Regional Study for Small Industry Development Based on Supreme Commodities of Agriculture in Majalengka Regency.

KAJIAN WILAYAH UNTUK PENGEMBANGAN INDUSTRI
KECIL BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN
DI KABUPATEN MAJALENGKA

EDWIN HIDAYAT

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Wilayah untuk
Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian di
Kabupaten Majalengka adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Edwin Hidayat
NIM A156120244

RINGKASAN
EDWIN HIDAYAT. Kajian Wilayah untuk Pengembangan Industri Kecil
Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Majalengka. Dibimbing
oleh ATANG SUTANDI dan BOEDI TJAHJONO.
Pertanian merupakan sektor basis di Kabupaten Majalengka, namun
memiliki keterkaitan sektoral yang lemah dengan sektor industri pengolahan.
Padahal perkembangan suatu wilayah sangat memerlukan adanya keterpaduan
sinergis antar sektor ekonomi untuk menghindari kondisi stagnasi.
Penelitan ini bertujuan : (1) mengidentifikasi keunggulan komparatif kompetitif komoditas unggulan pertanian terpilih berdasarkan luas tanam, (2)
mengidentifikasi potensial fisik lahan untuk pengembangan komoditas pertanian
terpilih, (3) mengidentifikasi desa-desa berbasis industri kecil pengolahan hasil
pertanian, (4) mengidentifikasi desa yang memiliki tingkat fasilitas pelayanan dan
aksesibilitas tinggi untuk mendukung industri, (5) menentukan daerah
pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian dan daerah
pengembangan komoditasnya. Metode analisis yang digunakan adalah analisis

location quotient (LQ), analisis shift share (SSA), analisis skalogram dan analisis
kesesuaian fisik lahan.
Komoditas pertanian yang diteliti adalah jagung, mangga, kedelai, pisang
dan melinjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) jagung unggul di enam
kecamatan, mangga unggul di 13 kecamatan, kedelai unggul di satu kecamatan
dan pisang unggul di dua kecamatan. Tetapi tidak ada satu kecamatan pun yang
unggul untuk melinjo; (2) kondisi fisik lahan yang sesuai di tiap wilayah
pengembangan komoditas pertanian terdiri atas 21837 hektar untuk jagung, 53049
hektar untuk mangga, 4074 hektar untuk kedelai, dan 15834 hektar untuk pisang;
(3) terdapat 179 desa berbasis industri kecil pengolahan hasil pertanian; (4) desa
dengan tingkat fasilitas pelayanan dan aksesibilitas tinggi terdiri atas 44 desa; (5)
wilayah yang diarahkan untuk pengembangan industri kecil berbasis komoditas
unggulan pertanian terdiri atas tujuh desa sebagai desa industri dan delapan
kawasan industri yang merupakan gabungan dari beberapa desa, sedangkan arah
prioritas pengembangan komoditas terdiri atas 2827 hektar untuk jagung, 15221
hektar untuk mangga, 3328 hektar untuk kedelai dan 304 hektar untuk pisang.
Kata kunci: industri pengolahan, kajian wilayah, kesesuaian lahan, keunggulan
komparatif-kompetitif, Majalengka

SUMMARY

EDWIN HIDAYAT. Regional Study for Small Industry Development Based on
Supreme Commodities of Agriculture in Majalengka Regency. Supervised by
ATANG SUTANDI and BOEDI TJAHJONO.
Agriculture is a basic sector in Majalengka Regency, but it still has a weak
sectoral linkages with agro-processing industries. On the other hand, a region
development requires the presence of a synergistic integration among economic
sectors to avoid stagnation state.
This study aimed to : (1) identify the comparative-competitive of
agricultural leading commodities based on acreage, (2) identify the land suitability
for commodity development; (3) identify the villages based for small industries
agro-processing, (4) identify the villages having high level of the facilities
services and accessibility for supporting industry; (5) determine the sites for small
industries and its commodity development. The analytical methods used were
analysis of the location quotient (LQ), shift share analysis (SSA), schallogram
analysis and land suitability analysis.
The study focused on commodities of agricultural i.e. corn, mango,
soybean, bananas and melinjo. The results showed that corn was superior in six
districts, mango was superior in 13 districts, soybean was superior in one district
and bananas was superior in two districts. However, no district was superior to
melinjo. There were 21,837 ha of land that phisically suitable for corn, 53,049 ha

for mango, 4,074 ha for soybean and 15,837 ha for banana. There were 179
villages classified as basic for small agro-processing industries. Villages with the
high level of facilities services and accessibility consisted of 44 villages. There
were 7 industrial villages and 8 industrial areas (consisted of several villages), that
could be developed as a small industries in the region based on agricultural
supreme commodities. The priority areas for commodity development comprise
2,827 hectares for corn, 15,221 hectares for mango, 3,328 hectares for soybean
and 304 hectares for bananas.
Key words: agro-processing industry, comparative-competitive advantage, land
suitability, Majalengka, regional study

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KAJIAN WILAYAH UNTUK PENGEMBANGAN INDUSTRI
KECIL BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN
DI KABUPATEN MAJALENGKA

EDWIN HIDAYAT

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir . Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. Agr.


Judul Tesis : Kajian Wilayah untuk Pengembangan Industri Kecil Berbasis
Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Majalengka
Nama
: Edwin Hidayat
NIM
: A 156120244

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si.
Ketua

Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc.Agr.

