PENGARUH SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) TERHADAP PENURUNAN NYERI DAN KECEMASAN PADA PASIEN PASCA BEDAH TRANSURETHRAL RESECTION PROSTATE (TURP) DI RSUD dr. SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA

(1)

TESIS

Untuk memenuhi syarat memperoleh derajat Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAYU BRAHMANTIA NIM. 20141050017

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

(3)

TESIS

Untuk memenuhi syarat memperoleh derajat Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAYU BRAHMANTIA NIM. 20141050017

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

iv

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Penurunan Nyeri dan Kecemasan Pada Pasien Pasca Bedah

Transurethral Resection Prostate di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Tesis ini disusun untuk memenuhi tugas akhir pada Program Studi Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penulis menyadari, terselesaikannya tesis ini tidak terlepas dari bimbingan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Orangtua, istri, dan anakku tercinta.

2. Bapak Saryomo, S.Kep., Ns., M.Si. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya.

3. Bapak Dr. Ahmad Nurmandi sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Ibu Fitri Arofiati, S.Kep., Ns., MAN., Ph.D., sebagai Ketua Program Studi Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(6)

v

7. Seluruh rekan mahasiswa Angkatan V Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan penulisan penelitian di masa yang akan datang.

Yogyakarta, 7 September 2016


(7)

vi

Lembar Pengesahan……….………..…………... ii

Lembar Pernyataan Originalitas Penelitian………..…………. iii

Kata Pengantar………..………..…….. iv

Daftar Isi………...………..……… vi

Daftar Tabel………..………..…... ix

Daftar Gambar……….………..…... x

Daftar Lampiran……….………..…… xi

Daftar Singkatan... xii

Abstrak………...………...…. xiii

Abstract………...……….…………..…… xiv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………... B. Masalah Penelitian ………...… C. Tujuan Penelitian ………...……….. D. Manfaat Penelitian ………...………… E. Penelitian Terkait ………

1 6 7 8 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori ………..……….. B. Peran Mandiri Perawat Dalam Penanganan Nyeri dan Kecemasan C. Kerangka Teori ………...………. ……..……….

14 45 47


(8)

vii

A. Desain Penelitian ………..…………... B. Populasi dan Sampel Penelitian ………..……… C. Lokasi dan Waktu Penelitian ………..…………. D. Variabel Penelitian ………..………… E. Definisi Operasional ………..…………. F. Instrument Penelitian ………..……… G. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ……… H. Cara Pengumpulan Data ………..……… I. Pengolahan dan Metode Analisa Data ………..……….. J. Etika Penelitian ………..…….

50 51 52 53 53 54 54 55 56 57 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Analisis Univariat

a. Responden Berdasarkan Usia……….. b. Hasil Pengukuran Nilai Nyeri Pada Kelompok Intervensi

dan Kelompok Kontrol Pasien Pasca Bedah Transurethral

Resection Prostate………...

c. Hasil Pengukuran Nilai Kecemasan Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pasien Pasca Bedah

Transurethral Resection Prostate……….…………...

61

62


(9)

viii

Transurethral Resection Prostate….………... b. Pengaruh Terapi SEFT Terhadap Kecemasan Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pasien Pasca Bedah

Transurethral Resection Prostate……… c. Perbedaan Pengaruh Terapi SEFT Terhadap Nyeri dan Kecemasan Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pada Pasien Pasca BedahTransurethral Resection

Prostate…..………..

B. Pembahasan

1. Interpretasi hasil penelitian……… 2. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian……… 3. Implikasi Terapi SEFT Terhadap Ilmu Keperawatan………..

63

64

65

66 78 79 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………..

B. Saran………

81 82

DAFTAR PUSTAKA 83


(10)

ix

Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Usia Pasien Pasca Bedah

Transurethral Resection Prostate Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di RSUD dr. Soekardjo Kota

Tasikmalaya……….………..………. 61

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Nilai Nyeri Pada Pasien Pasca Bedah Transurethral Resection Prostate di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya……….. 62 Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kecemasan Pada Pasien

Pasca Bedah Transurethral Resection Prostate di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya……….. 62 Tabel 4.4 Analisis Nilai Nyeri Sebelum dan Sesudah Terapi SEFT

Terhadap Nyeri Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pada Pasien Pasca Bedah Transurethral Resection Prostatedi RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya……….. 64 Tabel 4.5 Analisis Nilai Kecemasan Sebelum dan Sesudah Terapi

SEFT Terhadap Kecemasan Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pada Pasien Pasca Bedah Transurethral Resection Prostate di RSUD dr. Soekardjo Kota

Tasikmalaya……… 65

Tabel 4.6 Hasil Independen t-test Analisis Perbedaan Pengaruh Intervensi SEFT Terhadap Skala Nyeri dan Kecemasan Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pasien Pasca Bedah Transurethral Resection Prostate di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya .……….……… 66


(11)

x


(12)

xi

Lampiran 3 Lembar Prosedur Tindakan SEFT Lampiran 4 Surat Permohonan Menjadi Responden Lampiran 5 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 6 Lembar Penjelasan Penelitian Kepada Pasien Pasca BedahTransurethral Resection Prostate

Lampiran 7 Kuesioner HARS

Lampiran 8 LembarNumeric Rating Scale

Lampiran 9 Surat Pengantar Studi Pendahuluan Lampiran 10 Surat Pengantar Ijin Penelitian dari UMY

Lampiran 12 Surat Pengantar Rekomendasi dari Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik

Lampiran 12 Surat Ijin Penelitian dari RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya

Lampiran 13 Surat Keterangan Kelayakan Etika Penelitian

Lampiran 14 Tabel data hasil pengkajian nilai nyeri dan dan kecemasan

Lampiran 15 Print out olah data SPSS seri 16 Lampiran 16 Lembar konsultasi / bimbingan tesis

Lampiran 17 Lembar daftar hadir mengikuti ujian sidang proposal/hasil penelitian


(13)

xii

NRS Numeric Rating Scale

SEFT Spiritual Emotional Freedom Technique


(14)

x

Bayu Brahmantia, Titih Huriah

Program Studi Magister Keperawatan Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRAK

Latar Belakang: Pasien pasca bedah transurethral resection prostate dapat mengalami nyeri dan kecemasan yang mengakibatkan ketidaknyamanan dan gangguan rasa aman. Penanganan nyeri dan kecemasan menggunakan teknik non-farmakologi, yaitu terapiSpiritual Emotional Freedom Technique(SEFT). Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh SEFT terhadap penurunan nyeri dan kecemasan pada pasien pasca bedah TURP.

Metode Penelitian: Quasi-eksperimen Pretest-Posttest with Control Group Design. Populasi penelitian adalah pasien pasca bedah TURP. Teknik sampel menggunakan accidental sampling, alokasi sampel dengan teknik sistimatic alocation, jumlah sampel kelompok intervensi 22 pasien, kelompok kontrol 22 pasien.

Hasil Penelitian: Rata-rata usia responden 65,09 tahun, rata-rata nilai nyeri sebelum dan sesudah inervensi pada kelompok intervensi 4,23 dan 2,31, rata-rata nilai nyeri sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol 4,86 dan 2,14, rata-rata nilai cemas sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi 19,59 dan 11,86, rata-rata nilai cemas sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol 18,09 dan 11,14. Hasil paired t-test analisis nyeri pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol didapatkan p value, 0,001, hasil

paired t testanalisis cemas kelompok intervensi dan kelompok kontrol didapatkan

p value0,001, hasil ujiindependent t-test variabel nyeri nilai p=0,2>0,05, hasil uji

independent t-testvariabel kecemasan nilai p=0,49>0,05.

Kesimpulan:Terapi SEFT berpengaruh terhadap penurunan nyeri dan kecemasan pada pasien pasca bedah TURP, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi SEFT dengan kelompok kontrol pada penelitian.


(15)

x ✁ ✂

Bayu Brahmantia, Titih Huriah Master of Nursing Postgraduate Program

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ABSTRACT

Background: Patient can get a pain and anxiety after TURP post surgical prostat. SEFT is non pharmacotherapy for decreasing pain and anxiety. Pain resulting in discomfort and anxiety disorder resulting in a sense of security. The purpose of this research is to know the influence of SEFT against pain and decrease anxiety in patients of post surgical transurethral prostatec resection in HOSPITALS dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.

Methods : Design research used quasi experiment with-Pretest-Posttest Group Design. The population of this research werw the patient's post-surgical transurethral prostatec resection. The sampling technique used accidental sampling, were number of samples for each intervention group are 22 patients. Research results : The average age of respondents is 65.09 years, average value of pain before and after inervensi in the intervention group are 4.23 and 2.31 espectively, average value of pain before and after the intervention and control groups are 4.86 and 2.14, average value of anxiety before and after the intervention in intervention group and 19.59 and 11.86, average value of anxiety before and after intervention in the control group are 18.09 and 11.14. Paired t-test results analysis showed pain in the intevensi group and the control group obtained p value 0.001, paired t test of anxiety the intervention group and the control group obtained showed p value 0.001, independent t-test results test variable value for pain and anxiety are p= 0,2>0.05, 0.49 >0.05 respectively.

Conclusion ✄ SEFT therapy can decrease pain and anxiety in patients of post surgical transurethral prostatec resection, but there was no significant difference between the intervention group SEFT with control group.


