Study of microencapsulated bioinsecticide from Bacillus thuringiensis

(1)

KAJIAN MIKROENKAPSULASI BIOINSEKTISIDA

DARI

Bacillus thuringiensis

INDRA BAYU NAFARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis Kajian Mikroenkapsulasi dari

Bacillus thuringiensis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruang tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.

Bogor, 29 Januari 2012

Indra Bayu Nafari


(3)

ABSTRACT

INDRA BAYU NAFARI. Study of microencapsulated bioinsecticide from

Bacillus thuringiensis. Supervised by MULYORINI RAHAYUNINGSIH and TITI CANDRA SUNARTI.

Bacillus thuringiensis is one of well known bioinsecticide resources. Bioinsecticide is utilized in organic farming for the replacement of chemical insecticide. Weaknesses of B. thuringiensis toxin are easily disrupted by ultra violet from sunlight and easily washed by rain. The purposes of this research were to produce microencapsulated B. thuringiensis and to produce microencapsulated formula for the protection of toxin active ingredient from the environmental factor. The experimental result showed maltodextrin can be used as an encapsulation material for bioinsecticide using spray drying process. Lactose could not be used as an microencapsulation agent in spray dryin process, especially for areas with high humidity levels due to its low Tg ( Temperature of glass transition) characteristic. Increase ratio in concentration of encapsulation material increased the number of spores contained but gave lower product toxicity. Result showed that 5% maltodextrin concentration produce highest level product of toxicity, but because of poor quality of encapsulation material formed, the product showed high level of degradation after drying process. Rainfall simulation test showed that product encapsulated by maltodextrin gave increase persistence against rain wash on leaf but it could not protect active ingredient deterioration caused by sunlight.

Keywords : Bacillus thuringiensis, bioinsecticide, microencapsulation, maltodextrin, lactose, rain wash


(4)

iv

RINGKASAN

Bacillus thuringiensis adalah salah satu sumber penghasil bioinsektida.

Bioinsektisida digunakan dalam pertanian organik sebagai pengganti insektisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetis telah terbukti memiliki banyak efek negatif bagi lingkungan dan mahluk hidup, menyebabkan perlunya bioinsektisida sebagai alternatif pengganti.

Kekurangan yang dimiliki oleh bahan aktif yang dihasilkan oleh B. thuringiensishuringiensis adalah kerusakan yang diakibatkan paparan cahaya

matahari dan pencucian hujan dari permukaan daun. Mempermudah penggunaan produk dan menghasilkan tipe produk yang tepat menjadi permasalahan yang harus dipecahkan dalam menghasilkan formulasi produk bioinsektisida. Tipe produk mikroenkapsulasi merupakan salah satu formulasi produk yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh kondisi pengoperasian alat

spray dry , yakni : suhu inlet, suhu outlet dan laju pompa alir, terhadap mutu

serbuk yang dihasilkan. Memperoleh pengaruh perbedaan bahan enkapsulan maltodekstrin dan laktosa terhadap mutu serbuk bioinsektisida yang dihasilkan. Tujuan lainnya adalah untuk mengkaji pengaruh konsentrasi bahan enkapsulan yang digunakan terhadap karakteristik produk yang dihasilkan, yakni : jumlah spora, nilai LC50 dan potensi toksisitas yang dimiliki.Memperoleh pengaruh sinar

matahari dan curah hujan terhadap kemampuan toksisitas produk yang diaplikasikan pada tanaman.

Penelitian menghasilkan bahwa suhu yang digunakan pada pengoperasian mesin spray dryer dan kecepatan pompa berpengaruh terhadap proses dan mutu serbuk yang dihasilkan. Suhu optimum yang diperoleh adalah 120 oC untuk inlet,

70 oC untuk outlet dan kecepatan pompa 50 ml/min.

Maltodekstrin lebih cocok digunakan sebagai bahan enkapsulan pada proses yang menggunakan pemanasan seperti pada alat spray dryer dibandingkan bahan

laktosa. Kadar air produk yang dihasilkan juga berpengaruh terhadap rendemen yang didapatkan, konsentrasi bahan enkapsulan 5% memiliki kandungan kadar air tertinggi dan rendemen terendah dibandingkan konsentrasi 10%. Konsentrasi 5% bahan enkapsulan menghasilkan nilai LC50 tertinggi yakni 0.003 g/ml dan nilai

potensi tertinggi yakni 160 IU/ml dibandingkan konsentrasi 10%. Peningkatan konsentrasi akan menaikkan jumlah kandungan spora pada produk tetapi menurunkan tingkat toksisitas yang dimiliki. Akan tetapi disebabkan tinggi nya kadar air yang terkandung pada produk dengan konsentrasi 5%, menyebabkan kerusakan produk menjadi lebih cepat dibandingkan konsentrasi 10%. Hal tersebut menandakan produk dengan konsentrasi 10% memberikan mutu serbuk yang lebih baik dibandingkan konsentrasi 5%. Produk dengan menggunakan bahan enkapsulan maltodekstrin dapat meningkatkan persistensi bahan aktif pada permukaan daun setelah pencucian hujan tetapi tidak dapat meningkatkan persistensinya terhadap kerusakan cahaya matahari.


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

vi

KAJIAN MIKROENKAPSULASI BIOINSEKTISIDA

DARI

Bacillus thuringiensis

INDRA BAYU NAFARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(7)

(8)

ii

Lembar Pengesahan

Judul Tesis : Kajian Mikroenkapsulasi Bioinsektisida dariBacillus thuringiensis

Nama : Indra Bayu Nafari

NIM : F351090091

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si Ketua

Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kajian Mikroenkapsulasi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si dan Ibu Dr.Ir. Titi Candra Sunarti,M.Si selaku pembimbing, serta teman-teman semuanya yang telah memberikan saran dan dukungan sehingga penulisan hasil penelitian ini selesai dibuat.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, 29 Juni 2012


(10)

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 9 Januari 1984 dari ayah Ir.Muhtadin Nafari dan ibu Ernawati Said. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMA PSKD Jakarta Selatan dan pada tahun yang sama penulis masuk IPB melalui jalur PMDK. Penulis mengambil Jurusan Biokimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Pada tahun 2006 penulis mendapatkan gelar sarjana pada jurusan yang sama.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...vi

DAFTAR GAMBAR ...vi

DAFTAR LAMPIRAN ...vii

PENDAHULUAN ...1

Latar Belakang ...2

Tujuan Penelitian ...3

Manfaat Penelitian ...3

Ruang Lingkup Penelitian ...3

TINJAUAN PUSTAKA ...4

Bacillus thuringiensis (B. thuringiensis) ...4

Toksin B. thuringiensis ...5

Enkapsulasi Spora dan Kristal Bt ...7

Bahan–bahan Enkapsulasi ...8

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ...12

Kerangka Pemikiran ...12

Alat dan Bahan ...13

Tempat penelitian ...14

Metode penelitian ...14

HASIL DAN PEMBAHASAN ...22

Proses produksi bahan aktif boinsektisida ...22

Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida ...29

Pengaruh lingkungan terhadap toksisitas produk bioinsektisida ...54

KESIMPULAN DAN SARAN ...62

DAFTAR PUSTAKA ...64


(12)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Klasifikasi Bt sebagai sumber insektisida ... 5

2. Komposisi kebutuhan mineral pada medium fermentasi B. thuringiensis ... 14 3. Komponen kimiawi limbah cair tahu dan air kelapa ... 22 4. Kandungan nutrisi air kelapa ... 22 5. Perbandingan karakter bahan fermentasi yang didapatkan dengan

penelitian sebelumnya ... 24 6. Kandungan nutrisi daun brokoli dan sawi hijau ... 27 7. Pengaruh kondisi operasi mesin spray dryer terhadap kinerja mesin dan

produk yang dihasilkan dengan konsentrasi maltodekstrin 10%... 29 8. Pengaruh jenis bahan enkapsulan terhadap produk yang dihasilkan ... 34 9. Pengaruh kosentrasi bahan enkapsulan maltodekstrin terhadap karakter

produk ... 44

10.Perbandingan komposisi δ-endotoksin subsp. aizawai dan berliner ... 46

11.Perbandingan komposisi asam amino antara sampel fermentasi dan

produk komersial Bactospeine... 48 12.Perbandingan kenaikan nilai potensi dan penurunan nilai log VSC antara

dua jenis proses mikroenkapsulasi dengan konsentrasi bahan enkapsulan

spray drying 5% maltodekstrin dan freeze drying 6% laktosa ... 49

13.Pengaruh curah hujan terhadap tingkat toksisitas produk ... 55 14.Pengaruh sinar matahari terhadap tingkat toksisitas produk ... 57


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Spora dan bentuk kristal B. thuringiensis subsp. aizawai ...4

2. Struktur protein δ-endotoksin...6

3. Rumus polimer laktosa dan maltodekstrin ...11

4. Kerangka pemikiran pada penelitian ...14

5. Mesin spray dryer ...18

6. Pengaruh jenis bahan enkapsulan terhadap penampakan produk yang dihasilkan ...37

7. Pengaruh konsentrasi bahan enkapsulan terhadap permukaan partikel yang terbentuk dari proses mikroenkapsulasi ...42

8. Penampakan sampel serbuk bioinsektisida setelah penyimpanan selama 6 bulan ...42

9. Perbandingan permukaan daun yang diberi perlakuan berbeda ...51

10.Efek fitotoksik bioinsektisida pada tanaman...52

11.Perbandingan bahan aktif sebelum dan sesudah proses mikroenkapsulasi ...53


(14)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Metode Analisis ... 72 2. Hasil Pengolahan Data Menggunakan Perangkat lunak ... 74


(15)

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Penggunaan insektisida kimia telah membuktikan tingkat efektivitas yang tinggi bagi pengendalian serangga, akan tetapi mengingat potensi pencemaran lingkungan yang dapat diakibatkan dan tingkat bahaya langsung yang dapat ditimbulkan bagi mahluk hidup lain, maka penggunaan insektisida kimiawi mulai dibatasi. Hasil penelitian yang telah dilakukan mengungkapkan bahwa penggunaan insektisida kimia di Indonesia pada umumnya telah disalahgunakan (Nugrahani 2005). Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa residu produk-produk insektisida yang tersisa pada komoditas sayuran beberapa daerah di Indonesia telah melampaui Batas Maksimum Residu (BMR) yang telah ditetapkan dalam Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No. 881/Menkes/SKB/VIII/1996 dan 711/Kpts/TP.270/8/1996, sehingga diperlukan alternatif lain yang dapat menggantikan insektisida kimiawi.

Salah satu pilihan untuk menggantikan insektisida kimawi adalah bioinsektisida. Salah satu cara untuk mendapatkan bioinsektisida adalah melalui fermentasi oleh bakteri, diantaranya adalah Bacillus thuringiensis. Bioinsektisida yang dihasilkan yang memiliki kelebihan yakni sumber bahan bakunya bersifat alami, sehingga mudah terdegradasi oleh alam dan umumnya bersifat toksin spesifik terhadap serangga sehingga tidak bersifat toksik bagi manusia (Hunsberger 2000).

