). Selain itu, bakteri P. fluorescens dapat memproduksi IAA
(indole acetic acid) yang merupakan senyawa pemacu pertumbuhan tanaman
(Dey et al. 2004). Menurut Bakker et al. (2007), Bacillus spp. sebagai PGPR
dapat menghasilkan 2,3 butanadiol yang volatil yang dapat menginduksi
ketahanan tanaman. Sedangkan menurut Hariprasad et al. (2011), B. subtilis adalah
bakteri gram positif, bersifat saprofit dan dapat membentuk spora (Nihorimbere et al.
2010). Sama halnya dengan P. fluorescens, B. subtilis juga merupakan bakteri yang
mengkolonisasi akar tanaman. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

14
Nawangsih (2006) maupun Handini (2011), B. subtilis AB89 dapat memacu
pertumbuhan tanaman, bahkan dalam penelitian Handini (2011), B. subtilis AB89
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dua kali lebih besar bila
dibandingkan dengan tanaman kontrol.
Pseudomonas fluorescens dapat menghasilkan enzim kitinolitik sebagai anti
cendawan. P. fluorescens adalah bakteri yang dapat ditemukan dimana saja
(ubiquitos) dan biasanya ditemukan pada permukaan daun dan akar (Supriadi
2006). P. fluorescens dapat menghasilkan pigmen pyoverdin dan atau fenazin
pada media King’s B dan akan berpendar di bawah sinar ultra violet (λnUV= 200
nm). Selain itu, P. fluorescens juga dapat menekan populasi patogen dengan cara
melindungi akar dari serangan patogen dengan mengkolonisasi akar,
menghasilkan senyawa kimia berupa antimikroba dan antibiotik, dan melakukan
kompetisi dalam penyerapan Fe2+ (Lo 1998, Couillerot et al. 2009). Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Handini (2011), perlakuan tunggal P.
fluorescens RH4003 juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat,
meskipun perlakuan kombinasi P. fluorescens RH4003 dengan isolat bakteri
endofit BC10 meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat lebih baik. Aplikasi
tunggal telah membuktikan bahwa PGPR mempunyai kentungan yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman.
Pada penelitian ini, bakteri perakaran yang digunakan adalah PGPR
komersial yang di dalamnya terkandung dua spesies bakteri yaitu P. fluorescens
dan B. polymyxa. Perlakuan kombinasi antara PGPR komersial dan unsur mikro
(dengan MnSO4, ZnSO4, dan MnSO4+ZnSO4), PGPR komersial dengan
Growmore diharapkan lebih efektif dalam mengendalikan penyakit antraknosa,
akan tetapi pelakuan kombinasi ini tidak berpengaruh nyata terhadap keparahan
penyakit. Hal ini kemungkinan karena adanya kompetisi antara agen biokontrol
yang ada pada PGPR dengan unsur mikro maupun Growmore. Kompetisi yang
terjadi ini adalah kompetisi dalam mendapatkan ruang untuk tumbuh, dan
kompetisi dalam mendapatkan nutrisi (Pracoyo 2013).
Pada pengamatan tinggi, jumlah daun, jumlah buah, dan bobot buah cabai
perlakuan kombinasi PGPR dengan salah satu unsur mikro MnSO 4 menghasilkan
nilai yang lebih baik dibanding perlakuan kombinasi PGPR dengan unsur mikro
ZnSO4, MnSO4+ZnSO4, dan Growmore. Hal ini sesuai dengan penelitian Maria
(2010) bahwa perlakuan PGPR campuran (PG01 + BG25), mampu menghasilkan
buah dengan bobot dan jumlah yang lebih tinggi dibanding dengan tanpa PGPR.
Hasil penelitian Wardani (2012) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi
kurang memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan tanaman tomat. Hal ini
dapat terjadi karena adanya kompetisi antara dua bakteri yang diaplikasikan.
Kompetisi ruang dan nutrisi dapat terjadi sehingga mempengaruhi penghambatan
patogen. Nutrisi yang kurang pada media tanam akan memperparah kompetisi
antar dua agens biokontrol dan hal ini akan membuat patogen lebih leluasa untuk
berkembang sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu (Nurbaya et al.
2011).

15

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
PGPR yang dikombinasikan dengan salah satu unsur mikro (MnSO 4 atau
ZnSO4) cukup efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman, namun PGPR
yang dikombinasikan dengan dua unsur mikro sekaligus (MnSO 4+ZnSO4) dan
PGPR saja kurang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Kombinasi
perlakuan PGPR+MnSO4 terlihat lebih efektif dalam meningkatkan tinggi
tanaman, jumlah daun, jumlah buah, dan bobot buah cabai dibanding perlakuan
Konvensional. Seluruh kombinasi perlakuan PGPR maupun Konvensional belum
mampu menekan keparahan penyakit antraknosa di lapangan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan menggunakan kombinasi unsur mikro
yang lebih beragam dan meningkatkan frekuensi aplikasi PGPR dan
kombinasinya di lapangan sehingga memungkinkan semakin tingginya kolonisasi
PGPR pada akar.

