Implikasi Konsep Insân Kâmil Dalam Pendidikan Umum Di Pondok Sufi Pomosda.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN iii

PEDOMAN TRANSLETERASI ARAB–LATIN iv

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

KATA PENGANTAR vii

UNGKAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN viii

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 24

C. Tujuan Penelitian 26

D. Manfaat Penelitian 27

E. Metode Penelitian 29

F. Lokasi Penelitian 32

G. Definisi Istilah 33

BAB II TASAWUF, INSÂN KÂMIL, DAN PENDIDIKAN UMUM

35

A. Hakekat Tasawuf 35

1. Tasawuf sebagai Ilmu Islam 2. Topik-topik Utama Tasawuf 3. Tarekat

35 44 50

B. Hakekat Insan Kamil 55

1. Insân Kâmil dalam Al-Quran 56

a. TermBasyar, al-Insân, dan an-Nâs b. Term Mukmin dan Muttaqîn

c. Term Musyrik, Kâfir, Munâfiq, dan Fâsiq d. Term Manusia dan Rasûlullah

58 62 63 67

2. Insân Kâmil Perspektif Sufi 69

a. Insân Kâmil sebagai Tanazul Terakhir Tuhan b. Khalifah, Rasûl, Nabi sebagai Insân Kâmil c. Unsur-unsur Manusia Pembentuk Insân Kâmil d. Menjadi Insân Kâmil dengan Bimbingan Guru e. Jalan Menuju Martabat Insân Kâmil

f. Tangga Nafsu untuk Mencapai Insân Kâmil

69 78 80 82 86 88 C. Hakekat dan Komponen Pendidikan Umum 93


(2)

Halaman

BAB III METODE PENELITIAN 106

A. Pendekatan Penelitian 106

1. Studi Kasus Perspektif Metode Kualitatif 109

2. Grounded Research 110

B. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data 112

1. Sumber Data 112

2. Teknik Pengumpulan Data 114

C. Analisis dan Pemaknaan Data 116

D. Tahap-tahap Penelitian 120

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA 142

A. Hasil Penelitian Lapangan 142

1. Konsep Insân Kâmil di Pondok Sufi POMOSDA a. Guru Wasithah sebagai Pembimbing Insân Kâmil b. Insân Kâmil dan Martabat Tujuh

c. Empat Unsur Manusia dan Sangkan Paraning Dumadi

d. Insân Kâmil dan Jamaah Lil-Muqorrobien e. Insân Kâmil versus Manusia Sesat

f. Tingkat-tingkat Murid (Mubtadi`, Mutawasith, dan Insân Kâmil)

g. Profil Murid Pondok Sufi POMOSDA h. Proses Menuju Martabat Insân Kâmil

1) Meminta petunjuk Ilmu Syaththariah (melalui talqin zikir)

2) Bersedia disumpah dan dijanji

3) Melakukan Mujâhadah (Lakon dan Pitukon)

4) Menjalankan 10 dasar agama 5) Menghindari empat bencana amal 6) Jihad akbar hingga mencapai fana` Dzat 2. Implikasi Insân Kâmil dalam Pendidikan umum

a. Rencana Penyelenggaraan Pendidikan Insân Kâmil

b. Pelaksanaan Pembelajaran Insân Kâmil c. Pengawasan untuk Melaksanakan Insân Kâmil d. Evaluasi terhadap Pelaksanaan Insân Kâmil

145 146 162 170 180 186 203 208 212 213 231 233 249 255 256 265 272 282 290 291 B. Pembahasan Terhadap Hasil Penelitian 304

1. Konsep Insân Kâmil

2. Implikasi Insân Kâmil dalam Pendidikan Umum

304 327


(3)

Halaman BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 335

A. Kesimpulan Penelitian 335

B. Implikasi Penelitian 338

1. Implikasi Filosofis 339

2. Implikasi Teoretis-Pedagogis 347

3. Implikasi Praktis 363

C. Rekomendasi 364

1. Rekomendasi bagi Pengambil Kebijakan 365 2. Rekomendasi bagi Lembaga Pendidikan 367

3. Rekomendasi bagi LPTK 367

4. Rekomendasi bagi Guru dan Dosen Agama 369 5. Rekomendasi bagi Siswa dan Mahasiswa 370

6. Rekomendasi bagi Masyarakat 371

7. Rekomendasi bagi Peneliti Berikutnya 372

DAFTAR PUSTAKA 376

LAMPIRAN-LAMPIRAN 390


(4)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia, yakni meningkatkan martabat manusia ke arah manusia ideal yang dikehendaki. Kepribadian utuh merupakan model manusia ideal yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia. Kepribadian utuh adalah manusia yang seimbang perkembangan jasmani, nafsani, dan ruhaninya (Portofolio Program Pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana UPI, 2001: 6). Adapun manusia ideal yang dikehendaki oleh Islam adalah insân kâmil (manusia sempurna). Tetapi kedua konsep ini tidak bisa dipisahkan dari falsafah antropologi sang penggagas. Tidaklah heran jika muncul banyak konsep tentang kepribadian utuh dan insân kâmil.

Sistem dan praktek pendidikan dewasa ini terkesan carut marut, tambal sulam, tidak jelas arah dan tujuan, dan yang lebih mendasar lagi jauh dari ideal manusia yang dikehendaki oleh Islam maupun bangsa Indonesia. Sistem dan praktek pendidikan di Indonesia tidak mungkin dapat mengantarkan peserta didik ke arah martabat insân kâmil ataupun kepribadian utuh.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah berhasil merumuskan tujuan pendidikan nasional yang bagus. Jika unsur-unsur pendidikan lainnya (seperti core curriculum) bagus pula, maka tipe ideal manusia yang dikehendaki oleh Islam dan bangsa Indonesia dapat tercapai. Dalam Bab II pasal 3 disebutkan: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan


(5)

2

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berîman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dilihat dari segi tujuannya, bangsa Indonesia menghendaki peserta didik bukan sekedar berilmu, cakap, dan kreatif (dimensi intelektualitas), tetapi juga berîman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (dimensi religiusitas), berakhlak mulia (dimensi karakter dan moral), dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung-jawab (dimensi kebangsaan). Tetetapi dalam pelaksanaannya belum sebaik apa yang tertuang di dalam perundang-undangan itu. Aspek religi dan nilai-nilai masih terpinggirkan. Unsur pendidikannya terlepas dari unsur pengajaran. Jumlah jam mata pelajaran pendidikan agama dan moralitas sangat minim. Tidakalah heran jika Tilaar (1999: 99) mengemukakan bahwa pendidikan agama dalam kurikulum nasional Indonesia hanya sebagai penggembira saja, sekedar tidak dikritik sekuler oleh kalangan Ulama.

Praktek pendidikan di Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di Barat di mana manusia mengejar ilmu pengetahuan dengan asumsi bahwa ilmu itu bebas nilai (value free). Suriasoemantri (1982: 12-13) mengatakan bahwa tadinya ilmu pengetahuan hanya mempelajari alam apa adanya tanpa ada keterkaitan dengan nilai moral. Ilmu hanya untuk ilmu, tanpa dikaitkan dengan agama, ideologi dan nilai-nilai luhur. Keberhasilan pendidikan seseorang hanya dilihat dari pencapaian akademis semata. Sejalan dengan Suriasoemantri, Ahmad


(6)

3

Sanusi (dalam perkuliahan di S3, September 1994) mengatakan bahwa pendidikan yang dewasa ini sedang berlangsung sangat dipengaruhi oleh logika positivisme; yakni logika yang hanya berorientasi pada keadaan dunia here and now yang dapat diindera oleh manusia. Pandangan ini mengakibatkan manusia menjadi sekuler dan hanya memikirkan masalah-masalah yang sifatnya dapat dijelaskan secara empiris dan melupakan masalah-masalah yang berkaitan dengan nilai luhur. Inilah awal dari didewakannya kemampuan nalar. Demikian juga Soemantri (2001: 4) mengemukakan bahwa keadaan di mana manusia menjauhkan diri dari agama merupakan sebagai hasil dari pengaruh budaya Hellenisme. Pengaruh budaya ini akal mengalahkan agama (intellectus quaerrens fidem). Dikatakannya bahwa budaya Hellenisme merupakan budaya yang mendorong berkembangnya rasionalitas, individualisme, dan melepaskan diri dari agama/teologi. Padahal Zohar dan Marshall (2000: 11) menyatakan bahwa diskusi tentang intelegensi manusia tidak akan lengkap tanpa menyertakan spiritual Intelligence –SQ. Kecerdasan ini (SQ) bisa menjawab masalah-masalah tentang makna dan nilai; dengan intelegensi ketiga ini kita bisa menempatkan tindak-tanduk dan hidup kita dalam konteks pemaknaan yang lebih luas dan lebih kaya; bisa menilai apakah suatu kejadian atau pengalaman hidup itu lebih berharga atau tidak dari yang lainnya. SQ merupakan pondasi yang diperlukan bagi keefektifan kedua fungsi IQ dan EQ. Selanjutnya Soemantri (2001: 4) mengatakan bahwa budaya hellenisme ini mempengaruhi dunia pendidikan sampai sekarang ini, termasuk pada ilmuwan, pendidik, penulis buku teks yang membanjiri perpustakaan, khususnya perpustakaan-perpustakaan yang terdapat di perguruan tinggi.


(7)

4

Jika mengacu kepada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional Indonesia seharusnya sarat dengan pembelajaran yang berdimensi agama dan moralitas. Untuk itu perlu dicari solusi bagaimanakah mendekatkan praktek pendidikan dengan perundang-undangan, jangan sampai praktek pendidikan itu mengkhianati amanat perundang-undangan.

Islam adalah sebuah agama yang memiliki ajaran yang lengkap dan sempurna. Pendidikan formal yang melalui Pendidikan Agama Islam di Indonesia tidak mungkin mampu menjelaskan kelengkapan dan kesempurnaan agama Islam, antara lain karena jam pendidikan agama sangat minim (hanya 2 jam perminggu, bahkan di PTN hanya 2-4 SKS dari total perkuliahan program S-1). Bandingkan dengan di negeri-negeri Islam lainnya. Jam pelajaran Pendidikan Agama di Pakistan 4 (empat) kali lipat jumlah jam pendidikan agama di Indonesia. Selain itu, mata Ilmu Sosial bermuatan ajaran Islam, dan mata pelajaran bahasa digunakan sebagai media memperkaya Pendidikan Agama. (Asian Centre of Educational Innovation for Development, 1977). Malah di Iran separoh kurikulum pendidikan dasarnya adalah agama (Bureau of Research on International Educational Sistems, 1984).

Sejak 20 tahun yang lalu memang telah ada upaya-upaya sekolah dan universitas untuk memperkaya pendidikan agama, baik melalui penambahan jam pelajaran agama atau melalui kegiatan ekstra kurikuler wajib dan pilihan. Tentu saja kegiatan-kegiatan keagamaan seperti itu di satu sisi cukup menggembirakan, karena label sekolah dan kampus sekuler dapat terhapuskan. Sivitas akademika, khususnya siswa dan mahasiswa, yang mencari dan bergairah belajar agama pun


(8)

5

dapat terpuaskan. Tetapi di sisi lain, kegiatan-kegiatan ekstra demikian biasanya hanya diikuti oleh sivitas kampus yang memang memiliki gairah beragama, tidak menyentuh mereka yang tidak memiliki gairah beragama. Selain itu, substansi materi atau core curriculum pendidikan agama dalam kurikulum persekolahan masih perlu didiskusikan. Tampaknya, tema-tema keagamaan yang ‘inti’ justru tidak dijadikan bahan pembelajaran yang utama. Misalnya, ‘syahadat’ (dalam arti ‘menyaksikan’ Allah dan ‘menyaksikan’ Muhammad Rasulullah, bukan sekedar ‘mengucapkan’-nya) tidak pernah dijadikan tema pendidikan agama; padahal syahadat itu merupakan syarat keislaman seseorang. Demikian juga ‘mati selamat’ (husnul khotimah) tidak pernah dijadikan tema pendidikan agama; padahal pintu menuju akhirat itu adalah kematian. Jika substansi materi agama yang dibahas hanya merupakan materi-materi pinggiran, tidak menyentuh tema-tema agama yang ‘inti’, maka model pendidikan keagamaan seperti itu tidak mungkin dapat mengantarkan peserta didik untuk mencapai martabat insân kâmil.