Bioinsektisida yang dihasilkan oleh B. thuringiensis mendominasi pasaran

bioinsektisida dunia hingga 98% (Burges 1998). Beberapa produk impor juga diketahui telah memasuki pasaran Indonesia, akan tetapi produk lokal jarang ditemukan. Keadaan ini memberikan gambaran permintaan akan bioinsektisida di Indonesia yang cukup besar. Indonesia memiliki banyak faktor pendukung untuk didirikannya industri penghasil bioinsektisida, diantaranya adalah sumber daya alam yang melimpah di Indonesia merupakan modal utama yang dapat mendukung tumbuhnya industri dan produk-produk lokal untuk menyaingi produk impor. Keuntungan lainnya adalah bahan-bahan yang diperlukan oleh industri bioinsektisida tidak memerlukan spesifikasi tinggi, karena bioinsektisida dapat dihasilkan dari substrat hasil pertanian atau limbah agroindustri.


(16)

2

Kekurangan yang dimiliki oleh bahan aktif yang dihasilkan oleh B. thuringiensishuringiensis adalah kerusakan yang diakibatkan paparan cahaya

matahari dan pencucian hujan dari permukaan daun. Mekanisme aktivasi oral bagi bahan aktif juga memberikan tantangan tersendiri bagi formula produk bioinsektisida B. thuringiensis. Mempermudah penggunaan produk dan

menghasilkan tipe produk yang tepat menjadi permasalahan yang harus dipecahkan dalam menghasilkan formulasi produk bioinsektisida. Tipe produk mikroenkapsulasi merupakan salah satu formulasi produk yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.

Penelitian produk bioinsektisida mencakup beberapa aspek diantaranya adalah proses fermentasi, proses formulasi, rekayasa alur proses dan usaha teknologi rekombinasi genetik pada bakteri serta pada tanaman transgenik. Usaha penelitian tentang produksi bioinsektisida dari Bt telah banyak dilakukan di Indonesia. Namun penelitian-penelitan yang sering dilakukan adalah proses fermentasi dan usaha rekombinasi genetik akan tetapi penelitian dalam bidang formulasi masih jarang ditemukan. Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi ketersediaan informasi tentang hasil-hasil penelitian sebelumnya, karena proses formulasi adalah proses yang menentukan bentuk produk yang akan dipasarkan dan digunakan oleh konsumen.

Formulasi Bt di pasar terdiri atas: tipe cairan dan tipe padatan (Burges 1998). Meninjau dari lahan aplikasi yang akan dituju adalah lahan perkebunan

Bacillus thuringiensis subsp. aizawai lebih cocok untuk diformulasikan dalam

bentuk padatan yang dilarutkan ke dalam air. Sejak tahun 1980-1990 telah ditemukan metode formulasi granular dengan beberapa resep formula oleh para ilmuwan. Bentuk padatan ini masih memiliki beberapa kekurangan antara lain tingkat kelarutan di dalam air masih rendah dan tingkat toksisitas yang rendah karena rasio bahan penyalut dan bahan aktif tidak tepat. Pengembangan lebih lanjut dari produk padatan ini dibutuhkan agar dapat mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.


(17)

2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk serbuk mikroenkapsulasi bioinsektisida dari B. thuringiensis. Secara khusus dari

penelitian ini akan dihasilkan:

1) Kondisi pengoperasian alat spray dryer, yakni: suhu inlet, suhu outlet dan

laju pompa alir, terhadap mutu serbuk yang dihasilkan.

2) Informasi pengaruh perbedaan bahan enkapsulan maltodekstrin dan laktosa terhadap mutu serbuk bioinsektisida yang dihasilkan.

3) Informasi pengaruh konsentrasi bahan enkapsulan yang digunakan terhadap karakteristik produk yang dihasilkan, yakni : jumlah spora, nilai LC50 dan potensi toksisitas yang dimiliki.

4) Informasi pengaruh bahan mikroenkapsulasi yang digunakan terhadap ketahanan bahan aktif pada sinar matahari dan curah hujan.

3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai pedoman dalam mengembangkan dan menghasilkan produk bioinsektisida dari Bt. Penelitian diharapkan menghasilkan kondisi operasional alat yang optimum, formula yang dapat membantu kemudahan penggunaan oleh konsumen dan efisiensi fungsi patogenitasnya.

4. Ruang Lingkup Penelitian

1. Produksi bahan aktif bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

dengan media cair limbah cair tahu dan air kelapa menggunakan sistem fermentasi skala laboratorium.

2. Proses mikroenkapsulasi menggunakan bahan enkapsulan maltodekstrin dan laktosa.

3. Karakterisasi produk yang dihasilkan terhadap serangga uji Crocidolomia pavonana dengan menggunakan analisis beda nilai tengah Tukey-Kramer

dan model Probit.

4. Menguji pengaruh lingkungan terhadap toksisitas produk terhadap serangga uji C. pavonana dengan menggunakan analisis beda nilai tengah


(18)

Tinjauan Pustaka

1. Bacillus thuringiensis (B. thuringiensis)

B. thuringiensis merupakan bakteri yang tergolong ke dalam Gram positif

dan mampu membentuk spora (Gambar 1). Ciri khas bakteri ini memiliki kemampuan untuk membentuk kristal inklusi selama proses sporulasi. B. thuringiensis memiliki kedekatan dengan beberapa spesies Bacillus lainnya yang

sudah dikenal, antara lain B.cereus dan B.antrachis (penghasil antraks) (Glare &

O’callaghan 2000). Jenis Bacillus ini diketahui memiliki sifat aerob dan hanya

memiliki perbedaan mencolok pada susunan plasmidnya.

B. thuringiensis pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Jepang Shigetane Ishiwata pada tahun 1901 kemudian pada tahun 1911 ditemukan oleh Berliner dalam isolat Mediteranian flour moth. B. thuringiensis biasa terdapat di dalam lambung beberapa spesies ulat dan kupu-kupu, walaupun hasil penelitian lain menunjukkan beberapa spesies B. thuringiensis ditemukan pada media tanah dan debu (Oregon State University 2000; Öztürk et al.. 2009). B. thuringiensis akan terus tumbuh pada fase vegetatif dalam media yang kaya akan nutrisi, namun apabila pasokan pakan menurun maka B. thuringiensis akan mulai membentuk

spora dan menghasilkan kristal protein δ. Penggunaan komersial B. thuringiensis

sebagai produk bioinsektisida dimulai di Hungaria pada akhir tahun 1920 dan terhenti ketika Perang Dunia II. Revolusi Hijau setelah PD II B. thuringiensis

menandai pengembangan B. thuringiensis sebagai sumber bioinsektisida potensial

(Rosas-Garcia 2009).

Gambar 1 Spora dan bentuk kristal B. thuringiensis subsp. aizawai (Sumber:


(19)

Beberapa jenis B. thuringiensis yang sudah dikenal adalah kurstaki, aizawai, sotto, entomocidus, berliner, san diego, tenebroid, morrisoni dan israeliensis

(Bahagiawati 2002). Penggolongan subspesies dari B. thuringiensis ditemukan

beberapa cara disebabkan adanya perbedaan pendapat diantara para ilmuwan taksonomi dalam mendefinisikan dan mengelompokkan B. thuringiensis. Salah

satu perbedaan pendapat dalam pengelompokan ini adalah pengelompokkan B. thuringiensis dan Bacillus cereus. Beberapa metode yang digunakan dalam

mengelompokkan B. thuringiensis adalah metode klasik (metode fenotipe dan

serotipe) dan metode berbasis DNA (Glare & O’callaghan 2000). Para ilmuwan yang memberi perhatian khusus dalam pemanfaatan B. thuringiensis sebagai

insektisida mengelompokkannya menjadi delapan kelas (Tabel 1). Tabel 1 Klasifikasi B. thuringiensis

Kelas Jenis Kristal Protein Kelompok Hama Target I Cry1Aa, Cry1Ab, Cry1Ac, Cry1Cb, Cry1F Lepidoptera

II CryIIA, CryIIB, CryIIC Lepidoptera III CryIIIA, CryIIIB, CryIIIC Koleoptera

IV CryIVB, CryIVC Diptera

V CryV Lepidoptera dan Koleoptera

VI CryVI Nematoda

VII CryIXF Lepidoptera

VIII CryX Lepidoptera

Sumber : Bahagiawati (2002) 2. Toksin B. thuringiensis

Toksin yang mampu diproduksi oleh B. thuringiensis dari masing-masing

spesies adalah (Hunsberger 2000): 1. Endotoksin: sebagai agen insektisida

2. Eksotoksin: bersifat racun bagi mamalia pada dosis tinggi 3. Haemolysin

4. Enterotoksin

5. Protein insektisida vegetatif

B. thuringiensis memproduksi δ-endotoksin pada saat spesifik dari sporulasi dan tidak tergantung pada sesi awal dari sporulasi (Bhattacharya 1993). Tanada dan Kaya (1993) menyebutkan bahwa kristal δ-endotoksin yang diproduksi dari proses fermentasi B. thuringiensis dapat mencapai 20 sampai 30% berat kering


(20)

6

dari jumlah total B. thuringiensis (Glare & O’callaghan 2000). δ-endotoksin

secara molekular berwujud sebagai protein dengan ukuran 130 sampai140 kDa (Gambar 2). Fungsi utama toksisitas endotoksin adalah merusak organ pencernaan serangga, sehingga toksin ini disebut racun perut.

Protein δ-endotoksin disandikan oleh gen Cry dan gen Cyt. Aktivitas yang

dikodingkan dua jenis gen ini berbeda, endotoksin sitolitik tidak memiliki sifat toksin spesifik untuk spesies serangga tertentu. Protein memiliki sifat pathogen setelah dicerna oleh enzim protease di dalam saluran pencernaan serangga. Bentuk kristal protein berbeda-beda dan memiliki spesifitas aktivitas terhadap serangga yang berbeda. Struktur bipiramid diidentifikasi memiliki aktifitas patogen terhadap Lepidoptera, sedangkan bentuk oval dan kubus diidentifikasi memiliki aktifitas patogen terhadap Lepidoptera dan Diptera(Glare et al. 2000).

Proses aktivasi protein merupakan proses pemotongan rantai panjang protein menjadi bentuk sederhana (27 sampai 149 kDa) oleh enzim protease yang dimiliki oleh serangga serta berlangsung dalam suasana alkali (pH >9.5) (Rosas-Garcia 2009). Masing-masing jenis endotoksin memiliki situs pemotongan enzim (domain) pada badan proteinnya dan situs reseptor spesifik pada dinding sel serangga (Gambar 2). Setelah teraktivasi, proses pengrusakan dinding sel usus serangga terjadi selama beberapa jam.

Gambar 2 Struktur protein δ-endotoksin. Domain I : membentuk gulungan tujuh α-heliks, Domain II : membentuk tiga lapisan anti-paralel, Domain III: menghentikan aktifitas pemotongan protease. (Sumber: Deacon.J http://www.biology.ed.ac.uk/research/groups/jdeacon/microbes/index. htm#choice)


(21)

Fase awal dari pengikatan endotoksin dengan dinding sel terjadi ketika toksin membentuk konformasi yang menyebabkan toksin dapat masuk ke dalam membran sel. Peristiwa oligomerasi akan muncul dan menyebabkan terbentuknya pori-pori ionik, yang akan mengganggu kesetimbangan osmotik di dalam sel (Rosas-Garcia 2009). Setelah sel-sel usus rusak dan menyebabkan kebocoran pada dinding usus, maka sel-sel vegetatif B. thuringiensis akan menyebar di

dalam tubuh serangga menyebabkan septicaemia dan kemudian kematian.

