Proyeksi Perubahan Tutupan Lahan Dan Dampaknya Terhadap Diversitas Lanskap Di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi
PROYEKSI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN DAMPAKNYA
TERHADAP DIVERSITAS LANSKAP DI KABUPATEN BATANGHARI
PROVINSI JAMBI
ATIK NURWANDA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Proyeksi Perubahan Tutupan
Lahan dan Dampaknya Terhadap Diversitas Lanskap di Kabupaten
Batanghari Provinsi Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Atik Nurwanda
A451130161
RINGKASAN
ATIK NURWANDA. Proyeksi Perubahan Tutupan Lahan dan Dampaknya
Terhadap Diversitas Lanskap di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Dibimbing
oleh ALINDA FITRIANY MALIK ZAIN dan ERNAN RUSTIADI.
Indonesia saat ini tengah terancam oleh kegiatan konversi lahan menjadi
perkebunan monokultur, yaitu ekspansi besar perkebunan kelapa sawit. Konversi
lahan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit menjadi isu besar yang menggiring
tantangan kritis dalam perencanaan untuk pembangunan berkelanjutan dimasa yang
akan datang. Pendekatan citra satelit dengan multi temporal dan teknik deteksi
perubahan digital membantu dalam memahami perubahan pemanfaatan dan tutupan
lahan. Informasi jejak temporal perubahan lahan menyediakan arahan dan dapat
digunakan sebagai panduan untuk mengidentifikasi isu, masalah, dan panduan
untuk perencanaan lanskap.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola perubahan tutupan lahan
dari 1988 sampai 2014, menganalisis faktor pendorong perubahan tutupan lahan,
membangun model prediksi tutupan lahan tahun 2024, dan menganalisis indeks
diversitas dan fragmentasi lahan. Bahan yang digunakan yaitu citra landsat tahun
1988, 1994, 2004, dan 2014 kemudian dilakukan klasifikasi lahan dengan
klasifikasi terbimbing. Selanjutnya metode regresi logistik biner digunakan untuk
menganalisis faktor pendorong perubahan lahan. Persamaan regresi logistik ini
dibangun dengan data 1994 dan 2004, variabel Y1 sebagai perubahan hutan
menjadi sawit, Y2 hutan menjadi lahan terbangun, dan Y3 hutan menjadi lahan
terbuka. Sedangkan variabel bebasnya adalah jarak dari jalan (X1), jarak dari
perkebunan sawit (X2), kemiringan lahan (X3), jarak dari sungai (X4), ketinggian
tempat (X5), dan jarak dari pemukiman (X6). Kemudian untuk menghitung tingkat
diversitas dan fragmentasi lahan yaitu dengan Shannon’s Diversity Index (SDI) and
Largest Patch Index (LPI).
Pada tahun 2024 perkebunan kelapa sawit akan terus meluas hingga
137023,02 hektar, sedangkan luas hutan tersisa 114476,22 hektar. Persamaan logit
yang dihasilkan yaitu Y= -0.14 – 0,0800*X1 – 0,07360*X2 + 0,02468*X3 +
0,44584*X4 – 0,02382*X5 + 0,02769*X6. Model logit ini memiliki nilai ROC
0,8806, dan nilai ini cukup tinggi. Berdasarkan tren yang ada, perubahan tutupan
lahan akan terkonsentrasi di Kecamatan Mersam, Pemayung, dan Tembesi.
Disamping itu, hutan yang ada akan semakin terancam dan tingkat fragmentasi
lahan tertinggi terjadi di Kecamatan Mersam, Marosebo Ulu, dan Tembesi.
Kata kunci: fragmentasi, LUCC, model, penginderaan jauh, prediksi
SUMMARY
ATIK NURWANDA. Land Cover Change Projection and Its Effect to The
Landscape Diversity in Batanghari Regency Jambi Province. Supervised by
ALINDA FITRIANY MALIK ZAIN and ERNAN RUSTIADI.
Indonesia is currently being threatened by the activities of land conversion to
monoculture, which is a major expansion of oil palm plantations. Land conversion
and expansion of oil palm plantations is a major issue that leads critical challenges
in planning for future sustainable development. Multi-temporal satelite imagery and
digital change detection technique help in understanding land use-cover change
(LUCC). The information of LUCC provide the direction and can be used as
guidelines to identify issues, problems, and guidelines for landscape planning.
The aims of this study are to analyze the pattern of land use-cover changes
with long temporal scale (1988 - 2014), to analyze driving force of land use changes,
to forecast land cover in 2024, and to analyze the diversity and fragmentation index.
To analyzed the land cover change, several Landsat Images (1988, 1994, 2004, and
2014) were employed, and a supervised classification method has been employed
using maximum likelihood technique. Logistic regression equation was built by the
data in 1994 and 2004, the variable Y1 (forest become palm oil plantation), variable
Y2 (forest become built-up area), and variable Y3 (forest become open land). While
the independent variables are distance from road (X1), distance from palm oil
plantation (X2), slope (X3), distance from river (X4), elevation (X5), and distance
from settlement (X6). To measure the diversity index and land fragmentation used
Shannon’s Diversity Index (SDI) and Largest Patch Index (LPI).
The results showed that in 2024 oil palm plantation will continue grow up to
137023.02 hectars, meanwhile the rest of forest is 114476.22 hectars. Logit Y= 0.14 – 0.0800*X1 – 0.07360*X2 + 0.02468*X3 + 0.44584*X4 – 0.02382*X5 +
0.02769*X6. This model has ROC value 0.8806, it indicates goodness of fit is high
enough. According to trend LUCC, land changes will be concentrated in Mersam
and Tembesi. Beside that, forest will progressively be threatened and the highest
land fragmentation occur in Mersam, Marosebo Ulu, and Tembesi.
Keywords: forecasting, fragmentation, LUCC, model, remote sensing
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PROYEKSI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN DAMPAKNYA
TERHADAP DIVERSITAS LANSKAP DI KABUPATEN BATANGHARI
PROVINSI JAMBI
ATIK NURWANDA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak November 2014 ini ialah perubahan lahan dan
pemodelan, dengan judul Proyeksi Perubahan Tutupan Lahan dan Dampaknya
Terhadap Diversitas Lanskap di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Alinda Fitriany Malik Zain, MSi
dan Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr sebagai pembimbing yang telah banyak memberi
saran dan arahannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Keluarga Bapak Joko dan Ayu, Bapak Taufik, Affandi, dan David Warisman serta
seluruh pihak yang telah membantu penulis selama pengumpulan data dan
penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga atas segala do’a dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
Atik Nurwanda
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
vii
viii
ix
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kerangka Pemikiran
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
2
2
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Resolusi Citra
Karakteristik Citra Satelit
Pemodelan Spasial
Proyeksi Penggunaan Lahan dengan CA-Markov
Diversitas
4
4
4
5
8
8
9
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan
Analisis Data
10
10
10
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Situasional Wilayah Studi
Status Izin Perkebunan Kelapa Sawit
Akurasi Hasil Klasifikasi Lahan
Analisis Perubahan Tutupan Lahan
Model Regresi Logistik
Akurasi Model Tahun 2014
Model Prediksi Tutupan Lahan 2024
Tren Perubahan Tutupan Lahan 2024
Diversitas dan Fragmentasi Lahan
18
18
20
22
22
27
31
33
35
36
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
38
38
39
DAFTAR PUSTAKA
39
RIWAYAT HIDUP
51
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Saluran dan panjang gelombang Landsat 7
Saluran dan panjang gelombang Landsat 8
Saluran sensor dan panjang gelombang pada SPOT-5
Deskripsi alat dan bahan yang digunakan pada penelitian
Matriks Konfusi
Luas area klasifikasi jenis tutupan lahan
Variabel dalam analisis regresi logistik biner
Standar Indeks Shannon-Wiener
Wilayah administrasi dan jumlah penduduk
Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Bantanghari
Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit Perusahaan tahun 2014
Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Tahun 2014
Luas Kelas Tutupan Lahan Kabupaten Batanghari
Hasil analisis regresi logistik
Luas Tutupan Lahan Kabupaten Batanghari Tahun 2024
Nilai Perubahan LPI
6
6
7
11
13
14
15
18
19
20
21
22
27
27
35
37
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Kerangka Pemikiran
Lokasi Penelitian
Tahapan Umum Penelitian
Tahapan Pengolahan Citra Landsat
Diagram Alir Analisis Prediksi Tutupan Lahan Tahun 2024
Sample plot diversitas lahan
Peta Administrasi Kabupaten Batanghari
Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Batanghari
Peta Tutupan Lahan Tahun 1988
Peta Tutupan Lahan Tahun 1994
Peta Tutupan Lahan Tahun 2004
Peta Tutupan Lahan Tahun 2014
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Sawit (1994-2004)
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbangun (1994-2004)
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbuka (1994-2004)
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Sawit Tahun 2014
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbangun Tahun 2014
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbuka Tahun 2014
Peta Prediksi Tutupan Lahan Tahun 2024
Tren Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2024
Peta Proyeksi Lahan Terkonversi Sawit 2024
Perubahan Nilai SDI
Jumlah Patch Kelas Tutupan Hutan Dalam Sample Plot SDI
Tren perubahan LPI per Kecamatan
3
10
11
12
16
17
19
20
23
24
25
26
28
29
30
32
32
33
34
35
36
36
37
38
DAFTAR LAMPIRAN
1 Visualisasi Kondisi Eksisting Lapangan
2 Data Raster Variabel Bebas
3 Overall Accuracy dan Kappa Acuracy
4 Kenampakan Citra Landsat 8 OLI 2014, RGB 654
5 Matriks Probabilitas Markov
42
45
46
48
50
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia saat ini tengah terancam oleh kegiatan konversi lahan menjadi
perkebunan monokultur (Villamor et al. 2014), yaitu ekspansi besar perkebunan
kelapa sawit (Tarigan et al. 2015) yang berakibat pada tingginya tingkat kehilangan
kawasan hutan (Potter 2015). Indonesia juga telah dinobatkan sebagai negara
dengan tingkat deforestrasi kedua tertinggi setelah Brazil (Margono et al. dalam
Villamor 2014). Di Indonesia area konsesi perkebunan kelapa sawit tersebut paling
banyak terjadi yaitu di Kalimantan dan Sumatera (Potter 2015), serta dibangun pada
kawasan hutan dan belukar (Tarigan et al. 2015). Akibat konversi menjadi lahan
sawit maka akan rentan terhadap kebakaran (Miettin dan Soo 2009), dan proses
perubahan tutupan lahan akan menyebabkan fragmentasi lanskap (Liu et al. (2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit terus
mengalami peningkatan dari 7,8 juta hektar pada tahun 2010 (Tarigan et al. 2015),
10 juta hektar pada tahun 2015 (Potter 2015), dan potensi ekspansi akan terus
meningkat hampir mendekati 20 juta hektar pada tahun 2020 (Rist et al. 2010;
Potter 2015). Bencana kebakaran baik secara alami ataupun unsur kesengajaan
untuk percepatan pertumbuhan lahan perkebunan kelapa sawit, sehingga bencana
kebakaran dan asap beberapa dekade terahir ini sudah menjadi pusat perhatian
sebagai bencana nasional, bahkan internasional (Nurdiana dan Idung 2015).
Menurut USDA-FAS (2009) dalam Rist et al. (2010) saat ini ekspansi perkebunan
kelapa sawit di pulau Sumatera mencapai 80% total produksi Indonesia dan
ekspansi tersebut sudah merambah ke area terpencil yang terjadi di Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua. Konsekuensinya akan berdampak terhadap hilangnya atau
menurunnya tingkat biodiversitas (Liu et al. 2009; Nurdiana&Idung 2015; Villamor
et al. 2014). Disisi lain, ekspansi ini juga di dorong oleh kebijakan pemerintah
meningkatkan kapasitas produksi biodisel dari 600 juta liter menjadi tiga miliar liter
minyak sawit (Rist at al. 2010). Mengutip dari pernyataan Peres et al. (2010) bahwa
ekspansi pertanian baik untuk pasar lokal, nasional ataupun international
merupakan pendorong terbesar terhadap kasus perubahan lahan dan deforestrasi.
Cepat dan masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk biodisel ini menjadi
pusat perhatian terhadap tingkat biodiversitas, habitat alam, dan juga iklim global.
Didukung oleh pernyataan Wilcove dan Lian (2010) bahwa perkebunan kelapa
sawit dan perubahan lahan (Fox dan John 2005) merupakan ancaman terbesar
terhadap biodiversitas khususnya di Asia Tenggara, hal ini berarti termasuk juga
Indonesia.
Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi merupakan salah satu kasus wilayah
yang mengalami pola-pola perubahan transformasi lahan dari kawasan hutan areal
perkebunanan kelapa sawit. Selain itu, wilayah ini juga erat dengan konflik
kepemilikan lahan (Sita 2014) antara masyarakat, perusahaan, dan kebijakan
restorasi kawasan. Seiring dengan transformasi perubahan tutupan lahan yang
terjadi di wilayah studi, maka akan terjadi fragmentasi akibat aktivitas manusia
yang secara intensif (Peres et al. 2010). Dalam rangka penataan ruang dan
mengendalikan penataan ruang, oleh karena itu perlu adanya pemantauan spasial
perubahan tutupan lahan dan kesesuaian pemanfaatan ruang serta penurunan tingkat
2
diversitasnya khususnya diversitas lanskap yang menjadi kunci utama penyangga
biodiversitas.
