Eksplorasi protein toksin bacillus thuringiensis dari tanah di Kabupaten Tangerang

(1)

1

EKSPLORASI PROTEIN TOKSIN Bacillus thuringiensis DARI

TANAH DI KABUPATEN TANGERANG

MOHAMMAD HERO SHIDDIQI

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

2

EKSPLORASI PROTEIN TOKSIN Bacillus thuringiensis DARI

TANAH DI KABUPATEN TANGERANG

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

MOHAMMAD HERO SHIDDIQI

106096003240

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

3

EKSPLORASI PROTEIN TOKSIN Bacillus thuringiensis DARI

TANAH DI KABUPATEN TANGERANG

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

MOHAMMAD HERO SHIDDIQI

106096003240

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Eddy Jusuf, DES NIP. 19500915 197803 1 001

S. Hermanto, M.Si NIP. 19750810 200501 1 005

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kimia

Drs. Dede Sukandar, M.Si NIP. 19650104 199103 1 004


(4)

4 PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul “Eksplorasi Protein Toksin Bacillus thuringiensis dari Tanah di Kabupaten Tangerang” yang ditulis oleh Mohammad Hero Shiddiqi, NIM 106096003240 telah diuji dan dinyatakan “Lulus” dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 1 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.

Menyetujui,

Penguji I Penguji II

La Ode Sumarlin, M.Si NIP. 150 408 693

Hilyatuz Zahroh, MP.Kim

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Eddy Jusuf, DES NIP. 19500915 197803 1 001

S. Hermanto, M.Si NIP. 19750810 200501 1 005

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Kimia

DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis NIP. 19680117 200112 1 001

Drs. Dede Sukandar, M.Si NIP. 19650104 199103 1 004


(5)

5 PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Desember 2011

Mohammad Hero Shiddiqi 106096003240


(6)

6 Mohammad Hero Shiddiqi, Eksplorasi Protein Toksin Bacillus thuringiensis

dari Tanah di Kabupaten Tangerang. Dibawah bimbingan Eddy Jusuf dan S. Hermanto.

ABSTRAK

Bacillus thuringiensis (Bt) merupakan bakteri gram positif berspora penghasil protein toksin yang dapat bersifat sebagai insektisidal dan sitosidal. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan isolat lokal B.thuringiensis dari tanah di Kabupaten Tangerang dan memprediksi bobot molekulnya. Sampel tanah yang di uji antara lain : Ciherang, Ciputat, Pasar Kemis, Kosambi, Parung Secab, Puspiptek, Pamulang, dan Cileduk. Isolasi B.thuringiensis dilakukan dengan menggunakan metode Travera et al. (1987). Protein toksin disolasi dari bakteri menggunakan metode Bel et al. (1997) dan dianalisis kandungan proteinnya dengan metode Lowry. Profil protein dianalisis menggunakan SDS-PAGE dengan konsentrasi resolving gel 12 % dan stacking gel 4 %. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 6 sampel tanah yang positif terdapat

B.thuringiensis, yaitu Ciherang, Pasar Kemis, Kosambi, Parung Secab, Pamulang dan Cileduk. Dari profil protein hasil SDS-PAGE terdapat 5 jenis protein toksin dari 10 sampel protein yang diprediksi bersifat insektisidal atau ICP, yaitu Cry 15, Cry 23, Cry 25, Cry 30, dan Cry 35, serta terdapat 3 jenis protein toksin dari 5 sampel protein yang diprediksi bersifat sitosidal atau parasporin, yaitu PS-2 (Cry 46), PS-3 (Cry41), dan PS-4 (Cry 45).

Kata Kunci: Bacillus thuringiensis, protein toksin, ICP, Parasporin, dan SDS-PAGE


(7)

7 Mohammad Hero Shiddiqi, Exploration of Toxin Protein Bacillus thuringiensis from Soil in Kabupaten Tangerang. Supervised by. Eddy Jusuf and S. Hermanto.

ABSTRACT

Bacillus thuringiensis (Bt) is a gram positive sporulated bacterium and toxin protein producer that can act as insecticidal and sitocidal agents. This research was conducted with a purpose to get local isolate of B.thuringiensis from the soil of Tangerang District and determine protein molecular weight. Samples of soil were taken from Ciherang, Ciputat, Pasar Kemis, Kosambi, Parung Secab, Puspiptek, Pamulang, and Cileduk Villages. Isolation of B. thuringiensis was conducted by using Travera et al. method (1987), throught the isolated toxin protein from bacterium by using Bel et al. method (1997) and protein analysed with Lowry method. Protein profile was analysed by mean of SDS-PAGE with concentration resolving gel 12% and stacking gel 4%. The result showed that 6 samples were positive of B. thuringiensis, ie from Ciherang, Pasar Kemis, Kosambi, Parung Secab, Pamulang and Cileduk. Profile of SDS-PAGE result showed 5 type of toxin proteins from 10 samples predicted as an insecticidal agents or ICP, i.e Cry 15, Cry 23, Cry 25, Cry 30, and Cry 35, and 3 type of toxin proteins from 5 samples predicted as an sitocidal agents or parasporine, i.e PS-2 (Cry 46), PS-3 (Cry41), and PS-4 (Cry 45).

Password: Bacillus thuringiensis, Toxin Protein, ICP, Parasporine, and SDS-PAGE


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu ’alaikum wr. wb.

Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat,

hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul “Ekplorasi Protein Toksin Bakteri Bacillus thuringiensis dari Tanah di Kabupaten Tangerang”.

Skripsi ini merupakan tahapan akhir dan tugas utama dari serangkaian kuliah

yang harus diselesaikan dalam menempuh pendidikan strata satu pada Program

Studi Kimia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari peranan berbagai pihak yang

telah ikut secara langsung maupun tidak langsung. Maka dalam kesempatan ini,

penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Eddy Jusuf, DES, selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah banyak memberikan pengarahan, masukan dan motivasi dalam penelitian

dan penyusunan tugas akhir ini.

2. Bapak S. Hermanto, M.Si, selaku Pembimbing II sekaligus Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan arahan dan motivasi dalam

penyusunan tugas akhir dan menyelesaikan kuliah ini dengan baik.

3. Bapak DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah


(9)

ix 5. Ayahanda Amat Rusdi, Ibunda Nahidhotul Millah, serta adik-adik tercinta

atas dorongan dan do’anya yang senantiasa mengiringi gerak langkah

penulis.

6. Mba Pipit dan Mba Prita yang telah banyak memberikan bantuan selama

proses penelitian berlangsung di Pusat Laboratorium Terpadu UIN.

7. Dini Novalia Pratiwi yang telah banyak memberikan masukan dan

semangatnya baik moril maupun spiritual hingga tahap penyusunan tugas

akhir ini.

8. Teman-teman seperjuangan yang juga telah memberikan semangat dan

sarannya sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi

ini. Segala kritik dan saran yang membangun diharapkan dari pembaca.

Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih dan berdo’a semoga semua amal

baik yang terlah diberikan tersebut mendapat balasan dari Allah SWT, dan skripsi

ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta semoga Allah swt selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya

kepada kita semua. Amiin.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Jakarta, Desember 2011

Penulis


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... Halaman

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Bacillus thuringiensis ( Bt ) ... 5

2.1.1. Klasifikasi ... 5

2.1.2. Morfologi dan Fisiologi ... 5

2.1.3. Identifikasi dan Screening ... 7

2.2. Protein ... 8

2.2.1. Struktur Protein ... 8

2.2.2. Klasifikasi protein ... 12

2.2.3. Metode Identifikasi Protein ... 13

2.3. Protein Toksin pada Bacillus thuringiensis ... 14


(11)

xi

2.3.2. Parasporin ... 17

2.4. SDS PAGE ... 21

2.4.1. Prinsip Dasar ... 21

2.4.2. Aplikasi (Keunggulan dan Kelemahannya) ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 24

3.2. Alat dan Bahan ... 24

3.3. Cara Kerja ... 25

3.3.1. Isolasi bakteri dari tanah ... 25

3.3.2. Isolasi protein ... 26

3.3.3. Kuantitifikasi protein dengan Lowry ... 27

3.3.4. SDS-PAGE (Laemli, 1970) ... 27

3.4. Desain Penelitian ... 30

3.4.1. Isolasi B. thurigiensis ... 30

3.4.2. Isolasi protein toksin ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1. Isolasi B.thuringiensis dari tanah di Kabupaten Tangerang ... 32

4.2. Isolasi protein toksin ... 34

4.3. Kuantifikasi protein dengan Lowry ... 36

4.4. Profil protein hasil SDS-PAGE ... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1. Kesimpulan ... 47

5.2. Saran ... 47


(12)

xii LAMPIRAN ... 52


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Jenis-jenis protein Cry dari Bacillus thuringiensis berdasarkan ukuran dan serangga sasarannya

………... 16

Tabel 2.2. Spektrum sitotoksisitas empat macam parasporin terhadap berbagai tipe sel kanker dan normal ... 19

