PENGARUH SEFT (SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE) DALAM MENURUNKAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM.
PENGARUH SEFT (SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE) DALAM MENURUNKAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN
UMUM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata
Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Ronica B07212074
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
INTISARI
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh SEFT (Spiritual Emotional Freedom Tachnique) dalam menurunkan kecemasan berbicara di depan umum pada subjek yang mengalami kecemasan ketika tampil berbicara di depan umum. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain eksperimen dengan jenis one group pretest - posttest design. Instrumen penelitian menggunakan skala kecemasan berbicara di depan umum adaptasi dari Wahyuni (2015).
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 5 mahasiswa yang berdomisili di Pondok Pesantren Darul Arqom dari jumlah populasi sebanyak 70 mahasiswa, teknik dalam pengambilan sampel menggunakan sampling purposive.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa SEFT (Spiritual Emotional Freedom Tachnique) mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi yang diperoleh sebesar 0.043 lebih kecil dari 0.05 (0.043 < 0.05) artinya hipotesis SEFT (Spiritual Emotional Freedom Tachnique) mempengaruhi dalam menurunkan kecemasan berbicara di depan umum diterima.
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN.. ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL. ... .viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
INTISARI ... xi
ABSTRAK ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Keaslian Penelitian ... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum ... 12
1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum... 12
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Berbicara di Depan Umum ... 14
3. Hal-hal yang Dapat Menurunkan Kecemasan Berbicara Berbicara di Depan Umum ... 19
B. SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique). ... 23
1. Pengertian SEFT ... 23
2. Teknik yang mendasari SEFT ... 25
3. Teknik SEFT ... 30
4. Kunci Keberhasilan SEFT ... 37
5. SEFT Personal Peace Prosedure ... 44
C. Hubungan SEFT dengan Kecemasan Berbicara ... 47
D. Kerangka Teoritik ... 49
E. Hipotesis ... 51
BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Oprasional ... 52
1. Variabel Penelitian... 52
2. Definisi Oprasional ... 53
B. Subjek Penelitian ... 54
C. Desain Eksperimen ... 55
D. Prosedur Eksperimen ... 56
E. Validitas Eksperimen ... 57
F. Instrumen Penelitian ... 65
1. Alat Ukur ... 65
2. Validitas dan Reliabilitas ... 69
(8)
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Subjek ... 72
B. Deskripsi dan Reliabilitas Data.. ... 75
C. Hasil.. ... 78
D. Pembahasan.. ... 79
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.. ... 83
B. Saran.. ... 83
DAFTAR PUSTAKA.. ... 85 LAMPIRAN
(9)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki mahasiswa diantaranya kemampuan berbicara di depan umum. Kemampuan tersebut sangat mendukung mahasiswa agar dapat melakukan berbagai aktivitas kemahasiswaan seperti perkuliahan, presentasi ujian skripsi maupun berbagai kegiatan organisasi (Haryanthi dan Tresniasari, 2012). Salah satu tugas kuliah yang mengharuskan mahasiswa dapat berkomunikasi dengan efektif adalah tugas presentasi. Tugas presentasi yang sering dijumpai oleh mahasiswa adalah bentuk tugas presentasi di depan kelas atau di depan umum, baik secara individu maupun dalam kelompok (Riani dan Rozali, 2014).
Namun sebagian mahasiswa tidak mampu menguasai kompetensi tersebut. Mahasiswa mengemukakan pendapat tentang apa yang dialami ketika mendapatkan kesempatan berbicara di depan umum. Mereka mengungkapkan, bahwa ketika mendapat kesempatan tampil di depan umum, perasaan yang dialami adalah merasa takut, gemetar, grogi, keringat dingin keluar, tangan terasa basah, merasakan lemas pada lutut, mengeluarkan keringat yang berlebih, jantung berdebar dengan kencang, mahasiswa berulang kali pergi ke toilet menjelang berbicara di depan umum dan mahasiswa berjalan mondar-mandir tanpa alasan saat menjelang berbicara di depan umum. Mereka juga mengungkapkan sudah berlatih berulang kali, tetapi ketika membaca naskah gemetar dan suara menjadi
(10)
2
tidak terkontrol, masih sering gugup karena tidak percaya diri. Bahkan terkadang lupa apa yang akan disampaikan saat berbicara di depan umum (Wahyuni, 2015).
Perasaan cemas atau grogi saat memulai berbicara di depan umum adalah hal yang umum dialami oleh kebanyakan orang. Bahkan seseorang yang telah berpengalaman berbicara di depan umum pun tidak terlepas dari perasaaan ini. Menurut Nevid dkk, (dalam Prakosa dan Partini, 2014) kecemasan adalah suatu respon yang normal terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya, yaitu bila bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan dalam bentuk yang ekstrem, kecemasan dapat menganggu fungsi tubuh. Kecemasan dalam tingkatan tertentu dapat mengaktifkan energi positif dan mendorong individu untuk beraktivitas atau melakukan tindakan yang bermanfaat. Namun demikian apabila tingkatan kecemasan berlebihan dapat mengakibatkan psikopatologis.
Berdasarkan penelitian McCroskey Morreale (dalam Susanti dan Supriyantini, 2013) terdapat 15-20% mahasiswa di Amerika Serikat menderita kecemasan dalam berkomunikasi. Begitupun juga dengan Anwar (dalam Susanti dan Supriyantini, 2013) menemukan 16,3% mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara mengalami kecemasan berbicara di muka umum pada level yang tinggi dan tidak terdapat perbedaan kecemasan yang signifikan antara mahasiswa dari berbagai angkatan.
Adapun dari hasil preliminiary research pada tanggal 17 April 2016 di Pondok Pesantren Darul Arqom yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian
(11)
3
karena di pondok ini santrinya adalah mahasiswa dan terdapat rutinitas program melatih mahasiswa untuk menjadi mubalig, dengan cara mengagendakan mahasiswa secara bergiliran melaksanakan kewajiban menjadi imam beserta kultum yang dilakukan setelah sholat subuh berjama’ah.
Namun rutinitas program tersebut terkadang tidak berjalan sesuai agenda yang ditetapkan karena ada beberapa mahasiswa yang seharusnya kultum namun tidak melaksanakannya, hal ini dikarenakan ada beberapa mahasiswa yang mengalami kecemasan ketika kultum atau berbicara di depan umum. Menurut Ardiansyah salah satu pengurus divisi pendidikan Pondok Pesantren Darul Arqom mengatakan bahwa tidak sedikit mahasiswa yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum seperti ketika kultum yang menjadi rutinitas pondok setiap selesai sholat subuh. Menurutnya itensitas kecemasan berbicara setiap mahasiswa ketika hendak mengawali kultum tentunya satu sama lain berbeda ada yang itensitas kecemasannya rendah, sedang dan bahkan tinggi (Hasil Wawancara & Observasi 17 April 2016).
Kecemasan yang dialami mahasiswa ketika berbicara di depan umum memiliki dampak negatif terhadap performa akademis seperti kurangnya keterlibatan dalam perkuliahan, kurang optimalnya performa saat presentasi, penurunan prestasi belajar dan besarnya peluang drop out. Hal ini membuat pentingnya dilakukan intervensi untuk membantu mahasiswa dalam mengatasi permasalahan ini (Susanti dan Supriyantini, 2013).
Adapun beberapa alternatif untuk mengurangi kecemasan berbicara di depan umum diantaranya adalah: Metode Terapi Ego State hasil dari penelitian
(12)
4
(Haryanthi dan Tresniasari, 2012); Cognitif Behavior Therapy Teknik Relaksasi (Berlina dkk, 2013); Pendekatan Prilaku Kongnitif (Fatma dan Ernawati, 2012);
Expressive Writing Therapy (Susanti dan supriyantini, 2013); Emotional Freedom
Technique (Boath dkk, 2013) dan Spiritual Emotional Freedom Technique (Yunita
dkk, 2013).
Dari beberapa alternatif untuk mengurangi kecemasan berbicara di depan umum dalam penelitian ini mengunakan Spiritual Emotional Freedom Technique.
Peneliti memilih teknik ini karena mengkombinasikan energi psikologi, kekuatan spiritual dan penyelarasan sistem energi tubuh serta terdapat 15 teknik psikotrapi yang melandasi efektivitasnya. Selain itu juga peneliti mempunyai skill dalam mengaplikasikan Spiritual Emotional Freedom Technique baik untuk pemberdayaan diri sendiri maupun membantu orang lain yang menderita sakit fisik ataupun psikis.
SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) adalah salah satu varian dari cabang ilmu baru yang dinamai energy psychology dan gabungan antara
spiritual power dan energy psychology. ”Energy Psychologi is a new discipline
that has been receiving attention due to its speed and effectiveness with difficult
cases” Energi Psikologi adalah disiplin ilmu baru yang mendapatkan perhatian
karena kecepatan dan efektivitasnya dalam mengatasi kasus-kasus sulit. Dr. David Freinstein mendefinisikan Energy Psychologi adalah ”Energy psychology applies
principles and techniques for working with the body’s physical energies to
(13)
5
adalah seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku (Zainuddin, 2009).