16

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Edisi ke-5. London (GB): Elsevier Academic
Press.
Alexopoulus JC. 1996. Introductory Mycology. Edisi ke-4. New York (US): John
Wiley&Sons.
Ameriana M, W Adiyoga, dan L Setiawati. 1998. Pola konsumsi dan selera
konsumsi cabai dan kentang tingkat lembaga. Buletin Penelitian
Hortikultura 8(3): 1233−1241.
AVRDC. 2003. Evaluation of Phenotypic and Moleculer Criteria for the
Identification for Colletotrichum spesies Causing Pepper Antrachnose
in Taiwan, p. 58-59. In AVRDC Report 2003. Taiwan.
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi cabai besar, cabai rawit, dan
bawang merah tahun 2012 [Internet]. [diunduh 2013 Agu 1]. Tersedia
pada: http://www.bps.go.id.
Bakker PAHM, Pieterse CMJ, Van Loon LC. 2007. Induced systemic resistance
by fluorescent Pseudomonas spp. The Nature and Application of
Biocontrol Microbes III: Pseudomonas spp. 97 (2): 239-243.
Couillerot O, Combaret CP, Mellado JC, Loccoz YM. 2009. Pseudomonas
fluorescens and closely-related fluorescent pseudomonas as biocontrol
agents of soil-borne phytopathogens. Letters in Apllied Microbiology.
48(2009): 505-512. doi: 10.1111/j.1472 765X.2009.02566.x.
[DEPTAN]. Departemen Pertanian. 2003. Mutu standardisasi benih [Internet]
[diunduh
2014
Jul
22].
Tersedia
pada:
http://deptan.go.id/xplore/files/MUTU- STANDARDISASI /STANDARMUTU/Standar_nasional/SNI_Horti/Benih/SNI 01-6233.4-2003.pdf.
Dey R, Pal KK, Bhatt DM, Chauhan SM. 2004. Growth promotion and yield
enhancement of peanut (Arachis hypogaea L.) by application of plant
growth promoting rhizobacteria. Microbiology Research. 159(4):371-94.
Duriat AS. 1995. Hasil penelitian cabai merah TA 1993/1994. Prosiding
Seminar dan Evaluasi Hasil Penelitian Hortikultura; Jakarta. Jakarta (ID):
hlm. 201−305.
Duriat AS, N Gunaeni, dan AW Wulandari. 2007. Penyakit Penting Pada
Tanaman Cabai dan Pengendaliannya. Bandung (ID): Balai Penelitian
Tanaman Sayuran.
Gholami A, Shahsavani S, Nezarat S. 2009. The effect of plant growth promoting
rhizobacteria (PGPR) on germination, seedling growth and yield of maize.
Journal World Academy of Science, Engineering and Technology. 49: 1924.
Glick BR, Pasternak JJ. 2003. Molecular Biotechnology. Edisi ke-3. Washington
DC (US): ASM Press.
Handini ZVT. 2011. Keefektifan bakteri endofit dan Plant Growth Promoting
Rhizobacteria dalam menekan penyakit layu bakteri (Ralstonia
solanacearum) pada tomat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