Pusztai et al. (1991) menjelaskan bahwa mekanisme kerusakan kristal

protein oleh sinar matahari disebabkan pemutusan rantai peptida protein, terutama residu triptofan. Hasil penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa beberapa rantai cabang amino seperti gugus indole juga hancur karena kerusakan sinar matahari. 3. Enkapsulasi Spora dan Kristal B. thuringiensis

Formulasi didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mengawetkan bahan aktif, menyampaikan bahan aktif tersebut kepada target kemudian meningkatkan aktivitas bahan aktif (Burges 1998). Formula sebuah produk menentukan performa produk tersebut di tangan konsumen dan di lapangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi jenis formulasi yang dipilih adalah jenis organisme, lingkungan yang dituju dan tipe aksi dari bahan aktif tersebut. B. thuringiensis memiliki tipe aksi yang unik, yaitu harus termakan dan berada di saluran pencernaan.

Metode enkapsulasi spray dryer adalah metode yang berprinsip proses penguapan media air yang menjadi penghantar bahan yang telah teremulsi sehingga terbentuk mikropartikel yang mengenkapsulasi bahan aktif dengan rapat. Metode ini memiliki beberapa keuntungan yang diberikan, antara lain akan melindungi bahan aktif dari pengaruh lingkungan, memiliki waktu shelf life yang

lebih lama, tidak kamba, biaya yang diperlukan per luas daerah aplikasi lebih

kecil karena konsentrasi dari bahan tambahan yang digunakan per luas area aplikasi lebih konstan, dan mengandung bahan kimia lebih sedikit (Tamez-Guerra

et al.. 1996). Bahan tambahan yang digunakan pada umumnya adalah bahan yang

meniru komposisi daun yakni terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak.

Penggunaan karbohidrat sebagai bahan enkapsulan telah mendapatkan banyak perhatian sejak ditemukan sekitar tahun 1960an. Dunkle dan Shasha


(22)

8

(1988) telah menyebutkan bahwa penggunaan pati sebagai bahan enkapsulan berpeluang digunakan untuk formulasi sebagai bahan aktif dan meningkatkan efikasi dari produk. Penggunaan lebih lanjut pada formulasi B. thuringiensis

menunjukkan bahwa bahan enkapsulan berbahan dasar karbohidrat dapat meningkatkan tingkat toksisitas produk dan meningkatkan persistensi produk terhadap faktor-faktor lingkungan yakni hujan dan sinar matahari (McGuire dan Shasha 1990; McGuire et al.. 1990; McGuire et al.. 1994). Formulasi enkapsulan

berbahan dasar karbohidrat ternyata tidak hanya menunjukkan hasil positif pada formulasi produk B. thuringiensis tapi juga untuk Entomopoxvirus (Mcguire et al.

1991 ; McGuire et al. 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Ali et al. (1994) juga

menunjukan bahwa penggunaan karbohidrat yakni tongkol jagung, juga dapat meningkatkan potensi toksin yang dimiliki oleh B. thuringiensis. Formulasi yang dihasilkan pada saat itu masih berbentuk granula dan terpisah antara produk bioinsektisida dan bahan enkapsulan. Pemanfaatan formulasi produk bioinsektisida yang dihasilkan pada tahun-tahun awal dihadapkan oleh beberapa kendala yakni ketidaklarutan produk yang dihasilkan menyebabkan pencampuran dengan air pada saat peyemprotan menjadi kendala yang harus dipecahkan. Kendala yang dihadapi pada awal-awal digunakannya bahan enkapsulan karbohidrat adalah kemampuan larut produk yang dihasilkan sehingga menyebabkan pencampuran dengan air pada saat penyemprotan mengakibatkan penyumbatan pada alat penyemprot. Alasan ketidakpraktisan juga menjadi penyebab dikembangkannya formulasi produk yang lebih baik karena pengguna harus mencampur bahan enkapsulan dan bahan bioinsektisida secara manual.

Beberapa penelitian dari tahun 1990 menunjukkan bahwa pati adalah media yang terbaik dalam teknik enkapsulasi. Beberapa campuran formula pati yang dicobakan menunjukkan bahwa paduan antara pati jagung dan sukrosa memberikan respon yang paling baik dibandingkan campuran lainnya (Mcguire & Shasha 1990). Gula juga dapat ditambahkan sebagai pelarut di dalam air dan bersamaan dengan pati berfungsi sebagai perekat dan juga sebagai fagostimulan (perangsang konsumsi terhadap serangga). Penelitian lanjutan menyebutkan kombinasi antara pati jagung atau tepung jagung dan lignin memberikan respon terhadap ketahanan terpaan hujan dan paparan terhadap sinar UV yang lebih baik


(23)

daripada produk komersial tanpa mengurangi efek toksisitasnya (Tamez-Guerra et al.. 1996).

Pemberian perlakuan tambahan pada formulasi seperti pengaturan tingkat keasaman juga mempengaruhi toksisitas produk yang dihasilkan. Behle et al.

(1997a) menyebutkan bahwa peningkatan derajat keasaman (pH) dalam formulasi dengan menggunakan KOH dapat meningkatkan toksisitas yang dihasilkan hingga mendekati pH 12. Kondisi pH produk lebih dari 12 mengakibatkan penurunan toksisitas produk. Keadaan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan gluten sebagai bahan enkapsulan. Gluten dapat mempertahankan tingkat toksisitas pada saat pH produk ditingkatkan hingga pH 13. Penggunaan gluten juga menunjukkan peningkatan persistensi terhadap curah hujan. Hal itu disebabkan lapisan film yang terbentuk dapat membentuk lapisan penahan dari pencucian hujan.

4. Bahan-Bahan Enkapsulan

Proses enkapsulasi banyak digunakan dalam industri-industri untuk membentuk produk mereka. Bahan enkapsulasi dapat terdiri dari berbagai macam tergantung keperluan serta tujuan dari produsen. Contoh bahan enkapsulasi yang sering digunakan adalah: lilin atau lemak, protein, karbohidrat dan beberapa polimer food grade seperti polipropilen, polistiren dan polibutadien (Lakis 2007).

Prinsip dasar terbentuknya material serbuk yang terenkapsulasi belum banyak diketahui secara pasti oleh para ahli, namun beberapa hipotesis mengenai simulasi proses yang terjadi dan faktor yang mempengaruhi telah banyak diajukan. Wang dan Langrish (2009) membahas hipotesis simulasi proses enkapsulasi pada spray drying dan menyatakan secara umum para ahli sepakat

bahwa proses segregasi saat pembentukan material enkapsulan merupakan hipotesis yang paling mendekati dalam menjelaskan proses yang terjadi. Proses segregasi juga menyatakan bahwa ada kemungkinan inti bahan yang seharusnya terenkapsulasi berada di luar permukaan dan tidak terenkapsulasi sempurna. Hal tersebut menyebabkan parameter efisiensi proses enkapsulan digunakan untuk mengukur seberapa besar peluang dinding enkapsulan berhasil terbentuk mengenkapsulasi bahan inti. Keseluruhan proses segregasi material bahan enkapsulan dan inti enkapsulan terjadi pada saat pengeringan dan dipengaruhi


(24)

10

oleh kemampuan difusi material dalam pelarut yang digunakan serta aktivitas permukaan dari material tersebut (Kim et al.2003).

Kemampuan difusi bahan menjadi hipotesis untuk menjelaskan terjadinya segregasi dalam proses enkapsulasi. Pada saat proses pengeringan dan penguapan pelarut terjadi maka material yang mudah larut dalam pelarut yang digunakan cenderung untuk bergerak dari luar ke dalam partikel serbuk yang terbentuk. Seiring dengan pengerasan material yang terjadi dari luar ke dalam, bahan yang mudah larut akan terbentuk sebagai inti dari partikel. Hipotesa kedua adalah kemampuan aktivitas permukaan dari material yang digunakan. Material yang memiliki aktivitas permukaan lebih besar cenderung akan bergerak ke luar pada saat penguapan dan berfungsi sebagai dinding enkapsulan.

Karbohidrat memiliki peran penting dalam proses enkapsulasi. Karbohidrat telah banyak digunakan untuk enkapsulasi flavor, mineral, vitamin dan probiotik. Kemampuan yang dimiliki karbohidrat untuk membentuk polimer fase amorphous dalam mengikat inti terenkapsulasi menjadi fungsi penting dalam proses enkapsulasi (Gharsallaoui et al. 2003; Lakis 2007). Fase ini disebut sebagai fase

glass transition. Proses pengeringan atau spray dryer menguapkan air atau pelarut yang digunakan dengan cepat sekali dan tidak memberi kesempatan bagi karbohidrat untuk berkristalisasi (Barreto 2008). Beberapa material karbohidrat yang sering digunakan dalam proses enkapsulasi adalah laktosa dan maltodekstrin (Lakis 2007).

Laktosa (Gambar 3) merupakan polimer disakarida yang terdiri atas monomer galaktosa dan glukosa. Produk ini banyak terkandung dalam susu atau susu skim. Bahan ini adalah bahan awal yang digunakan untuk membuat produk bionsektisida granular (Dulmage 1990). Bahan ini mulai tergantikan dengan beberapa kombinasi lain seiring dengan meningkatnya penelitian formulasi produk padat dari bioinsektisida B. thuringiensis. Maltodekstrin adalah produk

turunan dari pati yang terhidrolisis tidak sempurna. Monomer penyusun utama maltodekstrin adalah glukosa dan memiliki panjang rantai (DE) 2-20. Maltodekstrin juga sangat sering dipergunakan untuk proses enkapsulasi untuk berbagai macam partikel (Lakis 2007).


(25)

(a) (b)

Gambar 3 Rumus polimer (a) laktosa dan (b) maltodekstrin. (Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Beta-D-Lactose.svg dan http://en.wikipedia.org/wiki/File:Maltodextrin.png )


(26)

Bahan dan Metode Penelitian

1. Kerangka Pemikiran

Bahan aktif bioinsektisida yang umum dihasilkan merupakan campuran dari kristal endotoksin dan spora bakteri. Permasalahan-permasalahan utama yang dihadapi oleh bahan aktif bioinsektisida B. thuringiensis adalah disebabkan

karakteristik kristal toksin yang berbentuk protein. Protein merupakan bahan yang tidak tahan panas dan dapat terdenaturasi oleh sinar matahari. Permasalahan lain adalah kendala aplikasi dan faktor alam pada saat aplikasi bahan yang dapat mengurangi efektifias kinerja bioinsekisida.

Proses enkapsulasi telah banyak diaplikasikan sebagai suatu cara untuk melindungi bahan aktif yang rentan terhadap kerusakan oleh lingkungan atau penyesuaian untuk memodifikasi waktu aktivasi dari bahan aktif terhadap target (Lakis 2007). Proses enkapsulasi didasarkan atas prinsip penyelubungan bahan aktif sebagai inti menggunakan bahan enkapsulan yang akan berfungsi sebagai dinding pelindung.

Penelitian-penelitian terdahulu dalam menghasilkan formulasi bioinsektisida

B. thuringiensis merupakan usaha untuk mencari alternatif lain dalam

menghasilkan formula produk selain bentuk cair yang memiliki banyak kekurangan teknis serta kendala dalam penggunaan. Produk formulasi padatan yang dapat dilarutkan yang dihasilkan dari rangkaian penelitian tersebut terbukti dapat meningkatkan efisiensi produk dalam waktu simpan, aplikasi dan kemampuan menstabilkan serta meningkatkan efektifitas bahan aktif dari produk bioinsektisida (Burges 1998).

