Implikasi Filosofis Implikasi Konsep Insân Kâmil Dalam Pendidikan Umum Di Pondok Sufi Pomosda.

339

1. Implikasi Filosofis

Berbicara tentang konsep ’manusia’ begitu kompleks dan rumit, sekomplek dan serumit dimensi-dimensi dan misteri-misteri yang ada pada manusia itu sendiri. Begitu seorang filosof, ilmuwan, bahkan sufi sekalipun melontarkan konsepnya tentang manusia, pada saat yang hampir bersamaan muncul kritik tajam dari para filosof, ilmuwan, dan sufi lainnya. Pemikiran filosofis tentang hakekat manusia filsafat antropologi kebanyakan hanya menyebutkan adanya dua dimensi manusia, yakni dimensi jasmani dan rohani; atau paling hebat tiga dimensi, yakni jasmani, nafsani, dan rohani. Tetapi dimensi nafsani disederhanakan menjadi dimensi intelektual dan dimensi rohani disederhanakan menjadi dimensi moralitas dan keberagamaan, sehingga ketika diimplementasikan ke dalam dunia pendidikan, maka pendidikan itu untuk mengembangkan dimensi jasmaniah, intelektual, dan moralitas. Dilihat dari cara kerja filsafat dan sain, dimensi-dimensi manusia tersebut jasmani, nafsani, dan rohani dan implementasinya bagi dunia pendidikan tidak bisa disalahkan. Dimensi-dimensi ini jasmani, nafsani, dan rohani memang benar-benar ril ada dan dapat dikembangkan melalui pendidikan jasmani, pendidikan intelek, dan pendidikan moral. Aliran Filsafat Materialisme memandang manusia sebagai makhluk alam yang terdiri dari unsur materi saja. Menurut aliran ini, manusia adalah binatang- binatang tak berjiwa Poedjawijatna, 1983: 166. Sebagai konsekuensinya, menurut Praja 1987: 21 adalah bahwa permasalahan yang terjadi pada manusia hanya dapat dipahami melalui cara-cara memahami dan menerangkan kejadian- 340 kejadian pada alam. Adapun aliran Filsafat Idealisme memandang manusia sebagai mahkluk yang tidak hanya terdiri dari materi saja tetetapi juga memiliki jiwa. Aliran filsafat ini mengakui bahwa manusia terdiri dari unsur badan dan jiwa. Keduanya saling melengkapi. Dalam diri manusia terdapat unsur kebinatangan dan unsur keruhanian budi. Unsur keruhanian inilah yang membedakan manusia dari binatang. Praja, 1987: 165-178. Agama-agama besar, terlebih-lebih Islam, tentu mendukung aliran kedua ini. Tetapi, Islam bukanlah Filsafat Idealisme. Bahwa manusia berbeda dari makhluk alam lainnya memang ya, benar. Tetapi Islam lebih menjelaskan faktor nasib manusia di dunia dan âkhirat kelak. Baik-buruknya kehidupan manusia di âkhirat sangat bergantung kepada bagaimanakah manusia itu menjalani kehidupannya di dunia ini. Atau secara lebih tegas lagi bergantung kepada keîmanan dan ketakwaannya kepada Allâh SWT serta keikhlasannya dalam beribadah yang mahdloh maupun ghoer mahdloh kepadaNya. Kebahagiaan dan kesengsaraan manusia di ‘dunia lain’ âkhirat sangat tergantung pada keîmanan, ketakwaan, dan keikhlasannya sewaktu ia hidup di dunia. Dengan demikian kebahagiaan di âkhirat ditentukan oleh seberapa kuat usaha manusia di dunia untuk melakukan kebaikan-kebaikan sesuai Kehendak Tuhan. Perbuatan baik atau buruk sangat berkaitan dengan hakikat manusia itu sendiri yang dengan tegas dinyatakan berbeda dari hewan dan tumbuhan. Banyak ilmuwan yang berusaha mengungkap hakikat manusia, namun tampaknya tidak berhasil secara tuntas menjelaskannya karena pengkajian yang dilakukan semakin sangat spesialistik. 