Characterization of protoxin protein and chitinase enzyme from indigenous isolates Bacillus thuringiensis

63

KARAKTERISASI PROTEIN PROTOKSIN DAN
ENZIM KITINASE YANG DIHASILKAN OLEH
ISOLAT LOKAL Bacillus thuringiensis

MAISYA ZAHRA AL BANNA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

49

RINGKASAN

MAISYA ZAHRA AL BANNA. Karakterisasi protein protoksin dan enzim
kitinase yang dihasilkan oleh isolat lokal Bacillus thuringiensis. Dibimbing oleh
NISA RACHMANIA MUBARIK dan YADI SURYADI.
Kajian mengenai B. thuringiensis banyak terfokus pada protein protoksin,

namun potensinya sebagai penghasil enzim kitinolitik tidak banyak dieksplorasi.
Kemampuan B. thuringiensis dalam menghasilkan enzim kitinase sering dikaitkan
dengan peningkatan toksisitas galur terhadap serangga uji. Penelitian ini bertujuan
untuk memproduksi kitinase, mengukur aktivitasnya, dan melakukan karakterisasi
dari kitinase isolat lokal B. thuringiensis Lot II dan B. thuringiensis 47,
dibandingkan dengan isolat B. thuringiensis subsp. pakistani.
Pengamatan pertumbuhan isolat B. thuringiensis terlebih dahulu diamati
menggunakan media selektif, demikian juga dengan pengukuran produksi
protoksin selama 36 jam inkubasi. Konsentrasi protein protoksin diukur dengan
metode Bradford. Hasil menunjukkan kultur memasuki fase stasioner pada jam
ke-21, sementara itu produksi protoksin tertinggi diperoleh pada jam ke-24.
Selanjutnya dilakukan pengamatan pertumbuhan, produksi protoksin dan enzim
kitinase pada media produksi kitinase yang mengandung 0,3% koloidal kitin. Uji
aktivitas enzim ditentukan berdasarkan metode Splinder, yang diamati setiap 3
jam selama 36 jam inkubasi. Pengamatan morfologi isolat dilakukan dengan
pewarna Coommasie Brilliant Blue G250 menggunakan mikroskop cahaya.
Tiga isolat B. thuringiensis menunjukkan kecenderungan untuk mengalami
kenaikan jumlah sel (CFU/ml) sejak awal inokulasi. Pertumbuhan logaritmik
B. thuringiensis Lot II dan B. thuringiensis 47 pada jam ke-33, sementara itu
penurunan jumlah sel terjadi pada interval jam ke-54 dan 72, sedangkan isolat

B. thuringiensis subsp. pakistani terjadi sampai dengan jam ke-36. Produksi
protoksin isolat B. thuringiensis Lot II dan B. thuringiensis 47 memproduksi
protoksin sejak awal inkubasi, meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah,
sedangkan protoksin isolat B. thuringiensis subsp. pakistani terdeteksi mulai jam
ke-3. Ketiga isolat lokal menghasilkan protein protoksin tertinggi pada jam ke-36
waktu inkubasi.
Enzim kitinase dihasilkan isolat B. thuringiensis Lot II pada jam ke-12
dengan nilai 0,026 U/ml, sedangkan B. thuringiensis 47 dan B. thuringiensis
subsp. pakistani pada jam ke-9 dengan nilai aktivitas berturut-turut 0,00700 U/ml
dan 0,00025 U/ml. Aktivitas kitinase isolat B. thuringiensis Lot II dan 47
optimum menghasilkan kitinase pada jam ke-21 dengan nilai 0,115 U/ml dan
0,058 U/ml, sedangkan isolat B. thuringiensis subsp. pakistani optimum pada jam
ke-24 dengan nilai 0,049 U/ml. Penurunan produksi enzim kitinase terjadi setelah
melewati waktu optimum, yaitu sampai akhir waktu inkubasi pada jam ke-36
Suhu optimum kitinase isolat B. thuringiensis Lot II diperoleh pada suhu
o
50 C, dan 35oC untuk B. thuringiensis 47, sedangkan B. thuringiensis subsp.
pakistani diperoleh pada suhu 40oC. pH optimum isolat B. thuringiensis Lot II
diperoleh pada pengujian pH 6,0, dan pH 5,0 untuk isolat B. thuringiensis 47.
Aktivitas kitinase isolat B. thuringiensis subsp. pakistani tertinggi diperoleh pada

pengujian pH 6,0 dan 7,5.

50

Pemekatan enzim menggunakan amonium sulfat diperoleh aktivitas
kitinase tertinggi B. thuringiensis Lot II diperoleh pada pemekatan enzim 80%
dengan nilai 0,013 U/ml, 50% untuk isolat B. thuringiensis 47 dengan nilai
0,17 U/ml, serta pemekatan enzim 20% dengan nilai 0,017 U/ml untuk isolat
B. thuringiensis subsp. pakistani. Konsentrasi protein tertinggi diperoleh pada
pemekatan amonium sebanyak 60% sebesar 0,522 mg/ml untuk isolat
B. thuringiensis Lot II dan 0,693 mg/ml untuk B. thuringiensis 47. Sedangkan
pemekatan enzim mencapai 80% akan menghasilkan protein berkonsentrasi
0,336 mg/ml untuk isolat B. thuringiensis subsp. pakistani. Berdasarkan
perhitungan aktivitas spesifik kitinase hasil pemekatan, diperoleh nilai tertinggi
sebesar 0,2330 U/ml (30%) untuk B. thuringiensis Lot II, 0,1220 U/ml (40%)
pada isolat B. thuringiensis 47, dan 0,1735 U/ml (20%) untuk B. thuringiensis
subsp. pakistani. Puncak aktivitas spesifik kitinase hasil pemekatan selanjutnya
digunakan untuk mengukur berat molekul protein enzim menggunakan
SDS-PAGE. Hasil pengukuran berat molekul protein setiap isolat menggunakan
SDS PAGE menunjukkan terdapatnya kandidat pita yang diduga merupakan pita

protein protoksin dengan berat molekul 129,99 dan 130,04 kDa, serta protein
kitinase pada berat molekul 71 kDa.
Kata kunci :

B. thuringiensis Lot II, B. thuringiensis 47, B. thuringiensis
subsp. pakistani, enzim kitinase, protein protoksin.

51

ABSTRACT
MAISYA ZAHRA AL BANNA. Characterization of protoxin protein and
chitinase enzyme from indigenous isolates Bacillus thuringiensis. Supervised by
NISA RACHMANIA MUBARIK and YADI SURYADI.
Bacillus thuringiensis secreted exochitinase activity when grown in a
medium containing chitin. Chitinase and protoxin protein play a important role in
the pathogenicity of Bacillus thuringiensis to insect pest. This research was
aimed to determined characterization of B. thuringiensis subsp. pakistani
indigenous isolates, B. thuringiensis Lot II, and B. thuringiensis 47 to produce
chitinase enzyme and protoxin protein. Optimum production of chitinase from
B. thuringiensis subsp. pakistani was obtained at 24th hours, pH 7.5, and 40oC.