Tanggal Ujian: 31 Desember 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah
perencanaan wilayah dengan judul Kajian Wilayah untuk Pengembangan Industri
Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Majalengka.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir Atang Sutandi, M. Si
dan Bapak Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc. selaku pembimbing. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ibu, istri serta seluruh keluarga, atas segala doa,

cinta dan kasih sayang yang telah diberikan dengan tulus selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014
Edwin Hidayat

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
1.6 Kerangka Pemikiran

vi
vi

vii
1
1
2
3
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pengembangan Wilayah
2.2 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
2.3 Pusat Pertumbuhan dan Konsep Pewilayahan Nodal
2.4 Perencanaan Pembangunan Wilayah
2.5 Evaluasi Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian
2.6 Pemilihan Alternatif Terbaik dari Multi Kriteria

5
5
6

7
8
9
11

3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
3.3 Metode Analisis Data

12
12
12
14

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAJALENGKA
4.1 Kondisi Fisik Wilayah
4.2 Kondisi Ekonomi Wilayah
4.3 Kondisi Sektor Industri Pengolahan


25
25
28
29

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah
5.2 Potensi Fisik Wilayah untuk Komoditas Unggulan Pertanian
5.3 Penentuan Desa Basis Industri Kecil Pengolahan Hasil Pertanian
5.4 Penentuan Desa Berhirarki 1
5.5 Arahan Wilayah Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas
Unggulan Pertanian dan Wilayah Pengembangan Komoditasnya

31
31
36
40
42

6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
6.2 Saran

51
51
52

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

53
55
68

44

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Persentase PDRB tahun 2008-2011 atas dasar harga konstan tahun 2000
Persentase pekerja menurut lapangan usaha tahun 2004-2008
Indikator keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan terhadap sektor
ekonomi
Indikator keterkaitan langsung subsektor tanaman bahan makanan
terhadap sektor industri pengolahan
Rincian data responden
Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran
Kualitas dan karakteristik lahan dalam evaluasi lahan
Struktur tabel analisis skalogram
Komponen aksebilitas dan fasilitas dalam skalogram
Komponen aksesibilitas dan fasilitas dalam skalogram
Arahan penentuan wilayah pengembangan industri kecil berbasis
komoditas unggulan
Fluktuasi iklim di Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2009 dan 2011
Jumlah dan kepadatan penduduk menurut kecamatan tahun 2011
Kontribusi sektor dalam perekonomian Majalengka tahun 2007-2011
menurut kelompok sektor atas dasar harga berlaku
Jumlah industri besar dan sedang menurut kelompok industri
pengolahan 2011
Jumlah industri kecil dan industri rumah tangga menurut kelompok
industri pengolahan 2011
Kondisi komoditas pertanian terpilih tahun 2011
Nilai LQ luas tanam komoditas terpilih di tiap kecamatan
Hasil analisis shift share komoditas per kecamatan
Penentuan komoditas unggulan secara komparatif dan kompetitif per
kecamatan
Jumlah desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian tiap
kecamatan
Desa hirarki 1 di Kabupaten Majalengka
Desa terpilih untuk pengembangan industri kecil berbasis komoditas
unggulan pertanian
Arahan desa pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan
pertanian
Arahan kawasan pengembangan industri kecil berbasis komoditas
unggulan pertanian
Hasil analisis MCDM-TOPSIS prioritas program pembangunan

1
1
2
2
12
13
19
20
21
22
23
27
27
29
29
30
31
32
33
35
41
43
45
46
47
51

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Kerangka pikir penelitian
Bagan alir penelitian
Wilayah administrasi Kabupaten Majalengka
Sebaran topografi wilayah administrasi Kabupaten Majalengka
Sebaran wilayah yang unggul komparatif dan kompetitif komoditas
pertanian terpilih

4
14
26
28
36

6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Peta kesesuaian lahan komoditas jagung
Peta kesesuaian lahan komoditas mangga
Peta kesesuaian lahan komoditas kedelai
Peta kesesuaian lahan komoditas pisang
Sebaran desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian
Peta hasil skalogram tingkat fasilitas pelayanan dan aksebilitas
Peta arahan wilayah pengembangan industri
Peta prioritas lahan pengembangan komoditas jagung
Peta prioritas lahan pengembangan komoditas mangga
Peta prioritas lahan pengembangan komoditas kedelai
Peta prioritas lahan pengembangan komoditas Pisang

37
38
39
40
41
44
46
47
48
49
50

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Hasil analisis LQ industri
Hasil analisis skalogram
Nilai differential shift, proporsional shift dan regional share luas lahan
tiap komoditas terpilih
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Jagung (Zea mays)
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Mangga (Mangifera
indica)
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Kedelai (Glycine max)
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pisang (Musa acuminata)
Hasil pengolahan MCDM-TOPSIS
Peta status hutan di Kabupaten Majalengka

55
59
58
62
63
64
65
66
67

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan otonomi daerah seperti dalam Undang-undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan peluang sekaligus tuntutan bagi
daerah untuk lebih kreatif menggali, mengelola dan memanfaatkan potensi
sumber daya lokal bagi kesejahteraan masyarakat. Kabupaten Majalengka
merupakan daerah yang mempunyai sumber daya lokal yang dominan berupa
pertanian. Hal ini tercermin dari aktivitas pertanian yang sangat berpengaruh
terhadap struktur perekonomian daerah. Sektor pertanian merupakan penyumbang
terbesar produk domestik regional bruto (PDRB) dan penyerapan tenaga kerja
(Tabel 1 dan Tabel 2).
Tabel 1 Persentase PDRB tahun 2008-2011 atas dasar harga konstan tahun 2000
LAPANGAN USAHA
Pertanian
Pertambangan dan galian
Industri pengolahan
Listrik, gas, air bersih
Kontruksi bangunan
Perdagangan, hotel dan restoran
Pengangkutan dan komunikasi
Keuangan
Jasa-jasa lainnya
PDRB (jutaan rupiah)

2008

TAHUN
2009
2010

28.1%
28.0%
27.2%
4.1%
4.0%
3.9%
17.1%
17.1%
17.0%
0.7%
0.7%
0.7%
4.6%
4.6%
4.8%
19.7%
19.8%
20.6%
6.4%
6.4%
6.5%
5.7%
5.7%
5.7%
13.7%
13.7%
13.5%
4042240.29 4233442.84 4427885.12

2011
26.6%
3.9%
16.9%
0.7%
5.0%
21.2%
6.5%
5.8%
13.4%
4634804.4

Sumber : Bappeda (2012a)

Tabel 2 Persentase pekerja menurut lapangan usaha tahun 2004-2008
LAPANGAN USAHA
Pertanian
Pertambangan dan penggalian
Industri pengolahan
Listrik, gas dan air minum
Konstruksi bangunan
Perdagangan, hotel dan restoran
Pengangkutan dan komunikasi
Keuangan
Jasa-jasa lainnya