Keunggulan lain dari penggunaan bahan enkapsulan menggunakan bahan-bahan organik adalah fungsinya sebagai atraktan atau umpan bagi serangga. Hal tersebut disebabkan karena pada umumnya formula bahan yang digunakan menyesuaikan dengan komposisi makanan yang biasa dikonsumsi oleh serangga tersebut. Dengan digunakannya bahan organik dalam formula juga mengurangi kekhwatiran akan timbulnya respon toksin bagi manusia.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk mikroenkapsulasi bioinsektisida B. thuringiensis yang dapat memecahkan


(27)

permasalahan-permasalahan di atas menggunakan data pendukung dari rangkaian hasil penelitian sebelumnya sebagai pelengkap. Tahapan-tahapan percobaan pada penelitian dilakukan bertujuan untuk memberikan informasi lengkap berkaitan dengan proses produksi dan formulasi produk bioinsektisida.

Proses produksi bahan aktif dilakukan sesuai dengan hasil penelitian terdahulu menggunakan fermentasi cair. Proses pembuatan, enkapsulasi dan pengeringan dengan mesin spray dryer menggunakan tahapan prosedur yang telah

dikemukakan oleh Dulmage (1990) dengan beberapa penyesuaian. Dalam aplikasinya, produk yang dihasilkan diuji lanjut untuk memperoleh tingkat ketahanan yang dihasilkan terhadap sinar matahari dan pencucian hujan, berdasarkan prosedur yang dikemukakan oleh Tamez-Guerra et al. (2000) dengan beberapa penyesuaian.

Proses produksi bioinsektisida menghasilkan informasi dalam proses pengoperasian mesin, pengetahuan bahan dan karakteristik produk yang dihasilkan. Uji lanjut yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh informasi tambahan tentang performa produk di lapangan pada saat aplikasi. Luaran yang didapatkan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh produsen bioinsektisida dalam proses produksi dan bagi para petani dalam penggunaan produk ini nantinya. Kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.

2. Alat dan Bahan

Bahan yang dipergunakan untuk memproduksi bahan aktif spora dan kristal toksin adalah: isolat Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dari koleksi kultur IPB,

media NA (Nutrient Agar), etanol 95%, media limbah cair tahu, air kelapa,

mineral-mineral: MgSO4.7H2O, MnSO4.H2O, ZnSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, CaCO3,

CuSO4, urea. Bahan yang dipergunakan untuk produksi mikroenkapsulasi

bioinsektisida adalah larutan hasil fermentasi, serbuk maltodekstrin, serbuk laktosa, Tween 1%, akuades, larutan analisis kandungan gula yang terdiri atas DNS (asam 3,5-dinitrosalisilat), larutan fenol, NaOH, aquades, KNO dan Natrium meta-bisulfat. Bahan yang dipergunakan untuk menguji pengaruh lingkungan terhadap aktivitas produk adalah tanaman brokoli, Agristick 0.1%, akuades, air


(28)

14

kran, larva Crocidolomia pavonana dan produk bioinsektisida komersial merk

Bactospeine (Bacillus thuringiensis subsp. berliner).

Gambar 4 Kerangka pemikiran pada penelitian

Alat yang dipergunakan untuk produksi bahan aktif adalah inkubator shaker,

labu Erlenmeyer, peralatan gelas, ose, wadah penyimpan, penyaring dan cawan petri. Alat yang dipergunakan untuk produksi mikroenkapsulasi bioinsektisida adalah wadah penyimpan kedap udara dan wadah penampung, spray dryer,

kemudian mikroskop cahaya mikro dan Scanning Electron Microscope (SEM)

untuk pengataman karakterisasi produk yang dihasilkan. Alat yang dipergunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan terhadap aktivitas produk adalah: cawan petri, penyemprot parfum, alat penyemprot tanaman dan kertas tisu.

3. Tempat penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium LDIT, Teknologi Kimia, Bioindustri dan Lab Leuwikopo, Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian dan Lab Fisiologi dan Toksikologi Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor


(29)

4. Metode Penelitian

Tahapan percobaan yang dilakukan sebagai berikut: 1) Proses produksi bahan aktif bioinsektisida

a. Proses Fermentasi

Media fermentasi yang digunakan adalah limbah cair tahu yang berfungsi sebagai sumber nitrogen dan karbon serta air kelapa sebagai sumber karbon yang bersifat gula siap fermentasi. Prosedur penyiapan media fermentasi dilakukan berdasarkan penelitian Aryati (2011) menggunakan sistem kultivasi media cair. Perbandingan optimum antara karbon dan nitrogen pada media telah ditetapkan 7:1 berdasarkan hasil penelitian Dulmage et al. (1990). Rachmawati (2011) menyatakan bahwa perbandingan antara jumlah limbah cair tahu dan air kelapa yang digunakan dalam media fermentasi untuk menghasilkan bahan aktif dengan toksisitas tertinggiadalah 4:1, sedangkan kebutuhan jumlah kebutuhan mineral untuk fermentasi B. thuringiensis disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kebutuhan mineral pada medium fermentasi B.t

Komponen medium Konsentrasi

CaCO3 1.00 g/l

MgSO4. 7 H2O 0.30 g/l MnSO4. 7 H2O 0.02 g/l

ZnSO4. 7 H2O 0.02 g/l

FeSO4. 7 H2O 0.02 g/l

Sumber :Dulmage & Rhodes (1971)

Medium fermentasi berupa limbah cair tahu dan air kelapa dicampurkan dengan seluruh mineral, lalu disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121

oC tekanan 1 atm selama 20 menit. Media yang sudah steril dimasukan ke

dalam labu Erlenmeyer sebanyak 5% volume total. Keasaman (pH) medium kemudian diperiksa dengan menggunakan indikator universal, pH optimum pertumbuhan B. thuringiensis antara 6 sampai 7. Proses fermentasi dimulai dengan menginokulasikan media fermentasi dengan biakan B. thuringiensis

subsp. aizawai dari agar miring, lalu diinkubasikan pada suhu ruang di atas

mesin shaker dengan kecepatan 180 rpm selama 72 jam. Hasil fermentasi


(30)

16

menggunakan kapas. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan padatan yang masih terdapat dalam media, keberadaan padatan ini dapat mengganggu proses pengeringan pada mesin spray dryer. Selanjutnya larutan hasil fermentasi yang

telah disaring ini disebut larutan yang mengandung bahan aktif berupa campuran kristal δ-endotoksin dan spora bakteri B. thuringiensis.

b. Karakterisasi bahan aktif hasil fermentasi

Parameter yang dianalisis pada tahap ini adalah meliputi jumlah spora dengan metode VSC, perhitungan LC50 dan nilai potensi IU (International Unit)

menggunakan metode uji hayati. Standar yang digunakan untuk analisis toksisitas adalah produk komersial Bactospeine yang mengandung B. thuringiensis Berliner. Data toksisitas dianalisis dengan menggunakan model Probit pada software Polo-pc. Prosedur penentuan parameter tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.

2) Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida

Bahan enkapsulan yang digunakan adalah laktosa dan maltodekstrin. Laktosa merupakan standar bahan enkapsulan yang umum digunakan dalam produk bioinsektisida berdasarkan penelitian Dulmage (1990). Maltodekstrin dipilih karena memiliki harga yang murah, bahan berasal dari karbohidrat serta kemudahan untuk memperoleh bahan tersebut.

a. Penetapan kondisi operasi spray dryer

Spray dryer bekerja dengan prinsip pengeringan dan aliran siklon sentrifugasi untuk menghasilkan produk serbuk. Bahan yang akan dikeringkan harus memiliki kekentalan dan kelarutan yang baik agar proses pemompaan sampel pada penyemprot proses atomisasi berjalan dengan lancar sehingga dihasilkan partikel yang baik. Suhu optimum yang digunakan untuk pengeringan sampel pada tabung inlet dan outlet juga harus ditentukan untuk menghasilkan

mutu serbuk yang diinginkan, karena setiap alat dan bahan yang akan dikeringkan memiliki karakteristik masing – masing (Dulmage 1990).

Maltodekstrin digunakan sebagai bahan enkapsulan karena bahan ini memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan bahan laktosa. Penelitian-penelitan sebelumnya dengan menggunakan bermacam-macam bahan enkapsulan untuk produk bioinsektisida B. thuringiensis menunjukkan konsentrasi bahan


(31)

enkapsulan yang optimum adalah antara 5% sampai 10% (Burges 1998). Konsentrasi maltodekstrin yang digunakan adalah konsentrasi tertinggi (10%) karena menghasilkan kekentalan yang terbesar diantara konsentrasi bahan enkapsulan yang dikeringkan. Parameter operasi alat pada konsentrasi dan kekentalan yang tertinggi dapat mewakili parameter operasi untuk bahan dengan konsentrasi dan kekentalan yang lebih rendah. Parameter yang diukur pada tahap ini adalah analisis kekentalan larutan yang dihasilkan, kecepatan pompa penyemprot, suhu inlet dan suhu outlet mesin spray dryer.

Larutan hasil fermentasi yang mengandung bahan aktif disaring dengan kapas untuk memisahkan padatan dan dituangkan ke dalam wadah yang terpisah-pisah. Bahan enkapsulan maltodekstrin ditambahkan ke setiap larutan yang berada dalam wadah sebanyak 10% (b/v) sesuai dengan volume larutan fermentasi. Larutan kemudian ditambahkan larutan Tween 1% dan kemudian diaduk menggunakan stirer selama 30 menit.

Larutan kemudian dikeringkan dengan alat spray dryer (Gambar 5). Mesin mini spray dryer yang digunakan merupakan desain Prof. Dr. Ir Gumbira Said MADeV. Mesin memiliki spesifikasi sebagai berikut tinggi dan lebar tabung inlet

14.4 dm x 3.9 dm, tinggi dan lebar tabung inlet 6.6 dm x 2.0 dm, menggunakan sumber pemanas kompor gas dan blower mesin jet serta pompa kecil. Parameter laju alir divariasikan antara 30 ml/menit sampai 60 ml/menit, suhu outlet 100 oC sampai 150 oC , dan suhu inlet 50 oC sampai 100 oC. Setiap kombinasi parameter diperhatikan apakah ada penyumbatan (clogging) pada alat penyemprot dan

tabung inlet serta outlet. Penentuan sifat bebas alir dari serbuk yang dihasilkan

dilakukan dengan pengamatan visual. b. Pemilihan bahan enkapsulan

Kondisi operasi mesin optimum dari percobaan sebelumnya digunakan pada percobaan ini. Pada tahap ini bahan aktif dikeringkan menjadi produk mikroenkapsulasi dengan bahan yang berbeda dan konsentrasi yang berbeda. Bahan yang digunakan adalah laktosa dan maltodekstrin. Konsentrasi yang digunakan untuk bahan laktosa telah ditetapkan oleh Dulmage (1990) yakni sebesar 5%, sedangkan untuk bahan maltodekstrin digunakan konsentrasi 5% dan 10%. Parameter yang diukur adalah rendemen dan mutu serbuk yang dihasilkan.