341 Kecenderungan manusia ke arah perbuatan negatif atau positif lebih menegaskan kepada kemampuan manusia untuk memilih dengan memanfaatkan unsur-unsur yang membentuk dirinya. Dua unsur yang paling mudah dipahami oleh setiap orang adalah jasmani dan ruhani, dalam makna unsur jasad bagian luar, unsur yang terlihat dan unsur ruhani bagian dalam, unsur yang tidak terlihat tetapi bisa dirasakan. Unsur jasad – karena merupakan bagian luar – dapat dengan mudah dilihat oleh setiap orang; sementara unsur ruhani – karena merupakan bagian dalam – sangat susah dipahami, yang karenanya menjadi bahan perbincangan para filosof dan sufi mengenai hakekatnya. Persoalannya, apa dan bagaimanakah unsur ruhani manusia itu? Pertanyaan inilah yang sulit dijawab, karena para Filosof dan Sufi muslim pun memberikan jawaban yang berbeda-beda, malah sering kontradiktif sehingga sulit untuk dipilih jawaban manakah yang benar dan harus dipilih serta diimplementasikan dalam proses pemanusiaan-manusia menuju insân kâmil. Begitu kompleks dan rumitnya tentang konsep manusia, sampai-sampai Rakhmat 1986: 19 mengilustrasikannya dengan sebuah kisah seorang raja yang menghimpun pakar dan membiayainya untuk melakukan studi khusus tentang manusia. Dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga puluhan tahun, studi itu selesai; dan kepada sang raja dipersembahkan puluhan jilid yang tebal-tebal tentang konsep manusia. Sang raja tentu tidak sanggup membacanya, terlebih- lebih lagi memahaminya. Ia akhirnya meminta ringkasannya. Upaya ini dapat diselesaikan selama bertahun-tahun. Hanya sebuah kitâb ringkasan yang dipersembahkan kepada sang raja. Tetapi sangat disesalkan, sang raja sudah 342 sangat tua dan sudah udzur. Ketika karya ringkasan itu diselesaikan, sang raja hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sang raja ingin sekali memahami misteri tentang manusia dalam kalimat yang seringkas-ringkasnya. Beruntung, ada seorang cerdik-pandai di sekitar istana. Ia mengutarakan kesanggupannya untuk meringkas konsep manusia hanya dalam 3 tiga kata: manusia itu lahir, hidup, dan mati; dan sang raja itu pun kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir. Rakhmat 1986: 20 mengikuti ringkasan yang paling ringkas tentang konsep manusia itu kemudian menyimpulkan tentang sosok Syahid Murtadla Muthahhari, sang murid dan sahabat sejati pemimpin Revolusi Islam Iran – Imam Khomeini – yang menulis Manusia dan Agama dengan 3 tiga kata kunci pula: Murtadla Muthahhari itu lahir, jihâd, dan syahid. Murtadla Muthahhari disebut- sebut syahid terkena serangan bom oleh kelompok komunis Iran pada masa-masa awal revolusi Islam, 1979. Ringkasnya, secara umum, pembicaraan tentang konsep manusia selalu berkisar dalam 2 dua dimensi, yakni dimensi jasmani dan ruhani, atau dimensi lahir dan batin. Tentang apa itu dimensi jasmani, atau dimensi lahir, atau dengan sebutan-sebutan lainnya tubuh, badan mungkin tidak terdapat perbedaan, karena dimensi ini paling tampak di depan mata dan mudah diobservasi. Tetapi dimensi ruhani atau dengan sebutan lainnya: dimensi jiwa, batin, atau hati merupakan kajian yang paling rumit, sehingga para filosof dan sufi muslim pun sering tidak sejalan, banyak terdapat perbedaan-perbedaan bahkan sering terjadi perbedaan- perbedaan yang kontradiktif. Pembicaraan paling mendalam tentang unsur ruhani di dunia Islam dikaji 343 oleh tasawuf dan tarekat. Tetapi dalam disiplin ini pun terdapat perbedaan- perbedaan. Para Sufi dan Mursyid Tarekat pun memiliki pandangan yang berbeda- beda pula. Untungnya di sisi kaum muslimin ada Al-Quran dan hadits-hadits shahih yang dapat dijadikan saksi dan petunjuk untuk memilih pandangan manakah yang paling sesuai dengan Al-Quran dan hadits-hadits shahih. Menurut Ilmu Syaththariah, manusia