Rekam jejak perubahan lahan dalam jangka panjang memberikan arahan
dan dapat dijadikan pedoman untuk mengidentifikasi isu, masalah, dan panduan
untuk perencanaan lanskap. Ketidaktetapan penggunaan lahan dan kecenderungan
perubahan yang terus menerus disebabkan oleh tekanan yang menuntut kebutuhan
lahan untuk pengembangan sektor ekonomi, industri, dan jasa. Perubahan
penggunaan lahan yang terus terjadi ini apabila dimodelkan secara spasial
berdasarkan pola perubahannya, maka akan memudahkan meraih informasi untuk
merencanakan suatu lanskap dan proyeksi perubahan lahan di masa yang akan
datang. Dengan demikian antisipasi pencegahan terhadap penurunan kualitas
lingkungan dan diversitas dapat dilakukan dengan tepat sesuai permasalahan yang
telah diprediksi sebelumnya.
Dalam rangka penataan ruang dan mereduksi hilangnya diversitas lanskap,
pemodelan spasial dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan analisis
keruangan yang mempermudah perencanaan penggunaan lahan. Pendekatan sistem
dengan analisis penginderaan jauh terhadap perubahan tutupan lahan dan
pemodelan yang diintegrasikan dengan SIG mampu mengatasi dimensi spasial dan
temporal. Menurut Estoque dan Yuji (2012) tekhnik tersebut dapat memfasilitasi
analisis eksplorasi dalam memahami dampak potensial akibat dari perubahan
tutupan lahan di waktu yang akan datang. Diharapkan dengan pendekatanpendekatan tersebut mampu memecahkan permasalahan yang ada,
mengidentifikasi faktor-faktor utama perubahan lahan, dan menyajikan hasil model
prediksi secara spasial.
Perumusan Masalah
Perlunya pemantauan perubahan tutupan lahan secara spasial dan temporal
di Kabupaten Batanghari. Konversi lahan yang terus terjadi akan mengakibatkan
semakin berkurangnya kawasan hutan dan diversitas lanskap yang tertransformasi
menjadi perkebunanan sawit. Pola perubahan yang telah terjadi selama ini perlu
dikaji faktor-faktor yang menyebabkan perubahan lahan, memprediksi perubahan
tutupan lahan di masa yang akan datang sebagai upaya pemantauan pemanfaatan
ruang.
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
4.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Mendeteksi perubahan penutupan lahan secara spasial dan temporal (19882014),
Menganalisis faktor pendorong perubahan tutupan lahan,
Membangun model prediksi perubahan tutupan lahan pada tahun 2024, dan
Menganalisis tingkat diversitas dan fragmentasi lahan.
Kerangka Pemikiran
Perubahan penggunaan lahan memiliki sebab akibat dari berbagai aspek yaitu
aspek sosial (jumlah penduduk), ekonomi (perkembangan ekonomi), politik
(kebijakan politik pemerintah), dan biofisik (bencana alam). Pendekatan perubahan
3
spasial menjadi dasar pertimbangan pemodelan yang sangat sesuai untuk
menganalisis karakteristik, pola dan kecenderungan sistem perubahan, dan faktorfaktor peubah perubahan tutupan lahan. Hal ini diharapkan mampu memprediksi
pola perubahan tutupan lahan dan fragmentasi lahan yang terjadi dengan mengacu
pada diversitas tutupan lahan. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Kab. Batanghari
-
Potensi Perubahan dan
Transformasi Lanskap
Pola dan Karakteristik
Perubahan Tutupan Lahan
Aspek Ekonomi
Aspek Sosial
Aspek Fisik Biofisik
Aspek Kebijakan
Penurunan Tingkat
Diversitas
REMOTE SENSING
Pendekatan Perubahan Spasial
Pendekatan Time Series
Sifat Model:
Basis Spasial
Sifat Model:
Peluang Perubahan
Driving Force Perubahan Tutupan
Lahan
Indeks Diversitas
SDI dan LPI
Karakteristik Pola Perubahan dan
Model Prediksi Spasial
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan
kebijakan tata ruang terutama dalam pengawasan perubahan tutupan lahan,
pembukaan lahan ilegal, dan pencegahan kawasan hutan yang terancam hilang.
Selain itu memberikan masukan kepada pihak pemerintah daerah dalam menyusun
konsep pengembangan tataguna lahan.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dan batasan penelitian ini adalah:
1. Ruang lingkup wilayah penelitian yaitu wilayah administrasi Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi.
2. Kajian yang diamati meliputi pola perubahan tutupan lahan berdasarkan
periode waktu yang berbeda, faktor pendorong perubahan tutupan lahan,
prediksi perubahan tutupan lahan, dan tren perubahan tingkat diversitas dan
fragmentasi lahan.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah
dikenal di Amerika Serikat sekitar tahun 1950-an, kemudian tahun 1970-an istilah
ini diperkenalkan di beberapa negara eropa seperti teledetection (Perancis),
teleperception (Spanyol), dan fernenkundung (Jerman). Menurut American Society
of Photogrammetry (1983) dalam Jaya (2014), remote sensing diterjemahkan
sebagai ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi suatu obyek atau
fenomena, menggunakan suatu alat perekaman dari kejauhan, dimana pengukuran
dilakukan tanpa melakukan kontak langsung secara fisik dengan obyek atau
fenomena yang diukur.
Analisis spasial dalam remote sensing merupakan kegiatan penguraian data
serta hubungannya antar komponen data itu sendiri, dalam hal ini adalah nilai
kecerahan (Brightness Value) atau digital number (Digital Number). Kegiatan
analisis dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan pengolahan citra (image
processing). Dikatakan data digital karena data yang diolah adalah data numerik
yang besarannya dinyatakan dengan bit. Semakin besar bit-nya, maka semakin
banyak kemungkinan kandungan informasi yang ada di dalamnya. Remote sensing
saat ini telah mendapat perhatian besar karena dapat memperoleh struktur data
secara efektif dalam skala lanskap (Ren et al. 2015), juga memiliki peranan penting
dalam pemetaan transformasi perubahan tutupan lahan dan mengidentifikasi faktor
pendorong untuk pemodelan (Achmad et al. 2015).
Resolusi Citra
Di dalam remote sensing sangat penting untuk memahami istilah resolusi
diantaranya resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi
temporal. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature)
permukaan bumi yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan di sekitarnya atau
yang ukurannya bisa diukur. Skala pada data citra pemotretan udara remote sensing
adalah fungsi dari panjang gelombang fokus dan tinggi terbang. Grain film yang
halus memberikan detail obyek yang lebih banyak (resolusi lebih tinggi)
dibandingkan grain yang kasar. Demikian pula skala yang lebih besar memberikan
resolusi yang lebih tinggi.
Resolusi spasial dari citra non fotografik (yang tidak menggunakan film)
ditentukan berdasarkan dengan beberapa cara, diantaranya yang paling umum
digunakan adalah berdasarkan dimensi dari instantaneous field of view (IFOV) yang
diproyeksikan ke bumi. IFOV ini merupakan fungsi dari detektor, tinggi sensor, dan
optik. Pada sensor digital seperti pada generasi Landsat dan SPOT, sensor merekam
kecerahan (brightness value) semua obyek yang ada di dalam IFOV. Brightness
adalah jumlah radiasi yang dipantulkan atau diemisikan dari permukan bumi.
Dengan kata lain IFOV adalah suatu areal pada suatu permukaan bumi dalam
gabungan atau campuran brightness suatu permukaan yang diukur. Akan tetapi
ukuran piksel bisa lebih kecil atau lebih besar dari ukuran IFOV, tergantung dari
bagaimana brightness value tersebut direkam oleh sensor. Perlu diperhatikan bahwa
resolusi spasial dari suatu sistem cocok untuk suatu kepentingan tertentu sehingga
5
obyek di permukan bumi tidak hanya bisa dideteksi namun juga bisa diidentifikasi
dan dianalisis (Jaya 2014).
Resolusi spektral adalah dimensi atau jumlah daerah panjang gelombang
yang dimiliki oleh sensor. Potret hitam-putih mempunyai resolusi yang lebih rendah
yaitu antara 0,4µm – 0,7 µm dibandingkan dengan Landsat TM band 3 yaitu 0,63
µm – 0,69 µm. Dengan jumlah band yang lebih banyak maka pemakai atau peneliti
dapat memilih kombinasi yang terbaik sesuai dengan tujuan dari analisis untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Landsat TM mempunyai 7 band dengan lebar
setiap band-nya yang sempit tetapi rentang band yang digunakan lebar mulai dari
band biru sampai dengan band termal, sedangkan SPOT mempunyai 4 band
dengan rentang dari band hijau sampai dengan inframerah sedang, ini berarti bahwa
TM mempunyai resolusi spektral yang lebih baik dibandingkan SPOT.
Menurut Jaya (2014) resolusi radiometrik merupakan ukuran sensitivitas
sensor untuk membedakan aliran radiasi yang dipantulkan atau diemisikan dari
suatu obyek pemukaan bumi. Sebagai contoh, radian pada panjang gelombang 0,6
– 0,7 µm akan direkam oleh sensor detektor MSS band 5 dalam bentuk voltage.
Kemudian analog voltage ini direkam setiap interval waktu tertentu (contoh untuk
MSS adalah 9,958 x 10-6 detik) dan selanjutnya dikonversi menjadi nilai integer
yang disebut bit. MSS band 4, 5, dan 7 dikonversi ke dalam 7 bit (27=128), sehingga
akan menghasilkan 128 nilai diskrit antara 0 sampai 127. Generasi kedua data satelit
seperti TM, SPOT, dan MESSR mempunyai resolusi radiometrik 8 bit dengan nilai
interger 0 sampai 255.
Resolusi temporal menjadi sangat penting dalam pertimbangan ketika
penginderaan jauh yang dibutuhkan dalam rangka pemantauan atau deteksi
permukaan bumi yang terkait dengan variasi waktu atau musim. Resolusi temporal
ini dapat diartikan interval waktu yang dibutuhkan oleh satelit untuk merekam areal
yang sama, atau waktu yang dibutuhkan oleh satelit untuk menyelesaikan seluruh
siklus orbitnya. Misalnya pada landsat mempunyai ulangan 16 hari, SPOT 26 hari,
JERS-1 44 hari, NOAA AVHHR 1 hari dan IRS 22 hari (Jaya 2014).
Karakteristik Citra Satelit
Sistem Landsat (Land satelite)
Satelit Landsat pertama kali diluncurkan pada tahun 1972 dengan nama
ERTS-1 (Earth Resources Technology Satelite – 1) milik Amerika. Setelah
peluncuran Landsat-1 berhasil, proyek ini dilanjutkan sampai saat ini yaitu satelit
Landsat 8 OLI (Land Satelite Operational Land Imager) yang diluncurkan pada
tanggal 11 Pebruari 2013. Landsat-1 dan Landsat-2 yang merupakan generasi
pertama Landsat memuat dua macam sensor, yaitu RBV (Return Beam Vidicon)
yang terdiri atas 3 saluran RBV-1, RBV-2 dan RBV-3 dengan resolusi spasial 79
meter dan sensor MSS (multispectral scanner) yang terdiri atas 4 saluran MSS-4,
MSS-5, MSS-6 dan MSS-7 dengan resolusi spasial yang sama. Selain itu, Landsat 3
yang juga merupakan generasi pertama dari landsat masih memuat sensor RBV dan
MSS namun saluran RBV dikurangi hingga menjadi satu saluran tunggal dengan
resolusi 40 meter.
Landsat-4 dan Landsat-5 yang merupakan generasi kedua seri landsat, juga
memuat dua sensor dengan mempertahankan sensor MSS namun mengganti sensor
RBV dengan sensor TM (Thematic Mapper). Sensor TM ini meiliki tujuh saluran
6
yang diberi nomor urut 1 sampai dengan 7. Dari ketujuh saluran TM tersebut
terdapat spektrum inframerah termal yaitu pada TM 6 dengan resolusi spasial 120
meter yang berada diantara dua saluran inframerah tengah (middle infra red/MIR)
yang terletak pada TM 5 dan TM 7 dengan resolusi spasial 30 meter. Penggunaan
Landsat TM masih sangat memungkinan untuk melihat struktur tutupan lahan,
hutan kota, indeks vegetasi, tingkat kepadatan kanopi, biomassa (Ren et al. 2015),
dan perhitungan biomassa vegetasi akuatik (Pu et al. 2014).
Landsat 7 yang diluncurkan pada tahun 1999 yang diberi nama Landsat-7
ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) merupakan pengembangan dari Landsat-6
yang membawa sensor TM. Landsat-7 ini memuat 8 band. Band ke-8 merupakan
saluran pankromatik dengan panjang gelombang 0.58 – 0.90 µm dan saluran 6 yang
merupakan spektrum infra merah termal telah dinaikkan resolusi spasialnya
menjadi 60 meter. Secara rinci jenis saluran dan fungsi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Saluran dan panjang gelombang Landsat 7
Deskripsi Saluran/ Band
Band 1 - Blue
Band 2 - Green
Band 3 - Red
Band 4 - Near Infrared
Band 5 - Shortwave infrared
Band 6 - Thermal infrared (60 m)
Band 7 - Shortwave infrared
Band 8 - Panchromatic (15m)
Sumber: Roy et al. (2014)
Panjang Gelombang (µm)
0,45 – 0,52
0,52 – 0,60
0,63 – 0,69
0,77 – 0,90
1,55 – 1,75
10,40 – 12,50
2,09 – 2,35
0,52 – 0,90
Satelit terbaru yang diluncurkan pada 11 Februari 2013 yang diberi nama
Landsat-8 yang membawa dua sensor yaitu sensor OLI (Operational Land Imager)
dan TIRS (Thermal Infrared Sensor), selain itu Landsat-8 mempunyai kemampuan
merekam lebih dari 500 gambar per hari (Roy et al. 2014). Secara rinci jenis saluran
dan deskripsinya dapat dilihatpada Tabel 2.