B. thuringiensis Lot II was optimum at 21th hour, pH 6,0, and 50oC.
B. thuringiensis 47 was optimum at 21st hour, pH 5,0, and 35 oC. Ammonium
sulphate was used for precipitation of chitinase protein. The highest spesific
activity of chitinase was obtained on ammonium sulphate at saturation 20% for
B. thuringiensis subsp. pakistani, 30% for B. thuringiensis Lot II and 40% for
B. thuringiensis 47. The highest production of protoxin protein from
B. thuringiensis subsp. pakistani and B. thuringiensis 47 was obtained at 36th
hour, whereas B. thuringiensis Lot II at 33rd hour. The molecule weight of
chitinase molecule was determined by Sodium Dodecyl Sulfate Solution
Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE). Molecular weight of chitinase
of B. thuringiensis subsp. pakistani, B. thuringiensis Lot II and 47 estimated at
71,15 kDa. The weight of protoxin protein molecule all isolates estimated 129,99
and 130,04 kDa.
Keyword : ammonium sulphate precipitation,
protoxin.

B. thuringiensis, chitinase,

64


65

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Karakterisasi
Protein Protoksin dan Enzim Kitinase yang Dihasilkan oleh Isolat Lokal Bacillus
thuringiensis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar
pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Maisya Zahra Al Banna
G 351090201

66

67


@Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012
Hak cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

68

69

KARAKTERISASI PROTEIN PROTOKSIN DAN
ENZIM KITINASE YANG DIHASILKAN OLEH
ISOLAT LOKAL Bacillus thuringiensis


MAISYA ZAHRA AL BANNA

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

70

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Suryani, M.Sc.

71

Judul Tesis

:


Nama

:

Karakterisasi Protein Protoksin dan Enzim Kitinase yang
Dihasilkan oleh Isolat Lokal Bacillus thuringiensis
Maisya Zahra Al Banna

NIM

:

G351090201

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si.
Ketua


Ir. Yadi Suryadi, M.Si.
Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi/ Mayor

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Mikrobiologi

Dr. Gayuh Rahayu

Tanggal Ujian: 26 Juli 2012

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

Tanggal Lulus:


72

73

PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan alam semesta, pujian memenuhi
nikmat-nikmat-Nya dan mencukupi tambahan (nikmat)-Nya. Rasa syukur penulis
panjatkan hingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Penelitian ini berjudul
“Karakterisasi protein protoksin dan enzim kitinase yang dihasilkan oleh isolat
lokat Bacillus thuringiensis”.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Ibu, Ayah dan Kak Zia yang
senantiasa memberi dukungan dan doa. Terima kasih kepada pembimbing tesis
yang diketuai oleh Ibu Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si dan Bapak Ir. Yadi
Suryadi M.Sc. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Dr. Suryani M.Sc
selaku penguji dari luar komisi pembimbing untuk kritik, saran dan kesempatan
bagi penulis dalam memperbaiki penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih
disampaikan kepada Bapak Dr. Ence Darmo Jaya Supena atas saran dan diskusi
yang diberikan. Teman seperjuangan dari mayor Mikrobiologi, Eca, Dian, Kae’
yang senantiasa membantu dan memberikan semangat. Semoga hasil penelitian
ini bermanfaat, dan mencari ilmu merupakan pekerjaan yang tidak pernah selesai.

Bogor, Oktober 2012
Maisya Zahra Al Banna

74

75

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 1986 sebagai anak kedua
dari pasangan Bapak Miftachul Arifin, SH, dan Ibu Hanizar Hasyim.
Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Makassar. Pada tahun yang
sama melanjutkan studi di Jurusan Biologi Universitas Hasanuddin dan lulus pada
tahun 2009. Selanjutnya, penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB
Mayor Mikrobiologi pada tahun 2009. Sebagian hasil penelitian ini telah
disampaikan pada presentasi lisan di Seminar Nasional Pendidikan Biologi di
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung pada tanggal 1 - 2 Juli 2011.

53

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………... xiv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….... xv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………… xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang……………………..……..............................................

1

Tujuan Penelitian……………………………….………………………

3

Manfaat Penelitian…………………………………………...…………

3

TINJAUAN PUSTAKA
Bacillus thuringiensis……………..……………………………………

5

Protein Protoksin…………………….…………………………………

6

Kitin…………………………………………………………………….

8

Kitinase………………………………………………………………....

9

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu…………………………………………………..…

13

Bahan……………………………………………………………...…… 13
Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat B.thuringiensis…….……………… 13
Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis……………………………. 13
Pengukuran Pertumbuhan dan Produksi Protein Protoksin Isolat pada
Media Selektif B. thuringiensis……...…………………………………

13

Pengukuran Pertumbuhan dan Produksi Protein Protoksin Isolat pada
Media Produksi Kitinase………………...……………………………..

14

Pengukuran Konsentrasi Protein Protoksin Isolat B. thuringiensis…….

14

Pengukuran Aktivitas Enzim Kitinase Isolat B. thuringiensis………...... 15
Karakterisasi Ekstrak Kasar Kitinase……………………………..........

15

Pengukuran Konsentrasi Protein……………………………………….

15

Pemekatan Ekstrak Kasar Enzim Kitinase…………………………......

16

Penentuan Berat Molekul Protein……………………………………… 16

55

HASIL
Morfologi Isolat B. thuringiensis…….………………………………...

19

Kurva Pertumbuhan, Produksi Protoksin dan Enzim Kitinase Isolat
B. thuringiensis…………………….…………………………………... 19
Karakterisasi Ekstrak Kasar Kitinase……………………….………….

23

Penentuan Berat Molekul Protein B. thuringiensis…..………...……...

26

PEMBAHASAN…………………………………………..…………...………

29

SIMPULAN……………………………………………....................................

35

DAFTAR PUSTAKA………………………………………..………………...

37

LAMPIRAN……………………………………………….…...……………… 43

56

57

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Tipe dan spesifikasi protein delta endotoksin..............................................

7

2 Bakteri dan karakteristik kitinase yang dihasilkan......................................

10

3 Peranan kitinase pada beberapa organisme..................................................

11

4 Aktivitas kitinase dan konsentrasi protein isolat B. thuringiensis setelah
dilakukan pemekatan ekstrak kasar kitinase menggunakan amonium
sulfat……………….………………………………………………………. 27
5 Aktivitas spesifik kitinase isolat B. thuringiensis setelah dilakukan
pemekatan ekstrak kasar kitinase menggunakan amonium sulfat…….…...

27

6 Perbandingan produksi protein protoksin dan enzim kitinase dari
beberapa isolat B. thuringiensis....................................................................

33

58

59

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Struktur protoksin.......................................................................................

6

2

Mekanisme kerja protein protoksin.............................................................

8

3

Struktur kimia dari kitin..............................................................................

9

4

Morfologi isolat B. thuringiensis................................................................

19

5

Pertumbuhan dan produksi protoksin pada media selektif……………….

20

6

Pertumbuhan dan produksi protoksin pada media produksi kitinase……

21

7

Aktivitas kitinase isolat B. thuringiensis....................................................

23

8

Pengaruh suhu terhadap aktivitas kitinase.................................................

24

9

Pengaruh pH terhadap aktivitas kitinase....................................................

25

10 Hasil migrasi protein kitinase menggunakan SDS-PAGE………………………

28

11

29

Hasil migrasi protein protoksin menggunakan SDS-PAGE……………………..

60

61

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Kurva standar N-asetil-glukosamin (NAG).................................................

