Modul Pembelajaran Matematika Tematik In

  

Modul Matematika Tematik Integratif

Berbasis Higher Order Thinking Menyongsong Kurikulum 2013

a b

  

Arifin Riadi , Rolina Amriyanti Ferita

a

  Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Jl. Colombo no.1 Karangmalang Yogyakarta,

  b

  Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Jl. Colombo no.1 Karangmalang Yogyakarta,

  ABSTRAK

Penerapan kurikulum 2013 sudah sewajarnya didukung dengan berbagai perangkat

pembelajaran yang secara aktif mengembangkan potensi peserta didik, ini dikarenakan setiap peserta didik memiliki hak yang sama untuk berkembang agar siap menghadapi perkem- bangan dunia. Salah satu perangkat pembelajaran yang memiliki andil besar adalah modul pembelajaran. Modul ini dapat dibuat oleh guru sendiri, dosen, atau instansi terkait. Modul yang dikembangkan sebaiknya mengadopsi konsep tematik-integratif yang tidak hanya ter- kait dengan penerapan matematika. Permasalahan soal yang dimuat juga harus berbasis problem solving serta variasi soal disesuaikan dengan taksonomi kognitif Bloom agar mem- biasakan siswa berpikir tingkat tinggi (higher order thinking).

  Kata kunci: Modul Pembelajaran, Tematik-Integratif, Problem Solving, Higher Order Thinking

Implementation of curriculum 2013 has been appropriately supported with various

learning set which actively develop students’s potency, this because of every students have equal right to evolve in order to be ready to face the growth of world. One of the learning set which have big impact is learning module. This module can be made by teachers themselves, lecturer, or relevant institution. Developed module should adopt a thematic-integrative con- cept which is not only related to the application of mathematics. Problems on that module also should be based on problem solving, and problems variation should be adjusted with cognitive taxonomy of Bloom, to make students familiar with higher order thinking.

  Kata kunci: Learning Module, Thematic-Integrative, Problem Solving, Higher Order Thinking

  1

  PENDAHULUAN

  Pendidikan di Indonesia dengan ber- bagai macam bentuk kurikulum yang disem- purnakan dari satu periode ke periode beri- kutnya memang diperlukan, seperti halnya dengan kurikulum KTSP yang akan disem- purnakan menjadi kurikulum 2013. Kuriku- lum adalah seperangkat rencana dan penga- turan mengenai tujuan, isi, dan bahan pela- jaran serta cara yang digunakan sebagai pe- doman penyelenggaraan kegiatan pembela- jaran untuk mencapai tujuan pendidikan ter- tentu (PP no.19 tahun 2005 pasal 1 point 13). Ada beberapa faktor yang mendasari disem- purnakan kurikulum KTSP, salah satunya adalah pemasukan unsur tematik-integratif karena kurangnya relasi antara apa yang sis- wa pelajari di sekolah dengan apa yang me- reka hadapi di masyarakat. Ini dapat dilihat dari fakta di lapangan yang menunjukkan ku- rangnya antusiasme siswa dalam belajar.

  Tematik integratif, yakni pembela- jaran yang didasarkan pada satu tema dan saling terkait atau terpadu dengan mata pela- jaran lain (SMP-SMA). Ini diharapkan mampu menambah antusiasme siswa dalam belajar yang berbuah pada peningkatan kom- petensi siswa. Kompetensi yang diharapkan bisa maksimal jika didukung dengan lingkungan belajar yang kondusif. Salah sat- unya dengan memberikan modul pembela- jaran yang memaksimalkan potensi siswa. Pada kenyataannya pendidikan di Indonesia aspek pengetahuan tingkat rendah (Ke- mendikbud, 2013: 10), sedangkan setiap siswa memiliki hak yang sama untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Un- tuk itu diperlukan modul pembelajaran yang tidak hanya tematik-integratif tetapi juga berbasis higher order thinking (HOT).

