Pola Sebaran dan Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi

POLA SEBARAN DAN PERUBAHAN TUTUPAN HUTAN DAN
LAHAN PADA EKOSISTEM TRANSISI DI KABUPATEN
BUNGO, TEBO, DAN TANJUNG JABUNG BARAT
PROVINSI JAMBI

NOVITA WULANDARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Sebaran dan
Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi di Kabupaten
Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi adalah benar karya saya
dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Novita Wulandari
NIM E14100067

ABSTRAK
NOVITA WULANDARI. Pola Sebaran dan Perubahan Tutupan Hutan dan
Lahan pada Ekosistem Transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung
Barat Provinsi Jambi. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA.
Perubahan tutupan lahan merupakan isu penting didalam proses perubahan
Gas Rumah Kaca (GRK). Penelitian ini mengkaji pola tutupan hutan dan lahan
dan pola perubahan tutupan lahan, khususnya pada ekosistem transisi
menggunakan teknologi penginderaan jauh di daerah penelitian Kabupaten
Provinsi Jambi. Wilayah kajian termasuk Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung
Barat. Analisis pola dilakukan dengan menggunakan analisis kuadrat dan tetangga
terdekat. Atas dasar dua pendekatan, studi ini menunjukkan bahwa pola sebaran
hutan primer, hutan sekunder, kebun karet, dan perkebunan kelapa sawit pada

tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013 cenderung mengelompok, sedangkan pola
sebaran hutan karet adalah menyebar. Pola perubahan spasial dari hutan primer ke
hutan sekunder untuk periode 1990 - 2000 cenderung berkelompok dan sedangkan
untuk periode 2000 – 2011 cenderung tersebar. Pola perubahan dari hutan ke
perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan karet cenderung berkelompok pada
periode 1990 – 2000 dan 2000 – 2011, serta pola perubahan dari hutan menjadi
hutan karet pada periode 2000 – 2011 adalah berkelompok.
Kata kunci: analisis kuadrat, ekosistem transisi, tetangga terdekat, tutupan hutan,
tutupan lahan

ABSTRACT
NOVITA WULANDARI. Patterns of Forest and Land Cover Change on
Transitions Ecosystem in Bungo, Tebo, and Tanjung Jabung Barat Regencies
Jambi Province. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA.
Land cover change is an issue crucial in the process of change of GHG
(Green House Gass). This study examines patterns of forest cover and land cover
and their changes, especially in the transition ecosystems using remote sensing
technology in Jambi Province Regencies.The study areas include Bungo, Tebo,
and Tanjung Jabung Barat. The analysis of the patterns were performed using
quadrat and nearest neighbor analyses. On the basis of those two approaches, this

study shows that the distribution pattern of primary forest, secondary forest,
rubber plantation, and oil palm plantation in 1990, 2000, 2011, and 2013 are
clumped (clustered) while the distribution pattern of the jungle rubber was
dispersed. The pattern of spatial changes from primary forests to secondary forests
for the period 1990 - 2000 were clumped, while for the period of 2000 - 2011
were dispersed. The pattern of change from forest to oil palm plantations and
rubber plantations were clumped for the period 1990 – 2000 and 2000 – 2011, and
the pattern of change from forest to jungle rubber for the period 2000 – 2011 were
clumped.
Keywords: ecosystems transition, forest cover, land cover, nearest neighbor,
quadrat analysis

POLA SEBARAN DAN PERUBAHAN TUTUPAN HUTAN DAN
LAHAN PADA EKOSISTEM TRANSISI DI KABUPATEN
BUNGO, TEBO, DAN TANJUNG JABUNG BARAT
PROVINSI JAMBI

NOVITA WULANDARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pola Sebaran dan Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada
Ekosistem Transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung
Jabung Barat Provinsi Jambi
Nama
: Novita Wulandari
NIM
: E14100067

Disetujui oleh


Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, M Agr
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc F trop
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini Pola Sebaran dan
Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi di Kabupaten
Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Penelitian dan
penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka melengkapi salah satu syarat
kelulusan sebagai sarjana kehutanan IPB.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, M Agr selaku dosen
pembimbing yang senantiasa mendukung dan membimbing penulis
dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Kedua orang tua penulis (Bapak Jumarlan dan Ibu Eliyarni), dan kakak
penulis Jeni Sonata dan Ervina Sonata, serta adik penulis Indah
Purnamasari dan Robi Prasetiyo atas segala doa, dukungan dan kasih
sayangnya.
3. Beasiswa Bidik Misi yang telah memberikan bantuan finansial dan
motivasi kepada penulis.
4. Bapak Uus Saepul M, S Hut dan a‟ Edwine, S Hut, MSc atas
bimbingannya.
5. Seluruh Dosen dan Staf Departemen Manajemen Hutan serta Fakultas
Kehutanan IPB.
6. Kakak Putu Ananta Wijaya, S Hut, I Made Haribhawana, S Hut, Artika,
S Hut, Ade Jamirda, S Gz, dan Elfina Yunisari atas saran dan
masukannya.
7. Rekan satu bimbingan penulis Luvia Arlenlilia S Hut, Indri Setyawanti,
S Hut, dan Erfanda Irawan.
8. Keluarga besar Laboratorium SIG dan Remote Sensing, rekan-rekan
Manajemen Hutan 47, Sunda Karya family, dan Himpunan Mahasiswa

Jambi atas semua ilmu, bantuan, dan motivasi yang telah diberikan.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu
per satu.
Penulis menyadari atas kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi
ini bermanfaat bagi seluruh pihak.
Bogor, Desember 2014
Novita Wulandari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN


x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE


2

Waktu dan Lokasi Penelitian

3

Software, Hardware, dan Data

3

Prosedur Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

17

Pola Sebaran Spasial Tutupan Hutan dan Lahan Ekosistem Transisi


17

Pola Sebaran Spasial Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada

23

Ekosistem Transisi
SIMPULAN DAN SARAN

29

Simpulan

29

Saran

29


DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

32

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Data utama penelitian
Kategori kelas tutupan lahan
Ukuran grid setiap tutupan hutan pada ekosistem transisi
Ukuran sisi grid setiap perubahan tutupan hutan
pada ekosistem transisi
5 Hasil metode tetangga terdekat
6 Hasil metode tetangga terdekat pada perubahan tutupan hutan
ekosistem transisi

4
8
13
13
17
24

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Peta lokasi penelitian
Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 1990
Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 2000
Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 2011
Mosaik citra landsat OLI tahun 2013
Contoh pola sebaran (a) cluster, (b) uniform, (c) random

Diagram alir penelitian
Peta pola hutan primer
Peta pola hutan sekunder
Peta pola hutan karet
Peta pola perkebunan karet
Peta pola perkebunan sawit
Peta pola perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder
Peta pola perubahan hutan menjadi perkebunan sawit
Peta pola perubahan hutan menjadi perkebunan karet
Peta pola perubahan hutan menjadi hutan karet

3
5
5
6
6
14
16
18
19
19
20
20
25
26
26
27

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 1990
Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 2000
Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 2011
Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 2013
Luas perubahan pada ekosistem transisi
Matriks luas perubahan tutupan lahan tahun 1990 – 2000
Matriks luas perubahan tutupan lahan tahun 2000 – 2011
Matriks luas perubahan tutupan lahan tahun 2011 – 2013