Persoalan yang lebih urgen yakni kualitas pendidikan yang menjadi kegalauan semua pihak. Kurikulum nasional diganti hampir setiap sepuluh tahun. Berbagai pendidikan dan pelatihan bagi para guru dan kepala sekolah pun terus dilakukan. Sejalan dengan era otonomi daerah, desentralisasi pendidikan pun dilakukan. Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Pada bidang keagamaan, tujuan pendidikan pun lebih dikembangkan. Perubahan keempat UUD 1945 pasal 31 ayat (3) disebutkan, “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keîmanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka


(9)

6

mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Pada UUD 1945 yang belum diamendemen, ungkapan demikian tidak ada. Kata-kata îman dan takwa (tanpa akhlak mulia) hanya tertuang dalam GBHN sejak Repelita pertama. Hal ini menunjukkan bahwa kalangan elit – dalam hal ini MPR – sebenarnya merasa resah dengan kondisi keberagamaan dan pendidikan bangsanya sendiri, yang sekaligus menghendaki jati diri bangsa dengan ciri-ciri berîman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Tetapi realitasnya masih jauh dari yang diharapkan. Fasih membaca Al-Quran, mengerjakan shalat lima waktu, dan berakhlak mulia merupakan tujuan pendidikan agama dalam berbagai kurikulum nasional (Kurikulum 1985, Kurikulum 1994, dan Kurikulum 2004), yang sebagiannya dapat terukur. Misalnya, mahir membaca Al-Quran diharapkan dapat dicapai oleh siswa SD, walau kenyataannya di SMA pun masih menjadi bagian dari kurikulum Pendidikan Agama Islam. Tetapi bagaimanakah kemampuan peserta didik dalam hal keterampilan dasar keagamaan ini? Perhatikan tabel berikut.

TABEL 1.1

PORSENTASE SISWA SD, SMP, SMA, DAN MAHASISWA TINGKAT I YANG BISA DAN TIDAK BISA MEMBACA AL-QURAN *)

JENJANG PENDIDIKAN KEMAMPUAN MEMBACA AL-QURAN

Bisa membaca Tidak bisa membaca

1. SD (kasus) 10 % 90 %

2. SMP (kasus) 25 % 75 %

3. SMA (kasus) 35 % 65 %

4. Mahasiswa (UPI & Itenas) 40 % 60 %

*) Data bulan September 2001 di Sekolah dan Universitas kasus. Kondisi ini relative mapan hingga tahun 2004.


(10)

7

Berdasarkan survey Tim PPBQ YBHI Bandung (2001, 2004) di beberapa sekolah dan universitas di Kota dan Kabupaten Bandung, siswa SD, SMP, SMA, dan mahasiswa tingkat pertama yang bisa membaca Al-Quran masih lebih sedikit (masing-masing 10%, 25%, 35%, dan 40%). Itu baru dari segi kemampuan membaca Al-Quran. Belum lagi diukur secara lebih luas dan mendalam, misal pemahaman dasar-dasar agama, pemahaman Al-Quran, dan pengamalan beragama.

Bila substansi keberagamaan adalah berîman, bertakwa, dan berakhlak mulia, kita amati hal-hal yang bersebrangan dengan kriteria keberagamaan. Para siswa begitu mudah terkena sugesti negatif dan begitu mudah marah. Tawuran pelajar akhir-akhir ini merupakan fenomena biasa. Malah akhir-akhir ini tawuran antar mahasiswa. Lebih melebar lagi tawuran pelajar dengan masyarakat, mahasiswa dengan masyarakat, maniak sepak bola dengan masyarakat, tawuran antar masyarakat, tawuran antar kampung, hingga tawuran masyarakat dengan petugas keamanan. Kasus penyalahgunaan narkotika dan zat-zat adiktif (NAPZA) sudah memasuki (hampir) semua SMP-SMA/SMK. Pergaulan bebas siswa-siswi sudah dipandang sebagai ciri pergaulan remaja dan ABG.

Sikap tidak hormat Anak muda bukan hanya ditunjukkan kepada sembarang orang, bahkan juga terhadap guru-gurunya. Penghormatan dan bakti pada kedua orang tua pun memudar. Vandalisme sudah merupakan ciri pelajar kita; dan premanisme tumbuh subur hingga di lingkungan persekolahan. Kejujuran yang sangat didambakan sudah hilang dari kamus persekolahan. Fenomena menyontek dan joki sepertinya fenomena biasa yang disalahkan


(11)

8

sekaligus dilanggar oleh semua pihak. Salah untuk orang lain, tetapi boleh untuk saya; salah untuk sekolah lain, tetapi boleh untuk sekolah saya. Sepertinya kamus ini yang dipakai sekarang.

Masyarakat bisa saja memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan a-moral, pelanggaran etis, dan penyimpangan beragama; walau dilakukan secara komunal oleh orang-orang yang mengaku beragama Islam dan sudah menjadi fenomena biasa, tetapi mungkin saja fenomena demikian hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak taat beragama.

Rahmat (2007) mengadakan studi tentang “Corak Berpikir Keagamaan Mahasiswa Aktivis Islam UPI”. Hasilnya mengagetkan, bahwa mayoritas responden memiliki corak berpikir keagamaan yang eksklusif; sangat sedikit yang inklusif. Mereka mayoritas memandang benar keyakinannya sendiri dan menyalahkan keyakinan sesama muslim yang berbeda dengan keyakinan mereka. Bahkan mereka pun memandang, bahwa keyakinan lain itu adalah kâfir dan sesat. Masalah yang sama dan dengan instrumen yang sama (yang telah dibuat oleh Rahmat) tetapi dengan populasi yang lebih luas dilakukan oleh Syahidin dan kawan-kawan terhadap mahasiswa di Jawa Barat (2009). Ternyata hasilnya sama dengan yang ditemukan Rahmat, bahwa mayoritas responden mahasiswa muslim di Jawa Barat memiliki corak berfikir keagamaan yang eksklusif.

Mari lihat lagi fenomena kehidupan beragama di masyarakat. Kehidupan yang serba material tampaknya membuat hidup kering dan gersang. Pengamalan beragama yang wajib pun (shalat, puasa, haji) dan pengkajian Islam secara formal (terutama Ilmu Fiqih dan Ilmu Kalam) tidak berhasil menghilangkan perasaan


(12)

9

resah masyarakat. Umat kemudian melirik majelis-majelis yang dapat menentramkan hati. Majelis zikir dan pengajian yang menyentuh hati dibanjiri ribuan hingga puluhan ribu jamaah. Pelatihan ESQ dan Shalat Khusyu` dibanjiri high class. Sebagian masyarakat lainnya menggabung-kan diri ke dalam organisasi-organisasi tarekat. Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) kemursyidan Abah Anom, misalnya saja, menurut Juhaya S. Praja (Wakil Talqin Abah Anom, Desember 2008) mempunyai pengikut sekitar 10-20 jutaan. Memang, setiap sabtu-minggu ribuan masyarakat mengantri meminta di-talqin zikir. Acara Manakiban Syekh Abdul Qodir Jailani diadakan di mana-mana; dan setiap tanggal 11 Hijriyah di Pondok Pesantren Suryalaya dibanjiri oleh ribuan ikhwan TQN. Pondok Inabah, sebuah pondok yang khusus menangani remaja korban narkoba dan masalah a-moral, disesaki jamaah. Aqib (2005: 158) dalam disertasinya tentang Inabah: Jalan kembali dari Narkoba, Stress, dan Kehampaan Jiwa melaporkan, bahwa dari sebanyak 5.825 penderita yang dirawat dari tahun 1981-1986 di sepuluh Inabah, sebanyak 5.426 orang dinyatakan sembuh (93,1%), sedangkan selebihnya masih dirawat (3,6%), keluar tetapi belum sembuh (3,2%), dan meninggal dunia (0,12%).

Jika Rukun Islam yang lima dibedah, mungkin lebih separoh bangsa Indonesia menjalankannya; malah sebagiannya dapat dinilai taat beragama. Mungkin hanya Rukun Islam ke-4, zakat (termasuk infaq dan shodaqoh), belum dijalankan dengan baik. Said Agil Al-Munawar, Menteri Agama RI dalam Kabinet Megawati (dalam sebuah siaran televisi tahun 2003) pernah mengatakan, dari deposito kaum Muslimin saja akan terkumpul harta zakat triliunan rupiah


(13)

10

yang bisa mengentaskan fakir-miskin. Jika dikumpulkan dan membayar zakat, dari PNS Kabupaten Sukabumi saja akan terhimpun lebih dari 50 Milyar rupiah setiap tahunnya. Belum lagi jika ditambah kaum Muslimin di luar PNS. Belum lagi jika ditambah dengan infaq dan shadaqah di luar zakat!

Berdasarkan hal di atas, Islam seperti apa yang dianut oleh mereka yang menjalankan empat rukun Islam tetapi mengabaikan rukun Islam tentang zakat? Pertanyaan lebih jauhnya, jangan-jangan keempat rukun Islam yang telah dijalankannya pun perlu dipertanyaan kebenaran dan keikhlasannya! Artinya, keempat rukun Islam itu dijalankan atas dasar nafsu dan syahwat-nya bukan mengikuti kehendak Tuhan!

Mari amati lagi apa yang dilakukan sekolah untuk membina keîmanan, ketakwaan, dan akhlak mulia para siswanya. Secara formal tugas membina keîmanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dibebankan kepada guru agama. Tetapi secara tidak formal dibebankan juga kepada seluruh guru apa pun bidang studi dan mata pelajaran yang dibinanya. Jika secara formal, dilihat dari segi kuantitas, jumlah jam pelajaran agama sangat terbatas. Akibat logisnya jumlah guru agama pun terbatas pula. Pertanyaannya, bagaimana mungkin membina keîmanan, ketakwaan, dan akhlak mulia hanya dengan seorang guru agama di SD dari sebanyak 240 siswa dan 1-3 orang guru agama di SMP/SMA/SMK dari sebanyak 360-1.200 siswa?

Idealnya pembinaan keîmanan, ketakwaan, dan akhlak mulia merupakan tugas seluruh guru. Sedangkan guru agama, sebagaimana guru bidang studi dan mata pelajaran yang bertugas mengajarkan bidang studi dan mata pelajaran yang


(14)

11

menjadi wewenangnya, bertugas pula mengajarkan pengetahuan agama. Hanya saja gagasan ideal ini mendatangkan masalah di lapangan; atau lebih tepatnya ada yang mempermasalahkan. Pertama, secara legal formal (terlebih-lebih setelah keluarnya Undang-undang Guru dan Dosen) bahwa guru haruslah sarjana dalam bidang yang diajarkannya; kedua, kekhawatiran dari sejumlah pihak – termasuk dari guru bidang studi – bukannya membina malah merusak keîmanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; dan ketiga, mau dan sanggup tidak bisa dijadikan ukuran objektif kemampuan mengajarkan agama. Memang realitasnya banyak dosen program studi (yang bukan Sarjana Agama) mau dan sanggup mengajar agama. Mereka mungkin ada yang benar-benar sanggup (bahkan mungkin melebihi Sarjana PAI). Tetapi ada juga yang mau menjadi dosen PAI atas dasar semangat emosional atau karena kepentingan (misal, memperbanyak komunitasnya). Begitu sangat ideal jika kesanggupan ini dirancang secara khusus oleh perguruan tinggi penghasil guru (yakni dengan cara memperkaya agama, atau menjadikan asrama mahasiswa sebagai pesantren). Adapun bagi mereka yang sudah menjadi guru diadakan inservice trainning keagamaan.