  Tematik Integratif

  Kurikulum terpadu atau integratif yang saat ini akan diterapkan di Indonesia adalah untuk memecahkan berbagai masalah kurikulum yang ada dalam bidang pen- didikan. Keterpaduan ini dikaitkan dengan tema, sehingga sering kita kenal dengan kurikulum tematik integratif. Dalam matem- atika yang tematik, pembelajaran diseleng- garakan hanya di sekitar satuan tema saja. Tematisasi secara umum mengacu kepada rujukan tema yang proses pengolahan wa- cana saling terhubung. (Perfetti & Goldman, 1975: 1).

  Menurut Fogarty (1991: 61-65) ter- dapat 10 cara dalam merancang kurikulum agar pembelajaran peserta didik lebih bermakna, yaitu : fragmented, connected,

  nested, sequenced, shared, webbed, threaded, integrated, immersed, networked.

  Salah satu rancangan kurikulum adalah model terpadu (integrated model), meru- pakan pendekatan lintas disiplin ilmu yang disusun menjadi satu sehingga menemukan keterampilan, konsep, dan sikap. Integrasi

  Higher Order Thinking (HOT)

  penyaringan ide-ide terkait isi mata pela- jaran. Kelebihan model terpadu adalah pe- serta didik dapat dengan mudah mengaitkan materi dari beberapa mata pelajaran se- hingga belajar lebih menyeluruh dan bermakna mendalam. Keterpaduan ini dapat disatukan dalam satu tema menjadi tematik integratif. Seiring perkembangan teknologi sekarang, semakin berkembang juga pembe- lajaran yang ada, begitu pula materi yang di- ajarkan di sekolah, sehingga tidak memu- ngkinkan bagi siswa untuk mempelajari ma- teri tersebut hanya dengan hapalan dan penggunaan rumus semata. Ini yang menjadi alasan kenapa selain tematik integratif juga perlu kolaborasi dengan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) atau disingkat HOT.

  Seperti yang dijelaskan Thomas dan Glenda (Thinking Out Loud: 1) bahwa HOT

  HOT oleh peserta didik melibatkan transformasi informasi dan ide. Transformasi ini terjadi ketika peserta didik meng- gabungkan fakta dan ide-ide kemudian mensintesis, menggeneralisasi, menjelaskan, berhipotesis atau sampai pada beberapa kes- impulan dan penafsiran. Memanipulasi in- formasi dan ide-ide melalui proses ini memungkinkan peserta didik untuk memec- ahkan masalah, mendapatkan pemahaman dan menemukan makna baru. Ketika peserta didik terlibat dalam pengembangan penge- tahuan, unsur ketidakpastian diperkenalkan ke dalam proses pembelajaran dan hasil tidak selalu dapat ditebak, dengan kata lain, tenaga pendidik tidak yakin apa yang akan peserta didik hasilkan. Dalam membantu pe- serta didik membangun pengetahuan mereka sendiri, tugas instruksional utama tenaga pendidik adalah untuk menciptakan kegiatan atau lingkungan yang memungkinkan mereka mendapat kesempatan untuk terlibat dalam HOT (Department of Education, Queensland, 2002: 1). Tetapi kenyataan yang ada menunjukkan bahwa tenaga pen- didik masih kesulitan dalam mengidenti- fikasi serta membuat soal yang dapat men- gukur HOT peserta didik (Thompson, 2008: 98).

  • sebagaimana keterampilan lain - dapat dipelajari, serta keterampilan HOT dapat dit- ingkatkan dengan berlatih. Melihat fakta HOT tersebut tentu merupakan kabar gem- bira bagi tenaga pendidik untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk mengembangkan dan meningkatkan keter- ampilan HOT peserta didik. Langkah per- tama dalam mengembangkan keterampilan HOT adalah mengenal lebih jauh tentang HOT itu sendiri, sehingga tenaga pendidik kepada peserta didik, serta memberitahu pe- serta didik kapan harus menggunakan HOT (Thomas dan Glenda, Thinking Out Loud: 1).