32
32
33
33
34
35
36
37

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Provinsi Jambi terletak di bagian tengah Pulau Sumatera dan salah satu
provinsi yang memiliki letak strategis. Kondisi geografis yang strategis membuat
peran Provinsi Jambi penting dengan sumberdaya alam yang melimpah. Provinsi
Jambi telah terjadi perubahan tutupan lahan (khususnya hutan) secara masif sejak
tahun 1990. Luasan hutan di Jambi setiap tahun mengalami penurunan,
berdasarkan data FWI (2001) dimana telah mengalami perubahan fungsi sebesar
522 858 ha pada tahun 1990. Menurut Statistik Kehutanan Indonesia (2011) dari
total daratan Indonesia ± 187 670 600 ha, luas yang berhutan sebesar 98.56 juta ha
(52.4%), dan areal tidak berhutan sebesar 89.03 juta ha (47.4%). Pada tahun 2010
terdapat perubahan peruntukan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi
untuk pertanian/perkebunan tahap SK seluas 21 261.00 ha dan luas penggunaan
kawasan hutan untuk tambang dan non-tambang sebanyak 77 unit sebesar 43
171.96 ha. Serta pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang dan non tambang
dengan kompensasi lahan untuk tahun 2010 sebanyak 68 unit seluas 60 313.47 ha.
Sedangkan menurut Sumargo et al. (2011) luas tutupan hutan Indonesia pada
tahun 2000 adalah 103.33 juta ha. Laju kerusakan hutan yang besar di Jambi
disebabkan adanya pengalihfungsian hutan menjadi lahan budidaya, dalam
penelitian ini digunakan penggunaan lahan hutan karet, perkebunan karet, dan
perkebunan sawit sebagai ekosistem transisi.
Sumberdaya hutan merupakan suatu aset bagi kehidupan manusia di
permukaan bumi yang memberikan fungsi ekonomi, ekologis, dan sosial. Selain
itu, sumberdaya hutan merupakan barang publik yang semua orang dapat
memanfaatkannya. Santoso (2008) menyatakan bahwa penurunan manfaat
ekonomi – ekologi terjadi di sektor kehutanan dan di tengah maraknya situasi
anomali yang tercermin dari kian terbatasnya sumberdaya hutan, dan politik
kehutanan menjadi sebuah isu sekaligus wacana utama untuk direalisasikan.
Di Provinsi Jambi diperkirakan telah terjadi pola perubahan tutupan dan
penggunaan hutan serta lahan. Perubahan dari hutan menjadi non hutan dengan
variasi kepadatan vegetasinya disebut ekosistem transisi. Perubahan yang terjadi
adalah perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder, dari hutan (primer
atau sekunder) menjadi hutan karet, perkebunan sawit, dan perkebunan karet. BPS
(2012) menyatakan bahwa ini dikarenakan perubahan yang terjadi berdasarkan
perkebunan daerah Jambi pada umumnya adalah perkebunan karet milik rakyat
dengan luas tanaman 659 852 ha dengan produksi 322 044 ton pada tahun 2011.
Komoditas andalan lainnya yaitu kelapa sawit dengan produksi 753 858 ton serta
kelapa dalam 109 788 ton.
Ekosistem transisi pada perkebunan karet dan perkebunan sawit merupakan
salah satu bentuk deforestasi, karena adanya perubahan dari tutupan hutan
menjadi tutupan bukan hutan dan permanen. Penelitian Sasaki et al. (2011)
menemukan sekitar 10 peubah yang menjadi pemicu terjadinya deforestasi yaitu:
(a) penjualan lahan, (b) pembangunan pemukiman, (c) pembukaan ladang/kebun,
(d) pencarian kayu bakar, (e) kebakaran hutan alami, (f) pembakaran untuk

2

persiapan lahan, (g) pembalakan liar untuk kepentingan komersil, (h) pembalakan
liar untuk kebutuhan lokal (sub-sisten), (i) pembangunan perkebunan, dan (j)
bencana alam. Pemicu deforestasi tersebut dapat dikelompokkan kedalam aspek
sosial, ekonomi, dan budaya.
Saat ini sejalan berkembangnya teknologi penginderaan jarak jauh, untuk
deteksi perubahan penggunaan dan penutupan hutan yang dapat dilakukan dengan
cepat, mudah, dan akurat. Menurut Jaya (2010) penginderaan jauh dapat
memperbaharui data perubahan yang terjadi begitu cepat sehingga dapat
mendeteksi perubahan hutan. Teknologi penginderaan jarak jauh dapat digunakan
untuk skala yang luas sehingga waktu yang diperlukan lebih efisien dengan hasil
yang relatif akurat. Berdasarkan pernyataan Shuman dan Ambrose (2003) bahwa
penginderaan jauh memiliki kelebihan, terutama karena ukuran wilayah proyek
menjadi lebih besar, tapi teknik seperti foto udara kurang kuat dalam
membedakan spesies. Penelitian ini fokus diberikan kepada deteksi distribusi
hutan primer, hutan sekunder, hutan karet, perkebunan karet, dan perkebunan
sawit, serta perubahannya dengan menggunakan pendekatan spasial melalui
teknologi penginderaan jarak jauh.

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola
perubahan tutupan hutan dan lahan pada ekosistem transisi di Kabupaten Bungo,
Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi khususnya perubahan ekosistem
transisi dari hutan menjadi hutan sekunder, perkebunan karet, perkebunan sawit,
dan hutan karet.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai dasar untuk
perencanaan tata ruang daerah dan sebagai informasi perilaku dari perubahan
lahan.

3

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2014 hingga September 2014.
Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium SIG dan Remote Sensing
Fakultas Kehutanan IPB. Wilayah kajian terdapat di Provinsi Jambi dengan
wilayah studi meliputi Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat.
Secara geografis lokasi penelitian terletak pada koordinat 101º 30‟-103º 21‟ BT
dan 0º 08‟ - 02º 55‟LS. Wilayah kajian penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Software, Hardware, dan Data
Software
Software (perangkat lunak) yang digunakan saat melakukan pengolahan
data meliputi ERDAS Imagine 9.1, ArcGIS 9.3, ArcView 3.2, Xtools Pro 3.2.0,
dan Microsoft Excel 2013.
Hardware
Hardware (perangkat keras) yang digunakan dalam pengolahan data adalah
komputer dengan processor Intel(R)Pentium(R) CPU B940 @2.00 GHz 2.00
GHz, mouse dan Printer.