45

2

Kurva standar bovine serum albumin (BSA)...............................................

45

3

Kurva penanda berat molekul protein kitinase...................................

45

4

Kurva penanda berat molekul protein protoksin................................. 47

62

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bakteri Bacillus thuringiensis termasuk Gram positif yang berpotensi
dikembangkan sebagai bioinsektisida. Formula komersial produk insektisida
pertama kali dikembangkan pada tahun 1950 kemudian semakin intensif
dikembangkan pada tahun 1960. Ketika tanaman transgenik dikembangkan sekitar
tahun 1996 dan diikuti dengan peningkatan luas daerah tanam, maka potensi
B. thuringiensis sebagai bioinsektisida menjadi semakin banyak digunakan.
Potensi tersebut erat kaitannya dengan kemampuan B. thuringiensis dalam
membentuk protein insektisidal berupa protoksin dan protein sitolitik.
Keunggulan formulasi B. thuringiensis sebagai bioinsektisida dibandingkan
dengan pestisida kimia ialah toksisitas dan kespesifikan yang tinggi terhadap
serangga target (Kumar et al. 2008).
Bioinsektisida berbahan aktif B. thuringiensis yang digunakan untuk lahan
pertanian di Indonesia sebagian besar diimpor dari berbagai negara, diantaranya
Dipel yang diproduksi dari Amerika Serikat, serta Thuricide dari Swiss. Di lain
sisi, kelimpahan populasi B. thuringiensis yang cukup tinggi di habitat tanah akan
memperbesar kesempatan perolehan isolat berpotensial.
Muharsini et al. (2003) telah mengisolasi B. thuringiensis dari sampel
tanah Provinsi Jawa Barat, Yogyakarta dan Sulawesi Selatan. Letak geografis dan
kondisi

tanah

dilaporkan

mempengaruhi

germinasi

endospora.

Lokasi

pengambilan sampel pada dataran tinggi menunjukkan populasi B. thuringiensis
yang lebih tinggi dibandingkan dengan dataran rendah. Khudra (2011) berhasil
mengisolasi isolat potensial B. thuringiensis dari beberapa lokasi pengambilan
sampel yaitu Lampung, Kalimantan Timur dan Bali, dua isolat yang diperoleh
tersebut digunakan dalam penelitian ini.
Rusmana dan Hadioetomo (1994) menyatakan eksplorasi isolat lokal
B. thuringiensis penting dilakukan karena protoksin yang dihasilkan oleh
B. thuringiensis memiliki kisaran inang yang sempit. Pemberantasan hama
tanaman yang ada di Indonesia idealnya menggunakan isolat B. thuringiensis asal
Indonesia. Di Indonesia, potensi kristal protein B. thuringiensis telah dipelajari
dampaknya terhadap hama tanaman pangan namun aktivitas kitinolitiknya belum

2

banyak dieksplorasi Potensi toksisitas protoksin isolat lokal B. thuringiensis
terhadap hama ulat grayak juga telah dilakukan oleh Khudra (2011) dan
Sukmawaty (2012), namun studi mengenai karakteristik berupa berat molekul
protoksin tidak dilakukan, demikian pula dengan aktivitas kitinolotik isolat lokal
tersebut.
Distribusi kitin yang luas di alam dan cukup mudah ditemukan pada
beberapa jenis mahluk hidup seperti komponen penyusun dinding sel cendawan,
saluran pencernaan serangga bahkan selubung mikrofilaria nematoda akan
mendorong pemanfaatan enzim yang dapat memecah kitin tersebut. Sampson dan
Gooday (1998), Wiwat et al. (2000) serta Suero et al. (2011) menemukan bahwa
kombinasi perlakuan antara isolat kitinolitik dan protoksin B.

thuringiensis

menunjukkan nilai konsentrasi letal yang lebih tinggi sehingga toksisitasnya
meningkat. Aktivitas kitinolitik dan protoksin B. thuringiensis dapat memicu lisis
sitoplasma serta pembengkakan mikrofili usus serangga.
Aktivitas anticendawan B. thuringiensis diketahui memberikan efek
antagonis terhadap cendawan patogen (Ramirez et al. 2004, Usharani & Gowda
2011). Cendawan patogen Sclerotium rolfsii dihambat pertumbuhannya mencapai
100% pada media pertumbuhan yang mengandung kitinase. Selain S. rolfsii,
kitinase B. thuringiensis juga dapat menghambat Fusarium oxysporum,
Aspergillus flavus, dan Beauveria bassiana.
Protoksin B. thuringiensis dilaporkan dapat memberikan efek antagonis
terhadap cendawan patogen Phytophtora seperti hasil penelitian Kamenek et al.
(2012), dalam hal ini protoksin berperan sebagai agen uncoupling (uncoupler).
Absorbsi protoksin ke dalam membran mitokondria akan menyebabkan
penghambatan fosforilasi oksidatif sel cendawan, sehingga mempengaruhi
pertumbuhan cendawan. Penelitian oleh Brar et al. (2009) dan Vu et al. (2009)
menunjukkan kemampuan B. thuringiensis mengkonversi limbah industri menjadi
produk biopestisida berupa protoksin dan kitinase. Informasi ilmiah mengenai
potensi pemanfaatan protoksin maupun enzim kitinase B. thuringiensis yang
melatarbelakangi penelitian ini dilakukan. Protein protoksin dan enzim kitinase
dari isolat lokal diharapkan dapat dikembangkan sebagai agens biokontrol.

3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi protein protoksin dan enzim
kitinase dari dua isolat lokal B. thuringiensis, serta melakukan karakterisasi dari
kitinase dan protoksin isolat tersebut. Isolat B. thuringiensis subsp. pakistani
digunakan sebagai isolat pembanding dalam penelitian ini.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ialah untuk mendapatkan informasi mengenai
potensi isolat lokal B. thuringiensis dalam menghasilkan enzim kitinase dan
protein protoksin, serta gambaran mengenai prospek pengembangannya sebagai
agens hayati.

4

5

TINJAUAN PUSTAKA
Bacillus thuringiensis
Bacillus thuringiensis pertama kali diisolasi oleh Ishiwata pada tahun 1901
dari larva ulat sutera, yang kemudian diberi nama sebagai isolat Bacillus sotto.
Tahun 1991, Berliner berhasil mengisolasi Bacillus dari larva ngengat
Mediterania, dan menamai isolat tersebut sebagai

B. thuringiensis. Bakteri

B. thuringiensis digunakan sebagai insektisida pada tahun 1950 di Amerika
Serikat. Produk komersial pertama diberi nama Thurincide yang dipreparasi dari
isolat

B.

thuringiensis

subsp.

kurstaki.