Energi psikologi berasumsi bahwa memang benar, beberapa ingatan (sadar maupun bawah sadar) tentang masa lalu dapat membangkitkan gangguan psikologis, tetapi proses ini tidak berjalan secara langsung, melainkan ada “proses
antara” yang dinamakan “Disruption of Body Energy System”. Terganggunya
sistem energi tubuh inilah yang sebenarnya secara langsung menyebabkan gangguan emosi. SEFT langsung berurusan dengan “gangguan sistem energi
tubuh” untuk menghilangkan emosi negatif itu (tidak perlu membongkar ingatan traumatis masa lalu). Bisa dikatakan SEFT melakukan “Short Cut” dengan
memotong mata rantai di atas tepat di tengah-tengahnya. Cukup selaraskan kembali sistem energi tubuh. Maka emosi negatif yang dirasakan akan hilang dengan sendirinya (Zainuddin, 2009).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas rumusan masalah penelitian ini adalah: Apakah SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) dapat mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh SEFT
(Spiritual Emotional Freedom Technique) dalam menurunkan kecemasan
(14)
6
D. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis:
Menambah khasanah pengetahuan dalam psikologi, terutama bagi perkembangan kajian psikologi klinis yang berhubungan dengan kecemasan berbicara di depan umum.
b. Manfaat praktis:
Sebagai informasi dan masukan bagi mahasiswa dan masyarakat umum, khususnya bagi yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum bahwa SEFT dapat menurunkan simtom-simtom kecemasan ketika berbicara di depan umum.
E. Keaslian Penelitian.
Untuk mendukung penelitian ini, peneliti menemukan beberapa kajian riset terdahulu mengenai variabel SEFT dan kecemasan berbicara di depan umum untuk dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian ini. Di antaranya yaitu:
Efektivitas Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) Dalam
Menurunkan Kecemasan, oleh Ulyah (2014). Hasil dari penelitiannya
menunjukkan bahwa terapi SEFT efektif dalam menurunkan kecemasan pada subjek yang mengalami kecemasan saat bertemu seekor kucing, Hal ini dapat dilihat nilai signifikansi yang diperoleh sebesar 0.027, yang artinya lebih kecil dari 0.05 (0.027< 0.05), maka dalam hal ini (Ha) diterima yang berarti terapi SEFT efektif dalam menurunkan kecemasan.
Perbedaan dari penelitian Ulyah (2014) adalah menggunakan SEFT
(15)
7
bertemu seekor kucing yang mana fokus dalam penelitiannya pada subjek yang mengalami kecemasan tinggi ketika melihat seekor kucing.
Penerapan Spiritual Emotional Freedom Technique Dalam Bimbingan Kelompok Untuk Menurunkan Kecemasan Siswa SMA Dalam Menghadapi Ujian
Nasional, oleh Yunita dkk (2013). Hasil dari penelitiannya terdapat perbedaan
yang signifikan pada skor kecemasan siswa yang menghadapi ujian nasional baik yang diberikan terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) melalui bimbingan kelompok dibandingkan dengan siswa yang menggunakan metode konvensional tanpa proses bimbingan kelompok dengan taraf signifikansi 5% untuk n1 = 7 dan n2 = 8, diperoleh Ttabel = 0,001 sehingga Thitung ≥ Ttabel artinya Ha diterima.
Perbedaan dari penelitian yang dilakukan Yunita dkk (2013) menggunakan SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) untuk menurunkan kecemasan siswa dalam menghadapi ujian nasional, pada penelitiannya fokus pada subjek siswa yang mengalami kecemasan ketika menghadapi ujian nasional.
Efektivitas Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)
Terhadap Kecemasan Menghadapi Persalinan, oleh Anggraini (2015). Hasil dari
penelitiannya terdapat penurunan kecemasan menghadapi persalinan pada subjek yang sedang hamil dengan nilai pretest awal subjek mengalami kecemasan berat 64% dan hasil posttest 53%, hasil eksperimen kedua nilai pretes 55% dan hasil
posttest 41%, dan hasil eksperimen ketiga nilai pretest 70% dan hasil posttest
(16)
8
Perbedaan dari penelitian yang dilakukan Anggraini (2015) menggunakan
(Spiritual Emotional Freedom Technique) untuk kecemasan menghadapi
persalinan, penelitiannya fokus pada subjek yang mengalami kecemasan saat menghadapi persalinan.
Model Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) Untuk
Mengatasi Gangguan Phobia Spesifik, Anwar dan Niagara (2011). Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa terapi SEFT mampu menurunkan ketakutan yang berlebihan secara signifikan pada penderita gangguan fobia spesifik. Penurunan level kecemasan atau ketakutan berdasarkan SUDS (Subjective Units
Disturbance Scale) selama pemberian terapi sangat signifikan dan terdapat
perubahan reaksi fisiologis dan respon pada perilaku subyek.
Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh Anwar dan Niagara (2011) adalah menggunakan SEFT (Spiritual Emotional Freedom technique) untuk menurunkan ketakutan yang berlebihan pada penderita fobia spesifik. Dalam hal ini fokus penelitiannya pada subjek penderita fobia spesifik.
Efektivitas Metode Terapi Ego State Dalam Memgatasi Berbicara Di Depan Publik Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
oleh Haryanthi dan Triesniasari (2012). Hasil dari penelitian ini menunjukan melalui terapi Ego State ini, individu yang mengalami kecemasan berbicara di depan publik dapat mengubah statenya, baik yang bersifat fisik maupun psikis. setelah menjalani terapi ini, responden mengalami perubahan yang signifikan baik secara fisik (biologis) maupun psikologis (pikiran negatif). Responden menunjukkan penurunan kecemasan dan tidak lagi memiliki pemikiran yang
(17)
9
negatif saat dihadapkan pada situasi yang mengharuskan dirinya tampil dan berbicara di depan publik.
Perbedaan dari penelitian Haryanthi dan Triesniasari (2012) adalah menggunakan treatment metode terapi Ego State dalam menurunkan kecemasan berbicara di depan publik, yang mana fokus penelitiannya pada metode terapi Ego
State pada subjek yang mengalami kecemasan berbicara di depan publik.
Pengaruh Expressive Writing Therapy Terhadap Penurunan Tingkat
Kecemasan Berbicara Di Muka Umum Pada Mahasiswa, oleh Susanti dan
Supriyantini (2013). Hasil analisis kuantitatif Mann-Whitney & Wilcoxon Signed-Rank Test menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan tingkat kecemasan berbicara di muka umum pada kelompok eksperimen setelah perlakuan expressive writing therapy.
Perbedaan dari penelitian Susanti dan Supriyantini (2013) terdapat pada
treatment Expressive Writing Therapy yang digunakan dalam menurunkan
kecemasan berbicara di depan umum, yang mana fokus pada penelitiannya pada
Expressive Writing Therapy pada subjek yang mengalami kecemasan berbicara di
depan umum.
Hubungan Self-Efficacy dan Ketrampilan Komunikasi dengan Kecemasan
Berbicara di depan Umum, Wahyuni (2015). Menunjukan hasil ada hubungan
negatif antara Self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa di Surabaya, dengan nilai r = dengan p (0,00). Mahasiswa yang memiliki Self-efficacy tinggi, maka semakin rendah tingkat kecemasan seseorang dalam berbicara di depan umum.
(18)
10
Perbedaan dari penelitian yang dilakukan Wahyuni (2015) terdapat pada metode penelitian yang mana mencari korelasi self-efficacy dan ketrampila komunikasi dengan kecemasan berbicara di depan umum, yang mana fokus penelitiannya pada subjek yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum dikorelasikan pada self-efficacy dan ketrampilan komunikasinya.
Tapping for success: A pilot study to explore if Emotional Freedom Techniques (EFT) can reduce anxiety and enhance academic performance in
university students, penelitian Boath dkk (2013). Menunjukan hasil peran EFT
dalam mereduksi kecemasan mahasiswa ketika presentasi dan berpotensi meningkatkan kinerja akademik. Selain itu waktu yang dibutuhkan sangat singkat untuk melatih mahasiswa dalam menggunakan EFT dan setelah mempelajari EFT sangat efektif dipraktikan sendiri. EFT dapat digunakan ke aspek lain seperti untuk stres, kecemasan dalam menghadapi ujian serta meningkatkan kinerja ujian.
Perbedaan dari penelitian Boath dkk (2013) terdapat pada EFT yang digunakan sebagai treatment dalam menurunkan kecemasan ketika presentasi, penelitiannya fokus pada EFT pada subjek yang mengalami kecemasan ketika presentasi.
The Effectiveness of Emotional Freedom Techniques for Optimal Test
Performance, penelitian Jain and Rubiho (2012). Menunjukan hasil kelompok
eksperimen yang diberikan perlakuan EFT dan kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan pernafasan diafragma pada mahasiswa yang mengalami kecemasan menjelang tes dan sesudah tes menunjukan hasil perbaikan yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan.
(19)
11
Perbedaan dari penelitian Jain and Rubiho (2012) terdapat pada EFT yang digunakan sebagai treatment pada subjek yang mengalami kecemasan menjelang tes, fokus penelitiannya pada perlakuan EFT dan pemberian pernafasan diafrangma pada subjek yang mengalami kecemasan menjelang tes.