Fenomena keberagamaan yang negatif sebagaimana diuraikan di atas secara teoretis keagamaan kiranya perlu mengacu pula kepada perusak fitrah beragama. Secara teoritis ada dua perusak fitrah beragama, yakni: pertama, hati sanubari (nafsu dan syahwat manusia) yang gelap gulita tidak kenal Tuhan, wataknya abâ wastakbaro (sombong dan takabur) dan anâ khoerun minhu (aku lebih baik dibanding dia – khalifah Allâh atau wakil Tuhan di bumi), yang bersifat internal; dan kedua, iblis dan wadyabala-nya yang yuwaswisu fî shudûrin


(15)

12

nâs (selalu membisikkan keindahan atas pandangan dan perbuatan manusia yang tidak sejalan dengan Kehendak Tuhan); bersifat eksternal. Wadyabala iblis bisa saja berupa bisikan makhluk halus yang tidak terasa atau ilham-ilham (yang buruk, yang tidak sejalan dengan kehendak Tuhan), juga bisa saja berupa pandangan-pandangan dunia yang menakjubkan tetapi jauh dari kebenaran Ilahi.

Globalisasi merupakan suatu keniscayaan dan suka ataupun tidak suka telah dijadikan pandangan dunia. Berdasarkan kacamata agama, globalisasi bisa dikategorikan sebagai gerakan wadyabala iblis. Era globalisasi merupakan era satunya bumi, satunya budaya bumi, satunya sistem ekonomi bumi, dan satunya idiologi bumi, baik yang bersifat alamiah ataupun hasil rekayasa pemilik Budaya Puncak. Ketika mengungkap perubahan budaya, Shari`ati (1985: 130-148) menyebut faktor elit sebagai faktor penentu perubahan budaya. Kebudayaan, menurut Shari`ati, mengikuti pola piramida. Puncaknya (kecil) merupakan para bintang atau elit; kemudian di bawahnya (paling besar) yakni massa atau rakyat banyak; sedangkan di tengahnya (agar besar) merupakan para pemimpin di masyarakat, para guru besar, para dosen, para guru sekolah, para khatib, para juru dakwah, dan media massa yang mensosialisasikan gagasan-gagasan elit kepada rakyat banyak. Ia mencontohkan situasi abad pertengahan di Eropah. Elit saat itu merupakan para pendeta. Semua tatanan masyarakat saat itu, termasuk tentunya pendidikan,mengikuti gagasan dan kehendak para pendeta. Kemudian, muncul manusia-manusia terdidik baru yang lebih menjunjung ilmu pengetahuan dan teknologi. Gagasan mereka sering menyimpang dari gagasan elit. Tetapi mereka bukanlah elit, bukan pula massa, dan bukan pula kelompok menengah. Mereka


(16)

13

merupakan bintang-bintang baru. Lama-kelamaan bintang-bintang baru itu membesar, semakin banyak dan semakin kuat sehingga mengalahkan bintang-bintang lama. Kini para sarjana yang sekuler itu menduduki puncak piramida. Mereka menjadi elit-elit baru yang mengalahkan para pendeta. Budaya pun

berubah. Muncullah zaman renaissance dengan komandannya ilmu pengetahuan

dan teknologi. (Shari`ati, 1984: 119-128). Demikianlah seterusnya perubahan-perubahan budaya di dunia. Bangsa-bangsa yang lebih lemah budayanya mengikuti budaya yang kuat.

Kini budaya yang paling kuat itu merupakan budaya Global. Budaya Global merupakan budaya Barat, atau lebih khususnya lagi budaya Amerika (Serikat). Dengan meminjam teori piramida kebudayaan dari Shari`ati, proses Globalisasi dapat digambarkan sebagai berikut:

...………..……… Gambar I-1

Proses menoalirnya budaya Global (budaya Amerika) ke seluruh Dunia (Diadaptasi dari teori piramida budaya Shari`ati, 1985: 119-128)

Proses mengalirnya Budaya Puncak bagaikan aliran air dari puncak gunung yang merembesi lereng dan lembah. Di masa-masa yang lalu proses mengalirnya Budaya Puncak lebih berwatak alamiah. Bangsa-bangsa yang memiliki budaya rendah belajar dari Bangsa yang berbudaya tinggi. Tetapi di era


(17)

14

Globalisasi ini – selain proses alamiah – pemilik Budaya Puncak melakukan berbagai rekayasa agar budayanya, sistem ekonominya, idiologinya, bahkan agamanya diterima oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

Pemilik budaya Puncak itu tidak lain Amerika Serikat, sang negara adidaya. Melalui saluran media yang ia miliki dan kuasai, disertai tekanan-tekanan politik dan militer, AS memaksakan diterîmanya budaya adi kuasa itu oleh seluruh bangsa di dunia. Benar tesis Ahmed (1993: 110-113) bahwa peradaban Global adalah peradaban Barat (Amerika Serikat), sekaligus sebagai kemenangan Barat. Simbol superfisial budaya Global yakni 3F: food, fashion, fun. Mc Di, KFC, dan Coca Cola, dan semacamnya (tentu makanan-minuman ini halal) sudah menjadi makanan-minuman seluruh bangsa. Pakaian jenis jeans, rok mini, lupus (terlihat pusar), dan segala jenis pakaian you can see (pakaian yang menampakkan aurat) sudah menjadi trend anak-anak muda dan orang yang merasa muda. Elvis Prisley, Michael Jackson, Madona, Shakira, Britney Spears, benar-benar menjadi idola kawula muda di seantoro bumi.

Menurut Ahmed, lanjutnya, sentral Globalisasi merupakan kapitalisme, demokrasi, dan kesamaan gender (equality); yang terakhir ini, dalam Konferensi Wanita se Dunia di Cina (1997), justru ditolak oleh seluruh utusan dunia Islam dan RRC dengan disodorkannya konsep kesetaraan (equity). Bersamaan dengan disosialisasikannya ketiga idiologi tersebut, diperkenalkan pula pola hidup individualistik, penguasaan sains dan teknologi, serta pola hidup biaya tinggi. Benar juga apa yang dikatakan Hidayat (1997: 78), berbagai perubahan fundamental akan terus berlangsung dalam semua aspek kehidupan. Globalisasi


(18)

15

ekonomi dengan perdagangan bebas sebagai jargon utamanya akan disertai pula dengan perkembangan IPTEK yang semakin cepat. Sebagai konsekuensinya, persaingan ketat antar manusia, antar kelompok dalam masyarakat, dan antar bangsa merupakan suatu keniscayaan. Kemajuan teknologi dalam era Globalisasi ini akan berdampak pada interaksi budaya yang semakin intensif dan terbuka. Pada gilirannya, globalisasi budaya ini akan menyebabkan terjadinya perubahan pola dan gaya hidup, bahkan nilai-nilai dan tatanan kehidupan, tidak terkecuali di Indonesia.

Bila digali lebih dalam, akar Globalisasi itu adalah filsafat materialisme yang memang tumbuh subur di dunia Barat dan yang terbaratkan. Nadwi (1993: 13-32) ketika mengupas hikmah surat Al-Kahfi, ia menulis secara panjang-lebar, yang pada pokoknya mengemukakan bahwa filsafat Barat merupakan filsafat dajjal yang lahir dari tradisi Yahudi-Kristen, yakni suatu filsafat yang sangat kontradiktif dengan Islam. Dalam hadits-hadits disebutkan bahwa dajjal bermata satu dan buram, yakni – kata Nadwi - melihat fenomena dari satu sudut pandang, hanya dari sudut pandang mata materialistik tanpa mata îman.

Dilihat dari teori pendidikan umum (general education), pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia seharusnya memperkokoh pendidikan umum. Istilah ini (pendidikan umum) untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Nelson (1952) dalam General Education. Menurutnya, pendidikan umum merupakan pendidikan yang mempersiapkan generasi muda agar menjadi warga negara yang baik (good citizenship) dan mampu berkomunikasi secara baik. Sementara Phenix (1964: 5-6) mendefinisikan pendidikan umum sebagai process of engenering


(19)

16

essential meaning (proses pemunculan makna-makna yang esensial), yang

dirincinya menjadi enam makna, yakni simbolik, empirik, estetik, sinoetik, etik dan sinoptik. Adapun Hutchins mendefinisikannya sebagai pendidikan yang membekalkan gagasan-gagasan fundamental yang sama (Naomi, 1999: 130).

Fungsi pendidikan umum diilustrasikan oleh Robert Maynard Hutchins dengan sebuah universitas, sebagai berikut: Tanpa pendidikan (yang) umum, kita takkan pernah punya universitas. Bila para mahasiswa dan para dosen (khususnya para dosen) tidak punya bekal latihan intelektual yang sama, sebuah universitas akan menjadi serangkaian fakultas dan jurusan yang satu sama lain tidak memiliki ikatan apa-apa, kecuali kenyataan bahwa Rektor dan Dewan Penyantunnya sama. Para dosen tidak bisa berbicara dengan sesama mereka, atau sedikitnya tak dapat bercakap-cakap soal sesuatu yang penting. Mereka tidak bisa berharap untuk saling memahami. (Naomi, 1999: 130). Jadi, fungsi pendidikan umum itu lebih sebagai bekal komunikasi yang sama bagi para dosen dan mahasiswa untuk membicarakan soal-soal yang penting di luar bidang kepakaran, profesi, keahlian, dan keilmuan yang telah bercabang-cabang dan beranting-ranting.

Ringkasnya, pendidikan umum (di Barat) merupakan: gagasan-gagasan fundamental yang sama, yakni kebajikan-kebajikan intelektual (Hunchins); makna-makna yang esensial (Phenix), yang secara operasional diarahkan untuk mengembangkan peserta didik menjadi warga negara yang baik (good citizenship) dan mampu berkomunikasi secara baik dengan sesama (Nelson).

Adapun pendidikan umum di Indonesia lebih dari sekedar bekal komunikasi dan good citizenship. Pendidikan umum di negeri yang berasas


(20)

17

Pancasila ini lebih menekankan pada pengembangan kepribadian peserta didik secara utuh. Dalam Portofolio Program Pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana UPI (2001: 6) disebutkan, program pendidikan umum berupaya mengembangkan kepribadian peserta didik secara utuh, sehingga mereka dapat hidup sebagai warga negara yang sehat jasmani, nafsani, dan ruhaninya, serta memiliki kemampuan intelektual, moral, dan emosional yang prima.

Istilah pendidikan umum dalam Portofolio Program Pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana UPI tentu lebih baik, karena menekankan pengembangan kepribadian utuh, bukan sekedar good citizenship dan bekal yang sama untuk berkomunikasi. Hal ini lebih jelas lagi ketika menjelaskan unsur-unsur manusia yang perlu dikembangkan. Program general education di Barat sama sekali tidak menjelaskan unsur-unsur manusia. Tetapi program pendidikan umum di Indonesia sekurang-kurangnya metegaskan tentang perlunya mengembangkan unsur jamani dan rohani (unsur lahir dan batin) secara berimbang. Bahkan Portofolio Program Pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana UPI memuat secara jelas tentang tiga unsur manusia yang perlu dikembangkan, yakni: jasmani, nafsani, dan ruhani; dengan penegasan pengembangan bidang intelektual, moral, dan emosional yang prima.