PENDUDUK YANG BEKERJA (%)
2004
2005
2006
2007
36.8
29.9
31.2
37.6
1.6
2.3
0.7
0.4
19.1
18.4
19.4
13.9
0.1
0.4
0.1
0.2
4.9
7.9
5.4
5.4
23.8
26.1
26.7
26.6
5.5
6.0
5.8
5.5
0.5
0.7
0.5
1.2
7.9
8.3
10.3
9.2

2008
27.9
4.7
17.1
0.7
4.5
19.5
6.6
5.6
13.8

Sumber : Bappeda (2009)

Peranan sektor pertanian tersebut tidak lepas dari keberadaan komoditas
unggulan pertanian. Rachmawati (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Majalengka berdasarkan keunggulan
komparatif dan kompetitif, keterkaitan antar sektor ekonomi serta tingkat
keberminatan petani pada tingkat provinsi adalah padi, jagung, mangga, kedelai,
pisang dan melinjo. Tetapi, Rachmawati (2012) juga menjelaskan bahwa pada

2
tingkat kabupaten, ternyata komoditas unggulan pertanian tersebut berkinerja
rendah dalam keterkaitan sektoral. Kinerja tersebut diukur dengan analisis InputOutput tahun 2009 berdasarkan indikator direct and direct-inderect forward
lingkage, direct and inderect backward lingkage, indeks daya penyebaran (IDP),
serta indeks daya kepekaan (IDK) (Tabel 3).
Tabel 3 Indikator keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan terhadap sektor
ekonomi
No
1
2
3
4

Komoditas
Padi
Jagung
Kedelai
Buah-buahan

Backward linkage
DirectDirect
indirect
0.0967
1.1315
0.1394
1.1772
0.0940
1.1110
0.0967
1.1217

Forward Linkage
DirectDirect
indirect
0.2561
1.4751
0.0627
1.0716
0.0823
1.0960
0.0928
1.1173

IDP

IDK

0.9030
0.9395
0.8866
0.8952

1.1773
0.8552
0.8747
0.8917

Sumber : diolah dari Rachmawati (2012)

Di sisi lain, walaupun sektor industri di Kabupaten Majalengka bukan sektor
basis (Rachmawati 2012), namun sektor ini memiliki peran signifikan terhadap
perekonomian daerah. Hal tersebut tercermin dari sumbangannya terhadap total
PDRB sebesar 16.88% (Tabel 1) dan penyerapan tenaga kerja sektoral sebesar
17.10% (Tabel 2). Tetapi, sebagaimana halnya dengan sektor ekonomi lain,
keterkaitannya dengan sektor pertanian masih tampak lemah (Tabel 4).
Tabel 4 Indikator keterkaitan langsung subsektor tanaman bahan makanan
terhadap sektor industri pengolahan
No.
1
2
3
4
5

Komoditas
Jagung
Buah-buahan
Sayur-sayuran
Ubi kayu
Lainnya

Direct
Backward linkage
0.0082
0.0052
0.0030
0.0083
0.0023

Direct
Forward Linkage
0.0039
0.0144
0.0030
0.0020
0.0056

Sumber : Rachmawati (2012)

1.2 Perumusan Masalah
Lemahnya keterkaitan sektoral antara komoditas unggulan pertanian dan
industri pengolahan hasil pertanian di Kabupaten Majalengka dapat dilihat dari
output komoditas pertanian dimaksud yang hanya digunakan untuk memenuhi
permintaan akhir, baik internal wilayah (konsumsi masyarakat, pengeluaran
pemerintah dan investasi) maupun ekternal wilayah (ekspor), tanpa mampu
menjadi input bagi industri pengolahan. Fenomena ini memicu terjadinya
backwash effect karena add value yang timbul dari rangkaian aktivitas industri
yang berbahan baku komoditas unggulan pertanian tidak dapat dinikmati oleh
masyarakat lokal.
Di sisi lain, lemahnya keterkaitan sektoral tersebut juga menggambarkan
kenyataan bahwa industri pengolahan hasil pertanian di Kabupaten Majalengka
cenderung bersifat footless industry. Artinya, industri yang tumbuh bukanlah
industri yang berpijak pada komoditas pertanian lokal yang unggul sehingga

3
justru akan memperkuat terjadinya mekanisme impor bahan baku dari luar
wilayah dan pada akhirnya akan melemahkan posisi sektor pertanian itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya pemerintah untuk memacu
tumbuhnya industri pengolahan yang memiliki kaitan (linkage) yang kuat dan
mampu mendorong pertumbuhan komoditas unggulan pertanian melalui suatu
perencanaan pembangunan yang komprehensif, salah satunya melalui pendekatan
perencanaan kewilayahan.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif komoditas unggulan pertanian;
2. Mengindentifikasi potensi fisik lahan untuk komoditas unggulan pertanian
terpilih;
3. Mengidentifikasi desa basis industri kecil untuk pengolah hasil pertanian;
4. Identifikasi desa dengan tingkat kapasitas pelayanan dan aksesibilitas yang
dapat mendukung industri;
5. Menetapkan arahan wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas
unggulan dan wilayah pengembangan komoditasnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam penyusunan rencana pengembangan industri untuk
menunjang pembangunan wilayah berbasis pertanian di Kabupaten Majalengka.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini, lingkup industri yang dimaksud adalah industri
sebagaimana didefinisikan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5
tahun 1984 tentang Perindustrian yang merupakan bagian dari sektor ekonomi
daerah dan difokuskan kepada penentuan wilayah pengembangan, wilayah
pendukung serta arahan strategi pembangunannya, bukan kepada produk dan
proses produksi industri itu sendiri. Sementara itu, industri yang dikaji adalah
industri dengan klasifikasi industri kecil yang terdiri dari kelompok industri
rumah tangga dan industri kecil menurut klasifikasi Badan Pusat Statistik, yaitu
industri dengan jumlah pekerja kurang dari 20 orang.
Kaitannya dengan komoditas unggulan pertanian yang merupakan bagian
dari penelitian ini, mengacu kepada komoditas unggulan bahan pangan yang
dipilih dari sebagian hasil penelitian Rachmawati (2012), yaitu : jagung, mangga,
kedelai, pisang dan melinjo.
1.6 Kerangka Pemikiran
Pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian di
Kabupaten Majalengka merupakan upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk
menciptakan keterkaitan sektoral antara industri dan pertanian (Gambar 1).