Efficacy of EFT in Reducing Public Speaking Anxienty: A Randomized
Controlled Trial, penelitian Jones dkk (2011). Menunjukan penurunan yang
signifikan terhadap peserta yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum dengan perlakuan Emotional Freedom Technique (EFT). EFT ditemukan efektif dalam pengobtan kecemasan berbicara di depan umum.
Perbedaan dari penelitian Jones dkk (2011) terdapat pada treatment yang digunakan adalah EFT dalam menurunkan kecemasan berbicara di depan umum, fokus penelitiannya pemberian treatment EFT pada subjek peserta yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum.
Dari beberapa penelitian terdahulu, penelitian yang akan dilakukan ini memiliki perbedaan dengan yang pernah ada. Antara lain penelitian ini menggunakan SEFT dalam menurunkan kecemasan berbicara di depan umum. Oleh karena itu, penelitian ini akan menghasilkan suatu kajian mengenai pengaruh SEFT dalam menurunkan kecemasan berbicara di depan umum.
(20)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum
1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Sigmund Freud (dalam Rosyidi, 2012) mendefinisikan kecemasan adalah perasaan tidak menyenangkan yang disertai sensasi tubuh yang memberikan tanda pada seseorang akan adanya bahaya. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2011) kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat di siapkan reaksi adaptif yang sesuai.
Davison dkk, (2006) mendefinisikan kecemasan adalah suatu perasaan takut dan khawatir yang tidak menyenangkan, kondisi emosional ini dapat terjadi dalam banyak psikopatoplogi dan merupakan aspek utama dalam berbagai gangguan. Sedangkan menurut Nevid dkk, (2003) kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan kekhawatiran yang mengeluh bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
Chaplin (2011) mendefinisikan kecemasan sebagai perasaan campuran berisi ketakutan dan keprihatinan mengenai rasa-rasa mendatang tanpa sebab khusus terjadinya ketakutan tersebut. Menurut kamus kesehatan Dorland & Newman (dalam Rahayu, 2009) Kecemasan adalah rasa tidak nyaman yang terdiri respon-respon psikofisik sebagai antisipasi terhadap bahaya yang dibayangkan seolah-olah disebabkan oleh konflik intrapsikis.
(21)
13
Menurut Wiramihardja (2005) kecemasan adalah suatu keadaan perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya dimana individu merasa lemah sehingga tidak berani dan mampu untuk bersikap dan bertindak secara rasional sesuai dengan yang seharusnya.
Sedangkan kecemasan berbicara di depan umum menurut Wahyuni (2015) adalah keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada individu. Keadaan tidak nyaman tersebut dialami ketika membayangkan akan tampil berbicara di depan umum, saat menjelang berbicara di depan umum dan pada saat sedang melaksanakan berbicara di depan orang banyak.
Philips (dalam Wahyuni, 2014) menyebut kecemasan berbicara didepan umum dengan istilah reticence, yaitu ketidakmampuan individu untuk mengembangkan percakapan yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi karena adanya ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna, yang ditandai dengan adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatau keadaan perasaan tidak menyenangkan berupa kekhawatiran ketakutan dalam diri individu karena ketidakmampuan mengembangkan percakapan baik ketika membayangkan akan tampil berbicara, saat menjelang berbicara dan pada saat sedang melaksanakan berbicara yang disertai dengan perubahan fisiologis dan psiologis. Perubahan fisiologis dan psikologis tersebut dapat di ukur dengan aspek kecemasan
(22)
14
berbicara. Rogers (dalam Susanti dan Supriyantini, 2013) menyebutkan 3 aspek yaitu fisik (fisiologis), kongnitif dan emosi (psikologis):
1. Komponen fisik, berkaitan dengan reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan seperti detak jantung yang semakin cepat, nafas menjadi sesak, suara yang bergetar, kaki gemetar, berkeringat, tangan dingin dan sebagainya.
2. Komponen kongnitif, merupakan reaksi yang berhubungan dengan kemampuan berfikir jernih saat berada dalam situasi presentasi, seperti kesulitan untuk mengingat fakta secara tepat, dan melupakan hal-hal yang sangat penting.
3. Komponen emosional, merupakan reaksi emosi yang menyertai kecemasan, seperti adanya rasa tidak mampu, tidak berdaya dalam menghadapi situasi berbicara, panik dan malu setelah berakhirnya pembicaraan.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Adler dan Rodman (dalam Ghufron, 2014) menyatakan dua faktor yang menyebabkan adanya kecemasan, yaitu pengalaman yang negatif pada masa lalu dan pikiran yang tidak rasional.
a. Pengalaman negatif pada masa lalu
Pengalaman ini merupakan hal yang tidak menyenangkan pada masa lalu mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa mendatang, apabila individu menghadapi situasi atau kejadian yang sama dan juga tidak
(23)
15
menyenangkan, misalnya pernah gagal dalam tes, pernah di permalukan ketika tampil berbicara di depan umum.
b. Pikiran yang tidak rasional
Ellis (Ghufron, 2014) memberi daftar kepercayaan atau keyakinan kecemasan sebagai contoh dari pikiran tidak rasional yang disebut sebuah pikiran yang keliru yaitu kegagalan katastopik, kesempurnaan, persetujuan, dan generalisasi yang tidak tepat.
1. Kegagalan katastopik
Kegagalan kastatopik yaitu adanya asumsi dari diri individu bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Individu mengalami kecemasan dan perasaan-perasaan ketidakmampuan serta tidak sanggup mengatasi permasalahannya.
2. Kesempurnaan
Setiap individu menginginkan kesempurnaan, individu ini mengharapkan dirinya berperilaku sempurna dan tidak ada cacat. Ukuran kesempurnaan dijadikan target dan sumber inspirasi bagi individu tersebut.
3. Persetujuan
Persetujuan adannya keyakinan yang salah didasarkan pada ide bahwa terdapat hal virtual yang tidak hanya diinginkan, tetapi juga untuk mencapai persetujuan dari sesama teman atau siswa.
(24)
16
4. Generalisasi yang tidak tepat
Keadaan ini juga memberi istilah generalisasi yang berlebihan. Hal ini terjadi pada orang yang mempunyai sedikit pengalaman.
Sedangkan menurut Monarth dan Kase (dalam Haryanthi dan Tresniasari, 2012) faktor-faktor yang mempengaruhi individu mengalami kecemasan berbicara di depan umum adalah sebagai berikut:
a. Faktor Biologis
Rasa takut maupun cemas dialami semua orang ketika berhadapan dengan bahaya. Pada saat menghadapi situasi yang membuatnya merasa tidak nyaman, respon fisiologis yang tampak adalah pertama, sistem saraf simpatis yang memproduksi dan melepaskan andrenalin yaitu suatu hormon fight (menghadapi) dan flight (menghindari) situasi bahaya. Kedua, detak jantung berdebar dengan kuat , tekanan dara naik, wajah bersemuh merah. Ketiga, merasakan adanya sensasi dingin dan gemetar pada tangan dan kaki. Keempat, nafas memburu dengan cepat, sulit mengatur pernafasan dan mengalami sakit kepala ringan. Kelima, berkeringat pada sekujur tubuh.
b. Faktor Pikiran Negatif
Pikiran akan memicu respon biologis sebaliknya adakalahnya respon biologis yang menampakan kecemasan dan pikiran negatif akan menyertainya. Pikiran negatif yang umumnya timbul, pertama bahwa berbicara di depan umum menakutkan. Kedua, pikiran yang terlalu berlebihan terhadap konsekuensi negatif dari suatu situasi sosial. Ketiga,
(25)
17
penalaran emosi merupakan suatu pemikiran tentang adanya perasaan cemas misalnya sakit perut akan menyebabkan individu mengungkapkan pendapat dengan buruk. Keempat adannya perasaan kurang mampu mengatasi beberapa kesulitan pada situasi sosial. Kelima, fokus terhadap aspek negatif dari suatu situasi dan mengabaikan hal-hal yang positif. c. Faktor Perilaku Menghindar
Respon yang alami saat mengalami kecemasan adalah bagaimana agar dapat lepas dari kondisi tersebut dengan strategi menghindar ada beberapa perilaku yang muncul terkait dengan kondisi tersebut, yaitu:
Pertama, menghindari situasi yang menakutkan. Respon yang tampak cenderung defensif maupun agresif , pada situasi yang lain ada respon rasionalisasi untuk menghindar dengan membuat beberapa alasan.
Kedua, perilaku cemas yaitu perilaku yang sering tampak dalam situasi berbicara di depan umum yang sering kali dilakukan tanpa disadari bahwa individu sedang merasa cemas seperti tangan disaku, memainkan pulpen, meremas tangan, menyentu dan memperbaiki tata letak rambut, berbicara cepat, berjalan mondar-mandir, gelisa dan lain-lain.