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Prostat berkembang sesuai dengan bertambahnya usia pada pria. Dimulai dari ukuran kecil ketika masih anak-anak terus berkembang mencapai 20 gram pada usia 30 tahun. Ukuran prostat akan menetap sampai usia ±50 tahun. Prostat akan berkembang lagi mencapai berat 35 gram pada usia 80 tahun. Salah satu gangguan prostat yang sering terjadi ialah Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. Maka, munculah gangguan saluran perkemihan, terutama pada laki-laki paruh baya yang mengalami gangguan sering miksi, merasa kencing tidak tuntas, dan harus menunggu ketika akan berkemih semakin sering terjadi. Gejala urinarius tersebut diatas ditimbulkan akibat masalah pembesaran pada prostat.

Pembesaran prostat ini merupakan proses alamiah yang terjadi pada laki-laki sesuai pertambahan usia akibat bertambahnya sel kelenjar prostat. Berdasarkan penelitian WHO (2007), jika pria berumur lebih dari 50 tahun, kemungkinan akan mengalami pembesaran prostat adalah 50% dan ketika berusia 80-85 tahun, risiko menderita Benigna Prostat Hiperplasia akan meningkat menjadi 90%. Benigna Prostatic Hyperplasia(BPH) dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak (PPJ). Didunia diperkirakan terjadi 30 juta kasus BPH, dan BPH hanya terjadi pada pria karena wanita tidak memiliki kelenjar prostat. ☎nsidensi BPH secara


(17)

epidemiologi di dunia, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita penyakit Benigne Prostat Hyperplasia adalah sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun persentase kejadiannya hingga 90% (Abbas, 2005). Menurut WHO (2008), di Indonesia untuk tahun 2008, insidensi terjadinya kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap 100000 orang, menduduki peringkat keempat setelah kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan hati. Berdasarkan penelitian Istikomah (2010) angka kejadian BPH di Indonesia, khususnya di dua Rumah Sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras (1994–1999) sampai sekarang terdapat 1040 kasus.

Penanganan utama pada kasus BPH yaitu dengan tindakan operasi, salah satunya adalah dengan tekniktransurethra resection prostate(TURP). Nyeri, kecemasan, peradangan, ketegangan emosi dan imobilisasi yang terjadi pasca bedah TURP dapat menimbulkan suatu lingkaran abnormalitas ketidaknyamanan. Rasa sakit, kecemasan, peradangan, ketegangan emosi dan imobilisasi akan menimbulkan reflex muscle contraction. Reflex muscle contraction menimbulkan restricted movement (RM), yang akan mengakibatkan circulatory stasisdimana akan terjadi ischaemicjaringan dan terhambatnya proses metabolisme.Circulatory stasisakan meningkatkan rasa sakit dan akan mengakibatkan spasme pada otot. Abnormalitas kenyamanan ini bila tidak diputus akan membuat otot kehilangan sifat kelenturannya (Kisner dan Colby dalam Jay 2009).


(18)

Sebuah otot atau jaringan jika dibuat sayatan luka atau dibiarkan pada posisi memendek hanya selama 5 hingga 7 hari akan memperlihatkan pemendekan parut otot akibat kontraksi dari serat kolagen dan penurunan jumlah sarcomere serat otot. Faktor pendukung lain seperti edema, pendarahan, nyeri, dan cedera pada jaringan lunak bercampur menjadi satu yang akan meningkatkan pembentukan kontraktur (Garrison dalam Craig, 2009). Menurut Lee (2008) menyatakan bahwa pemberian electro acupuncture, EFT, TENS, dan stimulasi lain (termasuk pijatan) pada titik akupunktur tertentu dapat mengurangi nyeri dan kecemasan pada pasien pasca pembedahan.

Pasien pasca bedah transurethral resection prostate merupakan pasien yang dapat mengalami nyeri dan kecemasan pasca pembedahan. Keadaan ini di alami oleh 50% pria yang berusia rata-rata 60 tahun dan kurang dari 80% pria yang berusia 80 tahun menjalani pembedahan prostat (Nursalam, 2006). Hasil riset di China menunjukkan bahwa laki-laki di daerah pedesaan sangat rendah terkena benigna prostat hyperplasia dibandingkan dengan laki-laki yang hidup di daerah perkotaan. Hal ini terkait dengan gaya hidup seseorang, mulai dari pola makan, olahraga, perilaku merokok serta aktivitas lainnya yang dapat mempercepat pembesaran prostat (Suharyanto, 2009).

Pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih atau vesika, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Dalam sebuah studi tahun 2009 oleh Tugcu, 64 pasien menjalani TURP bersamaan dengan operasi batu kemih atau vesicolithotomy. Kelemahan utama prosedur


(19)

ini adalah nyeri pasca pembedahan. Prevalensi nyeri pasca pembedahan dalam sampel 1490 pasien rawat inap bedah, didapatkan hasil nyeri sedang atau berat dilaporkan oleh 41% klien pada hari 0, 30% pada hari 1 dan 19%, 16%, 14% pada hari 2, 3, dan 4. Prevalensi nyeri sedang atau berat pada kelompok pembedahan bagian abdomen dan perkemihan adalah tinggi pada hari pertama dan hari kedua pasca pembedahan (30-55%) (Eur, 2008).

Hasanudin (2007), menyatakan dari 35 responden pasien pasca bedah

transurethral resection prostate pada penelitiannya didapatkan tingkat kecemasan tertinggi berada pada tingkat kecemasan sedang sebanyak 46%, cemas ringan 29%, cemas berat 20% dan panic sebanyak 5%. Kecemasan adalah ketegangan rasa tidak aman dan khawatir yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (Depkes RI, 1998). Yustinus (2006) mengatakan faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kecemasan antara lain faktor psikologis, terutama tentang peraturan prosedur pembedahan yang harus dipatuhi pasien, peralatan yang dipasang pada pasien, dan sikap tenaga kesehatan dalam pengobatan pasien.

Perawat sebagai bagian dari profesi kesehatan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Praktik perawat dalam lingkup pelayanan keperawatan dalam bentuk pendidikan kesehatan, kunjungan rumah, dapat menerapkan tindakan keperawatan komplementer sebagai upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitative, maupun resosiasif. Modalitas penyembuhan merupakan metode


(20)

pendamping yang digunakan bersama dengan pengobatan berbasis obat dan tindakan pembedahan sebagai upaya pemenuhan pelayanan holistik. Tindakan komplementer tersebut bukanlah satu-satunya terapi untuk menangani penyakit yang diderita oleh pasien. Konsep tersebut dapat didefinisikan bahwa tindakan komplementer berfungsi sebagai pelengkap dari tindakan medik konvensional (Purwanto, 2013).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mengatasi masalah nyeri dan kecemasan pada pasien pasca bedah transurethral resection prostate adalah dengan menggunakan terapi medikasi dan nonmedikasi. Terapi medikasi dapat mengakibatkan gangguan fisik tubuh yang lain dan jika terlalu lama digunakan dapat menyebabkan ketergantungan (Potter, 2009). Salah satu terapi non medikatif yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan TerapiSpiritual Emosional Freedom Tehnique(SEFT). Dalam penelitian Mudatsyir (2012) dijelaskan terapi SEFT dapat mengurangi nyeri pada pasien pasca bedahfracturefemur, stimulasi ketukan-ketukan (tapping) SEFT mampu merangsang serabut saraf A-beta, diteruskan ke nucleus kolumna dorsalis dan impuls saraf diteruskan melalui lemnikus medialis melalui jalur kolateral terhubung dengan periaqueductal grey area (PAG). Perangsangan PAG ini menghasilkan enkepalin, sejenis opium dalam tubuh sehingga nyeri berkurang. Terapi SEFT juga mampu menurunkan kecemasan pada pasien pasca bedah percutaneus coronary diseases. SEFT mengatasi masalah kecemasan berdasarkan akar permasalahan utamanya melalui proses set up yang akan dilakukan serta dapat mempengaruhi alam


(21)

bawah sadar manusia dengan cara menyugesti diri sendiri, serta terdapat unsur teknikeye movement desentizitation repatterning(EMDR) melalui nine gamut procedure(gerakan mata) untuk mengendalikan emosi kecemasan dan merangsang keseimbangan otak kiri dan otak kanan (Zainuddin, 2013).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan peneliti terhadap pasien pasca bedah transurethral resection prostate, 4 orang pasien dengan skala nyeri sedang dan mengalami cemas dilakukan intervensi SEFT, setelah intervensi SEFT mengalami penurunan nyeri serta kecemasan. Terapi SEFT bekerja dengan prinsip yang kurang lebih sama dengan akupuntur dan akupresur. Perbedaannya, SEFT menggunakan teknik yang lebih aman, mudah, cepat dan sederhana, bahkan tanpa resiko karena tidak menggunakan jarum ataupun alat lainnya, namun mengutamakan keahlian dalam aplikasinya. Selain itu, dalam prosesnya SEFT melibatkan Tuhan sehingga inti masalah yang dapat diatasi juga lebih luas, yaitu meliputi masalah fisik dan emosi. Terapi SEFT merupakan suatu teknik penggabungan dari sistem energi tubuh (energy medicine) dan terapi spiritualitas dengan menggunakan metode tapping

(ketukan) di beberapa titik tertentu pada tubuh. Banyak manfaat yang dihasilkan dengan terapi SEFT yang telah terbukti membantu mengatasi berbagai masalah fisik maupun emosi (Faiz, 2008).

B. Masalah Penelitian

Masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengaruh SEFT terhadap penurunan nyeri dan kecemasan pada pasien pasca bedah transurethral resection prostatedi RSUD dr. Soekardjo KotaTasikmalaya?”


