Analisis Xilooligosakarida Hasil Hidrolisis Bagas dengan Xilanase dari Bakteri Laut Bacillus safensis P20.

ANALISIS XILOOLIGOSAKARIDA HASIL HIDROLISIS
BAGAS DENGAN XILANASE DARI BAKTERI LAUT
Bacillus safensis P20

TANTRY FEBRINASARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis
Xilooligosakarida Hasil Hidrolisis Bagas dengan Xilanase dari Bakteri Laut
Bacillus safensis P20 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Tantry Febrinasari
NIM. F24110048

ABSTRAK
TANTRY FEBRINASARI. Analisis Xilooligosakarida Hasil Hidrolisis Bagas
dengan Xilanase dari Bakteri Laut Bacillus safensis P20. Dibimbing oleh
BUDIATMAN SATIAWIHARDJA dan YOPI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaataan bagas
melalui upaya biokonversi bagas menjadi produk xilooligosakarida (XOS).
Produksi XOS dilakukan melalui proses hidrolisis enzimatis dengan xilanase yang
dihasilkan oleh bakteri laut Bacillus safensis P20. Waktu optimum produksi
xilanase adalah 24 jam, yaitu dengan aktivitas xilanase sebesar 4.16 U/mL.
Xilanase Bacillus safensis P20 memiliki kondisi reaksi optimum pada pH 7 dan
suhu 50oC. Metode pemekatan xilanase yang dipilih adalah menggunakan proses
dialisis dengan bantuan PEG (polietilen glikol) 6000 karena menghasilkan
aktivitas xilanase tertinggi sebesar 19.62 U/mL dan rendemen tertinggi sebesar
76.15 %. Proses hidrolisis bagas oleh xilanase dilakukan pada konsentrasi substrat

0.5 %, 1.0 %, dan 1.5 % selama 1, 2, dan 4 jam. Hasil TLC menunjukkan bahwa
proses hidrolisis mampu menghasilkan senyawa oligosakarida namun diduga
bukan senyawa xilooligosakarida. Hasil analisis HPLC memperkuat data TLC
bahwa hasil hidrolisis yang diperoleh merupakan senyawa xiloglukan terhidrolisis
dalam bentuk heptasakarida, oktasakarida, dan nonasakarida.
Kata kunci: Bacillus safensis P20, Bagas, Xilanase, Xiloglukan, Xilooligosakarida

ABSTRACT
TANTRY FEBRINASARI. Analysis of Xylooligosaccharides Production by
Hydrolysis of Sugar Cane Bagasse with Xylanase from Marine Bacteria Bacillus
safensis P20. Supervised by BUDIATMAN SATIAWIHARDJA and YOPI.
This research aims to optimize the utilization of sugar cane bagasse
through bioconversion into xylooligosaccharides (XOS). XOS production was
carried out by enzymatic hydrolysis of sugar cane bagasse with xylanase produced
by marine bacteria Bacillus safensis P20. The optimum time to produce xylanase
was 24 hours, with xylanase activity of 4.16 U/mL. Xylanase of Bacillus safensis
P20 has optimum reaction at pH 7 and 50 °C. The most effective xylanase
concentration method was using dialysis with PEG (polyethylene glycol) 6000
due to the highest xylanase activity of 19.62 U/mL and the highest yield of
76.15 %. Hydrolysis process to produce XOS was performed on bagasse substrate

concentrations of 0.5 %, 1.0 %, and 1.5 % for 1, 2, and 4 hours. TLC analysis
showed that the hydrolysis process was capable to produce oligosaccharides but
those were estimated not the type of XOS. The results of HPLC analysis
confirmed that the compound formed in hydrolysis process was hydrolyzed
xyloglucans (heptasaccharide, octasaccharide, and nonasaccharide).
Keywords:

Bacillus safensis P20,
Xylooligosaccharide

Bagasse,

Xylanase,

Xyloglucan,

ANALISIS XILOOLIGOSAKARIDA HASIL HIDROLISIS
BAGAS DENGAN XILANASE DARI BAKTERI LAUT
Bacillus safensis P20


TANTRY FEBRINASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah dengan topik
“Analisis Xilooligosakarida Hasil Hidrolisis Bagas dengan Xilanase dari Bakteri
Laut Bacillus safensis P20” ini ditujukan untuk memenuhi tugas akhir mayor
Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi

Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan karya ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak
langsung hingga penulis dapat menyelesaikan studi program Sarjana dengan baik.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pembimbing Dr Ir.
Budiatman Satiawihardja, M Sc dan Dr Yopi yang telah membimbing,
memberikan banyak ilmu, kritik, saran, dan motivasinya selama menyelesaikan
penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Dr Ir Endang Prangdimurti M Si yang telah menjadi dosen penguji dan
memberikan saran. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh
dosen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan banyak ilmu, wawasan,
serta pengalaman selama masa studi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Mbak Apridah Cameliawati Djohan atas bimbingan, kritik, dan sarannya
selama penelitian dan juga Mbak Alifah Mafatikhul Jannah serta seluruh staf dan
peneliti Lab Biokatalis dan Fermentasi (LBF) LIPI atas bantuan dan kerja
samanya selama proses penelitian.
Penulis sampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta Bapak Dwi
Tantono dan Ibu Soefitriningsih atas kasih sayang, perhatian, doa, dan dukungan
baik secara moral maupun spiritual yang sangat berarti bagi penulis. Terima kasih
penulis sampaikan kepada adik Tantry Puspitasari dan seluruh keluarga atas

segala kasih sayang dan motivasi yang diberikan. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada rekan-rekan di LBF LIPI Fitria, Sari, Puspa, Kak Jalu, Mbak
Winda, Mbak Nia, Mbak Pam, Indri atas kebersamaannya. Terima kasih kepada
rekan-rekan Ilmu dan Teknologi Pangan angkatan 48, khususnya Dian, Indri,
Razanah, Naufal, serta sahabat-sahabat FYCS Ai, Anis, dan Dida atas bantuan,
kebersamaan, dan semangat yang diberikan.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam karya ilmiah ini sehingga
masih membutuhkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca. Besar
harapan penulis agar hasil penelitian dan karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2015
Tantry Febrinasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR LAMPIRAN


vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

3

METODOLOGI


3

Waktu dan Tempat Penelitian

3

Alat dan Bahan

3

Metode Penelitian

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Persiapan Biomassa Bagas


8

Peremajaan Isolat Bakteri Laut Bacillus safensis P20

8

Uji Kualitatif Congo Red Isolat Bacillus safensis P20

9

Pembuatan Kurva Pertumbuhan Sel Isolat Bakteri dan Optimasi Waktu
Produksi Xilanase

11

Optimasi Kondisi pH dan Suhu Reaksi Xilanase

13

Pemekatan Xilanase


15

Produksi dan Analisis Xilooligosakarida

17

SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan

23

Saran

24

DAFTAR PUSTAKA


24

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

35

DAFTAR TABEL
1 Nilai indeks xilanolitik isolat Bacillus safensis P20 yang ditumbuhkan
pada media padat agar xilan dan bagas
2 Kadar gula total, gula pereduksi, dan rendemen produk hasil hidrolisis
bagas oleh xilanase Bacillus safensis P20 pada berbagai perlakuan
waktu hidrolisis dan konsentrasi substrat.