Ketiga, perilaku dengan kompensasi yang berlebihan. Perilaku tersebut muncul karena individu tersebut berupaya untuk meminimalkan aspek yang menakutkan pada situasi tersebut berupaya untuk mengontrol kecemasan, menutupi kecemasan atau gejalah fisiologis dari orang lain misalnya menyembunyikan tangan yang bergetar, berbicara sedikit saat malu, mengulang-ulang pembicaraan. Perilaku tersebut secara langsung
(26)
18
berpengaruh terhadap performasi individu. Misalnya menghafal apa yang ingin diungkapkan akan membuat tidak alamiah, mengulang isi pembicaraan akan memperlambat proses berkomunikasi.
d. Faktor Emosional
Saat kita menunjukan situasi takut, kita mengalami respon fisiologis, kongnitif dan perilaku yang mengambarkan situasi tersebut sehingga kita sendiri yang mengembangkan rasa takut terhadap situasi tertentu. Individu tersebut cenderung merasakan perasaan cemas, takut, khawatir, merasa tidak mudah menghadapi situasi berbicara di depan umum. Saat individu menghindari situasi berbicara di depan umum tersebut, mereka menyadari implikasinya terhadap karir dan kehidupan sosial. Hal tersebut menyebabkan depresi, murung, frustasi, putus asa, dan perasaan takut.
Sedangkan menurut Op dan Loffedo (dalam Prakosa dan Partini, 2014) yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum adalah polah pikir. Individu yang menggunakan pola pikir positif mempunyai kecemasan yang lebi rendah dari pada individu individu yang berpola pikir negatif. Individu dengan pola pikir positif akan melihat segalah hal dari sisi positif, suka bekerja keras dan dapat mengendalikan emosinya ketika berbicara di depan umum. Individu dengan pola pikir negatif lebih menggunakan perasaanya, lebih mudah stres dan mengekspresikan kecemasan karena selalu fokus pada pendapatnya sendiri.
(27)
19
3. Hal-hal yang Dapat Menurunkan Kecemasan Berbicara di Depan Umum Menurut penelitian terdahulu terdapat beberapa alternatif yang dapat mereduksi kecemasan berbicara di depan umum diantaranya sebagai berikut: 1. Teknik Modifikasi Perilaku Kognitif
Dalam mengatasi penderita yang mengalami kecemasan komunikasi antar pribadi, Markman (dalam Wulandari, 2004) melakukan, teknik modifikasi perilaku kognitif dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa modifikasi perilaku kognitif ternyata efektif untuk mengatasi kecemasan komunikasi antar pribadi yang dilakukan pada subjek remaja.
Mchenbaum (dalam Wulandari, 2004) menggabungkan antara modifikasi perilaku dan terapi kognitif. Modifikasi perilaku kognitif didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia secara resiprok dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis, serta konsekuensinya pada perilaku. Jadi bila ingin mengubah perilaku yang maladaptif dari manusia, maka tidak hanya sekedar mengubah perilakunya saja, namun juga menyangkut aspek kognitifnya.
2. Expressive Writing Therapy
Expressive Writing merupakan terapi yang menggunakan aktivitas
menulis sebagai sarana untuk merefleksikan pikiran dan perasaan terdalam terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan (menimbulkan trauma).
Expressive writing therapy dapat digunakan sebagai terapi utama atau juga
dapat diintegrasikan dengan pendekatan psikoterapi atau konselinglainnya, serta dilakukan secara individual dan kelompok. Berdasarkan riset yang
(28)
20
telah dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan tingkat kecemasan berbicara di muka umum kelompok eksperimen setelah perlakuan expressive writing therapy (Susanti dan Supriyantini, 2013).
3. Metode Terapi Ego State
Metode terapi Ego State merupakan metode terapi singkat yang sangat luar biasa, dengan menitik beratkan pada premis kepribadian pada diri individu yang terdiri atas bagian-bagian yang terpisah yang disebut ego state
atau mini personality. Berdasarkan penelitian Haryanthi dan Tresniasari, (2012) menunjukan melalui terapi Ego State ini individu yang mengalami kecemasan berbicara di depan publik dapat mengubah statenya, baik yang bersifat fisik maupun psikis. Oleh karena itu setelah menjalani terapi ini, responden mengalami perubahan yang signifikan baik secara fisik (biologis) maupun psikologis (pikiran negatif). Responden menunjukkan penurunan kecemasan dan tidak lagi memiliki pemikiran yang negatif saat dihadapkan pada situasi yang mengharuskan dirinya tampil dan berbicara di depan publik (Haryanthi dan Tresniasari, 2012).
4. Cognitif Behavior Therapy Teknik Relaksasi
Merupakan pendekatan dalam konseling yang dapat digunakan untuk membantu individu yang mengalami masalah, salah satunya adalah masalah kecemasan. Cognitive Behavioral Therapy (CBT) memiliki teknik yang berfariasi untuk berbagai masalah, Frogat (dalam Berlina, 2013) menyatakan bahwa ada beberapa teknik dalam pendekatan Cognitive
(29)
21
Behavioral Therapy (CBT) yaitu: pemajanan, pencegahan reaksi, dan
relaksasi. Relaksasi adalah teknik mengatasi kecemasan atau stres melalui pengendoran otot-otot dan saraf, itu terjadi atau bersumber pada objek-objek tertentu. Penelitian Berlina dkk, (2013) menunjukan hasil yang diperoleh bahwa kecemasan siswa saat berkomunikasi dengan guru mengalami penurunan setelah pemberian treatment.
5. Pendekatan Perilaku kongnitif
Pendekatan perilaku kongnitif menggabungkan elemen-elemen dari pendekatan perilaku dan pendekatan kognitif, pendekatan perilaku menekankan pentingnya peristiwa dan lingkungan dalam pembentukan perilaku. Pendekatan Kognitif menekankan pentingnya cara berpikir dalam pembentukan perilaku. Menurut pendekatan perilaku kognitif, proses berpikir maupun peristiwa itu sendiri sama pentingnya dalam pembentukan perilaku, perilaku yang maladaptif bersumber dari kesalahan dalam berpikir pada saat memaknai peristiwa dan lingkungan. Oleh karena itu, fokus dari pendekatan perilaku kognitif adalah modifikasi fungsi berpikir dan penyelesaian masalah yang diharapkan akan menimbulkan perubahan kognitif maupun perubahan perilaku. Penelitian yang dilakukan Fatma dan Ernawati menunjukan hasil melalui pelatihan pendekatan perilaku kognitif mampu mengurangi tingkat kecemasan seseorang saat berbicara di depan umum (Fatma dan Ernawati, 2012).
(30)
22
6. SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique)
SEFT adalah suatu teknik terapi yang mengkombinasikan antara energi psikologi dengan pemberdayaan spiritual, dan penyelarasan sistem energi tubuh untuk mengatasi masalah fisik dan emosi. Sebagaimana dapat memaksimalkan potensi dalam diri individu agar dapat mencapai tampilan yang maksimal baik dalam hubungan antar individu, rumah tangga, permasalahn anak-anak, dan dunia kerja. Penelitian Yunita dkk yang berjudul Penerapan Spiritual Emotional Freedom Technique dalam bimbingan kelompok untuk menurunkan kecemasan siswa sma dalam menghadapi ujian nasional, hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat penurunan skor kecemasan pada kelompok eksperimen yang diberikan bimbingan kelompok menggunakan terapi SEFT (Yunita dkk, 2013).
Dari beberapa alternatif yang dapat mereduksi kecemasan pada penelitian
ini, peneliti menggunakan SEFT sebagai metode untuk menurunkan kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya pengetahuan tentang psikoterapi lain yang dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan berbicara di depan umum.
SEFT adalah sebuah teknik penggabungan antara Spiritual Power dan
Energy Psychology. Freinstein (dalam Zainuddin, 2009) mendefinisikan
Energy Psychology adalah seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan
sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi, dan perilaku.
(31)
23
dipraktikkan oleh para dokter Tiongkok kuno lebih dari 5000 tahun yang lalu.
Energy psychology baru dikenal luas sejak penemuan Dr. Roger Callahan di
tahun 1980-an tentang Tought Field Therapy. Pada pertengahan tahun 1990-an, Gary Craig (the ambasador of energy psychology), meringkas TFT yang ditemukan oleh Dr. Roger Callahan secara lebih ringkas menjadi Emotional
Freedom Technique (EFT), agar dapat dipergunakan oleh masyarakat awam,
dan kemudian dipergunakan secara luas di Amerika dan Eropa.
Selanjutnya EFT dikembangkan lebih lanjut oleh Zainuddin pada tahun 2005 menjadi SEFT (Spiritual Emotion Freedom Technique). Aspek spiritualitas yang ada dalam terapi SEFT ini berdasarkan pada keyakinan Zainuddin, yaitu apabila segala tindakan dihubungkan kepada Tuhan maka kekuatannya akan berlipat ganda, dan hal ini sesuai dengan penelitian Dossey (dalam Zainuddin, 2009) tentang efek doa terhadap penyembuhan pasiennya. B. SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique)
1. Pengertian SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique)
SEFT adalah teknik pemberdayaan spiritual dan penyelarasan sistem energi tubuh untuk mengatasi masalah fisik (seperti sakit kepala yang berkepanjangan, nyeri punggung, alergi, asma, mudah letih, dan lain sebagainya), dan mengatai masalah emosional (trauma, depresi, fobia, stres, sulit tidur, bosan, malas, gugup, cemas, emosi, tidak percaya diri, dan lain sebagainya) sehingga dapat memaksimalkan potensi dalam diri individu agar dapat mencapai performa yang maksimal baik dalam dunia kerja, rumah
(32)
24
tangga, atau hubungan antar individu termasuk permasalahan anak-anak (Shovania, 2012).