(22)

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh SEFT terhadap penurunan nyeri dan kecemasan pada pasien pasca bedah

transurethral resection prostate di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

a. Mengidentifikasi usia pasien pasca bedah TURP di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.

b. Menganalisis skala nyeri pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi SEFT pada pasien pasca bedah TURP di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya

c. Menganalisis skala nyeri pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah dilakukan intervensi SEFT pada pasien pasca bedah TURP di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.

d. Menganalisis skala kecemasan pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi SEFT pada pasien pasca bedah TURP di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.

e. Menganalisis skala kecemasan pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol setelah dilakukan intervensi SEFT pada pasien pasca bedah TURP di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.


(23)

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pasien Pasca Bedah TURP

Pasien pasca bedah TURP diharapkan mendapatkan intervensi secara holistik, yaitu terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi. Terapi SEFT diharapkan dapat melengkapi terapi-terapi pasca bedah TURP dalam menurunkan nyeri dan menurunkan kecemasan pasca pembedahan.

2. Bagi Institusi Pendidikan.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan inspirasi staf akademik dan peserta didik keperawatan dalam memajukan bidang ilmu keperawatan, khususnya pengembangan terapi komplementer, terapi modalitas, dan terapi non farmakologi sebagai upaya SEFT dapat dimasukkan ke dalam muatan lokal kurikulum keperawatan.

3. Bagi Ilmu Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu keperawatan, yaitu diakuinya terapi SEFT sebagai intervensi mandiri keperawatan.

4. Bagi Penelitian Selanjutnya

Sebagai landasan penelitian Terapi SEFT selanjutnya terhadap masalah-masalah kesehatan, terutama pada respon pasien yang mengalami gangguan kesehatan yang mengalami masalah fisik dan emosi, serta sebagai pengembangan penelitian terapi komplementer, terapi modalitas, serta terapi nonfarmakologi lebih lanjut.


(24)

E. Penelitian Terkait.

1. Sri Yuniarsih (2011), melakukan penelitian perbandingan intervensi spiritual dan terapi SEFT terhadap penurunan intensitas nyeri dan kecemasan ibu bersalin kala 1 di PKM poned Kota Pekalongan.. Manajemen nyeri dan kecemasan dilakukan untuk kelancaran proses persalinan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh intervensi spiritual dan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) terhadap penurunan intensitas nyeri kala I dan kecemasan ibu bersalin. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experiment pre post test design with control group dengan tehnik consecutive sampling. Subyek yang terlibat sebanyak 36 ibu bersalin di Puskesmas PONED Kota Pekalongan yang dibagi menjadi dua yaitu kelompok intervensi SEFT dan intervensi spiritual sebagai kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan adalah numeric rating scale. Data dianalisis menggunakanMann Whitney Test danIndependent t Test dengan taraf signifikansi 5%. Hasil penelitian menunjukkan rerata nyeri dan kecemasan sebelum intervensi adalah 8,50 (SD: 1,339) dan 5,17 (SD: 1,383) pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol 7,72 (SD: 1,447) dan 4,89 (SD: 2,026). Rerata nyeri dan kecemasan setelah intervensi adalah 6,00 (SD: 0,686) dan 1,89 (SD: 1,278) pada kelompok intervensi sedangkan kelompok kontrol sebesar 6,22 (SD: 0,943) dan 4,89 (SD: 2,026). Terdapat perbedaan yang signifikan rerata penurunan nyeri (p<0,05) dan kecemasan (p<0,05) antara kelompok intervensi dan kontrol. Intervensi SEFT terbukti dapat


(25)

menurunkan intensitas nyeri kala I dan kecemasan ibu bersalin. Intervensi ini hendaknya diaplikasikan oleh perawat agar dapat bekerjasama interdisiplin untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut.

2. Zainul Anwar (2011), melakukan penelitian model terapi SEFT untuk mengatasi gangguan fobia spesifik. Desain penelitian ini menggunakan desain ABA. Subyek dalam penelitian ini adalah seorang perempuan berusia 19 tahun dengan gejala-gejala fobia spesifik, yaitu ketakutan yang irasional atau berlebihan terhadap peniti. Penelitian dilakukan mulai pra-terapi, pra-terapi, dan pasca-terapi selama 5 minggu dan sebulan untuk memantau kondisi subyek setelah dihentikannya terapi. SEFT diberikan sebanyak 8 putaran selama 3 kali pertemuan terapi. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat ukur Subjective Units Disturbance Scale(SUDS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SEFT mampu menurunkan ketakutan yang berlebihan secara signifikan pada penderita gangguan fobia spesifik. Penurunan level kecemasan atau ketakutan berdasarkan SUDS (Subjective Units Disturbance Scale)selama pemberian terapi sangat signifikan dan terdapat perubahan reaksi fisiologis dan respon pada perilaku subyek.

3. Weni Widya Sari (2014), melakukan penelitian tentangemotional freedom techniquedan tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani percutaneus coronary intervention. Peneliti menggunakan metode quasi experimental

dengan rancangan one group pretest danpostest. Jumlah sampel 30 orang


(26)

teknik concecutive sampling. Kelompok intervensi diberikan EFT selama

15 menit. Sebelum dan sesudah intervensi diukur tingkat kecemasannya dengan menggunakan kuesioner stat trait anxiety inventory (STAI-S).

Data dianalisis dengan uji t. Hasil menunjukkan terdapat perbedaan yang

bermakna antara tingkat kecemasan sebelum dan sesudah intervensi EFT (p<0.05) dan terdapat perbedaan yang bermakna intensitas kecemasan

sesudah intervensi antara kelompok intervensi dan kontrol (p<0.05) .

Kesimpulan penelitian yaitu EFT dapat menurunkan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani PCI.

4. Ulfah Dwi Yuliani (2013), penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi SEFT Terhadap penurunan kecemasan pada wanita menopause. Desain penelitian quasi eksperiment dengan teknik quota sampling, sebanyak 32 orang. Instrument penelitian menggunakan kuesioner HARS. Hasil uji Wilcoxon test didapatkan p value 0,001 < 0,05 yang berarti ada pengaruh signifikan antara sebelum dan sesudah terapi SEFT terhadap kecemasan pada pasien menopause.

5. Muthmainnah Zakiyyah (2008), melakukan penelitian pengaruh SEFT terhadap penanganan nyeri dismenore. Desain penelitian quasi eksperimen-one group pretest posttest. Populasi dalam penelitian ini yaitu semua remaja putri usia 12-15 tahun yang mengalami dismenorea berjumlah 90 orang. Sampel terdiri dari sebagian remaja putri usia 12-15 tahun yang mengalami dismenorea secara rutin berjumlah 74 orang. Sampling dilakukan dengan cara simple random sampling berdasarkan


(27)

kriteria inklusi. Instrumen menggunakan lembar checklist dan skala nyeri smethzer. Hasil Paired T-test penelitian didapatkan p value 0,001 < 0,05 menunjukkan bahwa terapi SEFT mempengaruhi terhadap penurunan nyeri dismenore.

6. Mudatsyir (2012), melakukan penelitian pengaruh terapi SEFT terhadap nyeri pasien pasca operasi fraktur femur. Desain penelitian eksperimental menggunakan rancangantwo group pre test-post test designdengan tujuan untuk mengetahui pengaruhSpiritual Emotional Freedom Technique pada pasien pasca operasi fraktur femur. Populasi dalam penelitian ini terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok I sejumlah 20 responden dan kelompok II sejumlah 20 responden yaitu pada semua pasien pasca operasi fraktur femur yang menjalani operasi di RSUI Kustati pada bulan Agustus dan September tahun 2010. Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah Wilcoxon test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian penguluran pasif dapat mengurangi nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur, pemberian penguluran pasif + SEFT dapat mengurangi nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur, pemberian penguluran pasif + SEFT lebih baik dari pada pemberian penguluran pasif saja terhadap pengurangan nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur

7. Fajar Wijayanti (2010), melakukan penelitian pengaruh SEFT terhadap penurunan nyeri pada pasien pasca operasi section caesaria. Desain penelitian quasi eksperimentdengan rancangan control time series design. Penelitian dilakukan di RSUD Tugurejo sebagai kelompok perlakuan dan


(28)

di RSUD Kota Semarang sebagai kelompok kontrol. Sampel masing-masing kelompok 18 pasien pasca-operasi SC dengan purposive sampling

berdasarkan kriteria inklusi. Terapi SEFT menekankan unsur spiritualitas dan do’a serta 14 teknik terapi yang mendukung efektivitas terapi SEFT. Terapi SEFT dilakukan sejak pasien pasca-operasi SC hari pertama (setelah melewati 24 jam pasca-operasi), dilakukan satu kali dalam sehari selama tiga hari. Setiap kali terapi hanya melakukan satu putaran SEFT dan membutuhkan waktu 5 menit. Segera setelah terapi, intensitas nyeri dinilai dengan menggunakan skala numerik 1-10. Hasil penelitian diperoleh bahwa mean rank nyeri sebelum intervensi pada kelompok kontrol 20,78 dan pada kelompok perlakuan 16,22. Pada ujiMann-Whitney

nilai p value kedua kelompok sebelum intervensi yaitu 0,178 (p>0,05) sehingga tidak terdapat perbedaan bermakna intensitas nyeri sebelum intervensi. Mean rank nyeri setelah intervensi pada kelompok kontrol 27,06 dan pada kelompok perlakuan 9,94 sehingga tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah intervensi (p=0,000). Terapi SEFT efektif mengurangi nyeri ibu paska-operasi SC. Penelitian ini merekomendasikan bahwa terapi SEFT dapat digunakan sebagai intervensi mandiri keperawatan untuk mengurangi nyeri.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Spiritual Emotional Freedom Technique(SEFT) a. Definisi

Spiritual Emosional Freedom Technique (SEFT) merupakan suatu terapi Psikologi yang pertama kali ditujukan untuk melengkapi alat psikoterapi yang sudah ada. SEFT adalah salah satu varian dari cabang ilmu baru yang dinamai Energy Psychology (Muthmainnah, 2013). SEFT adalah gabungan antara Spiritual power dan Energy Psychology

(Zainuddin, 2011). Feinsten dalam Zainuddin (2009) mengatakan bahwa

energy psychology (EP) adalah hasil klinis yang mempunyai kecepatan, jarak, dan ketahanan yang tidak biasa (Feinstein, 2011).

Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) bekerja dengan prinsip yang kurang lebih sama dengan akupuntur dan akupressur. Ketiga teknik ini berusaha merangsang titik – titik kunci di sepanjang 12 jalur energi (energi meridian) tubuh yang sangat berpengaruh pada kesehatan kita (Zainuddin, 2012). Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa SEFT atauSpiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) adalah suatu teknik terapi yang menggunakan energi tubuh atau energy meridian yang dilakukan dengan memberikan ketukan-ketukan ringan pada


(30)

titik-titik tertentu pada meridian tubuh, sehingga dapat mengatasi masalah fisik serta emosi.

b. Cara Melakukan SEFT

SEFT terdiri dari 3 tahap yaitu, pertama The set-Upbertujuan untuk memastikan agar aliran energi tubuh kita terarahkan dengan tepat. Langkah ini untuk menetralisir psychological Reversalatau “perlawanan Psikologis” The Set-Up terdiri dari 2 aktifitas, yang pertama adalah mengucapkan kalimat doa dengan penuh rasa khusyu’, ikhlas dan pasrah sebanyak 3 kali, yang kedua adalah sambil mengucapkan dengan penuh perasaan, kita menekan dada kita, tepatnya di bagian Sore Spot (titik nyeri= daerah di sekitar dada atas yang jika ditekan terasa agak sakit) atau mengetuk dengan dua ujung jari di bagian Karate Chop (Albi SEFT Magazine, 2012).

Setelah menekan titik nyeri atau mengetuk karate chop sambil mengucapkan kalimat Set-Up seperti di atas, kita melanjutkan dengan langkah kedua, yaituTune-in, untuk masalah fisik, kita melakukantune-in

dengan cara merasakan rasa sakit yang kita alami, lalu mengarahkan pikiran kita ke tempat rasa sakit, dibarengi dengan hati dan mulut kita berdoa, sedangkan untuk masalah emosi, kita melakukan Tune-In dengan cara memikirkan sesuatu atau peristiwa spesifik tertentu yang dapat membangkitkan emosi negative yang ingin kita hilangkan. Ketika terjadi reaksi negatif (marah, sedih, takut,dsb) hati dan mulut kita berdoa (Zainuddin, 2012).


(31)

Tahap ketiga, yaitu Tapping, adalah mengetuk ringan dengan dua ujung jari pada titik-titik tertentu di tubuh kita sambil terus Tune-In. titik-titik ini adalah titik-titik-titik-titik kunci dari The Major Energy Meridians, apabila kita ketuk beberapa kali akan berdampak pada ternetralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit yang kita rasakan. Karena aliran energi tubuh berjalan dengan normal dan seimbang kembali (Zainuddin, 2012). Titik kunci / titik meridian dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.1. Kunci Titik Meridian Tubuh

SEFT (spiritual emotional freedom technique) menggabungkan antara sistem kerja energy psychologydengan kekuatan spiritual sehingga menyebutnya dengan amplifying effect (efek pelipat gandaan). Pada tahap


(32)

pelaksanaan dibutuhkan tiga hal yang harus dilakukan Terapis dan pasien dengan serius yaitu: khusyu, ikhlas, dan pasrah.

Terapi SEFT (Spiritual Emosional Freedom Technique) merupakan salah satu varian dari satu cabang ilmu baru yang dinamai

Energy Psychology. Selain itu, karena SEFT (Spiritual Emosional Freedom Technique) adalah gabungan antara spiritual power dan energy psychology, maka dapat dijelaskan secara ilmiah bagaimana peran spiritualitas dalam penyembuhan Energy Psychology adalah bidang ilmu yang relatif baru. Walaupun embrionya yang berupa prinsip-prinsipenergy healing telah dipraktikkan oleh dokter Tiongkok kuno lebih dari 5000 tahun yang lalu, tetapi energy psychology baru dikenal luas sejak penemuan D. Roger Callahan di tahun 1980-an. Saat itu Energy Psychologymasih menjadi barang mewah yang hanya bisa dipelajari oleh terapis berkantong tebal. Kombinasi kekuatan Energy Psychology dengan

Spiritual Power yang disebut SEFT (Spiritual Emosional Freedom Technique) baru diperkenalkan ke publik di akhir 2005. Menurut Dr. David Feinstein, salah satu researcher utamanya bahwa Energy Psychology adalah seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilakunya (Hakam, 2011).

SEFT merupakan penggabungan dari 15 macam teknik terapi termasuk kekuatan spiritual, yang terdiri dari:


(33)

1) Neuro-Linguistic Programming (NLP); reframing, anchoring, dan breaking the pattern, ditemukan oleh Richard Bandler dan John Grinder.

2) Systemic Desensitization; desensitization, ditemukan oleh Joseph Wolpe.

3) Psychoanalisa; finding the historical roots of symptoms, to be aware of the unawareness catharsis, ditemukan oleh Sigmund Freud.

4) Logotherapy;the meaning suffering, ditemukan oleh Viktor E. Frankl. 5) Eye movement Desensitization Reprocessing (EMDR); control your

eye, control your emotion, ditemukan oleh Francine Shapiro. 6) Sedona Method;let go your pain, ditemukan oleh Lester Levenson. 7) Ericsonian Hypnosis; mild trance to internalize, suggestive words,

ditemukan oleh Milton Ericson.

8) Provocative Therapy; repetitive empowering words, ditemukan oleh Frank Farrelly.

9) Suggestion and Affirmation; the movie technique, ditemukan oleh William James.

10) Creative Visualization; dramatized your negative thought/feeling, ditemukan oleh Wallace Wattles.

11) Relaxation and Meditation; fell it, relax, transcend it, ditemukan oleh Herbert Benson.

12) Gestald Therapy; experience your negative feeling/thought completely, ditemukan oleh Fritz Perls.


(34)

13) Energy Psychology; neutralized the disruption of body`s energy system, ditemukan oleh Gary Craig.

14) Powerful Prayer; faith, concentration, acceptance, surrender, grateful, ditemukan oleh Dr. Larry Dossey.

15) Loving-Kindness Therapy; our hearth speaks lauder than our words or our deeds, our loving-kindness heart can heal our self and heal people around us, ditemukan oleh Prof. Decher Keltner.

(Albi SEFT Magazine, 2012)

2. Konsep Dasar Nyeri a. Definisi

Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang sangat subyektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Lang, 2006). Secara umum nyeri dapat didefinisikan sebagai perasaan tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri juga bisa dikatakandolor(Latin) ataupain(Inggris) adalah kata-kata yang artinya bernada negatif; menimbulkan perasaan dan reaksi yang kurang menyenangkan (Muawiyah, 2010).

Menurut Feurst (1979) dalam Potter (2008) dan Internasional Association for Study of Pain, nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan ketegangan. Secara umum, mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik dari serabut saraf dalam


(35)

tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis, dan emosional. Dari beberapa definisi tersebut, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa nyeri adalah perasaan tidak nyaman, bersifat negatif, tidak menyenangkan, subyektif dirasakan oleh seseorang yang mengalaminya (Potter, 2008). b. Fisiologi Nyeri

1) Nosisepsi

Sistem saraf perifer terdiri atas saraf sensorik primer yang khusus bertugas mendeteksi kerusakan jaringan dan membangkitkan sensasi sentuhan, panas, dingin, nyeri, dan tekanan. Reseptor yang bertugas merambatkan sensasi nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor merupakan ujung-ujung saraf perifer yang bebas dan tidak bermielin atau sedikit bermielin. Reseptor nyeri tersebut dapat dirangsang oleh stimulus mekanis, suhu, atau kimiawi. Sedangkan proses fisiologis terkait nyeri disebut nosisepsi. Proses tersebut terdiri atas empat fase (Guyton, 2008), yaitu:

a) Transduksi. Pada fase transduksi, stimulus atau rangsangan yang membahayakan (misal bahan kimia, suhu, listrik, atau mekanis) memicu pelepasan mediator biokimia (misal prostaglandin, bradikinin, histamine, substansi P) yang mensensitisasi nosiseptor. (Lehndorff, 2010)

b) Transmisi. Fase transmisi nyeri terdiri atas tiga bagian. Pada bagian pertama, nyeri merambat dari serabut saraf perifer ke medulla spinalis. Dua jenis serabut nosiseptor yang terlibat dalam proses


(36)

tersebut adalah serabut C, yang mentransmisikan nyeri tumpul dan menyakitkan, serta serabut A-Delta yang mentransmisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi. Bagian kedua adalah transmisi nyeri dari medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus melalui jaras spinotalamikus (spinothalamic tract, STT). STT merupakan suatu sistem diskriminatif yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi stimulus ke thalamus. Selanjutnya, pada bagian ketiga, sinyal tersebut diteruskan ke korteks sensorik somatic-tempat nyeri dipersepsikan. Impuls yang ditransmisikan melalui STT mengaktifkan respon otonomi dan limbic (Potter, 2008)

c) Persepsi. Pada fase ini, individu mulai menyadari adanya nyeri. Tampaknya persepsi nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga memungkinkan munculnya berbagai strategi perilaku-kognitif untuk mengurangi komponen sensorik dan afektif nyeri. d) Modulasi. Fase ini disebut juga sistem desenden. Pada fase ini,

neuron di batang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke medulla spinalis. Serabut desenden tersebut melepaskan substansi seperti opioid, serotonin, dan norepinefrin yang akan menghambat impuls asenden yang membahayakan di bagian dorsal medulla spinalis.