Naquib al-Atas (Daud, 2003: 221-225, Hafidluddîn, 2004) mengingat-kan tentang istilah universitas (universum) sebagai padanan dari kata kulliyah. Penggunaan istilah ini sangat erat hubungannya dengan konsep al-insân al-kulli (manusia universal) atau insân kâmil (manusia sempurna) yang merupakan ideal


(21)

18

mengenali dan mengakui tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu, termasuk dirinya, dalam tatanan sedemikian rupa sehingga membimbingnya ke arah pengenalan dan pengakuan yang benar dari Allâh dalam tatanan wujud dan eksistensi. Jadi, menurut konsep ini, universitas harus melayani tujuan penciptaan manusia (yang diharapkan mencapai martabat insân kâmil), bukan sekedar warga negara yang baik sebagaimana di negara sekuler. Universitas modern sekarang ini ditujukan untuk mencetak pekerja-pekerja yang baik dalam rangka melayani program-program negara yang berorientasi semata-semata kebutuhan material (ekonomistik). Lulusan universitas hanyalah orang-orang yang menguasai keterampilan-keterampilan (know how), tetetapi tidak mengenal tujuan hidupnya secara keseluruhan (know why). Spesialisasi dalam konteks ini adalah representasi utama dari universitas modern. Dengan demikian, produk universitas modern bukan lagi al-insân al-kulli atau insân kâmil, melainkan al-insân al-juz`i yang terpecah-pecah, yang tidak mampu mengenali diri dan lingkungannya dalam suatu keseluruhan.

Terkotak-kotaknya kurikulum dalam pendidikan di Dunia Islam pun sebenarnya terjadi pula. Di masa Nabi Muhammad SAW masih berada di tengah-tengah umat, kaum muslimin secara langsung dibimbing oleh beliau. Proses pendidikan yang dibimbingkan oleh beliau adalah mengarahkan murid-muridnya untuk mencapai insân kâmil dengan mengikuti shirôthol mustaqîm (jalan lurusNya Tuhan) yang diteladankan langsung oleh beliau. Kemudian pada masa berikutnya kaum muslimin berkenalan dengan Ilmu-Ilmu peninggalan budaya lama yang maju, Yunani dan Persia. Walau pernah terjadi priksi, tetapi kemudian


(22)

19

kaum muslimin melestarikan, bahkan mengembangkan ilmu-ilmu yang dikenal sebagai Ilmu-Ilmu Awa`il ini. Ilmu-Ilmu Islam pun (Ilmu Fiqih, Ilmu Tauhid, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Tasawuf, dan lain-lain) berkembang pula. Pada masa kejayaan budaya Islam, kaum muslimin mempelajari secara terpadu Ilmu-Ilmu Awa`il dengan Ilmu-Ilmu Islam.

Tetapi kemudian Ilmu-Ilmu Islam terpecah-pecah ke dalam bidang ilmu yang bersifat cabang dan ranting. Pada masa kemunduran Dunia Islam, kaum muslimin mulai membatasi kurikulum. Pertama kali membuang filsafat, kemudian membuang ilmu-ilmu modern (selain ilmu yang dipandang bermanfaat langsung, yakni Ilmu Kedokteran). Tetapi kemudian lebih fokus mempelajari fiqih, bahkan fiqih dalam mazhab tertentu saja. Pada zaman Imâm Ghazali saja (âkhir abad XI dan awal abad XII masehi) telah terjadi perkembangan Ilmu-Ilmu Islam yang sedemikian rupa hingga mencapai puluhan cabang; dan masing-masing ulama membanggakan cabang ilmu yang di dalaminya.

Bersamaan dengan runtuhnya kekhalifahan Abbasiah di Baghdad, kaum muslimin kemudian terpecah-pecah menjadi puluhan negeri. Kekuatan militer dan politik pun melemah. Dunia pendidikan pun melemah pula, yakni dengan hanya mementingkan Ilmu Fiqih mazhab tertentu. Sementara bangsa-bangsa Barat maju. Bersamaan dengan majunya ilmu pengetahuan modern dan teknologi, politik dan militer Barat pun maju. Bangsa-bangsa muslim kemudian menjadi jajahan bangsa-bangsa Barat selama ratusan tahun. Bangsa Indonesia lebih parah lagi. Setelah dijajah Barat (Belanda) selama 3,5 abad, kemudian dijajah Jepang. Walau sebentar (3,5 tahun), tetapi berdampak buruk yang luar biasa.


(23)

20

Secara historis, Pondok Pesantren sebenarnya merupakan pendidikan asli bangsa Indonesia (bagi yang beragama Islam), dengan kyai sebagai tokoh sentralnya. Kemudian, datang Belanda membawa sistem persekolahan. Sebagian masyarakat Indonesia, terutama (meminjam istilah Clifford Geert) kalangan priyayi, memasuki persekolahan. Perbedaan di antara kedua sistem pendidikan ini bukan hanya menyangkut bidang-bidang ilmu yang dipelajari (Ilmu Agama versus Ilmu Umum) tetapi juga tujuan akhir dari pendidikan (Pesantren lebih berorientasi âkhirat, sementara sekolah lebih berorientasi keahlian dan profesi, atau disederhanakan lebih berorientasi dunia). Adapun setelah mencapai kemerdekaan, pemerintah RI lebih memilih sistem pendidikan model persekolahan (sekolah atau madrasah) dengan penambahan pendidikan agama. Tetapi sebagaimana telah dijelaskan, bahwa sistem pendidikan persekolahan ternyata tidak berhasil mengantarkan para siswanya menjadi manusia yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan nasional, terutama dari sudut berîman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Fenomena suram pendidikan agama dan pembinaan keagamaan di persekolahan umum membuat sejumlah masyarakat melirik sistem pendidikan asli Indonesia, sistem pendidikan pesantren. Tetapi pesantren tradisional (dalam arti, pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama tanpa mengadakan pembelajaran pengetahuan umum) kurang dikehendaki oleh masyarakat muslim modern yang menghendaki pendidikan eklektik ilmu keagamaan dengan pengetahuan umum. Di sisi lain para kyai pun banyak yang sadar betetapi pentingnya pengetahuan umum di era modern akhir-akhir ini. Tetapi pendidikan keagamaan tetap menjadi komandannya, dengan kyai sebagai tokoh sentralnya.


(24)

21

Dalam budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa, Kyai merupakan tokoh utama dan sentral dalam lingkungan pesantren dan komunitas masyarakat santri. Segala tindak-tanduk kyai selalu menjadi teladan dan rujukan umat. Tugas Kyai adalah penjaga syari`ah Islam, yakni: (1) menjaga agama (khifdzud-dîn), (2) menjaga jiwa (khifdzun-nafs), (3) menjaga akal (khifdzul-`aql), (4) menjaga harta (khifdzul-mâl), dan (5) menjaga keturunan (khifdzun-nashb). Tetapi sepanjang sejarah tugas utama Kyai selalu berhubungan dengan penjagaan agama (khifdzud-dîn). Oleh karena itu tidak heran jika keberadaan Kyai selalu berhubungan dengan Ilmu Agama dan pesantren. (Rahmat 2004: 74). Terlebih-lebih kyai mursyid. Sebagai guru tarekat Kyai mursyid bukan saja sebagai panutan umat, bahkan juga sebagai tempat mengadu umat. Segala persoalan umat, duniawi maupun ukhrawi, dimintakan solusinya kepada kyai mursyid.

Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, sebenarnya memiliki karakteristik khas, yang tidak bisa dipisahkan dari tasawuf dan tarekat. Kedua bidang ini dapat diibaratkan dengan ilmu murni dan teknologi. Ilmu murni menuturkan suatu kebenaran ilmiah dalam tataran teoritis, sementara teknologi dalam tataran praktis. Tasawuf lebih merupakan sebuah teori untuk mendekati Allâh sedekat-dekatnya, sementara tarekat merupakan cara praktis untuk mendekati Allâh. Atau, lebih lengkapnya, tasawuf mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. (Nasution,


(25)

22

1987: 56). Adapun tarekat adalah cara praktis untuk memperoleh hubungan langsung itu.

Afandi (2001a: 9) juga menyebutkan adanya hubungan erat antara tasawuf dengan tarekat. Kedua ilmu ini merupakan dua disiplin Ilmu Islam yang tidak bisa dipisahkan, malah sangat beririsan. Tetapi ketika menjelaskan makna tasawuf dan tarekat, ia berbeda dengan Nasution. Menurut Afandi (2001a: 9) tasawuf mengkaji bagaimanakah hakekat manusia bertemu dengan hakekat Tuhan melalui seorang Ahli Zikir dalam ilmu hakekat; sementara tarekat merupakan metode praktis mempertemukan hakekat manusia dengan hakekat Tuhan melalui Ahli Zikir itu. Kalaupun mau dibedakan, tasawuf lebih bersifat teoritis-filosofis, sementara tarekat praktis-amali. Hakekat manusia bisa bertemu dengan hakekat Tuhan, lanjut Afandi, karena sesungguhnya manusia itu berasal dari hakekat Tuhan (fitrah manusia dicipta dari fitrah Allâh), hingga terjadilah syahâdah atau penyaksian diri kepada Tuhannya. Di dalam istilah teknis tasawuf, menurut Khozin Affandi, hal ini lazim disebut ma`rifat billâh, atau lebih tepatnya ma`rifat bi Dzâtillâh, yakni mengenal Zat Allâh, bukan sekedar mengenal nama Tuhan yang Allâh asmaNya.

Suryanegara (1998: 160-161) menyebutkan bahwa Islam di Indonesia adalah Islam tasawuf dan tarekat. Sejak masuknya Islam ke Nusantara, bangsa Indonesia mengenal ahli Fiqih, ahli Kalam, dan sebagainya. Namun yang sangat terkenal adalah Syekh Tarekat (seperti: Hamzah Fansuri, Syamsuddîn dari Pasai, Nuruddîn ar-Raniri, Abdurrauf Singkel, Yusuf Tajul Khalwati, Abdul Shomad al-Palimbani, dan Muhammad Nafis bin Idris bin Husain al-Banjari, dan di Jawa Walisongo). Apalagi sikap hidup para Syekh yang berpihak kepada kepentingan


(26)

23

rakyat, maka nama dan ajarannya sangat berpengaruh dalam pembentukan pemikiran Islam, baik terhadap rakyat mau pun penguasa. Hal yang sama dikemukakan oleh Bruinessen (1999: 265-266) ketika membahas Islam di Banten. Kembali ke tema pokok tentang arah pendidikan sebagai memanusiakan manusia, berbicara tentang konsep manusia – terlebih-lebih insân kâmil – begitu kompleks dan rumit, sekomplek dan serumit dimensi-dimensi dan misteri-misteri unsur batin atau qolbu dan ruhani manusia. Begitu seorang filosof, ilmuwan, bahkan sufi sekalipun melontarkan konsepnya tentang manusia, pada saat yang hampir bersamaan muncul kritik tajam dari para filosof, ilmuwan, dan sufi lainnya. Pembicaraan paling mendalam tentang unsur ruhani di dunia Islam dikaji oleh tasawuf dan tarekat. Tetapi dalam disiplin ini pun terdapat perbedaan-perbedaan. Para Sufi dan Mursyid Tarekat pun memiliki pandangan yang berbeda-beda pula. Rahardjo (1987) telah menyunting dan membukukan Insân Kâmil perspektif 9 (sembilan) orang tokoh Dunia. Kemudian telah banyak pula disertasi yang mengupas masalah ini (isinya mengandung insân kâmil), seperti: Konsep Manusia dan Tuhan Perspektif Nuruddîn Ar-Raniry (Daudi, 1982), Konsep Sembah dan Budi Perspektif Mangkunegoro IV (Ardlani, 1985), Syekh Yusuf Makassar (Hamid, 1994),dan Tasawuf Syekh Muhyi (Yahya, 2003).