Tabel 2. Saluran dan panjang gelombang Landsat 8
Deskripsi Saluran/ Band
Band 1 - Blue
Band 2 - Blue
Band 3 - Green
Band 4 - Red
Band 5 - Near infrared
Band 6 - Shortwave infrared
Band 7 - Shortwave infrared
Band 8 - Panchromatic (15m)
Band 9 - Cirrus
Band 10 - Thermal infrared (100 m)
Band 11 - Thermal infrared (100 m)
Sumber: Roy et al. (2014)
Panjang Gelombang (µm)
0,43 – 0,45
0,45 – 0,51
0,63 – 0,59
0,64 – 0,67
0,85 – 0,88
1,57 – 1,65
2,11 – 2,29
0,50 – 0,68
1,36 – 1,38
10,60 – 11,19
11,50 – 12,51
Sistem SPOT (System Probatoire de l’Observation de la Terre)
Sistem SPOT adalah proyek kerja sama antara Prancis, Swedia dan Belgia di
bawah koordinasi CNES (Centre National d’Etudes Spatiales) selaku badan ruang
angkasa Prancis. SPOT-1 diluncurkan pada 23 Februari 1986. Sistem SPOT
membawa dua sensor identik. Sensor tersebut identik karena kedua sensor tersebut
sepenuhnya sama. Sensor tersebut dikenal dengan HRV (Haute Resolution Visible).
SPOT generasi pertama (SPOT-1, SPOT-2 dan SPOT-3), masing-masing
sensor HRV dapat bekerja dalam dua mode yaitu modus multispektral (XS) dan
7
modus pankromatik (P). Modus multispektral terdiri atas 3 saluran: XS1 (0.50 - 0.59
µm), XS2 (0.61 - 0.68 µm) dan XS3 (0,79 - 0,89 µm). Sementara pada modus
pankromatik mempunyai panjang gelombang 0.51 – 0.73 µm. Keunggulan sensor
HRV adalah resolusi spasial yang cukup tinggi. Pada modus multispektral (XS)
dihasilkan citra dengan resolusi spasial 20 meter sedangkan pada modus
pankromatik dihasilkan citra dengan resolusi spasial 10 meter.
SPOT-4 yang merupakan generasi kedua sistem satelit SPOT ini dipasang
saluran spektral yang keempat yang berfungsi pada spektral infra merah tengah
dengan panjang gelombang 1.5 – 1.75 µm. Namun, modus pankromatik yang
sebelumnya dipasangkan pada SPOT generasi pertama sudah dihapuskan pada
SPOT generasi kedua ini. Selain itu, SPOT generasi kedua mempunyai dua
instrumen yaitu HRVIR dan VMI. HRVIR atau high resolution in visible and
infrared merupakan pengembangan instrumen HRV pada SPOT generasi
sebelumnya. Sedangkan sensor VMI atau vegetation monitoring instrument
merupakan instrumen yang dirancang untuk pemantauan vegetasi global. Instrumen
VMI merupakan instrumen independen dengan saluran spektral yang identik dengan
HRVIR dalam hal panjang gelombang.
SPOT-5 yang beroperasi bersama SPOT-4 mengalami penggantian pada
instrumen HRVIR diganti dengan HRG (High Resolution Geometric). Resolusi
spasial yang dimiliki oleh instrumen HRG ini adalah 5 meter pada modus
pankromatik dan resolusi spasial 10 meter pada saluran hijau, merah, dan
inframerah dekat. Berikut ini saluran sensor dan panjang gelombang pada SPOT 5
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Saluran sensor dan panjang gelombang pada SPOT-5
Saluran/ Band
Band 1 - Blue
Band 2 - Green
Band 3 - Red
Band 4 - Shortwave infrared
Panjang Gelombang (µm)
0,50 – 0,59
0,61 – 0,68
0,79 – 0,89
1,58 – 1,75
Resolusi Spasial (m)
10x10
10x10
10x10
20x20
Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classfication)
Data citra digital dengan berbagai kualitas memberikan kesempatan kepada
setiap pengguna untuk mendapatkan informasi sesuai kebutuhan. Untuk
mendapatkan informasi tersebut, pengguna melakukan teknik klasifikasi terhadap
piksel-piksel pada sebuah citra ke bentuk informasi berupa tutupan lahan atau
informasi lainnya (Lillesand et al. 2004). Salah satu teknik klasifikasi yang dapat
digunakan adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification). Danoedoro
(2012) menjelaskan bahwa klasifikasi terbimbing adalah teknik klasifikasi yang
meliputi kumpulan algoritma yang didasari oleh input area contoh oleh operator.
Menurut Richards dan Jia (2006) klasifikasi terbimbing adalah prosedur yang
digunakan untuk analisis kuantitatif data citra penginderaan jauh yang didasarkan
pada penggunaan algoritma yang tepat untuk penamaan piksel yang mewakili jenis
atau kelas tutupan lahan. secara garis besar, klasifikasi terbimbing terdiri dari tiga
tahapan (Lillesand et al. 2004; Richards dan Jia 2006) yaitu (a) pemilihan area
contoh yang merepresentasikan kelas tutupan lahan yang akan diklasifikasikan; (b)
klasifikasi kelas tutupan lahan berdasarkan area contoh; (c) tahap penilaian akurasi
hasil klasifikasi.
8
Pemodelan Spasial
Pemodelan merupakan suatu proses yang dapat berupa simulasi, prediksi
maupun deskripsi. Tujuan dari pembuatan model adalah membantu dalam
pengambilan keputusan ataupun analisis untuk memahami, menggambarkan dan
memperkirakan bagaimana suatu proses bekerja dalam dunia nyata melalui
penyederhanaan fenomena maupun feature. Hasil dari permodelan ini dapat
digunakan untuk mengambil suatu keputusan, melakukan kegiatan ilmiah atau
memberi informasi umum (Jaya 2006).
Berdasarkan proses analisisnya, pemodelan dikelompokkan atas:
1. Pemodelan kartografi (cartographic modeling)
Pada pemodelan ini disarankan untuk membuat diagram alir (flow chart) yang
detail dan perencanaan yang teliti untuk menderivasi data-data yang diharapkan dan
bagaimana cara menggunakannya.
2. Pemodelan simulasi (simulation modeling)
Melakukan simulasi terhadap fenomena yang kompleks dengan menggunakan
kombinasi informasi spasial dan non-spasial. Aspek ini memerlukan keahlian
bagaimana suatu model dibangun. Para ahli dapat menggunakan layer spasial yang
mencakup informasi tentang vegetasi, elevasi, slope, kepemilikan, jalan dan aliran
sungai, selanjutnya dilakukan pembobotan (prioritas layer).
3. Pemodelan prediktif (predictive modeling)
Pada pemodelan ini biasanya menggunakan teknik statistik, umumnya analisis
regresi untuk menyusun suatu model. Tahap pertama adalah mengumpulkan
informasi tentang penomena yang diamati, selanjutnya satu set informasi tersebut
digunakan untuk membangun suatu model dengan melihat masing-masing layer
dari informasi spasial dan masing-masing komponen dari informasi non-spasial.
Proyeksi Penggunaan Lahan dengan CA-Markov
Analisis Markov Chain dapat digunakan untuk memprediksi area transisi dari
perubahan tutupan lahan (Yang et al. 2014), dan memperkirakan perubahanperubahan di waktu yang akan datang dalam variabel-variabel yang dinamis atas
dasar perubahan dari variabel dinamis tersebut di waktu yang lalu (Kurnianti 2015).
Probabilitas transisi matriks ini didapatkan dari dua tutupan lahan dalam waktu atau
tahun yang berbeda. Proses ini bisa didapatkan dalam tool modeler IDRISI Selva.
Matriks transisi markov disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Transisi Matriks Markov Chain
Dari keadaan ke:
1
2
…
i
…
n
1
P11
P22
…
Pi1
…
Pn1
2
P12
P22
…
Pi2
…
Pn2
…
…
…
…
…
…
…
Pindah ke keadaan ke:
…
j
…
P1j
…
P2j
…
…
…
Pij
…
…
…
pnj
…
…
…
…
…
…
…
n
P1n
P2n
Pin
…
…
adalah jumlah keadaan dalam proses dan pij adalah kemungkinan transisi dari
keadaan saat i ke keadaan j. Jika saat ini berada pada keadaan i maka baris i dari tabel di
atas berisi angka-angka pi1, pi2, … , pin merupakan kemungkinan berubah ke keadaan
n
9
berikutnya. Angka tersebut melambangkan kemungkinan sehingga semuanya
melupakan bilangan non negatif dan tidak lebih dari satu.
Dalam menjalankan modeler tersebut harus memenuhi syarat, syarat yang
pertama sistem harus bersifat stationery atau homogen, artinya perilaku sistem
selalu sama disepanjang waktu atau peluang transisi sistem dari suatu kondisi ke
kondisi lainnya akan selalu sama disepanjang waktu. Dengan demikian maka
pendekatan Markov hanya dapat diaplikasikan untuk sistem dengan laju perubahan
yang konstan. Syarat kedua adalah kondisi yang dimungkinkan terjadi pada sistem
harus dapat diidentifikasi dengan jelas. Apakah sistem memiliki dua kondisi yakni
kondisi beroperasi dan kondisi gagal, ataukah sistem memiliki tiga kondisi yaitu
100% sukses, 50% sukses, atau 100% gagal.
Muller and Middleton (1994) memanfaatkan teknik ini dalam mempelajari
dinamika perubahan lahan di Ontario, Kanada. Persamaan Markov Chain dibangun
menggunakan distribusi penggunaan lahan pada awal dan akhir masa pengamatan
yang direpresentasikan dalam suatu vektor (matriks satu kolom), serta sebuah
matriks transisi (transition matrix).
Hubungan ketiga matriks tersebut adalah sebagai berikut:
MLS*Mt= Mt+1
Keterangan:
MLC = Peluang; Mt = Peluang tahun ke t;
Mt+1 = Peluang tahun ke t+1;
Ut = Peluang setiap titik terklasifikasi sebagai kelas U pada waktu t;
LCUA = Peluang suatu kelas lainnya pada rentang waktu tertentu.
Diversitas
Diversitas memiliki banyak definisi dalam literatur berdasarkan kebebasan
peneliti, badan pemerintah, dan organisasi internasional. Ruang lingkup diversitas
dapat diartikan beragamnya bentuk atau peranan ekologi, dan keberagaman genetik.
Diversitas merupakan sejumlah total keberagaman kehidupan, dan kemudian dapat
dibagi menjadi: 1) keragaman genetik, 2) keragaman spesies, 3) keragaman ekologi
atau ekosistem.
Diversitas mengarah kepada keanekaragaman jenis yang terdiri atas dua
komponen, yaitu jumlah jenis yang mengarah pada kekayaan jenis (richness
species) dan kelimpahan jenis yang mengarah kepada kemerataan jenis (eveness
species). Penilaian keanekaragaman jenis dengan menggunakan indeks kemerataan
jenis, dapat digunakan sebagai petunjuk kemerataan dan kelimpahan individu di
antara setiap komunitas. Melalui indeks ini pula dapat dilihat adanya gejala
dominansi yang terjadi antara suatu jenis dalam suatu komunitas. Indeks diversitas
yang sering digunakan yaitu Shannon-Wiener Index:
H= - ∑ [(ni/N) ln (ni/N)]
t=i
disederhanakan menjadi:
s
H= - ∑ pi ln (pi)
t=i
10
Keterangan:
H
= Indeks diversitas Shannon-Wiener
ni
= Jumlah dari jenis tutupan lahan ke-i
pi
= ni/N
N
= Jumlah individu dari semua jenis tutupan lahan
ln
= Logaritma natural (bilangan alami)
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi (Gambar
2). Secara geografis Kabupaten Batangahari berada di posisi 1o15’ Lintang Selatan
sampai 202’ Lintang Selatan dan 102030’ Bujur Timur sampai 104030 Bujur Timur.
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai Agustus 2015.
Proses ground truth check dilaksanakan pada bulan Juni 2015. Titik lokasi
pengamatan saat ground truth check diambil secara purposive random sampling
yang mana setiap kecamatan terobservasi dan ada perwakilan titik contoh untuk
setiap kategori kelas tutupan lahan. Disetiap titik ground truth check yang dicatat
adalah tipe kelas tutupan, koordinat, foto, dan keterangan yang menjelaskan kondisi
riil lapangan. Visualisasi kondisi wilayah studi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 2 Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu Arc GIS 9.3, IDRISI Selva, ERDAS, GPS, Kamera,
dan Ms. Excel. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu citra Landsat, SPOT, Data
11
SRTM, peta jaringan jalan (.shp), dan peta jaringan sungai (.shp). Alat dan bahan
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Deskripsi alat dan bahan yang digunakan pada penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Alat
Arc GIS 9.3
IDRISI Selva
ERDAS
GPS
Kamera
Ms. Excel 2013
Bahan
Citra Landsat
Citra SPOT
Data SRTM
Peta Jaringan Jalan
Peta Jaringan Sungai
Penggunaan
Edit data image dan pemodelan
Pengolahan faktor perubahan lahan dengan regresi logistik
dan prediksi perubahan dengan pendekatan Markov Chain
Pengolahan data citra dan klasifikasi terbimbing
Survei lapang (ground truth check)
Dokumentasi lapang
Pengolahan data tabular dan grafik
Analisis klasifikasi tutupan lahan dan analisis divesritas
tutupan lahan
Identifikasi klasifikasi citra dan validasi kondisi tutupan
lahan saat penilaian akurasi
Analisis regresi logistik biner
Analisis regresi logistik biner
Analisis regresi logistik biner
Analisis Data
Penelitian ini dilakukan dengan analisis spasial penginderaan jauh. Rentang
waktu tahun 1988-2014 dibagi menjadi empat rekam jejak temporal citra (1988,
1994, 2004, dan 2014) untuk kemudian dilakukan analisis klasifikasi tutupan lahan
dan perubahan tutupan lahan – Land Use Cover Change (LUCC). Analisis
berikutnya yaitu analisis faktor pendorong perubahan tutupan lahan dengan metode
binary logistic regression. Kemudian untuk mendapatkan model prediksi tutupan
lahan, dilakukan penggabungan dua metode Regresi Logistik dan Markov Chain.