(32)

18

Prosedur penentuan mutu serbuk adalah dengan memperhatikan dan membandingkan sifat bebas alir dari serbuk yang dihasilkan, sedangkan prosedur penghitungan rendemen dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 5 Mesin spray dryer

c. Karakterisasi produk bioinsektisida mikroenkapsulasi

Produk terbaik dari analisis tahap sebelumnya dilihat karakteristik yang dimiliki. Parameter yang dianalisis adalah nilai VSC untuk jumlah spora yang dihasilkan, uji hayati untuk nilai toksisitas LC50 dari produk dan nilai potensi IU

dari toksin yang dimiliki oleh produk, keberadaan lapisan film, morfologi permukaan partikel serbuk dan uji fitotoksisitas produk. Pengamatan lapisan film dilakukan pada permukaan daun yang diberikan produk kemudian diamati dengan mikroskop cahaya mikro. Morfologi permukaan serbuk yang terbentuk dilihat dengan menggunakan mikroskop SEM. Prosedur analisis uji hayati, potensi dan VSC disajikan pada Lampiran 1.

Toksisitas yang dihasilkan produk mikroenkapsulasi dibandingkan dengan larutan bahan aktif hasil fermentasi untuk melihat perubahan jumlah spora dan tingkat toksisitas yang diakibatkan proses pengeringan. Standar yang digunakan untuk analisis toksisitas adalah produk komersial. Data perbandingan nilai VSC


(33)

dianalisis menggunakan metode perbandingan nilai tengah Tukey-Kramer menggunakan perangkat lunak CoStat. Data toksisitas dianalisis dengan menggunakan model Probit pada perangkat lunak Polo-pc.

Lapisan film yang dihasilkan diamati secara visual. Sampel produk bioinsektisida dan larutan fermentasi dilarutkan ke dalam larutan Agristick 0.1%. Kontrol yang digunakan adalah kontrol positif Agristick 0.1%. Daun brokoli dipotong dengan luas 4 cm x 4 cm. Daun lalu dicelupkan ke dalam masing-masing larutan dan dikeringanginkan. Permukaan daun diamati secara visual dan kemudian difoto.

Uji fitotoksisitas dilakukan pada tanaman brokoli organik. Permukaan daun dewasa pada tanaman ditandai dengan luas tertentu. Sampel produk bioinsektisida dan larutan fermentasi dilarutkan ke dalam larutan Agristick 0.1%. Kontrol yang digunakan adalah kontrol positif Agristick 0.1%. Masing-masing larutan disemprotkan pada hanya satu permukaan daun secara merata dan dijemur dibiarkan di bawah sinar matahari selama 72 jam.

3) Pengaruh lingkungan terhadap toksisitas produk bioinsektisida

Pengujian ini bertujuan melihat kemampuan bahan enkapsulan mempertahankan aktivitas bahan aktif bioinsektisida dari pengaruh lingkungan. Rancangan percobaan yang digunakan uji efektifitas bahan enkapsulan dan bahan tambahan pada formulasi produk adalah masing–masing untuk mengukur pengaruh perlakuan jenis bahan yang digunakan pada ketahanan terhadap UV, ketahanan lekat produk terhadap curah hujan dan efektifitas patogen dari produk-produk yang dihasilkan. Masing-masing percobaan dilakukan 3 kali pengulangan menggunakan rancangan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap (RAL). Model yang digunakan adalah:

Yijk = µ + Ai+ Σij i = 1,2,3 j = 1,2,3 Keterangan :

Yijk = Variabel respon dari hasil observasi ke-k yang terjadi karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor perlakuan


(34)

20

Ai = pengaruh taraf ke-i faktor perlakuan jenis tepung

Σij = Galat percobaan dari perlakuan ke-i pada ulangan j

Masing-masing data yang didapatkan akan dianalisis ANOVA untuk melihat pengaruh masing-masing faktor perlakuan. Perlakuan yang menunjukkan perbedaan nyata dalam pengaruhnya terhadap respon yang diamati dianalisis lanjut menggunakan analisis beda nilai tengah Tukey-Kramer. Data dianalisis menggunakan perangkat lunak CoStat.

a. Produksi larva dan pemeliharaan serangga uji (Nailufar 2011)

Serangga uji yaitu larva C. pavonana yang digunakan dalam penelitian ini

adalah koloni yang diperbanyak di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Imago C. pavonana dipelihara

dalam kurungan plastik kasa berbingkai kayu (50 cm x 50 cm x 50 cm) dan diberi pakan berupa larutan madu 10% yang diserapkan segumpal kapas kemudian digantungkan di dalam kurungan secara berkala. Daun brokoli yang tangkainya dicelupkan dalam tabung film berisi air diletakkan di dalam kurungan sebagai tempat peletakan telur. Kelompok telur pada daun brokoli dikumpulkan setiap hari. Setelah telur menetas, larva dipindahkan ke dalam wadah plastik (35 cm x 26 cm x 6 cm) berjendela kasa yang dialasi kertas stensil, dan diletakkan daun brokoli bebas pestisida sebagai pakannya. Larva instar kedua digunakan untuk pengujian. Bila tidak digunakan untuk pengujian, sebagian larva dipelihara lebih lanjut dalam wadah plastik berisi daun brokoli atau dimatikan dengan cara didinginkan pada suhu -2 oC. Menjelang berpupa, larva dipindahkan ke dalam wadah plastik lain yang berisi serbuk gergaji steril sebagai medium untuk berpupa. Pupa beserta kokonnya dipindahkan ke dalam kurungan plastik-kasa seperti di atas sampai muncul imago untuk pemeliharaan selanjutnya.

b. Uji hayati dengan simulasi hujan (Tamez-Guerra P et al.. 2000)

Pengujian dilakukan setelah pemberian perlakuan produk bioinsektisida pada daun uji selesai dilakukan. Daun yang telah dikeringanginkan langsung diberi perlakuan simulasi hujan menggunakan alat penyemprot tanaman dengan kecepatan curahan 4 ml/detik pada ketinggian alat ± 1 m. Daun kemudian dikeringanginkan kembali selama kurang lebih 15 menit dan setelah kering dapat diletakan di dalam cawan beralas tisu bersama sepuluh ekor larva C. pavonana


(35)

instar dua. Pengamatan jumlah mortalitas larva dilakukan per 24 jam selama 96 jam disertai dengan penggantian daun dan alas tisu.

c. Uji hayati dengan simulasi paparan sinar matahari (Tamez-Guerra P et al..

2000).

Produk bioinsektisida yang dihasilkan dicampurkan ke dalam akuades yang mengandung Agristick 0,1%. Tanaman brokoli diberikan tanda pada daunnya berupa lingkaran dengan diameter 6 cm. Produk bioinsektisida kemudian disemprotkan pada permukaan serta di bawah permukaan daun yang telah diberi tanda. Tanaman dijemur di bawah sinar matahari selama 8 jam. Daun yang telah diberi tanda lalu dipetik dan digunting dengan ukuran 4 cm x 4 cm kemudian diletakan di dalam cawan beralas tisu bersama 10 larva C. pavonana. Pengamatan jumlah mortalitas larva dilakukan per 24 jam selama 96 jam disertai dengan penggantian daun dan alas tisu.


(36)

Hasil dan Pembahasan

1. Proses produksi bahan aktif bioinsektisida

a. Proses fermentasi

Produksi bahan aktif yang digunakan untuk produk bioinsektisida diperoleh dengan proses fermentasi bakteri Bacillus thuringiensis. Bahan aktif yang

dimaksudkan adalah protein kristal δ-endotoksin dan spora bakteri. Untuk memproduksi endotoksin komposisi media yang digunakan dalam proses fermentasi berpengaruh langsung terhadap tingkat toksisitas dan formulasi produk yang dihasilkan (Burges 1998). Jenis media yang dapat digunakan dalam proses fermentasi telah banyak diteliti dan Burges (1998) telah memberikan ulasan terhadap beberapa jenis komposisi media yang banyak digunakan dalam produksi bioinsektisida B. thuringiensis.

Media yang umum digunakan dalam proses produksi adalah media cair dan media semi padat. Proses fermentasi menggunakan media cair lebih mudah dilakukan daripada media semi padat untuk menghasilkan produk yang akan diolah lebih lanjut untuk keperluan formulasi produk. Hal tersebut disebabkan media cair dapat mengurangi proses lanjutan yang diperlukan untuk menyiapkan bahan aktif.

Penggunaan media sintetik yang terdiri dari isolat bahan–bahan murni, dapat digantikan dengan menggunakan media alami dari alam. Media alami dapat diperoleh dari limbah atau hasil samping agroindustri yang masih mengandung nutrisi lengkap atau menggunakan bahan sumber nabati atau hewani lainnya. Contoh media yang berasal dari limbah dan dikembangkan untuk fermentasi B. thuringiensis adalah media limbah pengolahan kacang-kacangan dan limbah

darah sapi (Obeta & Okafor 1984) serta padatan dari limbah pengolahan air (Brar

et al. 2007).

Limbah cair tahu merupakan hasil buangan industri tahu yang merupakan sisa dari proses penggumpalan tahu dan pada umumnya dibuang ke badan air. Limbah cair tahu masih memiliki nutrien yang cukup untuk pertumbuhan mikroba (Tabel 3). Nutrien yang penting bagi pertumbuhan mikroba adalah kadar karbon dan nitrogen. Kadar karbon dan nitrogen yang dimiliki oleh limbah cair tahu


(37)

masih tergolong tinggi, sehingga apabila dibuang ke badan air akan memiliki potensi pencemaran dengan menurunkan mutu air yang cukup besar.

Air kelapa banyak dimanfaatkan sebagai salah satu sumber media fermentasi karena mengandung gula-sederhana dan vitamin serta mineral (Tabel 4). Prabakaran et al. (2007) menyebutkan fermentasi dengan media air kelapa

dapat menghasilkan tingkat toksisitas dan jumlah spora yang sama dengan menggunakan media konvensional. Priatno (1999) dan Sriganti (2000) juga memperoleh hasil yang sama dalam menggunakan air kelapa sebagai media fermentasi B. thuringiensis, bahwa air kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku

media fermentasi B. thuringiensis. Penggunaan air kelapa dan limbah cair tahu

dapat mengurangi biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi bioinsektisida B. thuringiensis.

Tabel 3 Komponen kimiawi limbah cair tahu dan air kelapa

Komponen

Limbah cair tahu Air kelapa Berat basah

(%)

Berat kering (%)

Berat basah (%)

Berat kering (%)

Total nitrogen 0.09 10.6 0.01 0.60

Total karbon 0.49 58.7 1.02 66.20

Sumber : Aryati (2011)

b. Karakteristisasi bahan aktif hasil fermentasi

Analisis karakteristik yang dilakukan terhadap larutan hasil fermentasi adalah jumlah kandungan spora (viable spore count/ VSC) dan analisis LC50 serta

potensi dari uji hayati terhadap larva Crocidolomia pavonana. Jumlah spora yang

dihasilkan dapat menggambarkan keberadaan kristal endotoksin yang dimiliki oleh bahan aktif yang didapatkan.

Proses fermentasi yang digunakan adalah menggunakan erlenmeyer, karena hasil penelitian Nelly (2012) menunjukkan penggunaan fermentasi skala kecil lebih banyak menghasilkan kristal protein dibanding fermentor 3L. Hal tersebut diduga disebabkan karena proses agitasi dan aerasi yang lebih baik pada proses fermentasi skala kecil, sehingga respirasi sel bakteri berlangsung lebih baik dan menyebabkan pertumbuhan yang lebih baik, sehingga dapat menghasilkan kristal protein yang lebih banyak.