Dulmage

menemukan

isolat

B. thuringiensis subsp. kurstaki (HD-1) yang lebih aktif, yang dikomersialkan
dengan nama Dipel. Tahun 1970, penggunaan B. thuringiensis di bidang pertanian
mengalami penurunan sebagai akibat komersialisasi pestisida kimia. Kemajuan
bioteknologi mulai mempengaruhi perkembangan penelitian B. thuringiensis,
pada tahun 1980 telah dihasilkan produk kloning yang memiliki aktivitas
insektisidal yang lebih tinggi dibanding dengan isolat B. thuringiensis tipe liar
(Cetinkaya 2002).
Bakteri B. thuringiensis sebagai Gram positif dapat membentuk
endospora, serta menghasilkan kristal protein pada fase stasioner selama masa
pertumbuhan. Beberapa jenis toksin yang dihasilkan antara lain ialah
protein insektisida, vegetatif insektisida protein, serta

beta

kristal

eksotoksin

(β-eksotoksin). Kristal protein atau yang dikenal juga sebagai protoksin bersifat
toksik pada berbagai invertebrata khususnya serangga (Bobrowski et al. 2002).
Gen protein ini terdiri atas gen Cry untuk kristal dan Cyt untuk sitolitik (Hofte &
Whiteley 1989). Vegetatif insektisida protein merupakan eksotoksin yang secara
struktur, fungsi dan biokimia berbeda, serta tidak memperlihatkan homologi
sekuens dengan delta endotoksin. Vegetatif insektisida protein mempunya berat
molekul 88,5 kDa. Protein β–eksotoksin merupakan toksin yang disekresikan dari
adenin nukleotida yang berberat molekul rendah (701 Da), dan bersifat toksik
terhadap sebagian besar serangga. Sekitar 50% galur B. thuringiensis
mensekresikan toksin ini selama fase pertumbuhan stasioner. Selain bersifat
toksik terhadap serangga, protein β–eksotoksin dilaporkan bersifat toksik terhadap
mamalia, oleh karena itu WHO melarang penggunaan protein tersebut sebagai

6

insektisidal sintetik. Galur B. thuringiensis

yang akan dikomersialisasi harus

bebas dari kandungan β–eksotoksin (Schnepe et al. 1998, Perchat et al. 2005,
Innes & Bouwer 2009).
Protein Protoksin
Protein protoksin atau disebut juga protein Cry terdiri dari atas domain.
Domain I terdiri atas 7 α-heliks, α-heliks ke-5 berada di tengah bersifat hidrofobik
dan dikelilingi 6 α-heliks ampifatik lainnya. Domain I berfungsi dalam proses
insersi dan pembentukan pori pada membran pencernaan serangga. Domain II
terdiri atas 3 lipatan-β yang antiparalel, domain ini terlibat dalam pengikatan
toksin pada reseptor. Domain III merupakan lipatan β-sandwich yang terpilin,
domain ini berperan dalam sejumlah kunci penting dalam proses biokimia,
integritas struktur protein, pengikatan reseptor, penetrasi membran, dan fungsi
pori (Gambar 1) (Schnepf et al. 1998).

Gambar 1 Struktur protoksin (protein Cry). Domain I ditunjukkan dengan warna
biru. Domain II ditunjukkan dengan warna jingga. Domain III
ditunjukkan dengan warna hijau (http://bioquest.org).
Penelitian Frankenhuyzen (2009) menunjukkan terdapat holotipe protoksin
B. thuringiensis yang mampu membunuh 71 spesies ordo Lepidoptera, 23 spesies
ordo Diptera, 39 ordo Coleoptera, 31 spesies dari beberapa ordo, serta 9 spesies
dari kelompok Arthropoda. Klasifikasi protoksin dapat dibagi menjadi empat
kelas utama berdasarkan sifat insektisida serta hubungan molekulernya yaitu Cry
I, II, III dan IV. Cry I toksik terhadap Lepidoptera, Cry II toksik terhadap
Lepidoptera dan Diptera, Cry III toksik terhadap Coleoptera, dan Cry IV toksik
terhadap Diptera (Tabel 1). Toksin yang bekerja terhadap Lepidoptera berperan
sebagai protoksin (130 – 140 kDa), memiliki daya larut tinggi, dapat terdegradasi

7

menjadi peptida toksin berukuran kecil (60 – 70 kDa) dan akan bereaksi di dalam
usus serangga. Mekanisme sama terjadi pada Diptera dan Coleoptera, perbedaan
terletak pada toksin yang tidak disintesis menjadi peptida lebih kecil namun toksin
akan tetap disimpan sebagai protoksin (Bradley et al. 1994).
Tabel 1 Tipe dan spesifikasi protein delta endotoksin
Tipe Protein
Protoksin
CryI

CryII
CryIII
CryIV

Subsp.
B. thuringiensis
kurstaki HD-1
aizawai
sotto
entomocidus
berliner
kurstaki HD-263
kurstaki HD-1
san diego
israelensis
morissoni

Kisaran
Inang
Lepidoptera

Pustaka
Hofte & Whiteley (1989)
Bobrowski et al. (2002)

Lepidoptera
Diptera
Coleoptera

Hofte & Whiteley (1989)
Bobrowsky et al. (2002)
Hofte & Whiteley (1989)

Diptera

Hofte & Whiteley (1989)

Toksin Cry akan aktif jika masuk ke dalam pencernaan serangga,
kemudian mengikat pada reseptor dan terinsersi ke dalam membran pencernaan
untuk membentuk pori yang menyebabkan lisis pada membran (Sa & Ja 2007).
Aktivasi toksin melibatkan pelepasan proteolitik terminal N dari protein oleh
protease pencernaan serangga. Lebih lanjut Soberon dan Bravo (2008)
menjelaskan bahwa toksin yang aktif kemudian mengikat pada dua reseptor yang
berada di mikrofili membran sel yang membentuk epitel usus serangga. Kontak
pertama toksin yaitu dengan reseptor cadherin. Kontak ini akan mengubah
konformasi toksin dengan membelah fragmen kecil dari daerah terminal α-heliks.
Pembelahan ini memicu pembentukan oligomer struktur tetramer. Oligomer ini
kemudian meningkatkan afinitas toksin pada reseptor kedua yaitu aminopeptidase
N (APN). APN memfasilitasi insersi oligomer pada membran membentuk pori
lisis yang mengakibatkan gangguan pada sel dan akhirnya menyebabkan kematian
pada serangga (Gambar 2).

8

Gambar 2 Mekanisme kerja protein protoksin (Soberon & Bravo 2007).

Kitin
Kitin merupakan struktur polisakarida berantai panjang, tersusun dari Nasetilglukosamin (NAG) yang terikat satu sama lain melalui ikatan β-1,4
glikosidik (Gambar 3). Setelah selulosa, kitin merupakan polisakarida yang cukup
banyak ditemukan di alam serta dapat membentuk struktur kompleks dengan
beberapa macam biomolekul, seperti karbohidrat, protein dan kalsium. Asosiasi
kitin dengan beberapa biomolekul dapat ditemukan pada kelompok Artropoda
yang berperan sebagai penyusun rangka luar tubuh dan sistem pencernaan. Silika
pada spons, penyusun cangkang telur dan serabut mikrofilaria pada nematoda,
serta penyusun dinding sel cendawan. Kitin dan turunannya cukup popular
digunakan dalam bidang kesehatan karena dapat diaplikasikan dalam skala yang
lebih luas. Kito-oligosakarida banyak dimanfaatkan dalam bidang bioteknologi
dalam proses penanggulangan limbah makanan laut. Produk yang dihasilkan dari
eksoskeleton kepiting dan udang berpotensi mempercepat penyembuhan luka,
stimulasi sistem imun, dapat meningkatkan aktivitas antitumor, dan remidiasi
lingkungan perairan yang tercemar (Brzezinska et al. 2007).