Kekuatan terbaik transisi matriks Markov adalah memperlihatkan tingkat ramalan
secara spasial (Lopez et al. 2001) dengan kecenderungan untuk berubah
berdasarkan sistem ketetanggan terdekat di kelasnya (Arsanjani et al. 2013),
sedangkan regresi logistik memprediksi berdasarkan faktor hubugan variabel.
Selanjutnya dilakukan analisis tingkat diversitas dan fragmentasi lahan yang terjadi
sebagai dampak dari perubahan tutupan lahan. Tahapan umum penelitian disajikan
pada Gambar 3.
Citra Landsat
(1988, 1994, 2004, 2014)
Hasil Klasifikasi
(1994, 2004, 2014)
Hasil Klasifikasi
(1988, 1994, 2004,
2014)
ANALISIS
Klasifikasi Tutupan
Lahan dan Regresi
Logistik
Analisis Prediksi
Regresi dan Markov
Analisis
SDI dan LPI
OUTPUT
Model Perubahan
Tutupan Lahan dan
Regresi Logistik
Model Prediksi
LUCC Tahun 2024
Nilai Diversitas
SDI dan
Fragmentasi LPI
INPUT
Gambar 3 Tahapan Umum Penelitian
12
Pengelolaan Citra Landsat
a) Pemulihan citra (Image Restoring)
Tahapan ini melakukan perbaikan radiometrik dan geometrik yang bertujuan
untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang disebabkan oleh
gangguan atmosfer atau kesalahan sensor. Perbaikan geometrik dilakukan
dengan mengambil titik-titik ikat di lapangan atau citra yang sudah terkoreksi.
b) Pemotongan citra wilayah studi (subset)
Pemotongan citra dilakukan sesuai dengan lokasi penelitian yang telah
ditentukan berdasarkan pada batas administrasi wilayah kota dan kabupaten di
Provinsi Jambi. Citra terkoreksi kemudian di potong menggunakan Area of
Interest (AoI).
c) Klasifikasi Citra Terbimbing (Supervised Classification)
Tahap klasifikasi ini diperlukan untuk mengetahui sebaran dan luas tipe
penutupan lahan wilayah studi berdasarkan kategori kelas yang diinginkan.
Sistem klasifikasi untuk membuat kelas tutupan lahan menggunakan sistem
klasifikasi Maximum Likelihood Classification (MLC). Satu hal yang khusus
saat penentuan area contoh untuk area perkebunan kelapa sawit diambil area
contoh dengan tiga pertumbuhan berbeda yaitu sawit muda (15 tahun). Tiga area contoh ini digabungkan menjadi
satu definisi tutupan lahan sebagai area perkebunan sawit karena memiliki
kenampakan rona citra yang berbeda.
d) Survei Lapang (Ground Truth Check)
Survei lapang ini pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan validasi kondisi
lapang dan perubahan penutupan lahan. Lokasi survei yang mewakili kelas
penutupan lahan dilakukan pencatan koordinat dengan bantuan GPS yang
kemudian akan diverifikasi dengan data citra.
Adapun tahapan pengolahan citra landsat tersebut diilustrasikan seperti pada
Gambar 4.
Koreksi Geometri
Pemilihan Daerah Studi
(Subset Image)
Citra Hasil Koreksi
Klasifikasi Citra Terbimbing
(Supervised Classification)
Akurasi
Survei Lapang
(Ground Truth Check)
Gambar 4 Tahapan Pengolahan Citra Landsat
Setelah proses klasifikasi kemudian menghitung tingkat akurasi hasil
klasifikasi. Akurasi sering dianalisis dengan suatu matriks kontingensi yaitu
matriks bujur sangkar yang membuat jumlah piksel yang diklasifikasi, sering juga
disebut sebagai error matrix atau confusion matrix. Akurasi klasifikasi biasanya
13
diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara benar dibagi
dengan jumlah total piksel yang digunakan (jumlah piksel yang terdapat di dalam
diagonal matrik dengan jumlah seluruh piksel yang digunakan). Metode akurasi ini
menguji akurasi (kualitas) area contoh yang dibuat dan dengan kemampuan
algoritma klasifikasi menghasilkan klasifikasi tutupan lahan namun hanya lingkup
area contoh yang dibuat oleh operator. Pengujian tingkat akurasi keseluruhan
(overall accuracy) dengan terlebih dahulu menghitung nilai producer’s accuracy
(PA) dan user’s accuracy (UA) persamaan PA dan UA adalah sebagai berikut:
���
�� =
�
%
��+
���
�� =
�
%
�+�
Uji akurasi dengan metode penghitungan producer’s accuracy (PA), user’s
accuracy (UA) dan overall accuracy dinilai over estimate oleh karena itu
dikembangkan metode penghitungan lain yaitu penghitungan akurasi Kappa.
Akurasi Kappa ini lebih relevan karena mempertimbangkan semua sel yang ada
pada matriks dan kesalahan dihitung dengan mempertimbangkan ommision dan
commission error-nya. Persamaan akurasi Kappa adalah sebagai berikut:
� ∑��= ��� − ∑��= ��+ �+�
×
%
�=
� − ∑ ��+ �+�
Keterangan:
� : Koefisien akurasi
Xi+ : Jumlah piksel pada baris yang sama
Xii : Jumlah piksel pada kelas yang bersangkutan
N : Jumlah piksel secara keseluruhan
X+i : Jumlah piksel pada kolom yang sama
Adapun confusion matrix untuk mengolah nilai akurasi (overall accuracy dan
kappa accuracy) tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Matriks Konfusi
Data
Referensi
A
B
C
D
...
Jumlah
User’s
accuracy
Kelas Klasifikasi
A
X11
X21
X31
X41
B
X12
X22
X32
X42
C
X13
X23
X33
X43
D
X14
X24
X34
X44
X+1
X+2
X+3
X+4
X11/X+1
X22/X+2
X33/X+3
Jumlah
Producer’s
accuracy
X1+
X2+
X3+
X4+
X11/X1+
X22/X2+
X33/X3+
X44/X4+
...
X44/X+4
Analisis Pola Perubahan Tutupan Lahan
Pada proses ini akan dihasilkan empat peta klasifikasi tutupan lahan dan
perubahan lahan. Setiap hasil klasifikasi tersebut dilakukan perhitungan luas area
dan persentase perubahan jenis tutupan lahan seperti pada Tabel 7. Tipe tutupan
lahan dibagi menjadi sembilan kelas yaitu lahan terbuka, badan air (sungai, kolam
dan danau), hutan, kebun campuran, sawit (sawit muda sampai sawit tua), lahan
terbangun (pusat kota, jalan, bangunan, dan pemukiman), semak, awan, dan karet.
Fokus pembahasan dalam pola perubahan lahan yang dimaksud disini adalah
perubahan dari hutan menjadi sawit, hutan menjadi lahan terbangun, dan hutan
menjadi lahan terbuka.
14
Tabel 7. Luas area klasifikasi jenis tutupan lahan
Jenis Tutupan
Lahan
Lahan terbuka
Badan air
Hutan
Kebun campuran
Sawit
Lahan terbangun
Semak
Awan
Karet
1988
Luas (ha)
%
1994
Luas (ha)
%
2004
Luas (ha)
%
2014
Luas (ha)
%
Analisis Faktor Penggerak Perubahan Tutupan Lahan dengan Regresi
Logistik
Menurut Yu et al. (2014) bahwa lingkungan alam, pengelolaan tata guna
lahan, dan faktor sosial ekonomi merupakan faktor penggerak utama yang biasanya
terjadi dalam kasus perubahan tata guna lahan. Variabel yang dipilih dalam
penelitian ini dilakukan dengan pendekatan metode enter, variabel tersebut adalah
jarak dari jalan, jarak dari sawit terdekat, kemiringan lahan, jarak dari sungai,
ketinggian tempat, dan jarak dari pemukiman.
Regresi logistik memiliki kelebihan dalam analisis statistik untuk
mengetahui hubungan empiris antara variabel dependen dan independen
(McCullagh dan Nedler 1989 dalam Kurnianti 2015) yang mendeskripsikan
hubungan antara peubah respon yang memiliki dua kategori atau lebih dengan satu
atau lebih peubah penjelas berskala kategori atau interval. Variabel dependen dalam
model regresi logistik merupakan fungsi probabilitas perubahan penggunaan lahan
berdasarkan skor/bobot variabel independen yang mempengaruhi perubahan
penggunaan lahannya. Skor/bobot variabel independen dalam model regresi
logistik biner adalah 1 untuk lahan yang mengalami perubahan dan nilai 0 untuk
lahan yang tidak mengalami perubahan. Pendekatan model yang digunakan adalah
MLE (Maximum Likelihood Estimation) dan persamaan model dari binary
regression model (Achmad et al. 2015; Eastmen 2012; Deng et al. 2016; Keng dan
Homathevi 2012):
Logit (Y) = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ... + biXn
Keterangan:
Y= Variabel dependent
X = Variabel independent
a = Konstanta
bi = Koefisien variabel independent ke i, untuk 1,2,3,... p
Persamaan regresi logistik ini dibangun dengan menggunakan data 1994 dan
2004, yang mana variabel Y1 sebagai perubahan hutan menjadi sawit, Y2 hutan
menjadi lahan terbangun, dan Y3 perubahan hutan menjadi lahan terbuka.
Sedangkan variabel bebas yang digunakan antara lain jarak dari jalan, jarak dari
sawit terdekat, kemiringan lahan, jarak dari jaringan sungai, ketinggian tempat, dan
jarak dari pemukiman (Lampiran 2). Diantara variabel-variabel tersebut yang
tergolong variabel dinamis dan digunakan untuk prediksi model selanjutnya adalah
X1, X2, dan X6. Variabel-variabel yang digunakan dalam regresi logistik disajikan
pada Tabel 8.
15
Tabel 8. Variabel dalam analisis regresi logistik biner
Variabel Y1
Y1 Hutan menjadi sawit
Variabel X
X1 Jarak dari jalan
X2 Jarak dari sawit
X3 Kemiringan lahan
X4 Jarak dari sungai
X5 Ketinggian tempat
X6 Jarak dari pemukiman
Status Perubahan
0 Tidak berubah; 1 Berubah
Analisis
Satuan
Resolusi
Euclidian distance
kilometer
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
persen
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
mdpl
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Variabel Y2
Y2 Hutan menjadi lahan terbangun
Variabel X
X1 Jarak dari jalan
X2 Jarak dari sawit
X3 Kemiringan lahan
X4 Jarak dari sungai
X5 Ketinggian tempat
X6 Jarak dari pemukiman
Status Perubahan
0 Tidak berubah; 1 Berubah
Analisis
Satuan
Resolusi
Euclidian distance
kilometer
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
persen
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
mdpl
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Variabel Y3
Y3 Hutan menjadi lahan terbuka
Variabel X
X1 Jarak dari jalan
X2 Jarak dari sawit
X3 Kemiringan lahan
X4 Jarak dari sungai
X5 Ketinggian tempat
X6 Jarak dari pemukiman
Status Perubahan
0 Tidak berubah; 1 Berubah
Analisis
Satuan
Resolusi
Euclidian distance
kilometer
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
persen
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
mdpl
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Adapun langkah mendapatkan variabel Y (Y1, Y2, dan Y3) di dalam IDRISI
Selva adalah sebagai berikut:
1. Masuk ke dalam image calculator dalam IDRISI, lalu pilih mode logical
ekspression
2. Masukkan peta tutupan lahan tahun 1994 di dalam Expression to process –
dengan ekspresi logika: [image1994.rst]=3. Dalam hal ini angka 3 tersebut
menunjukkan kelas tutupan lahan sebagai hutan. Simpan data sebagai
1994_3.rst
3. Masukkan peta tutupan lahan tahun 2004 di dalam Expression to process –
dengan ekspresi logika: [image2004.rst]=5. Dalam hal ini angka 5 tersebut
menunjukkan kelas tutupan lahan sebagai sawit. Simpan data sebagai
2004_5.rst
4. Y1 sebagai variabel dependent didapatkan dalam Expression to process –
dengan ekspresi logika: [1994_3.rst]AND[2004_5.rst]. Simpan data sebagai Y1.
Ulangi langkah diatas untuk mendapatkan Y2 dan Y3 di dalam logical
ekspression.
Sedangkan langkah untuk mendapatkan variabel X (X1 sampai X6) dengan
menggunakan ArcGIS adalah sebagai berikut:
1. Data dalam format .shp dianalisis dengan Euclidian distance melalui Spatial
Analyst Tool, Distance, kemudian Euclidian distance.
2. Lakukan proses yang sama untuk semua data variabel X.
16
3. Export hasil Euclidian distance menjadi format ASCII supaya dapat terbaca
dan diproses dalam IDRISI Selva.
4. Buka software IDRISI dan import semua data ASCII diatas menjadi data
format .rst dengan perintah Arcraster.