Tabel 4.1. Isolat dari sampel tanah yang menghasilkan protein kristal

……… 34

Tabel 4.2. Nilai absorbansi dan konsentrasi sampel protein kristal ... 38

Tabel 4.3. Bobot molekul protein sampel dan prediksi protein toksinnya... 42


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. B. thuringiensis ... 5

Gambar 2.2. B. thuringiensis isolate 84-HS-1-11 ... 6

Gambar 2.3. Struktur primer protein ... 9

Gambar 2.4. Struktur sekunder protein ... 10

Gambar 2.5. Beberapa jenis ikatan yang terdapat pada polipeptida ... 11

Gambar 2.6. Struktur kuartener protein ... 11

Gambar 2.7. Struktur tiga dimensi protein Cry 2Ab10 ... 15

Gambar 4.1. Isolasi B. thuringiensis dari tanah : (a) Isolat B. thuringiensis pembanding dan (b) Isolat Pasar Kemis……….. 32

Gambar 4.2. Isolasi 24 koloni terpilih : (a) Isolat Ciherang dan (b) Isolat Pamulang………... 33 Gambar 4.3. Hasil uji mikroskop : (a).Isolat Kem 7 salah satu isolat yang menghasilkan protein kristal. (b). Isolat B.thuringiensis pembanding ( Isolat Cibinong, 5 k). Perbesaran 50 x 10 .... ... 33

Gambar 4.4. Peremajaan bakteri berkristal di medium Luria Bertani (LB) ……… 35

Gambar 4.5. Isolasi bakteri berkristal di medium 2xSG ……….. 36 Gambar 4.6. Reaksi pada metode Lowry………. 37

Gambar 4.7. Hasil analisa SDS-PAGE pada sampel protein Kos 6, Kem 23, Par 17, Kos 9, Kos 7, Par 8 dan Pm 14 ... 39

Gambar 4.8. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein Kem 6, Par 18, Par 11, Kos 16, Par 9, Pm 19 dan Pm 10 ……… 40


(15)

xv Gambar 4.9. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein Cdk 3,

Kem 22, Ch 7, Cdk 4, Ch 3 Pm 14, Cdk 14, Kem 3, dan

Cdk 9………... 40

Gambar 4.10. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein Pm 6, Kos 15, Kem 24, Kem 7, Par 16, dan Kem 5 ……… 41

Gambar 4.11. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein Pm 23, Kem 10, Cdk 9 dan Kem 18 ...

41

Gambar 4.12. Mekanisme kerja ICP………. 44

Gambar 4.13 Mekanisme kerja PS-2……… 45 Ha


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pembuatan buffer fosfat pH 6,8……… 52

Lampiran 2. Pembuatan medium T-3 1 L………... 53

Lampiran 3. Pembuatan medium LB 500 mL ... 54

Lampiran 4. Pembuatan medium 2x SG 1 L………...

55

Lampiran 5. Kurva standar BSA... 56

Lampiran 6. Preparasi reagen SDS-PAGE………... 57

Lampiran 7. Standar protein marker catalog #161-0318

(BIO-RAD)... 59

Lampiran 8. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Kos 6, Kem 23, Par 17, Kos 9, Kos 7, Par 8, dan Pm 14………...

60

Lampiran 9. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Kem 6, Par 18, Par 11, Kos 16, Par 9, Pm 19 dan

Pm 10……….... 61

Lampiran 10. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Cdk 3, Kem 22, Ch 7, Cdk 4, Ch 3 Pm 14, Cdk 14, Kem 3, dan Cdk 9... 62

Lampiran 11. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Pm 6, Kos 15, Kem 24, Kem7, Par 16, dan Kem

5……….... 63

Lampiran 12. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Pm 23, Cdk 9, Kem 10, dan Kem 18………... 64

Lampiran 13. Hasil uji mikroskop perbesaran 50 x 10………... 65

Lampiran 14 Isolasi 24 koloni terpilih………... 66


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bacillus thuringiensis merupakan suatu jenis bakteri gram positif yang

terdiri dari sejumlah besar subspesies atau varietas dan galur-galur (strains) yang

ditemukan hampir di semua habitat. Bakteri ini pertama kali ditemukan tahun

1901 oleh Ishiwata, yaitu peneliti Jepang pada ulat sutra (Bombyx mori) yang

diketahui patogen terhadap serangga (Herlambang, 2007).

Dilihat dari sifat morfologi maupun fisiologinya bakteri ini memiliki

persamaan dengan Bacillus cereus, yang membedakan dengan B.thuringiensis

adalah adanya kristal protein yang bersifat toksin terhadap serangga (Benhard et

al., 1993). Protein toksin ini pertama kali dikenal sebagai parasporal crystalline

inclusion selanjutnya disebut sebagai δ-endotoksin atau Insecticidal Crystal

Protein (ICP) yang dibagi dalam dua kategori protein, yaitu: protein Cry (dari

kata Crystal) dan protein Cyt (dari kata Cytolytic) (Jusuf, 2009).

Sejak tahun 1930, ICP telah digunakan sebagai pestisida hayati

(bioinsektisida) untuk menanggulangi serangga yang menjadi hama tanaman

pertanian. B. thuringiensis dikenal sebagai agensia bahan baku pestisida yang baik

dalam pertanian dan aman terhadap kesehatan serta ramah lingkungan. Sifat

ramah lingkungan tersebut dikarenakan protein kristal yang diisolasi dari B.

thuringiensis mempunyai target yang spesifik sehingga tidak mematikan serangga

yang bukan sasaran dan mudah terurai, serta tidak menumpuk dan mencemari


(18)

2 Pada awal abad 21, telah diketahui juga bahwa beberapa tipe protein yang

disintesis oleh B. thuringiensis memiliki kemampuan menghambat tumbuh sel-sel

kanker pada manusia. Yokohama et al. (1988) pertama kali melaporkan bahwa

protein 25 kDa yang diisolasi dari B. thuringiensis subs. israelensis ONR-60A

dapat menghambat tumbuh kultur sel leukemia tikus. Protein Cry anti kanker

manusia dari galur B. thuringiensis disebut sebagai parasporin, diperkenalkan

pertama kali oleh Mizuki et al. (2000). Istilah parasporin didefinisikan sebagai

protein-protein δ-endotoksin yang non-hemolitik tetapi memiliki kemampuan

preferensial membunuh sel kanker. Penemuan tersebut menjadi alternatif dalam

menangani penyakit kanker. Pada dasarnya parasporin merupakan protein Cry

juga seperti contoh protein PS-1 adalah Cry 31, PS-2 adalah Cry 46, PS-3 adalah

Cry 41, dan PS-4 adalah Cry 45 (Ohba et al., 2009).

Penyebaran bakteri ini sangat luas, didapatkan di tanah (Martin dan

Travers, 1989), pada makanan ternak (Meadow et al., 1992), pada batang dan

daun pepohonan (Smith dan Couche, 1991) dan lingkungan perairan (Thanabalu

et al., 1992). Bangkai serangga merupakan sumber nutrisi yang memenuhi dalam

kelangsungan hidup bakteri ini, dimana pada saat nutrisi akan habis maka B.

thuringiensis akan membentuk spora dan mensintesis protein kristal toksik

terhadap jenis serangga tertentu.

Umumnya bangkai serangga terdapat pada tanah sehingga pada penelitian

ini isolasi B. thuringiensis dilakukan pada tanah yang berasal dari Kabupaten

Tangerang. Isolasi dimaksudkan untuk melengkapi informasi mengenai sebaran B.

thuringiensis pada daerah tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi


(19)

3 anti serangga dan anti kanker, kemudian mengidentifikasi tipe protein yang

didapatkan berdasarkan bobot molekulnya. Identifikasi dilakukan dengan

SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrilamid Gel Electroforesis), di mana dari

keseluruhan isolat yang diperoleh diharapkan mampu menghasilkan protein toksin

sesuai dengan karakteristik bobot molekulnya.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah yang

diajukan adalah sebagai berikut :

1) Apakah isolasi bakteri dari tanah di Kabupaten Tangerang mampu

menghasilkan B.thuringiensis ?

2) Bagaimana profil protein toksin hasil isolasi dari isolat lokal B.thuringiensis

berdasarkan karakteristik bobot molekulnya ?

1.3. Hipotesis

Isolat lokal B.thuringiensis mampu menghasilkan protein toksin (Cry atau

Cyt) dengan karakteristik bobot molekul yang sama atau berbeda dengan isolat


(20)

4 1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk :

1) Mendapatkan isolat B.thuringiensis dari tanah di Kabupaten Tangerang.

2) Mengetahui tipe dan karakteristik protein toksin yang didapat, dengan

berdasarkan bobot molekulnya dan dibandingkan dengan data base dari hasil

penelitian sebelumnya.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah sebagai berikut :

1. Melengkapi informasi mengenai sebaran isolat lokal B.thuringiensis yang ada

di wilayah JABODETABEK.

2. Memberikan kontribusi bagi pencarian sumber-sumber baru penghasil

bioinsektisida alami yang ramah lingkungan.

3. Studi awal pemanfaatan protein toksin sebagai alternatif pengobatan penyakit


(21)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bacillus thuringiensis ( Bt ) 2.1.1. Klasifikasi

Divisio : Schizophyta

Kelas : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

Familia : Bacillaceae

Genus : Bacillus

Spesies : thuringiensis Perbesaran 100 x 10. Gambar 2.1.Bacillus thuringiensis.