9

Gambar 3 Struktur kimia dari kitin (http://www.scottsminthonline.com).
Kitin yang terdapat pada ekosistem perairan laut diperkirakan dihasilkan
sebanyak 1011

ton per tahun. Kondisi tersebut menyebabkan terbentuknya

senyawa tidak larut berupa karbon dan nitrogen. Produksi kitin banyak diperoleh
pada daerah perairan, umumnya dihasilkan dari proses dekomposisi sisa-sisa
cangkang invertebrata. Pengolahan limbah cangkang secara konvensional
dilakukan melalui proses pembakaran dan penimbunan dalam tanah. Pembakaran
limbah cangkang memiliki resiko mencemari lingkungan karena dapat
membentuk karbondioksida dan karbonmonoksida, sedangkan penimbunan di
tanah dapat meningkatkan potensi terbentuknya amonia selama proses degradasi
(Bhattacharya et al. 2007, Gohel 2006).

Kitinase
Degradasi limbah kitin secara enzimatik melibatkan kitinase merupakan
salah satu metode pengolahan limbah. Enzim tersebut memiliki aktivitas hidrolitik
yang spesifik melalui degradasi substrat berupa kitin. Aplikasi kitinase mencakup
penggunaan dalam preparasi protoplas cendawan sebagai agens pegendali
cendawan patogen tanaman, serta produksi oligosakarida sebagai senyawa aktif.
Kito-oligomer yang diproduksi melalui hidrolisis kitin banyak dimanfaatkan
dalam aplikasi di bidang kesehatan, pertanian, dan industri, diantaranya ialah
antibakteri, antifungi, aktivitas anti-hipertensi serta meningkatkan kualitas bahan
makanan (Bhattacharya et al. 2007).

10

Enzim kitinase dapat dihasilkan dari tumbuhan, serangga, serta
mikroorganisme. Tumbuhan menghasilkan kitinase sebagai protein pertahanan
terhadap serangan patogen ataupun serangan hama. Mikroorganisme yang telah
banyak diidentifikasi sebagai penghasil enzim kitinase berasal dari kelompok
Streptomyces, Serratia, Vibrio, Actinomycetes dan Bacillus. Kitinase telah banyak
diisolasi dari berbagai macam bakteri (Tabel 2). Kelompok serangga
menggunakan kitinase untuk membantu proses pergantian lapisan kutikula,
sedangkan

mikroorganisme

menggunakan

kitinase

untuk

mendegradasi

makromolekul yang mengandung N-asetilglukosamin, yang kemudian akan
digunakan sebagai sumber nutrisi (Tabel 3) ( Mathur et al. 2011).
Tabel 2 Bakteri dan karakteristik kitinase yang dihasilkan
Bakteri
penghasil kitinase

Karakteristik
Suhu
Berat
pH
optimum
Molekul
optimum
(C)
(kDa)

Referensi

Sanguibacter sp.

4,6

37

57-58,8

Yong et al. (2005)

Bacillus sp. termofil

6,5

60

80,8

Dai et al. (2011)

Vibrio sp.

6,0

45

98

Park et al. (2000)

Streptomyces sp.

5,0

30

20

Kim et al. (2002)

Enterobacter sp.
Micrococcus sp.

5,5
8,0

45
35

60
33

Dahiya et al. (2005)
Annamalai et al.
(2010)

11

Tabel 3 Peranan kitinase pada beberapa organisme (Gohel 2006)
Organisme
Bakteri

Peranan Kitinase
Mineralisasi kitin. Berperan juga dalam nutrisi dan
parasitisme.

Cendawan

Berperan dalam fisiologi pembelahan sel, diferensiasi dan
peran nutrisi yang berhubungan dengan aktivitas
mikoparasitik.

Protozoa

Parasit malaria menghasilkan kitinase dalam jumlah yang
banyak untuk penetrasi matriks peritrofik yang
mengandung kitin dari pencernaan nyamuk.

Manusia

Aktivitas kitotriosidase membantu dalam pertahanan
terhadap infeksi nematoda. Selain itu, aktivitas
enzimatiknya sangat tinggi pada serum pasien yang
menderita gangguan lipid lisosomal, sarkoidosis, dan
thalassemia.

Hewan

Tingkat kitinase yang tinggi pada kambing dan serum
darah berfungsi dalam sekresi renal yang rendah, sehingga
taraf enzim tetap rendah pada kasus ketidaknormalan
produksi lisosim.

Khamir

Subunit α dari toksin yang disekresikan oleh
Kluyveromyces lactis mempunyai aktivitas kitinase yang
diperlukan untuk subunit gamma untuk bisa masuk ke
dalam sel yang sensitif. Kitinase mempunyai peranan yang
penting dalam pemisahan sel sepanjang perkecambahan
khamir kitinous Saccharomyces cerevisiae. Kitinase
Saccharomyces cerevisiae juga digunakan sebagai
anticendawan.

12

13

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen
Biologi, IPB, dari bulan Oktober 2011 – Mei 2012.
Bahan
Isolasi untuk memperoleh isolat B. thuringiensis dilakukan oleh Khudra
(2011) pada 15 sampel tanah yang diperoleh dari tiga lokasi berbeda, yaitu
Lampung, Kalimantan Timur, dan Bali. Hasil isolasi kemudian diseleksi, dan
didapatkan 453 koloni bakteri yang menunjukkan ciri-ciri morfologi kelompok
Bacillus. Dari total isolat yang diperoleh, hanya dua isolat (11,3%) yang
menunjukkan ciri koloni, morfologi mirip B. thuringiensis serta memiliki kristal
protein. Dua isolat tersebut ialah B. thuringiensis Lot II dan 47. Isolat yang
digunakan ialah B. thuringiensis subsp. pakistani, B. thuringiensis Lot II dan
B. thuringiensis 47 yang disimpan pada koleksi kultur IPBCC, Departemen
Biologi, FMIPA, IPB.
Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat
Isolat B. thuringiensis subsp. pakistani,

B. thuringiensis Lot II dan

B. thuringiensis 47 diremajakan dengan cara digores kuadran pada media Nutrient
Agar (NA) dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis
Biakan bakteri dibuat preparat dengan cara mengoleskan satu ose biakan
pada objek gelas dan diwarnai dengan larutan Commasie Briliant Blue (0,25%
Commasie Briliant Blue G250, 50% etanol, dan 7% asam asetat) selama tiga
menit, kemudian dibilas dengan air mengalir, dan diamati di bawah mikroskop
cahaya dengan minyak emersi (Fadel et al. 1988).