10
18

DAFTAR GAMBAR
1 Tepung bagas 200 mesh
2 Isolat Bacillus safensis P20 yang diremajakan pada media xilan dan
bagas
3 Penampakan zona bening yang dibentuk oleh Isolat Bacillus safensis
P20 pada media padat agar xilan beechwood dan bagas
4 Kurva pertumbuhan sel isolat Bacillus safensis P20 dan aktivitas
xilanase yang diproduksi pada jam ke-0, 6, 12, 24, 48, 72, dan 96.
5 Grafik optimasi pH reaksi aktivitas xilanase.
6 Grafik optimasi suhu reaksi aktivitas xilanase
7 Perbandingan aktivitas xilanase ekstrak kasar dengan xilanase hasil
pemekatan dengan menggunakan PEG 6000, Amicon®, dan Nanosep®.
8 Perbandingan rendemen xilanase setelah dilakukan pemekatan dengan
menggunakan PEG 6000, Amicon®, dan Nanosep®.
9 Kadar gula pereduksi produk hasil hidrolisis bagas oleh xilanase
Bacillus safensis P20 pada berbagai perlakuan konsentrasi substrat dan
waktu hidrolisis.
10 Analisis TLC dari produk hidrolisis bagas dengan enzim xilanase
Bacillus safensis P20.
11 Kromatogram HPLC sampel bagas 0.5 % (waktu hidrolisis 4 jam)
12 Kromatogram HPLC sampel bagas 1.0 % (waktu hidrolisis 4 jam)
13 Kromatogram HPLC sampel bagas 1.5 % (waktu hidrolisis 4 jam)
14 Kromatogram HPLC untuk analisis senyawa standar
15 Kromatogram HPLC senyawa xiloglukan terhidrolisis heptasakarida,
oktasakarida, dan nonasakarida (Megazyme)
16 Struktur xiloglukan terhidrolisis heptasakarida, oktasakarida, dan
nonasakarida

8
9
10
12
13
14
16
16
17
19
20
20
21
21
22
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Diagram Alir Penelitian
Diagram Alir Persiapan Biomassa Bagas dan Perhitungan Rendemen
Data kurva standar D-xilosa
Data pertumbuhan sel isolat Bacillus safensis P20 dan aktivitas xilanase
(U/mL) yang diproduksi pada jam ke-0, 6, 12, 24, 36, 48, 72, dan 96
5 Data optimasi pH dan suhu reaksi xilanase
6 Data pemekatan xilanase
7 Data kadar gula total dan gula pereduksi

28
29
30
30
31
32
33

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki potensi besar di
sektor pertanian, khususnya pada subsektor tanaman pangan. Salah satu komoditi
pertanian tanaman pangan yang produktivitasnya cukup besar di Indonesia adalah
tebu. Kebutuhan gula nasional yang semakin meningkat akibat jumlah penduduk
yang semakin bertambah disertai dengan target swasembada gula nasional
merupakan beberapa faktor yang terus mendorong peningkatan produktivitas
komoditas tebu setiap tahunnya. Berdasarkan data statistik Kementan RI (2014),
produksi tebu nasional terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu
pada tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014 secara berturut-turut sebesar 2.27 juta,
2.44 juta, 2.58 juta, dan 2.79 juta ton tebu/tahun.
Seiring dengan peningkatan jumlah produksi tebu, jumlah limbah yang
dihasilkan dari proses pengolahan tebu juga mengalami peningkatan. Bagas
merupakan salah satu limbah tebu padat yang diperoleh dari proses pembuatan
gula tebu, yaitu sekitar 30 % dari jumlah total tebu utuh yang digiling (Bon 2008).
Sebagian besar bagas yang dihasilkan biasanya dimanfaatkan oleh pabrik gula
sebagai bahan bakar boiler dan beberapa bagian kecil lainnya dimanfaatkan
sebagai pakan ternak atau campuran pulp pada pembuatan kertas. Sisanya, yaitu
sekitar 40 % dari jumlah total bagas, tidak dimanfaatkan dan kemudian hanya
akan dibakar untuk mengurangi jumlah yang disimpan. Oleh karena itu, dalam
dekade terakhir ini mulai banyak penelitian yang bertujuan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan limbah pertanian, salah satunya bagas, melalui upaya biokonversi
yang mampu menghasilkan beberapa produk turunan yang bernilai ekonomi tinggi,
salah satunya adalah xilooligosakarida (XOS). Selain memberikan nilai tambah,
biokonversi limbah pertanian seperti bagas ini juga dapat membantu mengatasi
dampak buruk lingkungan akibat akumulasi limbah (Camassola dan Dillon 2009).
Seperti halnya limbah pertanian pada umumnya, sebagian besar bagas
tersusun atas serat yang disebut lignoselulosa. Komponen lignoselulosa tersebut
yang kemudian akan dikonversi menjadi beberapa produk, seperti biogas,
bioetanol, gula, oligosakarida, dan lain-lain. Komposisi lignoselulosa pada bagas
terdiri dari 37 % selulosa, 28 % hemiselulosa, dan 21 % lignin yang saling
berikatan kompleks (Bon 2008; Eun et al. 2006). Xilan merupakan komponen
terbesar penyusun hemiselulosa yang tersusun atas 100-200 unit monomer xilosa
dengan ikatan ß-1,4 (Sunna dan Antranikian 1997). Hasil hidrolisis polimer xilan
mampu menghasilkan XOS yang rantai utamanya tersusun atas 2‒10 unit xilosa.
Kadar xilan pada bagas dapat berbeda-beda tergantung pada varietas tebu, tingkat
kematangan, cara panen, dan efisiensi proses pengambilan nira (Hardjo et al.
1989). Menurut Richana et al. (2004), kadar xilan per berat kering (bk) bagas
adalah 9.6 %, sedangkan menurut Wiselogel et al. (1997), kadar xilan pada bagas
adalah 21.1 % (bk). Kandungan xilan yang cukup tinggi ini yang membuat bagas
cukup potensial dijadikan sebagai substrat untuk menghasilkan XOS.
Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi pangan fungsional,
XOS muncul sebagai inovasi senyawa prebiotik yang cukup prospektif karena
memiliki keunggulan dibandingkan dengan jenis prebiotik yang lain, seperti FOS