Penilaian ROC
Langkah selanjutnya adalah validasi model regresi logistik. Menurut Achmad
et al. (2015), uji validasi yang digunakan untuk mengukur hubungan antara
perubahan simulasi dan aktual yaitu dengan nilai ROC (Relative Operating
Characteristic). ROC merupakan indikator penilaian goodness of fit dan mengukur
area di bawah kurva yang berhubungan dengan proporsi positif benar dan proporsi
positif salah pada selang nilai cut-off dalam peta p
TERHADAP DIVERSITAS LANSKAP DI KABUPATEN BATANGHARI
PROVINSI JAMBI
ATIK NURWANDA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Proyeksi Perubahan Tutupan
Lahan dan Dampaknya Terhadap Diversitas Lanskap di Kabupaten
Batanghari Provinsi Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Atik Nurwanda
A451130161
RINGKASAN
ATIK NURWANDA. Proyeksi Perubahan Tutupan Lahan dan Dampaknya
Terhadap Diversitas Lanskap di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Dibimbing
oleh ALINDA FITRIANY MALIK ZAIN dan ERNAN RUSTIADI.
Indonesia saat ini tengah terancam oleh kegiatan konversi lahan menjadi
perkebunan monokultur, yaitu ekspansi besar perkebunan kelapa sawit. Konversi
lahan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit menjadi isu besar yang menggiring
tantangan kritis dalam perencanaan untuk pembangunan berkelanjutan dimasa yang
akan datang. Pendekatan citra satelit dengan multi temporal dan teknik deteksi
perubahan digital membantu dalam memahami perubahan pemanfaatan dan tutupan
lahan. Informasi jejak temporal perubahan lahan menyediakan arahan dan dapat
digunakan sebagai panduan untuk mengidentifikasi isu, masalah, dan panduan
untuk perencanaan lanskap.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola perubahan tutupan lahan
dari 1988 sampai 2014, menganalisis faktor pendorong perubahan tutupan lahan,
membangun model prediksi tutupan lahan tahun 2024, dan menganalisis indeks
diversitas dan fragmentasi lahan. Bahan yang digunakan yaitu citra landsat tahun
1988, 1994, 2004, dan 2014 kemudian dilakukan klasifikasi lahan dengan
klasifikasi terbimbing. Selanjutnya metode regresi logistik biner digunakan untuk
menganalisis faktor pendorong perubahan lahan. Persamaan regresi logistik ini
dibangun dengan data 1994 dan 2004, variabel Y1 sebagai perubahan hutan
menjadi sawit, Y2 hutan menjadi lahan terbangun, dan Y3 hutan menjadi lahan
terbuka. Sedangkan variabel bebasnya adalah jarak dari jalan (X1), jarak dari
perkebunan sawit (X2), kemiringan lahan (X3), jarak dari sungai (X4), ketinggian
tempat (X5), dan jarak dari pemukiman (X6). Kemudian untuk menghitung tingkat
diversitas dan fragmentasi lahan yaitu dengan Shannon’s Diversity Index (SDI) and
Largest Patch Index (LPI).
Pada tahun 2024 perkebunan kelapa sawit akan terus meluas hingga
137023,02 hektar, sedangkan luas hutan tersisa 114476,22 hektar. Persamaan logit
yang dihasilkan yaitu Y= -0.14 – 0,0800*X1 – 0,07360*X2 + 0,02468*X3 +
0,44584*X4 – 0,02382*X5 + 0,02769*X6. Model logit ini memiliki nilai ROC
0,8806, dan nilai ini cukup tinggi. Berdasarkan tren yang ada, perubahan tutupan
lahan akan terkonsentrasi di Kecamatan Mersam, Pemayung, dan Tembesi.
Disamping itu, hutan yang ada akan semakin terancam dan tingkat fragmentasi
lahan tertinggi terjadi di Kecamatan Mersam, Marosebo Ulu, dan Tembesi.
Kata kunci: fragmentasi, LUCC, model, penginderaan jauh, prediksi
SUMMARY
ATIK NURWANDA. Land Cover Change Projection and Its Effect to The
Landscape Diversity in Batanghari Regency Jambi Province. Supervised by
ALINDA FITRIANY MALIK ZAIN and ERNAN RUSTIADI.
Indonesia is currently being threatened by the activities of land conversion to
monoculture, which is a major expansion of oil palm plantations. Land conversion
and expansion of oil palm plantations is a major issue that leads critical challenges
in planning for future sustainable development. Multi-temporal satelite imagery and
digital change detection technique help in understanding land use-cover change
(LUCC). The information of LUCC provide the direction and can be used as
guidelines to identify issues, problems, and guidelines for landscape planning.
The aims of this study are to analyze the pattern of land use-cover changes
with long temporal scale (1988 - 2014), to analyze driving force of land use changes,
to forecast land cover in 2024, and to analyze the diversity and fragmentation index.
To analyzed the land cover change, several Landsat Images (1988, 1994, 2004, and
2014) were employed, and a supervised classification method has been employed
using maximum likelihood technique. Logistic regression equation was built by the
data in 1994 and 2004, the variable Y1 (forest become palm oil plantation), variable
Y2 (forest become built-up area), and variable Y3 (forest become open land). While
the independent variables are distance from road (X1), distance from palm oil
plantation (X2), slope (X3), distance from river (X4), elevation (X5), and distance
from settlement (X6). To measure the diversity index and land fragmentation used
Shannon’s Diversity Index (SDI) and Largest Patch Index (LPI).
The results showed that in 2024 oil palm plantation will continue grow up to
137023.02 hectars, meanwhile the rest of forest is 114476.22 hectars. Logit Y= 0.14 – 0.0800*X1 – 0.07360*X2 + 0.02468*X3 + 0.44584*X4 – 0.02382*X5 +
0.02769*X6. This model has ROC value 0.8806, it indicates goodness of fit is high
enough. According to trend LUCC, land changes will be concentrated in Mersam
and Tembesi. Beside that, forest will progressively be threatened and the highest
land fragmentation occur in Mersam, Marosebo Ulu, and Tembesi.
Keywords: forecasting, fragmentation, LUCC, model, remote sensing
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PROYEKSI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN DAMPAKNYA
TERHADAP DIVERSITAS LANSKAP DI KABUPATEN BATANGHARI
PROVINSI JAMBI
ATIK NURWANDA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak November 2014 ini ialah perubahan lahan dan
pemodelan, dengan judul Proyeksi Perubahan Tutupan Lahan dan Dampaknya
Terhadap Diversitas Lanskap di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Alinda Fitriany Malik Zain, MSi
dan Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr sebagai pembimbing yang telah banyak memberi
saran dan arahannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Keluarga Bapak Joko dan Ayu, Bapak Taufik, Affandi, dan David Warisman serta
seluruh pihak yang telah membantu penulis selama pengumpulan data dan
penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga atas segala do’a dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
Atik Nurwanda
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
vii
viii
ix
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kerangka Pemikiran
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
2
2
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Resolusi Citra
Karakteristik Citra Satelit
Pemodelan Spasial
Proyeksi Penggunaan Lahan dengan CA-Markov
Diversitas
4
4
4
5
8
8
9
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan
Analisis Data
10
10
10
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Situasional Wilayah Studi
Status Izin Perkebunan Kelapa Sawit
Akurasi Hasil Klasifikasi Lahan
Analisis Perubahan Tutupan Lahan
Model Regresi Logistik
Akurasi Model Tahun 2014
Model Prediksi Tutupan Lahan 2024
Tren Perubahan Tutupan Lahan 2024
Diversitas dan Fragmentasi Lahan
18
18
20
22
22
27
31
33
35
36
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
38
38
39
DAFTAR PUSTAKA
39
RIWAYAT HIDUP
51
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Saluran dan panjang gelombang Landsat 7
Saluran dan panjang gelombang Landsat 8
Saluran sensor dan panjang gelombang pada SPOT-5
Deskripsi alat dan bahan yang digunakan pada penelitian
Matriks Konfusi
Luas area klasifikasi jenis tutupan lahan
Variabel dalam analisis regresi logistik biner
Standar Indeks Shannon-Wiener
Wilayah administrasi dan jumlah penduduk
Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Bantanghari
Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit Perusahaan tahun 2014
Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Tahun 2014
Luas Kelas Tutupan Lahan Kabupaten Batanghari
Hasil analisis regresi logistik
Luas Tutupan Lahan Kabupaten Batanghari Tahun 2024
Nilai Perubahan LPI
6
6
7
11
13
14
15
18
19
20
21
22
27
27
35
37
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Kerangka Pemikiran
Lokasi Penelitian
Tahapan Umum Penelitian
Tahapan Pengolahan Citra Landsat
Diagram Alir Analisis Prediksi Tutupan Lahan Tahun 2024
Sample plot diversitas lahan
Peta Administrasi Kabupaten Batanghari
Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Batanghari
Peta Tutupan Lahan Tahun 1988
Peta Tutupan Lahan Tahun 1994
Peta Tutupan Lahan Tahun 2004
Peta Tutupan Lahan Tahun 2014
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Sawit (1994-2004)
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbangun (1994-2004)
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbuka (1994-2004)
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Sawit Tahun 2014
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbangun Tahun 2014
Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbuka Tahun 2014
Peta Prediksi Tutupan Lahan Tahun 2024
Tren Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2024
Peta Proyeksi Lahan Terkonversi Sawit 2024
Perubahan Nilai SDI
Jumlah Patch Kelas Tutupan Hutan Dalam Sample Plot SDI
Tren perubahan LPI per Kecamatan
3
10
11
12
16
17
19
20
23
24
25
26
28
29
30
32
32
33
34
35
36
36
37
38
DAFTAR LAMPIRAN
1 Visualisasi Kondisi Eksisting Lapangan
2 Data Raster Variabel Bebas
3 Overall Accuracy dan Kappa Acuracy
4 Kenampakan Citra Landsat 8 OLI 2014, RGB 654
5 Matriks Probabilitas Markov
42
45
46
48
50
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia saat ini tengah terancam oleh kegiatan konversi lahan menjadi
perkebunan monokultur (Villamor et al. 2014), yaitu ekspansi besar perkebunan
kelapa sawit (Tarigan et al. 2015) yang berakibat pada tingginya tingkat kehilangan
kawasan hutan (Potter 2015). Indonesia juga telah dinobatkan sebagai negara
dengan tingkat deforestrasi kedua tertinggi setelah Brazil (Margono et al. dalam
Villamor 2014). Di Indonesia area konsesi perkebunan kelapa sawit tersebut paling
banyak terjadi yaitu di Kalimantan dan Sumatera (Potter 2015), serta dibangun pada
kawasan hutan dan belukar (Tarigan et al. 2015). Akibat konversi menjadi lahan
sawit maka akan rentan terhadap kebakaran (Miettin dan Soo 2009), dan proses
perubahan tutupan lahan akan menyebabkan fragmentasi lanskap (Liu et al. (2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit terus
mengalami peningkatan dari 7,8 juta hektar pada tahun 2010 (Tarigan et al. 2015),
10 juta hektar pada tahun 2015 (Potter 2015), dan potensi ekspansi akan terus
meningkat hampir mendekati 20 juta hektar pada tahun 2020 (Rist et al. 2010;
Potter 2015). Bencana kebakaran baik secara alami ataupun unsur kesengajaan
untuk percepatan pertumbuhan lahan perkebunan kelapa sawit, sehingga bencana
kebakaran dan asap beberapa dekade terahir ini sudah menjadi pusat perhatian
sebagai bencana nasional, bahkan internasional (Nurdiana dan Idung 2015).
Menurut USDA-FAS (2009) dalam Rist et al. (2010) saat ini ekspansi perkebunan
kelapa sawit di pulau Sumatera mencapai 80% total produksi Indonesia dan
ekspansi tersebut sudah merambah ke area terpencil yang terjadi di Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua. Konsekuensinya akan berdampak terhadap hilangnya atau
menurunnya tingkat biodiversitas (Liu et al. 2009; Nurdiana&Idung 2015; Villamor
et al. 2014). Disisi lain, ekspansi ini juga di dorong oleh kebijakan pemerintah
meningkatkan kapasitas produksi biodisel dari 600 juta liter menjadi tiga miliar liter
minyak sawit (Rist at al. 2010). Mengutip dari pernyataan Peres et al. (2010) bahwa
ekspansi pertanian baik untuk pasar lokal, nasional ataupun international
merupakan pendorong terbesar terhadap kasus perubahan lahan dan deforestrasi.
Cepat dan masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk biodisel ini menjadi
pusat perhatian terhadap tingkat biodiversitas, habitat alam, dan juga iklim global.
Didukung oleh pernyataan Wilcove dan Lian (2010) bahwa perkebunan kelapa
sawit dan perubahan lahan (Fox dan John 2005) merupakan ancaman terbesar
terhadap biodiversitas khususnya di Asia Tenggara, hal ini berarti termasuk juga
Indonesia.
Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi merupakan salah satu kasus wilayah
yang mengalami pola-pola perubahan transformasi lahan dari kawasan hutan areal
perkebunanan kelapa sawit. Selain itu, wilayah ini juga erat dengan konflik
kepemilikan lahan (Sita 2014) antara masyarakat, perusahaan, dan kebijakan
restorasi kawasan. Seiring dengan transformasi perubahan tutupan lahan yang
terjadi di wilayah studi, maka akan terjadi fragmentasi akibat aktivitas manusia
yang secara intensif (Peres et al. 2010). Dalam rangka penataan ruang dan
mengendalikan penataan ruang, oleh karena itu perlu adanya pemantauan spasial
perubahan tutupan lahan dan kesesuaian pemanfaatan ruang serta penurunan tingkat
2
diversitasnya khususnya diversitas lanskap yang menjadi kunci utama penyangga
biodiversitas.