4
Kegiatan Pembangunan Kabupaten
Majalengka

Potensi industri pengolahan
hasil pertanian

linkage

Potensi Wilayah Pertanian
Unggulan

Fasilitas, infrastuktur
dan aksebilitas desa

Karakteristik Fisik
Lahan

Wilayah pengembangan industri
Pengolahan hasil pertanian

Persepsi stakeholder

Wilayah pengembangan komoditas
unggulan pertanian

Analisis pengambilan
keputusan

Arahan pengembangan industri pengolahan hasil
Pertanian berbasis komoditi unggulan

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan industri
adalah dimana lokasi industri tersebut harus didirikan dan dikembangkan. Faktor
penentu lokasi industri adalah : (1) biaya angkutan; (2) konsentrasi tenaga kerja;
dan (3) gejala aglomerasi, dimana biaya angkutan merupakan faktor penentu
utama. Hasil analisis Weber (1909) menyatakan bahwa tanpa adanya perbedaan
biaya produksi antar lokasi, maka keputusan penempatan lokasi industri
manufaktur akan ditentukan pada titik lokasi dengan biaya terendah (Rustiadi et al.
2011).
Lebih jauh Weber menganalisis bahwa faktor biaya transportasi dapat
ditentukan dengan perhitungan indeks material (IM). IM dihitung dengan cara
membagi bobot bahan baku lokal yang digunakan dalam industri dengan bobot
produksi akhir. Dari perhitungan tersebut akan diperoleh kecenderungan
pengembangan industri apakah lebih berorientasi pada lokasi bahan baku atau
berorientasi pada lokasi pasar. Jika IM>1, maka kecenderungan lokasi industri
lebih berorientasi kepada lokasi bahan baku, jika IM 1 akan cenderung berlokasi mendekati sumber
bahan baku adalah valid (Rustiadi et al. 2011).
Dalam rangka memenuhi aspek kedekatan bahan baku, perlu dianalisis
wilayah-wilayah dengan keunggulan baik komparatif maupun kompetitif tempat
komoditas pertanian berada dan bagaimana potensi fisiknya untuk digunakan
sebagai wilayah pengembangan bahan baku industri. Berkaitan dengan aspek
adanya gejala aglomerasi yang didefinisikan sebagai suatu keuntungan atau

5
penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatankegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu
lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis wilayah-wilayah tempat
terpusatnya aktivitasi industri kecil pengolahan hasil pertanian saat ini.
Selanjutnya adalah aspek konsentrasi tenaga kerja yang didekati dengan
menganalisis wilayah dengan fasilitas pelayanan dan aksesibililitas berorde tinggi
secara relatif terhadap wilayah lainnya (hirarki 1). Hal ini mengacu kepada
pendapat Rustiadi et al. (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi ordo
wilayah berarti semakin tinggi pula tingkat pelayanan fasilitas dan menunjukkan
aktivitas sosial ekonomi yang tinggi pula. Tingkat pelayanan ini berkorelasi erat
dengan jumlah penduduk, sehingga seringkali wilayah yang berorde tinggi
mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi.
Dengan demikian, wilayah pengembangan industri berbasis komoditas
unggulan pertanian di Kabupaten Majalengka dapat ditentukan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pengembangan Wilayah
Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berhubungan
dengan program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan
wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mempunyai
cakupan yang lebih luas daripada pengembangan kawasan. Pengembangan
wilayah mencakup penelaahan keterkaitan antar kawasan. Sementara itu,
pengembangan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu
unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun
pertahanan keamanan (Rustiadi et al. 2011).
Menurut Sitorus (2012), pengembangan atau pembangunan didefinisikan
sebagai upaya yang terkoordinasi dan sistematik untuk menciptakan suatu
keadaan dimana terdapat lebih banyak alternatif yang sah bagi setiap warga
negara untuk memenuhi aspirasinya yang paling humanistik yaitu peningkatan
kesejahteraan.
Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2005), pengembangan wilayah
merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan
kesenjangan antar wilayah, dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di
suatu wilayah. Upaya ini diperlukan karena setiap wilayah memiliki kondisi sosial
ekonomi, budaya, dan keadaan geografis yang berbeda-beda, sehingga
pengembangan wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki
oleh suatu wilayah. Optimal berarti dapat tercapainya tingkat kemakmuran yang
sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan lingkungan yang berkelanjutan.
Sejalan dengan salah satu tujuan pengembangan wilayah nasional, yakni
mewujudkan keseimbangan pertumbuhan antar daerah, maka tujuan perencanaan
wilayah pada suatu kabupaten sebagai penjabaran dalam ruang lingkup yang lebih