2
(fruktooligosakarida), GOS (galaktooligosakarida), dan inulin, yaitu lebih stabil
pada kisaran pH yang luas (2.5-8.0) dan bahkan stabil pada pH asam lambung,
stabil pada suhu hingga 100 oC (Bhat 1998), serta mampu menstimulasi level
pertumbuhan Bifidobacteria pada tingkat yang lebih tinggi (Tuohy et al. 2005).
XOS dapat dimanfaatkan sebagai prebiotik karena perannya sebagai nondigestible food ingredient mampu menstimulasi pertumbuhan bakteri baik atau
probiotik dalam usus, seperti Bifidobacteria, dan Lactobacillus, sehingga dapat
meningkatkan kesehatan sistem pencernaan manusia (Moure et al. 2006; Vázquez
et al. 2000). Konsumsi XOS juga dapat memberikan keuntungan kesehatan
lainnya bagi tubuh, diantaranya mencegah resiko diabetes, meningkatkan
penyerapan kalsium, mencegah karies gigi, serta mencegah penyakit
kardiovaskular (Grootaert et al. 2007; Wang et al. 2009). Berbagai jenis produk
aplikasi XOS telah secara luas dipasarkan di dunia, terutama di negara-negara
Asia, antara lain sebagai suplemen makanan, gula, permen karet, minuman ringan
non-alkohol, dan makanan bayi (Makelainen et al. 2009).
Proses hidrolisis bagas untuk memproduksi XOS dilakukan dengan
menggunakan metode enzimatis karena metode ini memiliki beberapa keuntungan,
antara lain sifatnya yang sangat selektif, sedikit menghasilkan monosakarida,
tidak menghasilkan senyawa toksik (seperti furfural), dapat dilakukan pada
temperatur ruang dan tekanan atmosfer, serta tidak mencemari lingkungan
(Aachary dan Prapulla 2011; Taherzadeh dan Karimi 2007). Enzim yang
digunakan untuk menghidrolisis xilan adalah xilanase. Xilanase dapat dihasilkan
oleh beberapa jenis bakteri. Salah satu jenis bakteri penghasil xilanase yang luas
digunakan di industri karena dapat memproduksi lebih banyak enzim
dibandingkan dengan bakteri lainnya adalah Bacillus sp. Beberapa bakteri
Bacillus sp. yang hidup di laut mampu memproduksi xilanase pada media yang
mengandung substrat bagas, salah satunya adalah Bacillus safensis P20 (Rahmani
et al. 2014). Pemilihan bakteri laut sebagai penghasil xilanase ini bertujuan untuk
memaksimalkan pemanfaatan kekayaan biodiversitas mikroorganisme laut asli
Indonesia yang hingga saat ini masih belum banyak dilakukan. Selain itu, bakteri laut
diharapkan memiliki karakter yang lebih dapat beradaptasi dan bertahan meski di
lingkungan yang ekstrim dibandingkan dengan bakteri yang berasal dari darat karena
berasal dari lingkungan laut yang memiliki kondisi tekanan dan salinitas tinggi, suhu
rendah, serta kedap cahaya (Prasad dan Sethi 2013). Berdasarkan latar belakang di
atas, penelitian ini bertujuan untuk memproduksi dan menganalisis XOS hasil
hidrolisis bagas dengan xilanase dari bakteri laut Bacillus safensis P20.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah memproduksi dan mengoptimasi xilanase
dari bakteri laut Bacillus safensis P20 untuk memproduksi xilooligosakarida dari
limbah biomassa bagas, menentukan pH, suhu, dan konsentrasi substrat optimum
dalam memproduksi xilooligosakarida, serta menganalisis secara kuantitatif dan
kualitatif produk xilooligosakarida yang dihasilkan dari proses hidrolisis biomassa
bagas dengan xilanase.

3
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memperoleh alternatif pemanfaatan
produk samping pertanian bagas sebagai biomassa yang prospektif untuk
memproduksi xilooligosakarida yang dapat diaplikasikan sebagai prebiotik pada
produk pangan fungsional.

METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai Juni 2015 di Laboratorium
Biokatalis dan Fermentasi, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah ring flaker, hammer
mill, vibrator screen, alat-alat gelas laboratorium kimia, cawan petri steril, ose
steril, sumbat kapas, tips steril, micropipet, microtube (tabung eppendorf), neraca
analitik, stopwatch, spektrofotometer UV-Vis U-3900H (Hitachi), laminar air flow
Bioclean Bench Sanyo, tabung Amicon® (Merck) dan Nanosep® (Sigma), bejana
Thin Layer Chromatography (TLC), sprayer TLC, High Performance Liquid
Chromatography (HPLC), inkubator kocok (TAITEC Bioshaker BR-23FP),
inkubator bakteri, autoklaf (Tommy SX-500), penangas air, dry-block, sentrifuse,
freezer, dan refrigerator.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ampas tebu atau
bagas, isolat bakteri laut xilanolitik yaitu Bacillus safensis P20 yang diperoleh
dari perairan laut Pulau Pari Teluk Jakarta, xilan beechwood (Sigma X4252-25G),
akuades, pepton (Bacto 211677), ekstrak khamir (Bacto 212750), ASW/Artificial
Sea Water (C50406), agar (Bacto 214010), pereaksi DNS/Dinitrosalisilic Acid
(DNS (Sigma D0550), NaOH (Merck 1.06498.1000), KNa.Tartrat (Merck
1.08087.1000), dan larutan fenol 5 % (Merck 1.00206.1000)), buffer sitrat pH 3, 4
dan 5 (50 mM), buffer fosfat pH 6 dan 7 (50 mM), buffer glisin dan NaOH pH 8,
9, dan 10 (50 mM), standar xilosa (Sigma X3877-25G), standar glukosa (Merck
1.08337.1000), congo red (C.1.22120) (Merck 1.01340.0025), NaCl 2 % (Merck
1.06404.1000), PEG/Polietilen Glikol 6000 (Merck 25322-68-2), standar
oligosakarida (xilosa (Megazyme K-XYLOSE), xilobiosa (Megazyme O-XBI),
xilotriosa (Megazyme O-XTR), xilotetrosa (Megazyme O-XTE), xilopentosa
(Megazyme O-XPE), dan xiloheksosa (Megazyme O-XHE)), pelat TLC (silica gel
60 F254, Merck), pereaksi DAP (α-difenilamin (Merck 1.03086.0100), anilin (J.T.
Baker 9110.01), aseton (Merck 1.00014.2500), dan asam fosfat), n-butanol
(Merck 1.01990.1000), asam asetat (Merck 1.00063.2500), H2SO4 98 % (Merck
1.00731.2500), dan larutan fenol 5 %.