2) Teori Gate Kontrol

Dikemukakan oleh Melzack dan Well (1995), dalam teorinya, kedua orang ahli ini menjelaskan bahwa substansi gelatinosa pada


(37)

medulla spinalis bekerja layaknya pintu gerbang yang memungkinkan atau menghalangi masuknya impuls nyeri menuju otak. Pada mekanisme nyeri, stimulus nyeri ditransmisikan melalui serabut saraf berdiameter kecil melewati gerbang. Akan tetapi, serabut saraf berdiameter besar yang juga melewati gerbang tersebut dapat menghambat transmisi impuls nyeri dengan cara menutup gerbang itu. Impuls yang berkonduksi pada serabut berdiameter besar bukan sekedar menutup gerbang, tetapi juga merambat langsung ke korteks agar dapat diidentifikasi dengan cepat (Potter, 2009).

Uji coba yang dilakukan pada delapan orang, Melzack dan Well memakai listrik berkekuatan 0,1 m-sec, 100 cps guna merangsang saraf spinalis perifer sehingga menimbulkan rasa nyeri seperti terbakar. Kemudian, dengan kekuatan listrik yang relatif kecil, ia merangsang serabut yang lebih tebal sehingga rasa nyeri tersebut menghilang. Dengan kata lain, uji coba ini membuktikan kebenaran teori gate control. Jika ada suatu zat dapat mempengaruhi substansi gelatinosa di dalam gate control, zat tersebut dapat digunakan untuk pengobatan nyeri (Guyton, 2008).

3) Pengalaman Nyeri

Pengalaman nyeri seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: a) Makna nyeri. Nyeri memiliki makna yang berbeda bagi setiap

orang, juga untuk orang yang sama di saat yang berbeda. Umumnya, manusia memandang nyeri sebagai pengalaman


(38)

yang negative, walaupun nyeri juga mempunyai aspek positif. Beberapa makna nyeri antara lain berbahaya atau merusak, menunjukkan adanya komplikasi (misal: infeksi), memerlukan penyembuhan, menyebabkan ketidakmampuan, merupakan hukuman akibat dosa, merupakan sesuatu yang harus ditoleransi. Faktor yang mempengaruhi makna nyeri bagi individu antara lain usia, jenis kelamin, latar belakang sosial budaya, lingkungan, pengalaman nyeri sekarang dan masa lalu.

b) Persepsi nyeri. Pada dasarnya, nyeri merupakan salah satu bentuk refleks guna menghindari rangsangan dari luar tubuh, atau melindungi tubuh dari segala bentuk bahaya. Akan tetapi, jika nyeri itu terlalu berat atau berlangsung lama dapat berakibat tidak baik bagi tubuh, dan hal ini akan menyebabkan penderita menjadi tidak tenang dan putus asa. Bila nyeri cenderung tidak tertahankan, penderita bisa sampai melakukan bunuh diri (Muawiyah, 2010). Persepsi nyeri, tepatnya pada area korteks (fungsi evaluatif kognitif), muncul akibat stimulus yang ditransmisikan menuju jaras spinotalamikus dan talamiko kortikalis. Persepsi nyeri ini sifatnya obyektif, sangat kompleks, dan dipengaruhi faktor-faktor yang memicu stimulus nosiseptor dan transmisi impuls nosiseptor, seperti daya reseptif dan interpretasi kortikal. Persepsi nyeri bisa berkurang atau hilang pada periode stress berat atau dalam keadaan emosi. Kerusakan


(39)

pada ujung saraf dapat memblok nyeri dari sumbernya. Sebagai contoh, penderita luka bakar derajat III tidak akan merasakan nyeri walaupun cederanya sangat hebat karena ujung-ujung sarafnya telah rusak. Individu lansia tidak mampu merasakan kerusakan jaringan yang biasanya menimbulkan nyeri, ini dirasakan oleh orang yang lebih muda.

c) Toleransi terhadap nyeri. Toleransi terhadap nyeri terkait dengan intensitas nyeri yang membuat seseorang sanggup menahan nyeri sebelum mencari pertolongan. Tingkat toleransi yang tinggi berarti bahwa individu mampu menahan nyeri yang berat sebelum ia mencari pertolongan. Meskipun setiap orang memiliki pola penahan nyeri yang relatif stabil, namun tingkat toleransi berbeda tergantung pada situasi yang ada. Toleransi terhadap nyeri tidak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, kelelahan, atau sedikit perubahan sikap.

d) Reaksi terhadap nyeri. Setiap orang memberikan reaksi yang berbeda terhadap nyeri. Ada orang yang menghadapinya dengan perasaan takut, gelisah dan cemas, ada pula yang menanggapinya dengan sikap yang optimis dan penuh toleransi. Sebagian orang merespons nyeri dengan menangis, mengerang dan menjerit-jerit, meminta pertolongan, gelisah di tempat tidur, atau berjalan mondar-mandir tak tentu arah untuk mengurangi rasa nyeri. Sedangkan yang lainnya tidur sambil


(40)

menggemeretakkan gigi, mengepalkan tangan, atau mengeluarkan banyak keringat ketika mengalami nyeri.

(Guyton dan Hall, 2008) c. Jenis dan Bentuk Nyeri

a. Jenis Nyeri 1) Nyeri perifer.

Nyeri ini ada tiga macam: (1) nyeri superfisial, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat rangsangan pada kulit dan mukosa; (2) nyeri visceral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat akibat stimulasi pada reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks; (3) nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh dari jaringan penyebab nyeri.

2) Nyeri sentral. Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak dan thalamus.

3) Nyeri psikogenik. nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain, nyeri ini timbul akibat pikiran si penderita sendiri. Seringkali, nyeri ini muncul karena faktor psikologis, bukan fisiologis (Muawiyah, 2010).

b. Bentuk Nyeri

1) Nyeri akut. Nyeri ini biasanya berlangsung tidak lebih dari enam bulan. Awitan gejalanya mendadak, dan biasanya penyebab serta lokasi nyeri sudah diketahui. Nyeri akut ditandai dengan


(41)

peningkatan tegangan otot dan kecemasan yang keduanya meningkatkan persepsi nyeri.

2) Nyeri kronis. Nyeri ini berlangsung lebih dari enam bulan. Sumber nyeri bisa diketahui atau tidak. Nyeri cenderung hilang timbul dan biasanya tidak dapat disembuhkan. Selain itu, penginderaan nyeri menjadi lebih dalam sehingga penderita sukar untuk menunjukkan lokasinya. Dampak dari nyeri ini antara lain penderita menjadi mudah tersinggung dan sering mengalami insomnia. Akibatnya, mereka menjadi kurang perhatian, sering merasa putus asa, dan terisolir dari kerabat dan keluarga. Nyeri kronis biasanya hilang timbul dalam periode waktu tertentu (Mubarok, 2008).

d. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri 1) Etnik dan nilai budaya

Latar belakang etnik dan budaya merupakan faktor yang mempengaruhi reaksi terhadap nyeri dan ekspresi nyeri. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks serebral, maka otak akan menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta kebudayaan dalam mempersepsikan nyeri (McNair, 1999 dalam Potter, 2008). 2) Tahap perkembangan intensitas nyeri lebih tinggi pada pasien usia


(42)

yang dilakukan oleh Melton et al., (2008) terhadap pasien yang mengalami amputasi tungkai bawah sebanyak 472 responden, 3) Lingkungan dan individu pendukung

Budaya dan lingkungan mempengaruhi seseorang bagaimana cara toleransi terhadap nyeri, mengintepretasikan nyeri, dan bereaksi secara verbal atau non-verbal terhadap nyeri (LeMone & Burke, 2008).

4) Pengalaman nyeri sebelumnya, sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Perry, et al. (2005) menemukan bahwa 29% wanita dengan pembedahan abdomen histerektomy dilaporkan mempunyai nyeri yang lebih hebat daripada pengalaman nyeri pembedahan abdomen sebelumnya. Sisanya 71% wanita yang dilakukan histerektomy mengalami nyeri ringan atau sama seperti pengalaman nyeri sebelumnya.