6
kecil adalah keseimbangan pertumbuhan antara kecamatan, desa, dan seterusnya
(Rinaldi 2004).
Menurut Rustiadi et al. (2011), hal penting dalam menyusun perencanaan
pembangunan berbasis wilayah adalah memperhatikan keterpaduan sektoral,
spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah.
Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah adanya upaya mencapai
pembangunan berimbang (balanced development), dengan terpenuhinya potensipotensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan di setiap wilayah
maupun daerah yang beragam sehingga dapat memberikan keuntungan dan
manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah.
Dalam pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada tujuan
pengembangan wilayah, antara lain untuk mencapai: (1) pertumbuhan (growth),
yaitu terkait dengan alokasi berbagai sumber daya yang langka yang terdiri atas
sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan, untuk hasil
yang maksimal, sehingga hasil tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan
manusia dalam meningkatkan kegiatan produktivitasnya; (2) pemerataan (equity),
yang terkait dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil sehingga
setiap warga negara yang terlibat perlu memperoleh pembagian hasil yang
memadai secara adil. Dalam hal ini perlu adanya kelembagaan yang dapat
mengatur manfaat yang diperoleh dari proses pertumbuhan material maupun nonmaterial di suatu wilayah secara adil; serta (3) keberlanjutan (sustainability),
bahwa penggunaan sumber daya baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar
maupun di luar sistem pasar tidak boleh melampaui kapasitas kemampuan
produksinya (Anwar 2005).
Menurut Rustiadi et al. (2011), timbulnya disparitas antar wilayah antara
lain disebabkan oleh beberapa faktor utama yang terkait dengan variabel fisik
maupun variabel ekonomi wilayah, yaitu: (1) geografi; (2) sejarah; (3) politik; (4)
kebijakan pemerintah; (5) administrasi; (6) sosial-budaya; dan (7) ekonomi. Suatu
wilayah yang memiliki kondisi geografi yang lebih baik akan mempunyai
kemampuan untuk berkembang yang lebih baik pula dibandingkan dengan
wilayah dengan kondisi geografi yang kurang menguntungkan. Bentuk organisasi
serta kondisi perekonomian pada masa lalu akan mempengaruhi tingkat
perkembangan masyarakat di suatu wilayah dalam hal menumbuhkan inisiatif dan
kreativitas dalam bekerja dan berusaha. Instabilitas politik serta sistem
administrasi yang tidak efisien akan menghambat pengembangan wilayah dalam
hal hilangnya peluang investasi akibat ketidakpastian usaha terutama di bidang
ekonomi dan perijinan yang rumit. Demikian juga kebijakan pemerintah yang
tidak tepat dengan lebih menekankan pada pertumbuhan pembangunan tanpa
diimbangi dengan pemerataan. Nilai-nilai sosial-budaya masyarakat yang
konservatif dan kontraproduktif akan menghambat perkembangan ekonomi
wilayahnya.
2.2 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan
pembangunan daerah adalah keberadaan sektor-sektor perekonomian yang
memiliki daya saing dan bernilai strategis untuk menjadi pendorong utama (prime
mover) pertumbuhan ekonomi wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2011), sektor

7
ekonomi wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana
kelebihan dan kekurangan yang terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan
pada sektor tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar
wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar
domestik daerah maupun pasar luar wilayah, sedangkan sektor non basis adalah
sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di wilayahnya sendiri
dan kapasitas ekspor wilayah belum berkembang.
Basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah
tersebut. Berdasarkan pemikiran itu, sektor basis dapat membangun dan memacu
penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi sebagai mesin
ekonomi lokal.
Keragaman fisik secara geografis menjadi sebab adanya konsep keunggulan
komparatif bagi suatu wilayah. Sifat fisik geografis yang merupakan karakteristik
yang melekat di suatu wilayah merupakan pembeda satu wilayah dengan wilayah
yang lain, sehingga pertimbangan terhadap aktivitas spesifik yang khas dan sesuai
dengan keunggulan komparatifnya menjadi bagian penting dalam perencanaan
suatu wilayah (Panuju dan Rustiadi 2012).
Di sisi lain, adanya pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor ekonomi
merupakan hal yang diharapkan dari dilaksanakannya pembangunan.
Pertumbuhan dan perkembangan tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran
aktifitas ekonomi. Panuju dan Rustiadi (2012) berpendapat bahwa pemahaman
terhadap pergeseran struktur aktifitas ekonomi suatu wilayah dan
membandingkannya dalam cakupan referensi yang lebih luas pada waktu yang
berbeda dapat menjelaskan kemampuan berkompetensi (competitiveness) aktivitas
tertentu secara dinamis di suatu wilayah atau dalam cakupan wilayah yang lebih
luas.
2.3 Pusat Pertumbuhan dan Konsep Pewilayahan Nodal
Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah, perlu
diidentifikasi wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan yang mampu
menggerakan ekonomi wilayah di sekitarnya. Melalui pendekatan konsep wilayah
nodal, dapat diketahui wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan
dan dampaknya dalam memberikan multiplier effect terhadap wilayah lain.
Menurut Tarigan (2008), suatu wilayah atau kawasan dapat dijadikan
sebagai pusat pertumbuhan apabila memenuhi kriteria sebagai pusat pertumbuhan,
baik secara fungsional maupun secara geografis. Secara fungsional, pusat
pertumbuhan merupakan lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri
yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga
mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah
belakangnya atau hinterland). Secara geografis, pusat pertumbuhan merupakan
lokasi dengan fasilitas dan kemudahan yang mampu menjadi pusat daya tarik
(pole of attraction) serta menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk
berlokasi dan masyarakat pun memanfaatkan fasilitas yang ada di lokasi tersebut.
Wilayah sebagai pusat pertumbuhan pada dasarnya harus mampu mencirikan
antara lain: hubungan internal dari berbagai kegiatan atau adanya keterkaitan
antara satu sektor dengan sektor lainnya, keberadaan sektor-sektor yang saling
terkait menciptakan efek pengganda yang mampu mendorong pertumbuhan