4

Data
Adapun data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit
Landsat multitemporal sejak tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013 (Tabel 1 dan
Gambar 2, 3, 4, dan 5). Selain itu, data yang akan digunakan adalah Peta digital,
berupa Peta Dasar Tematik Kehutanan 2010, peta jaringan jalan, jaringan sungai,
desa/kecamatan, kelerengan, batas administrasi Provinsi Jambi dan Peta Tutupan
Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan tahun 2011.
Tabel 1 Data utama penelitian
Path/raw

Data Citra

Perekaman

124-61

Landsat TM
Landsat ETM+
Landsat ETM+
Landsat OLI/TIRS
Landsat TM
Landsat ETM+
Landsat TM
Landsat OLI/TIRS
Landsat TM
Landsat TM
Landsat TM
Landsat OLI/TIRS
Landsat TM
Landsat TM
Landsat TM
Landsat OLI/TIRS
Landsat TM
Landsat TM
Landsat TM
Landsat OLI/TIRS

17-05-1989
10-05-2001
29-10-2011
20-06-2013
13-09-1989
01-09-1999
29-04-2009
27-06-2013
13-09-1989
09-07-2000
29-04-2009
27-06-2013
03-06-1990
13-05-2000
20-04-2009
18-06-2013
02-07-1989
13-05-2000
22-05-2009
17-05-2013

125/61

125/62

126/61

126/62

Sumber : Earthexplorer.usgs.gov

Kombinasi band citra landsat TM dan ETM+ yang digunakan adalah 5-4-3
dan citra landsat OLI menggunakan kombinasi band 7-5-4. Berikut adalah layout
citra landsat multiwaktu sebagai data utama penelitian:

5

Gambar 2 Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 1990

Gambar 3 Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 2000

6

Gambar 4 Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 2011

Gambar 5 Mosaik citra landsat OLI tahun 2013

7

Prosedur Analisis Data
Persiapan
Tahap awal sebelum melakukan pengolahan citra yaitu pemilihan data citra
satelit yang memiliki persen tertutup awan yang kecil. Data citra satelit dapat
diperoleh melalui alamat situs: http://earthexplorer.usgs.gov/. Selain itu, kegiatan
ini yang dilakukan adalah memperoleh gambaran kondisi umum dan jumlah
tutupan lahan di Provinsi Jambi.
Pra-pengolahan Citra
Tahap awal dalam pengolahan citra satelit yang dilakukan analis adalah
registrasi citra. Jaya (2010) menjelaskan bahwa registrasi merupakan penyamaan
posisi citra satu dengan lainnya untuk lokasi yang sama, dimana penyamaan posisi
ini kebanyakan dimaksudkan agar posisi piksel yang sama dapat dibandingkan.
Regitrasi dilakukan dengan penyamaan posisi batas administrasi dengan Citra
Landsat resolusi 30 m tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013. Selain itu, apabila
terdapat citra yang tidak sama posisinya maka perlu dilakukan georeferensi.
Menurut Jaya (2007) bahwa georeferensi adalah suatu proses memberikan
koordinat peta pada citra sesungguhnya sudah planimetris. Oleh sebab itu,
georeferensi hanya merubah sistem koordinat peta dalam file citra, sedangkan grid
dalam citra tidak berubah.
Pembuatan Mozaik Citra
Setelah melakukan layer stacking dan reproject image dari setiap masing –
masing path/row, tahap selanjutnya adalah pembuatan citra mozaik (Mozaik
Process). Proses ini merupakan proses penggabungan beberapa citra secara
bersama membentuk satu kesatuan (satu lembar) peta atau citra yang kohesif (Jaya
2010). Citra baru dapat dimozaik jika citra yang akan digabungkan memiliki
koordinat yang sama, tingkat kontras yang sama dan jumlah band (saluran) dan
panjang gelombang yang sama pula. Ketiga syarat tersebut sudah dipenuhi pada
tahap sebelumnya. Agar hasil setiap mozaik memiliki kontras yang sama pula,
maka proses histogram matching juga dilakukan pada citra hasil mozaik untuk
empat tahun berbeda.
Klasifikasi Tutupan Lahan
Pada penelitian ini klasifikasi dilakukan dengan metode kualitatif yaitu
visual (on-screen digitation). Proses delineasi interpretasi secara visual
menggunakan software ArcGis 9.3 yang menghasilkan kelas penutupan lahan
berbentuk poligon dan dalam bentuk shapefile. Setelah proses mosaik citra
kemudian citra tersebut di overlay dengan batas administrasi Kabupaten Bungo,
Tebo, dan Tanjung Jabung Barat. Analisis visual adalah kegiatan untuk
mengidentifikasi suatu obyek yang terekam oleh citra. Pada Citra Landsat TM ini
digunakan kombinasi band 5,4,3 dan Citra Landsat OLI menggunakan kombinasi
band 7,5,4.

8

Identifikasi tutupan lahan yang dilakukan secara visual menggunakan acuan
peta tutupan lahan 2011 bersih awan Jambi dari Kementerian Kehutanan. Hal ini
disebabkan, data citra yang diperoleh memiliki persen tutupan awan yang cukup
tinggi. Adapun klasifikasi kelas tutupan hutan dan lahan dengan merujuk pada
kriteria tutupan hutan dan lahan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan.
Terdapat 23 kelas tutupan hutan dan lahan yang terdiri dari 7 kelas hutan (hutan
primer, hutan sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove
primer, hutan mangrove sekunder, dan hutan tanaman) dan 15 kelas (semak
belukar, belukar rawa, rumput, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian
lahan kering campur, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan, pemukiman,
transmigrasi, bandara, rawa, air, dan awan) bukan hutan serta kelas tertutup awan
(BAPLAN 2008). Namun, untuk tutupan hutan rawa primer dan hutan rawa
sekunder dijadikan satu kelas menjadi hutan rawa, begitu juga dengan hutan
mangrove primer dan sekunder dijadikan sebagai hutan mangrove.
Citra Landsat tahun 2003 sebagian besar mengalami kerusakan permanen
pada SLC (Scan Line Corrector) - off. Sebagai akibat daripada kerusakan tersebut
maka data citra terdapat gap atau bagian yang terlewatkan oleh sapuan sensor
sebesar 22%. Artinya bahwa pada setiap scene data yang dihasilkan satelit
tersebut kehilangan informasi sebesar 7529.5 km2 dari luas liputan Landsat 7 yang
seharusnya sebelum kerusakan SLC yakni 34.225 km2 (Loppies 2010). Adapun
kelemahan lainnya dari citra Landsat adalah banyaknya terdapat awan dan
bayangan awan sehingga dapat menghambat dalam melakukan pengidentifikasian
terhadap kelas tutupan hutan dan lahan. Kategori tutupan hutan lahan serta
ekosistem transisi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kategori kelas tutupan lahan
Kelas tutupan
(Lat/Long)

Deskripsi
(BAPLAN
2008)

Hutan Primer
Lat: 102º 44‟ 5.13”E
Long: 1º 13‟ 39.58”S

Hutan yang
belum
terlihat
adanya
penebangan.

Hutan Sekunder
Lat: 101º 50‟ 35.8”E
Long: 1º 35‟ 31.24”S

Hutan yang
telah terjadi
penebangan
(penampakan
alur dan
bercak
penebangan).

Penampakan citra
landsat TM dan ETM+
(Skala 1:50 000)
Kombinasi band 5-4-3
(1990, 2000, dan 2011
)

Penampakan citra
landsat OLI
(Skala 1:50 000)
Kombinasi band 7-5-4
(2013)

9

Kelas tutupan
(Lat/Long)

Hutan Rawa
Lat: 102º 47‟ 26.1”E
Long: 2º 10‟ 52.9”S

Tabel 2 (lanjutan)
Deskripsi
Penampakan citra
(BAPLAN
landsat TM dan ETM+
2008)
(Skala 1:50 000)
Kombinasi band 5-4-3
(1990, 2000, dan 2011
)
Seluruh
kenampakan
hutan rawa
gambut dan
rawa payau.