Rekam jejak perubahan lahan dalam jangka panjang memberikan arahan
dan dapat dijadikan pedoman untuk mengidentifikasi isu, masalah, dan panduan
untuk perencanaan lanskap. Ketidaktetapan penggunaan lahan dan kecenderungan
perubahan yang terus menerus disebabkan oleh tekanan yang menuntut kebutuhan
lahan untuk pengembangan sektor ekonomi, industri, dan jasa. Perubahan
penggunaan lahan yang terus terjadi ini apabila dimodelkan secara spasial
berdasarkan pola perubahannya, maka akan memudahkan meraih informasi untuk
merencanakan suatu lanskap dan proyeksi perubahan lahan di masa yang akan
datang. Dengan demikian antisipasi pencegahan terhadap penurunan kualitas
lingkungan dan diversitas dapat dilakukan dengan tepat sesuai permasalahan yang
telah diprediksi sebelumnya.
Dalam rangka penataan ruang dan mereduksi hilangnya diversitas lanskap,
pemodelan spasial dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan analisis
keruangan yang mempermudah perencanaan penggunaan lahan. Pendekatan sistem
dengan analisis penginderaan jauh terhadap perubahan tutupan lahan dan
pemodelan yang diintegrasikan dengan SIG mampu mengatasi dimensi spasial dan
temporal. Menurut Estoque dan Yuji (2012) tekhnik tersebut dapat memfasilitasi
analisis eksplorasi dalam memahami dampak potensial akibat dari perubahan
tutupan lahan di waktu yang akan datang. Diharapkan dengan pendekatanpendekatan tersebut mampu memecahkan permasalahan yang ada,
mengidentifikasi faktor-faktor utama perubahan lahan, dan menyajikan hasil model
prediksi secara spasial.
Perumusan Masalah
Perlunya pemantauan perubahan tutupan lahan secara spasial dan temporal
di Kabupaten Batanghari. Konversi lahan yang terus terjadi akan mengakibatkan
semakin berkurangnya kawasan hutan dan diversitas lanskap yang tertransformasi
menjadi perkebunanan sawit. Pola perubahan yang telah terjadi selama ini perlu
dikaji faktor-faktor yang menyebabkan perubahan lahan, memprediksi perubahan
tutupan lahan di masa yang akan datang sebagai upaya pemantauan pemanfaatan
ruang.
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
4.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Mendeteksi perubahan penutupan lahan secara spasial dan temporal (19882014),
Menganalisis faktor pendorong perubahan tutupan lahan,
Membangun model prediksi perubahan tutupan lahan pada tahun 2024, dan
Menganalisis tingkat diversitas dan fragmentasi lahan.
Kerangka Pemikiran
Perubahan penggunaan lahan memiliki sebab akibat dari berbagai aspek yaitu
aspek sosial (jumlah penduduk), ekonomi (perkembangan ekonomi), politik
(kebijakan politik pemerintah), dan biofisik (bencana alam). Pendekatan perubahan
3
spasial menjadi dasar pertimbangan pemodelan yang sangat sesuai untuk
menganalisis karakteristik, pola dan kecenderungan sistem perubahan, dan faktorfaktor peubah perubahan tutupan lahan. Hal ini diharapkan mampu memprediksi
pola perubahan tutupan lahan dan fragmentasi lahan yang terjadi dengan mengacu
pada diversitas tutupan lahan. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Kab. Batanghari
-
Potensi Perubahan dan
Transformasi Lanskap
Pola dan Karakteristik
Perubahan Tutupan Lahan
Aspek Ekonomi
Aspek Sosial
Aspek Fisik Biofisik
Aspek Kebijakan
Penurunan Tingkat
Diversitas
REMOTE SENSING
Pendekatan Perubahan Spasial
Pendekatan Time Series
Sifat Model:
Basis Spasial
Sifat Model:
Peluang Perubahan
Driving Force Perubahan Tutupan
Lahan
Indeks Diversitas
SDI dan LPI
Karakteristik Pola Perubahan dan
Model Prediksi Spasial
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan
kebijakan tata ruang terutama dalam pengawasan perubahan tutupan lahan,
pembukaan lahan ilegal, dan pencegahan kawasan hutan yang terancam hilang.
Selain itu memberikan masukan kepada pihak pemerintah daerah dalam menyusun
konsep pengembangan tataguna lahan.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dan batasan penelitian ini adalah:
1. Ruang lingkup wilayah penelitian yaitu wilayah administrasi Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi.
2. Kajian yang diamati meliputi pola perubahan tutupan lahan berdasarkan
periode waktu yang berbeda, faktor pendorong perubahan tutupan lahan,
prediksi perubahan tutupan lahan, dan tren perubahan tingkat diversitas dan
fragmentasi lahan.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah
dikenal di Amerika Serikat sekitar tahun 1950-an, kemudian tahun 1970-an istilah
ini diperkenalkan di beberapa negara eropa seperti teledetection (Perancis),
teleperception (Spanyol), dan fernenkundung (Jerman). Menurut American Society
of Photogrammetry (1983) dalam Jaya (2014), remote sensing diterjemahkan
sebagai ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi suatu obyek atau
fenomena, menggunakan suatu alat perekaman dari kejauhan, dimana pengukuran
dilakukan tanpa melakukan kontak langsung secara fisik dengan obyek atau
fenomena yang diukur.
Analisis spasial dalam remote sensing merupakan kegiatan penguraian data
serta hubungannya antar komponen data itu sendiri, dalam hal ini adalah nilai
kecerahan (Brightness Value) atau digital number (Digital Number). Kegiatan
analisis dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan pengolahan citra (image
processing). Dikatakan data digital karena data yang diolah adalah data numerik
yang besarannya dinyatakan dengan bit. Semakin besar bit-nya, maka semakin
banyak kemungkinan kandungan informasi yang ada di dalamnya. Remote sensing
saat ini telah mendapat perhatian besar karena dapat memperoleh struktur data
secara efektif dalam skala lanskap (Ren et al. 2015), juga memiliki peranan penting
dalam pemetaan transformasi perubahan tutupan lahan dan mengidentifikasi faktor
pendorong untuk pemodelan (Achmad et al. 2015).
Resolusi Citra
Di dalam remote sensing sangat penting untuk memahami istilah resolusi
diantaranya resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi
temporal. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature)
permukaan bumi yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan di sekitarnya atau
yang ukurannya bisa diukur. Skala pada data citra pemotretan udara remote sensing
adalah fungsi dari panjang gelombang fokus dan tinggi terbang. Grain film yang
halus memberikan detail obyek yang lebih banyak (resolusi lebih tinggi)
dibandingkan grain yang kasar. Demikian pula skala yang lebih besar memberikan
resolusi yang lebih tinggi.
Resolusi spasial dari citra non fotografik (yang tidak menggunakan film)
ditentukan berdasarkan dengan beberapa cara, diantaranya yang paling umum
digunakan adalah berdasarkan dimensi dari instantaneous field of view (IFOV) yang
diproyeksikan ke bumi. IFOV ini merupakan fungsi dari detektor, tinggi sensor, dan
optik. Pada sensor digital seperti pada generasi Landsat dan SPOT, sensor merekam
kecerahan (brightness value) semua obyek yang ada di dalam IFOV. Brightness
adalah jumlah radiasi yang dipantulkan atau diemisikan dari permukan bumi.
Dengan kata lain IFOV adalah suatu areal pada suatu permukaan bumi dalam
gabungan atau campuran brightness suatu permukaan yang diukur. Akan tetapi
ukuran piksel bisa lebih kecil atau lebih besar dari ukuran IFOV, tergantung dari
bagaimana brightness value tersebut direkam oleh sensor. Perlu diperhatikan bahwa
resolusi spasial dari suatu sistem cocok untuk suatu kepentingan tertentu sehingga
5
obyek di permukan bumi tidak hanya bisa dideteksi namun juga bisa diidentifikasi
dan dianalisis (Jaya 2014).
Resolusi spektral adalah dimensi atau jumlah daerah panjang gelombang
yang dimiliki oleh sensor. Potret hitam-putih mempunyai resolusi yang lebih rendah
yaitu antara 0,4µm – 0,7 µm dibandingkan dengan Landsat TM band 3 yaitu 0,63
µm – 0,69 µm. Dengan jumlah band yang lebih banyak maka pemakai atau peneliti
dapat memilih kombinasi yang terbaik sesuai dengan tujuan dari analisis untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Landsat TM mempunyai 7 band dengan lebar
setiap band-nya yang sempit tetapi rentang band yang digunakan lebar mulai dari
band biru sampai dengan band termal, sedangkan SPOT mempunyai 4 band
dengan rentang dari band hijau sampai dengan inframerah sedang, ini berarti bahwa
TM mempunyai resolusi spektral yang lebih baik dibandingkan SPOT.
Menurut Jaya (2014) resolusi radiometrik merupakan ukuran sensitivitas
sensor untuk membedakan aliran radiasi yang dipantulkan atau diemisikan dari
suatu obyek pemukaan bumi. Sebagai contoh, radian pada panjang gelombang 0,6
– 0,7 µm akan direkam oleh sensor detektor MSS band 5 dalam bentuk voltage.
Kemudian analog voltage ini direkam setiap interval waktu tertentu (contoh untuk
MSS adalah 9,958 x 10-6 detik) dan selanjutnya dikonversi menjadi nilai integer
yang disebut bit. MSS band 4, 5, dan 7 dikonversi ke dalam 7 bit (27=128), sehingga
akan menghasilkan 128 nilai diskrit antara 0 sampai 127. Generasi kedua data satelit
seperti TM, SPOT, dan MESSR mempunyai resolusi radiometrik 8 bit dengan nilai
interger 0 sampai 255.
Resolusi temporal menjadi sangat penting dalam pertimbangan ketika
penginderaan jauh yang dibutuhkan dalam rangka pemantauan atau deteksi
permukaan bumi yang terkait dengan variasi waktu atau musim. Resolusi temporal
ini dapat diartikan interval waktu yang dibutuhkan oleh satelit untuk merekam areal
yang sama, atau waktu yang dibutuhkan oleh satelit untuk menyelesaikan seluruh
siklus orbitnya. Misalnya pada landsat mempunyai ulangan 16 hari, SPOT 26 hari,
JERS-1 44 hari, NOAA AVHHR 1 hari dan IRS 22 hari (Jaya 2014).
Karakteristik Citra Satelit
Sistem Landsat (Land satelite)
Satelit Landsat pertama kali diluncurkan pada tahun 1972 dengan nama
ERTS-1 (Earth Resources Technology Satelite – 1) milik Amerika. Setelah
peluncuran Landsat-1 berhasil, proyek ini dilanjutkan sampai saat ini yaitu satelit
Landsat 8 OLI (Land Satelite Operational Land Imager) yang diluncurkan pada
tanggal 11 Pebruari 2013. Landsat-1 dan Landsat-2 yang merupakan generasi
pertama Landsat memuat dua macam sensor, yaitu RBV (Return Beam Vidicon)
yang terdiri atas 3 saluran RBV-1, RBV-2 dan RBV-3 dengan resolusi spasial 79
meter dan sensor MSS (multispectral scanner) yang terdiri atas 4 saluran MSS-4,
MSS-5, MSS-6 dan MSS-7 dengan resolusi spasial yang sama. Selain itu, Landsat 3
yang juga merupakan generasi pertama dari landsat masih memuat sensor RBV dan
MSS namun saluran RBV dikurangi hingga menjadi satu saluran tunggal dengan
resolusi 40 meter.
Landsat-4 dan Landsat-5 yang merupakan generasi kedua seri landsat, juga
memuat dua sensor dengan mempertahankan sensor MSS namun mengganti sensor
RBV dengan sensor TM (Thematic Mapper). Sensor TM ini meiliki tujuh saluran
6
yang diberi nomor urut 1 sampai dengan 7. Dari ketujuh saluran TM tersebut
terdapat spektrum inframerah termal yaitu pada TM 6 dengan resolusi spasial 120
meter yang berada diantara dua saluran inframerah tengah (middle infra red/MIR)
yang terletak pada TM 5 dan TM 7 dengan resolusi spasial 30 meter. Penggunaan
Landsat TM masih sangat memungkinan untuk melihat struktur tutupan lahan,
hutan kota, indeks vegetasi, tingkat kepadatan kanopi, biomassa (Ren et al. 2015),
dan perhitungan biomassa vegetasi akuatik (Pu et al. 2014).
Landsat 7 yang diluncurkan pada tahun 1999 yang diberi nama Landsat-7
ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) merupakan pengembangan dari Landsat-6
yang membawa sensor TM. Landsat-7 ini memuat 8 band. Band ke-8 merupakan
saluran pankromatik dengan panjang gelombang 0.58 – 0.90 µm dan saluran 6 yang
merupakan spektrum infra merah termal telah dinaikkan resolusi spasialnya
menjadi 60 meter. Secara rinci jenis saluran dan fungsi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Saluran dan panjang gelombang Landsat 7
Deskripsi Saluran/ Band
Band 1 - Blue
Band 2 - Green
Band 3 - Red
Band 4 - Near Infrared
Band 5 - Shortwave infrared
Band 6 - Thermal infrared (60 m)
Band 7 - Shortwave infrared
Band 8 - Panchromatic (15m)
Sumber: Roy et al. (2014)
Panjang Gelombang (µm)
0,45 – 0,52
0,52 – 0,60
0,63 – 0,69
0,77 – 0,90
1,55 – 1,75
10,40 – 12,50
2,09 – 2,35
0,52 – 0,90
Satelit terbaru yang diluncurkan pada 11 Februari 2013 yang diberi nama
Landsat-8 yang membawa dua sensor yaitu sensor OLI (Operational Land Imager)
dan TIRS (Thermal Infrared Sensor), selain itu Landsat-8 mempunyai kemampuan
merekam lebih dari 500 gambar per hari (Roy et al. 2014). Secara rinci jenis saluran
dan deskripsinya dapat dilihatpada Tabel 2.