  Salah satu cara yang dapat digunakan dalam identifikasi dan pembuatan soal ber- basis HOT adalah dengan beracuan pada Taksonomi Bloom yang sudah direvisi untuk ranah kognitif. Ini meliputi 6 level berpikir dari yang paling dasar sampai yang paling abstrak, yaitu mengingat (remembering), memahami (understanding), menggunakan (applying), menganalisa (analysing), menge- valuasi (evaluating), dan membuat (crea-

  ting), dimana yang dinamakan HOT adalah

  3 level terakhir, yaitu analysing, evaluating, dan creating. Pada level remembering, soal yang dibuat hanya meminta peserta didik berpikir untuk mengambil informasi dalam satu langkah dan mengkomunikasikannya baik lisan maupun tertulis secara apa adanya. Contohnya yaitu meminta peserta didik un- tuk menyebutkan rumus keliling dan luas lingkaran. Untuk level understanding, peser- ta didik sudah diminta untuk menjelaskan- nya menggunakan pemikiran mereka sendiri, disamping pengambilan informasi yang juga satu langkah (simple). Sebagai contoh me- minta peserta didik menjelaskan perbedaan antara luas lingkaran dan keliling lingkaran. Selanjutnya level applying, yaitu soal yang menuntut peserta didik menggunakan rumus yang sudah dipelajari untuk “langsung” di- gunakan tanpa modifikasi. Contohnya seper- ti meminta peserta didik mencari luas dan keliling lingkaran jika diketahui jari-jarinya. Diatasnya adalah level analysing, yaitu level dar menggunakan rumus yang ada dalam menyelesaikan permasalahan tetapi menun- tut mereka melakukan pencarian informasi yang lain agar bisa menemukan solusinya, maksudnya adalah proses berpikir yang di- perlukan lebih dari satu langkah. Contohnya meminta peserta didik mencari keliling ling- karan jika diketahui luas lingkaran, atau soal cerita yang menuntut siswa menggabungkan dan mencari informasi lain agar dapat mene- mukan solusinya. Level setelahnya yaitu

  evaluating, level yang menuntut peserta di-

  dik memberikan penilaian terhadap suatu kondisi permasalahan yang diberikan, di- mana peserta didik menentukan apakah itu benar atau salah, ya atau tidak, serta membe- rikan argumennya atas pemilihan jawaban tersebut. Contohnya meminta peserta didik untuk menentukan apakah dua lingkaran itu sama jika yang satu diketahui luasnya dan yang satu lagi diketahui kelilingnya, kemudi- an meminta peserta didik memberikan pen- jelasan mengenai jawaban mereka tersebut. Level tertinggi adalah creating, yaitu level yang mengharapkan peserta didik membuat sesuatu hal atau rumus baru, yang belum pernah dijelaskan secara gamblang oleh te- naga pendidik. Contohnya yaitu meminta pe- serta didik mencari hubungan matematis an- tara luas dengan keliling lingkaran (Wijaya, Mengetahui Level Soal Matematika dengan Taksonomi Bloom: 2-8).

  Problem Solving

  Problem merupakan situasi yang

  mecahkannya dan metode tersebut diketa- hui peserta didik, 2) problem yang belum diketahui prosedur pemecahannya oleh pe- serta didik, 3) problem yang sama sekali belum diketahui metode pemecahannya.

  dalam meningkatkan potensi peserta didik tersebut karena menuntut mereka untuk ber- pikir kritis dalam memecahkan permasalah- an non-rutin yang diberikan. Semua ini dapat dirangkum dalam satu kesatuan yang utuh, yaitu modul pembelajaran.

  problem solving merupakan salah satu opsi

  Kurikulum 2013 mengacu pada tematik integratif, dengan bertujuan untuk lebih memberikan makna dari setiap pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik sehing- ga antusiasme dalam belajarpun meningkat. Ini akan lebih bagus lagi jika diiringi dengan pemberian soal yang memotivasi kemampu- an berpikir tingkat tinggi (HOT) mereka, dan