4
Metode Penelitian
Persiapan Biomassa Bagas
Bagas yang masih dalam keadaan basah dikeringkan dengan cara dijemur
di bawah sinar matahari dengan menggunakan solar dryer (bagas tidak
mengalami pencucian terlebih dahulu). Bagas yang telah kering dipotong-potong
dengan panjang ±10 cm, lalu digiling dengan ring flaker menghasilkan serpihan
kasar bagas, dan kemudian digiling kembali dengan hammer mill menghasilkan
tepung bagas. Tepung bagas hasil giling diayak dengan menggunakan vibrator
screen dengan ukuran screen 200 mesh. Tepung bagas 200 mesh tersebut yang
digunakan sebagai substrat untuk memproduksi xilooligosakarida.
Peremajaan Isolat Bacillus safensis P20
Isolat Bacillus safensis P20 ditumbuhkan pada media padat agar dengan
komposisi media mineral yang digunakan ASW 3.8 %, ekstrak khamir 0.05 %,
pepton 0.075 %, agar 2 %, dan substrat (xilan beechwood atau bagas) 0.5 % dalam
akuades (modifikasi Mandels dan Sternberg 1976). Komposisi media diaduk
menggunakan pengaduk magnet sampai homogen, selanjutnya disterilisasi dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. Media yang telah siap
dituangkan ke dalam cawan petri di dalam ruang beraliran udara (laminar) lalu
didiamkan hingga memadat. Peremajaan isolat bakteri dilakukan dengan
menggoreskan isolat bakteri menggunakan jarum ose steril pada media padat agar
yang telah disiapkan. Sebelum melakukan penanaman, laminar tempat kerja dan
media padat agar disinari ultraviolet terlebih dahulu selama 15 menit untuk
membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan sehingga dapat menurunkan
risiko kontaminasi sebelum penanaman. Media yang telah ditanami isolat
diinkubasi pada suhu 30 °C dalam inkubator selama kurang lebih dua hari.
Uji Kualitatif Isolat Bacillus safensis P20 (Metode Congo Red)
Sebanyak 1 ose koloni tunggal bakteri yang telah ditumbuhkan di media
padat agar dipindahkan ke dalam microtube yang berisi 50 μl akuades dan
dikocok hingga homogen. Kemudian, isolat bakteri yang telah diencerkan tersebut
diteteskan sebanyak 1 μL pada permukaan dua buah media padat agar yang
masing-masing mengandung substrat xilan beechwood 0.5 % dan bagas 0.5 %,
lalu diinkubasi pada suhu 30 oC selama 3 hari. Setelah bakteri tumbuh, pewarna
congo red 2 % dituang pada permukaan media padat agar yang ditumbuhi oleh
isolat bakteri hingga terendam seluruhnya dan didiamkan selama 30 menit.
Kemudian, pencucian dilakukan dengan menggunakan NaCl 2 % dengan cara
dibilas sebanyak tiga kali dengan perendaman selama 15 menit setiap bilasan.
Bakteri yang memproduksi xilanase membentuk zona bening di sekitar koloni.
Nilai indeks xilanolitik didapatkan dari perbandingan antara lebar zona bening
yang terbentuk (diameter zona bening dikurangi diameter isolat) dengan diameter
isolat (diameter satu koloni yang terbentuk pada media padat agar). Tahap ini
akan mengidentifikasi potensi isolat bakteri dalam memproduksi xilanase secara
kualitatif.

5
Pembuatan Kurva Pertumbuhan Sel Isolat Bacillus safensis P20 dan
Optimasi Waktu Produksi Xilanase.
Proses penumbuhan isolat dilakukan melalui dua tahap, yaitu prekultur
dan kultur. Komposisi media suspensi prekultur dan kultur yang digunakan, yaitu
ASW 3.8 %, ekstrak kamir 0.05 %, pepton 0.075 %, dan substrat bagas 0.5 %
dalam akuades (modifikasi Mandels dan Sternberg 1976). Sebanyak 1 ose koloni
tunggal bakteri dari media padat agar diinokulasikan ke dalam erlenmeyer yang
berisi media prekultur. Prekultur diinkubasi dalam inkubator kocok berkecepatan
150 rpm pada suhu 30 °C selama 24 jam. Selanjutnya, proses kultur dilakukan
dengan cara memindahkan 10 mL media prekultur (10 % dari volume media
kultur) ke dalam erlenmeyer yang berisi 90 mL media kultur. Media kultur
kemudian diinkubasi dalam inkubator kocok berkecepatan 150 rpm pada 30 °C
selama 3 hari yang pada jam ke- 0, 6, 12, 24, 48, 72, dan 96 dilakukan proses
sampling. Kurva pertumbuhan sel dibuat dengan cara melakukan pengukuran
optical density (OD) sel setiap sampel dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 660 nm.
Xilanase ekstrak kasar diperoleh dengan cara sentrifugasi pada kecepatan
6000 rpm selama 15 menit pada suhu 4 °C. Kemudian, supernatan yang
merupakan xilanase ekstrak kasar dipindahkan pada tabung mikro eppendorf dan
disimpan pada freezer pada suhu -20 °C untuk menjaga aktivitas enzim. Waktu
optimum produksi xilanase diperoleh dengan mengukur aktivitas xilanase dengan
metode DNS. Waktu optimum produksi xilanase adalah waktu saat enzim
memiliki aktivitas enzim tertinggi. Waktu optimum yang diperoleh selanjutnya
dapat digunakan untuk memproduksi xilanase dalam skala yang lebih besar (1 L).
Uji Aktivitas Xilanase
Aktivitas xilanase ditentukan dengan
menggunakan metode
Dinitrosalisilic Acid atau DNS (Miller 1959), yaitu mereaksikan 0.25 mL xilanase
yang telah diencerkan dengan faktor pengenceran tertentu dengan 0.25 mL larutan
substrat xilan 0.5 % (b/v) dalam buffer pH optimum selama 30 menit pada suhu
optimum, kemudian ditambahkan pereaksi DNS sebanyak 0.50 mL. Perlakuan
kontrol dibuat dengan cara mereaksikan 0.25 mL larutan substrat xilan 0.5 %
dengan 0.50 mL pereaksi DNS lalu ditambahkan 0.25 mL xilanase, sedangkan
blanko dibuat dengan cara mereaksikan 0.5 mL buffer dengan 0.5 mL pereaksi
DNS. Larutan kontrol berfungsi sebagai faktor koreksi dari kemungkinan adanya
gula pereduksi yang terdapat pada substrat xilan dan enzim yang digunakan,
sedangkan larutan blanko berfungsi kontrol pewarna DNS. Larutan sampel,
kontrol, dan blanko yang telah ditambahkan pereaksi DNS kemudian dipanaskan
pada suhu 90‒100 °C selama 15 menit untuk menginaktivasi enzim
(menghentikan reaksi antara xilanase ekstrak kasar dan substrat) dan mempercepat
reaksi DNS. Setelah pemanasan selesai, ketiga larutan tersebut didinginkan di
dalam es selama 10 menit. Warna yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 540 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh dikonversi
menjadi konsentrasi xilosa (ppm) menggunakan persamaan yang didapat dari
kurva standar xilosa. Kurva standar xilosa dibuat dengan cara melarutkan 0.01 g
D-xilosa ke dalam 10 mL buffer (1000 ppm), kemudian diencerkan pada
konsentrasi 50, 100, 150, 200, 250, 300, dan 350 ppm. Sebanyak 0.5 mL larutan