Tabel 2. Saluran dan panjang gelombang Landsat 8
Deskripsi Saluran/ Band
Band 1 - Blue
Band 2 - Blue
Band 3 - Green
Band 4 - Red
Band 5 - Near infrared
Band 6 - Shortwave infrared
Band 7 - Shortwave infrared
Band 8 - Panchromatic (15m)
Band 9 - Cirrus
Band 10 - Thermal infrared (100 m)
Band 11 - Thermal infrared (100 m)
Sumber: Roy et al. (2014)
Panjang Gelombang (µm)
0,43 – 0,45
0,45 – 0,51
0,63 – 0,59
0,64 – 0,67
0,85 – 0,88
1,57 – 1,65
2,11 – 2,29
0,50 – 0,68
1,36 – 1,38
10,60 – 11,19
11,50 – 12,51
Sistem SPOT (System Probatoire de l’Observation de la Terre)
Sistem SPOT adalah proyek kerja sama antara Prancis, Swedia dan Belgia di
bawah koordinasi CNES (Centre National d’Etudes Spatiales) selaku badan ruang
angkasa Prancis. SPOT-1 diluncurkan pada 23 Februari 1986. Sistem SPOT
membawa dua sensor identik. Sensor tersebut identik karena kedua sensor tersebut
sepenuhnya sama. Sensor tersebut dikenal dengan HRV (Haute Resolution Visible).
SPOT generasi pertama (SPOT-1, SPOT-2 dan SPOT-3), masing-masing
sensor HRV dapat bekerja dalam dua mode yaitu modus multispektral (XS) dan
7
modus pankromatik (P). Modus multispektral terdiri atas 3 saluran: XS1 (0.50 - 0.59
µm), XS2 (0.61 - 0.68 µm) dan XS3 (0,79 - 0,89 µm). Sementara pada modus
pankromatik mempunyai panjang gelombang 0.51 – 0.73 µm. Keunggulan sensor
HRV adalah resolusi spasial yang cukup tinggi. Pada modus multispektral (XS)
dihasilkan citra dengan resolusi spasial 20 meter sedangkan pada modus
pankromatik dihasilkan citra dengan resolusi spasial 10 meter.
SPOT-4 yang merupakan generasi kedua sistem satelit SPOT ini dipasang
saluran spektral yang keempat yang berfungsi pada spektral infra merah tengah
dengan panjang gelombang 1.5 – 1.75 µm. Namun, modus pankromatik yang
sebelumnya dipasangkan pada SPOT generasi pertama sudah dihapuskan pada
SPOT generasi kedua ini. Selain itu, SPOT generasi kedua mempunyai dua
instrumen yaitu HRVIR dan VMI. HRVIR atau high resolution in visible and
infrared merupakan pengembangan instrumen HRV pada SPOT generasi
sebelumnya. Sedangkan sensor VMI atau vegetation monitoring instrument
merupakan instrumen yang dirancang untuk pemantauan vegetasi global. Instrumen
VMI merupakan instrumen independen dengan saluran spektral yang identik dengan
HRVIR dalam hal panjang gelombang.
SPOT-5 yang beroperasi bersama SPOT-4 mengalami penggantian pada
instrumen HRVIR diganti dengan HRG (High Resolution Geometric). Resolusi
spasial yang dimiliki oleh instrumen HRG ini adalah 5 meter pada modus
pankromatik dan resolusi spasial 10 meter pada saluran hijau, merah, dan
inframerah dekat. Berikut ini saluran sensor dan panjang gelombang pada SPOT 5
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Saluran sensor dan panjang gelombang pada SPOT-5
Saluran/ Band
Band 1 - Blue
Band 2 - Green
Band 3 - Red
Band 4 - Shortwave infrared
Panjang Gelombang (µm)
0,50 – 0,59
0,61 – 0,68
0,79 – 0,89
1,58 – 1,75
Resolusi Spasial (m)
10x10
10x10
10x10
20x20
Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classfication)
Data citra digital dengan berbagai kualitas memberikan kesempatan kepada
setiap pengguna untuk mendapatkan informasi sesuai kebutuhan. Untuk
mendapatkan informasi tersebut, pengguna melakukan teknik klasifikasi terhadap
piksel-piksel pada sebuah citra ke bentuk informasi berupa tutupan lahan atau
informasi lainnya (Lillesand et al. 2004). Salah satu teknik klasifikasi yang dapat
digunakan adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification). Danoedoro
(2012) menjelaskan bahwa klasifikasi terbimbing adalah teknik klasifikasi yang
meliputi kumpulan algoritma yang didasari oleh input area contoh oleh operator.
Menurut Richards dan Jia (2006) klasifikasi terbimbing adalah prosedur yang
digunakan untuk analisis kuantitatif data citra penginderaan jauh yang didasarkan
pada penggunaan algoritma yang tepat untuk penamaan piksel yang mewakili jenis
atau kelas tutupan lahan. secara garis besar, klasifikasi terbimbing terdiri dari tiga
tahapan (Lillesand et al. 2004; Richards dan Jia 2006) yaitu (a) pemilihan area
contoh yang merepresentasikan kelas tutupan lahan yang akan diklasifikasikan; (b)
klasifikasi kelas tutupan lahan berdasarkan area contoh; (c) tahap penilaian akurasi
hasil klasifikasi.
8
Pemodelan Spasial
Pemodelan merupakan suatu proses yang dapat berupa simulasi, prediksi
maupun deskripsi. Tujuan dari pembuatan model adalah membantu dalam
pengambilan keputusan ataupun analisis untuk memahami, menggambarkan dan
memperkirakan bagaimana suatu proses bekerja dalam dunia nyata melalui
penyederhanaan fenomena maupun feature. Hasil dari permodelan ini dapat
digunakan untuk mengambil suatu keputusan, melakukan kegiatan ilmiah atau
memberi informasi umum (Jaya 2006).
Berdasarkan proses analisisnya, pemodelan dikelompokkan atas:
1. Pemodelan kartografi (cartographic modeling)
Pada pemodelan ini disarankan untuk membuat diagram alir (flow chart) yang
detail dan perencanaan yang teliti untuk menderivasi data-data yang diharapkan dan
bagaimana cara menggunakannya.
2. Pemodelan simulasi (simulation modeling)
Melakukan simulasi terhadap fenomena yang kompleks dengan menggunakan
kombinasi informasi spasial dan non-spasial. Aspek ini memerlukan keahlian
bagaimana suatu model dibangun. Para ahli dapat menggunakan layer spasial yang
mencakup informasi tentang vegetasi, elevasi, slope, kepemilikan, jalan dan aliran
sungai, selanjutnya dilakukan pembobotan (prioritas layer).
3. Pemodelan prediktif (predictive modeling)
Pada pemodelan ini biasanya menggunakan teknik statistik, umumnya analisis
regresi untuk menyusun suatu model. Tahap pertama adalah mengumpulkan
informasi tentang penomena yang diamati, selanjutnya satu set informasi tersebut
digunakan untuk membangun suatu model dengan melihat masing-masing layer
dari informasi spasial dan masing-masing komponen dari informasi non-spasial.
Proyeksi Penggunaan Lahan dengan CA-Markov
Analisis Markov Chain dapat digunakan untuk memprediksi area transisi dari
perubahan tutupan lahan (Yang et al. 2014), dan memperkirakan perubahanperubahan di waktu yang akan datang dalam variabel-variabel yang dinamis atas
dasar perubahan dari variabel dinamis tersebut di waktu yang lalu (Kurnianti 2015).
Probabilitas transisi matriks ini didapatkan dari dua tutupan lahan dalam waktu atau
tahun yang berbeda. Proses ini bisa didapatkan dalam tool modeler IDRISI Selva.
Matriks transisi markov disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Transisi Matriks Markov Chain
Dari keadaan ke:
1
2
…
i
…
n
1
P11
P22
…
Pi1
…
Pn1
2
P12
P22
…
Pi2
…
Pn2
…
…
…
…
…
…
…
Pindah ke keadaan ke:
…
j
…
P1j
…
P2j
…
…
…
Pij
…
…
…
pnj
…
…
…
…
…
…
…
n
P1n
P2n
Pin
…
…
adalah jumlah keadaan dalam proses dan pij adalah kemungkinan transisi dari
keadaan saat i ke keadaan j. Jika saat ini berada pada keadaan i maka baris i dari tabel di
atas berisi angka-angka pi1, pi2, … , pin merupakan kemungkinan berubah ke keadaan
n
9
berikutnya. Angka tersebut melambangkan kemungkinan sehingga semuanya
melupakan bilangan non negatif dan tidak lebih dari satu.
Dalam menjalankan modeler tersebut harus memenuhi syarat, syarat yang
pertama sistem harus bersifat stationery atau homogen, artinya perilaku sistem
selalu sama disepanjang waktu atau peluang transisi sistem dari suatu kondisi ke
kondisi lainnya akan selalu sama disepanjang waktu. Dengan demikian maka
pendekatan Markov hanya dapat diaplikasikan untuk sistem dengan laju perubahan
yang konstan. Syarat kedua adalah kondisi yang dimungkinkan terjadi pada sistem
harus dapat diidentifikasi dengan jelas. Apakah sistem memiliki dua kondisi yakni
kondisi beroperasi dan kondisi gagal, ataukah sistem memiliki tiga kondisi yaitu
100% sukses, 50% sukses, atau 100% gagal.
Muller and Middleton (1994) memanfaatkan teknik ini dalam mempelajari
dinamika perubahan lahan di Ontario, Kanada. Persamaan Markov Chain dibangun
menggunakan distribusi penggunaan lahan pada awal dan akhir masa pengamatan
yang direpresentasikan dalam suatu vektor (matriks satu kolom), serta sebuah
matriks transisi (transition matrix).
Hubungan ketiga matriks tersebut adalah sebagai berikut:
MLS*Mt= Mt+1
Keterangan:
MLC = Peluang; Mt = Peluang tahun ke t;
Mt+1 = Peluang tahun ke t+1;
Ut = Peluang setiap titik terklasifikasi sebagai kelas U pada waktu t;
LCUA = Peluang suatu kelas lainnya pada rentang waktu tertentu.
Diversitas
Diversitas memiliki banyak definisi dalam literatur berdasarkan kebebasan
peneliti, badan pemerintah, dan organisasi internasional. Ruang lingkup diversitas
dapat diartikan beragamnya bentuk atau peranan ekologi, dan keberagaman genetik.
Diversitas merupakan sejumlah total keberagaman kehidupan, dan kemudian dapat
dibagi menjadi: 1) keragaman genetik, 2) keragaman spesies, 3) keragaman ekologi
atau ekosistem.
Diversitas mengarah kepada keanekaragaman jenis yang terdiri atas dua
komponen, yaitu jumlah jenis yang mengarah pada kekayaan jenis (richness
species) dan kelimpahan jenis yang mengarah kepada kemerataan jenis (eveness
species). Penilaian keanekaragaman jenis dengan menggunakan indeks kemerataan
jenis, dapat digunakan sebagai petunjuk kemerataan dan kelimpahan individu di
antara setiap komunitas. Melalui indeks ini pula dapat dilihat adanya gejala
dominansi yang terjadi antara suatu jenis dalam suatu komunitas. Indeks diversitas
yang sering digunakan yaitu Shannon-Wiener Index:
H= - ∑ [(ni/N) ln (ni/N)]
t=i
disederhanakan menjadi:
s
H= - ∑ pi ln (pi)
t=i
10
Keterangan:
H
= Indeks diversitas Shannon-Wiener
ni
= Jumlah dari jenis tutupan lahan ke-i
pi
= ni/N
N
= Jumlah individu dari semua jenis tutupan lahan
ln
= Logaritma natural (bilangan alami)
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi (Gambar
2). Secara geografis Kabupaten Batangahari berada di posisi 1o15’ Lintang Selatan
sampai 202’ Lintang Selatan dan 102030’ Bujur Timur sampai 104030 Bujur Timur.
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai Agustus 2015.
Proses ground truth check dilaksanakan pada bulan Juni 2015. Titik lokasi
pengamatan saat ground truth check diambil secara purposive random sampling
yang mana setiap kecamatan terobservasi dan ada perwakilan titik contoh untuk
setiap kategori kelas tutupan lahan. Disetiap titik ground truth check yang dicatat
adalah tipe kelas tutupan, koordinat, foto, dan keterangan yang menjelaskan kondisi
riil lapangan. Visualisasi kondisi wilayah studi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 2 Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu Arc GIS 9.3, IDRISI Selva, ERDAS, GPS, Kamera,
dan Ms. Excel. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu citra Landsat, SPOT, Data
11
SRTM, peta jaringan jalan (.shp), dan peta jaringan sungai (.shp). Alat dan bahan
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Deskripsi alat dan bahan yang digunakan pada penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Alat
Arc GIS 9.3
IDRISI Selva
ERDAS
GPS
Kamera
Ms. Excel 2013
Bahan
Citra Landsat
Citra SPOT
Data SRTM
Peta Jaringan Jalan
Peta Jaringan Sungai
Penggunaan
Edit data image dan pemodelan
Pengolahan faktor perubahan lahan dengan regresi logistik
dan prediksi perubahan dengan pendekatan Markov Chain
Pengolahan data citra dan klasifikasi terbimbing
Survei lapang (ground truth check)
Dokumentasi lapang
Pengolahan data tabular dan grafik
Analisis klasifikasi tutupan lahan dan analisis divesritas
tutupan lahan
Identifikasi klasifikasi citra dan validasi kondisi tutupan
lahan saat penilaian akurasi
Analisis regresi logistik biner
Analisis regresi logistik biner
Analisis regresi logistik biner
Analisis Data
Penelitian ini dilakukan dengan analisis spasial penginderaan jauh. Rentang
waktu tahun 1988-2014 dibagi menjadi empat rekam jejak temporal citra (1988,
1994, 2004, dan 2014) untuk kemudian dilakukan analisis klasifikasi tutupan lahan
dan perubahan tutupan lahan – Land Use Cover Change (LUCC). Analisis
berikutnya yaitu analisis faktor pendorong perubahan tutupan lahan dengan metode
binary logistic regression. Kemudian untuk mendapatkan model prediksi tutupan
lahan, dilakukan penggabungan dua metode Regresi Logistik dan Markov Chain.