5) Ansietas dan stress sesuai dengan penelitian Hobson, et al., (2006) pada penelitiannya menemukan bahwa cemas secara signifikan berkorelasi dengan nyeri pasca seksio sesarea yang dilakukan pada 85 wanita yang telah 3 hari pasca seksiosesarea dengan menggunakan alat ukur State Trait Anxiety Inventory (STAI).

e. Cara Mengukur Intensitas Nyeri

Ada 3 metode yang umumnya digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri yaitu Verbal Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scale


(43)

(VAS), dan Numerical Rating Scale (NRS). VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat untuk menggambarkan level intensitas nyeri yang berbeda, range dari no pain sampai nyeri hebat (extreme pain). VRS merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk memeriksa intensitas nyeri. VRS biasanya di skore dengan memberikan angka pada setiap kata sifat sesuai dengan tingkat intensitas nyerinya. Sebagai contoh, dengan menggunakan skala 5-point yaitunone(tidak ada nyeri) dengan skore“0”, mild (kurang nyeri) dengan skore “1”, moderate (nyeri yang sedang) dengan skore“2”,severe (nyeri keras) dengan skor“3”,very severe(nyeri yang sangat keras) dengan skore “4”. Angka tersebut berkaitan dengan kata sifat dalam VRS, kemudian digunakan untuk memberikan skore untuk intensitas nyeri pasien. VRS ini mempunyai keterbatasan didalam mengaplikasikannya. Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya ketidakmampuan pasien untuk menghubungkan kata sifat yang cocok untuk level intensitas nyerinya, dan ketidakmampuan pasien yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang digunakan (Guyton dan Hall, 2008)

Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti no pain dan 10 atau 100 berarti severe pain (nyeri hebat). Dengan skala NRS-101 dan skala NRS-11 point, terapis dapat memperoleh data basic yang berarti dan kemudian digunakan skala tersebut pada setiap terapi berikutnya untuk memonitor apakah terjadi kemajuan atau tidak (Hakam, 2011).


(44)

VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda“no pain” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas. Begitu pula, VAS lebih sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut (Carlson, 1983 ; McGuire, 1984).

Ada beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa pasien khususnya orang tua akan mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala verbal nyeri (VRS) (Jensen et.al, 1986; Kremer et.al, 1981). Beberapa pasien mungkin sulit untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga supervisi yang teliti dari terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen et.al, 1986). Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang akurat terhadap pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal yang vital (Jensen & Karoly, 1992 dalam Hakam, 2010).


(45)

Tabel 2.1 Skala Nyeri Skala nyeri menurut Hayward

Skala Keterangan

0 Tidak nyeri 1-3 Nyeri ringan 4-6 Nyeri sedang

7-9 Sangat nyeri, tetapi masih dapat dikontrol dengan aktifitas yang biasa dilakukan 10 Sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol

Skala nyeri menurut McGill

Skala Keterangan

1 Tidak nyeri 2 Nyeri sedang 3 Nyeri berat

4 Nyeri sangat berat 5 Nyeri hebat Sumber: Mubarok; 2014

3. Konsep Dasar Cemas a. Definisi

Ansietas adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan tidak dapat dibenarkan yang sering disertai dengan gejala fisiologis


(46)

(David, 2005). Ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik, dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2007).

Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur dan terjadi ketika mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (Darajat, 2007). Definisi tersebut dapat disimpulkan, kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas sumbernya, berupa rasa khawatir dan takut, proses emosi bercampur baur, di alami secara subjektif namun keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik.

b. Faktor Penyebab dan Faktor Predisposisi

Stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak, remaja, atau dewasa), sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau menanggulangi stressor yang timbul (Yosep, 2009). Walaupun belum terbukti bahwa reseptor benzodiazepin abnormal, tetapi banyak orang melakukan penelitian pada lobus oksipitalis yang memiliki konsentrasi benzodiazepin tertinggi. Beberapa bukti menyatakan bahwa klien dengan gangguan cemas memiliki subsensitivitas pada reseptor adrenergik alfa-2.

Pada umumnya jenis stressor psikososial terdiri dari perkawinan, problem orang tua, hubungan interpersonal (antarpribadi), pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik atau


(47)

cedera, faktor keluarga, serta kejadian tidak diharapkan seperti bencana alam, kebakaran, perkosaan, kehamilan diluar nikah dan lain sebagainya (Yosep, 2009).

c. Klasifikasi Cemas

Tingkatan ansietas menurut Stuart (2007) adalah sebagai berikut: 1) Ansietas ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari; ansietas ini menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

2) Ansietas sedang, memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain; ansietas ini mempersempit lapang persepsi individu, dengan demikian individu mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika di arahkan untuk melakukannya.

3) Ansietas berat, sangat mengurangi lapang persepsi individu; individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.

4) Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup


(48)

disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, akan menimbulkan kelelahan dan kematian.

Tahapan lainnya dari ansietas menurut Yosep (2009) adalah: 1) Ansietas Tingkat I, merupakan tingkat ansietas ringan, biasanya

disertai perasaan sebagai berikut: semangat besar, penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya, gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya,

2) Ansietas Tingkat II, dampak stress yang menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari, keluhannya: merasa letih sewaktu bangun pagi, merasa lelah sesudah makan siang, merasa lelah sepanjang sore hari, terkadang gangguan dalam sistem pencernaan, perasaan tegang pada otot-otot punggung dan belakang leher, perasaan tidak bisa santai.

3) Ansietas Tingkat III, keluhan keletihan semakin nampak disertai; gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ingin buang air kecil), otot-otot terasa lebih tegang, perasaan tegang yang semakin meningkat, gangguan tidur, badan terasa mau pingsan.


(49)

4) Ansietas Tingkat IV, menunjukkan keadaan yang lebih buruk: untuk bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit, kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit, kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan sosial, dan kegiatan rutin lainnya terasa sangat berat, tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan, seringkali terbangun dini hari, perasaan negativistik, kemampuan berkonsentrasi menurun tajam, perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan.

5) Ansietas Tingkat V, gejalanya; keletihan yang mendalam (physical and psychological exhaustion), untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu, gangguan sistem pencernaan (maag, susah BAB, sering BAK), perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panik.

6) Ansietas Tingkat VI, merupakan tahapan puncak: debar jantung terasa amat keras, disebabkan adrenalin yang dikeluarkan dalam peredaran darah, nafas sesak, badan gemetar, tubuh dingin, keringat dingin, pingsan,collaps.

d. Respon Fisiologis Terhadap Ansietas

Ada beberapa respon fisiologis saat terjadi ansietas:

1) Sistem kardiovaskular: palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meningkat, rasa ingin pingsan.


(50)

2) Sistem pernapasan: napas cepat, sesak napas, tekanan pada dada, napas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-engah.

3) Sistem neuromuskular: refleks meningkat, reaksi terkejut, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah/mondar-mandir, wajah tegang, kelemahan umum, tungkai lemah, gerakan yang janggal.

4) Sistem gastrointestinal: kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati, konstipasi, diare.

5) Sistem perkemihan: tidak dapat menahan kencing atau sering berkemih.

6) Kulit: wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak tangan), gatal, rasa panas atau dingin pada kulit, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh.

(Stuart, 2007)

e. Respon Perilaku, Kognitif, dan Afektif Terhadap Ansietas

1) Perilaku: gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal, inhibisi, melarikan diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi, sangat waspada.

2) Kognitif: perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir,


(51)

lapang persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut cedera atau kematian, kilas balik, mimpi buruk.

3) Afektif: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, kengerian, kekhawatiran, kecemasan, mati rasa, rasa bersalah, malu (Stuart, 2007).

f. Penatalaksanaan Cemas

Sebagian besar penelitian hasil pengobatan menunjukkan bahwa pengobatan aktif lebih baik daripada pendekatan tidak langsung, dan secara keseluruhan lebih utama daripada tanpa pengobatan; namun sebagian besar penelitian tersebut gagal menunjukkan angka diferensial kefektifan di antara pengobatan aktif. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa terapi perilaku-kognitif (yang mengombinasikan latihan relaksasi dan terapi kognitif), yang bertujuan mengendalikan proses kekhawatiran adalah terapi yang paling efektif. Benzodiazepin mengurangi gejala ansietas dan kekhawatiran pada gangguan ansietas umum. Buspiron tampak sebanding dengan benzodiazepin dalam mengurangi gejala gangguan ansietas umum. Antidepresan trisiklik menunjukkan manfaatnya dalam pengobatan gangguan ansietas umum (Hawari, 2008).


(52)

4. Benigna Prostat Hiperplasia a. Definisi

Hiperplasia berarti peningkatan jumlah sel secara abnormal yang mengakibatkan pembesaran kelenjar prostat (hipertrofi prostat). Prostat melewati dua stadium pertumbuhan; stadium pertama terjadi di awal usia pubertas dan stadium kedua berlangsung di usia 25 tahun. Meskipun prostat terus tumbuh, hal ini tidak menimbulkan masalah bagi banyak pria, hingga usia lanjut sekitar 60 tahun atau lebih (Chang, 2009).

Benigna prostat hiperplasia adalah pembesaran kelenjar dan jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan. Istilah lainnya disebut juga nodularhyperplasia,benign prostatic hypertrophyataubenign enlargement of the prostate yang merujuk kepada peningkatan ukuran prostat pada laki-laki usia pertengahan dan usia lanjut. Prostat adalah kelenjar yang berlapis kapsula dengan berat kira-kira 20 gram, berada di sekeliling uretra dan di bawah leher kandung kemih pada pria. Bila terjadi pembesaran lobus bagian tengah kelenjar prostat akan menekan dan uretra akan menyempit (Suharyanto, 2009).

Benigne Prostat Hyperplasia merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, 2007).


(53)

b. Etiologi

1) Teori Dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron atau DHT metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5 alfa-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH aktivitas enzim 5 alfa-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

2) Ketidakseimbangan antara Estrogen-Testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan antara estrogen dan testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).


(54)

Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.