Masing-masing tokoh Sufi dan Filosof ternyata memiliki pandangan yang berbeda tentang insân kâmil. Lebih dari itu, konsepnya sangat sulit diimplementasikan ke dalam pendidikan, karena dua hal berikut: pertama, sang tokoh yang dikaji konsepnya itu tidak bisa ditanya lagi karena sudah meninggalkan dunia yang fana` ini; dan kedua, konsep insân kâmil yang dibedah


(27)

24

oleh peneliti belum tentu sepenuhnya benar-benar merupakan konsep perspektif sang tokoh (karena tidak bisa dikonfirmasi). Artinya, hanya merupakan konsep sang tokoh perspektif peneliti. Belum lagi jika referensinya masih dipertanyakan keasliannya. Karena itulah disertasi ini akan mengkaji konsep insân kâmil perspektif Guru Wasithah (Mursyid) yang berada di tengah-tengah umat (masih hidup di dunia), dalam hal ini Konsep Insân Kâmil di Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (Pondok Sufi POMOSDA) di Tanjunganom Nganjuk, yang mengembangkan Ilmu atau Sufisme Syaththariah.

B. PERUMUSAN MASALAH

Studi ini akan berusaha menjawab: bagaimanakah implikasi konsep insân kâmil di Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (Pondok Sufi POMOSDA)? Adapun secara khusus dan operasional, studi ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimanakah konsep insân kâmil dan langkah-langkah memproses diri

untuk mencapai martabat insân kâmil di Pondok Sufi POMOSDA?

2. Bagaimanakah implikasi konsep insân kâmil terhadap pendidikan umum di Pondok Sufi POMOSDA?

Istilah insan kamil pertama kali diperkenalkan oleh Ibn Araby, walau secara konseptual telah dibicarakan pula oleh para sufi terdahulu, tetapi dengan istilah yang berbeda (misal: manusia sufi). Demikian juga para sufi pasca Ibn Araby menggunakan istilah yang berbeda-beda pula, tetapi secara substantif tetap sama, yakni membicarakan insân kâmil.


(28)

25

Pendidikan Insân kâmil merupakan grand theory disertasi ini. Mengacu kepada permasalahan utama penelitian ini, maka pertama kali akan dianalisis term-term manusia dalam Al-Quran (basyar, al-insân, an-nâs, mu`min, muttaqîn, mukhlashîn, musyrik, kâfir, munâfiq, fâsiq, dan term Rasûl). Kemudian akan didiskusikan konsep insân kâmil perspektif sufi terdahulu, sebagai landasan teoritis disertasi ini. Setelah itu akan digali konsep insân kâmil yang digagas oleh KH Muhammad Munawwar Afandi dan implikasinya dalam pendidikan umum di Pondok Sufi POMOSDA.

Pondok ini didirikan dan dipimpin langsung oleh KH Muhammad Munawwar Afandi, Guru Wasithah Ilmu Syaththariah ke-48. Perspektif Ilmu Syaththaariah, Guru Wasithah pasca Nabi Muhammad SAW merupakan ulama pewaris Nabi (mewarisi Al-Kitâb, Al-Hikmah, dan An-Nubuwah). Guru Wasithah memiliki empat martabat, yang salah satunya adalah kâmilun (=insân kâmil yang

menyempurnakan murid-muridnya untuk mencapai martabat insân kâmil; persis

seperti matahari yang memberikan sinar kepada bulan, sehingga bulan pun dapat memancarkan cahayanya ke bumi). Dengan martabat ini beliau membimbing murid-muridnya untuk mencapai martabat insân kâmil). Artinya, tanpa Guru Wasithah, maka seseorang tidak mungkin mencapai martabat yang tinggi ini.

Adapun grand theory disertasi ini dapat diperhatikan pada Gambar 1.2 (pada halaman berikut):


(29)

26

Gambar 1.2 Alur Pikir Disertasi

!


(30)

27

C. TUJUAN PENELITIAN

Studi ini secara umum bertujuan menghasilkan konsep insân kâmil dan dan implikasinya terhadap pendidikan umum di Pondok Sufi POMOSDA. Adapun secara khusus dan operasional, studi ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui konsep insân kâmil dan langkah-langkah memproses diri untuk

mencapai martabat insân kâmil di Pondok Sufi POMOSDA.

2. Mengungkapkan implikasi konsep insân kâmil terhadap pendidikan umum di

Pondok Sufi POMOSDA.

D. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian akan memiliki manfaat yang bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut:

1. Manfaat dalam pengembangan teori. Selama ini teori-teori pendidikan umum hanya diambil dari Barat. Teori-teori dari Islam masih sangat langka, padahal para ulama sejak lebih dari seribu tahun yang lalu telah mengembangkan sistem pendidikan, yang tentunya – bila dikaji secara cermat dan kritis – akan menghasilkan teori-teori atau konsep-konsep pendidikan, termasuk pendidikan umum. Kyai adalah ulama yang justru sebagai benteng tangguh Ilmu-ilmu Islam warisan Ulama Salaf. Kyai telah mengembangkan sistem pendidikan Islam dalam bentuk pesantren; dan ketika muncul sistem sekolah, para kyai tidak secara latah ramai-ramai mendirikan sekolah, melainkan merumuskan secara kritis konsep-konsep pendidikan umum dalam sekolah yang didirikannya. Guru Wasithah lebih dari kyai pada umumnya.


(31)

28

Guru Wasithah adalah pelanjut Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan misi dan tugas kerasûlannya. Pemikiran-pemikiran dan praktek pendidikan yang dilakukan Guru Wasithah tentunya perlu digali dan dikembangkan sebagai teori pendidikan umum (khususnya untuk konsentrasi Pendidikan Agama Islam).

2. Manfaat bagi pemecahan masalah di lembaga pendidikan. Pendidikan umum yang dikembangkan dan dipraktekkan di sekolah selama ini dapat dikatakan gagal mengantarkan siswa dan mahasiswa untuk memiliki kepribadian utuh. Kasus kemorosotaan moral, perilaku kasar, ketidak-pedulian, tawuran pelajar, hingga penyalahgunaan narkotika dan zat-zat adiktif, dan ujung-ujungnya minimnya pengalaman beragama hampir semuanya terjadi di sekolah dan universitas. Wajar jika para pimpinan pendidikan yang peduli kemudian melirik praktek pendidikan umum yang dilakukan para kyai dengan memperkaya pengalaman beragama di sekolah dan universitas. Tetapi, sosok pendidikan umum yang dikonsepsikan dan dipraktekkan para kyai belum tersusun secara sistematis. Oleh karena itulah hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pengembangan pendidikan umum (khususnya Pendidikan Agama Islam) di sekolah dan universitas. 3. Manfaat bagi masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, siswa dan

mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang tentunya mendapat pengaruh-pengaruh – positif maupun negatif – dari masyarakatnya. Kehidupan siswa dan mahasiswa di masyarakat bahkan jauh lebih lama, sebelum dan sesudah waktu bersekolah. Arus globalisasi dengan jargon ‘demokrasi,


(32)

29

kesamaan jender, dan kebebasan’ telah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang mengeksploitasi nafsu-syahwat. Tiga tema berikut: fun, fashion, and food malah menjadi tema sentral globalisasi yang paling dipahami sebagian masyarakat. Dari sinilah munculnya perilaku santai dan bersenang-senang,

free love (bahkan free sex), model pakaian you can see yang

mempertontonkan aurat, serta aneka jenis makanan yang haram dan yang syubhat. Tidak semua pemimpin persekolahan peduli dengan pendidikan umum, dan tidak semua sekolah dan universitas menyediakan sarana dan kegiatan yang memadai bagi pendidikan umum. Demikian juga halnya dengan orang tua siswa dan mahasiswa, tidak semua mereka peduli dengan pendidikan umum. Di sinilah pentingnya masyarakat – melalui lembaga-lembaga pendidikan yang tersedia di masyarakat – mengadakan pendidikan umum yang memadai bagi anggota masyarakatnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penyusunan dan pengembangan program pendidikan umum di masyarakat.

E. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif. Metode penelitian dengan paradigma ini berusaha memahami dan memaknai fenomena yang terjadi secara alamiah (natural setting). Bogdan dan Biklen (1982: 31) mengatakan bahwa penelitian kualitatif lebih berusaha memahami dan menafsirkan makna dari pendapat dan perilaku yang ditampilkan manusia dalam suatu situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri; atau dalam ungkapan Nasution (1996: 5),


(33)

30

berusaha mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Artinya, paradigm kualitatif akan menggiring peneliti untuk melihat fenomena yang nyata di lingkungan penelitian dan berusaha memahami serta memberi makna terhadap rangkaian peristiwa itu.

Dengan paradigma kualitatif ini peneliti mendeskripsikan pandangan KH Muhammad Munawwar Afandi (Guru Wasithah Ilmu Syaththariah ke-48) tentang

konsep insân kâmil, kemudian mencari implikasinya terhadap pendidikan umum

di Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA).

Selanjutnya Bogdan dan Biklen (1982:90) mengatakan bahwa ciri dari paradigma kualitatif bersifat deskriptif analitik, karenanya data dari lapangan tidak dituangkan dalam bentuk statistik. Nasution (1992: 29) menambahkan, penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitik menunjukkan hal-hal berikut : (1) Penelitian ini menuturkan secara sistematis tentang data dari karakteristik

populasi atau bidang tertentu secara faktual dan cermat serta menganalisis dan menginterpretasikannya secara tepat;

(2) Penelitian ini lebih menekankan pada observasi dan suasana alamiah (natural setting). Ia mencari teori, bukan menguji teori; juga tidak menguji hipotesis dan tidak melakukan verifikatif. Penelitian deskriptif model kualitatif ini sangat berguna untuk melahirkan teori-teori tentatif.

Mengacu pada Nasution maka penelitian kualitatif tidak bermaksud menguji hipotesis, melainkan mendeskripsikan dan menganalisis data sehingga ditemukan konsep insân kâmil perspektif Syaththariah. Alwasilah (2002: 92)


(34)

31

menambahkan tentang karakteristik penelitian kualitatif, antara lain frase terkait grounded, tujuan bersifat deskriptif, peneliti sebagai instrument inti, modus Analisis induktif, dan temuan penelitian komprehensif, holistik dan ekspansif.

Selain itu, penelitian ini mengambil garapan pendidikan umum perspektif Ilmu (Tasawuf) Syaththariah. Menurut Simuh (1996: 9) penelitian tasawuf umumnya mempergunakan studi kasus dengan pendekatan fenomenologis atau verstehen, yakni grounded riset. Peneliti tasawuf, lanjut Simuh, haruslah menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Tidak mungkin cerita orang buta dapat mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat utama yang pertama, lanjut Simuh, ialah harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme; yang kedua harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakekat tasawuf itu, dan bagaimana kaitannya dengan ajaran Islam. Peneliti memenuhi persyaratan penelitian tasawuf tersebut, antara lain selama tiga tahun sebelumnya (sebelum penulisan disertasi ini) memasuki Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) kemursyidan KH A.Shohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom) secara aktif. Kemudian Ahmad Tafsir (dalam Sidang Proposal, Oktober 2008) menegaskan bahwa tasawuf dan tarekat bukanlah wacana. Karena itu studi tasawuf dan tarekat harus langsung menceburkan diri ke dunia tersebut; harus langsung merasakannya, mengalaminya, sekurang-kurangnya satu tahun. Persis seperti menikah dan berkeluarga, tidak bisa dijadikan wacana melainkan harus dialami langsung.