SEFT adalah suatu teknik terapi yang mengkombinasikan antara energi psikologi dengan pemberdayaan spiritual, dan penyelarasan sistem energi tubuh untuk mengatasi masalah fisik dan emosi. Sebagaimana dapat memaksimalkan potensi dalam diri sendiri atau individu agar dapat mencapai tampilan yang maksimal baik dalam hubungan antar individu, rumah tangga, permasalahan anak-anak, dan dunia kerja (Chasanah, 2012).
SEFT adalah pengembangan dari EFT yang dikenalakan oleh Gary Craig dari USA, dimana faktor “S” adalah spiritual. Hal ini sangat penting karena sering kali faktor ini sangat berperan tatkala terapi EFT konvensional kurang maksimal dalam memberikan hasil, faktor spiritual sangat penting karena merupakan hal esensial dan hubungannya vertical “paling tulus” antara hamba Allah dengan Pencipta-Nya (Ulyah, 2014).
SEFT adalah metode baru dalam melakukan EFT. Zainuddin melakukan pertama kali dengan spontan, dan ternyata berhasil. Lalu mengulangi dalam berbagai kasus, dan mempraktikannya pada ratusan orang, ternyata hasilnya sangat bagus. Ketika orang-orang Zainuddin bantu, Zainuddin tawari mengatasi masalah dengan EFT versi Gary Craig atau SEFT versi Zainuddin, kebanyakan mereka lebi suka SEFT (Zainuddin, 2009).
Menurut Zainuddin (Verasari, 2014) SEFT dikembangkan tidak hanya untuk memecahkan masalah fisik atau emosi, tetapi ada empat domain, yaitu: Pertama, SEFT for healing, adalah untuk meraih kesehatan dan kesembuhan
(33)
25
baik fisik maupun psikis secara maksimal. Kedua, SEFT for success, adalah untuk meraih apapun yang individu secara pribadi inginkan. Ketiga, SEFT for
happiness, adalah untuk meraih kebahagiaan. dan Keempat SEFT for
individual greatness, adalah bagaimana membentuk pribadi yang baik dan
benar dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Sedangkan kerja SEFT dilakukan dengan cara mentapping (mengetuk) dibeberapa titik yang ada ditubuh dengan dua jari dalam waktu singkat 5-50 menit yang pada umumnya 15 menit. Untuk titik tubuh diketuk hampir sama dengan titik akupuntur, tetapi SEFT hanya menggunakan 18 titik tubuh saja. SEFT juga disebut dengan psychological version of acupuntur (Shovania, 2012).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa SEFT adalah sebuah teknik terapi yang mengkombinasikan energi psikologi, pemberdayaan spiritual, dan penyelarasan sistem energi tubuh dalam mengatasi masalah fisik dan psikologis yang dilakukan dengan cara mengetuk dibeberapa titik dibagian tubuh dengan dua jari dengan durasi waktu 5-50 menit .
2. Teknik Yang Mendasari SEFT
Walaupun teknik SEFT di mata orang awam kelihatannya sangat mudah dan sederhana, tetapi di balik kesederhanaan itu ada 15 teknik psikotrapi yang mendukung efektivitasnya diantaranya:
1. NLP (Neuro-Linguistic Programming)
Pada saat melakukan ‘set up’, telah melakukan proses reframing dan
(34)
26
2. Systemic Desensitization
Pada saat melakukan tapping pada orang yang mengidap fobia, trauma, kecemasan, dan berbagai masalah psikologis lainnya maka sekaligus sedang melakukan proses systemic desensitization pada klien tersebut. Membuat klien yang awalnya sangat sensitif (emosional) ketika mengingat masalah tertentu atau ketakutan dengan benda tertentu, menjadi tidak sensitif lagi (terbebas dari gangguan emosi).
3. Psychoanalisa
Ketika berusaha menemukan akar masalah (finding the core issues) dari keluhan fisik ataupun emosi dari klien, sebenarnya sedang menggunakan teknik psikoanalisa. Psikoanalisa berasumsi bahwa apapun yang dirasakan saat ini sebenarnya berakar dari segalah hal yang dialami pada masa lalu. 4. Logotherapy
Dengan keikhlasan, kepasrahan dan rasa syukur pada saat melakukan SEFT, kita telah memberikan makna spiritual atas penderitaan yang kita rasakan
(maning in suffering). Hal ini menurut Viktor E. Frankl membuat kita
mampu bertahan dalam kondisi apapun. If yau know the why, yau can bear
almost anyhow. Kenyataan, sikap ikhlas, pasrah dan rasa syukur tersebut
sering kali menyembuhkan. 5. EMDR
Pada bagian akhir dari proses SEFTing, melakukan beberapa gerakan mata
(nine gamut procedure). Kemampuan melakukan kendali atas gerakan mata
(35)
27
selain berfungsi untuk melepaskan hambatan-hambatan emosi, juga melatih untuk memiliki kendali penuh atas kondisi emosi.
6. Sedona Method (Relasing Technique)
Sikap ikhlas dan pasrah yang dilatih terus menerus akan menghasilkan kemampuan menerima dan melepaskan segalahnya dengan nyaman dan bahagia (let go, let Got). Dalam Sedona Method, proses ini disebut sebagai
letting go. Satu kondisi yang akan mempercepat proses penyembuhan, baik
fisik maupun luka emosi. 7. EriksoniaHypnosis
Dalam proses SEFTing, melakukan hipnotis diri ringan (mild hypnosis) dalam bentuk sugesti diri dan afirmasi dengan menggunakan pilihan kata yang memiliki efek hipnosis (hypnotic word). Proses tersebut banyak digunakan dalam hipnosis aliran Eriksonian.
8. Provocative Therapy
Teknik ini di gunakan dalam SEFT saat individu ‘dipaksa’ masuk dalam kondisi yang paling tidak menyenangkan, paling menyakitkan. Pada saat masuk dalam keadaan puncak (tune- in) itulah dilakukan tapping, sehingga keluhan menjadi hilang sama sekali.
9. Suggestion & Affirmation
Dalam proses SEFTing, dan Deef SEFT banyak melakukan pengulangan kata-kata yang memberdayakan diri (Sugestion & Affirmation) kondisi ini akan menciptakan harapan dan rasa optimis yang terprogram dalam alam bawah sadar.
(36)
28
10. Creative Visualitation
Adalah teknik untuk mengobati kondisi fisik (kesehatan, kesejatraan, prestasi dan lain-lain) dengan mengubah pikiran. Sangat digunakan oleh para atlet, motivator, life coach dan praktisi kedokteran holistik. Proses
tapping yang dilakukan pada titik-titik akupuntur disepanjang jalur energi
meridian akan menetralisir gangguan sistem energi tubuh. Teknik menstimulasi titik-titik akupuntur tersebut di gunakan oleh banyak teknik lain, diantaranya: Akupuntur, TFT, EFT,TAT, dan beberapa teknik lain. 11. Relaxation & Meditation
Teknik ini digunakan dalam SEFT saat individu ‘dipaksa’ masuk dalam
kondisi yang paling tidak menyenangkan, paling menyakitkan. Pada saat masuk dalam kondisi puncak (tune-in) itulah dilakukan tapping, sehingga keluhannya menjadi hilang sama sekali. Dalam perkembangan selanjutnya, meditasi menjadi praktik yang sangat umum dipraktikkan menjadi salah satu teknik penyembuhan fisik maupun psikis. Metode menghilangkan stres yang sangat popular serta bahan riset yang menarik. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 500 riset mutakhir yang mempelajari efektivitas meditasi dalam penyembuhan berbagai penyakit (termasuk kanker, jantung dan penyakit kronis lain), mengatasi gangguan emosi (stres, depresi, cemas, dan lain-lain) serta untuk memperpanjang umur dan awet muda.
SEFT menggunakan teknik simple meditation juga satu praktik yang tidak anda temukan dalam EFT versi orginal. Saat melakukan SEFT, dianjurkan
(37)
29
melakukannya dalam kondisi meditasi yakni (khusu’, ikhlas, pasrah, dan
syukur). Dengan begitu, efek SEFT akan terasa lebih efektif. 12. Gestal Therapy
Dalam proses SEFTing, banyak melakukan pengulangan kata-kata yang memberdayakan diri. Kondisi ini akan menciptakan harapan dan rasa optimis yang terprogram dalam alam bawah sadar. Harapan dan rasa optimis yang muncul akan membantu proses penyembuhan individu tersebut.