(38)

24

Jenis spora B. thuringiensis tertentu dapat memiliki toksisitas langsung

terhadap larva atau membantu kerusakan yang diakibatkan δ-endotoksin pada

pencernaan serangga (Tang et al. 1995; Johnson 1996; Glare & O’Callaghan

2000). Akan tetapi perbandingan jumlah spora yang dihasilkan antara dua bakteri yang berbeda tidak dapat dijadikan parameter untuk menentukan bakteri mana yang memiliki tingkat toksisitas terbaik. Tingkat toksisitas sesungguhnya yang dimiliki oleh bahan aktif dapat diperoleh melalui uji hayati.

Tabel 4 Kandungan nutrisi air kelapa

Komponen Jumlah Asam nikotinat (mg/l) 0.600 Asam pantotenat (mg/l) 0.520 Biotin (mg/l) 0.020 Riboflavin (mg/l) 0.010 Asam folat (mg/l) 0.003 Thiamin (mg/l) Sedikit Pirodoksin (mg/l) Sedikit Auksin (mg/l) 0.070 Giberalin (mg/l) Sedikit 1-3 difenil urea (mg/l) 5.800 Sorbitol (mg/l) 15.000 Myoinositol (mg/l) 0.010 Syclo inositol (mg/l) 0.050 Kalium (mg/100 ml) 312 Natrium (mg/100 ml) 1050 Kalsium (mg/100 ml) 290 Magnesium (mg/100 ml) 300

Besi (mg/100 ml) 1

Tembaga (mg/100 ml) 14 Fosfor (mg/100 ml) 370 Belerang (mg/100 ml) 240

Sumber: Tuleckle (1961) dan Ketaren (1978) diacu dalam Priatno (1999)

Jumlah VSC yang didapatkan dari larutan hasil fermentasi adalah 1.33 x 105 CFU/ml (Tabel 5). Hasil tersebut tidak berbeda dari yang didapatkan oleh Aryati (2011) menggunakan media yang sama yakni 1.58 x 105 CFU/ml, akan tetapi keduanya berbeda cukup signifikan dengan hasil VSC produk komersial.


(39)

Perbedaan nilai tersebut apabila dipandang dari sisi toksisitas produk yang dihasilkan, semata-mata hanyalah menggambarkan adanya toksin kristal yang dihasilkan akan tetapi tidak menggambarkan perbedaan jumlah yang dihasilkan atau tingkat toksisitas yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena jumlah spora tidak dapat dipergunakan untuk membandingkan tingkat toksisitas antar sampel karena jumlah spora tidak berbanding lurus dengan tingkat toksisitas yang dihasilkan (Nelly 2012). Akan tetapi nilai spora penting untuk melihat perkembangan bakteri dan pembentukan kristal endotoksin pada proses fermentasi. Hal tersebut disebabkan karena pembentukan kristal endotoksin berjalan pada masa sporulasi. Oleh karena itu perbandingan jumlah spora yang dimiliki dua sampel yang berbeda tidak dapat dipergunakan untuk membandingkan tingkat toksisitas yang dimiliki masing-masing sampel.

Tabel 5 Perbandingan karakteristik sampel pada hasil penelitian ini, hasil penelitian sebelumnya dan produk komersial.

Karakter

Sampel Hasil

penelitian ini

Hasil penelitian sebelumnya*

Produk komersial

VSC (CFU/ml) 1.37 x 105 1.58 x 105 1.2 x 109 LC50 sampe l (g/ml) 62. x 10-3 0.02 x 10-6 3 x 10-5

Potensi sampel (IU/mg) 7.7 26267 16000

* Aryati (2011) Keterangan :

LC50 standar pada percobaan sebelumnya = 0.05 x 10-6 (g/ml)

Daun yang digunakan pada pengujian ini adalah daun brokoli, daun yang digunakan pada penelitian sebelumnya adalah daun sawi hijau.

Nilai LC50 merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur dosis

yang dibutuhkan dari bahan aktif untuk membunuh 50% populasi serangga. Dulmage (1990) menyatakan bahwa untuk menyatakan tingkat toksisitas yang dimiliki oleh bioinsektisida B. thuringiensis tidak cukup hanya melalui

pengukuran LC50, akan tetapi diperlukan juga nilai potensi. Nilai LC50 dari suatu

bahan aktif akan selalu berubah dalam setiap pengukuran seiring dengan waktu disebabkan penurunan mutu bahan aktif dan keragaman yang terdapat antara populasi serangga yang digunakan pada waktu yang berbeda. Dengan kata lain LC50 dapat digunakan untuk memperbandingkan tingkat toksisitas yang dimiliki


(40)

26

oleh bahan aktif yang berbeda pada satu saat pengukuran yang sama, sedangkan untuk hasil pengukuran yang dilakukan pada waktu yang berbeda digunakan nilai potensi.

Hasil perhitungan potensi yang dimiliki sampel uji berasal dari rasio perbandingan nilai LC50 antara sampel dan LC50 standar yang diukur pada waktu

yang sama. Rumus perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1. Perhitungan potensi memerlukan produk bahan aktif standar yang memiliki nilai potensi yang telah terukur. Produk standar yang digunakan pada percobaan ini dan percobaan sebelumnya adalah sama dan memiliki nilai potensi 16000 IU/mg.

Nilai LC50 yang dihitung adalah berdasarkan bobot total padatan dari

larutan fermentasi. Sesungguhnya pengukuran LC50 akan lebih akurat jika hanya

berdasarkan bobot kristal endotoksin dan spora. Akan tetapi, pengukuran bobot kristal endotoksin dan spora saja dari larutan fermentasi cukup sulit dilakukan, oleh karena itu, digunakan asumsi bobot total padatan. Kandungan yang terdapat dalam total padatan larutan fermentasi adalah total sel hidup, total spora, padatan

media fermentasi dan kristal δ-endotoksin. Jumlah total padatan pada larutan

fermentasi adalah 0.01 g/ml.

Nilai LC50 yang dimiliki larutan fermentasi pada percobaan ini adalah

sebesar 0.062 g/ml. Hal tersebut berarti untuk mematikan 50% serangga dengan jumlah total 10 ekor serangga diperlukan sekitar 5 ml cairan fermentasi. Jumlah tersebut terlalu kecil untuk keperluan aplikasi di lapangan. Hal tersebut mendukung alasan diperlukannya sebuah produk yang lebih terkonsentrat untuk keefektifan penggunaan.

Dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Aryati (2011) (Tabel 5) nilai LC50 yang didapat pada percobaan ini lebih besar. Hasil LC50 yang lebih besar

menandakan tingkat toksisitas yang lebih kecil. Oleh karena itu, semakin kecil nilai LC50 maka semakin baik tingkat toksisitas yang dimiliki.

Nilai potensi yang diperoleh adalah 7.7 IU/mg. Nilai potensi akan berbanding terbalik dengan nilai LC50. Semakin besar nilai potensi yang dimiliki,

maka tingkat toksisitasnya akan semakin baik. Potensi yang dimiliki oleh sampel pada percobaan ini lebih kecil dibandingkan dengan potensi yang dimiliki oleh percobaan sebelumnya. Hal tersebut disebabkan karena rasio LC50 sampel dan


(41)

LC50 standar pada percobaan ini lebih kecil (0.03) dibandingkan dengan

percobaan sebelumnya (2.5). Nilai LC50 standar pada percobaan ini juga

mengalami peningkatan dibandingkan pengukuran pada percobaan sebelumnya. Perbedaan hasil toksisitas (LC50 dan potensi) yang didapatkan dibandingkan

dengan percobaan sebelumnya diduga disebabkan karena metode yang digunakan pada penelitian ini berbeda dengan yang digunakan oleh Aryati (2011). Metode uji hayati pada percobaan ini mencoba menghindari pengaruh selain toksin bahan aktif kepada mortalitas larva C. pavonana. Penggantian daun dan alas tisu perhari

dapat menghindari kekeringan, stress berlebihan dan tumbuhnya jamur yang dapat menyebabkan kematian pada larva. Jenis daun yang digunakan sebagai media penempelan bahan aktif pada penelitian ini juga berbeda dengan yang digunakan oleh Aryati (2011). Pada penelitian ini digunakan brokoli sedangkan penelitan sebelumnya menggunakan daun sawi hijau (ceisin).

Selera dan respon larva terhadap daun yang menjadi bahan makanan berbeda-beda. Oleh karena itu, dapat mempengaruhi respon mortalitas larva terhadap bahan aktif yang dicobakan (Meade & Hare 1993). Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Sari (2002) yang mengemukakan bahwa pertumbuhan larva C. pavonana pada daun brokoli jauh lebih baik dibandingkan pada daun sawi hijau. Larva yang tumbuh pada daun sawi hijau lebih banyak mengalami kegagalan untuk berkembang menjadi pupa. Hal tersebut diduga karena kandungan nutrisi yang dimiliki oleh brokoli lebih baik dibandingkan dengan daun sawi hijau (Tabel 6). Kondisi larva yang kurang sehat karena pakan yang kurang baik dapat ikut menimbulkan pengaruh kepada respon mortalitas yang diamati, sehingga respon mortalitas yang diukur bukan karena pengaruh bahan aktif semata. Hal tersebutlah yang diduga mempengaruhi nilai LC50 pada

penelitian sebelumnya menjadi lebih rendah.

Penyebab lain adalah keragaman antar populasi larva yang digunakan. Dulmage (1990) menyatakan bahwa nilai pengukuran LC50 memiliki kendala

apabila diperbandingkan dengan hasil yang dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda. Hal tersebut disebabkan adanya keragaman yang tidak dapat dikontrol dari serangga uji yang dipelihara. Hal-hal yang dapat memberikan


(42)

28

pengaruh terhadap keragaman tersebut adalah faktor biologis pada saat pemeliharaan, faktor genetis atau adanya respon kekebalan dari serangga.

Tabel 6 Kandungan nutrisi daun untuk pengujian (per 100 g bagian yang dapat dimakan)

Kandungan Brokoli Sawi hijau

Protein(g) 3.6 1.7

Lemak(g) 0.5 0.4

Karbohidrat(g) 3.6 3.4 Vitamin B1(mg) 0 0.04 Vitamin C(mg) 3.0 3.0 Sumber : Sari (2002)

Uji hayati dilakukan pada larva C. pavonana. Larva tersebut dipergunakan

karena pemeliharaan dan proses mendapatkan larva yang lebih mudah dibandingkan serangga uji yang lain. Serangga tersebut disebut juga ulat krop kubis. Serangga C. pavonana tergolong serangga polifagus yang artinya serangga

tersebut dapat menyerang lebih dari satu jenis tanaman; dalam hal ini semua tanaman yang tergolong kubis-kubisan. Tanaman yang terserang dapat termakan habis dan minimal menurunkan mutu dan nilai jual yang dimiliki oleh tanaman.

Chapman (1998) menjelaskan bahwa saluran pencernaan serangga umumnya terbagi tiga bagian : bagian depan (stromodeum), bagian tengah (mesentron) dan bagian belakang (proktodeum). Kondisi keasaman saluran pencernaan dapat berbeda-beda tergantung dari preferensi makan serangga. Umumnya saluran pencernaan bagian depan cenderung memiliki pH asam dan bagian tengah cenderung netral dan mengandung sistem buffer. Saluran pencernaan bagian belakang untuk serangga pemakan tumbuhan memiliki pH basa. Bagian saluran pencernaan ini diduga merupakan lokasi aktivitas toksin dari δ endotoksin, karena kondisi pH yang diperlukan untuk proses aktivasi endotoksin sesuai.