6
xilosa dari hasil pengenceran kemudian direaksikan dengan 0.5 mL pereaksi DNS,
dipanaskan 15 menit dalam penangas air 90-100 °C, didinginkan dalam es selama
10 menit, kemudian diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 540 nm. Nilai aktivitas enzim (U/mL) ditentukan
menggunakan rumus yang tertera pada Lampiran 3(b).
Optimasi pH dan Suhu Reaksi Xilanase
Kondisi pH dan suhu reaksi xilanase optimum ditentukan melalui uji
aktivitas xilanase yang direaksikan pada variasi pH dan suhu. Optimasi pH
dilakukan dengan dengan mereaksikan larutan sampel, kontrol, dan blanko dengan
metode DNS pada berbagai variasi pH menggunakan buffer sitrat pH 3, 4 dan 5
(50 mM), buffer fosfat pH 6 dan 7 (50 mM), buffer glisin dan NaOH pH 8, 9, dan
10 (50 mM) sebagai pelarut substrat, pengencer enzim, dan blanko. Kemudian,
masing-masing larutan sampel, kontrol, dan blanko dengan pH yang berbeda-beda
tersebut direaksikan dengan metode DNS. Kondisi pH optimum adalah pH reaksi
yang menghasilkan aktivitas enzim maksimum. Optimasi suhu dilakukan dengan
mereaksikan larutan sampel, kontrol, dan blanko dengan metode DNS pada suhu
30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100 oC di dry-block. Kondisi suhu optimum adalah suhu
reaksi yang menghasilkan aktivitas enzim maksimum. Hasil optimasi pH dan suhu
digunakan sebagai kondisi pengujian aktivitas xilanase dan reaksi hidrolisis dalam
produksi xilooligosakarida.
Pemekatan Xilanase
Pemekatan xilanase menggunakan dua jenis prinsip pemekatan enzim,
yaitu dialisis dan ultrafiltrasi. Pemekatan melalui dialisis dilakukan dengan
menggunakan membran dialisis dan serbuk PEG (polietilen glikol) 6000, yaitu
dengan memasukkan xilanase ekstrak kasar pada kantung membran dialisis yang
kemudian diikat kuat pada setiap ujungnya agar tidak terjadi kebocoran, lalu
diletakkan pada gelas piala yang berisi serbuk PEG 6000 di dalamnya hingga
seluruh permukaan kantung dialisis tertutupi oleh serbuk PEG. Serbuk PEG
berfungsi untuk membantu proses pemekatan dengan cara mengikat dan menjerap
pelarut air yang terkandung di dalam larutan enzim. Proses dialisis dilakukan pada
suhu 4 oC selama 5 jam. Xilanase pekat yang diperoleh adalah bagian cairan yang
tertahan di dalam kantung membran dialisis setelah proses dialisis berakhir.
Sebelum digunakan untuk proses hidrolisis, enzim pekat yang diperoleh didialisis
kembali menggunakan buffer fosfat 20 mM pH 7 selama 12 jam untuk
menghilangkan PEG yang mungkin tercampur pada enzim selama proses
pemekatan.
Pemekatan dengan ultrafiltrasi menggunakan dua jenis tabung sentrifugasi
bermembran, yaitu tabung Amicon® dan Nanosep® dengan ukuran membran
sebesar 10 kDa MWCO (1 Da = 1,6602.10 –24 gr) . Xilanase ekstrak kasar
dimasukkan ke dalam tabung Amicon® sebanyak 10 mL lalu dilakukan
sentrifugasi dengan kecepatan 4000 g selama 60 menit, sedangkan ke dalam
tabung Nanosep® dimasukkan Xilanase ekstrak kasar sebanyak 0.5 mL dan
kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 4000 g selama 30 menit.
Xilanase pekat yang diperoleh adalah bagian cairan yang tidak lolos saring.

7
Produksi Xilooligosakarida
Xilanase ekstrak kasar yang telah dipekatkan direaksikan dengan substrat
bagas 0.5 %, 1,0 %, dan 1.5 % (dalam buffer fosfat pH 7 50 mM) dengan
perbandingan substrat:enzim sebesar 1:1 pada suhu 50 oC. Waktu sampling yang
dilakukan bervariasi yaitu pada jam ke-1, 2, dan 4. Produk yang dihasilkan
selanjutnya dilakukan analisis gula pereduksi dan gula total, TLC (Thin Layer
Chromatography), serta HPLC (High Performance Liquid Chromatography).
Analisis Gula Pereduksi dan Gula Total
Analisis gula pereduksi dilakukan dengan menggunakan metode DNS
(Miller 1959), sedangkan analisis gula total dilakukan dengan menggunakan
metode fenol sulfat (Dubois et al. 1956). Metode fenol sulfat dilakukan dengan
mereaksikan 0.25 mL larutan sampel dengan 0.25 mL larutan fenol dan 1.25 mL
H2SO4 pekat. Setelah itu diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang, kemudian
dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 40 oC selama 30 menit hingga terjadi
perubahan warna. Hasil reaksi dibaca pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang 490 nm. Kadar gula total diperoleh dengan perhitungan menggunakan
persamaan kurva standar glukosa.
Analisis TLC (Thin Layer Chromatography)
Kandungan oligosakarida secara kualitatif dianalisis menggunakan
kromatografi lapis tipis (TLC). Sampel yang diuji adalah larutan hasil reaksi
hidrolisis bagas dengan xilanase. Sebanyak 4 μL tiap sampel ditotolkan pada pelat
TLC 20 x 10 cm dengan micropipet. Jarak antar sampel adalah 0.4 cm. Standar
yang digunakan adalah xilosa, xilobiosa, xilotriosa, xilotetraosa, xilopentosa,
xiloheksosa dengan konsentrasi 100 ppm. Setelah selesai penotolan, sampel
dikeringkan dan kemudian pelat TLC dimasukan ke dalam chamber glass yang
diisi dengan eluen (n-butanol: asam asetat: akuades dengan perbandingan 2:1:1
v/v/v). Pergerakan eluen diamati dari batas bawah ke batas akhir (1 cm dari tepi
bawah silika gel sampai 1 cm dari tepi atas). Setelah itu, pelat dikeluarkan dari
chamber glass dan dibiarkan kering di lemari asam. Pewarnaan dilakukan dengan
menyemprotkan pereaksi DAP (0.2 g α-difenilamin, 0.2 mL anilin, 10 mL aseton,
dan 1.5 mL asam fosfat) dan kemudian pelat TLC didiamkan kembali sampai
kering. Pelat TLC yang sudah kering dipanaskan pada suhu 120 oC selama 15
menit sampai noda pada pelat TLC muncul.
Analisis Sampel dengan Instrumen HPLC
Senyawa standar (xilosa, xilobiosa, xilotriosa, xilotetraosa, xiloheksosa)
dan sampel sakarida yang yang dihasilkan dipreparasi terlebih dahulu, yaitu
sebanyak 0.3 µL sampel difilter dengan menggunakan membran yang terdapat
pada vial dengan ukuran membran 0.45 μm. Sampel yang telah dipreparasi
kemudian dipisahkan dengan menggunakan HPLC dengan sistem kolom
pengemas Agilent Hiplex Ca (Duo) (6.5 ID x 300 mm), eluen akuades atau milliQ
100 %, suhu 85 °C, laju alir 10.6 mL/min, dan detektor refractive index detector
(RID).

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Biomassa Bagas
Tahap persiapan biomassa bagas merupakan tahap awal untuk
memperoleh sampel tepung bagas yang akan digunakan sebagai substrat pada
proses produksi xilooligosakarida. Persiapan sampel diawali dengan menjemur
bagas di bawah sinar matahari yang bertujuan untuk mengeringkan bagas agar
lebih mudah digiling serta mencegah terjadinya kebusukan pada bagas oleh
mikroba pembusuk, terutama kapang, yang dapat menurunkan kualitas bagas.
Bagas yang telah kering kemudian digiling dan diayak hingga menghasilkan
bagas dalam bentuk tepung berukuran 200 mesh. Penampakan tepung bagas
dengan ukuran 200 mesh dapat dilihat pada Gambar 1. Rendemen akhir yang
dihasilkan setelah melalui proses penggilingan dan pengayakan hingga diperoleh
tepung bagas 200 mesh adalah 38.24 %. Diagram alir persiapan biomassa bagas
dan perhitungan rendemen dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 1 Tepung bagas 200 mesh
Proses penggilingan bagas menjadi tepung dapat memutus ikatan dinding
sel sehingga diharapkan dapat mempermudah penetrasi enzim ke dalam matriks
bagas untuk memecah komponen substrat spesifiknya, yaitu xilan, dan
menghasilkan produk akhir berupa xilooligosakarida. Partikel substrat yang
semakin kecil juga akan memperluas permukaan partikel substrat yang kontak
dengan bakteri saat memproduksi xilanase, sehingga semakin mempermudah
bakteri untuk memanfaatkan substrat yang akan menginduksi produksi xilanase.
Peremajaan Isolat Bakteri Laut Bacillus safensis P20
Menurut Hernandez et al. (2009), peremajaan isolat bertujuan untuk
memperoleh isolat segar yang masih memiliki sistem metabolisme yang aktif
untuk melakukan pertumbuhan dan memproduksi metabolit, salah satunya adalah
enzim. Peremajaan isolat juga merupakan upaya yang dilakukan untuk
mempertahankan sifat alami isolat bakteri laut serta mencegah terjadinya
kerusakan pada isolat, seperti penurunan viabilitas dan stabilitas sel yang dapat
menurunkan potensi sel isolat tersebut. Peremajaan isolat dilakukan dengan cara
menumbuhkan isolat pada media padat agar yang mengandung substrat yang
mendukung pertumbuhannya. Komposisi media padat agar yang digunakan
mengacu pada Mandels dan Stemberg (1976) dengan memodifikasi sumber