terdiri dari empat unsur, yakni: raga, hati hati sanubari atau hati nurani, roh, dan rasa. Islamnya raga adalah dengan menjalankan syare`at, sedangkan Islamnya hati, roh, dan rasa adalah dengan menjalankan hakekat. Menurut Ilmu Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah kulit, air tulang, api daging, dan udara darah. Hati terdiri dari dua jenis, yakni hati sanubari dan hati nurani. Kedua hati letak- nya dalam dada manusia. Hati sanubari, letaknya dalam ati-ampela dua jari di bawah rusuk kiri, adalah hati yang gelap gulita tidak kenal Tuhan, berwatak bangsa hewan, dan sejalan dengan iblis. Adapun hati nurani, letaknya dalam hati- jantung yang berbunyi ‘deg-deg’, di tengah-tengah dada, adalah hati yang memperoleh Cahaya Ilahi kenal Tuhan, berwatak seperti malaikat muqorrobun yang rela sujudtaat kepada Wakil-Nya Tuhan di bumi, yakni Rasûlullah, dan selalu ingat Tuhan. Roh, letaknya dalam hati-nurani artinya, hati-nurani merupakan bungkus roh, adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Adapun rasa sirr, letaknya pada kedalaman roh yang ketujuh menurut ilmu ini, roh terdiri dari tujuh lapis, dan lapis ketujuh – tempatnya unsur rasa – merupakan roh yang paling halus. Unsur rasa inilah yang merupakan jati-diri manusia fitrah manusia yang 344 Dicipta Tuhan dari Jati-DiriNya Fitrah-Nya. Pada unsur rasa ini pula adanya lubang cahaya minhaaj yang tembus kepada Tuhan, yakni lubang cahaya yang menghubungkan jati-diri manusia dengan Jati-Diri Tuhan. Hakekat manusia menurut Ilmu Syaththariah adalah unsur rasa-nya itu. Insân kâmil manusia sempurna adalah manusia yang jati-dirinya kembali kepada Jati-Diri Tuhan melalui lubang cahaya itu. Tetapi untuk mencapai martabat rasa, yakni untuk dapat kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia, tidak ada jalan lain kecuali menjalankan Islam secara kâffah total, yakni menjalankan syare`at dan hakekat . Menurut Ilmu Syaththariah, unsur manusia yang merupakan barang pinjaman bukan jati-dirinya harus kembali ke asalnya masing-masing. Cara mengembalikannya dan mengokohkan jati-dirinya adalah dengan menjalankan syare`at dan hakekat itu. Makanya, raga harus bosok kembali ke asalnya masing-masing: kulit kembali menjadi tanah, tulang kembali menjadi air, daging kembali menjadi api, dan darah kembali menjadi udara, yakni dengan menjalankan syare`at segala peribadatan yang dijalankan oleh raga, terutama Rukun Islam dan akhlaqul karimah; hati sanubari harus ditundukkan agar dapat dijadikan tunggangannya hati nurani, roh, dan rasa, sehingga hati adam karena hati merupakan bungkus roh, yakni dengan menjalankan tarekat hanya mengingat-ingat DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib yang namaNya Allâh; roh sirna roh adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Karena barang pinjaman milik Tuhan, makanya roh sirna kembali kepada Tuhan, yakni dengan ngambah hakekat merasa-rasakan bahwa Yang Punya Daya dan Punya Kekuatan hanyalah 345 DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib yang namaNya Allâh; dan yang kekal-abadi yang tertinggal hanyalah jati-dirinya, rasa-nya sirr-nya, yakni mencapai ma`rifat ma`rifat Dzât , yakni merasa-rasakan bahwa Yang Benar-benar Wujud hanyalah DiriNya Ilahi bukan sekedar ma`rifat dalam pengertian mengetahui Asma, Sifat, dan Af`al Tuhan, yang bisa dijangkau dengan akal-pikiran; bukan juga ma`rifat lewat kasyf, gnosis, atau penyingkapan setelah berkontemplasi; melainkan mencapai ma`rifat fana` dzât karena telah di-baiat oleh Ahli Zikir. Jati-diri manusia karena berasal