Hutan Mangrove
Lat: 103º 29‟ 1.14”E
Long: 0º 48‟ 11”S

Hutan bakau,
nipah dan
nibung,
lokasi dekat
pantai.

Semak/belukar
Lat: 102º 40‟ 25.3”E
Long: 2º 18‟ 21.4”S

Hutan yang
telah
mengalami
suksesi.

Belukar Rawa
Lat: 103º 26‟ 51.72”E
Long: 0º 50‟ 4.73”S

Hutan rawa
yang
ditebang dan
telah tumbuh
kembali

Pertanian Lahan
Kering Campur
Lat: 103º 38‟ 3.23”E
Long: 1º 38‟ 8.07”S

Terdapat
campuran
semak/beluk
ar dan
adanya bekas
tebangan.

Pertanian Lahan
Kering
Lat: 102º 42‟ 1.5”E
Long: 2º 22‟ 48.4”S

Komoditas
tanaman
pertanian
(ladang dan
kebun
campuran)

Penampakan citra
landsat OLI
(Skala 1:50 000)
Kombinasi band 7-5-4
(2013)

10

Kelas tutupan
(Lat/Long)

Sawah
Lat: 103º 2‟ 27.5”E
Long: 1º 49‟ 1.1”S

Tabel 2 (lanjutan)
Deskripsi
Penampakan citra
(BAPLAN
landsat TM dan ETM+
2008)
(Skala 1:50 000)
Kombinasi band 5-4-3
(1990, 2000, dan 2011
)
Lahan
cenderung
basah

Tambak
Lat: 103º 24‟ 12.77”E
Long: 0º 49‟ 12.74”S

Terdapat
penggaraman
dan pola
disepanjang
pantai

Tambang
Lat: 103º 40‟ 31.3”E
Long: 1º 40‟ 21.04”S

Terdapat
lahan terbuka
(pertambang
an terbuka)

Bandara
Lat: 103º 38‟ 25.85”E
Long: 1º 38‟ 5.68”S

Terdapat
lapangan
terbang

Transmigrasi
Lat: 103º 41‟ 48.16”E
Long: 1º 31‟ 55.3”S

Terdapat
pemukiman
dan
perkarangan
disekitarnya

Tubuh Air
Lat: 102º 52‟ 17.8”E
Long: 2º 5‟ 27.9”S

Berwarna
biru

Penampakan citra
landsat OLI
(Skala 1:50 000)
Kombinasi band 7-5-4
(2013)

11

Kelas tutupan
(Lat/Long)

Hutan Tanaman
Lat: 103º 41‟ 49.09”E
Long: 1º 19‟ 19.98”S

Tabel 2 (lanjutan)
Deskripsi
Penampakan citra
(BAPLAN
landsat TM dan ETM+
2008)
(Skala 1:50 000)
Kombinasi band 5-4-3
(1990, 2000, dan 2011
)
Pola tanam
teratur pada
daerah datar

Hutan Karet
Lat: 103º 15‟ 19.62”E
Long: 1º 53‟ 25.89”S

Pola hampir
menyerupai
hutan
sekunder

Kebun Sawit
Lat: 103º 24‟ 39.79”E
Long: 1º 54‟ 6.47”S

Pola tanam
teratur

Kebun Karet
Lat: : 102º 42‟ 10.8”E
Long: : 2º 24‟ 0.6”S

Terdapat di
sekitar hutan
sekunder
dengan
luasan < 0.25
ha.

Tanah Terbuka
Lat: 103º 24‟ 39.85”E
Long: 1º 53‟ 1.36”S

Tanpa
vegetasi

Pemukiman
Lat: 102º 8‟ 31.31”E
Long: 1º 8‟ 1.16”S

Pusat
perkotaan,
pola dan
situs serta
asosiasinya
dekat sungai
dan jalan

Penampakan citra
landsat OLI
(Skala 1:50 000)
Kombinasi band 7-5-4
(2013)

12

Kelas tutupan
(Lat/Long)

Perkebunan
Lat: 103º 24‟ 9.95”E
Long: 0º 52‟ 14.89”S

Rawa
Lat: 102º 16‟ 56.09”E
Long: 1º 16‟ 29.82”S

Tabel 2 (lanjutan)
Deskripsi
Penampakan citra
(BAPLAN
landsat TM dan ETM+
2008)
(Skala 1:50 000)
Kombinasi band 5-4-3
(1990, 2000, dan 2011
)
Terdapat
hasil clearing
dan pola
teratur

Penampakan citra
landsat OLI
(Skala 1:50 000)
Kombinasi band 7-5-4
(2013)

Lahan rawa
yang tidak
berhutan

Sumber: BAPLAN (2008)
Keterangan: *) + : Tutupan lahan

Analisis Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan
Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan dengan membandingkan
setidaknya dua peta klasifikasi dengan waktu yang berbeda. Perubahan penutupan
lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan dari waktu
yang bebeda (Lillesand dan Kiefer 1990). Analisis dilakukan dengan melakukan
metode menumpangtindihkan (overlay) pada citra. Sehingga dapat diperoleh luas
dan arah perubahan tutupan lahan yang terjadi. Analisis perubahan tutupan lahan
dilakukan dengan overlay data tutupan hutan dan lahan pada periode waktu 1990
– 2000, 2000 – 2011 , dan 2011 – 2013. Selanjutnya, dilakukan analisis Thematic
Change dengan menggunakan formula sebagai contoh [Tuplah_90]++”_”++
[Tuplah_00], [Tuplah_00]++”_”++ [Tuplah_11], dan [Tuplah_11]++”_”++
[Tuplah_13], sehingga diperoleh data perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi
non-hutan atau yang mengalami ekosistem transisi. Formula tersebut juga
digunakan dalam perhitungan perubahan tutupan hutan dan lahan pada ekosistem
transisi di wilayah kajian yang kemudian diolah lagi menggunakan pivot table
pada microsoft excel.
Analisis Pola Keruangan
Menurut Ludwig dan Reynold 1984 dalam Krebs 1989, tutupan lahan
mempunyai tiga pola dasar spasial yaitu, acak (random), mengelompok (cluster),
dan seragam (uniform). Selain itu, penentuan pola penyebaran tutupan hutan dan
lahan dilakukan dengan dua metode yaitu metode analisis kuadrat dan metode
analisis tetangga terdekat (Nearest Neighbor Analysis).