(Herlambang, 2007)

2.1.2. Morfologi dan Fisiologi

Bacillus thuringiensis (Bt) merupakan bakteri gram positif dengan bentuk

batang, membentuk spora dengan panjang 3 – 5 m dan lebar 1 – 1,2 m,

bergerak aktif (motil) dengan flagella peritrich (di seluruh dinding sel) , bersifat

fakultatif aerob dan bisa didapatkan di seluruh benua dan kepulauan dari

ketinggian 0 sampai 2000 meter di atas permukaan laut dan zona tropis hingga

artik. Bakteri ini bisa didapatkan di habitat alam seperti pada tanah, pepohonan,

debu penyimpanan biji-bijian serealia, pakan ternak, dan serangga yang mati.

Termasuk bakteri mesofil dengan kisaran suhu pertumbuhan 15 – 45 oC, dengan

suhu optimum antara 26-37 oC , dan kisaran pH pertumbuhan antara 5,5 sampai


(22)

6 hijau kebiruan, berukuran 1,0 – 1,3 m dengan posisi terminal, sedangkan protein

kristal berukuran 0,6 sampai 2,0 m bergantung dari tipe-nya masing-masing

(Zeigler, 1999).

Gambar 2.2. B. thuringiensis isolat 84-HS-1-11, Ket : S = Spora, P = Protein Cry ( Parasporal Inclusion) ( Mizuki et. al., 2000 ).

Secara alami B. thuringiensis adalah bakteri entemopatogen dan sampai

saat ini telah diidentifikasi sebanyak 70 subspesies atau varietas yang berbeda,

yang dibedakan oleh perbedaan serulogi dari antigen flagella-nya, dan

menghasilkan lebih dari 300 protein Cry dari 1000 galur dan hanya beberapa galur

yang telah dimanfaatkan.

Protein Cry merupakan bentuk protoksin yang disintesis oleh B.

thuringiensis bersamaan dengan pembentukan spora yang berada di dalam sel

sampai sel mengalami lisis sesudah sporulasi sempurna. Spora pada bakteri

tersebut merupakan suatu usaha perlindungan diri dari pengaruh lingkungan luar

yang buruk, hal ini terjadi karena dinding bakteri yang bersifat impermeabel.

Protein Cry yang dihasilkan merupakan bagian dari 25 % berat kering

bakteri yang terdiri dari suatu molekul glikoprotein dengan massa molekular 30


(23)

7 tidak larut dalam air ataupun pelarut organik, tetapi larut dalam larutan alkali dan

terdenaturasi oleh panas, asam lambung dan enzim protease lambung sehingga

terlarut dalam air dan membentuk toksin aktif yang akan tetap aktif meskipun

dipanaskan hingga suhu 80˚C selama 20 menit (Dini, 2005).

2.1.3. Identifikasi dan Screening

B. thuringiensis dapat diisolasi dari berbagai sumber, antara lain mudah

ditemukan di tanah dengan populasi yang cukup tinggi, bagian tumbuhan, kotoran

hewan,dan dari serangga yang terinfeksi di lapangan. Ohba dan Aizawa (1979)

telah berhasil memperoleh 105 spora bakteri B. thuringiensis untuk 1 gram tanah

dan selanjutnya Ohba dan Aizawa (1985) telah berhasil mengisolasi 189 kultur

bakteri B. thuringiensis dari 139 sampel tanah di Jepang. Identifikasi

B.thuringiensis dapat dilakukan dengan berbagai cara, beberapa diantaranya

antara lain metode Aizawa et al. (1975), Metode Johson dan Bishop (1996), dan

metode Travera et al, (1987). Pada peneitian ini metode yang digunakan adalah

metode Travera.

Metode Travera et al. (1987) menggunakan medium T-3 sebagai medium

untuk pertumbuhan dan sporulasi B. thuringiensis. Dimana sampel tanah yang

akan diidentifikasi terlebih dahulu dihomogenkan dengan buffer fosfat dan

dipanaskan dengan suhu 70° C selama 30 menit. Pemanasan dilakukan untuk

membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk

spora bakteri lain yang sedang tumbuh. Kemudian diratakan di medium T-3 dan


(24)

8 dengan B. thuringiensis. Protein Cry terbentuk setelah proses sporulasi pada

waktu inkubasi hari ke tiga.

Screening B. thuringiensis pada medium dengan koloni yang terbentuk

dapat diamati dari permukaan yang kasar, licin agak mengkilat, warna koloni

putih kekuningan. Pengamatan dengan mikroskop dapat dilihat dari bentuk sel

vegetatifnya yang berbentuk batang dan memiliki spora dan kristal di dalamnya.

Bakteri berspora namun tidak memiliki kristal bukanlah B. thuringiensis namun

diduga merupakan B. cereus yang memiliki banyak kesamaan namun tidak

ditemukan protein kristal pada bakteri tersebut (Salaki et al., 2009).

2.2. Protein

Protein berasal dari kata Proteos (utama atau pertama) merupakan senyawa

makromolekul yang memiliki peranan penting pada setiap makhluk hidup

(Lehninger, 1982). Protein adalah suatu polipeptida dengan bobot molekul yang

sangat bervariasi, dari 5000 hingga satu juta. Disamping berat molekul yang

berbeda-beda, protein memiliki sifat yang berbeda-beda pula (Poedjiadi, 1994),

dengan fungsi yang spesifik ditentukan gen yang sesuai (Lehninger, 1982).

2.2.1. Struktur Protein

Protein tanpa memandang fungsi dan aktifitas biologisnya dibangun oleh

susunan dasar yang sama yaitu 20 asam amino yang molekulnya sendiri tidak

memiliki aktivitas biologis. Masing-masing asam amino dalam suatu protein

terintegrasi melalui ikatan peptida yang tersusun secara kovalen membentuk

struktur yang beragam bergantung dari proses pembentukan dan fungsi dari


(25)

9 Struktur protein terdiri dari struktur primer, sekunder, tersier, dan

kuartener. Struktur primer menunjukkan jumlah, jenis, dan urutan asam amino

dalam molekul protein. Struktur primer protein juga menunjukkan ikatan peptida

yang urutannya diketahui (Poedjiadi, 1994).

R1 R2

COO C

COO H3N

C H3N

H H

H2O

H

R1 R2

COO

C C N C

H3N

O H H + + + +

-Gambar 2.3. Struktur primer protein (Poedjiadi, 1994).

Struktur sekunder protein adalah struktur protein yang dihasilkan oleh

adanya interaksi ikatan hidrogen. Struktur sekunder terdiri dari α- heliks (spiral)

dan β- sheets (lembaran berlipat). Terdapat dua bentuk struktur β- sheets, yaitu

paralel dan anti paralel. Bentuk paralel terjadi apabila rantai polipeptida yang

berikatan melalui ikatan hidrogen itu sejajar dan searah, sedangkan bentuk anti

paralel terjadi apabila rantai polipeptida berikatan dalam posisi sejajar tapi


(26)

10 α-heliks

Β-sheets (paralel) β-sheets (anti paralel)

Gambar 2.4. Struktur sekunder protein (Poedjiadi, 1994)

Struktur tersier menunjukkan kecendrungan polipeptida membentuk

lipatan atau gulungan, sehingga membentuk struktur yang lebih kompleks.

Struktur ini dimantapkan oleh adanya beberapa ikatan antara gugus R pada

molekul asam amino yang membentuk protein. Beberapa jenis ikatan tersebut


(27)

11 rantai samping non polar, (d) interaksi dipol-dipol, dan (e) ikatan disulfida yaitu

suatu ikatan kovalen antara residu sistein (Poedjiadi, 1994).

Gambar 2.5. Beberapa jenis ikatan yang terdapat pada polipeptida (Poedjiadi, 1994)

Struktur kuartener menunjukkan adanya interaksi intermolekuler antar

unit-unit protein. Sebagaian besar protein globular terdiri atas beberapa rantai

polipeptida yang terpisah. Rantai polipeptida ini saling berinteraksi membentuk

persekutuan (Poerdjiadi, 1994). Gambar 2.6 menunjukkan suatu model struktur

kuartener.


(28)

12 2.2.2. Klasifikasi protein

Golongan protein berdasarkan fungsi biologisnya, antara lain :

a. Biokatalisator/ enzim dari hampir semua reaksi yang terjadi pada makhluk

hidup.

b. Protein pengangkut yaitu hemoglobin (Hb) yang mengikat dan membawa

oksigen ke dalam jaringan peri-peri dan lipoprotein yang membawa lipid

dari hati ke organ lain.

c. Antibodi yaitu immunoglobin yang berperan dalam sistem kekebalan

tubuh.

d. Protein pengatur yaitu hormon insulin yang berperan mengatur

keseimbangan kadar glukosa dalam darah.

e. Protein Struktural (keratin dan kolagen).

f. Protein kontraktil (myosin).

g. Protein nutrient yaitu ovalbumin dan kasein.

h. Protein Toksin, pada penelitian ini protein Cry termasuk protein toksin

yang dihasilkan oleh B.thuringiensis untuk mempertahankan hidupnya.

Golongan protein berdasarkan struktur, antara lain :

a. Protein fiber/ serat merupakan protein yang tidak larut dalam air, fleksibel

dan lentur.

b. Protein globular merupakan protein yang larut dalam air dan tidak stabil


(29)

13 2.2.3. Metode Identifikasi Protein

Identifikasi protein dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.

Secara kualitatif, yaitu melalui reaksi xantoprotein, Hopkins-Cole, reaksi Millon,

reaksi natriunnitroprusida, dan reaksi Sakaguchi. Sedangkan secara kuantitatif,

yaitu metode Kjeldahl, metode titrasi formol, metode Lowry, metode biuret dan

metode spetofotometer UV (Apriyanto, 1989). Pada penelitian ini metode yang

digunakan dalam mengidentifikasi protein adalah metode Lowry.