8
daerah belakangnya, adanya konsentrasi geografis berbagai sektor atau fasilitas
yang menciptakan efisiensi, serta terdapat hubungan yang harmonis antara pusat
pertumbuhan dengan daerah belakangnya.
Anwar (2005) mengemukakan bahwa pendekatan analisis pembangunan
wilayah yang lebih tepat harus mampu mencerminkan adanya kerangka berfikir
yang menyangkut interaksi antara aktivitas-aktivitas ekonomi spasial dan
mengarah pada pemanfaatan sumber daya secara optimal antara kegiatan di
kawasan kota-kota dan wilayah-wilayah belakangnya, dan interaksi dengan
wilayah-wilayah lain yang lebih jauh. Antara kawasan kota dan wilayah
belakangnya dapat terjadi hubungan fungsional yang tumbuh secara interaktif
yang dapat saling mendorong atau saling menghambat dalam mencapai tingkat
kemajuan optimum bagi keseluruhannya.
Menurut Rustiadi et al. (2011), berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat
maupun hinterland suatu wilayah memiliki ciri khas dimana inti mengatur proses
berjalannya interaksi dari komponen sel, sedangkan hinterland mendukung
keberlangsungan hidup sel dan mengikuti pengaturan yang dibangun oleh inti.
Jika suatu wilayah dianalogikan sebagai satu sel, maka dalam wilayah kota utama
yang menjadi inti dari wilayah memiliki fungsi penting yang berperan besar dalam
mempengaruhi jalannya interaksi antar hinterland. Pusat memiliki daya tarik kuat
bagi elemen di hinterland. Daya tarik tersebut secara harfiah berupa berbagai
layanan yang didukung oleh fasilitas yang lengkap. Hinterland mendukung
berjalannya proses penting yang dilakukan di pusat. Proses-proses penting
tersebut terdiri atas proses-proses transaksi dan peningkatan nilai tambah produksi.
Industri dan jasa sebagai titik-titik aktifitas berperan besar dalam peningkatan
nilai tambah dan akan berkembang pesat di inti (kota) dengan fasilitas yang
lengkap tersebut. Sebaliknya, hinterland sebagai pendukung berlangsungnya
proses di pusat memiliki keunggulan sumber daya dasar untuk mendukung proses
peningkatan nilai tambah di pusat.
Secara teknis identifikasi pusat dan hinterland dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah
penduduknya. Pusat yang memiliki daya tarik kuat karena lengkapnya fasilitas
dicirikan dengan jumlah unit dan jumlah jenis fasilitas yang lebih lengkap
dibandingkan dengan di hinterland. Disamping fasilitas umum, pusat juga
berpotensi memiliki industri dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas
yang lebih besar dan baik dibandingkan dengan unit wilayah yang lain.
Selanjutnya, wilayah pusat tersebut disebut sebagai wilayah yang berhirarki
lebih tinggi (hirarki 1). Semakin jauh dari pusat maka pengaruh dan manfaat
pelayanan akan semakin kecil, sehingga akan cenderung memiliki hirarki yang
lebih rendah (Panuju dan Rustiadi 2012).
2.4 Perencanaan Pembangunan Wilayah
Dalam perspektif paradigma keterkaitan antar wilayah, perencanaan
pembangunan wilayah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu melalui
pendekatan sektoral dan pendekatan wilayah. Pendekatan sektoral dilaksanakan
dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah
tersebut. Pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor
yang seragam atau dianggap seragam. Adapun pendekatan wilayah dilakukan
bertujuan untuk melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan

9
dalam ruang wilayah, sehingga terlihat adanya perbedaan fungsi ruang yang satu
dengan ruang yang lainnya. Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan
lokasi, perbedaan potensi, dan perbedaan aktivitas utama pada masing-masing
ruang yang harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung dalam
penciptaan pertumbuhan yang serasi dan seimbang (Tarigan 2008).
Perencanaan pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan suatu
daerah sebagai wilayah pembangunan, merupakan suatu proses perencanaan
pembangunan yang bertujuan melakukan perubahan menuju arah perkembangan
yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya
dalam wilayah atau daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan
berbagai sumber daya yang ada, serta harus memiliki orientasi yang bersifat
menyeluruh, lengkap, namun tetap berpegang pada asas prioritas (Riyadi dan
Bratakusumah 2005).
Perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan
peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu
pertumbuhan, yang kemudian diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan
baik investasi pemerintah maupun swasta. Penentuan peranan sektor-sektor
pembangunan diharapkan dapat mewujudkan keserasian sumber daya
pembangunan, sehingga dapat meminimalisasi inkompabilitas antar sektor dalam
pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan sumber daya baik ke depan maupun
ke belakang, serta proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah
yang lebih maju dan menghindari kebocoran maupun kemubaziran sumber daya
(Anwar 2005).
Menurut Rustiadi et al. (2011), skala prioritas pembangunan harus
didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan
langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran
pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain); (2)
setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan
karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak
merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat
dan terkait dengan sebaran sumber daya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas
dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang
bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut
terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya.
Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak
langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat
perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain
dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah. Menurut Saefulhakim
(2004), keterbatasan dalam hal ketersediaan sumber daya harus menjadi
pertimbangan pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam melaksanakan
program-program pembangunan daerahnya sehingga dalam perencanaan
pembangunan perlu ditetapkan adanya skala prioritas pembangunan.
2.5 Evaluasi Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian
Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan lahan untuk
penggunaan tertentu. Kecocokan antara kriteria kesesuaian lahan dengan