9
karbonnya (sumber karbon yang digunakan adalah xilan beechwood dan bagas).
Hasil isolat yang telah diremajakan memiliki penampakan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.

(a)

(b)

Gambar 2 Isolat Bacillus safensis P20 yang diremajakan pada media padat agar
yang mengandung (a) xilan dan (b) bagas.
Uji Kualitatif Isolat Bacillus safensis P20 (Metode Congo Red)
Uji congo red bertujuan untuk mengetahui secara kualitatif aktivitas
xilanase yang dihasilkan oleh isolat sehingga dapat diketahui seberapa besar
potensi isolat dapat menghasilkan xilanase untuk mendegradasi substrat. Isolat
ditumbuhkan pada dua jenis media padat agar dengan sumber karbon yang
berbeda, yaitu media padat agar xilan beechwood (kontrol) dan media padat agar
bagas. Isolat yang mampu menghasilkan xilanase ditandai dengan terbentuknya
zona bening di sekitar koloni setelah dilakukan pewarnaan. Semakin besar
diameter zona bening yang terbentuk menunjukkan semakin banyaknya substrat
yang terdegradasi sehingga dapat diindikasikan bahwa aktivitas xilanase yang
dihasilkan oleh isolat semakin tinggi.
Metode ini menggunakan 2 jenis larutan, yaitu larutan pewarna congo red
0.2 % dan larutan NaCl 2 %. Pewarna congo red akan berikatan dengan substrat.
Semakin banyak komponen substrat yang berbentuk polisakarida maka akan
semakin kuat ikatan yang terjadi. Hal ini disebabkan polisakarida memiliki
struktur yang panjang dan tersusun rapat sehingga pewarna congo red akan
terperangkap dan terikat lebih kuat dibandingkan pada substrat yang memiliki
ukuran lebih pendek, seperti monosakarida dan oligosakarida. Larutan NaCl 2 %
berfungsi sebagai larutan pencuci karena bersifat higroskopis sehingga dapat
menyerap pewarna congo red yang tidak terikat atau terikat lemah pada substrat.
Semakin lemah ikatan yang terbentuk antara congo red dengan substrat
maka pewarna congo red akan semakin mudah dicuci oleh larutan NaCl. Oleh
karena itu, setelah proses pencucian dengan larutan NaCl, media yang
mengandung substrat monosakarida dan oligosakarida akan berwarna lebih pudar
dan membentuk zona bening. Hal ini menunjukkan bahwa terbentuknya zona
bening di sekitar koloni disebabkan oleh proses degradasi substrat yang berbentuk
polisakarida menjadi monosakarida dan oligosakarida oleh xilanase yang
dihasilkan oleh isolat (Yopi et al. 2006). Penampakan zona bening yang dibentuk
oleh Isolat Bacillus safensis P20 pada media padat agar xilan dan media padat
agar bagas dapat dilihat pada Gambar 3.

10

(a)

(b)

Gambar 3 Penampakan zona bening yang dibentuk oleh Isolat Bacillus safensis
P20 pada (a) media padat agar xilan beechwood dan (b) media padat
agar bagas.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa isolat Bacillus
safensis P20 cukup potensial untuk menghasilkan xilanase, baik pada pada media
padat agar xilan beechwood maupun media padat agar bagas, yang ditandai
dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni. Secara visual, zona bening
yang terbentuk pada media padat agar bagas terlihat agak samar jika dibandingkan
dengan zona bening yang terbentuk pada media padat agar xilan beechwood. Hal
ini disebabkan substrat bagas masih mengandung komponen senyawa lain, seperti
lignin, yang tidak mampu didegradasi oleh enzim yang dihasilkan oleh isolat
sehingga tidak terbentuk zona bening secara keseluruhan pada media, sedangkan
substrat xilan beechwood merupakan xilan murni sehingga pemecahannya oleh
xilanase lebih spesifik dan zona bening yang terbentuk lebih jelas.
Tabel 1 Nilai indeks xilanolitik isolat Bacillus safensis P20 yang ditumbuhkan
pada media padat agar xilan dan media padat agar bagas
Substrat

Diameter isolat
(cm)

Diameter zona bening
(cm)

Indeks Xilanolitik

Xilan

0.43

3.70

7.60

Bagas

0.57

5.02

7.81

Keterangan:

Nilai aktivitas xilanase yang dihasilkan pada masing-masing media secara
semikuantitatif dapat dibandingkan berdasarkan nilai indeks xilanolitik. Nilai
indeks xilanolitik yang diperoleh menunjukkan bahwa isolat yang ditumbuhkan
pada substrat bagas memiliki indeks xilanolitik lebih besar (7.81) dibandingkan
dengan isolat yang ditumbuhkan pada substrat xilan beechwood (7.60) (Tabel 1).
Hal ini disebabkan isolat yang ditumbuhkan pada media bagas diduga tidak hanya
menghasilkan xilanase namun juga terdapat jenis enzim lainnya yang mampu
memecah jenis komponen polisakarida lain pada bagas sehingga area zona bening
yang terbentuk lebih luas. Dugaan tersebut diperkuat dengan literatur yang