Metode lowry dikembangkan pada tahun 1951 dengan menggunakan

reagen pendetektor Folin-Ciocalteu. Reagen ini biasa digunakan untuk mendeteksi

gugus-gugus fenolik. Dalam analisa protein dengan menggunakan reagen

Folin-Ciocalteu dapat mendeteksi residu tirosin yang mengandung gugus fenolik

melalui reaksi reduksi oksidasi dimana gugus fenolik tirosin akan mereduksi

gugus fosfotungstat dan fosfomolibdat yang terdapat pada reagen tersebut menjadi

tungsten dan molibden yang berwarna biru. Intensitas warna kompleks sebanding

dengan kandungan protein dalam sampel yang dianalisa (Apriyanto et al., 1989).

Hasil reduksi ini dapat dianalisa lebih lanjut dengan melihat puncak absorbsi yang

lebar pada daerah panjang gelombang sinar tampak (600-800 nm).

Sensitifitas metode ini mengalami perbaikan yang cukup signifikan

apabila digabung dengan metode biuret atau penambahan ion Cu, dimana

kompleks Cu-protein yang dihasilkan reagen biuret akan menyebabkan reduksi

fosfotungstat dan fosfomolibdat dalam reagen Folin-Ciocalteu, sementara

residu-residu tirosin dan triptofan mereduksi sisanya.

Dalam analisa kadar protein dengan metode Lowry, diperlukan protein


(30)

14 rentang konsentrasi tertentu dimana konsentrasi sampel protein berada didalam

rentang tersebut (Hermanto, 2008).

2.3. Protein Toksin pada Bacillus thuringiensis 2.3.1. ICP (Insecticidal Crystal Protein)

ICP (Insecticidal Crystal Protein) merupakan protein Cry (δ-endotoksin)

yang dihasilkan Bacillus thuringiensis yang bersifat anti serangga. Tiap-tiap

protein Cry memiliki toksisitas yang spesifik dengan sasaran serangga yang

spesifik dan dapat juga memiliki beberapa serangga sasaran (Zeigler, 1999).

Mekanisme kerja dari ICP adalah dengan termakan langsung oleh larva

pada saat memakan daun atau bagian tumbuhan lain yang mengandung protein

kristal. Kemudian protoksin tersebut masuk ke dalam usus dan terlarut oleh asam

serta enzim protease sehingga menjadi toksin. Toksin ini secara spesifik akan

menempel pada membran-membran sel di dalam usus serangga tersebut. Dalam

waktu 1-3 jam sel-sel akan mengalami gangguan osmotik dikarenakan toksin

tersebut meningkatkan derajat permeabilitas dinding sel, sehingga sel akan

menggembung lalu membentuk lubang-lubang pada membran dan pecah (Dini,

2005).

Perubahan biokimia yang tidak stabil tersebut akhirnya menyebabkan

serangga lemas, aktivitas makannya menurun dan tidak merespon untuk

pertumbuhan selanjutnya hingga terjadi perubahan secara fisik pada warna

tubuhnya dimulai warna kecoklatan pada bagian anterior sampai pada bagian


(31)

15 Struktur protein δ-endotoksin memiliki tiga daerah (domain) aktif rantai

polipeptida berdasarkan perbedaan struktur dan fungsi yang mengakibatkan

kematian serangga (gambar 7 ), yaitu domain I merupakan 7 gabungan rantai helix

(disimpulkan α = alpa) dapat menyebabkan pembentukan lubang-lubang pada

usus serangga dengan membentuk “ion channel”, domain II membentuk untaian

polipeptida yang panjang (disimpulkan β = beta) dan berikatan dengan ujung α-7

(domain I) berfungsi sebagai pengenal reseptor sel-sel epitel serangga. Domain III

banyak mengandung arginin dan diperkirakan berperan dalam menstabilkan “ion

channel”.

Gambar 2.7. Struktur tiga dimensi protein Cry 2Ab10 (Lin et al., 2007)

Umumnya protein Cry dengan bentuk kubus toksik terhadap jenis

serangga ordo Lepidoptera dan Diptera. Sedangkan protein Cry dengan bentuk

bipiramidal toksik terhadap jenis serangga ordo Lepidoptera dan yang berbentuk Domain III

Domain I


(32)

16 oval hanya toksik pada jenis serangga ordo Diptera (Dini, 2005). Bobot dari

protein Cry juga menentukan sifat toksik pada serangga tertentu seperti terlihat

pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1.Beberapa jenis-jenis protein Cry dari Bacillus thuringiensis berdasarkan ukuran dan serangga sasarannya.

Keterangan: Col = Coleoptera; Dip = Diptera; Lep = Lepidoptera Sumber: Hofte dan Whiteley, 1989 dan Feldman et al., 1995.


(33)

17 2.3.2. Parasporin

Parasporin adalah protein Cry yang memiliki kemampuan sitosidal

terhadap sel kanker. Berdasarkan hasil penelitian hingga tahun 2008, telah

diketahui ada empat jenis parasporin, yaitu PS-1, PS-2, PS-3 dan PS-4. Pada tahun

2005, Hiromi juga menemukan protein kristal 29 kDa yang disebut protein p-29.

Aktivitas sitosidal parasporin terhadap sel kanker hanya terjadi bila protein

tersebut didegradasi oleh enzim-enzim protease menjadi satu molekul protein

kecil (Jusuf, 2010).

PS-1 merupakan protein Cry Aa/b/c berbentuk spherical dengan struktur 3

domain, bukan toksin pembentukan pori-pori membran. Agriculture and

Agri-food Canada (AAFC) telah mengisolasi dan karakterisasi satu protein Cry31Aa2

dari galur B. thuringiensis M15 yang menunjukkan aktivitas sitosidal in vitro

khususnya terhadap sel HepG2 (human hepatocyte cancer cells) dan sel-sel jurkat

(leukemic T cells). Mizuki et. al. (2000) mengisolasi protein dari B.thuringiensis

nomor isolat 84-HS-1-11 asal Hiroshima berukuran ± 81.045 kDa yang tersusun

dari 723 asam amino, disandi oleh satu gen berukuran 2169 bp. Protein ini dikenal

sebagai Cry31Aa2. Sekuen asam amino tediri dari 5 conserved block seperti

biasanya yang terdapat protein Cry pada umumnya, tetapi homolginya dengan

protein Cry maupun Cyt sangat rendah (< 25%).

Aktivitas sitosidal terjadi apabila protein telah didegradasi oleh protease

menjadi molekul yang kecil berukuran 40 sampai 60 kDa. Tripsin dan proteinase

K dapat mengaktifkan parasporin, tetapi chymotrypsin tidak dapat mengaktifkan,

Aktivitas sitosidal sangat kuat terhadap MOLT-4 (human leukemic T cells) dan


(34)

18 thuringiensis var. dakota A1547 yang diisolasi oleh Yamagiwa et al. (2002) juga

gen dari protein yang telah dimurnikan diklon pada sel lain dan menghasilkan

protein rekombinan yang memiliki aktivitas sitosidal yang kuat terhadap sel-sel

kanker hati dan usus tanpa efek terhadap sel normalnya.

Mekanisme sitosidal dari protein ini adalah meningkatkan dengan cepat

kepekatan ion bebas Ca2+ intraseluler dengan tanpa perubahan permeabilitas

membran plasma dan sel-sel kanker dibunuh melalui apoptosis. pada sel HeLa

yang ditreatment dengan parasporin-1, dapat diobservasi adanya degradasi

pro-caspase-3 dan poly (ADP-ribose) polymerase. Hal ini ditunjukkan oleh adanya

penurunan sintesis protein selular dan DNA pada sel HeLa. Tingkat kepekatan ion

bebas Ca2+ naik tajam 1-3 menit setelah pemberian PS-1, dan hasil uji

menunjukkan bahwa derajat sensitivitas sel berbanding lurus dengan besarnya

peningkatan kepekatan Ca2+ intraseluler. Jadi, PS-1 mengaktifkan apoptotic

signaling pada sel-sel kanker yang ditreatment sebagai akibat meningkatnya level

Ca2+ dan influx Ca 2+ ini merupakan langkah awal dalam jalur proses toksisistas

PS-1. Bentuk toksin hasil pemecahan oleh protease adalah 15 dan 56 kDa,

sementara bentuk reseptor pada sel sasaran belum diketahui (Kitada et al., 2005).

PS-2 adalah protein Cry46Aa atau disebut juga sebagai Mtx-like protein

dengan bentuk tidak beraturan yang ditunjukkan oleh protein PS2Aa1. Proses

sitosidal terjadi dengan meningkatkan permeabilitas sel kanker. Tahap awalnya,

peningkatan pada reseptor putative (GPI-anchored proteins) yang berada pada

lipid rafts (detergents resistans membrane) yang diikuti dengan oligomerisasi dan

pembentukan pori pada membran plasma dengan efek sitolisis (Kitada et al.,


(35)

19 Protein kristal yang tergolong PS-2 diperoleh dari galur B. thuringiensis

TK-E6 yang dikenal sebagai PS2Ab adalah polipeptida dengan 304 asam amino

dan berat molekul diprediksi sekitar 33.107 kDa (Hayakawa et al., 2007). Sekuen

asam amino PS2Ab menunjukkan homologi signifikan (84% identitas). PS2Aa

yang sebelumnya ditemukan terdapat dalam galur B. thuringiensis var. dakota

A1547. Protein Kristal PS2Ab diproses dengan proteinase K menghasilkan

protein aktif berukuran 29 kDa yang memiliki sitotoksisistas kuat terhadap sel-sel

MOLT-4 dan Jurkat dengan nilai EC50 masing-masing 0,545 dan 0,745 ng/mL.