10
karakteristik lahan menunjukkan bahwa lahan tersebut sesuai untuk penggunaan
yang dikehendaki (Sitorus 2012).
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), pengertian kesesuaian
lahan berbeda dengan kemampuan lahan. Kemampuan lahan lebih menekankan
pada kapasitas berbagai penggunaan lahan yang dapat diusahakan di suatu
wilayah. Semakin banyak kapasitas atau alternatif penggunaan yang dapat
dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah, maka kemampuan lahan wilayah
tersebut makin tinggi, sedangkan kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu
lahan untuk penggunaan tertentu.
Menurut Djaenudin et al. (2011) terdapat dua macam kesesuaian lahan,
yaitu kesesuaian lahan kualitatif dan kesesuaian lahan kuantitatif. Kesesuaian
lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang hanya dinyatakan dalam istilah
kualitatif, tanpa memperhitungkan dengan tepat hal-hal yang terkait dengan biaya,
modal maupun keuntungan. Klasifikasi ini didasarkan hanya pada potensi fisik
lahan. Sementara itu kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang
didasarkan tidak hanya pada fisik lahan, tetapi juga mempertimbangan aspek
ekonomi, seperti input-output atau cost-benefit.
Masing-masing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai berdasarkan waktu
dan penggunaannya menjadi kelas kesesuaian aktual dan kelas kesesuaian
potensial. Menurut Hardjowigeno (1994), kesesuaian lahan aktual menunjukkan
kesesuaian lahan tanpa ada perbaikan yang berarti, sedangkan kesesuaian lahan
potensial menunjukkan kesesuaian terhadap penggunaan lahan yang ditentukan
dari satuan lahan dalam keadaaan yang akan datang setelah diadakan perbaikan
utama tertentu.
Proses evaluasi dilakukan dengan membandingkan sifat-sifat atau kualitas
lahan yang akan digunakan dengan persyaratan yang diminta oleh tipe
penggunaan lahan yang akan diterapkan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).
Menurut FAO dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), klasifikasi
kuantitatif maupun kualitatif dari kesesuaian lahan tergantung dari ketersediaan
data. Kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan terdiri atas empat kategori
yaitu: (1) Ordo, yang menunjukkan apakan suatu lahan sesuai atau tidak sesuai
untuk penggunaan tertentu; (2) Kelas, yang menunjukkan tingkat kesesuaian lahan
dalam order; (3) Subkelas, yang menunjukkan jenis pembatas atau macam
perbaikan yang harus dilakukan dalam masing-masing kelas; (4) Unit, yang
menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang berpengruh dalam pengelolaan
suatu sub kelas. Selanjutnya, struktur klasifikasi kesesuaian lahan yang digunakan
mengikuti kelas kesesuaian lahan menurut FAO (1976) dalam Djaenudin et al.
(2011) yang membedakan ordo “sesuai” (S) menjadi tiga kelas yaitu lahan sangat
sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marjinal (S3) dan lahan yang tergolong
ordo “tidak sesuai” (N).
Pembagian serta definisi kualitatif kelas sebagai berikut : (1) Kelas S1
(sangat sesuai-highly suitable), yaitu lahan yang tidak mempunyai pembatas yang
berarti atau nyata terhadap penggunaan berkelanjutan atau terdapat faktor
pembatas tetapi bersifat minor dan tidak mereduksi produktifitas lahan secara
nyata; (2) Kelas S2 (cukup sesuai-moderately suitable), yaitu lahan mempunyai
pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus
diterapkan. Dalam hal ini, pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan
dan meningkatkan masukan yang diperlukan; (3) Kelas S3 (sesuai terbatas-

11
marjinally suitable), yaitu lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk
mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus ditetapkan. Dalam hal ini
pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau akan menambah input
yang diperlukan; (4) Kelas N (tidak sesuai not suitable), yaitu lahan mempunyai
pembatas yang lebih besar sehingga menyulitkan berdasarkan tingkat
pengelolaannya atau lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala
kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
Penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan mencocokkan (matching)
data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah
disusun berdasarkan peryaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh
komoditas pertanian (Djaenudin et al. 2011).
2.6 Pemilihan Alternatif Terbaik dari Multi Kriteria
Dalam konsep perencanaan wilayah partisipatif–kolaboratif penentuan
prioritas pembangunan dilakukan dengan melibatkan seluruh stakeholder yang
terdiri atas unsur pemerintahan serta pengguna atau mereka yang menerima
manfaat/dampak dari hasil-hasil pembangunan baik dari kalangan swasta maupun
masyarakat. Salah satu metoda yang dapat dilakukan adalah menyebarkan
kuesioner kepada responden sebagai pewakil dari stakeholder dimaksud.
Kuesioner atau angket adalah teknik pengumpulan data dengan menyerahkan atau
mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden (Riyadi dan
Bratakusumah 2005).
Hasil persepsi responden selanjutnya digunakan untuk menentukan
alternatif pengambilan keputusan terkait arahan program pembangunan.
Pengambilan keputusan adalah proses untuk mencari pilihan terbaik dari semua
alternatif yang tersedia. Kriteria-kriteria tersebut biasanya bertentangan antara
satu dengan lainnya sehingga kemungkinan tidak ada solusi yang memuaskan
semua kriteria secara simultan. Itulah sebabnya, untuk banyak kasus, pengambil
keputusan memerlukan pemecahan masalah dengan menggunakan Multi-Criteria
Decision-Making (MCDM) (Jahanshahloo et al. 2009).
Menurut Simanaviciene dan Ustinovichius (2010), MCDM secara praktis
digunakan dalam sistem pendukung keputusan kuantitatif. Metode ini sangat
berbasis matematis. Metode MCDM berbasis kuantitatif yang sering digunakan di
antaranya adalah metode linear assignment, metode simple additive weighting,
metode hierarchical additive weighting, Metode ELECTRE dan metode TOPSIS.
Menurut Shih et al. (2007), TOPSIS merupakan teknik yang sangat berguna
dalam kaitannya dengan permasalahan pengambilan keputusan multi-atribut atau
multi-kriteria di dunia nyata. TOPSIS membantu para pengambil keputusan untuk
mengelola permasalahan-permasalahan untuk dipecahkan, menganalisis,
membandingkan serta mengurutkan banyak alternatif sehingga dapat diseleksi
alternatif mana yang layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan pendapat Shih, ada
empat kelebihan dari metode TOPSIS dibandingkan dengan metode lainnya yaitu:
(1) logis dalam merepresentasikan pilihan-pilihan secara rasional; (2) sebuah nilai
skalar yang dapat menghitung alternatif-alternatif terburuk dan terbaik secara
simultan; (3) proses komputasi yang sederhana dan dapat diprogram secara
mudah; (4) penilaian kinerja dari semua alternatif atau atribut dapat
divisualisasikan dalam polihedron dan dua dimensi.

12
TOPSIS pertama kali diperkenalkan oleh oleh Hwang dan Yoon (1981)
sebagai metode pengambilan keputusan multi-kriteria (MCDM), yang
mengidentifikasi solusi dari pemilihan sejumlah alternatif. TOPSIS menggunakan
prinsip bahwa alternatif yang terpilih harus mempunyai jarak terdekat dari solusi
ideal positif dan terjauh dari solusi ideal negatif dimana secara geometris
digunakan jarak euclidean untuk menentukan kedekatan relatif dari suatu
alternatif dengan solusi optimal (Zhang 2011).