13. Energy Psychology
Proses tapping yang dilakukan pada acuppoints di sepanjang jalur energi meridian akan menetralisir gangguan sistem energi tubuh. Menstimulasi acupoints ini diterapkan juga dalam akupuntur, akupresur, TFT, EFT, dan puluhan teknik energi terapi lain.
14. Poweful Prayer
Kondisi yang dianjurkan dalam proses tapping adalah individu diminta
yakin, khusyu’, ikhlas, pasrah, dan bersyukur.
15. Loving Kidness Therapy
Prof. Decher Keltner dari University California Berkley dalam bukunya.
Born to be Good, menjelaskan berbagai penelitian ilmiah yang
menyimpulkan bahwa cinta kasih dan kebaikan hati akan menyembuhkan diri sendiri dan menyembuhkan orang yang dikasihi. Saat melakukan SEFTing, energi cinta kasih dan kebaikan hati sang SEFTer akan membantu kesembuhan kliennya (Zainuddin, 2009).
(38)
30
3. Teknik SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique)
Ketika aliran energi tubuh terganggu karena dipicu kenangan masa lalu atau trauma yang tersimpan dalam alam bawah sadar, maka emosi seseorang akan menjadi kacau. Mulai dari yang ringan, seperti bad mood, malas, tidak termotivasi melakukan sesuatu, hingga yang berat, seperti PSTD, depresi, fobia, kecemasan berlebihan dan stres emosional berkepanjangan. Sebenarnya semua ini penyebabnya sederhana, yakni terganggunya sistem energi tubuh. Karena itu solusinya juga sederhana, menetralisir kembali gangguan energi itu dengan SEFT (Zainuddin, 2009).
Aliran energi yang tersumbat di beberapa titik kunci tubuh harus dibebaskan, hingga mengalir lagi dengan lancar. Cara membebaskannya adalah dengan mengetuk ringan menggunakan dua ujung jari (tapping) di bagian tubuh tertentu. Berikut ini adalah uraian tentang bagaimana melakukan SEFT untuk membebaskan aliaran energi di tubuh, yang dengannya akan membebaskan emosi dari berbagai kondisi negatif (Zainuddin, 2009).
1. The Set-Up
Bertujuan untuk memastikan agar aliran energi tubuh terarah dengan tepat. Langkah ini dilakukan untuk menetralisir “Psychological Reversal” atau “Perlawanan Psikologis” (biasanya berupa pikiran negatif spontan atau keyakinan bawah sadar negatif), seperti saya tidak bisa mencapai impian saya, saya tidak dapat bicara di depan umum dengan percaya diri, saya tidak termotivasi untuk belajar, saya pemalas, saya menyerah, saya tidak mampu melakukannya.
(39)
31
The Set-Up sebenarnya terdiri dari 2 aktivitas, yaitu:
Pertama, mengucapkan The Set-Up Word dengan penuh rasa khusyu’ ikhlas dan pasrah sebanyak 3 kali. Dalam bahasa religius, The Set-Up Words
adalah doa kepasrahan kepada Allah SWT, bahwa apapun masalah dan rasa sakit yang dialami saat ini, kita ikhlas menerima dan kita pasrahkan kesembuhannya pada Allah SWT. The Set-Up harus diucapkan dengan perasaan untuk menetralisir Psychological Reversal (keyakinan dan pikiran negatif).
Kedua, sambil mengucapkan The Set-Up Word dengan penuh perasaan, sembari menekan dada, tepatnya di bagian “sore spot” (titik nyeri, letaknya di sekitar dada atas yang jika ditekan terasa agak sakit), atau mengetuk dengan dua ujung jari di bagian “karate chop” letak gambarnya sebagai berikut:
Gambar 1. Letak Sore Spot dan Karate Chop
Adapun contoh kalimat Set-Up (doa) untuk masalah fisik : “Ya Allah meskipun kepala saya pusing karena darah tinggi, saya ikhlas menerima pusing saya ini, saya pasrahkan kepada-Mu pusing saya ini.” Contoh kalimat Set-Up (doa) untuk masalah emosi :“Ya Allah meskipun saya cemas
(40)
32
menjelang tampil berbicara di depan umum, saya ikhlas menerima cemas saya ini, saya pasrahkan kepada-Mu ketenangan hati saya (Zainuddin, 2009).
2. The Tune-In
Untuk masalah fisik, melakukan tune-in dengan cara merasakan rasa sakit yang dialami, lalu mengarahkan pikiran ke tempat rasa sakit, dibarengi
dengan hati dan mulut mengatakan : “Ya Allah saya ikhlas, saya pasrah”
atau “Ya Allah saya ikhlas menerima sakit saya ini, saya pasrahkan
kepada-Mu kesembuhan saya”. Untuk masalah emosi, tune-in dilakukan dengan cara memikirkan sesuatu atau peristiwa spesifik tertentu yang dapat membangkitkan emosi negatif yang ingin dihilangkan. Ketika terjadi reaksi negatif (marah, sedih, takut, dan lain-lain), hati dan mulut mengatakan, “Ya Allah saya ikhlas saya pasrah”. Bersamaan dengan tune-in ini melakukan langkah ketiga yaitu tapping. Pada proses ini (tune-in yang dibarengi dengan tapping), menetralisir emosi negatif atau rasa sakit fisik (Zainuddin, 2009).
3. The Tapping
Tapping adalah mengetuk ringan denga dua ujung jari pada titik-titik
tertentu di tubuh sambil terus tune-in. titik-titik ini adalah titik-titik kunci dari “The Major Energy Meridians”, yang jika kita ketuk beberapa kali akan berdampak pada netralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit yang dirasakan, tapping menyebabkan aliran energi tubuh berjalan dengan normal dan seimbang kembali (Zainuddin, 2009).
(41)
33
Titik-titik yang akan diberikan ketukan ringan (tapping) berada di bagian kepala, daerah dada dan tangan. Pada bagian kepala titik-titik tersebut terdiri dari: titik 1, CR (Crown) yaitu titik di bagian atas kepala (ubun -ubun); titik 2, EB (Eye Brow) yaitu titik permulaan alis mata, dekat pangkal hidung; titik 3, SE (Side of the Eye) yaitu titik di atas tulang ujung mata sebelah luar; titik 4, UE (Under the Eye) yaitu titik tepat di tulang bawah kelopak mata; titik 5, UN (Under the Nose) yaitu titik yang letaknya tepat di bawah hidung; titik 6, Ch (Chin) yaitu titik yang letaknya diantara dagu dan bagian bawah bibir (Zainuddin, 2009). Adapun letak titik-tik tersebut seperti gambar dibawah ini:
Gambar 2. Letak Titik Tapping Pada Bagian Kepala
Sedangkan pada bagian dada titik-titik tapping terdiri dari: titik 7, CB
(42)
34
dada dan tulang rusuk; titik 8, UA (Under the Arm) yaitu titik yang berada di bawah ketiak sejajar dengan puting susu (pria) atau tepat di bagian bawah tali bra (wanita); titik 9, BN (Below Nipple) yaitu titik yang letaknya 2,5 cm di bawah puting susu (pria) atau di perbatasan antara tulang dada dan bagian bawah payudara (Zainuddin, 2009). Lebih jelasnya seperti gambar dibawah:
Gambar 3. Letak Titik Tapping Pada Bagian Dada
Selanjutnya letak titik tapping pada bagian tangan yang terdiri dari: titik 10, IH (Inside of Hand) yaitu titik yang letaknya di bagian dalam tangan yang berbatasan dengan telapak tangan; titik 11, OH (Outside of
Hand) yaitu titik yang letaknya di bagian luar tangan yang berbatasan
dengan telapak tangan titik 12, Th (Thumb) yaitu titik yang letaknya pada ibu jari di samping luar bagian bawah kuku titik 13, IF (Indeks Finger) yaitu titik yang letaknya pada jari telunjuk di samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang menghadap ibu jari); titik 14, MF (Middle Finger) yaitu titik yang letaknya pada jari tengah di samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang menghadap ibu jari); titik 15, RF (Ring Finger) yaitu titik yang letaknya pada jari manis di samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang menghadap ibu jari); titik 16, BF (Baby Finger) yaitu titik yang letaknya
(43)
35
pada jari kelingking di samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang menghadap ibu jari) titik 17, KC (Karate Chop) yaitu titik yang letaknya di samping telapak tangan, bagian yang digunakan untuk mematahkan balok pada olah raga karate titik 18, GS (Gamut Spot) yaitu titik yang letaknya di bagian antara perpanjangan tulang jari manis dan tulang jari kelingking (Zainuddin, 2009). Adapun lebih jelasnya seperti gambar dibawah ini:
(44)
36
Sedangkan khusus untuk Gamut Spot, sambil men tapping titik tersebut, sembari melakukan The 9 Gamut Procedure, ini adalah 9 gerakan untuk merangsang otak. Tiap gerakan dimaksudkan untuk merangsang bagian otak tertentu. Sembilan gerakan itu dilakukan sambil tapping pada salah satu titik energi tubuh yang dinamakan “Gamut Spot”. Sembilan gerakan itu adalah menutup mata, membuka mata, mata digerakkan dengan kuat ke kanan bawah, mata digerakkan dengan kuat ke kiri bawah, memutar bola mata searah jarum jam, memutar bola mata berlawanan arah jarum jam, berguman dengan berirama selama 3 detik, menghitung 1, 2, 3, 4, 5 kemudian diakhiri dengan bergumam lagi selama 3 detik (Zainuddin, 2009).