Toksisitas PS2Ab ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan PS2Aa setelah beberapa

kali pengujian (Jusuf, 2010). Spektrum sitotoksisitas dari parasporin terhadap

beberapa tipe kanker dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Spektrum sitotoksisitas empat macam parasporin terhadap berbagai tipe sel kanker dan normal ( Ohba et al., 2009 ).

Keterangan : Tingkat toksisitas bernilai EC50 : sangat tinggi (++++), tinggi, (+++), sedang (++), rendah ( +), sangat rendah (-) dan NT ( tidak di tes/ Not Test )


(36)

20 Protein kristal PS-3 atau Cry41Aa/b berbentuk bipiramidal berukuran 88

kDa dengan struktur tiga domain. setelah pemecahan protease menjadi aktif pada

toksik dengan ukuran 64 kDa. Mekanisme penghambatan tumbuh sel kanker

belum diungkap dan reseptor yang mengenali protein ini pada membran sel-sel

kanker belum diketahui (Kitada et al., 2005).

PS-4 digolongkan dalam dua macam, yaitu Cry45Aa yang disebut epsilon

toxin like dan Cry42Aa yang merupakan struktur tiga domain, berukuran 31 kDa

dan bentuk aktif pada ukuran 27 kDa, dimana bentuk protein reseptor pada sel

target belum diketahui (Kitada et al., 2005). Didapatkan pada galur B.

thuringiensis var. shandongiensis strain 89-T-34-22 yang dikenal sebagai

Cry45Aa (Okumura et al., 2004).

Sekuen asam amino PS-4 yang ditelusurkan berdasarkan sekuen gen

penyandinya memiliki homologi sangat rendah dibandingkan dengan umumnya

protein Cry maupun dengan ketiga jenis parasporin tersebut di atas. Pelarutan

dengan alkali dan proteinase K menghasilkan protein dengan aktivitas sitotoksik

kuat terhadap MOLT-4 dan sitotoksik lemah terhadap sel-sel T normal, tetapi efek

terhadap sel-sel HeLa tidak terlihat. Uemori et al. (2008) mengidentifikasikan dua

gen protein parasporin masing-masing gen ps1Aa3 dengan panjang 2.619 bp

menyandi protein 81 kDa (PS1Aa3) dan gen ps1Ab1 dengan panjang 2.178 bp

menyandi protein 82 kDa (PS1Ab1) dari B. thuringiensis strain B0195. Sekuen

asam amino PS1Aa3 ternyata 100% identik dengan protein referensi PS1Aa1,

sedang PS1Ab1 adalah 86,4% identik dengan PS1Aa1. Protein rekombinan


(37)

21 proteolitik mampu menginduksi sitolisis sel HeLa, tetapi tidak berpengaruh

terhadap sel non-kanker UtSMC (human uterine smoot muxcle cells)

2.4. SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrilamid Gel Electroforesis) 2.4.1. Prinsip Dasar

Elektroforesis merupakan proses bergeraknya molekul bermuatan pada

suatu medan listrik. Kecepatan molekul-molekul yang bergerak dalam medan

listrik bergantung pada muatan, bentuk dan ukuran. Dengan demikian

elektroforesis dapat digunakan untuk separasi makromolekuler (seperti protein

dan asam nukleat). Posisi molekul yang tersparasi pada gel dapat dideteksi dengan

pewarnaan autoradiografi, ataupun dilakukan dengan densitometer (Ikmalia,

2008).

Salah satu metode elektroforesis yang umumnya digunakan untuk analisa

campuran protein secara kualitatif adalah SDS‐PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate

Polyacrilamid Gel Electroforesis). Prinsip penggunaan metode ini adalah

pembentukan polimer dari komponen akrilamida dengan ikatan silamg

N.N` bisakrilamida. Kisi-kisi tersebut berfungsi sebagai saringan

molekul sehingga konsentrasi atau rasio akrilamida dengan bisakrilamida dapat

diatur untuk mengoptimalkan migrasi komponen protein (Wilson dan Walker,

2000).

Elektroforesis gel SDS dilakukan pada pH netral dengan adanya SDS dan

β-merkaptoetanol. Dengan adanya SDS, protein rantai ganda akan terdisosiasi menjadi rantai-rantai individual dan terdenaturasi oleh detergen ini, sehingga


(38)

22 membentuk konfigurasi random coil. Peristiwa ini dibantu dengan adanya

β-merkaptoetanol yang memutus ikatan disulfida antar ataupun dalam rantai

(mereduksi ikatan disulfida menjadi gugus sulfihidril). Di samping itu, SDS

berikatan dengan protein membentuk kompleks SDS-Protein yang tidak memiliki

struktur sekunder dan membawa muatan negatif yang diakibatkan oleh adanya

gugus-gugus anion dari SDS (Nur et al., 1992).

2.4.2. Aplikasi SDS-PAGE

SDS PAGE dapat diaplikasikan berdasarkan kegunaannya antara lain

(Ikmalia, 2008) :

1. Menentukan berat molekul (estimasi). Penetapan BM secara lebih teliti dapat

dilakukan dengan ultrasentrifuge, meskipun dengan elektroforesis sudah

memenuhi syarat.

2. Dapat mendeteksi terjadinya pemalsuan bahan.

3. Dapat mendeteksi terjadinya kerusakan bahan seperti protein dalam

pengolahan dan penyimpanan.

4. Untuk memisahkan spesies molekul yang berbeda secara kualitatif maupun

kuantitatif, yang selanjutnya masing-masing spesies dapat dianalisis.

5. Menetapkan titik isoelektrik protein.

Keunggulan dari SDS PAGE adalah pita protein yang terbentuk menjadi

lebih stabil dikarenakan adanya medium penyangga yaitu gel poliakrilamida,

bersifat transparan sehingga dapat diamati dengan mudah, dapat memperoleh

resolusi yang lebih baik dan ukuran pori dapat diatur sehingga pemisahan


(39)

23 sering digunakan dalam elektroforesis gel untuk analisis protein, tapi tidak dapat

digunakan untuk menganalisa sejumlah protein kompleks yang diperlukan

aktifitas biologi dari protein untuk pengujian protein selanjutnya. Hal ini

disebabkan karena protein yang telah di elektroforesis telah mengalami denaturasi


(40)

24

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 8 bulan dari bulan Agustus 2010 sampai

Maret 2011. Tempat penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Bioteknologi,

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan Pusat Laboratorium

Terpadu (PLT), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah beberapa sampel tanah dari Kabupaten

Tangerang (Ciherang, Ciputat, Pasar Kemis, Kosambi, Parung Secab, Puspiptek,

Pamulang, dan Cileduk), galur B. thuringiensis pembanding ( Isolat Cibinong, 5

k), triptosa, tripton, yeast extract, Na3PO4, dan MnCl2, NaCl, HCl, EDTA,

sukrosa, bromophenol blue, SDS, beta-merkaptoetanol, dithiothreitol, Acryl/bis

(sigma), ammonium persulfat (APS), coomassie brilliant blue, glisin, resolving

gel buffer (1,5M Tris-HCl pH 8,8), stacking gel buffer (0,5 M Tris-HCl pH 6,8),

metanol, H2SO4, NH4OH, Na2CO3, CuSO4.5H2O, Na.K.tartrate, reagen folin,

N,N,N’,N’,tetramethylethylenediamine (TEMED), BSA, standar protein marker

catalog #161-0318 (Bio-Rad), aquabides, dan aquades.

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah erlenmeyer, vortex,

timbangan digital, cawan petri, labu ukur, mikroskop, tabung reaksi, pH meter,


(41)

25 flow, inkubator, spektrofotometer UV-VIS Shimadzu, dan Mini-Protean Gel

Elektrophoresis 3 cell BIO-RAD.

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Isolasi bakteri dari tanah

Teknik isolasi yang dilakukan menggunakan metode Travera et al. (1987).

Sampel tanah ditimbang sebanyak 1 gram. Kemudian dimasukkan ke dalam

tabung 20 mL yang telah berisi 10 mL buffer fosfat 0,05 M dengan pH 6,8,

dikocok dengan kuat selama 15 menit. Setelah itu, dipanaskan pada suhu 70˚C

selama 30 menit dalam waterbath, lalu dikocok lagi dengan kuat untuk meratakan

penyebaran spora selama 15 menit. Sebanyak 5 dan 10 l suspensi disebarkan

pada cawan petri yang berisi agar T-3 (per-liter mengandung 3 g tripton, 2 g

triptosa, 1,5 g yeast extract, 0,05 M Na3PO4, 0,005 M MnCl2 dalam 12 g agar ).

Pengerjaan dilakukan secara duplo. Kemudian diinkubasi pada suhu 28˚C selama

kurang lebih 48 jam, hingga muncul koloni yang memiliki kesamaan morfologi,

warna, aroma yang sama dengan B. thuringiensis pembanding.