3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat yang
secara geografis terletak pada koordinat 60 32’ - 70 4’ lintang selatan dan 10802’ 1080 24’ bujur timur. Waktu penelitian mulai dari penyusunan proposal sampai
penulisan thesis dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Oktober 2013.
3.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data sekunder dan
data primer. Data primer yang digunakan adalah data preferensi responden. Data
primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner untuk mengetahui pendapat
responden terkait dengan kondisi eksisting industri kecil pengolahan hasil
pertanian serta program yang diperlukan dalam pengembangan dan pembangunan
yang dilaksanakan pemerintah terkait dengan industri kecil dimaksud. Responden
adalah stakeholder yang terdiri atas unsur pemerintahan serta pengguna atau
mereka yang menerima manfaat/dampak dari hasil-hasil pembangunan baik dari
kalangan swasta maupun masyarakat (Tabel 5). Pengambilan data dilakukan
dengan menggunakan metode purposive sampling.
Tabel 5 Rincian data responden
No.
1.

2.

Asal Responden
Unsur Pemerintah :
Bappeda Kabupaten Majalengka
Dinas KUKM Perindag Kabupaten Majalengka
Sub Bagian Perencanaan, evaluasi dan Pelaporan
Seksi Perencanaan dan Fasilitasi Industri
Seksi Pemberdayaan & Pengembangan Industri
Seksi Promosi dan Kemitraan UKM
Seksi Pemberdayaan & Pengembangan UKM
Unsur Masyarakat dan Swasta
Pelaku usaha industri agro
Masyarakat
Jumlah Responden (orang)

Jumlah
1
1
1
1
1
1
6
6
18

Sementara itu, data sekunder meliputi: (1) Majalengka Dalam Angka Tahun
2008 dan Data Sektoral Kabupaten Majalengka Tahun 2012. Data yang digunakan

13
adalah luas tanam untuk lima komoditas pertanian, yaitu: jagung, mangga, kedelai,
pisang dan melinjo tahun 2007 dan 2011. Data diperoleh dari Bappeda Kabupaten
Majalengka; (2) Data Potensi Industri Kabupaten Majalengka 2013. Data yang
digunakan adalah jumlah industri kecil untuk semua kelompok industri
pengolahan di Kabupaten Majalengka tahun 2012. Data Diperoleh dari Dinas
KUKM Perindag Kabupaten Majalengka; (3) Data Potensi Desa (PODES)
Kabupaten Majalengka Tahun 2011. Data yang digunakan adalah data dalam
tingkat desa. Data diperoleh dari BPS Kabupaten Majalengka; (4) Peta dasar
meliputi Peta Batas Administrasi Wilayah, Peta Tanah Jawa-Bali versi
BBPPSDLP tahun 2010 (skala 1:100,000), Peta Sistem Lahan Jawa versi
RePPProT (skala 1:250,000), Peta Curah Hujan Jawa Barat (skala 1:250,000),
Peta Administrasi Desa, Kecamatan dan Kabupaten (skala 1:25,000), dan petapeta tematik lainnya yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Pengembangan
Sumber daya Lahan Pertanian (BBPPSDLP) dan Bappeda Kabupaten Majalengka.
Alat analisis yang digunakan adalah software pengolah data (Excell, dan
SANNA) serta software sistem informasi geografis (ArcGIS). Jenis data, sumber
data, teknik analisis dan keluaran yang diharapkan untuk masing-masing tujuan
penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran
No

Tujuan

Jenis dan Sumber
data

Teknik
analisis

Output yang
diharapkan

1

Identifikasi wilayah dengan
keunggulan komparatif dan
kompetitif komoditas pertanian
terpilih

Data Sektoral
LQ, SSA
Kabupaten (BPS dan
BAPPEDA)

Kecamatan yang unggul
untuk tiap komoditas dan
sebaran spasialnya

2

Mengindentifikasi potensi fisik
lahan untuk komoditas pertanian
terpilih

Peta dasar dan
Metode
tematik (BAPPEDA , Matching
BBPPSDLP )

Peta Kesesuaian Lahan
untuk komoditas terpilih

3

Identifikasi desa basis industri
kecil pengolah hasil pertanian

Potensi Industri
Kabupaten
(DISKUKMPERINDAG)

LQ

Desa basis industri dan
sebaran spasialnya

4

Mengidentifikasi tingkat fasilitas Data Potensi Desa
pelayanan desa dan aksebilitasnya (BPS)
untuk mendukung pengembangan
industri

Skalogram

Desa hirarki I tingkat
fasilitas pelayanan dan
aksebilitas dan sebaran
spasialnya

5

Menetapkan Arahan wilayah
pengembangan industri kecil
berbasis komoditas unggulan dan
wilayah pengembangan
komoditasnya
a. Menentukan wilayah
pengembangan indusri

Hasil analisis

Penetapan
kriteria

Wilayah pengembangan
industri kecil

b. Menentukan wilayah
pengembangan komoditas

Hasil analisis

Penetapan
kriteria

Wilayah pengembangan
komoditas

c. Menetapkan arahan prioritas
program pembangunan

Kuesioner (Persepsi
stakeholder)

MCDMTOPSIS

Prioritas program
pembangunan

14
3.3 Metode Analisis Data
Tahapan analisis data mengikuti bagan alir yang tersaji pada Gambar 2.
Berdasarkan bagan alir tersebut, hal yang pertama dilakukan adalah
mengidentifkasi wilayah yang unggul secara komparatif-kompetitif dalam tingkat
kecamatan dengan menggunakan analisis LQ dan analisis shift share (SSA). Nilai
LQ digunakan untuk menunjukkan tingkat comparativeness untuk suatu
komoditas unggulan, sedangkan nilai SSA menunjukkan tingkat competitivenessnya.
Persepsi
stakeholder

Analisis MCDM

Prioritas program
pembangunan
industri
pengolahan hasil
pertanian

Peta
administrasi
dan tematik
(kabupaten)

fasilitas
pelayanan
dan
Aksebilitas
(Podes)

Analisis
Kesesuaian
Lahan

Analisis
Skalogram

Potensi
penge