(35)

32

Karena itulah pendekatan penelitian yang digunakan adalah studi kasus

dan grounded research, sedangkan analisisnya menggunakan social

hermeuneutics dan metode tafsir (Tafsir Wasithah dan Tafsir al-Qarafi).

Responden utama penelitian ini adalah KH Muhammad Munawwar Afandi, Guru Wasithah Syaththariah ke-48 (juga Imâm Jamaah Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobien), dengan responden pendamping (untuk kepentingan triangulasi) adalah Ustadz Zhoharul Arifin (Wakil Wasithah) dan Prof. Dr. Bisri Affandi, MA (Ketua Yayasan Lil-Muqorrobien, mantan Rektor IAIN Sunan Giri Surabaya).

Studi ini pun bertujuan menggali efektivitas pembelajaran pendidikan umum pada lembaga pendidikan yang didirikan oleh Guru Wasithah, untuk menggali dampak pelaksanaan pendidikan umum terhadap peserta didik. Untuk mencapai tujuan ini dilakukan studi komparatif terhadap siswa SMA dan mahasiswa STT Pomosda yang menjadi murid dan bukan murid Wasithah.

F. LOKASI PENELITIAN

Lokasi utama penelitian ini di Pondok Sufi Pomosda, Jl. KH Wâhid Hasyim No. 304 Warujayeng, Desa Tanjunganom, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Perhatikan peta dalam gambar berikut:


(36)

33

Gambar 1.3

Peta Warujayeno (kota Kecamatan Tanjunoanom, Kabupaten Noanjuk) dari Jalan Raya utama Madiun-Noanjuk-Jombano

Gambar 1.4

Peta Pondok Sufi Pomosda di Warujayeno, Desa Tanjunoanom Kecamatan Tanjunoanom Kabupaten Noanjuk Jawa Timur

H. DEFINISI ISTILAH

Ada tiga istilah yang perlu mendapat penjelasan dalam judul disertasi ini, yakni: insân kâmil, implikasi pendidikan, dan Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (Pondok Sufi POMOSDA).


(37)

34

Insân Kâmil (manusia sempurna atau manusia utuh) dimaksudkan untuk menunjukkan model manusia ideal yang dikehendaki Tuhan agar dapat kembali hingga sampai dan bertemu dengan Raja Diraja (DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib) dalam keadaan bahagia. Model insân kâmil merupakan kebalikan dari manusia sesat, yakni manusia yang mata hatinya buta karena tidak mengenal Zat Tuhan Yang Al-Ghaib, sehingga di âkhirat lebih buta lagi; ketika matinya ditangkap oleh wadyabala iblis dibawa ke tempat sesat untuk disiksa; kemudian setelah itu sama-sama senasib dengan iblis dan wadyabala-nya dijebloskan Tuhan ke neraka dengan segala kesengsaraannya.

Implikasi pendidikan dimaksudkan untuk menyebutkan implikasi dari konsep insân kâmil perspektif Ilmu Syaththariah terhadap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pendidikan insân kâmil di Pondok Sufi POMOSDA.

Pondok Sufi POMOSDA didirikan oleh KH Muhammad Munawwar Afandi (Guru Wasithah ke-48 Ilmu Syaththariah). Program payung pondok ini

adalah mengembangkan insân kâmil. Lembaga pendidikan ini mengintegrasikan

keunggulan sistem pesantren dan persekolahan dalam membina kepribadian peserta didik untuk diproses menuju martabat insân kâmil, sekaligus membina peserta didik yang peduli memajukan lingkungannya sesuai bidang dan peringkat


(38)

106

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN PENELITIAN

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka pendekatan penelitian yang paling memadai menggunakan paradigma kualitatif. Metode penelitian dengan paradigma kualitatif berusaha memahami dan memaknai fenomena yang terjadi secara alamiah (natural setting). Bogdan dan Biklen (1982: 31) mengatakan bahwa penelitian kualitatif lebih berusaha memahami dan menafsirkan makna dari pendapat dan perilaku yang ditampilkan manusia dalam suatu situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri; atau dalam ungkapan Nasution (1996: 5), berusaha mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Artinya, paradigm kualitatif akan menggiring peneliti untuk melihat fenomena yang nyata di lingkungan penelitian dan berusaha memahami serta memberi makna terhadap rangkaian peristiwa itu.

Dengan paradigma kualitatif ini peneliti mendeskripsikan pandangan KH Muhammad Munawwar Afandi (Guru Wasithah Ilmu Syaththariah ke-48) tentang

konsep insân kâmil, kemudian mencari implikasinya terhadap pendidikan umum

di Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA).

Selanjutnya Bogdan dan Biklen (1982:90) mengatakan bahwa ciri dari paradigma kualitatif bersifat deskriptif analitik, karenanya data dari lapangan tidak dituangkan dalam bentuk statistik. Nasution (1992: 29) menambahkan, penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitik menunjukkan hal-hal berikut:


(39)

107

(1) Penelitian ini menuturkan secara sistematis tentang data dari karakteristik populasi atau bidang tertentu secara faktual dan cermat serta menganalisis dan menginterpretasikannya secara tepat;

(2) Penelitian ini lebih menekankan pada observasi dan suasana alamiah (natural setting). Ia mencari teori, bukan menguji teori; juga tidak menguji hipotesis dan tidak melakukan verifikatif. Penelitian deskriptif model kualitatif ini sangat berguna untuk melahirkan teori-teori tentatif.

Mengacu pada pendapat Nasution di atas, maka penelitian ini tidak bermaksud menguji hipotesis, melainkan mendeskripsikan dan menganalisis data sehingga ditemukan konsep insân kâmil perspektif Ilmu Syaththariah dan implikasinya terhadap pendidikan umum di Pondok Sufi POMOSDA. Adapun karakteristik penelitian kualitatif dikemukakan oleh Alwasilah (2002: 92) sebagaimana dalam tabel berikut:

TABEL 3.1

KARAKTERISTIK PENELITIAN KUALITATIF

Aspek Ciri khas Dalam

Penelitian Kualitatif • Fokus penelitian

• Akar filsafat • Frase terkait

• Tujuan

• Disain • Latar

• Sampel

• Pengumpulan data

• Modus Analisis

• Temuan

• Kualitas

• Fenomenologi , interaksi simbolik

• Kerja lapangan, etnografi naturalistik, grounded, subyektif.

• Pemahaman, deskripsi, temuan, pemunculan

hipotesis

• Kenyal, berevolusi dan mencuat

• Alami, akrab

• Kecil, tidak acak, teoritis • Peneliti sebagai instrumen inti • Induktif oleh peneliti


(40)

108

Selain itu, penelitian ini mengambil garapan pendidikan umum perspektif Syaththariah. Dalam epistimologi Islam, Ilmu Syaththariah dapat dikategorikan sebagai Ilmu Tasawuf. Menurut Simuh (1996: 9) penelitian tasawuf umumnya mempergunakan studi kasus dan pendekatan fenomenologis atau verstehen, yakni grounded riset. Peneliti tasawuf, lanjut Simuh, haruslah menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Tidak mungkin cerita orang buta dapat mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat utama yang pertama, lanjut Simuh lagi, ialah harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme; yang kedua harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakekat tasawuf itu, dan bagaimana kaitannya dengan ajaran Islam. Kemudian Ahmad Tafsir (dalam Sidang Proposal, Juli 2008) menegaskan bahwa tasawuf dan tarekat bukanlah wacana. Karena itu studi tasawuf dan tarekat harus langsung menceburkan diri ke dunia tersebut; harus langsung merasakannya, mengalami-nya, sekurang-kurangnya dalam waktu satu tahun. Persis seperti menikah dan berkeluarga, tidak bisa dijadikan wacana melainkan harus dialami langsung.

Jadi, penelitian ini tidak menggunakan survey dengan sampel yang banyak melainkan lebih merupakan studi kasus. Adapun untuk mendeskripsikan konsep insân kâmil dan komponen-komponen pendidikan digunakan grounded research; sementara untuk menafsirkannya digunakan hermeuneutika sosial dan metode tafsir (tafsir Wasithah dan Al-Qarafi).


(41)

109

1. Studi Kasus Perspektif Metode Kualitatif

Pendekatan studi kasus pada penelitian ini dapat disebut sebagai studi kasus prospektif-kualitatif, karena digunakan untuk keperluan penelitian dan pencarian kesimpulan yang diharapkan dapat membantu pemecahan masalah konseptual dan implementasi pendidikan umum berbasis konsep yang jelas tentang insân kâmil dan implikasinya terhadap pendidikan umum. Selama ini pendidikan diselenggarakan tanpa berangkat dari konsep yang jelas tentang “manusia”, padahal semua pakar pendidikan memiliki pandangan yang sama bahwa pendidikan adalah ‘memanusiakan manusia’.

Sevila (1993:74) mengatakan bahwa pendekatan studi kasus yang bersifat prospektif-kualitatif sangat berguna untuk meneliti, mencari kesimpulan, dan menemukan pola kecenderungan serta arah lain yang dapat digunakan dalam membuat dugaan-dugaan pertumbuhan dan perkembangan di masa yang akan datang. Melalui pendekatan studi kasus prospektif-kualitatif akan diperoleh tiga tujuan sekaligus, yakni nilai deskriptif, eksploratoris, dan eksplanatoris (Yin, 1981:45), yakni deskripsi tentang konsep insân kâmil perspektif Guru Wasithah, juga implikasinya terhadap pendidikan umum (asas-asas, tujuan, sub-stansi materi atau core curriculum, sifat-sifat pendidik, sifat-sifat peserta didik, proses pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar), serta dampak pelaksanaan pendidikan umum terhadap pembentukan insân kâmil.

Studi kasus prospektif-kualitatif digunakan juga untuk melengkapi studi kasus deskriptif-Analitik yakni mengungkapkan kemungkinan adanya kendala perbedaan lingkungan internal yang mungkin tidak berlaku bagi sekolah lain


(42)

110

karena memiliki perbedaan karakteristik. Meskipun demikian penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai model alternatif dalam upaya mencapai manusia utuh sebagai tujuan pendidikan dalam rangka pengembangan pendidikan umum pada lembaga pendidikan meskipun sedikit banyak terdapat perbedaan karakteristik, namun juga ada persamaannya.

2. Grounded Research

Pendekatan grounded research mendasarkan semua Analisisnya pada data dan fakta yang ditemui di lapangan. Jadi bukan melalui ide-ide yang ditetapkan sebelumnya. Metode ini banyak menggunakan jasa antropologi yang menolong peneliti untuk menjadi warga dari komunitas objek studi dengan tetap menjaga jarak sebagai peneliti. Dalam hal ini peneliti masuk ke komunitas pesantren untuk dapat menangkap perspektif emic. Perspektif emic maksudnya mementingkan pandangan responden. Peneliti memasuki lapangan tanpa generalisasi, seakan-akan tidak mengetahui sedikit pun persoalan, sehingga dapat menaruh perhatian yang penuh kepada konsep-konsep yang dianut responden (Nasution, 1988: 10, 34).

Metode ini pun banyak menggunakan jasa sosiologi yang menolong peneliti menjadi orang asing di kalangan komunitas sendiri. Dengan menjadi warga pesantren, perspektif emic, peneliti menggali pandangan-pandangan ’asli’ warga (keluarga dan muid-murid kyai) tanpa mereka menaruh curiga; dan dengan menjadi orang asing, peneliti menggali secara objektif pandangan mereka. Kata Peter L. Berger, secara antropologis peneliti akan menjadi “orang dalam” yang


(43)

111

tetap asing; secara sosiologis peneliti akan menjadi orang asing yang tidak mencurigakan. (Berger, 1985: 40-77).