Kekuatan terbaik transisi matriks Markov adalah memperlihatkan tingkat ramalan
secara spasial (Lopez et al. 2001) dengan kecenderungan untuk berubah
berdasarkan sistem ketetanggan terdekat di kelasnya (Arsanjani et al. 2013),
sedangkan regresi logistik memprediksi berdasarkan faktor hubugan variabel.
Selanjutnya dilakukan analisis tingkat diversitas dan fragmentasi lahan yang terjadi
sebagai dampak dari perubahan tutupan lahan. Tahapan umum penelitian disajikan
pada Gambar 3.
Citra Landsat
(1988, 1994, 2004, 2014)
Hasil Klasifikasi
(1994, 2004, 2014)
Hasil Klasifikasi
(1988, 1994, 2004,
2014)
ANALISIS
Klasifikasi Tutupan
Lahan dan Regresi
Logistik
Analisis Prediksi
Regresi dan Markov
Analisis
SDI dan LPI
OUTPUT
Model Perubahan
Tutupan Lahan dan
Regresi Logistik
Model Prediksi
LUCC Tahun 2024
Nilai Diversitas
SDI dan
Fragmentasi LPI
INPUT
Gambar 3 Tahapan Umum Penelitian
12
Pengelolaan Citra Landsat
a) Pemulihan citra (Image Restoring)
Tahapan ini melakukan perbaikan radiometrik dan geometrik yang bertujuan
untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang disebabkan oleh
gangguan atmosfer atau kesalahan sensor. Perbaikan geometrik dilakukan
dengan mengambil titik-titik ikat di lapangan atau citra yang sudah terkoreksi.
b) Pemotongan citra wilayah studi (subset)
Pemotongan citra dilakukan sesuai dengan lokasi penelitian yang telah
ditentukan berdasarkan pada batas administrasi wilayah kota dan kabupaten di
Provinsi Jambi. Citra terkoreksi kemudian di potong menggunakan Area of
Interest (AoI).
c) Klasifikasi Citra Terbimbing (Supervised Classification)
Tahap klasifikasi ini diperlukan untuk mengetahui sebaran dan luas tipe
penutupan lahan wilayah studi berdasarkan kategori kelas yang diinginkan.
Sistem klasifikasi untuk membuat kelas tutupan lahan menggunakan sistem
klasifikasi Maximum Likelihood Classification (MLC). Satu hal yang khusus
saat penentuan area contoh untuk area perkebunan kelapa sawit diambil area
contoh dengan tiga pertumbuhan berbeda yaitu sawit muda (15 tahun). Tiga area contoh ini digabungkan menjadi
satu definisi tutupan lahan sebagai area perkebunan sawit karena memiliki
kenampakan rona citra yang berbeda.
d) Survei Lapang (Ground Truth Check)
Survei lapang ini pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan validasi kondisi
lapang dan perubahan penutupan lahan. Lokasi survei yang mewakili kelas
penutupan lahan dilakukan pencatan koordinat dengan bantuan GPS yang
kemudian akan diverifikasi dengan data citra.
Adapun tahapan pengolahan citra landsat tersebut diilustrasikan seperti pada
Gambar 4.
Koreksi Geometri
Pemilihan Daerah Studi
(Subset Image)
Citra Hasil Koreksi
Klasifikasi Citra Terbimbing
(Supervised Classification)
Akurasi
Survei Lapang
(Ground Truth Check)
Gambar 4 Tahapan Pengolahan Citra Landsat
Setelah proses klasifikasi kemudian menghitung tingkat akurasi hasil
klasifikasi. Akurasi sering dianalisis dengan suatu matriks kontingensi yaitu
matriks bujur sangkar yang membuat jumlah piksel yang diklasifikasi, sering juga
disebut sebagai error matrix atau confusion matrix. Akurasi klasifikasi biasanya
13
diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara benar dibagi
dengan jumlah total piksel yang digunakan (jumlah piksel yang terdapat di dalam
diagonal matrik dengan jumlah seluruh piksel yang digunakan). Metode akurasi ini
menguji akurasi (kualitas) area contoh yang dibuat dan dengan kemampuan
algoritma klasifikasi menghasilkan klasifikasi tutupan lahan namun hanya lingkup
area contoh yang dibuat oleh operator. Pengujian tingkat akurasi keseluruhan
(overall accuracy) dengan terlebih dahulu menghitung nilai producer’s accuracy
(PA) dan user’s accuracy (UA) persamaan PA dan UA adalah sebagai berikut:
���
�� =
�
%
��+
���
�� =
�
%
�+�
Uji akurasi dengan metode penghitungan producer’s accuracy (PA), user’s
accuracy (UA) dan overall accuracy dinilai over estimate oleh karena itu
dikembangkan metode penghitungan lain yaitu penghitungan akurasi Kappa.
Akurasi Kappa ini lebih relevan karena mempertimbangkan semua sel yang ada
pada matriks dan kesalahan dihitung dengan mempertimbangkan ommision dan
commission error-nya. Persamaan akurasi Kappa adalah sebagai berikut:
� ∑��= ��� − ∑��= ��+ �+�
×
%
�=
� − ∑ ��+ �+�
Keterangan:
� : Koefisien akurasi
Xi+ : Jumlah piksel pada baris yang sama
Xii : Jumlah piksel pada kelas yang bersangkutan
N : Jumlah piksel secara keseluruhan
X+i : Jumlah piksel pada kolom yang sama
Adapun confusion matrix untuk mengolah nilai akurasi (overall accuracy dan
kappa accuracy) tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Matriks Konfusi
Data
Referensi
A
B
C
D
...
Jumlah
User’s
accuracy
Kelas Klasifikasi
A
X11
X21
X31
X41
B
X12
X22
X32
X42
C
X13
X23
X33
X43
D
X14
X24
X34
X44
X+1
X+2
X+3
X+4
X11/X+1
X22/X+2
X33/X+3
Jumlah
Producer’s
accuracy
X1+
X2+
X3+
X4+
X11/X1+
X22/X2+
X33/X3+
X44/X4+
...
X44/X+4
Analisis Pola Perubahan Tutupan Lahan
Pada proses ini akan dihasilkan empat peta klasifikasi tutupan lahan dan
perubahan lahan. Setiap hasil klasifikasi tersebut dilakukan perhitungan luas area
dan persentase perubahan jenis tutupan lahan seperti pada Tabel 7. Tipe tutupan
lahan dibagi menjadi sembilan kelas yaitu lahan terbuka, badan air (sungai, kolam
dan danau), hutan, kebun campuran, sawit (sawit muda sampai sawit tua), lahan
terbangun (pusat kota, jalan, bangunan, dan pemukiman), semak, awan, dan karet.
Fokus pembahasan dalam pola perubahan lahan yang dimaksud disini adalah
perubahan dari hutan menjadi sawit, hutan menjadi lahan terbangun, dan hutan
menjadi lahan terbuka.
14
Tabel 7. Luas area klasifikasi jenis tutupan lahan
Jenis Tutupan
Lahan
Lahan terbuka
Badan air
Hutan
Kebun campuran
Sawit
Lahan terbangun
Semak
Awan
Karet
1988
Luas (ha)
%
1994
Luas (ha)
%
2004
Luas (ha)
%
2014
Luas (ha)
%
Analisis Faktor Penggerak Perubahan Tutupan Lahan dengan Regresi
Logistik
Menurut Yu et al. (2014) bahwa lingkungan alam, pengelolaan tata guna
lahan, dan faktor sosial ekonomi merupakan faktor penggerak utama yang biasanya
terjadi dalam kasus perubahan tata guna lahan. Variabel yang dipilih dalam
penelitian ini dilakukan dengan pendekatan metode enter, variabel tersebut adalah
jarak dari jalan, jarak dari sawit terdekat, kemiringan lahan, jarak dari sungai,
ketinggian tempat, dan jarak dari pemukiman.
Regresi logistik memiliki kelebihan dalam analisis statistik untuk
mengetahui hubungan empiris antara variabel dependen dan independen
(McCullagh dan Nedler 1989 dalam Kurnianti 2015) yang mendeskripsikan
hubungan antara peubah respon yang memiliki dua kategori atau lebih dengan satu
atau lebih peubah penjelas berskala kategori atau interval. Variabel dependen dalam
model regresi logistik merupakan fungsi probabilitas perubahan penggunaan lahan
berdasarkan skor/bobot variabel independen yang mempengaruhi perubahan
penggunaan lahannya. Skor/bobot variabel independen dalam model regresi
logistik biner adalah 1 untuk lahan yang mengalami perubahan dan nilai 0 untuk
lahan yang tidak mengalami perubahan. Pendekatan model yang digunakan adalah
MLE (Maximum Likelihood Estimation) dan persamaan model dari binary
regression model (Achmad et al. 2015; Eastmen 2012; Deng et al. 2016; Keng dan
Homathevi 2012):
Logit (Y) = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ... + biXn
Keterangan:
Y= Variabel dependent
X = Variabel independent
a = Konstanta
bi = Koefisien variabel independent ke i, untuk 1,2,3,... p
Persamaan regresi logistik ini dibangun dengan menggunakan data 1994 dan
2004, yang mana variabel Y1 sebagai perubahan hutan menjadi sawit, Y2 hutan
menjadi lahan terbangun, dan Y3 perubahan hutan menjadi lahan terbuka.
Sedangkan variabel bebas yang digunakan antara lain jarak dari jalan, jarak dari
sawit terdekat, kemiringan lahan, jarak dari jaringan sungai, ketinggian tempat, dan
jarak dari pemukiman (Lampiran 2). Diantara variabel-variabel tersebut yang
tergolong variabel dinamis dan digunakan untuk prediksi model selanjutnya adalah
X1, X2, dan X6. Variabel-variabel yang digunakan dalam regresi logistik disajikan
pada Tabel 8.
15
Tabel 8. Variabel dalam analisis regresi logistik biner
Variabel Y1
Y1 Hutan menjadi sawit
Variabel X
X1 Jarak dari jalan
X2 Jarak dari sawit
X3 Kemiringan lahan
X4 Jarak dari sungai
X5 Ketinggian tempat
X6 Jarak dari pemukiman
Status Perubahan
0 Tidak berubah; 1 Berubah
Analisis
Satuan
Resolusi
Euclidian distance
kilometer
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
persen
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
mdpl
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Variabel Y2
Y2 Hutan menjadi lahan terbangun
Variabel X
X1 Jarak dari jalan
X2 Jarak dari sawit
X3 Kemiringan lahan
X4 Jarak dari sungai
X5 Ketinggian tempat
X6 Jarak dari pemukiman
Status Perubahan
0 Tidak berubah; 1 Berubah
Analisis
Satuan
Resolusi
Euclidian distance
kilometer
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
persen
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
mdpl
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Variabel Y3
Y3 Hutan menjadi lahan terbuka
Variabel X
X1 Jarak dari jalan
X2 Jarak dari sawit
X3 Kemiringan lahan
X4 Jarak dari sungai
X5 Ketinggian tempat
X6 Jarak dari pemukiman
Status Perubahan
0 Tidak berubah; 1 Berubah
Analisis
Satuan
Resolusi
Euclidian distance
kilometer
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
persen
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Grid map
mdpl
30 m
Euclidian distance
kilometer
30 m
Adapun langkah mendapatkan variabel Y (Y1, Y2, dan Y3) di dalam IDRISI
Selva adalah sebagai berikut:
1. Masuk ke dalam image calculator dalam IDRISI, lalu pilih mode logical
ekspression
2. Masukkan peta tutupan lahan tahun 1994 di dalam Expression to process –
dengan ekspresi logika: [image1994.rst]=3. Dalam hal ini angka 3 tersebut
menunjukkan kelas tutupan lahan sebagai hutan. Simpan data sebagai
1994_3.rst
3. Masukkan peta tutupan lahan tahun 2004 di dalam Expression to process –
dengan ekspresi logika: [image2004.rst]=5. Dalam hal ini angka 5 tersebut
menunjukkan kelas tutupan lahan sebagai sawit. Simpan data sebagai
2004_5.rst
4. Y1 sebagai variabel dependent didapatkan dalam Expression to process –
dengan ekspresi logika: [1994_3.rst]AND[2004_5.rst]. Simpan data sebagai Y1.
Ulangi langkah diatas untuk mendapatkan Y2 dan Y3 di dalam logical
ekspression.
Sedangkan langkah untuk mendapatkan variabel X (X1 sampai X6) dengan
menggunakan ArcGIS adalah sebagai berikut:
1. Data dalam format .shp dianalisis dengan Euclidian distance melalui Spatial
Analyst Tool, Distance, kemudian Euclidian distance.
2. Lakukan proses yang sama untuk semua data variabel X.
16
3. Export hasil Euclidian distance menjadi format ASCII supaya dapat terbaca
dan diproses dalam IDRISI Selva.
4. Buka software IDRISI dan import semua data ASCII diatas menjadi data
format .rst dengan perintah Arcraster.
Penilaian ROC
Langkah selanjutnya adalah validasi model regresi logistik. Menurut Achmad
et al. (2015), uji validasi yang digunakan untuk mengukur hubungan antara
perubahan simulasi dan aktual yaitu dengan nilai ROC (Relative Operating
Characteristic). ROC merupakan indikator penilaian goodness of fit dan mengukur
area di bawah kurva yang berhubungan dengan proporsi positif benar dan proporsi
positif salah pada selang nilai cut-off dalam peta p