Pengukuran Pertumbuhan Isolat dan Produksi Protein Protoksin pada
Media Selektif B. thuringiensis
Isolat B. thuringiensis subsp. pakistani ditumbuhkan pada media selektif
(Atlas 1946) (g/L) : glukosa 3,0 g, (NH4)2SO4 2,0 g, ekstrak khamir 2,0 g,

14

K2HPO4.3H2O 0,5 g, Mg2SO4.7H2O 0,2 g, CaCl2.2H2O 0,08 g, MnSO4.4H2O 0,05
g, pH 7,0. Kultur cair bakteri diinokulasikan sebanyak 10% dari total volume
media produksi dengan jumlah sel 107 sel/ml pada media pertumbuhan, kemudian
diinkubasi pada suhu 37oC dengan kecepatan agitasi 120 rpm. Inkubasi dilakukan
selama 36 jam, dan setiap 3 jam sampel diambil dan diukur absorbansi pada
panjang gelombang (λ) 590 nm untuk mengukur pertumbuhan, serta konsentrasi
protoksinnya.
Pengukuran

Pertumbuhan

Isolat

dan

Produksi

Enzim

Kitinase

B. thuringiensis pada Media Produksi Kitinase
Isolat B. thuringiensis ditumbuhkan pada media produksi kitinase (g/L) :
.

MgSO4 7H2O 0,1 g, K2HPO4 1,0 g, NaCI 1,0 g, ekstrak khamir 7,0 g, koloidal
kitin 3,0 g, pH 7,0. Kultur cair bakteri diinokulasikan sebanyak 10% dari total
volume media produksi dengan jumlah sel 107 sel/ml pada media pertumbuhan,
kemudian diinkubasi pada suhu 37oC dengan kecepatan agitasi 120 rpm
(Nurdebyandaru et al. 2010). Inkubasi dilakukan selama 36 jam, dan setiap 3 jam
sampel diambil dan diukur absorbansi pada panjang gelombang (λ) 590 nm untuk
mengukur pertumbuhan bakteri, serta aktivitas enzim kitinasenya.
Pengukuran Konsentrasi Protein Protoksin Isolat B. thuringiensis
Protoksin diperoleh menggunakan prinsip pelarutan kristal protein
insektisidal dalam kondisi alkalin. Sebanyak 1 ml sampel yang diperoleh dari
kultur produksi, disentrifugasi pada kecepatan 10.000 g, 10 menit, 4oC. Pelet
dikumpulkan untuk mengukur konsentrasi protoksin. Pelet dicuci sebanyak 3 kali
menggunakan 1 ml larutan pencuci (0,14 M NaCI ; 0,01% Triton X-100) untuk
menghilangkan kandungan enzim protease yang dapat menganggu konsistensi
protein protoksin. Kristal protein dilarutkan pada 0,3 ml 0,05 N NaOH (pH 12,5)
selama 3 jam. Suspensi larutan disentrifugasi pada kecepatan 10.000 g, 10 menit,
4oC (Vu et al. 2009) Supernatan yang mengandung kristal protein terlarut
digunakan untuk menghitung konsentrasi protoksin menggunakan metode
Bradford (1976).

15

Pengukuran Aktivitas Enzim Kitinase Isolat B. thuringiensis
Aktivitas enzim kitinase diukur dengan menggunakan metode Spindler
(Nurdebyandaru et al. 2010). Kultur cair disentrifugasi dengan kecepatan 8.400
g, 10 menit, suhu 4oC. Supernatan yang dihasilkan mengandung ekstrak kasar
enzim kitinase. Ekstrak kasar enzim kitinase diambil sebanyak 0,45 ml dan
dicampurkan dengan 0,9 ml substrat koloidal kitin 0,3%, serta 0,45 ml bufer
fosfat pH 7,0 0,2 M, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit.
Setelah inkubasi, reaksi dihentikan pada suhu 100oC selama 10 menit

dan

disentrifugasi pada kecepatan 8.400 g, 5 menit. Supernatan yang dihasilkan
direaksikan menggunakan reagen Schales yang mengandung 0,5 M natrium
karbonat dan 1,5 mM kalium ferisianida, absorbansi diukur pada panjang
gelombang 420 nm. Sebagai kontrol, ekstrak kasar enzim direaksikan terpisah dari
substrat koloidal kitin dan bufer fosfat. Setelah reaksi dihentikan pada 100oC,
ekstrak kasar enzim dicampurkan dengan larutan berisi substrat koloidal kitin dan
bufer

fosfat.

Aktivitas

kitinase

dihitung

berdasarkan

kurva

standar

N-asetil-glukosamin (NAG). Satu unit aktivitas enzim kitinase didefinisikan
sebagai jumlah enzim yang membebaskan N-asetil glukosamin (NAG) sebesar
1 µmol per menit (Lampiran 1).
Karakterisasi Ekstrak Kasar Kitinase
Aktivitas ekstrak kasar kitinasi diukur pada berbagai suhu dan pH. Suhu
optimum enzim kitinase diukur menggunakan larutan bufer pH 7,0 pada kisaran
suhu 30o - 65oC. Sedangkan pH optimum enzim kitinase diukur pada suhu
optimumnya pada kisaran pH 4,0 - 8,0. pH 4,0 – 4,5 menggunakan 0,2 M bufer
sitrat, pH 6,0 – 7,5 menggunakan 0,2 M bufer fosfat, dan pH 8,0 – 8,5
menggunakan 0,2 M bufer glisin NaOH. Kestabilan enzim kitinase terhadap suhu
diketahui dengan mengukur aktivitas enzim kitinase selama waktu inkubasi
tertentu pada suhu dan pH optimumnya masing-masing.
Pengukuran Konsentrasi Protein
Konsentrasi protein enzim kitinase diukur menggunakan metode Bradford
(1976), larutan standar berupa bovine serum albumin (BSA). Larutan stok BSA
diencerkan dengan akuades untuk mencapai konsentrasi akhir 0,1 – 1,0 mg/ml.

16

Dari masing-masing seri pengenceran BSA, diambil sebanyak 0,1 ml larutan dan
ditambahkan dengan 5 ml reagen Bradford, kemudian di kocok dengan vorteks
dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit. Larutan sampel diberikan
perlakuan yang sama. Absorbansi diukur pada panjang gelombang (λ) 595 nm,
dan akuades sebagai larutan blanko (Lampiran 2).
Pemekatan Ekstrak Kasar Enzim Kitinase
Ekstrak kasar kitinase dipekatkan menggunakan amonium sulfat pada
kisaran saturasi 20%-80% (Karossi & Pudjiraharti 2010). Enzim yang telah
ditambahkan amonium sulfat, disimpan semalam pada suhu 4oC. Kemudian
disentrifugasi pada kecepatan 10.000 g, 15 menit, 4oC. Endapan yang terbentuk
merupakan enzim hasil pemekatan, dan dilarutkan menggunakan 0,2 M bufer
fosfat pH 7,0, kemudian diukur aktivitas kitinasenya.
Pendugaan Berat Molekul Ekstrak Kasar Kitinase dan Protoksin
Berat

molekul

ekstrak

kasar

kitinase

dan

protoksin

ditentukan

menggunakan SDS PAGE, berdasarkan metode Laemli (Bollag & Edelstein
1999). Konsentrasi gel pemisah (separating gel) sebanyak 10% dan 4% gel
penahan (stacking gel) untuk menduga berat molekul protein kitinase, sedangkan
berat molekul protein protoksin digunakan konsentrasi gel pemisah sebanyak
12,5% dan 4% gel penahan.
Sampel didenaturasi dengan cara dipanaskan pada suhu 100oC selama 10
menit, dan dielektrofororesis pada 65 volt, 20 A selama 180 menit. Gel diwarnai
menggunakan pewarna perak nitrat. Pewarnaan perak nitrat dilakukan dengan cara
merendam gel dalam larutan fiksasi yang mengandung 25% metanol dan 12%
asam asetat selama 60 menit, direndam dalam 50% etanol selama 20 menit, dan
diganti dengan 30% etanol selama 2 X 20 menit. Larutan diganti dengan larutan
pengembang yang terdiri dari 5% natrium karbonat, 0,05% formalin, dan 0,0004%
natrium tiosulfat, lalu dicuci dengan akuabides. Larutan perak nitrat ditambahkan
selama 30 menit, kemudian dicuci kembali dengan larutan campuran natrium
karbonat, formaldehida, dan larutan fiksasi.
Pita protein kitinase yang terbentuk ditentukan berat molekulnya
berdasarkan penanda protein low molecular weight (Sigma) yang yang terdiri atas