The 9 Gamut Procedure ini dalam teknik psikoterapi kontemporer
disebut dengan teknik EMDR (Eye Movement Desensitization
Repatterning). Setelah menyelesaikan The 9 Gamut Procedure, langkah
terakhir adalah mengulang lagi tapping dari titik pertama hingga ke-17 (berakhir di karate chop). Dan diakhiri dengan mengambil nafas panjang dan menghembuskannya, sambil mengucapkan rasa syukur, Alhamdulilah (Zainuddin, 2009).
Setelah proses tapping selesai bisa juga menarik nafas melalui hidung dimulai dari letak atau lokasi sakitnya kemudian buang nafas melalui mulut sambil membayangkan bahwa penyakit tersebut ikut keluar bersama keluarnya nafas dan afirmasikan atau ucapkan terima kasih Allah atau puji Tuhan sesuai dengan keyakinan (Shovania, 2012).
(45)
37
4. Kunci Keberhasilan SEFT
Menurut Zainuddin (2009) ada 5 hal yang harus diperhatikan agar SEFT yang kita lakukan efektif. Lima hal ini harus kita lakukan selama proses terapi, mulai dari Set-Up, Tune-In, hingga Tapping. Dari pengalaman dengan ratusan klien, penyebab utama kegagalan terapi adalah mengabaikan salah satu atau beberapa dari kelima hal ini:
1. Yakin
Dalam hal ini seseorang tidak diharuskan untuk yakin sama SEFT atau dirinya sendiri, dalam hal ini hanya perlu yakin pada maha kuasanya Tuhan dan maha sayangnya Tuhan pada dirinya. Jadi SEFT tetap efektif walaupun seseorang atau klien ragu, tidak percaya diri, malu kalau tidak berhasil, asalkan klien masih yakin sama Allah, SEFT tetap efektif.
Yakin pada maha kuasa-Nya dan yakin pada maha kasih-Nya Allah SWT, yakin pada maha kuasa-Nya bahwa jika Allah turun tangan tidak ada yang tidak mungkin tapi jika Allah tidak berkehendak tidak ada yang tidak biasa
dicapai seperti yang terkandung dalam Al Qur’an Surat Yasin ayat 82 Allah
SWT berfirman:
“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu , Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu” (QS. Yasin [36]: 82).
Dan juga dalam Al Qur’an Surat An-Nisa Ayat 122 yang berbunyi sebagai berikut:
(46)
38
“Dan orang yang beriman dan mengerjakan amalan kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan janji Allah itu benar. Siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada
Allah” (QS. An-Nisa [4]: 122).
Serta yakin pada maha kasihnya Allah SWT, bahwa apapun kondisinya sembuh atau belum itulah yang terbaik saat ini menurut Allah SWT. Seperti
yang terkandung dalam Al Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 216 Allah berfirman:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).
(47)
39
2. Khusyu’
Selama melakuka terapi, khususnya pada saat Set-Up dan Tune-In harus konsentrasi penuh atau khusyu’. Pusatkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan masalah pada Allah SWT, berdoa dengan penuh kerendahan hati. Selama proses Tapping tetap berkonsentrasi pada rasa sakit atau kondisi emosi yang ingin dihilangkan. Dengan menjaga konsentrasi dan
kekhusyu’an menurut penelitian ilmiah di bidang Mind Body Connection
(Zainuddin, 2011) sebagai berikut: Pertama, tubuh menjadi lebih mudah menyembuhkan dirinya sendiri. Kedua, rasa sakit dan penderitaan batin jauh berkurang. Ketiga, Tuhan akan lebih mudah turun tangan.
Adapun Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 45 yang
memerintahkan hambahnya untuk khusyu’ sebagai berikut:
“Dan mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat. Dan sholat itu sunggu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” (QS. Al-Baqarah [2]: 45). Selain ayat di atas juga terdapat dalam Surat Al-Anbiya Ayat 90 yang berbunyi sebagai berikut:
“Maka kami kabulkan doanya, dan kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan kami jadikan isterinya dapat (mengandung). Sungguh,
(48)
40
mereka selalu bersegerah dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami” (QS. Al-Anbiya [21]: 90).
3. Ikhlas
Ikhlas artinya ridho atau menerima rasa sakit kita (baik fisik maupun emosi) dengan sepenuh hati. Ikhlas artinya tidak mengeluh atas musibah yang sedang diterima. Yang membuat seseorang semakin sakit adalah karena tidak mau menerima dengan ikhlas rasa sakit atau masalah yang sedang dihadapi kondisi ini di sebut Pain Paradox (Zainuddin, 2011) adalah suatu kondisi dimana semakin seseorang berontak dan tidak menerima kenyataan, maka penyakit itu semakin sulit sembuh dan semakin berat penderitaan batinnya. Seseorang perlu ikhlas menerima penyakitnya atau masalahnya agar tidak semakin menderita secara batin dan akhirnya membuat masalah lebih mudah teratasi.
M.Scott Peck (dalam Zainuddin, 2011), seorang psikiater yang berpengalaman dalam menangani ratusan pasien gangguan jiwa dalam bukunya Road Less Traveled mengatakan bahwa orang-orang yang sakit fisik maupun emosi ini asalkan mau menerima masalahnya, maka penderitaan mereka sangat berkurang dan bahkan akhirnya biasa lebih mudah sembuh dari penyakit dan masalahnya. Adapun dikorelasikan dengan Firman Allah SWT yang berbicara tentang ikhlas diantaranya terkandung dalam Surat Yunus Ayat 22 yakni sebagai berikut:
(49)
41
Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (dan berlayar) di lautan. Sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, dan meluncurkan (kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di dalamnya) dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya; tiba-tiba datanglah badai dan gelombang menimpanya dari segenap penjuru, dan mereka mengira terkepung (bahaya), maka mereka berdoa dengan tulus ikhlas kepada Allah semata (seraya berkata), sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur” (QS. Yunus [10]: 22) 4. Pasrah
Pasrah berbeda dengan ikhlas, ikhlas adalah menerima dengan legowo apapun yang dialami saat ini, sedangkan pasrah adalah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT apa yang terjadi nanti. Hal ini bukan berarti fatalisme karena bukan berarti tidak berusaha namun berusaha seoptimal mungkin mencari solusi sembari menggantungkan hati hanya kepada Allah SWT. Ketika seseorang berpasrah maka Allah sendiri yang akan turun tangan mengambil alih masalahnya. Lester Levinson (Zainuddin, 2011)
(50)
42
mengembangkan teknik Sedona Method yang berhasil membantu ratusan ribu orang hanya dengan satu teknik kunci pasrahkan.
Adapun Firman Allah SWT yang berbicara tentang pasrah atau tawakal pada Surat Ath-Thalaq Ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut:
“Dan Dia memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS. Ath-Thalaq [65]: 3).
5. Syukur
Bersyukur saat kondisi semua baik-baik saja adalah mudah. Sungguh berat untuk tetap bersyukur di saat masih sakit atau punya masalah yang belum terselesaikan. Tetapi apakah tidak layak jika minimal mensyukuri banyak hal lain dalam hidup yang masih baik dan sehat ini. Jangan sampai satu masalah kecil menenggelamkan rasa syukur atas nikmat yang besar. Maka dalam hal ini perlu “discipline of gratitude”, atau mendisiplikan pikiran, hati dan tindakan untuk selalu bersyukur, dalam kondisi yang berat sekalipun. Jangan-jangan sakit yang diderita atau musibah yang tak kunjung selesai ini terjadi karena lupa mensyukuri nikmat.
(1)
82
terganggunya sistem energi tubuh. Oleh karena itu solusinya juga menetralisir kembali gangguan energi itu dengan SEFT (Spiritual Emotional Freedom
Technique).
Pada penelitian ini penurunan kecemasan pada subjek ketika berbicara di depan umum begitu signifikan, subjek setelah mendapat perlakuan SEFT
(Spiritual Emotional Freedom Technique) kondisi fisik dan psikologis menjadi
rileks dan tenang hal ini karena di dalam proses terapi SEFT mengkombinasikan teknik relaksasi.