11
menyatakan bahwa bakteri Bacillus safensis juga mampu memproduksi enzim
selulase (Khianngam et al. 2014) dan enzim mananase (Djohan 2012). Akan tetapi,
perbedaan indeks xilanolitik ini belum dapat menunjukan aktivitas xilanase secara
kuantitatif sehingga perlu dilakukan uji aktivitas enzim lainnya agar data yang
diperoleh lebih akurat.
Pembuatan Kurva Pertumbuhan Sel Isolat Bakteri dan Optimasi Waktu
Produksi Xilanase
Pembuatan kurva pertumbuhan sel dan aktivitas xilanase dilakukan dengan
menumbuhkan isolat yang telah diremajakan ke dalam media suspensi yang
mengandung substrat bagas (modifikasi pada Mandels dan Stemberg 1976),
kemudian dilakukan proses sampling pada jam ke- 0, 6, 12, 24, 48, 72, dan 96
untuk diukur jumlah sel dan aktivitas xilanasenya. Isolat terlebih dahulu
diinokulasikan ke dalam media prekultur dan diinkubasi selama 1 hari sebelum
ditumbuhkan pada media kultur. Tahap prekultur bertujuan agar isolat dapat
beradaptasi pada media suspensi bagas sebelum dikulturkan serta sebagai
stimulasi atau rangsangan isolat untuk menghasilkan enzim (Wahyuningsih 2011).
Pengukuran jumlah sel isolat dilakukan dengan mengukur absorbansi sel
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm, sedangkan
aktivitas enzim diukur dengan menggunakan metode Dinitrosalisilic Acid atau
DNS (Miller 1959). Xilanase merupakan enzim ekstraseluler (eksoenzim)
sehingga enzim yang dihasilkan akan disekresikan ke luar sel dan berdifusi ke
dalam media (Waluyo 2007). Isolasi xilanase ekstra kasar dilakukan dengan
proses sentrifugasi untuk memisahkan enzim dari komponen lainnya, seperti sel
bakteri dan substrat. Proses sentrifugasi dilakukan pada suhu 4 oC untuk
menghindari denaturasi enzim. Supernatan yang diperoleh merupakan sampel
enzim ekstrak kasar yang digunakan untuk analisis aktivitas enzim.
Reaksi dengan DNS merupakan jenis reaksi redoks yang terjadi antara
pereaksi DNS dan gula pereduksi membentuk senyawa asam 3-amino-5nitrosalisilat yang akan memberikan warna jingga kemerahan yang dapat dibaca
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm (Miller 1959).
Semakin pekat perubahan warna yang dihasilkan, semakin banyak gula pereduksi
yang dihasilkan dari pemecahan substrat oleh enzim sehingga dapat dikatakan
bahwa aktivitas enzim semakin tinggi. Satuan aktivitas xilanase adalah U/mL,
yang diartikan sebagai jumlah μmol xilosa yang dihasilkan per menit untuk setiap
mL enzim pada kondisi pengujian.
Kurva pertumbuhan sel isolat akan menunjukkan setiap fase dari
pertumbuhan isolat tersebut, sedangkan kurva aktivitas xilanase akan
menunjukkan waktu optimum produksi xilanase. Waktu optimum produksi
xilanase adalah waktu inkubasi saat xilanase yang dihasilkan memiliki aktivitas
tertinggi. Kurva pertumbuhan sel dan aktivitas enzim dapat dilihat pada Gambar 4.
Grafik tersebut menunjukkan hubungan linear antara pertumbuhan sel isolat
Bacillus safensis P20 dengan kemampuannya dalam memproduksi xilanase.

12
5.00

4.16

1.800

4.00

1.600

3.00

1.400

2.00

1.200

1.00

1.000

0.00
0

12

24

36

48 60
Jam ke-

Pertumbuhan Sel

72

84

Aktivitas Enzim (U/mL)

Absorbansi

2.000

96 108

Aktivitas Enzim

Gambar 4 Kurva pertumbuhan sel isolat Bacillus safensis P20 dan aktivitas
xilanase yang diproduksi pada jam ke-0, 6, 12, 24, 48, 72, dan 96.
Fase pertama yang dialami oleh bakteri adalah fase lag. Fase lag
merupakan fase saat bakteri beradaptasi pada lingkungan medium yang baru. Fase
ini terjadi saat isolat ditumbuhkan pada media prekultur. Pertumbuhan sel isolat
mulai terlihat mengalami peningkatan yang cukup drastis dari jam ke-0 hingga
jam ke-12. Fase ini merupakan fase log, yaitu fase saat isolat membelah dengan
cepat mengikuti kurva logaritmik dan mengalami pertumbuhan yang optimal
karena semua nutrisinya untuk tumbuh tercukupi. Akan tetapi, peningkatan
aktivitas xilanase yang dihasilkan pada fase ini tidak terlalu signifikan. Hal ini
diduga karena dalam masa pertumbuhan, isolat cenderung memanfaatkan
komponen selulosa pada substrat bagas sebagai sumber karbonnya sehingga isolat
lebih banyak memproduksi selulase untuk mendegradasi selulosa daripada
memproduksi xilanase. Oleh karena itu, aktivitas xilanase pada fase ini masih
rendah karena xilanase yang diproduksi oleh isolat masih sedikit.
Setelah jam ke-12, pertumbuhan sel isolat mulai melambat hingga jam ke48 dan kemudian sedikit menurun hingga jam ke-96. Akan tetapi, peningkatan dan
penurunan jumlah sel ini tidak terlalu signifikan sehingga terlihat pada grafik
bahwa pertumbuhan sel isolat cenderung konstan. Hal ini menunjukkan bahwa
isolat mulai memasuki fase stasioner, yaitu fase saat jumlah sel cenderung tetap
karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Aktivitas
xilanase meningkat drastis saat memasuki fase ini dan pada jam ke-24 aktivitas
xilanase mencapai titik tertingginya, yaitu sebesar 4.16 U/mL. Waktu optimum
produksi xilanase ini (24 jam) yang selanjutnya menjadi acuan untuk produksi
xilanase dalam skala yang lebih besar. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian
Rahmani et al. (2014), aktivitas xilanase tertinggi yang dihasilkan oleh Bacillus
safensis P20 pada media suspensi bagas didapatkan pada jam ke-96 dengan nilai
aktivitas sebesar 4.06 U/mL. Hal ini dapat berbeda karena kondisi yang digunakan
untuk produksi xilanase juga berbeda, yaitu menggunakan konsentrasi substrat 1.5 %,
suhu inkubasi 20 °C, dan sumber nitrogen berupa urea.
Menurut Pelczar dan Chan (2007), saat fase stasioner isolat cenderung
mengeluarkan metabolit sekunder lebih banyak yang sebagian besar digunakan

13
untuk mempertahankan hidupnya akibat nutrisi yang tersedia mulai habis. Oleh
karena itu, saat komponen selulosa yang dijadikan sebagai sumber karbon utama
sudah mulai habis, isolat mulai banyak memproduksi xilanase untuk
mendegradasi komponen xilan yang akan digunakan sebagai pengganti sumber
karbon untuk mempertahankan hidupnya sehingga aktivitas xilanase yang
dihasilkan pada fase ini meningkat cukup tajam. Hal ini menunjukkan bahwa
xilanase berfungsi sebagai metabolit sekunder karena produksinya cenderung
merupakan kombinasi antara growth associated dan non growth associated serta
dihasilkan secara optimum pada fase stasioner untuk pertahanan hidup.
Pengukuran pertumbuhan sel isolat pada penelitian ini tidak menemukan fase
kematian karena pada jam ke-96 kurva tetap menunjukkan grafik yang stagnan
pada fase stasioner.
Optimasi Kondisi pH dan Suhu Reaksi Xilanase
Optimasi pH dan suhu reaksi xilanase dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kondisi pH dan suhu optimum saat xilanase berada pada aktivitas
tertingginya untuk menghidrolisis substrat. Kondisi pH dan suhu optimum ini
yang kemudian akan digunakan pada proses hidrolisis substrat bagas oleh xilanase
untuk memproduksi xilooligosakarida. Setiap mikroorganisme memiliki
sensitivitas respon yang bervariasi terhadap perubahan pH. Menurut Richana dan
Lestiana (2006), aktivitas optimum enzim berkisar pada pH pertumbuhan
mikroorganisme penghasil enzim tersebut. Berdasarkan hasil yang diperoleh
(Gambar 5), xilanase yang dihasilkan oleh isolat Bacillus safensis P20 memiliki
aktivitas tertinggi pada pH 7, dengan aktivitas sebesar 1.56 U/mL