Dari setiap sampel dipilih 24 koloni yang betul-betul mirip dengan B.

thuringiensis pembanding, lalu ditransfer ke agar T-3 yang baru di cawan petri

dan diinkubasi pada suhu 28˚C sampai terjadi sporulasi selama kurang lebih

selama 72 jam. Penapisan isolat dari 24 koloni terpilih setiap sampelnya

dilakukan dengan observasi mikroskop menggunakan mikroskop fase kontras atau

cahaya biasa dengan memastikan adanya bentuk protein kristal. Pada observasi

mikroskop, koloni dihomogenkan dengan menggunakan aquades steril pada kaca


(42)

26 Koloni yang dipastikan membentuk protein kristal dipanen dan dikoleksi sebagai

isolat baru serta disimpan pada agar Luria-Bertani miring (per liter mengandung

10 g tripton, 5 g yeast extract, 10 g NaCl dalam 15 g agar) dan diberi nomor isolat

sesuai dengan asal sampel.

3.3.2. Isolasi protein

Nomor-nomor isolat bakteri berkristal ditumbuhkan pada agar

Luria-Bertani dalam cawan petri sebanyak 2 kali reinokulasi, kemudian diinkubasi pada

suhu 28˚C selama 24 jam. Setelah itu koloni bakteri yang tumbuh diinokulasikan

dalam plat agar 2xSG ( per-liter mengandung 16 g nutrient broth, 2 g KCl, 0,5 g

MgSO4.7H2O, 2 mL glukosa 50 %, 1 mL Ca(NO3) 1 M, 1 mL MnCl2 0,1 M, 1 mL

FeSO4 1 mM dalam 17 g agar ), lalu diinkubasi hingga bersporulasi selama kurang

lebih 48 sampai 72 jam. Koloni yang telah bersporulasi dipanen dan dimasukkan

ke dalam microtube 1,5 mL yang berisi 1 mL NaCl 0,5 M dingin direndam dalam

es dan dikocok hingga menjadi suspensi homogen. Suspensi disentrifugasi pada

13000x g selama 10 menit, supernatan dibuang dan hanya disisakan pellet pada

microtube. Pellet ditambahkan lagi 1 mL NaCl dan disentrifugasi kembali.

Kemudian pellet yang diperoleh diresuspensi dengan 140 l campuran 1 %

SDS-0,01 % β-merkaptoetanol dan direbus selama 10 menit.

Suspensi kemudian disentriugasi kembali pada 10000x g selama 10 menit

dan supernatan yang terjadi diambil sebagai sampel untuk dianalisis secara


(43)

27 3.3.3. Kuantitifikasi protein dengan Lowry

a. Lowry Concentrate 2x :

- Reagen Cooper (20 g Na2CO3 dalam 260 mL H2O, 0,4 CuSO4.5H2O

dalam 20 mL H2O dan 0,2 g Na.K.tartrate dalam 20 mL H2O.

- 10 g SDS dalam 100 mL H2O

- 4 g NaOH dalam 100 mL H2O

Pada waktu digunakan, 3 bagian reagen cooper ditambahkan 1 bagian SDS

dan 1 bagian NaOH.

b. 0,2 N Folin reagent : campur 10 mL 2 N folin dengan 90 mL H2O.

Terhadap 400 ul sampel ditambahkan 400 l Lowry Concentrate 2x,

inkubasi pada suhu ruang, ± 10 menit. Selanjutnya ditambahkan 200 l 0,2 N

Folin reagent, lalu dihomogenkan dengan vortex setiap kali penambahan.

Campuran diinkubasi 30 menit pada suhu ruang, dan dibaca dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm dengan menggunakan

BSA sebagai pembanding.

3.3.4. SDS-PAGE (Laemli, 1970)

Karakterisasi protein dilakukan dengan elektroforesis SDS-PAGE, dengan

menggunakan 12 % separating gel dan 4% stacking gel. Pewarnaan dengan 0,1 %

coomassie brilliant blue, 50 % metanol dan 10 % asam asetat .

a. Preparasi sampel

Supernatan dari hasil isolasi protein diambil sebanyak 30 l

dimasukkan ke dalam microtube 100 l, kemudian ditambahkan 20 l buffer


(44)

28 bromophenol blue, 2,5% SDS, 7,4 mM dithiothreitol). Campuran

dihomogenkan dan dipanaskan selama 10 menit pada suhu 100 °C.

b. Preparasi gel elektroforesis

- Resolving gel (12%)

Aquabides sebanyak 3,4 mL ditambahkan 30% degassed

Acrylamide/bis sebanyak 4 mL, lalu dihomogenkan. Campuran tersebut

ditambahkan resolving gel buffer (1,5M Tris-HCl pH 8,8) sebanyak 2,5

mL, lalu dihomogenkan dan ditambahkan SDS 10 % (w/v) sebanyak 0,1

mL. Setelah itu, ditambahkan ammonium persulfat (APS) 10 % sebanyak

50 l, lalu homogenkan. Kemudian ditambahkan dengan TEMED

sebanyak 5 l dan dihomogenkan kembali.

- Stacking gel (4%)

Aquabides sebanyak 6,1 mL ditambahkan 30% degassed

Acrylamide/bis sebanyak 1,3 mL, lalu dihomogenkan. Campuran tersebut

ditambahkan stacking gel buffer (0,5 M Tris-HCl pH 6,8) sebanyak 2,5

mL, lalu dihomogenkan dan ditambahkan SDS 10 % (w/v) sebanyak 0,1

mL. Setelah itu, ditambahkan ammonium persulfat (APS) 10 % sebanyak

50 l, lalu homogenkan. Kemudian ditambahkan dengan TEMED

sebanyak 10 l dan dihomogenkan kembali.

c. Pembuatan kolom gel

Resolving gel dimasukkan sedikit demi sedikit dengan menggunakan

mikropipet ke dalam alat elektroforesis hingga batas untuk stacking gel.

Kemudian ditambahkan aquabides, untuk meratakan resolving gel. Setelah


(45)

29 dipasangkan sisir pembentuk sumur atau kolom, dan dibiarkan hingga

membeku lalu sisir dapat diangkat. Hasil gel tersebut kemudian dipasang

pada perangkat elektroforesis.

d. Loading sampel

Larutan buffer dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis. Kemudian

sampel sebanyak 10 l dimasukkan ke dalam kolom gel dengan hati-hati lalu

di elektroforesis selama ± 100 menit dengan tegangan elektrik 120 volt.

e. Pewarnaan dan pencucian gel

Gel diangkat lalu diwarnai dengan coomassie brilliant blue stainning

gel selama semalaman. Kemudian gel diangkat dan dimasukkan ke dalam


(46)

30 3.4. Desain Penelitian

3.4.1. Isolasi B. thurigiensis

Tanah Lokasi :

- Ciherang - Ciputat - Pasar kemis - Kosambi - Parung Secab - Puspiptek - Pamulang - Cileduk Cuplikan

Disuspensi dengan buffer fosfat,

Dipanaskan 30’, 70 °C

Suspensi hasil pemanasan

Inokulasi media T-3, Inkubasi ± 48 jam, 28 °C

Bt. dibandingkan Morfologi Isolat

Kandidat yang memiliki kemiripan dengan Bt, Transfer ke media T-3 Inkubasi ± 72 jam, 28 °C Spora Bt

Uji Mikroskop

+

(isolat ada protein kristal) -


(47)

31 3.4.2. Isolasi protein toksin

Inokulasi media LB (duplo) Inkubasi ± 24 jam, 28 °C

Isolat Hasil medium LB

Inokulasi media 2xSG Inkubasi ± 48 – 72 jam, 28 °C

Isolat Hasil medium 2xSG

+ 1 mL NaCl 0,5 M Resuspensi

Pellet Supenatan

+ 1 mL NaCl 0,5 M Resuspensi

Pellet Supernatan

+ 140 l 1 % SDS- 0,01 β-mercaptoetanol Dipanaskan, diresuspensi

Pellet Supernatan

Protein profiling SDS PAGE Uji Lowry Isolat hasil uji mikroskop (+)


(48)

H

4.1. Isolat B.thuringi Berdasarkan hasi

di Kabupaten Tangeran

dengan koloni B. thur

Kosambi, Parung Secab,

koloni yang tumbuh memi

koloni putih kekuningan

Gambar 4.1. Isolasi pemba

Sampel tanah C

bakteri. Hal ini kemung

dilakukan secara ber

entomopatogen sehingga

antara lain hujan, erosi, e

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

ngiensis dari Tanah di Kabupaten Tangerang asil isolasi yang dilakukan terhadap beberapa samp

ang diperoleh 6 sampel yang diduga memiliki

huringiensis pembanding, yaitu Ciherang, Pasa

ab, Pamulang dan Cileduk. Kemiripan tersebut te

emiliki permukaan yang kasar, agak mengkilat,

an seperti yang terlihat pada gambar 4.1.

asi B. thuringiensis dari tanah : (a) Isolat B. thuring mbanding dan (b) Isolat Pasar Kemis.

Ciputat dan Puspiptek tidak ditemukan adan

ngkinan disebabkan pada sampel tanah yang dia

berulang kali. B. thuringiensis merupakan

ga pada suatu saat tertentu dipengaruhi oleh beber

i, epizootik dan endozootik (Salaki et al., 2009).