  KESIMPULAN

  ra induktif dengan memeriksa penyelesaian beberapa masalah, secara dialektis dengan memeriksa menurut proses atau prosedur, dan secara ekspositori dengan menjelaskan langkah-langkah dalam pemecahan masa- lah.

  solving juga terdapat tiga cara, yaitu: seca-

  Maka problem dalam matematika adalah soal-soal non-rutin yang belum diketahui prosedur pemecahannya. Proses problem

  lem yang telah terdapat metode untuk me-

  dihadapi seseorang, membutuhkan peme- cahan dan cara untuk menuju kepada pe- nyelesaian tidak segera diketahui. (Posa- mentier dan Krulik, 1998: 1). Sejalan de- ngan yang telah diungkapkan oleh Mar- tinez dan Michael E. (1998: 1) bahwa

  Kesenjangan antara kesulitan dan solusi juga merupakan problem. Kesen- jangan sendiri dapat disebabkan oleh ling- kungan maupun individu (Gorman, 1974: 293). Gorman (1974: 293-294) menyata- kan ada tiga jenis problem, yaitu: 1) prob-

  problem solving adalah cara mengajar.

  berbeda, yaitu 1) problem solving adalah subjek untuk belajar dan dalam dan dari diri sendiri, 2) problem solving merupakan pendekatan untuk masalah tertentu, dan 3)

  solving dapat dianggap dalam tiga jenis

  satu bagian dari HOT, karena menuntut sis- wa berpikir kritis dalam mencari penyele- saian dari masalah tersebut. Menurut Por- samentier dan Krulik (1998: 3) problem

  Problem solving merupakan salah

  bergerak menuju solusi ketika algoritma untuk mencapai solusi belum diketahui.

  problem solving merupakan proses yang

  Buller, H., Hoggart, K. (1994a), New drugs for acute respiratory distress syndro- me, New England J Med, 337(6) : 435–439.

  Buller, H., Hoggart, K. (1994b), The social integration of British home owners into French rural communities, J Ru- ral Studies, 10(2) : 197–210. Department of Education. (2002). A guide to

  lem-solving strategies for efficient and elegant solution:A resource for the mathematics teacher. Thousand Oaks: A Sage Publications Company.

   Diak-

  

  tika dengan Taksonomi Bloom, Seri Taksonomi Bloom untuk Pemetaan.

  Wijaya, P. W. Mengetahui Level Soal Matema-

  onal Electronic Journal of Mathemat- ics Education, 3(2): 96-109.

  Thompson, T. (2008). Mathematics Teacher’s Interpretation of Higher-Order Thin- king in Bloom’s Taxonomy. Internati-

  king: Thinking Out Loud. . Diakses tanggal 28 September 2012.

  Sekretariat Negara. Thomas, A., & Glenda, T. Higher Order Thin-

  intah No.19 Tahun 2005 Tentang Stan- dar Nasional Pendidikan. Jakarta:

  Republik Indonesia. (2005). Peraturan Pemer-

  sity of Pittsburgh. Posamentier, A.S. & Krulik, S. (1998). Prob-

  Productive Pedagogies: Classroom reflection manual. The State of Quee-

  course functions of thematization and topicalization. Washington: Univer-

  Perfetti, C.A., & Goldman, S.R. (1975). Dis-

  Juni 2013. Martinez & Michael. (1998). What is prob- lem solving?. US: Phi Delta Kappa.

  in the Teaching of Mathematics The- matically. Jurnal diakses tanggal 4

  Company. Handal, B., & Bobis, J .. Instructional Styles

  classroom learning: An inductive ap- proach. Columbus: Merril Publishing

  Gorman, R. M. (1974). The Psychology of

  Curricula. Palatine: Skylight Publish- ing.

  zona: Education Policy Analysis Arc- hives. Fogarty, R. (1991). How to Integrate The

  a Theory of Thematic Curricula: Constructing New Learning Environ- ments for Teachers & Learners. Ari-

  nsland: Brisbane Albert St. Freeman, C & Sokoloff, H.J. (1995). Toward

  ses tanggal 11 Mei 2013.