17
Hariprasad P, Divakara ST, Niranjana SR. 2011. Isolation and characterization of
chitinolytic rhizobacteria for the management of Fusarium wilt in tomato.
Crop Protection [internet]. [diunduh 2014 Okt 2]; (30): 1606-1612. Tersedia
pada: http://www.elsivier.com/locate/cropro.
Hasanudin. 2003. Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam Sistem
Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu. Sumatera Utara (ID):
USU Digital Library.
Herwidyarti KH, Ratih S, Sembodo DRJ. 2013. Keparahan penyakit antraknosa
pada cabai (Capsicum annum L.) dan berbagai jenis gulma. Jurnal Agrotek
Tropika. 1(1):102-106.
Khalimi K, Wirya GNAS. 2009. Pemanfaatan plant growth promoting
rhizobacteria untuk biostimulants dan bioprotectants. Ecotrophic.
4(2):131‐135.
Kobraee S, Shamsi K, Rasekhi B. 2011. Effect of micronutriens application on
yield and yield components of soybean. Annals of Biological
Research. [Internet] [diunduh 2013 Nov 3]; 2(2):476-482. Tersedia pada:
http://scholarsresearchlibrary.com/archive.html.
Kusandriani Y. 1996. Pengaruh naungan kasa terhadap hasil beberapa kultivar
cabai. Jurnal Hortikultura. 6(1): 10−16.
Kusandriani Y, Muharam A. 2005. Produksi Benih Cabai. Lembang (ID): Balai
Penelitian Tanaman Sayuran.
Lo CT. 1998. General mechanisms of action of microbial biocontrol agents. Plant
Pathology Bulletin. (7): 155-166.
Makari HK, Ravikumer PHS, Abhilash M, Mohan KHD. (2009). Genetic
diversity in commercial varieties of chilli as revealed by RAPD method.
Indian Journal Science Technology. (2): 91-94.
Maria S. 2010. Pengaruh aplikasi bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman
pada tiga genotipe cabai (Capsicum annum L.) terhadap pertumbuhan
tanaman serta kejadian penting penyakit cabai [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Jones JB, Jones JP, Stall RE, Zitter TA, editor. 2006. Compendium of Tomato
Diseases. Minnesota [US]: The American Phytopathological Society.
Nawangsih AA. 2006. Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk
mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada
tomat [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Nelson LM. 2004. Plant growth promoting rhizobacteria (PGPR): prospects for
new inoculants. Crop Management. [Internet] [diunduh 2014 Jun 20];
3(1):2-10. Tersedia pada: http://www.crops.org
Nihorimbere V, Ongena M, Cawoy H, Brostaux Y, Kakana P, Jourdan E, Thonart
P. 2010. Beneficial effect of Bacillus subtilis on field-grown tomato in
Burundi: reduction of local Fusarium disease and growth promotion.
African Journal of Microbiology Research. 4(11): 1135-1142.
Nurbaya, Rahim MD, Kuswinanti T, Baharuddin. 2011. Sinergisme antar isolat
bakteri antagonis dalam mengendalikan penyakit layu bakteri
(R.solanacearum) pada sistem budidaya aeroponik tanaman kentang.
Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Sulawesi Selatan

18
dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan; 2011 Jun 7;
Makassar [internet]. [diunduh 2013 Okt 2]. Tersedia pada:
http://www.peipfi-komdasulsel.org/wp-content/uploads/2012/03/3-Nurbayadkk-Penggunaan-formulasi-sinbat.pdf
Pakdeevaraporn P, Wasee S, Taylor PWJ, Mongkolporn O. (2005). Inheritance of
resistance to anthracnose caused by Colletotrichum capsici in Capsicum.
Plant Breeding. (124): 206-208.
Park. 2005. Differential interaction between pepper genotypes and colletotrichum
isolates causing anthracnose [tesis]. Seoul (KR): Seoul Nath. Univ.
Piay SS, Tyasdjaja A, Ermawati Y, Hantoro FRP. 2010. Budidaya dan
Pascapanen Cabai Merah (Capsicum annum L.). Ungaran (ID): BPTP
Jawa Tengah.
Pracoyo A. 2013. Pengaruh plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dan
pupuk mikro terhadap penyakit karat puru dan pertumbuhan tanaman
sengon (Paraserianthes falcataria) di lapangan [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Purwanto S

Dokumen yang terkait

Pemanfaatan Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman (Plant Growth-Promoting Rhizobacteria) Untuk Mengendalikan Penyakit Mosaik Tembakau (Tobacco Mosaic Virus) Pada Tanaman Cabai

4 21 55

Seleksi Plant Growth Promoting Rhizobacteria untuk Pengendalian Hayati Penyakit Embun Bulu (Pseudoperonospora cubensis) pada Tanaman Mentimun

1 4 86

Keefektifan bakteri endofit dan plant growth promoting rhizobacteria dalam menekan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat

0 7 121

Keefektifan Plant Growth Promoting Rhizobacteria Sebagai Pemacu Pertumbuhan dan Penghambat Penyakit Busuk Pangkal Batang (Sclerotium rolfsii Sacc.) pada Kedelai

1 10 114

Efikasi Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria dalam Menekan Perkembangan Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tomat

1 7 109

Keefektifan berbagai formulasi plant growth promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Bakteri endofit terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh ralstonia solanacearum pada tomat

0 5 38

Keefektifan Beberapa Isolat Plant Growth Promoting Rhizobacteria untuk Menekan Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw) pada Tanaman Jagung Manis

1 7 48

Skrining Plant Growth Promoting Rhizobacteria (Pgpr) Sebagai Agens Pengendali Hayati Antraknosa (Colletotrichum Dematium Var. Truncatum) Pada Kedelai

1 5 44

Respon pertumbuhan dan hasil bawang merah asal biji pada perendaman plant growth promoting Rhizobacteria dan kombinasi pupuk.

0 2 5

B. PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) - LUTFI RACHMANDA BAB II

0 0 9