32 sampel tanah

ki kemiripan

asar Kemis,

t terlihat dari

t, dan warna

ingiensis

anya koloni

iambil tidak

kan bakteri


(49)

Koloni-koloni da

thuringiensis pembandin

yang terlihat pada gamba

(a

Gambar 4.2. Isolas Pamu

Pemilihan 24 ko

isolat-isolat yang memil

dipastikan dengan peng

tersebut belum tentu d

merupakan ciri dari

mikroskop dengan perb

B.thuringiensis pemband

(a

Gambar 4.3. Hasil uji menghasi pembandi protein kr

X

dari sampel yang memiliki kesamaan dengan

ding, diseleksi kembali dengan pemilihan 24 kolo

mbar 4.2.

(a) (b)

lasi 24 koloni terpilih: (a) Isolat Ciherang dan (b) I mulang.

koloni tersebut dimaksudkan untuk menyeleks

miliki kemiripan dengan B. thuringiensis pemba

ngujian menggunakan mikroskop. Dari pemiliha

dari koloni yang dipilih terdapat protein kri

B. thuringiensis. Berikut merupakan hasil

erbesaran 50 x 10 pada salah satu koloni sa

nding seperti yang terlihat pada gambar 4.3.

(a) (b)

uji mikroskop : (a). Isolat Kem 7 salah satu is asilkan protein kristal. (b). Isolat B.thu nding (Isolat Cibinong, 5 k). Keterangan: S = spor

kristal.

33 an koloni B.

oloni seperti

b) Isolat

eksi kembali

mbanding dan

ihan koloni

kristal yang

il pengujian

sampel dan

isolat yang .thuringiensis


(50)

34 Berdasarkan Gambar 4.3, pada hasil uji mikroskop terlihat bahwa isolat

Kem 7 memiliki kemiripan dengan isolat B.thuringiensis pembanding (Isolat

Cibinong, 5 k). Hal ini dapat diamati dari adanya spora yang berbentuk bulat dan

protein kristal berbentuk lancip dan berwarna kehitaman seperti pada isolat

B.thuringiensis pembanding.

Hasil penapisan 24 koloni terpilih dengan menggunakan mikroskop

didapatkan 30 nomor isolat yang menghasilkan protein kristal. Isolat-isolat dari

tanah yang dipastikan membentuk protein kristal antara lain, terlihat pada tabel

4.1.

Tabel 4.1. Isolat dari sampel tanah yang menghasilkan protein kristal Sampel Tanah Isolat Penghasil Protein Kristal

Ciherang (Ch) Ch-3 dan Ch 7

Parung (Par) Par 8, Par 9, Par 11, Par 16, Par 17, dan Par 18 Pamulang (Pm) Pm 6, Pm 10, Pm14, Pm 19, dan Pm 23

Cileduk (Cdk) Cdk 3, Cdk 4, Cdk 9, dan Cdk 14 Kosambi (Kos) Kos 6, Kos 7, Kos 9, Kos 15 dan Kos 16

Pasar Kemis (Kem) Kem 3, Kem 5, Kem 6, Kem 7, Kem10, Kem 22, Kem 23, dan Kem 24

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa, sampel tanah dari Pasar Kemis memiliki

isolat terbanyak dan Ciherang memiliki isolat terkecil sebagai penghasil protein

berkristal. Hal ini menandakan pada sampel tanah yang diambil dari Pasar Kemis

memiliki sumber air, mineral, karbon, dan nitrogen yang cukup banyak bagi B.

thuringiensis serta kondisi lingkungan seperti pH, kelarutan oksigen dan


(51)

35 4.2. Isolasi protein toksin

Isolat dari sampel tanah yang menghasilkan protein kristal diremajakan

pada medium Luria Bertani (LB). Hal ini dikarenakan medium LB merupakan

medium dengan kandungan jumlah karbon, nirogen dan mineral yang cukup

banyak bagi kelangsungan hidup B. thutingiensis. Sedangkan medium T-3 dan

2xSG memiliki kandungan karbon, nitrogen dan mineral yang sedikit sehingga

memungkinkan B. thutingiensis untuk bersporulasi. Peremajaan pada medium LB

seperti yang terlihat pada gambar 4.4.

Gambar 4.4. Peremajaan bakteri berkristal di medium Luria Bertani (LB)

Gambar 4.4 menunjukkan adanya koloni yang tumbuh dari hasil

peremajaan di medium LB. Koloni tersebut berwarna putih kekuningan dengan

jumlah yang cukup banyak pada setiap isolat setelah diinkubasi 24 jam, hal ini

menandakan bahwa bakteri dapat hidup dengan baik pada medium LB.

Peremajaan tersebut dimaksudkan agar bakteri dapat lebih produktif dalam

menghasilkan protein kristal saat di medium sporulasi.

Koloni hasil dari peremajaan dipindahkan pada medium 2xSG agar bakteri

bersporulasi sehingga dihasilkan protein kristal. Isolasi bakteri pada medium


(52)

36 Gambar 4.5. Isolasi bakteri berkristal di medium 2xSG

Gambar 4.5 menunjukkan bahwa adanya koloni yang tumbuh pada

medium 2xSG, dimana koloni yang tumbuh merupakan koloni yang telah

bersporulasi. Proses sporulasi tersebut merupakan usaha dari bakteri berkristal

dalam mempertahankan diri dengan lingkungan yang membahayakan

kehidupannya (Dini, 2005). Terjadinya proses sporulasi diamati dengan

menggunakan mikroskop, yaitu pada saat sudah terbentuknya spora dan protein

kristal pada isolat yang diamati.

Hasil dari inokulasi pada medium 2xSG yang sudah mengalami sporulasi,

dipanen dan dibersihkan dengan NaCl untuk menghilangkan medium yang

terbawa pada spora dan kristal saat proses pemanenan. Pemisahan spora dan

protein kristal dilakukan dengan menambahkan campuran 1% SDS - 0,01%

β-merkaptoetanol, dimana protein kristal yang bercampur dengan spora akan

terpisahkan karena adanya β-merkaptoetanol kemudian protein kristal yang telah

terpisah akan terlarut karena diikat oleh SDS.

4.3. Kuantifikasi protein dengan Lowry

Kuantifikasi dengan Lowry dilakukan untuk mengetahui kadar protein


(53)

37 kristal, yaitu Ch-3, Ch 7, Par 8, Par 9, Par 11, Par 16, Par 17, Par 18, Pm 6, Pm

10, Pm 14, Pm 19, Pm 23, Cdk 3, Cdk 4, Cdk 9, Cdk 14, Kos 6, Kos 7, Kos 9,

Kos 15, Kos 16, Kem 3, Kem 5, Kem 6, Kem 7, Kem10, Kem 22, Kem 23, dan

Kem 24. Sedangkan standar pembanding yang digunakan adalah BSA (Bovine

Serum Albumin) dengan konsentrasi 1 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 50 ppm, dan 100

ppm.

Pada pengujian kadar protein dengan menggunakan metode Lowry, semua

sampel dan standar pembanding membentuk kompleks biru keunguan. Hal ini

disebabkan adanya ion Cu+2 yang terdapat dalam kompleks Cu, akan memutus

ikatan peptida serta bersama-sama dengan adanya residu tirosin dan triptofan

menyebabkan reduksi fosfotungstat dan fosfomolibdat yang terdapat dalam reagen

menjadi tungsten dan molibden yang berwarna biru keunguan. Reaksi yang terjadi

pada metode Lowry seperti yang terlihat pada gambar 4.6.

Gambar 4.6. Reaksi pada metode Lowry (Dini, 2005)

Intensitas warna kompleks sebanding dengan kandungan protein dalam


(54)

38 warna kompleks yang dihasilkan sampel protein kristal diperoleh konsentrasi

protein sampel sebagai berikut :

Tabel 4.2. Nilai absorbansi dan konsentrasi sampel protein kristal Sampel Absorbansi Konsentrasi Protein (ppm)

Ch 3 0,402 56,714

Ch 7 0,449 63,428

Par 8 0,522 73,857

Par 9 0,158 43,71

Par 11 0,158 43,71

Par 16 0,38 53,571

Par 17 0,453 64

Par 18 0,7 99,28

Pm 6 0,376 53

Pm 10 0,483 68,289

Pm 14 0,662 93,857

Pm 19 0,517 73,143

Pm 23 0,112 30,571

Cdk 3 0,698 99

Cdk 4 0,383 54

Cdk 9 0,528 74,714

Cdk 14 0,393 55,428

Kos 6 0,57 80,714

Kos 7 0,495 70

Kos 9 0,532 75,286

Kos 15 0,553 78,286

Kos 16 0,518 73,286

Kem 3 0,453 64

Kem 5 0,233 32,571

Kem 6 0,374 52,714

Kem 7 0,481 68

Kem 10 0,56 79,286

Kem 22 0,443 62,517

Kem 23 0,436 61,571

Kem 24 0,134 36,857

Dari hasil pengujian kadar protein, diperoleh konsentrasi terbesar pada

sampel Cdk 3 yaitu 99 ppm, dengan absorbansi sebesar 0,698. Sedangkan


(55)

39 absorbansi sebesar 0,112. Perbedaaan kadar protein pada masing-masing sampel

dapat disebabkan dari berbedanya jumlah biomassa isolat yang didapat dan

dipengaruhi oleh proses sporulasi dari isolat pada masing-masing sampel dalam

menghasilkan protein toksin.