13

Metode analisis kuadrat adalah prosedur yang umum digunakan untuk
sampling berbagai tipe organisme. Namun metode analisis kuadrat lebih
memperlihatkan pola sebaran tidak berbasis spasial. Metode analisis kuadrat
dilakukan dengan menggunakan grid, dimana ukuran sisi-sisi grid dihitung
sebagai berikut:

Keterangan : A = luas areal adalah luas wilayah yang dikaji dalam satuan m2,
N = Jumlah total individu yang dikaji dalam wilayah kajian
Ukuran grid yang digunakan pada setiap kelas tutupan hutan pada ekosistem
transisi memiliki luasan yang berbeda. Pada studi ini N tersebut adalah jumlah
titik pusat poligon. Hal ini menyebabkan grid dari setiap tutupan pada ekosistem
transisi setiap tahunnya berbeda pula. Informasi terkait luasan dari setiap tutupan
setiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Ukuran sisi grid setiap tutupan hutan pada ekosistem transisi
Tahun Keterangan
1990 Sawit
HS
HP
2000 Sawit
Karet
HS
HP
2011 Sawit
Karet
Hutan Karet
HS
HP
2013 Sawit
Karet
Hutan Karet
HS
HP

A (m2)
22 552 791
7 346 432 886
2 808 631 706
386 712 996
142 315 290
6 811 362 677
1 070 095 680
858 522 812
528 260 837
239 631 127
4 686 687 097
392 070 774
1 005 820 117
546 003 340
239 631 127
4 590 387 438
392 070 774

N
1
193
33
15
19
227
2
72
67
4
251
1
94
80
4
4
1

(m)
6 716
8 725
13 047
7 181
3 870
7 747
32 712
4 883
3 971
10 946
6 111
28 003
4 626
3 695
10 946
47 908
28 003

Tabel 4 Ukuran sisi grid setiap perubahan tutupan hutan pada ekosistem transisi
Tahun
1990 – 2000

2000 – 2011

Keterangan *) Luas (m2)
N
H_PK
128839280 19
H_PS
284546069 44
HP_HS
1693883304 58
HS_PS
96599373 129
H_PK
173223052 45
H_HK
160896235 26
HP_HS
654986208 10

(m)
3683
3596
7643
1224
2775
3518
11445

14

Keterangan: *) : H = Hutan Primer dan sekunder, PK = Perkebunan Karet, PS = Perkebunan
Sawit, HP = Hutan Primer, HS = Hutan Sekunder, HK = Hutan Karet

Menurut Waite (2000) metode distribusi yang digunakan adalah Index
Dispersion (ID). Nilai ID adalah sebagai berikut dan dinyatakan dengan rumus
berikut:
ID = S2/m
Keterangan:
S2= ragam contoh,
m = rata-rata contoh
Apabila N < 30 maka digunakan uji chi-squared, sebagai berikut :
2

= ID (N-1)

Nilai chi-squared dinyatakan dengan
1. Jika ( 2hitung; db= N-1) berada diantara ( 2tabel; db=0,975) dan ( 2tabel;
db=0,025) maka, H0 merupakan penyebaran secara acak dengan S2= m
diterima,
2. Jika ( 2hitung; db= N-1) lebih besar dari ( 2tabel; db=0,975) maka, H0
ditolak dan pola diindikasikan berkelompok, S2 > m, dan
3. Jika ( 2hitung; db= N-1) lebih kecil dari ( 2tabel; db=0,025) maka, H0
ditolak dan pola diindikasikan seragam, S2 < m.
Apabila N > 30, dapat menggunakan alternatif uji statistik dengan mengikuti
sebaran normal, sebagai berikut:
H0: S2 = m, sebaran acak
H1: S2 ≠ m, sebaran tidak acak

Keterangan:
d = deviasi dari normal baku,
2
= nilai chi-squared pengamatan

Jika d ≤ 1.96, maka sebarannya acak dimana S2= m (H0 diterima); jika
d < -1.96 maka H0 ditolak dan H1 diterima yang menunjukkan pola sebaran
seragam, dan d > 1.96 menunjukkan sebaran berkelompok. Pola sebaran
dikatakan cluster, uniform, dan random pada analisis kuadrat dapat dilihat pada
Gambar 6.

(a)

(b)

(c)

Gambar 6 Contoh pola sebaran (a) cluster, (b) uniform, (c) random

15

Langkah selanjutnya adalah menghitung metode klasifikasi tetangga
terdekatnya (Euclidean Distance) yang digunakan untuk menentukan pola spasial
penyebaran ekosistem transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung
Barat Provinsi Jambi. Hasil NNI (Nearest Neighbor Index) menunjukkan jarak
rata-rata observasi dan ekspektasi antara titik satu dengan fitur terdekatnya, serta
Z-hitung. NNI dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
(NNI > 1: menyebar atau dispersed; dan NNI < 1:
berkelompok atau clustered)
Keterangan: DO = Jarak rata-rata observasi
DE = Jarak rata-rata yang diharapkan
Pada metode nearest neighbor semua kasus akan terklasifikasi meskipun
nilai kedekatannya belum tentu 100%. Namun hasil tidak dapat dijamin
kebenarannya karena banyak kasus yang memiliki kedekatan yang sama dengan
beberapa klasifikasi yang berbeda (Kusrini et. al 2009).
Jarak rata-rata observasi antara fitur (D0), dimana (di) adalah jarak terdekat
antara titik 1 dengan fitur terdekatnya, pada NNI (N) adalah jumlah titik (A) luas
tutupan dari masing-masing ekosistem transisi dan (DE) adalah jarak rata-rata
ekspektasi adalah sebagai berikut:
DO =
DE =
Krebs (2014) menyatakan uji contoh standar deviasi dari acak tersedia
karena standar error dari jarak yang diharapkan telah mengetahui persis dari ilmu
ukur pesawat terbang. Karena z lebih rendah dari 1.96, sementara H0 diterima
dengan α = 0.05 adalah penyebaran secara acak di wilayah kajian.

Keterangan: SE = tingkat kesalahan

Keterangan : Z < 1.96 : cluster
Z > 1.96 : dispersed
Z = Sebaran normal
ANN /NNI = Nearest Neighbor Index

16

Gambar 7 Diagram alir penelitian

17

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Sebaran Spasial Tutupan Hutan dan Lahan Ekosistem Transisi
Pola spasial adalah sesuatu yang menunjukkan penempatan atau susunan
benda-benda di permukaan bumi. Pola spasial ini menjelaskan bagaimana perilaku
sebaran pada ekosistem transisi. Sebaran spasial yang terjadi pada tutupan
ekosistem transisi umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Hasil analisis
pola sebaran spasial tutupan lahan dan hutan pada ekosistem transisi disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil metode tetangga terdekat
No.
1

Tutupan
lahan
Hutan
Primer

Tahun Do (m)
DE (m)
NNI
Z-score
Pola
1990 6413.18
9827.3
0.65
-3,8 Cluster
2000
- 2011
- 2013
- 2
Hutan
1990 2437.73 5063.56
0.48
-13,8 Cluster
Sekunder
2000 2283.18 4668.87
0.49
-14,73 Cluster
2011 2228.9 4331.55
0.51
-14,71 Cluster
2013 2209.41 4199.76
0.53
-14,8 Cluster
3
Hutan
1990
- Karet
2000
- 2011 41890.9 0.000195 215215051 823442954 Dispersed
2013 41890.9 0.000196 215215051 823442954 Dispersed
4 Perkebunan
1990
- Karet
2000 3261.16 5985.68
0.54
-3,79 Cluster
2011 3775.06
4568.8
0.83
-2,7 Cluster
2013 3316.1
4181.1
0.79
-3,54 Cluster
5 Perkebunan
1990
- Sawit
2000 6569.86 12184.96
0.54
-3,14 Cluster
2011 2890.58 6243.25
0.46
-8,72 Cluster
2013 2525.51
5890.4
0.43
-10,6 Cluster
Keterangan: *) -: Tidak ditemukan tutupan lahannya