Selain teknik relaksasi terdapat juga beberapa teknik psikotrapi lain yang mendukung efektifitas SEFT menurut Zainuddin (2009) teknik tersebut diantaranya; teknik NLP (Neuro-Linguistic Programming) teknik ini dilakukan
dalam SEFT pada saat set-up pada teknik NLP proses tersebut dinamakan
reframing dan ancoring. Selanjutnya terdapat teknik Systemic Desensitization
dalam SEFT teknik ini digunakan ketika men-tapping yang pada awalnya subjek
sangat sensitif (emosional) ketika mengigat kejadian tertentu merasa takut, cemas dengan tapping ketika subjek mengigat kejadian tertentu lagi subjek menjadi tidak
sensitif atau sudah terbebas dari gangguan emosi. Juga terdapat teknik
Psychoanalisa, dalam SEFT teknik ini dilakukan ketika terapis berusaha
menemukan akar masalah pada subjek. Selain itu juga terdapat teknik Sedona
Method, Eriksonia Hypnosis, EMDR, Provocative Therapy, Affirmation Creative
Visualitation, Gestal Therapy, Energy Psychology, Poweful Prayer, Loving
(2)
83
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa SEFT (Spiritual
Emotional Freedom Technique) dapat mempengaruhi kecemasan berbicara di
depan umum pada subjek yang mengalami kecemasan ketika tampil berbicara di depan umum. Kesimpulan tersebut didapat dari melihat hasil analisis yang menunjukan nilai signifikansi yang diperoleh sebesar 0.043 yang berarti lebi kecil dari 0.05 (0.043 < 0.05), artinya hipotesis SEFT (Spiritual Emotional Freedom
Technique) dapat mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum diterima.
Adapun melihat analisis dari nilai Z nya menunjukan nilai -2.023 artinya terdapat penurunan yang signifikan kecemasan subjek ketika tampil berbicara di depan umum.
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan saran sebagai berikut:
1. Untuk peneliti selanjutnya ketika menggunakan desain yang sama seperti pada penelitian ini, disarankan setelah subjek mendapat terapi SEFT langsung diberikan Posttest agar lebih objektif terhadap penurunan tingkat
kecemasannya. Dan juga disarankan menggunakan desain eksperimen yang menggunakan kelompok kontrol agar lebih mengetahui perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Serta disarankan menggunakan alat ukur dengan nilai validitas dan realibilitas yang tinggi agar hasil data yang didapat lebih objektif.
(3)
84
2. Untuk subjek pada penelitian ini disarankan lebih mempelajari dan mengaplikasikan SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) baik
sebagai upaya preventif menurunkan kecemasan pada saat menjelang berbicara di depan umum ataupun sebagai upaya kuratif menghilangkan kecemasan ketika tampil berbicara di depan umum. Juga dapat digunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri, prestasi belajar dan spiritual subjek. 3. Untuk masyarakat umum disarankan mempelajari dan mengaplikasikan SEFT
(Spiritual Emotional Freedom Technique) karena dengan metode terapi yang
singkat antara 5-50 menit dan praktis mudah dipelajari semua kalangan terbukti membantu menyelesaikan masalah fisik seperti; sakit kepalah, nyeri punggung, maag, asma, sakit jantung, kelebihan berat badan, alergi dsb. Dan juga masalah emosi seperti; fobia, trauma, cemas, kecanduan rokok, stres, sulit tidur, mudah marah atau sedi, gugup menjelang ujian atau presentasi, latah, kesulitan belajar, tidak percaya diri dan sebagainya. Serta juga mengatasi berbagai masalah keluarga seperti ketidak harmonisan keluarga, selingku, anak nakal, anak malas belajar, anak ngompol dan sebagainya. Serta meningkatkan prestasi olah raga, prestasi kerja, prestasi belajar, meningkatkan penjualan, memperlancar negoisasi, mencapai goals dan target. Selain itu juga
(4)
85
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Anggraini, R.A. (2015). Efektivitas Terapi Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) Terhadap Kecemasan Menghadapi Persalinan. Jurnal
Fakultas Psikologi. Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda.
Anwar, Z. & Niagara, S.T. (2011). Model Terapi SEFT (spiritual emotional
freedom technique ) Untuk Mengatasi Ganguan Fobia Spesifik. Naskah
Publikasi Penelitaian Pengembangan ipteks. Universitas Muhammadiyah Malang.
Azwar, S. (1999). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2007). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Belina., Giyono., Syaifuddin. (2013). Penggunaan Congnitive Behavior Therapi
Teknik Relaksasi Untuk Menurunkan Tingkat Kecemasan Berkomunikasi.
Jurnal FIKIP. Universitas Lampung.
Boath, E., Stewart, A, & Carryer, A. (2013). Tapping for success: A pilot study to explore if Emotional Freedom Techniques (EFT) can reduce anxienty
and enhance academic performance in university student. Innovative
Practice in Higher Education. Staffordshire University. IPiHE 2013 ISSN: 2044-3315.
Chaplin, J.P. (2011). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Chasanah, Alvi. (2012). Konsep Terapi SEFT Dalam Meningkatkan Mental
Spiritual (Studi Analisa Terhadap Terapi SEFT Di Bratang Binangun
Surabaya. Skripsi. Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Davison, G.C., Neale, J.M., Kring, A.N. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Departemen Agama RI. (2014). Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahan. Bandung: CV Penerbit Dipenogoro.
Energy Psychology. (2014). Energy Psychology Studies and Reviw Articles with
Abstracts. Assocation For Chomprehensive Energi Psychology.
Fatma. A & Ernawati. (2012). Pendekatan Perilaku Kongnitif Dalam Pelatihan
Keterampilan Mengelola Kecemasan Berbicara di Depan Umum. Jurnal
Talenta Psikologi. Universitas Sahid Surakarta. Vol. 1. No.1.
Ghufron, M.N & Risnawita, M.S. (2014). Teori-Teori Psikologi. Jagjakarta: Ar-Ruzz Media.
Haryanthi, Luh Putuh Suta & Triesniasari, Nita.(2012). Efektivitas Metode Terapi Ego State Dalam Mengatasi Kecemasan Berbicara Di Depan Publik Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jurnal Fakultas Psikologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hatta, Ahmad. (2011). Tafsir Qur’an Per Kata Di Lengkapi Asbabun Nuzul &
Terjemah. Jakarta: Maghfiro Putaka
Idrus, Muhammad. (2008). Metode Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta: Gelora Aksara Pratama.
Jain, S. & Rubino, A. (2012). The effectiveness of Emotional Freedom Techniques
(5)
86
Latipun. (2008). Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press.
Marliani, Rosleny. (2013). Psikologi Eksperimen. Bandung: Pustaka Setia.
Muhid, Abdul. (2012). Analisis Statistik 5 langka Praktis Analisis Statistik
Dengan SPSS For Windows. Surabaya: Zifatama Publising.
Nedvid., J., S. Rathus. Grene. B. (2003). Psikologi Abnormal / Edisi Kelima / Jilid I.Jakarta: Erlangga.
Prakoso, Bayu & Partini. (2014). Berpikir Positif Untuk Mengatasi Kecemasan
Berbicara Di Depan Kelas. Jurnal Psikologi. Universitas Muhammadiya
Surakarta.
Rahayu. I.T. (2009). Psikoterapi Persepektif Islam & Psikologi Kontemporer. Malang: UIN Malang Press.
Riani, W.S & Rozali, Y.A. (2014). Hubungan Antara Self Efficacy dan
Kecemasan Saat Presentasi Pada Mahasiswa Universitas Esa Unggul.
Jurnal Fakultas Psikologi. Universitas Islam Unggul Jakarta Vol.12 No.1. Rosyidi, Hamim. (2012). Psikologi Kepribadian. Surabaya: Jaudar Press.
Shovania. (2012). Bimbingan Dan Konseling Islam Dalam Terapi Spiritual Emitional Freedom Technique (SEFT) Dalam Mengatasi Penderita Baby
Blues di Daerah Asem Jaya Demak Surabaya. Skripsi. Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Susanti, Reni & Supriyantini, Sri. (2013). Pengaruh Expressive Writing Therapi Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Berbicara Di Muka Umum
Pada Mahasiswa. Jurnal Fakultas Psikologi. Universitas Sumatra Utara.
Ulyah, Shifatul. (2014). Evektifitas Terapi Terapi SEFT (Spiritual Emitional
Freedom Technique Dalam Menurunkan Kecemasan. Skripsi. UIN
Sunan Ampel Surabaya.
Verasari, Metty. (2014). Efektivitas Terapi Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) Terhadap Penurunan Insomnia Pada Remaja. Jurnal
Sosio-Humaniora. Vol. 5 No. 1. 2014: 75-101. Universitas Marcu Buana Yogyakarta.
Wahyuni, Endang. (2015). Hubungan Self Effecacy Dan Ketrampilan Komunikasi
Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum. Jurnal Komunikasi
Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Wahyuni, Sri. (2014). Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kecemsan
Berbicara Di Depan Umum Pada Mahasiswa Psikologi. eJournal
Psikologi, Volume 2, Nomor 1, 2014: 50-64.
Wiramihardja, Sutardjo. (2005). Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Revika Aditama.
Wulandari, H.L. (2004). Efektifitas Modifikasi Perilaku-Kongnitif Untuk
Mengurngi Kecemasan Komunikasi Antar Peribadi. Jurnal Fakultas
Kedokteran. Universitas Sumatra Utara.
Yunita, Elva. (2013). Penerapan Spiritual Emotional Freedom Technique Dalam Bimbingan Kelompok Untuk Menurunkan Kecemasan Siswa Sma Dalam
Menghadapi Ujian Nasional. Jurnal BK Unesa. Volume 03 Nomor 01
(6)
87
Zainuddin, A.F. (2009). SEFT For Healing + Succes + Happiness + Greatness.
Jakarta: Afzan Publising.