Studi lapangan melalui wawancara mendalam (depth interview)

dilakukan secara sejak Oktober 2008 hingga Pebruari 2010. Tidaklah begitu sulit bagi peneliti untuk menjadi “orang dalam” bagi warga (keluarga dan murid-murid) Guru Wasithah (Tanjunganom, Nganjuk, Jawa Timur). Faktor-faktor yang mempermudah peneliti adalah: pertama, peneliti adalah dosen Pendidikan Agama Islam UPI. Responden mengenal UPI sebagai lembaga pendidikan tinggi kependidikan yang dikenal ’religius’.; kedua, sebagian responden pernah bahkan sering bertemu dengan peneliti, karena peneliti sering berkunjung untuk konsultasi keagamaan atau masalah-masalah lain yang menjadi subyek penelitian; dan ketiga, ada banyak cara untuk dapat segera akrab dengan keluarga dan murid-murid Guru Wasithah sehingga mereka tidak merasa curiga dengan peneliti. Sebagian mereka adalah kenalan peneliti, juga kenalan teman akrab peneliti. Dengan cara diperkenalkan dan mengetahui latar belakang peneliti (dosen Pendidikan Agama Islam UPI dan siswa S3 UPI), mereka dapat dengan cepat beradaptasi dan akrab, sehingga pandangan-pandangan emic mereka relatif mudah tercatat.

Dengan menguji konsistensi pandangan-pandangan emic mereka,

âkhir-nya studi ke arah perspektif etic dapat segera dilakukan. Selama delapan bulan pertama di lapangan, studi lebih diarahkan untuk menangkap pandangan-pandangan emic mereka; dan setelah itu (melewati delapan bulan) penggalian data dilakukan dengan perspektif etic. Perspektif etic maksudnya pandangan


(44)

112

peneliti. Peneliti menyusun sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab oleh responden. Perspektif etic adalah kebalikan dari perspektif emic. (Nasution, 1988: 34). Pada tahap ini penelitilah yang lebih aktif mengarahkan pertanyaan-pertanyaan yang minta dijawab oleh responden.

Pandangan-pandangan Guru Wasithah tentang insân kâmil dan

implikasinya terhadap pendidikan umum serta aksi-aksinya dalam pendidikan umum akan digali dalam penelitian ini melalui wawancara mendalam (depth interview) dan observasi partisipan.

B. SUMBER DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA 1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini bersifat tidak acak dan tidak terbatas tetetapi harus sesuai dengan tujuan penelitian. Sumber data cenderung bersifat informan, yakni orang yang memberikan informasi (Ensiklopedia Indonesia, 1998:34). Informan inilah yang menjadi populasi dan sampel dalam penelitian kualitatif (Sevillâ, 1993). Menurut Sevillâ (1993), juga Maleong (1991), informasi dapat pula diperoleh melalui internal sampling yakni informan dîmanfaatkan untuk berbicara, bertukar fikiran atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari subyek lainnya.

Sesuai dengan fokus penelitian, tujuan penelitian, rumusan masalah, dan pertanyaan penelitian maka responden utama dalam penelitian ini adalah KH Muhammad Munawwar Afandi (Guru Wasithah Syaththariah saat ini, ke-48), sebagai elite respondent.


(45)

113

Namun untuk beberapa kasus dan permasalahan, responden penelitian pun dipilih dari orang-orang yang paling dekat dengan responden, terutama Wakil Wasithah dan murid-murid utama Guru Wasithah. Tetapi untuk melihat dampak pendidikan dari sebuah konsep insân kâmil akan diambil juga beberapa responden murid-murid Wasithah yang sudah ngetes (sudah jadi, sudah mencapai martabat insân kâmil; murid-murid yang dalam proses ngetes; juga para siswa SMA dan mahasiswa STT Pomosda yang menjadi murid dan tidak menjadi murid Guru Wasithah (memang realitasnya ada siswa dan mahasiswa yang menjadi murid Wasithah, baik karena orang tuanya sebagai murid Wasithah atau mereka yang tertarik menjadi murid Wasithah setelah belajar di SMA atau STT Pomosda, dan ada juga yang hingga tamat di SMA atau STT Pomosda tidak menjadi murid Wasithah, sekedar belajar saja di SMA atau STT Pomosda).

Jumlah responden – di luar guru Wasithah – atau besaran sampel (sample size) lebih didasarkan untuk diperolehnya informasi secara representatif. Menurut Mantra & Kasto (1995: 150-152) ada empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan besaran sampel (sample size) dalam suatu penelitian, yakni:

1) Derajat keseragaman (degree of homogenity) dari populasi. Makin seragam populasi itu, makin kecil sampel yang dapat diambil.

2) Presisi (precicion) atau standard error yang dikehendaki dari penelitian. Makin tinggi tingkat presisi yang dikehendaki, makin besar jumlah sampel yang harus diambil. (Maksudnya, makin heterogen atau beragam anggota populasi, makin banyak jumlah sampel yang harus diambil).


(46)

114

3) Rencana analisis. Makin banyak latar belakang sosiografis responden yang akan dianalisis dengan menggunakan perhitungan statistik yang rumit, makin besar jumlah sampel yang harus diambil (agar setiap sel dari setiap matrik jangan sampai ada yang kosong atau sedikit, sehingga tidak bisa dianalisis). 4) Tenaga, biaya, dan waktu. Besarnya jumlah sampel pun, misal karena presisi

tinggi dan beragamnya latar belakang sosiografis responden, tetap harus mempertimbangkan tenaga, waktu, biaya, dan waktu.

Berdasarkan sample size dari Mantra & Kasto tersebut diambil sampel murid utama (sudah ngetes) sebanyak 6 (enam) orang; dan untuk melihat hasil pendidikan pada lembaga pendidikan yang didirikan Guru Wasithah diambil sampel 30 orang siswa SMA dan 40 orang mahasiswa STT Pomosda.

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, dengan KH Muhammad Munawwar Afandi (Guru Wasithah ke-48), sebagai elite responden.

a. Wawancara

Wawancara berkaitan dengan fokus dan pertanyaan penelitian. Menurut Nasution (1992:73) dengan teknik wawancara terkandung maksud untuk mengetahui apa yang ada dalam fikiran dan hati responden.

Wawancara dilakukan untuk menggali pandangan Guru Wasithah tentang konsep insân kâmil sehingga nantinya dapat ditarik implikasinya untuk


(47)

115

pendidikan umum. (Pedoman Wawancara dengan KH Muhammad Munawwar Afandi dapat diperhatikan dalam Lampiran 3.1 halaman 390-395).

b. Observasi dan Observasi Partisipan

Observasi dan observasi partisipan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai martabat insân kâmil, terutama di pusat (di lingkungan Pondok Sufi POMOSDA) Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk (Jawa Timur). Observasi dilakukan sejak awal-awal penelitian (Oktober 2008) hingga Pebruari 2010. Sekali-sekali observasi pun dilakukan di cabang-cabang dan ranting-ranting, terutama di Cabang Bandung, Cabang Banten, Cabang Jakarta, Ranting Cimahi, dan Ranting Sumedang.

Masalah yang diobservasi adalah: mujâhadah (peribadatan), pengajian, dan dialog-dialog hingga obrolan-obrolan antara murid-murid dengan Guru Wasithah atau pimpinan cabang maupun sesama murid.

c. Studi Dokumentasi dan Pustaka

Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan Ilmu Syaththariah dan

konsep insân kâmil perspektif KH Muhammad Munawwar Afandi menjadi bahan

khusus kajian dalam disertasi ini. Dokumen-dokumen yang dimaksud menyangkut kedelapan permasalahan tadi, yang menjadi pertanyaan dalam wawancara mendalam (depth interview).

Buku-buku dan dokumen utama yang diperlukan untuk disertasi ini, yang berkaitan dengan fokus permasalahan studi terutama buku-buku atau artikel-artikel yang ditulis oleh Guru Wasithah, juga tulisan Wakil Guru Wasithah (Ustad


(48)

116

Zhoharul Arifin), dan murid-murid utamanya yang mendapatkan restu dari Guru Wasithah (Prof. Dr. Bisri Afandi, Prof. Dr. Khozin Afandi, dan Ustad Roni Jamaluddîn). Perhatikan Daftar Pustaka.

Selain itu, untuk mengumpulkan data tentang dampak pendidikan umum yang diselenggarakan lembaga persekolahan (SMA dan STT) terhadap siswa dan mahasiswa digunakan kuesioner, tetapi tetap berpijak pada pandangan para guru dan dosen tentang karakter siswa dan mahasiswa yang dijadikan responden dalam penelitian ini. (Kuesioner bisa dilihat pada Lampiran 3.2 halaman 396-397).

C. ANALISIS DAN PEMAKNAAN DATA

Maleong (1991: 198) mengatakan bahwa essensi analisis data dalam penelitian kualitatif adalah mereduksi data, karena data yang tersedia melimpah ruah. Menurut Nasution (1988: 126) analisis data kualitatif adalah proses menyusun data ke dalam tema dan kategori agar dapat ditafsirkan dan diinterpretasikan. Oleh karena itu untuk proses analisis data kualitatif diperlukan kreativitas peneliti dalam menyusun dan mengolah data tersebut sehingga benar-benar bermakna.

Pada penelitian kualitatif, analisis data secara umum dipilah kepada tiga tingkatan, yakni :

1. Analisis Pada Tingkat Awal

Pertama, rancangan untuk mereduksi data; kedua, membangun dan memilih kerangkan konseptual; ketiga, membuat pertanyaan penelitian; keempat,


(49)

117

memilih dan menentukan nara sumber; dan kelima, menentukan kasus dan instrumentasi.

Pada tahap awal sifatnya masih terbuka, berorientasi induktif walaupun pendekatannya lebih deduktif. Analisis dilakukan untuk memilih, memperjelas variabel-variabel hubungan serta memperhatikan kasus-kasus lain. Upaya ini disebut kerja kreatif peneliti kualitatif (Huberman and Miles, 1994:431). Analisis data pada tahap awal dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen tertulis berupa buku dan artikel dalam Majalah Tasawuf Plus AFKAAR, kemudian dari observasi dan wawancara awal dengan murid-murid Guru Wasithah, baru kemudian wawancara dengan Guru Wasithah.

2. Analisis Pada Saat Pengumpulan Data Lapangan

Pada tahap ini analisis data dilakukan secara terus menerus sejak pengumpulan data dimulai (Oktober 2008). Setiap data yang diperoleh dianalisis kebermaknaannya serta diklasifikasikan sesuai dengan fokus dan pertanyaan penelitian yang berkaitan “konsep insân kâmil perspektif Guru Wasithah dan implikasinya terhadap pendidikan umum”, sedangkan data yang tidak relevan diabaikan.

Proses analisis selama pengumpulan data sehingga memasuki proses pengolahannya dapat dilihat pada gambar di halaman berikut:


(50)

118

Gambar 3.1

Proses Analisis pra pengolahan data Keterangan Gambar :

Mulai kegiatan awal menelusuri data melalui observasi, observasi partisipan, wawancara mendalam (depth interview), studi dokumentasi, dan studi pustakan yang berkaitan dengan penelitian. Data yang diperoleh diidentifikasi dan dikategorikan, selanjutnya analisis kategori diuji keabsahannya melalui trianggulasi termasuk data negatif, bila data yang diperoleh dipandang sudah jenuh disimpan pada kartu satuan Analisis.