Hutan Primer
Berdasarkan hasil metode kuadrat pola penyebaran hutan primer adalah
mengelompok (cluster) pada tahun 1990. Berdasarkan luasan seperti pada
Lampiran 1, pola sebaran hutan primer tahun 1990 adalah cluster atau
berkelompok, yang didominasi oleh luas kelas lereng 15-25% sebesar 142 165 ha,
selain itu juga terdapat pada kelas lereng 0-8% dan 8-15%. Pola sebaran hutan
primer pada tahun 1990 cenderung berkelompok dan didominasi pada jarak ke

18

desa 3000 m adalah sebesar 952 ha serta umumnya tidak berada di sekitar jalan.
Hasil luasan pola sebaran hutan primer tahun 2000 diperoleh pola spasial random
dan diperoleh pada kelas lereng 8-15% (68 468 ha) dan 15-25% (38 542 ha)
namun berada jauh dari sekitar jalan. Sedangkan pola sebaran spasial hutan primer
tahun 2011 dan 2013 pada wilayah kajian adalah random dan terdapat pada kelas
lereng 0-8% (23 963 ha) yang umumnya berada di luar buffer desa dan jalan.
Buffer jalan yang digunakan adalah jalan Kabupaten, jalan produksi, dan jalan
lainnya dengan jarak 1000 m ke kanan dan ke kiri jalan, sedangkan buffer jarak
desa yang digunakan dengan jarak terjauh adalah 3000 m.
Berdasarkan hasil NNI, hutan primer pada tahun 2000, 2011, dan 2013
tidak bisa dihitung karena jumlah titik centroid (n) < 4. Sedangkan analisis
tetangga terdekat pada hutan primer tahun 1990 menunjukkan pola spasial cluster.
Identifikasi pola hutan primer pada tahun 1990 menghasilkan jarak rata-rata
observasi sebesar 6 431.18, jarak rata-rata ekspektasinya sebesar 9 827.3, dengan
nilai NNI sebesar 0.65, dan Z-score sebesar -3.8. NNI < 1 menunjukkan bahwa
pola tutupan hutan primer pada tahun 1990 adalah cluster atau berkelompok, dan
diperoleh jarak observasi lebih kecil dibandingkan dengan jarak yang diharapkan
sehingga jarak antar titik akan semakin rapat dan membentuk kelompok.
Berdasarkan Z-score yang didapatkan bahwa Z-score yang didapatkan < Zα/2 = 2.58. Waite (2000) menyatakan bahwa tanda negatif mengindikasikan sebaran
spasial adalah berkelompok atau cluster. Secara visual peta pola sebaran spasial
hutan primer dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Peta pola hutan primer

19

Gambar 9 Peta pola hutan sekunder

Gambar 10 Peta pola hutan karet

20

Gambar 11 Peta pola perkebunan karet

Gambar 12 Peta pola perkebunan sawit

21

Hutan Sekunder
Hutan sekunder salah satu perubahan yang terjadi sangat signifikan di
wilayah kajian. Hutan sekunder pada tahun 1990 memiliki luasan sebesar 734
643.29 ha yang mengalami penurunan luasan dari tahun ke tahun dengan rata-rata
penurunan luasan hutan sekunder dari tahun 1990 – 2013 adalah sebesar 91
868.18 ha dan penurunan luasan hutan sekunder sebesar 3 994.27 ha per tahun.
Pola penyebaran ekosistem transisi dengan menggunakan metode analisis
kuadrat menghasilkan sebaran hutan sekunder yang mengelompok pada tahun
1990, 2000, 2011, dan 2013. Pada tahun 1900, 2000, 2011, dan 2013 nilai d
(sebaran) > 1.96. Hal ini menunjukkan ragam > rata-rata maka dapat dikatakan
bahwa sebaran hutan sekunder pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013 adalah
cluster. Pada analisis nearest neighbor (Tabel 5) hutan sekunder pada tahun 1990,
2000, 2011, dan 2013 memiliki nilai NNI < 1, hal ini berarti hutan sekunder
memiliki pola cluster. Hasil perhitungan NNI memperlihatkan nilai Z-score yang
diperoleh negatif. Tanda negatif pada Z-score mengindikasikan bahwa pola yang
terdapat pada tutupan hutan sekunder adalah cluster.
Hutan sekunder pada tahun 1990 berada di empat kelas lereng yaitu, 0-8%,
8-15%, 15-25%, dan 25-40% namun, hutan sekunder tahun 1990 didominasi oleh
kelas lereng 0-8% seluas 727 450 ha dan cenderung jauh dari pedesaan ataupun
pemukiman. Pada tahun 2000 hutan sekunder terdapat di tiga kelas lereng yaitu,
0-8%, 8-15%, 15-25% dan tetap didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 679
043 ha. Pada tahun 2011 dan 2013 hutan sekunder ada pada empat kelas yaitu, 08%, 8-15%, 15-25%, dan 25-40%, dimana hutan sekunder pada tahun 2011 dan
2013 didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 462 642 ha. Pada tahun 1990
hutan sekunder ada dikelas 25-40% namun pada tahun 2000 tidak ditemukan, hal
ini disebabkan oleh saat interpretasi citra secara visual hutan sekunder dikelas
lereng 25-40% pada tahun 1990 berubah menjadi semak pada tahun 2000, dan
pada tahun 2011 tutupan lahan telah menyerupai pola, ukuran, dan bentuk dari
hutan sekunder, begitu juga dengan keberadaan hutan sekunder tahun 2013 yang
berada disemua kelas lereng, namun pada kelas lereng >40% awalnya tidak
bertutupan hutan sekunder. Hal ini disebabkan oleh tutupan hutan sekunder dari
tahun 1990 ataupun 2000 dalam rentang waktu yang cukup panjang dapat
merubah tutupan semak menjadi hutan sekunder di kelas lereng >40%. Selain itu
hutan sekunder pada semua tahun jauh dari pedesaan dan jalan namun, masih
memungkinkan di lapangan adanya perambahan hutan. Peta pola hutan sekunder
dapat dilihat pada Gambar 9.
Hutan Karet
Hutan karet merupakan tegakan heterogen dengan densitas pohon yang
tinggi yang bersifat multigenerasi sehingga menyerupai hutan sekunder pada
umumnya yang membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja karena spesies kayu liar
melindungi karet dari gulma dan predator (Gouyon et al. 1993). Berdasarkan hasil
klasifikasi secara visual pada Citra Landsat TM dan ETM+, serta Landsat OLI
memperlihatkan bahwa baru ditemukannya hutan karet pada tahun 2011 dan 2013
di wilayah kajian namun, luasan arealnya sama. Hal ini disebabkan oleh,
keterbatasan kasat mata saat melakukan digitasi dan rentang waktu yang terjadi
hanya dua tahun.