17

fosforilase-b (97 kDa), albumin (66 kDa), ovalbumin (45 kDa), karbonat
anhidrase (30 kDa), tripsin inhibitor (20,1 kDa), dan alfa laktabumin (14,4 kDa)
(Lampiran 3). Pita protein protoksin ditentukan berat molekulnya menggunakan
penanda protein marker precision plus protein dual color (Bio-Rad) yang
memiliki berat molekul berkisar 250 kDa – 10 kDa (Lampiran 4).

18

19

HASIL
Morfologi Isolat B. thuringiensis
Tiga isolat B. thuringiensis memiliki ciri koloni berwarna putih,
berukuran 5 mm, tepian bergelombang, dengan permukaan kasar. Pengamatan ciri
morfologi menggunakan pewarna Coomassie Brilliant Blue (CBB) menunjukkan
ketiga isolat memiliki bentuk sel batang (basil) dengan panjang berkisar 5 µm
(Gambar 4).

5 µm

5 µm

(a)

(b)

5 µm

(c)
Gambar

4

Morfologi isolat (a) B. thuringiensis subsp. pakistani,
(b) B. thuringiensis Lot II dan (c) B. thuringiensis 47, yang
diwarnai dengan pewarna Coomassie Briliant Blue (CBB).
Endospora ditunjukkan dengan tanda panah.

Kurva Pertumbuhan dan Produksi Protoksin serta Kitinase Isolat
B. thuringiensis
Pola

pertumbuhan

dan

produksi

protein

protoksin

dari

isolat

B. thuringiensis subsp. pakistani diamati dengan menggunakan media selektif
B. thurigiensis tanpa koloidal kitin.

20

Pertumbuhan isolat B. thuringiensis subsp. pakistani pada media selektif
yang diamati setiap 3 jam selama 36 jam pengamatan menunjukkan terdapat fase
logaritmik yang terjadi sampai dengan jam ke-15, selanjutnya mengalami
penurunan jumlah sel sampai dengan akhir pengamatan. Produksi protein
protoksin mulai dihasilkan pada jam ke-3, dengan konsentrasi protein protoksin
tertinggi diperoleh pada jam ke-24 dengan nilai 0,807 mg/ml. Protein protoksin
disekresikan dalam jumlah tinggi pada saat jumlah sel menurun (Gambar 5).
Perhitungan aktivitas kitinase tidak dilakukan pada media selektif ini karena tidak
terdapatnya koloidal kitin untuk menginduksi sekresi enzim tersebut.

0.8

Log sel (CFU/ml)

7.5

0.7
6

0.6
0.5

4.5

0.4
3

0.3
0.2

1.5

0.1
0

Konsentrasi protoksin (mg/ml)

0.9

0
0

3

6

9

12

15

18

21

24

27

30

33

36

Waktu inkubasi (jam)
Log sel
Protoksin

Gambar 5

Pertumbuhan dan produksi protein protoksin isolat pembanding,
B. thuringiensis subsp. pakistani, pada media selektif.

Tiga isolat lokal B. thuringiensis masing-masing diukur pertumbuhannya
pada media produksi kitin, sekaligus untuk mengukur potensi isolat dalam
menghasilkan enzim kitinase dan protein protoksin. Pengamatan kurva tumbuh,
produksi enzim kitinase dan protoksin dilakukan setiap 3 jam selama 36 jam
waktu inkubasi.

7.5

0.6

6

0.5

Konsentrasi protoksin
(mg/ml)

Log sel (CFU/ml)

21

0.4

4.5

0.3
3

0.2

1.5

0.1

0

0
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60 63 66 69 72
Waktu inkubasi (jam)

0.6

6

0.5

Log sel (CFU/ml)

7.5

0.4

4.5

0.3
3

0.2

1.5

0.1

0

Konsentrasi protoksin
(mg/ml)

(a)

0
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60 63 66 69 72
Waktu inkubasi (jam)

0.6

6

0.5

Log sel (CFU/ml)

7.5

0.4

4.5

0.3
3

0.2

1.5

0.1

Konsentrasi protoksin
(mg/ml)

(b)

0

0
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60 63 66 69 72
Waktu inkubasi (jam)
Log sel
Protoksin

(c)
Gambar 6

Pertumbuhan dan produksi protein protoksin pada media produksi
kitin. (a) Isolat B. thuringiensis subsp. pakistani, (b) B. thuringiensis
Lot II, dan (c) B. thuringiensis 47. Garis putus-putus (----)
menunjukkan tidak dilakukan pengukuran log sel dan konsentrasi
protoksin.

22

Pengamatan pertumbuhan digunakan untuk mengetahui fase pertumbuhan
bakteri dalam waktu 36 jam inkubasi. Isolat B. thuringiensis memasuki fase
logaritmik yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel (CFU/ml) (Gambar 6).
Pertumbuhan logaritmik isolat B. thuringiensis subsp. pakistani terjadi sampai
dengan jam ke-36, sedangkan B. thuringiensis Lot II dan B. thuringiensis 47 pada
jam ke-33, sementara itu penurunan jumlah sel terjadi pada interval jam ke-54
dan 72. Selama pengamatan pertumbuhan sel, dilakukan pula pengukuran protein
protoksin pada setiap isolat. Produksi protoksin yang dimulai sejak pertumbuhan
logaritmik selanjutnya mengalami penurunan produksi setelah melewati jam ke36, penurunan produksi protoksin terjadi dalam interval jam ke-54 dan 72.
Protein protoksin isolat B. thuringiensis subsp. pakistani dihasilkan pada
jam ke-3 dengan konsentrasi protein 0,0014 mg/ml. Isolat B. thuringiensis Lot II
dan 47 menghasilkan protoksin lebih cepat, yaitu pada jam ke-0 dengan
konsentrasi protoksin berturut-turut 0,0005 mg/ml dan 0,0014 mg/ml, meskipun
dalam jumlah yang sangat kecil. Konsentrasi protein protoksin

ketiga isolat

tertinggi diperoleh pada ke-36, dengan nilai berturut-turut 0,511 mg/ml,
0,470 mg/ml dan

0,177 mg/ml untuk B. thuringiensis subsp. pakistani,

B.

thuringiensis Lot II dan 47. Konsentrasi protein protoksin dari setiap isolat B.
thuringiensis akan menurun seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi kultur.
Kemampuan isolat B. thuringiensis dalam menghasilkan enzim kitinase juga
diamati bersamaan dengan pengamatan pertumbuhan dan produksi protein
protoksin.
Aktivitas kitinase dari setiap isolat menunjukkan waktu optimum berbeda
(Gambar 7). Enzim kitinase isolat B. thuringiensis subsp. pakistani dan
B. thuringiensis 47 dihasilkan

pada jam ke-9 dengan nilai berturut-turut

0,00400 U/ml dan 0,00025 U/ml, sedangkan isolat B. thuringiensis Lot II pada
jam ke-12 dengan nilai 0,026 U/ml. Aktivitas kitinase isolat B. thuringiensis
subsp. pakistani optimum pada jam ke-24 dengan nilai 0,049 U/ml. Isolat
B. thuringiensis Lot II dan 47 optimum menghasilkan kitinase pada jam ke-21
dengan nilai 0,115 U/ml dan 0,058 U/ml. Selanjutnya setelah melewati waktu
optimum, akan terjadi penurunan produksi enzim kitinase pada masing-masing
isolat.