Berdasarkan hasil analisis kelompok data empirik serta data penunjang lainnya, kemudian dikaitkan dengan teori yang berlaku, pedoman resmi, Analisis tujuan, materi, proses, dan evaluasi.

Atas dasar hal tersebut, berkaitan dengan studi ini maka yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut di lakukan langakah-langkah berikut :

(1) Mendeskripsikan agama Islam perspektif Guru Wasithah, sehingga tampak jelas persamaan dan perbedaannya dengan agama Islam perspektif umumnya kaum muslimin.

(2) Mendeskripsikan hasil telaah teoritis tentang tasawuf dan tarekat. PROSES

sejak AWAL

Observasi, obser-vasi partisipan, depth interview, diskusi, dokumen, pustaka

Identifikasi , kategori, dan

analisis data Triangulasi

Data Jenuh Kartu Satuan

Analisis AKHIR


(1)

370

tema); (4) dalam proses pendidikan menonjolkan penyadaran sebagai al-faqir; (5) tindakan terhadap siswa/mahasiswa menonjolkan mahabbah dan kekeluargaan yang suci; (6) dalam menghukum, memilih jenis hukuman yang dapat meningkatkan intelektualitas, dengan didasari rasa mahabbah; dan (7) siap membimbing siswa/mahasiswa siang dan malam (tidak dibatasi waktu).

Kemudian direkomendasikan pula, bahwa guru dan dosen agama hanya membimbing siswa dan mahasiswa yang potensial saja untuk diproses menuju martabat insân kâmil. Sementara bagi siswa dan mahasiswa yang puas dengan model keberagamaan orang tua, leluhur, dan mayoritas; atau mereka yang taat beragama tetapi fanatik mazhab, sebaiknya disadarkan bahwa al-haqqu min

robbika walâ takuunanna minal mumtarin. Perlu diketahui bahwa proses

penyadaran ini ‘sangat sulit’. Karena itu diperlukan kesabaran, keyakinan yang kokoh bahwa hidayah itu datangnya dari Allâh, juga tidak lupa selalu memohon welas asih dan pertolongan Allâh serta syafaat RasûlNya.

Adapun bagi siswa dan mahasiswa yang tidak potensial, yakni mereka yang masih mengumbar nafsu dan syahwat, masih memelihara watak ‘aku’, dan (pura-pura) tidak tahu kewajiban, kiranya perlu dibuat program khusus untuk mengurangi (syukur-syukur menghilangkan) watak-watak yang buruk itu, yakni menundukkan nafsu amarah dan nafsu lawwamah-nya.

5. Rekomendasi bagi Siswa dan Mahasiswa

Penelitian ini menemukan bahwa proses menuju martabat insân kâmil hanya dilakukan oleh orang-orang yang telah ditarik oleh fadlol dan rahmatNya, karena memperoleh hidayahNya. Oleh karena itu hanya siswa dan mahasiswa


(2)

371

yang potensial saja yang dapat memproses diri menuju martabat ini. Mereka yang mengumbar nafsu dan syahwat, atau taat beragama tetapi sangat fanatik mazhab, sama sekali tidak potensial untuk berproses menuju martabat insân kâmil.

Kepada siswa dan mahasiswa yang potensial, yakni mereka yang selalu menghindari dosa-dosa besar, menghindari dosa-dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus, gemar beribadah, selalu merasa kurang dengan ibadahnya (sehingga terus-menerus bertaubat), rendah hati, menundukkan nafsu dan watak ‘aku’ (tidak ngaku bisanya, pintarnya, hebatnya, dan sebagainya; melainkan merasa di-bisa-kan, di-pintar-kan, di-hebat-kan oleh Allâh), tidak fanatik mazhab, dan selalu mencari al-haqqu min robbika; maka kepada siswa dan mahasiswa ini direkomendasikan untuk mempelajari Ilmu Syaththariah dari Guru Wasithah yang hak dan sah, kemudian diproses menuju martabat insân kâmil.

6. Rekomendasi bagi Masyarakat

Penelitian menemukan bahwa pengajaran agama selama ini hanya di pinggiran, tidak pernah sampai ke ’inti’ (tauhid yang murni). Dengan beragama di tepi, maka tidak mungkin dapat kembali kepada Allâh dengan selamat dan bahagia. Karena itu bagi pemuka agama, organisasi keagamaan, dan para muballigh, direkomendasikan hal-hal berikut:

Pertama, Ilmu Syaththariah dengan segala penjabaran ajarannya

seyogianya dijadikan bahan kajian. Apa pun hasilnya pasti bermanfaat, karena Ilmu Syaththariah sebenarnya Al-Quran itu sendiri. Jika pandangannya benar, maka manfaatnya sangat besar, yakni mengantarkan kepada ajaran yang benar, kepada ’inti’ Islam. Tetapi jika tidak sependapat, masih bermanfaat pula karena


(3)

372

telah mengkaji Al-Quran.

Kedua, Ilmu Syaththariah mengingatkan bahwa jalan kembali kepada

Tuhan itu sangat berat dan banyak ringtangannya. Oleh karena itu diperlukan program pembimbingan keagamaan yang benar, serius, kesabaran yang tinggi,

mujâhadah secara sungguh-sungguh (jihâd akbar), dengan selalu memohon fadlol

dan rahmatNya serta syafaat RasûlNya.

Ketiga, diperlukan kearifan yang tinggi, jangan sampai pemuka agama

dan para muballigh malah mengikuti selera masyarakat banyak. Umumnya manusia, perspektif Ilmu Syaththariah adalah enggan mengikuti agama yang benar, lebih senang mengikuti keberagamaan yang ringan-ringan, atau keberagamaan yang memberikan kepuasan nafsu dan duniawi. Oleh karena itu jangan heran masyarakat banyak lebih menyukai pengajian yang enak didengar dan memuaskan nafsunya. Sebagai pemuka agama, pertanggung-jawaban kepada Tuhan harus lebih diutamakan, bahkan segala-galanya. Para Nabi dan para Rasûl telah memberikan teladan. Mereka sama sekali tidak berambisi menarik pengikut sebanyak-banyaknya. Mereka lebih memilih tabligh yang benar, walau pada akhirnya dibenci oleh masyarakat, difitnahnya, diusirnya, bahkan tidak segan-segan hingga dibunuhnya.

7. Rekomendasi bagi Penelitian Berikutnya

Hasil penelitian ini, baik menyangkut konsep insân kâmil, implikasi konsep insân kâmil dalam pendidikan umum, maupun ajaran Islam perspektif Ilmu Syaththariah, sangat terbuka bagi peneliti berikutnya untuk mengujinya yang belum terjawab dalam penelitian ini.


(4)

373

Pertama, beberapa ajaran pokok Ilmu Syaththariah berbeda secara

kontras dengan keyakinan kaum muslimin pada umumnya, yakni: (1) Syahâdat bukanlah sekedar ’mengucapkan’ kalimat syahâdat itu, melainkan harus benar-benar ’menyaksikan’ Zat Tuhan Yang Al-Ghaib; (2) untuk dapat mengenal Zat Tuhan Yang Al-Ghaib tidak bisa diketahui lewat bacaan, perenungan, ataupun kontempelasi, melainkan harus dengan metode ’bertanya’ kepada Ahladz Dzikri (=Rasûl atau Wasithah); (3) Kenabian memang sudah ditutup oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi ’kerasûlan’ masih terus berlangsung hingga sekarang dan sampai kiamat nanti. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi bagi semesta alam. Tetapi karena umur beliau terbatas, maka misi dan tugas kerasûlannya dilanjutkan oleh wakil-wakilnya hingga sekarang dan sampai kiamat nanti; (4) untuk memahami Al-Quran dan ajaran Islam tidak bisa dengan ijtihad, karena banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang mutasyâbihât (yang menurut Al-Quran hanya dipahami oleh Allâh, dengan celân terhadap orang yang berani men-ta`wil -kannya), karena ijtihad tidak bisa menembus ayat-ayat mutasyâbihât; padahal Al-Quran itu pedoman bagi manusia, terutama bagi orang-orang yang bertakwa. Hanya dengan belas kasihNya, Allâh SWT memilih WakilNya (Rasûlullah atau Wasithah) yang dikehendaki dipahamkan dengan Al-Quran; (5) jin itu seluruhnya sesat/kâfir dan menyesatkan manusia. Dengan trik-triknya menciptakan pandangan ’baik’ pada setiap pandangan dan perbuatan manusia yang tidak sejalan dengan Tuhan, maka trik-trik negatif jin itu harus dikenali dengan baik, dan kita harus selalu memohon perlindungan dari fitnahnya bangsa jin dan bangsa syetan; dan (6) seseorang tidak mungkin mencapai insân kâmil kecuali dengan


(5)

374

selalu itba` (taat, patuh, manut, nderek) kepada Guru Wasithah.

Baik untuk pemahaman Islam yang benar ataupun untuk pengembangan insân kâmil, pandangan-pandangan Guru Wasithah itu perlu dikaji-ulang. Ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang dikemukakan oleh Guru Wasithah – yang disebut-sebutnya sebagai ’inti’ dan ’kunci’ sangat terbuka untuk dikaji-ulang. Jika menghasilkan pendapat yang sama, artinya al-haqqu min robbika telah benar-benar ditemukan. Tetapi, setelah telaah kritis tetap menghasilkan yang berbeda, artinya pandangan Guru Wasithah itu telah memperkaya khazANAh Islam dan kaum muslimin.

Sebenarnya ada beberapa cara untuk menguji kebenaran seorang Wasithah sebagaimana menguji kebenaran seorang Rasûl, yakni: (1) Rasûl adalah Ahladz Dzikri, yakni kenal Zat Tuhan Yang Al-Ghaib dan memiliki Ilmu Zikir; (2) Rasûl dipahamkan dengan Al-Quran karena mereka adalah al-muthohharûn – yang disucikan oleh Tuhan, sehingga bisa diuji pemahamannya terhadap Al-Quran (yakni dengan mengkaji secara kritis tetapi jujur pandangan-pandangan Wasithah, baik terhadap tulisan-tulisan beliau maupun langsung berdiskusi dengan beliau); (3) Rasûl itu selalu disertai mu`jizat yang bisa mengalahkan seluruh kekuatan yang dibangsakan mu`jizat, seperti karomah, sihir, dan karomah palsu (ini pun bisa diuji, terutama oleh orang yang merasa punya karomah atau sihir); dan (4) Rasûl itu siap ber-mubâhalah, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan kaum Nasrani Najran.

Kedua, disertasi ini telah menemukan pokok-pokok ajaran Islam dan


(6)

375

Munawwar Afandi, juga telah menemukan model konseptual pendidikan untuk mencapai martabat insân kâmil, juga telah menemukan profil murid-murid Wasithah yang sudah mencapai martabat insân kâmil, dan telah menemukan efektivitas model konseptual pendidikan untuk mencapai martabat insân kâmil yang digagas Guru Wasithah pada lembaga pendidikan yang didirikan beliau dan di sekitar tempat tinggal beliau.

Tetapi penelitian ini tidak mensurvey peserta didik pada lembaga pendidikan yang didirikan beliau di tempat-tempat yang jauh, terlebih-lebih lagi pada lembaga pendidikan di luar lembaga pendidikan yang didirikan oleh Guru Wasithah. Oleh karena itu studi ini terbuka bagi peneliti berikutnya untuk menguji konsistensi efektivitas model konseptual pendidikan untuk mencapai martabat insân kâmil yang digagas Guru Wasithah itu di lembaga pendidikan yang tidak secara langsung dibimbing oleh beliau, atau pada lembaga pendidikan yang tidak didirikan oleh beliau. Tetapi yang terakhir ini harus dilakukan secara eksperimental, atau sekurang-kurangnya semi eksperimental.