22

Pola penyebaran hutan karet menggunakan analisis kuadrat diketahui
mempunyai sebaran random pada hutan karet tahun 2011 dan 2013. Hutan karet
tahun 2011 dan 2013 memiliki nilai NNI > 1 atau pola dispersed. Selain itu, hasil
perhitungan menunjukkan Z-score > Zα/2 yang menunjukkan pola sebaran spasial
hutan karet adalah dispersed. Hal ini berbeda dengan hasil analisis kuadrat karena
apabila dilihat oleh kasat mata akan cenderung seragam namun, hasil perhitungan
analisis kuadrat menunjukkan sebarannya acak. Hal yang harus diketahui bahwa
pola sebaran tidak sama dengan pola spasial.
Hutan karet baik tutupan hutan karet pada tahun 2011 dan 2013 memiliki
Kepemilikan hutan karet di Provinsi Jambi umumnya pribadi, namun hutan karet
pribadi ini pemiliknya cenderung tinggal di pusat kota sehingga hutan karet
tersebut ada yang ditelantarkan dan ada juga yang dimanfaatkan masyarakat
sekitar. Secara spasial peta pola hutan karet dapat dilihat pada Gambar 10.
Perkebunan Karet
Perkebunan karet merupakan tegakan homogen dengan sistem yang
beragam berasal dari perladangan berpindah. Perkebunan karet yang homogen
dengan densitas pohon jauh lebih rendah serta populasi pohon yang memiliki
umur, ukuran serta jarak tanam yang relatif sama. Perkebunan karet biasanya
dikelola lebih intensif, yaitu disertai pemupukan untuk menambah kesuburan
tanah gambut serta pemakaian herbisida untuk memberantas gulma dan
insektisida untuk mengendalikan hama (Gouyon et al. 1993).
Pola spasial perkebunan karet tahun 2000, 2011, dan 2013 adalah cluster,
dimana telah dilakukan analisis perubahan sebelumnya, karena perubahan lahan
dapat bersifat sementara dan permanen. Perubahan lahan ini dianalisis
berdasarkan sifat permanennya penyebaran suatu perubahan tutupan lahan.
Pengetahuan mengenai penyebaran sangat penting untuk mengetahui tingkat
pengelompokan dari individu yang dapat memberikan dampak terhadap populasi
dari rata-rata per unit area (Soegianto 1994). Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian karena pengetahuan terhadap pola sebaran perubahan tutupan hutan
menjadi kebun karet, kebun sawit, maupun hutan karet pada ekosistem transisi di
wilayah kajian dapat memberikan informasi terkait dampak yang akan terjadi.
Berdasarkan hasil klasifikasi secara visual perkebunan karet baru
ditemukan pada tahun 2000. Pola penyebaran ekosistem transisi pada perkebunan
karet menggunakan analisis kuadrat dengan metode grid menghasilkan sebaran
cluster pada tahun 2000, 2011 dan 2013. Berdasarkan hasil perhitungan
menunjukkan bahwa indeks sebaran (d) perkebunan karet pada tahun 2000, 2011
dan 2013 memiliki d > 1.96, yang berarti sebaran perkebunan karet adalah cluster.
Selain itu, varian mean ratio yang diperoleh atau ID yang diperoleh > 1 sehingga
perkebunan karet pada tahun 2000, 2011 dan 2013 memiliki pola cluster.
Perkebunan karet tahun 2000, 2011 dan 2013 pada metode tetangga terdekat
memiliki nilai NNI < 1 atau pola cluster. Selain itu, hasil perhitungan Z-score
perkebunan karet tahun 2000, 2011, dan 2013 bernilai negatif menunjukkan pola
sebaran spasial perkebunan karet adalah cluster. Pola sebaran spasial perkebunan
karet pada wilayah kajian cenderung berkelompok dan jauh dari berada di sekitar
desa, dan diperoleh titik perkebunan karet yang berada di sekitar jalan, serta
perkebunan karet berada di kelas lereng 0-8% dan 8-15% serta didominasi oleh

23

kelas lereng 0-8% pada tahun 2000 dan untuk tahun 2011 dan 2013, dimana
perkebunan karet berada pada kelas lereng 0-8%, 8-15%, dan 15-25%. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan dari hutan sekunder sebelumnya pada lereng
15-25% menjadi kebun karet. Secara spasial pola kebun karet dapat dilihat pada
Gambar 11.

Perkebunan Sawit
Hasil klasifikasi secara visual Citra Landsat TM, ETM+, dan OLI diketahui
bahwa pola sebaran perkebunan sawit adalah cluster. Perubahan pada ekosistem
yang terjadi adalah perubahan dari lahan vegetasi menjadi lahan budidaya dan
pemukiman. Perkebunan sawit merupakan salah satu bentuk perubahan ekosistem
transisi yang berbasis budidaya dari lahan bervegatasi rapat dan jarang.
Berdasarkan hasil analisis kuadrat ditemukan bahwa pola sebaran
perkebunan sawit tahun 2000, 2011, dan 2013 adalah cluster. Pola sebaran
perkebunan sawit tahun 2000, 2011, dan 2013 cenderung cluster, hal ini
ditunjukkan dengan nilai sebaran (d) yang dihitung > 1.96 dan varian mean ratio
yang diperoleh > 1.
Perkebunan sawit tahun 1990 tidak memiliki nilai NNI hal ini disebabkan
oleh, jumlah titik (n) < 4. Sedangkan perkebunan sawit tahun 2000, 2011 dan
2013 memiliki nilai NNI < 1 dengan hasil berpola cluster. Selain itu, hasil
perhitungan Z-score perkebunan sawit tahun 2000, 2011, dan 2013 cenderung
negatif yang menunjukkan pola sebaran spasial perkebunan sawit adalah
mengelompok (cluster). Pada hasil metode tetangga terdekat diperoleh jarak
observasi yang lebih kecil daripada jarak ekspektasi yang menunjukkan pola
spasial perkebunan sawit lebih berkelompok atau berdekatan. Pola perkebunan
sawit yang berkelompok cenderung berada jauh dari pusat desa dan berada di
buffer jalan 1 km pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013.
Perkebunan sawit tahun 1990, 2000, dan 2011 berada di kelas lereng 0-8%.
Hal ini disebabkan oleh mudahnya akses terhadap suatu lahan dan pada tahun
1990 masih belum begitu maraknya menanam sawit sehingga masyarakat
menanam di lokasi yang datar. Pada tahun 2013 perkebunan sawit berada di kelas
lereng 0-8%, dan 8-15% lokasi berdekatan dengan pusat desa, serta berada di
dekat jalan. Secara spasial pola sebaran perkebunan sawit disajikan pada Gambar
12.
Pola Sebaran Spasial Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem
Transisi
Identifikasi pola perubahan khususnya dari hutan primer menjadi hutan
sekunder, hutan menjadi perkebunan sawit, perkebunan karet, dan hutan karet
sangat diperlukan untuk perencanaan tata ruang dan informasi perilaku dari
perubahan tersebut. Pada analisis pola perubahan spasial tutupan lahan periode
2011 – 2013 tidak ditemukan perubahan pada ekosistem transisi. Informasi terkait
hasil metode tetangga terdekat terkait pola spasial dari masing-masing perubahan
dapat dilihat pada Tabel 6.