23

Aktivitas kitinase (U/ml)

0.14
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60 63 66 69 72
Waktu inkubasi (jam)
Bt P

Bt. Lot II

Bt. 47

Gambar 7 Aktivitas kitinase isolat B. thuringiensis.

Karakterisasi Ekstrak Kasar Kitinase
Suhu Optimum. Ekstrak kasar kitinase diuji aktivitasnya pada kisaran
suhu 30o – 65oC, untuk mengetahui suhu optimumnya, dan pada kisaran pengujian
pH 4,0 – 8,5, untuk mengetahui pH optimum dengan menggunakan koloidal kitin
sebagai substrat. Pengaruh suhu terhadap aktivitas kitinase diuji pada kondisi
netral (pH 7,0) (Gambar 8). Aktivitas kitinase setiap isolat aktif pada sebagian
besar titik pengujian suhu, kecuali pada suhu 65oC. Aktivitas kitinase optimum
pada suhu 40oC untuk isolat B. thuringiensis subsp. pakistani, dengan nilai 0,031
U/ml. Selanjutnya isolat B. thuringiensis Lot II optimum pada suhu 50oC dengan
nilai 0,029 U/ml, sedangkan B. thuringiensis 47 optimum pada suhu 35oC dengan
nilai 0,02 U/ml.
pH Optimum. Pengaruh pH terhadap aktivitas kitinase diamati dengan
menggunakan tiga bufer berbeda, yaitu bufer asam sitrat, bufer fosfat dan glisin
NaOH (Gambar 9). Aktivitas kitinase optimum pada suhu pH 6,0 dam 7,5 untuk
isolat B. thuringiensis subsp. Pakistani dengan nilai 0,031 U/ml. Selanjutnya isolat
B. thuringiensis Lot II optimum pada pH 6,0 dengan nilai 0,0377 U/ml, sedangkan
B. thuringiensis 47 optimum pada pH 5,0 dengan nilai 0,0360 U/ml.

Aktivitas kitinase (U/ml)

24

0.035
0.03
0.025
0.02
0.015
0.01
0.005
0
30

35

40

45
50
Suhu (oC)

55

60

65

Aktivitas kitinase (U/ml)

(a)
0.035
0.03
0.025
0.02
0.015
0.01
0.005
0
30

35

40

45
50
Suhu (oC)

55

60

65

Aktivitas kitinase (U/ml)

(b)
0.035
0.03
0.025
0.02
0.015
0.01
0.005
0
30

35

40

45
50
Suhu (oC)

55

60

65

(c)
Gambar 8 Pengaruh suhu terhadap aktivitas kitinase isolat (a) B. thuringiensis
subsp. pakistani, (b) B. thuringiensis Lot II dan (c) B. thuringiensis
47. Aktivitas enzim diuji pada suhu berbeda, dengan menggunakan
0,3% koloidal kitin sebagai substrat.

Aktvitas kitinase (U/ml)

25

0.04
0.035
0.03
0.025
0.02
0.015
0.01
0.005
0
4,0

4.5

5,0

5,5

6,0
pH

6,5

7,0

7,5

8,0

Aktivitas kitinase (U/ml)

(a)
0.04
0.035
0.03
0.025
0.02
0.015
0.01
0.005
0
4,0

4.5

5,0

5,5

6,0

6,5

7,0

7,5

8,0

6,0
pH

6,5

7,0

7,5

8,0

pH

Aktivitas kitinase (U/ml)

(b)
0.04
0.035
0.03
0.025
0.02
0.015
0.01
0.005
0
4,0

4.5

5,0

5,5

(c)
Gambar 9 Pengaruh pH terhadap aktivitas kitinase isolat (a) B. thuringiensis
subsp. pakistani, (b) B. thuringiensis Lot II dan (c) B. thuringiensis
47. Aktivitas enzim diuji pada suhu berbeda, dengan menggunakan
0,3% koloidal kitin sebagai substrat.

26

Pendugaan Berat Molekul Protein
Sebelum pendugaan berat molekul protein menggunakan SDS-PAGE,
terlebih dahulu dilakukan pemekatan protein isolat dengan larutan garam
amonium sulfat. Pemekatan enzim dilakukan berdasarkan prinsip salting out,
yang bertujuan untuk menghilangkan kandungan air pada protein enzim. Hasil
pemekatan protein selanjutnya diukur konsentrasi protein, aktivitas kitinase serta
aktivitas spesifiknya.
Aktivitas kitinase isolat B. thuringiensis subsp. pakistani tertinggi
diperoleh pada pemekatan enzim menggunakan amonium sulfat sebanyak 20%
dengan nilai 0,017 U/ml. Isolat B. thuringiensis Lot II pada pemekatan 80%
dengan nilai aktivitas kitinase ialah 0,013 U/ml, sedangkan isolat B. thuringiensis
47 pada 50% pemekatan isolat dengan nilai 0,170 U/ml. Jika dibandingkan
dengan kontrol, sebagian besar konsentrasi protein dari setiap isolat meningkat
seiring dengan proses pemekatan dibandingkan dengan kontrol. Konsentrasi
protein isolat B. thuringiensis subsp. pakistani tertinggi diperoleh pada pemekatan
80%, dengan nilai 0,336 mg/ml. Protein isolat B. thuringiensis Lot II dan B.
thuringiensis 47 tertinggi diperoleh pada pemekatan 60% dengan konsentrasi
protein berturut-turut 0,522 mg/ml dan 0,693 mg/ml (Tabel 4). Hasil perhitungan
aktivitas spesifik kitinase yang menunjukkan bahwa isolat B. thuringiensis subsp.
pakistani memiliki aktivitas spesifik tertinggi pemekatan 20% dengan nilai 0,1735
mg/ml. Isolat B. thuringiensis Lot II tertinggi pada pemekatan 30% dengan nilai
0,2330 mg/ml, sedangkan B. thuringiensis 47 pada pemekatan 40% dengan nilai
0,1220 mg/ml (Tabel 5).
Nilai aktivitas spesifik kitinase tertinggi hasil pemekatan digunakan untuk
mengetahui berat molekul protein kitinase dengan menggunakan SDS-PAGE.
Pendugaan berat molekul protein protoksin dipilih berdasarkan konsentrasi
protein protoksin tertinggi saat isolat ditumbuhkan pada media produksi kitinase
yaitu pada jam ke-36 inkubasi (Gambar 6).

27

Tabel 4 Aktivitas kitinase dan konsentrasi protein isolat B. thuringiensis setelah
dilakukan pemekatan ekstra