Larva yang digunakan adalah larva instar dua. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat toksisitas bahan aktif pada tahap awal perkembangan larva. Instar pertama tidak dapat dipergunakan karena kondisi larva masih sangat lemah apabila dipindahkan ke dalam cawan. Larva instar dua yang baru berganti


(43)

kulit berada dalam kondisi lapar disebabkan harus melalui tahap puasa pada saat penggantian kulit. Hal ini juga dapat mempermudah pengukuran toksisitas disebabkan larva berpeluang besar untuk segera mengkonsumsi toksin yang berada pada permukaan daun. Hasil uji hayati yang didapatkan hanya berlaku terhadap serangga yang diuji dan tidak untuk serangga lain. Hal tersebut disebabkan karena sensitifitas setiap serangga terhadap bahan aktif toksin yang sama berbeda.

2. Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida

a. Penetapan kondisi operasi mesin spray dryer

Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida dilakukan menggunakan alat spray dryer. Penggunaan metode ini menghasilkan keuntungan ekonomis yang lebih tinggi, proses yang lebih cepat, serbuk yang dihasilkan lebih halus dan mudah untuk peningkatan skala dibandingkan peralatan mikroenkapsulasi lainnya (Gharsallaoui et al. 2007). Eslamian dan Ashgriz (2011) menyatakan bahwa karakteristik serbuk yang dihasilkan dari proses pengeringan semprot bergantung dari kondisi operasi mesin (suhu, kelembaban dan tekanan) dan karakteristik larutan (kekentalan dan konsentrasi). Pada tahap ini parameter-parameter tersebut digunakan untuk mencari kondisi optimum pengoperasian mesin spray dryer.

Konsentrasi bahan enkapsulan yang digunakan untuk optimasi proses mikroenkapsulasi adalah 10% maltodekstrin. Konsentrasi tersebut digunakan karena merupakan konsentrasi dengan kekentalan tertinggi yang dibuat untuk produk mikroenkapsulasi pada percobaan ini. Penggunaan konsentrasi tertinggi bertujuan sekaligus untuk menetapkan kondisi operasi untuk konsentrasi yang lebih rendah.

Karakteristik kekentalan dan konsentrasi bahan yang dikeringkan mempengaruhi langsung mutu partikel yang dihasilkan proses atomisasi, semakin besar konsentrasi larutan yang digunakan, maka parameter pengoperasian akan semakin rumit. Kekentalan yang terlalu tinggi mengakibatkan proses pemompaan cairan ke mesin jet penyemprot menjadi terhambat. Kekentalan yang terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan proses atomisasi menjadi tidak sempurna, sehingga mutu serbuk yang dihasilkan tidak baik. Dengan kata lain parameter operasi yang digunakan untuk mengeringkan larutan dengan kekentalan tinggi


(44)

30

diasumsikan dapat mewakili parameter yang digunakan untuk kekentalan rendah, karena kekentalan rendah memiliki karakter yang lebih mudah dioperasikan oleh alat pengering dan alat atomisasi. Kekentalan yang dihasilkan oleh konsentrasi 5% adalah 14.7 cp sedangkan konsentrasi 10% adalah 26.7 cP.

Tabel 7 menunjukan hasil produk yang didapatkan pada kondisi operasi mesin spray dryer yang divariasikan. Kecepatan suplai larutan yang terbaik

didapatkan pada kecepatan 50 ml/menit. Kondisi yang diinginkan adalah kecepatan suplai yang tinggi agar dapat mengurangi waktu pengeringan tanpa menurunkan mutu serbuk yang didapat. Proses pengeringan didasarkan pada penguapan partikel cair larutan yang telah melalui proses atomisasi. Panas akan menguapkan air dengan cepat dan menyebabkan lapisan bahan enkapsulasi menyelubungi bahan aktif.

Tabel 7 Pengaruh kondisi operasi mesin spray dryer terhadap mutu produk yang dihasilkan dengan konsentrasi maltodekstrin 10%.

Laju alir (ml/min)

Suhu inlet

(oC)

Suhu outlet

(oC)

Mutu serbuk

Bebas alir Clogging pada alat

30 100 50 - +++

40 100 50 - ++

40 110 60 - ++

50 120 70 +++ -

50 130 80 ++ -

60 150 100 + -

Keterangan : (-) tidak ada, (+++) tampak sekali, (++) tampak, (+) kurang tampak.

Alat jet penyemprot yang berada pada tabung outlet bekerja berdasarkan

tekanan udara tinggi yang diberikan pada aliran cairan, sehingga mengakibatkan partikel cairan terpecah menjadi ukuran yang sangat kecil. Proses tersebut disebut sebagi proses atomisasi. Kecepatan alir cairan pada alat jet penyemprot penting untuk diperhatikan. Kecepatan alir yang terlalu rendah menyebabkan proses atomisasi yang berlebihan sehingga partikel yang terbentuk terlalu kecil sehingga mengakibatkan panas yang berlebihan pada permukaan serbuk saat proses pengeringan. Kecepatan alir yang terlalu tinggi akan memberikan efek kebalikan, proses panas tidak dapat mengeringkan partikel cairan karena partikel yang dihasilkan terlalu besar akibat proses atomisasi yang tidak sempurna.


(45)

Hasil percobaan optimasi suhu inlet menunjukan bahwa sampel larutan

bioinsektisida memiliki titik suhu penguapan partikel cairan untuk pembentukan serbuk terbaik adalah pada suhu inlet 120 oC (Tabel 7). Suhu yang lebih rendah

pada kondisi operasi ini akan menghasilkan partikel serbuk yang mengalami pengeringan tidak sempurna sehingga mengakibatkan pelengketan (clogging)

pada dinding tabung inlet dan outlet. Suhu yang lebih tinggi akan mengakibatkan

proses pengeringan terlalu tinggi, sehingga kerusakan bahan aktif dan serbuk terjadi. Tabel 7 menunjukan bahwa suhu inlet yang lebih tinggi dari 120 oC

mengurangi mutu bebas alir serbuk. Proses pengeringan pada tabung inlet akan

berlangsung cepat, sehingga dapat meminimalisasi kerusakan yang diakibatkan pada bahan aktif.

Hasil tersebut sesuai dengan yang diperoleh oleh Alamilla-Beltran et al.

(2005), yakni suhu yang digunakan pada saat pengeringan juga berpengaruh terhadap morfologi partikel yang dihasilkan. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa partikel yang dikeringkan pada suhu rendah antara 100 oC sampai 110 oC memiliki kecenderungan untuk membentuk partikel serbuk yang utuh dan tidak hancur. Penggunaan suhu yang tinggi (170 oC-200 oC) akan menyebabkan pembentukan partikel matriks enkapsulasi yang tidak sempurna. Suhu yang terlampau tinggi akan mengakibatkan proses penguapan air dari partikel berlangsung sangat cepat dan pada akhirnya partikel matriks yang terbentuk akan pecah.

Suhu optimum tabung outlet yang didapatkan adalah 70 oC (Tabel 7). Suhu outlet merupakan hal yang harus diperhatikan. Hal tersebut disebabkan sampel

lebih lama tinggal pada tabung outlet. Kecepatan aliran udara sentrifugasi di

dalam tabung outlet lebih kecil dibandingkan dengan tabung inlet, sehingga

menyebabkan serbuk lebih lama jatuh ke tempat penampungan. Suhu yang terlalu tinggi pada tabung outlet dapat merusak aktifitas bahan aktif. Peningkatan suhu outlet yang melebihi suhu optimum menimbulkan resiko kerusakan bahan aktif

yang semakin tinggi dan juga mutu serbuk yang dihasilkan semakin menurun. Pendekatan untuk meramalkan dan mencari kondisi operasi pengeringan yang baik adalah dengan memahami karakteristik bahan yang dikeringkan. Salah satu karakteristik tersebut adalah kelengketan bahan yang dihasilkan pada proses


(46)

32

pemanasan. DE (Dekstrosa Ekuivalen) yang dimiliki oleh suatu bahan karbohidrat diduga memiliki hubungan erat dengan kelengketan yang dimiliki produk pada saat pengeringan. Karakter kelengketan bahan tersebut juga berkaitan erat dengan perubahan fase transisi seperti plastik. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Forssell (2004), yakni sifat dan karakteristik yang dimiliki maltodekstrin berhubungan erat dengan nilai DE yang dimiliki. Nilai DE menggambarkan seberapa besar tingkat pemutusan rantai karbon yang dilakukan oleh enzim untuk membentuk molekul yang lebih kecil. Maltodekstrin yang memiliki nilai DE semakin kecil akan memiliki sifat dan karakteristik yang mirip dengan pati, sebaliknya semakin besar nilai DE maka sifat dan karakteristik yang dimiliki akan semakin mirip dengan larutan glukosa (Sun et al. 2010). Hasil analisis bilangan DE pada bahan maltodekstrin menunjukkan maltodekstrin pada penelitian ini memiliki DE 19. Sehingga bahan maltodekstrin yang digunakan memiliki karakteristik seperti larutan glukosa.

Truong et al. (2004) menjelaskan mengenai pengaruh fase transisi gelas pada kelengketan produk karbohidrat di dalam penelitiannya. Hasilnya adalah penjelasan bahwa karbohidrat memiliki karakteristik suhu perubahan fase transisi gelas menjadi seperti plastik (Tg) dan suhu terbentuknya bahan yang lengket (Ts).

Ketika suhu pengeringan bahan lebih tinggi dari suhu Ts maka bahan mengalami

perubahan material amorf dari fase seperti kaca menjadi lebih fleksibel seperti plastik. Apabila suhu pengeringan lebih tinggi dari Tg yang dimiliki bahan, maka

bahan akan bersifat lengket dan menempel pada dinding tabung sehingga menurunkan rendemen yang didapat serta mutu produk yang dihasilkan. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa suhu Ts memiliki kisaran 10 oC

sampai 23 oC lebih tinggi dari Tg. hasil penelitian tersebut juga menjelaskan

bahwa rendemen produk yang didapatkan dari bahan karbohidrat yang mudah lengket dapat ditingkatkan dengan cara mencari kondisi operasi optimum dari

spray dry berdasarkan konsep fase transisi gelas yang dimiliki oleh bahan.

Salah satu model yang menunjukkan hubungan antara DE dan Tg adalah

yang dihasilkan pada penelitian Langrish et al.. (2007). Pada penelitian tersebut

menggunakan maltodekstrin dengan DE 18 yang tidak berbeda jauh dengan DE bahan maltodekstrin yang digunakan pada penelitian ini. Hubungan yang


(47)

didapatkan antara kedua parameter adalah Tg=176.35-1.4 DE. Melihat bahwa DE

yang digunakan pada penelitian tersebut tidak berbeda jauh dengan yang digunakan pada penelitian ini, maka diasumsikan rumus tersebut dapat digunakan juga untuk bahan maltodekstrin yang digunakan pada penelitian ini. Hasilnya adalah maltodekstrin yang digunakan pada penelitian ini memiliki Tg= 148.35 oC.

Suhu optimum pada Tabel 7 menunjukkan bahwa pengoperasian berlangsung di bawah suhu tersebut sehingga menjelaskan mengapa hasil serbuk yang diperoleh pada suhu tersebut lebih baik dan tidak mengalami pelengketan dibandingkan percobaan pada suhu yang lebih tinggi.