Aktivitas Enzim (U/ml)

3.50
3.00
2.50
2.00

1.56

1.50
1.00
0.50

0.51

0.65

0.76

4

5

1.39

1.00

0.97

0.81

0.00
3

6

7

8

9

10

pH

Gambar 5 Grafik optimasi pH reaksi aktivitas xilanase.
. Enzim merupakan suatu polimer poliionik sehingga pH sangat
mempengaruhi sifatnya. Perubahan pH dapat mengubah penyebaran muatan pada
sisi aktif semua bagian permukaan dari molekul protein (Illanes et al. 2008). Jika
terdapat pada pH optimum, struktur dan sisi aktif enzim berada pada keadaan
yang paling sesuai untuk berikatan dengan substrat sehingga enzim memiliki

14
aktivitas yang maksimum. Xilanase merupakan enzim yang dapat aktif pada
berbagai kondisi pH tergantung pada organisme penghasilnya. Hasil optimasi pH
yang diperoleh sesuai dengan penelitian Kuhad et al. (2006) yang menyatakan
bahwa Bacillus sp. memproduksi enzim xilanase dengan aktivitas maksimum
pada pH 7. Selain itu, kondisi pH lingkungan pada habitat asal isolat, yaitu pada
perairan laut, cenderung memiliki pH pada kisaran 7‒9 sehingga enzim yang
diproduksi oleh mikroba laut umumnya memiliki pH optimum pada pH yang
netral-basa. Kondisi pH yang cenderung asam dapat menyebabkan penurunan
aktivitas enzim yang signifikan. Jika dilihat dari grafik, penurunan aktivitas enzim
pada pH asam lebih tinggi dibandingkan pada pH basa. Hal tersebut menunjukkan
bahwa perubahan ionisasi pada pH asam berpengaruh lebih besar terhadap daya
katalitik enzim dibandingkan pada pH basa.

Aktivitas Enzim (U/ml)

3.50

3.02

3.00
2.50
2.00

2.14
1.60

1.44

1.50

0.76

1.00
0.41

0.50

0.53

0.50

90

100

0.00
30

40

50

60

70

80

Suhu (oC)

Gambar 6 Grafik optimasi suhu reaksi aktivitas xilanase.
Selain pH, suhu juga berpengaruh terhadap laju reaksi katalitik enzim.
Berdasarkan hasil yang diperoleh (Gambar 6), xilanase memiliki aktivitas
tertinggi ketika direaksikan pada suhu 50 oC, dengan aktivitas sebesar 3.02 U/mL
(direaksikan pada pH optimum 7). Hasil ini sesuai dengan Nam (2004) yang
menyatakan bahwa xilanase memiliki aktivitas optimum pada kisaran suhu
45–80 °C. Suhu akan mempengaruhi energi kinetik molekul. Seiring dengan
meningkatnya suhu, energi kinetik yang terjadi akan semakin tinggi yang ditandai
dengan meningkatkanya frekuensi tumbukan antar molekul sehingga dapat
meningkatkan laju reaksi. Kecepatan reaksi pada sebagian besar enzim meningkat
dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu sebesar 10 oC (Murray et al. 2009). Oleh
karena itu, kenaikan suhu akan diikuti dengan kenaikan aktivitas enzim sebelum
mencapai suhu optimum. Suhu yang lebih tinggi dari suhu optimum akan
menurunkan aktivitas enzim dengan cepat karena enzim terdenaturasi pada suhu
yang tinggi (Septiningrum dan Moeis 2009). Inaktivasi enzim oleh suhu tinggi
terjadi akibat melemahnya kekuatan intermolekuler sehingga mempengaruhi
kestabilan struktur tiga dimensi dari enzim dan kemampuan katalitiknya
berangsur-angsur menurun (Bommarius dan Broering 2005).

15
Pemekatan Xilanase
Pemekatan enzim bertujuan untuk mengurangi pelarut air yang terkandung
dalam larutan enzim sehingga diperoleh enzim yang lebih pekat (konsentrat
enzim). Konsentrat enzim memiliki aktivitas yang tinggi sehingga diharapkan
proses hidrolisis substrat yang dilakukan untuk memproduksi xilooligosakarida
dapat berjalan lebih optimal. Pemekatan enzim juga bermanfaat untuk
penyimpanan enzim karena enzim dalam bentuk konsentrat cenderung memiliki
aktivitas yang lebih stabil jika disimpan dalam jangka waktu yang lama (Sari
2012). Proses pemekatan xilanase pada penelitian ini menggunakan dua jenis
prinsip pemekatan enzim, yaitu dialisis dan ultrafiltrasi.
Pemekatan melalui dialisis dilakukan dengan menggunakan membran
dialisis dan serbuk PEG (polietilen glikol) 6000. Prinsip dialisis adalah
memisahkan molekul-molekul besar dari molekul-molekul kecil, seperti air dan
garam-garam anorganik, dengan menggunakan membran semipermeabel
(Koolman dan Roehm 2005). PEG merupakan polimer sintetik yang bersifat polar
dan higroskopis yang tersusun dari etilen oksida dan air. Pemberian nomor pada
PEG menunjukkan berat molekul rata-rata dari masing-masing polimernya.
Branca et al. (2002) menunjukkan bahwa setiap monomer dari PEG dapat
mengikat kurang lebih dua molekul air sehingga semakin panjang rantai PEG
(berat molekul semakin besar) maka kemampuan untuk mengikat air semakin
tinggi. Oleh karena itu, proses pemekatan melalui dialisis ini memanfaatkan PEG
6000 untuk membantu proses pemekatan dengan cara mengikat dan menjerap
pelarut air yang terkandung di dalam larutan enzim. Saat proses dialisis, molekul
air dan ion-ion mineral dalam enzim yang berukuran kecil mampu menembus
keluar melalui membran dialisis dan kemudian diikat oleh PEG, sedangkan enzim
yang merupakan protein memiliki ukuran molekul yang besar sehingga tidak
mampu menembus membran dialisis dan terperangkap dalam kantung membran.
Pemekatan dengan ultrafiltrasi menggunakan dua jenis tabung sentrifugasi
bermembran, yaitu tabung Amicon® dan Nanosep®. Ultrafiltrasi merupakan
proses pemekatan dengan prinsip pemisahan berdasarkan ukuran molekul
sehingga sangat dipengaruhi oleh ukuran dan distribusi pori membran (Malleviale
1996). Larutan enzim yang akan dipekatkan dilewatkan pada membran dengan
ukuran pori tertentu di bawah pengaruh tekanan tinggi atau gaya sentrifugal
sehingga terjadi pemisahan antara molekul protein enzim dengan molekulmolekul yang berukuran kecil, seperti air dan garam-garam anorganik. Bagian
yang tidak lolos saring adalah enzim pekat yang dihasilkan dari proses filtrasi.
Perbedaan antara tabung Amicon® dan Nanosep® terdapat pada ukuran
volume sampel dan jenis membran ultrafiltrasi