3) Interaksi Stroma-Epitel

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel-sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun stroma. 4) Berkurangnya Kematian Sel Prostat

Apoptosisi adalah mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosisi terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel


(55)

prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.

5) Teori Sel Stem

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatannya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

c. Manifestasi Klinis

Gejala hiperplasia prostat disebabkan oleh obstruksi saluran keluar dan iritasi kandung kemih yang sering disebut prostatisme atau belakangan ini lebih dikenal dengan sebutan gejala saluran kemih bawah (lower urinary tract symptoms). Karena pembesaran kelenjar prostat terjadi secara lambat, banyak gejala yang dapat ditoleransi oleh pasien hingga terjadi retensi urine akut. Pada awalnya manifestasi klinis benigna prostat hyperplasiameliputi:

1) Keluhan sering berkemih (poliuria) 2) Berkemih dengan lambat


(56)

3) Pancaran dan dorongan urine melemah

4) Urine menetes atau terjadiinkontinensia overflowsetelah berkemih 5) Hematuria (air kemih mengandung darah)

6) Retensi urine

7) Hidronefrosis dan kegagalan ginjal, terjadi akibat tekanan balik melewati ureter ke ginjal.

(Chang, 2009)

Iritasi kandung kemih dapat menyebabkan gejala desakan untuk berkemih, nokturia, dan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna sehingga terdapat residu urine dan terjadi infeksi. Hematuria terjadi karena pembesaran kelenjar prostat dan pembuluh darah yang robek akibat mengejan. Keluhan nyeri dapat membantu membedakan BPH dengan kanker prostat. Pada BPH, nyeri terasa pada perut sebelah bawah, bagian belakang atau sisi panggul dengan awitan lambat; sebagai perbandingan, nyeri akibat kanker prostat secara khas dapat bersifat mendadak dan intensitas meningkat dengan cepat. Jika kanker telah bermetastasi, nyeri dapat dirasakan pada bagian tubuh lain (biasanya tulang belakang) bersama dengan penurunan berat badan, disfungsi usus dan kandung kemih, serta keletihan. Saat awal timbulnya metastase dan kematian berjarak sekitar lima tahun (Chang, 2009).


(57)

d. Patofisiologi Hiperplasia Prostat

Kelenjar prostat terletak tepat di bawah leher kandung kemih dan melingkari uretra. Apabila terjadi pembesaran abnormal atau multiplikasi sel karena sel benigna atau sel kanker, tekanan pada uretra pars prostatika akan timbul, yang selanjutnya dapat menghambat aliran keluar urine. Selama proses ini, muskulus destrusor mulai menebal dan akhirnya kandung kemih menjadi sangat peka sehingga kontraksi terjadi meskipun jumlah urine sedikit. Jika tekanan pada kandung kemih tidak dikurangi, akan terjadi aliran balik urine ke dalam ureter, keadaan ini disebut refluks vesikoureter.

Meskipun secara umum BPH bukan kejadian yang sering ditemukan, keadaan ini masih menjadi salah satu penyebab yang paling sering menimbulkan gagal ginjal pada pria di masa tua. Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia akibat perubahan normal. Refluks vesikoureter dapat menyebabkan hidroureter, hidronefrosis dan gangguan fungsi ginjal. Setelah melewati periode waktu tertentu, retensi urine disertai regangan tambahan pada kandung kemih dapat mengganggu fungsi saluran kemih yang mengakibatkan infeksi (Chang, 2009).

Meskipun pembesaran jaringan terjadi pada BPH maupun kanker prostat, lokasi pertumbuhan jaringan berbeda pada kedua keadaan tersebut. Sel prostat benigna bereplikasi pada zona tengah atau transisi yang mengelilingi uretra sementara sel kanker cenderung tumbuh di zona perifer atau sebelah luar kelenjar prostat. Karena sebagian besar kelenjar prostat


(58)

tersusun dari sel epitel kelenjar, semua kanker yang terjadi pada prostat sebagian besar berjenis adenokarsinoma. Sel metastasis ini tumbuh dengan lambat dan menginvasi jaringan sekitar dengan pola yang dapat diperkirakan, yaitu mengenai limfonodi, sumsum tulang dan tulang pelvis, sacrum serta vertebra lumbalis. Penyebaran metastasis ke bagian tubuh lain pada akhirnya terjadi melalui limfe dan aliran darah vena.

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2011).

Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2 banding 1, maka pada BPH rasionya meningkat menjadi 4 banding 1. Hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat bila dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen static sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat (Purnomo, 2011).


(59)

e. Penatalaksanaan Bedah Transuretrhal Resection Prostate (TURP) Pada BPH

Penatalaksanaan pada pasien BPH untuk jangka panjang adalah dengan pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non-invasif lainnya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk melihat keberhasilannya. Pembedahan yang paling banyak dilakukan pada pasien BPH adalah TUR Prostat yang merupakan bagian dari pembedahan endourologi. TUR Prostat merupakan the goal standar of treatment pada pasien-pasien yang mengalami pembesaran prostat jinak (Rahardjo dalam Purnomo, 2011). TUR Prostat merupakan salah satu prosedur pembedahan untuk membuang jaringan prostat dengan memasukkan resectoscopi ke dalam uretra dan setelah selesai prosedur pembedahan dimasukkan three way indwelling cathether ke dalam kandung kemih untuk memfasilitasi hemostasis dan drainase urine (Giddens dalam Purnomo, 2011).

Pembedahan TUR Prostat memiliki keuntungan yaitu tidak membuat insisi pada abdomen, lama hari rawat kurang dari 4 hari, prostat fibrous mudah diangkat, perdarahan akan mudah dilihat dan dikontrol (Smeltzer & Bare, 2007). TUR Prostat dilakukan pada pasien BPH dengan derajat dua dan tiga, karena biasanya pada derajat ini prostat sudah membesar dengan besar 60 gram-90 gram. Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway, irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah.


(60)

Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal di rumah sakit lebih singkat. Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007). Komplikasi yang perlu diwaspadai pasca bedah TURP diantaranya adalah TUR Sindrom, perdarahan, hiponatremia, syok kardiogenik, serta penurunan kesadaran tiba-tiba pasca pembedahan.

B. Peran Mandiri Perawat Dalam Penanganan Nyeri dan Kecemasan 1. SEFT dan Masalah Nyeri

Secara ilmiah, SEFT dapat menurunkan masalah nyeri yang dirasakan oleh seseorang. Hakam (2011) menjelaskan bahwa SEFT mampu menurunkan nyeri yang dirasakan oleh pasien kanker pada stadium II, saat pengkajian awal, nyeri cukup hebat dirasakan oleh penderita kanker. Namun setelah dilakukan terapi SEFT, nyeri yang dirasakan penderita kanker berkurang, bahkan beberapa diantaranya mengatakan nyeri tidak dirasakan lagi setelah dilakukan terapi. Secara ilmiah, titik tapping pada tubuh manusia yang merupakan titik meridian tubuh mampu mengaktifkan sistem energi tubuh manusia untuk menurunkan dan menyembuhkan faktor nyeri serta penyakit lainnya (Albi SEFT Magazine, 2012).

2. SEFT dan Masalah Kecemasan

Beberapa catatan ilmiah hasil penelitian SEFT berhasil mengatasi masalah kejiwaan yang dialami oleh individu. Faiz (2012) mengatakan bahwa


(61)

SEFT mampu mengurangi sakau pada penderita narkoba, mengatasi pasien penderita gangguan jiwa, serta mampu menurunkan kecemasan yang di alami oleh individu yang mengalami konflik yang cukup berat. Menurut Anwar (2012) mengatakan bahwa SEFT mampu menurunkan cemas dan fobia spesifik. Cemas dan ketakutan yang berlebihan karena keadaan sakit sedikit demi sedikit menurun setelah dilakukan intervensi SEFT.

3. Distraksi

Tehnik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke stimulus yang lain. Tehnik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri (Tamsuri, 2007). 4. Relaksasi

Merupakan kegiatan untuk mengendurkan ketegangan, pertama-tamaketegangan jasmaniah yang nantinya akan berdampak pada penurunan ketegangan jiwa (Suryani, 2007).

5. Imajinasi terbimbing

Merupakan sebuah teknik relaksasi yang bertujuan untuk mengurangi stress dan meningkatkan perasaan tenang dan damai serta merupakan obat penenang untuk situasi yang sulit dalam kehidupan. merupakan suatu teknik untuk mengkaji kekuatan pikiran saat sadar maupun tidak sadar untuk menciptakan bayangan gambar yang membawa ketenangan dan keheningan (National Safety Council, 2004).