24

Tabel 6 Hasil metode tetangga terdekat pada perubahan tutupan hutan ekosistem
transisi
No. Perubahan
1
HP_HS
2

H_PS

3

H_PK

4

H_HK

Periode
1990 – 2000
2000 – 2011
1990 – 2000
2000 – 2011
1990 – 2000
2000 – 2011
2000 – 2011

Do (m)
4 180
13 375
3 495
1 284
3 304
4 447
3 654

DE (m)
8 407
0.012
7 374
3 875
6 056
8 577
7 467

NNI
0.5
1 196 328
0.47
0.3
0.55
0.52
0.49

Z-score
-7.3
7 237 371
-6.67
-14.5
-3.79
-6.2
-4.98

Pola
Cluster
Dispersed
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster

Keterangan: *) : H = Hutan Primer dan sekunder, PK = Perkebunan Karet, PS = Perkebunan
Sawit, HP = Hutan Primer, HS = Hutan Sekunder, HK = Hutan Karet

Hutan Primer menjadi Hutan Sekunder
Pada kurun waktu 1990 – 2000, 2000 – 2011, dan 2011 – 2013 luas hutan
yang mengalami perubahan tutupan lahan bervegetasi menjadi lahan budidaya di
wilayah kajian cukup besar karena berada pada rentang waktu yang lama yaitu 23
tahun. Gunawan (2012) menyatakan bahwa peta jenis penggunaan lahan di Jambi
tahun 2000 dan 2010 pada Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tebo
menunjukkan perubahan lahan terbanyak dari hutan primer menjadi hutan
sekunder dan mangrove.
Hutan primer mengalami perubahan menjadi hutan sekunder bersifat
sementara namun, membutuhkan waktu yang lama untuk mengubah hutan
sekunder tersebut kembali menjadi hutan primer. Martens et. al. (2000)
menyatakan bahwa cahaya understory untuk tempat dalam sekumpulan padang
rumput/hutan bergantung pada tutupan dan secara substansial dimodifikasi oleh
tinggi. Pola spasial tutupan pohon memiliki pengaruh kecil pada mean tetapi tidak
mempengaruhi varians. Hal ini berarti tutupan lahan memiliki varians yang lebih
tinggi dibandingkan mean karena mean tidak dapat mempengaruhi varians. Pada
perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder periode 1990 – 2000 diperoleh
nilai varians sebesar 0.5 dan mean 0.2, serta pada periode 2000 – 2011 diperoleh
nilai varians 0.2 dan mean 0.1, hal ini dapat menunjukkan bahwa terlihat pola
penyebarannya cluster, namun apabila kita perbesar pola dapat membentuk
dispersed or uniform. Pada periode 2011 – 2013 tidak ditemukan perubahan pada
ekosistem transisi yaitu perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder,
hutan (primer dan sekunder) menjadi hutan karet, kebun karet, dan kebun sawit,
hal ini disebabkan oleh rentang waktu hanya dua tahun. Berdasarkan Gambar 14
yang disajikan, memperlihatkan pola sebaran cluster pada perubahan hutan
primer menjadi hutan sekunder periode 1990 – 2000 dan 2000 - 2011.
Analisis metode tetangga terdekat terkait pola spasial perubahan hutan
primer menjadi hutan sekunder di wilayah kajian pada tahun 1990 – 2000 memilki
NNI < 1 dan mengindikasikan bahwa pola spasial perubahan hutan primer
menjadi hutan sekunder adalah cluster. Hal ini sejalan dengan analisis kuadrat
dengan menggunakan metode grid. Pada perubahan hutan primer menjadi hutan
sekunder pada tahun 2000 – 2011 berdasarkan hasil NNI >1 dan jarak observasi
lebih besar daripada jarak ekspektasi dan diindikasikan pola spasial dispersed,

25

sedangkan hasil analisis kuadrat dengan metode grid menunjukkan pola sebaran
perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder adalah cluster. Hal ini
disebabkan oleh, metode tetangga terdekat saat menganalisis pola spasial
dilakukan berdasarkan distance, sedangkan metode grid sebarannya berdasarkan
jumlah point yang ada pada satu grid.
Pola perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder pada tahun 1990 –
2000 yang mendominasi adalah kelas lereng 0-8% namun diperoleh juga kelas
lereng 8-15%, 15-25%, 25 - 40%, dan > 40% di wilayah kajian, sedangkan pola
perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder pada tahun 2000 – 2011
didominasi oleh kelas lereng 8-15% dan 0-8%, selain itu berada pada kelas lereng
> 40% seluas 65 397 ha. Perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder
ditemukan pada jarak desa 0-1000 m dan didominasi oleh jarak 2000-3000 m
sebesar 952 ha pada periode 1990 – 2000. Hal ini berarti dapat disimpulkan
bahwa semakin dekat desa ataupun jalan maka perubahan akan semakin tinggi
pada hutan primer menjadi hutan sekunder. Secara spasial pola perubahan hutan
primer menjadi hutan sekunder dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Peta pola dari perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder

26

Gambar 15 Pola perubahan dari hutan menjadi perkebunan sawit

Gambar 16 Peta pola perubahan dari hutan menjadi perkebunan karet

27

Gambar 17 Peta pola perubahan dari hutan menjadi hutan karet

Hutan menjadi Perkebunan Sawit
Hutan pada perubahan ekosistem transisi adalah hutan primer dan hutan
sekunder yang berada di wilayah kajian. Tekanan terhadap hutan datang dari
proyek transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, bahkan telah
dilakukan sejak 1983. Penempatan transmigrasi di Kabupaten Bungo Provinsi
Jambi tidak lepas dari pembukaan kawasan hutan untuk dijadikan lahan pertanian,
perkebunan dan tentunya pemukiman. Di beberapa tempat dikombinasikan
dengan perkebunan besar menjadi perkebunan trans (Adnan et. al 2008).
Berdasarkan hasil penelitian selama kurun waktu 10 tahun (1990 – 2000) telah
terjadi peningkatan luas perkebunan sawit sebesar 36 416.02 ha dari luasan
perkebunanan sawit yang ada pada tahun 1990 di wilayah kajian.
Muchlis et. al (2011) yang melakukan penelitian di Kecamatan Pemayung
Kabupaten Batanghari Jambi menyatakan bahwa perusahaan kelapa sawit telah
melakukan pola kemitraan untuk menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu,
perusahaan akan menggarap banyak lahan untuk dijadikan kebun kelapa sawit
terutama pada desa – desa yang wilayahnya luas dan kepadatan penduduknya
jarang. Pola sebaran pada wilayah kajian menunjukkan bahwa perubahan terjadi
di wilayah penduduknya jarang dan cenderung berada di dekat jalan .
Pola spasial perubahan hutan sekunder menjadi perkebunan sawit di
wilayah kajian pada Gambar 15 terlihat berkelompok atau cluster. Hasil analisis
kuadrat dengan metode grid pada perubahan hutan (primer dan sekunder) menjadi
perkebunan sawit tahun 1990 – 2000, dan perubahan hutan sekunder menjadi
kebun sawit tahun 2000 – 2011 menunjukkan pola sebaran cluster. Analisis
metode tetangga terdekat terkait pola spasial perubahan hutan (primer dan

28

sekunder) menjadi perkebunan sawit di wilayah kajian memilki NNI < 1, jarak
observasi yang ditemukan lebih kecil daripada jarak ekspektasi dan Z-score
negatif maka diindikasikan bahwa pola perubahannya adalah cluster.
Pola perubahan hutan menjadi perkebunan sawit cenderung terjadi di
sekitar pusat desa dengan jarak dari desa 0-1000 m, 1000-2000 m, dan 2000-3000
m, dan berada di buffer jalan dengan jarak ke kanan dan ke kiri jalan sebesar 1000
m. Pola perubahan hutan menjadi perkebunan sawit 1990 – 2000 ini terjadi pada
kelas lereng datar dan agak datar, pola perubahan didominasi kemiringan 0-8%
seluas 28 229 ha dan satu titik di kelas lere