Rumus tersebut menggambarkan mengapa bahan-bahan yang memiliki kadar glukosa tinggi atau memiliki DE sangat tinggi, molekul sakarida dengan bobot molekul rendah yang tinggi serta kandungan asam organik yang tinggi sulit untuk dikeringkan dan dibuat produk serbuk menggunakan spray dryer. Truong et al.. (2004) menjelaskan bahwa bahan-bahan tersebut memiliki sifat termoplastik yang tinggi pula. Bahan-bahan tersebut akan memiliki titik Tg yang sangat rendah

sekali, sehingga pada saat pengeringan menggunakan spray dryer akan mengalami penumpukan dan pelengketan pada dinding alat. Hal tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian Adhikari et al.. (2006) yang mendapatkan bahwa bahan-bahan karbohidrat dengan berat molekul sangat rendah memiliki tingkat kelengketan yang tinggi ketika dikeringkan, sehingga tidak dapat diproduksi menjadi serbuk menggunakan spray dryer.

Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk meramalkan kondisi operasi optimum dari bahan karbohidrat berkaitan dengan karakteristik Tg yang dimiliki

adalah rasio bobot molekul yang terkandung dalam bahan. Hal tersebut dijelaskan oleh Takeiti et al.. bahwa DE tidak dapat digunakan secara mutlak untuk

meramalkan karakteristik yang dimiliki oleh maltodekstrin atau bahan karbohidrat untuk digunakan dalam aplikasi. Salah satu cara yang lebih tepat adalah dengan rasio distribusi massa yang terkandung dalam maltodekstrin. Maltodekstrin dapat mengandung sakarida dengan rasio massa besar dan kecil berbeda tergantung jenis pati yang digunakan dan hidrolisis enzim yang berlangsung. Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Avaltroni et al. (2004) yang mengemukakan bahwa


(48)

34

dengan Derajat Polimerisasi (DP) yang tinggi, akan tetapi dengan konsentrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan maltodekstrin yang mengandung DE lebih tinggi. Bahan maltodekstrin yang memiliki nilai DE sama, tetapi memiliki rasio berat molekul sakarida yang terkandung berbeda akan menghasilkan bahan dengan karakteristik berbeda pula. Griffin dan brooks (1989) mengemukakan bahwa sakarida dengan massa besar berpengaruh terhadap stabilitas dan solubilitas yang dihasilkan, sedangkan sakarida dengan massa kecil berpengaruh terhadap viskositas, kristalinitas dan kemanisan produk yang dihasilkan. Secara ringkas Marchal et al.. (1999) menjelaskan hubungan antara karakteristik tersebut

sebagai berikut :

1. Higroskopisitas antara bahan dengan panjang Derajat Polimerisasi (DP) berbeda adalah DP3>DP4=DP7>DP5>DP6>DP11>DP2.

2. Viskositas akan meningkat seiring dengan peningkatan DP. 3. Derajat kemanisan akan menurun seiring dengan peningkatan DP

4. Kestabilan waktu simpan akan meningkat seiring dengan peningkatan DP. Umumnya DP di atas 7 sampai 12 akan menunjukkan waktu simpan yang lebih baik.

Penelitian pendugaan karakteristik dari rasio bobot molekul dilakukan dengan menggunakan pendekatan permodelan. Roos dan Karel (1991) mengemukakan tentang hubungan antara rasio bobot molekul dan kemampuan bahan untuk dibekukan. Avaltroni et al. (2004) dalam penelitiannya menjelaskan mengenai hubungan antara rasio bobot molekul dan Tg serta viskositas yang

dihasilkan dengan model matematika tertentu. b. Pemilihan bahan enkapsulan

Bahan karbohidrat dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan bioinsektisida karena selain mudah terdegradasi juga dapat berfungsi sebagai daya tarik konsumsi bagi serangga. Kemampuan daya tarik konsumsi itu disebabkan karena karbohidrat merupakan bahan alami yang terkandung di dalam daun yang merupakan pakan alami dari serangga.

Beberapa bahan karbohidrat yang dapat digunakan dalam proses enkapsulasi dinding matriks adalah laktosa dan maltodekstrin. Dulmage (1990) menyatakan bahwa bahan yang umum digunakan untuk produk enkapsulasi


(1)

b. Hasil pengolahan data mortalitas produk enkapsulan 5% maltodekstrin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

Koefisien persamaan model probit untuk LC50

Parameter Standar eror T ratio Biti 3.496 0.767 4.561 Slope 1.422 0.468 3.037

Tes kepatutan Chi-squared Sampel Dosis Jumlah

sampel

Sampel mati

Nilai harapan

Residual Peluang Standar residual

Biti 0.010 20 15 14.86 0.144 0.743 0.073

0.050 20 19 19.00 -0.002 0.950 -0.002 0.090 20 19 19.55 -0.555 0.978 -0.840

0.130 20 20 19.75 0.253 0.987 0.507

0.170 20 20 19.84 0.163 0.992 0.406


(2)

Dosis efektif

Jumlah

(mg/ml) limit

Peluang nyata 0.90

(mg/ml)

0.95 (mg/ml) LC50 biti 0.003 Bawah 0.000 0.000

Atas 0.008 0.009 LC95 biti 0.05 Bawah 0.028 0.025 Atas 0.149 0.241 Kurva mortalitas sampel untuk dosis LC50 sampel

c. Hasil pengolahan data mortalitas produk enkapsulan 10% maltodekstrin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

Koefisien persamaan model probit untuk LC50

Parameter Standar eror T ratio Biti 3.591 0.544 6.601 Slope 2.299 0.391 5.881


(3)

Sampel Dosis Jumlah sampel

Sampel mati

Nilai harapan

Residual Peluang Standar residual

Biti 0.010 20 4 3.14 0.858 0.157 0.528

0.050 20 13 14.52 -1.516 0.726 -0.760 0.090 20 16 17.65 -1.647 0.882 -1.143

0.130 20 20 18.80 1.202 0.940 1.131

0.170 20 20 19.32 0.685 0.966 0.842

Chi-square: 4.1506 Derajat bebas: 3 Keragaman : 1.3835 Dosis efektif

Jumlah

(mg/ml) limit

Peluang nyata 0.90

(mg/ml)

0.95 (mg/ml) LC50 biti 0.027 Bawah 0.013 0.007

Atas 0.044 0.051 LC95 biti 0.0142 Bawah 0.084 0.072 Atas 0.454 1.260 Kurva mortalitas sampel untuk dosis LC50 sampel


(4)

d. Hasil pengolahan data mortalitas produk komersial B. thuringiensis subsp. berliner

Koefisien persamaan model probit untuk LC50

Parameter Standar eror T ratio Biti 1.896 0.390 4.864 Slope 0.724 0.142 5.080

Tes kepatutan Chi-squared Sampel Jumlah populasi

sampel

Sampel mati

Nilai harapan

Deviasi peluang

biti 20. 4. 4.410 -0.410 0.220

20. 10. 9.043 0.957 0.452

20. 17. 18.01 -1.008 0.900

20. 20. 19.54 0.455 0.977

Chi-square: 1.2660 Derajat bebas: 2 Keragaman : 0.63 Dosis efektif

Jumlah

(mg/ml) limit

Peluang nyata 0.90

(mg/ml)

0.95 (mg/ml)

0.99 (mg/ml) LC50 biti 0.002 Bawah 0.001 0.001 0.000

Atas 0.006 0.008 0.013 LC95 biti 0.449 Bawah 0.106 0.085 0.058

Atas 5.757 12.32 90.91

e. Hasil pengolahan data log VSC untuk larutan fermentasi dan produk mikroenkapsulasi

Faktor: 1) Jenis Produk Tes: Tukey-Kramer Peluang beda nyata: 0.01


(5)

Derajat bebas: 6

Jumlah nilai tengah = 3

Urutan Namasampel Nilai rataan n Keterangan

1 asli 4.9 3 a

2 10% 1.8 3 b

3 5% 1.5 3 b

Keterangan: sampel dengan huruf signifikan yang sama tidak berbeda nyata f. Hasil pengolahan data mortalitas untuk perlakuan simulasi hujan terhadap

produk mikroenkapsulasi bioinsektisida ANOVA

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

Nilai F Peluang Keteranga n Jenis

produk

3 15864.30 303

5288.101 254.7021 1

.0000 ***

Eror 7 145.3333

333

20.76190 5 Total 10 16009.63

636

Keterangan: (*) = berpengaruh nyata. Jumlah bintang menandakan tingkat berpengaruh nyata

Faktor: 1) Jenis produk Tes: Tukey-Kramer Peluang beda nyata: 0.01 Ragam: 20.7619047619 Derajat bebas: 7

Urutan Nama sampel Nilai rataan (%)

n Keterangan

1 bactospeine 100 3 a

2 maltodekstrin 95 2 a

3 Fermentasi 54 3 b

4 Kontrol 6.7 3 c


(6)

g. Hasil pengolahan data mortalitas untuk perlakuan pemaparan sinar matahari terhadap produk mikroenkapsulasi bioinsektisida

ANOVA Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

Nilai F Peluang Keteranga n Jenis

produk

3 18871.21 212

6290.404 240.1790 6

.0000 ***

Eror 7 183.3333

333

26.19047 6 Total 10 9054.545

45

Keterangan: (*) = berpengaruh nyata. Jumlah bintang menandakan tingkat berpengaruh nyata

faktor: 1) Jenis produk Tes: Tukey-Kramer Peluang beda nyata: 0.01 Ragam : 26.1904761905 Derajat bebas : 7

Urutan Nama sampel Nilai rataan (%)

N keterangan

1 bactospeine 100 3 a

2 maltodekstrin 25 2 b

3 kontrol 3.3 3 c


Dokumen yang terkait

Penggunaan Beauveria bassiana dan Bacillus thuringiensis Untuk Mengendalikan Plutella xylostella L. (Lepidoptera; Plutellidae) Di Laboratorium

1 41 50

“Uji Efektifitas Bacillus thuringiensis dan Beauverria bassiana (Balsamo) vuillemin Terhadap Rayap (Coptotermes curvignathus Holmgren.) (Isoptera: Rhinotermi) di Laboratorium

1 35 53

Uji Efektifitas Beauveria basianna DAN Bacillus thuringiensis Terhadap Ulat Api (Setothosea asigna Eeck) Di Laboratorium

1 36 46

Uji Efektivitas Bacillus thuringiensis Berliner dan Beauveria bassiana Vui!! Terhadap Ulat Krop Crocidolomia binotalis ZeC (Lepidoptera : Pyralidae) Pada Tanaman Kubis di Laboratorium

2 59 84

Uji Efektifvitas Entomopathogen Bacillus thuringiensis Berliner Terhadap Ulat Daun Jati Hyblaea puera Cramer (Lepidoptera : Hybleidae) Di Laboratorium

0 34 58

Eksplorasi protein toksin bacillus thuringiensis dari tanah di Kabupaten Tangerang

0 7 82

Characterization of protoxin protein and chitinase enzyme from indigenous isolates Bacillus thuringiensis

2 9 122

Determination of C/N Ratio and development of Bioinsecticide Production by Bacillus thuringiensis Using Tofu waste Cultivation Media

0 3 240

Determination of C N Ratio and development of Bioinsecticide Production by Bacillus thuringiensis Using Tofu waste Cultivation Media

0 16 127

Bioesai Bioinsektisida Berbahan Aktif Bacillus thuringiensis Asal Tanah Lebak terhadap Larva Spodoptera litura Bioessay of Bacillus thuringiensis Berliner Bioinsecticide Against Spodoptera litura Fabricius

0 0 7