(62)

C. Kerangka Teori

Gambar 2.2 Kerangka teori

Sumber: Hakam (2011), Purnomo (2011), Ramaiah (2010), Zainuddin (2012) Smeltzer (2008), Stuart (2007), Potter (2010)

TURP Pada Pasien BPH

Mekanisme nyeri pasca bedah: transduksi, transmisi, modulasi, persepsi

Terapi Non-Farmakologi (Intervensi Keperawatan Mandiri) Nyeri Pasca Bedah TURP

Terapi Farmakologi

Terapi SEFT Penurunan Nyeri dan Kecemasan

Pasca Bedah TURP Obat analgetik

Gate control theory,teori transmisi dan inhibisi,pattern theory,

specifity theory

Perlukaan/injury; pengeluaran mediator kimia (histamine, bradikinin, prostaglandin)

Kecemasan Pasca Bedah TURP Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. Usia 2. Kelamin 3. Pendidikan 4. Pengalaman nyeri

sebelumnya 5. Persepsi nyeri 6. Etnik dan Budaya 7. Pengetahuan Faktor-faktor yang mempengaruhi cemas: 1. Cedera 2. Pernikahan 3. Pekerjaan

4. Tindakan invasive karena penyakit 5. Persepsi kematian 6. Keuangan 7. Problem / konflik


(63)

Menurut Hakam (2011), pasien pasca pembedahan TURP dapat mengalami nyeri dan cemas, keduanya bersifat subyektif, sehingga masing-masing akan berbeda dalam menginterpretasikan nyeri karena nyeri dan kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Smeltzer, et al (2008) dalam upaya untuk menurunkan nyeri dan cemas pada pasien pasca bedah TURP yaitu dengan menggunakan terapi farmakologi dan teknik non farmakologi. Menurut Ramaiah (2007) ada beberapa teknik non farmakologi untuk mengurangi atau mengatasi kecemasan atau stres bagi pasien pasca bedah, yaitu antara lain dengan relaksasi progresif (hipnosis), distraksi, meditasi, yoga, SEFT, dan lainnya.

SEFT merupakan salah satu bagian komplementer dari human mind control system, yaitu kemampuan mengontrol pikiran manusia untuk mengendalikan pikiran bawah sadar sehingga mampu mengubah pola kebiasaan dan penerimaan pasien terhadap rasa nyeri dan cemasnya. SEFT (spiritual emotional freedom technique) menggabungkan antara sistem kerja energy psychology dengan kekuatan spiritual sehingga menyebutnya dengan amplifying effect (efek pelipat gandaan). Pada tahap pelaksanaan dibutuhkan tiga hal yang harus dilakukan terapis dan pasien dengan serius yaitu: khusyu, ikhlas, dan pasrah.


(64)

D. Kerangka Konsep

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

E. Hipotesis

TerapiSpiritual Emotional Freedom Technique(SEFT) berpengaruh terhadap penurunan nyeri dan kecemasan pada pasien pasca bedah transurethral resection

prostate (TURP) di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.

Penurunan: 1. Nyeri 2. Kecemasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. Jenis kelamin

2. Umur 3. Pendidikan

4. Pengalaman nyeri sebelumnya 5. Persepsi nyeri

6. Etnik dan Budaya 7. Pengetahuan Benigna Prostat

Hiperplasia (BPH)

Terapi Farmakologi

Transurethral Resection Prostate

(TURP)

Terapi non Farmakologi: SEFT


(65)

(66)

50 A. Desain Penelitian

Penelitian kontrol ini didesain menggunakan quasi-eksperimen dengan tipe

Pretest-Posttest with Control Group Design. Disain quasi-eksperimen

dikembangkan untuk menguji hubungan sebab akibat dalam situasi yang tidak kondusif dalam mengontrol eksperimen (Nursalam, 2013). Desain penelitian ini kelompok intervensi maupun kelompok kontrol terlibat dalam penelitian. Adapun yang membedakan adalah pada kelompok intervensi selain mendapatkan terapi farmakologi juga mendapatkan perlakuan terapi SEFT, sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan terapi SEFT, tetapi tetap mendapat terapi farmakologi dari ruang perawatan.

Skema 3.1 RancanganQuasi Eksperimen

K-A O X1 KA1

K-B O X0 KB0

Keterangan:

K-A = Responden dengan perlakuan

K-B = Responden tanpa perlakuan / kontrol O = pra perlakuan

X1 = perlakuan intervensi dan terapi standar X0 = dengan terapi standar tanpa intervensi KA1 = responden setelah intervensi


(67)

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien pasca bedah TURP yang dirawat di RSU dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Jumlah pasien pasca bedah TURP pada tahun 2015 adalah 221 pasien yang dirawat dengan rata-rata sebanyak 18 pasien perbulan. Sampel penelitian menggunakan teknik accidental sampling, yaitu dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjo, 2012). Penghitungan jumlah sampel dengan menggunakan rumus rerata sampel dua populasi berpasangan (Sastroasmoro, 2015):

n1= n2 = 2 Zα+ Zβ)sd 2 x1–x2 Keterangan:

n1= n2 : jumlah sampel

sd : standar deviasi (dari pustaka; 4,43) Zα : tingkat kemaknaan I(ditetapkan) Zβ : tingkat kemaknaan II (ditetapkan) x1–x2 :clinical judgement (dari pustaka; 5,2)

maka,

n1= n2 = 2 Zα + Zβ)sd 2 (x1–x2

= 2 1,96 + 0,842) x (4.43) 2 5,2

= 2 2,802 x 4,43 2 5,2


(68)

untuk kelompok intervensi dan 22 orang untuk kelompok kontrol. Alokasi jumlah sampel kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan menggunakan

sistematic alocation, yaitu pengumpulan responden secara berurutan, setelah terpenuhi kelompok intervensi kemudian memenuhi sampel untuk kelompok kontrol, dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:

Kriteria inklusi:

1. Pasien mampu membaca dan menulis.

2. Pasien pasca bedah TURP di ruang rawat inap 3. Pasien pasca bedah TURP hari kedua

4. Kesadaran komposmentis dan kooperatif 5. Mendapatkan terapi analgetik 10 mg intravena 6. Bersedia menjadi responden

7. Pasien beragama Islam Kriteria eksklusi:

1. Pasien dengan penyakit komplikasi kronik.

2. Pasien mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya dan waktu penelitian ini pada bulan Juni s.d Agustus 2016.


(69)

Adapun variabel dari penelitian ini adalah:

1. Variabel independen: Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique

(SEFT).

2. Variabel dependent: nyeri dan kecemasan pada pasien pasca bedah

transurethral resection prostate(TURP)

E. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional No Variabel Definisi Operasional Alat dan

Cara Ukur Hasil Ukur Skala

1 2 3 4 5

1. Kecemasan Respon tubuh terhadap adanya stressor yang dihadapi pasien pasca bedah TURP. Pengukuran dilakukan sebelum dilakukan intervensi SEFT dan setelah dilakukan intervensi SEFT.

Responden memberikantanda ceklist pada pilihan jawaban yang sesuai dengan

pilihannya. Kuesioner menggunakan skala kecemasan HARS

Rentang nilai 0–56 (kuesioner HARS)

Rasio

2. Nyeri Respon tubuh pasien pasca bedah TURP terhadap pembedahan yang membuat pasien tidak nyaman.

Peneliti memberikan tanda ceklist pada lembar observasi. Menggunakan skala nyeri Numeric Rating Scaledengan rentang nilai 0 s.d 10. (Nursalam, 2013)

Rentang nilai 0–10 (Numeric Rating Scale)

Rasio

No Definisi Operasional

1. Terapi SEFT Terapi SEFT yang dilakukan pada pasien pasca bedah TURP sebanyak dua sesi (2 kali putaran)melalui tahapan set up, tune-in, dan tapping. Syarat teknik ini adalah terapis dan pasien harus khusu`, ikhlas, dan pasrah. SEFT pertama untuk intervensi nyeri sebanyak satu putaran, SEFT kedua untuk intervensi cemas satu putaran, untuk satu putaran SEFT berlangsung sekitar 15 menit.


(70)

Penelitian ini menggunakan instrument yang sudah baku yaitu HARS untuk mengukur skala kecemasan, serta lembar ceklist untuk skala nyeri (Numeric Rating Scale) dengan rentang nilai 0 s.d 10 (Nursalam, 2013).

G. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Penelitian ini menggunakan instrument penelitian yang sudah baku. Pengukuran variabel kecemasan menggunakan kuesioner yang diadopsi dari HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas sangat tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian trial clinic yaitu 0.972 (Norman, M., & Lipsig, M., 1959, dalam Kurniawan, 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Li, et all (2007) dengan membandingkan empat skala nyeri yaitu Numeric Rating Scale(NRS),Face Pain Scale Revised (FPS-R),

Verbal Descriptor Scale (VDS), dan Visual Analog Scale (VAS) pada pasien pasca bedah menunjukkan bahwa keempat skala nyeri menunjukkan validitas dan reliabilitas yang baik. Uji reliabilitas menggunakan intraclass correlation coefficients (IICs), keempat skala nyeri ini menunjukkan konsistensi penilaian pasca bedah setiap harinya (0,673 –0,825) dan mempunyai hubungan kekuatan (r = 0,71 – 0,99), dalam penelitian ini yang digunakan untuk mengukur skala nyeri adalahNumeric Rating Scale(NRS).


(71)

1. Tahap Persiapan

a. Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan izin dari pembimbing tesis, lolos uji etik penelitian di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

b. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti mengajukan surat izin kepada direktur RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Selanjutnya dilanjutkan ke bagian penelitian dan pengembangan RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya, kemudian diterbitkan surat izin di tempat penelitian.

c. Selanjutnya peneliti meminta izin pada kepala instalasi rawat inap pasca bedah untuk diteruskan pada kepala ruangan dan kemudian dilakukan proses penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Peneliti melakukan kontrak waktu penelitian dan penyamaan persepsi dengan perawat ruangan dan perawat terapis yang telah memiliki sertifikat SEFT untuk membantu dalam proses penelitian.

b. Sebelum melakukan penelitian, peneliti memilih pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi kemudian peneliti menemui dan memperkenalkan diri serta menjelaskan informed consentpada pasien dan keluarga yang akan dijadikan kelompok intervensi, untuk kelompok kontrol informed consent dilakukan oleh perawat ruangan.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)