dari Jati-Diri Tuhan, maka akan tetap Kekal, tidak akan binasa. Hanya saja kekalnya jati-diri manusia ada 2 macam: pertama , yang kembali dan berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan senang dan bahagia selama-lamanya bagi manusia yang matinya selamat; dan kedua, yang kembali ke tempat sesat yang Tuhan sediakan dalam keadaan susah dan sengsara selama-lamanya, yakni masuk neraka bagi manusia yang matinya sesat. Insân kâmil sebenarnya merupakan titik-temu antara proses tanazul turunNya Tuhan dan proses taroqi pendakian manusia menuju Tuhan. Proses tanazul Tuhan untuk dapat didekati oleh manusia melalui tujuh tangga turun, yakni: 1 Martabat Ahadiyat [= Zat Tuhan Yang Al-Ghaib ketika masih sendirian], 2 Martabat Wahdat [=Nur Muhammad atau Cahaya TerpujiNya Tuhan], 3 Martabat Wâhidiyat [=Fitrah manusia, hakekatul insân, unsur rasa], 4 Alam Arwah [=Daya dan Kekuatan Tuhan yang ditiupkan ke raga manusia], 5 Alam Mitsal [=Struktur yang lembut dari Hati Nurani dan akal budi], 6 Alam Ajsam [=unsur raga manusia], dan 7 Insân Kâmil [=Manusia Sempurna, yakni para Nabi dan para Rasûl atau Guru Wasithah, juga para Wali dan orang-orang 346 mu`min]. Bedanya, Guru Wasithah adalah insân kâmil mukammil =manusia sempurna dan menyempurnakan manusia lainnya, sedangkan para Wali dan orang-orang mu`min adalah insân kâmil yang disempurnakan oleh Guru Wasithah; bagaikan matahari dan bulan. Guru Wasithah adalah matahari, sedangkan para Wali dan orang-orang mu`min adalah bulan, yang bercahaya karena terkena pantulan sinar matahari. Jadi, proses tanazul Tuhan itu serendah- rendahnya adalah dalam martabat Insân Kâmil, karena Tuhan itu Maha Suci. Artinya, bagi para hamba yang ingin mendekati Tuhan hingga sampai dengan selamat haruslah ber-mujâhadah dan mensucikan diri dengan bimbingan Guru Wasithah hingga mencapai martabat insân kâmil. Untuk mencapai martabat tersebut insân kâmil manusia yang sudah berwujud jiwa-raga haruslah mengalami proses taroqi menaik menuju Tuhan dengan menundukkan nafsu dan watak ‘aku’ yang melalui tujuh tangga naik, yang dibimbing oleh Guru Wasithah, yakni: 1 nafsu amarah [berwatak seperti iblis], 2 nafsu lawwamah [berwatak sepeti bangsa hewan], 3 nafsu mulhimah [berwatak sebagai manusia berîman], 4 nafsu muthmainnah [berwatak manusia bertakwa: gemar ibadah dan beramal sosial, tawakkal, ridlo, dan takut kepada Allâh], 5 nafsu rodliyah [berwatak manusia yang ikhlas, zuhud, wiro`i, pribadi mulia], 6 nafsu mardliyah [budi pekerti yang bagus, bersih dari segala dosa makhluk, rela menghilangkan kegelapannya makhluk dan senang memberi pepadang kepada roh-nya makhluk], dan 7 nafsu kâmilah [memiliki `ilmul- yaqîn, `ainul-yaqîn, dan haqqul-yaqîn ]. 347 Untuk mencapai martabat insân kâmil, maka nafsu kita seharusnya berada di level-7 nafsu kâmilah, tetapi jangan diaku. Jangan diaku punya `ilmul- yaqîn , `ainul-yaqîn, dan haqqul-yaqîn. Kalau diaku tetap saja nafsu yang dalam Qs. 12Yusuf ayat 53 disebutkan sebagai: innan nafsa la-ammarôtun bissû`i =karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan. Artinya, nafsu kâmilah sekalipun akan dinilai Tuhan sebagai nafsu yang buruk yang bisa mengantarkannya ke neraka; illâ mâ rohima robbî kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Nafsu yang dirahmati Tuhan adalah nafsu yang bagus- bagus mulhimah, muthmainnah, Rodliyah, mardliyah, dan kâmilah sebagai proses taroqi menuju Tuhan atas perintahnya Guru Wasithah, bukannya nafsu yang di-’aku’sebagai prestasi mujâhadah dan penyucian dirinya.

2. Implikasi Teoritis-Pedagogis