4.4. Profil Protein Hasil SDS-PAGE

Analisa SDS-PAGE dilakukan untuk mengestimasi bobot molekul protein

sampel yang didapat dari hasil isolasi B. thuringiensis pada tanah di kabupaten

Tangerang. Kemudian mencocokkan hasil bobot molekul yang didapat dengan

sumber referensi untuk memprediksi jenis protein toksin yang didapat.

Adapun hasil-hasil analisa SDS-PAGE yang dilakukan pada setiap sampel

disajikan pada gambar berikut :

M 1 2 3 4 5 6 7

Gambar 4.7. Hasil analisa SDS-PAGE pada sampel protein 1 (Kos 6), 2 (Kem 23), 3 (Par 17), 4 (Kos 9), 5 (Kos 7), 6 (Par 8), dan 7 (Pm 14). 21

125

10

56,2

35,8

2

Cry 25

Cry 35

Cyt A Cry 15

Cry 23 Kda


(56)

40 M 1 2 3 4 5 6 7

Gambar 4.8. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein 1 (Kem 6), 2 (Par 18), 3 (Par 11), 4 (Kos 16), 5 (Par 9), 6 (Pm 19), dan 7 (Pm 10).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Gambar 4.9. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein 1 (Cdk 3), 2 (Kem 22), 3 (Ch 7), 4 (Cdk 4), 5 (Ch 3), 6 (Pm 14), 7 (Cdk 14), 8 (Kem

3), dan 9 (Cdk 9) 210

125 101 56,

35,8 2 9

210 125 10 56,

2 35,8

Cry 35

Cry 46 (PS-2)

Cyt A Cry 45 (PS-4)

Cry 41 (PS-3)

Cry 23

Cyt A Kda


(57)

41 M 1 2 3 4 5 6

Gambar 4.10. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein 1 (Pm 6), 2 (Kos 15), 3 (Kem 24), 4 (Kem7), 5 (Par 16), dan 6 (Kem 5).

M 1 2 3 4

Gambar 4.11. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein 1 (Pm 23), 2 (Kem 10), 3 (Cdk 9), dan 4 (Par 18).

Hasil SDS PAGE untuk ke 30 isolat, diinterpretasikan melalui persamaan

regresi dengan menggunakan microsoft excel, seperti terlihat pada lampiran 8 125

210

101

56,

35,8 2

Cry 45 (PS-4) Cry 30

125 210

101 56,

2 35,8

Cry 45 (PS-4) Kda


(58)

42 hingga 12. Hasil prediksi protein toksin dari masing-masing protein sampel

berdasarkan referensi seperti terlihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Bobot molekul protein sampel dan prediksi protein toksinnya. Sampel Bobot Molekul

(kDa)

Prediksi protein toksin Sumber

Cdk 3 29 Cry 23 Arrieta et al., 2004

Cdk 4 29 Cry 23 Arrieta et al., 2004

Cdk 9 29 Cry 23 Arrieta et al., 2004

Cdk 14 28 Cyt A Hofte dan Whiteley, 1989

Ch 3 27 Cyt A Balaraman, 2005

Ch 7 27 Cyt A Balaraman, 2005

Kem 3 49 - -

Kem 5 35 Cry 30 Zeigler, 1999

Kem 6 32 - -

Kem 7 31 Cry 45 (PS-4) Kitada et al., 2005

Kem 10 38 - -

Kem 22 88 Cry 41 (PS-3) Kitada et al., 2005

Kem 23 100 Cry 25 Zeigler, 1999

Kem 24 45 - -

Kos 6 44 Cry 35 Ernest et al., 2005

Kos 7 29 Cry 23 Arrieta et al., 2004

Kos 9 34 Cry 15

Brown dan Whiteley, 1992

Kos 15 30 - -

Kos 16 28 Cyt A Hofte dan Whiteley, 1989

Par 8 56 - -

Par 9 31 Cry 45 (PS-4) Kitada et al., 2005

Par 11 33 Cry 46 (PS-2)

Hayakawa et. al., 2007

Par 16 35 Cry 30 Zeigler, 1999

Par 17 28 Cyt A Hofte dan Whiteley, 1989

Par 18 44 Cry 35 Ernest et al., 2005

Pm 6 169 - -

Pm 10 199 - -

Pm 14 39 - -

Pm 19 196 - -

Pm 23 31 Cry 45 (PS-4) Kitada et al., 2005

Pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa terdapat 20 sampel protein toksin yang


(59)

43 sampel protein lainnya belum dapat diprediksi jenis protein toksinnya. Protein Cyt

yang diprediksi didapat hanya 1 tipe yang terdiri dari 5 sampel protein yaitu Cyt

A. Terdapat 5 tipe protein toksin yang diprediksi bersifat insektisidal atau lebih

dikenal dengan ICP (Insecticidal Crystal Protein) yang terdiri dari 10 sampel

protein, antara lain Cry 15, Cry 23, Cry 25, Cry 30, dan Cry 35. Hal ini

didasarkan pada penelitian sebelumnya dimana, protein Cry 15 memiliki sifat

toksin terhadap serangga ordo lepidoptera (Brown dan Whiteley, 1992), protein

Cry 23 memiliki sifat toksin terhadap serangga ordo diptera (Arrieta et al., 2004),

protein Cry 25 memiliki sifat toksin terhadap serangga ordo coleoptera, protein

Cry 30 memiliki sifat toksin terhadap serangga ordo dipteral (Zeigler,1999), dan

protein Cry 35 memiliki sifat toksin terhadap serangga ordo diptera (Ernest et al.,

2005).

Mekanisme dari protein Cry yang bersifat insektisidal, yaitu dengan

termakan langsung oleh serangga. Protein Cry tersebut menjadi toksin setelah

mengalami proteolisis, kemudian menyebabkan gangguan osmotik sehingga sel

membengkak dan pecah lalu menyebabkan kematian pada serangga (Hofte dan


(60)

44 Gambar 4.12. Mekanisme kerja ICP (Jusuf, 2009)

Parasporin adalah protein Cry yang memiliki kemampuan sitosidal

terhadap sel kanker. Berdasarkan hasil penelitian hingga tahun 2008, telah

diketahui ada empat jenis parasporin, yaitu PS-1 (Cry 31), PS-2 (Cry 46), PS-3

(Cry41) dan PS-4 (Cry 45) (Jusuf, 2010). Berdasarkan tabel 4.3, juga terdapat 3

tipe protein toksin yang diprediksi bersifat sitosidal atau disebut parasporin (PS)

dari 5 sampel protein, antara lain PS-2 (Cry 46), PS-3 (Cry41), dan PS-4 (Cry 45).

Mekanisme dari PS-1 yaitu dengan meningkatkan dengan cepat kepekatan

ion bebas Ca2+ intraseluler dengan tanpa perubahan permeabilitas membran

plasma dan sel-sel kanker dibunuh melalui apoptosis (Kitada et al., 2005). Pada

PS-2 proses sitosidal terjadi dengan meningkatkan permeabilitas sel kanker

(Kitada et al., 2005). Sedangkan untuk PS-3 dan PS-4 hingga saat ini belum

diketahui mekanisme kerjanya terhadap sel kanker. Berikut merupakan


(61)

45 Gambar 4.13. Mekanisme kerja PS-2 (Jusuf, 2010)

Protein Cyt A yang dihasilkan oleh B.thuringiensis memiliki bobot

molekul 27 kDa (Balaraman et al., 2005) dan 28 kDa (Hofte dan Whiteley,

1989). Sampel protein Ch 3 dan Ch 7 memiliki bobot molekul sebesar 27 kDa,

serta sampel protein toksin Par 17, Kos 16, dan Cdk 14 memiliki bobot molekul

sebesar 28 kDa. Sehingga diprediksi sampel protein Ch 3, Ch 7, Par 17, Kos 16

dan Cdk 14 merupakan protein Cyt A.

Pada penelitian yang dilakukan Arrieta et al. (2004), protein toksin yang

dihasilkan oleh B.thuringiensis dengan bobot molekul 29 kDa digolongkan

sebagai protein Cry 23. Sampel protein Kos 7, Cdk 3, Cdk, 4, dan Cdk 9 memiliki

bobot molekul sebesar 29 kDa, sehingga diprediksi merupakan protein Cry 23.

Sampel protein Kos 9 dengan bobot molekul sebesar 34 kDa diprediksi

sebagai protein Cry 15, hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan Brown

dan Whiteley (1992) pada B.thuringiensis subs thompsoni bahwa protein Cry

dengan bobot molekul 34 kDa digolongkan sebagai protein Cry 15.

Zeigler (1999) menyatakan dalam Bacillus Genetic Stock Center of


(62)

46

bobot molekul 35 kDa digolongkan sebagai protein Cry 30 dan protein Cry dengan bobot molekul 100 kDa digolongkan sebagai Cry 25. Protein sampel Par 16 dan Kem 5 memiliki bobot molekul sebesar 35 kDa sehingga diprediksi merupakan protein Cry 30, sedangkan sampel protein Kem 23 memiliki bobot

molekul 100 kDa diprediksi merupakan protein Cry 25. Ernest et al. (2005),

melakukan karakterisasi terhadap protein Cry 35 dan didapat bobot molekul sebesar 44 kDa. Sampel protein Par 18 dan Kos 6 memiliki bobot molekul sebesar 44 kDa sehingga diprediksi merupakan protein Cry 35.

Hayakawa et al. (2007) menggolongkan protein kristal dengan bobot

molekul ± 33,107 kDa merupakan PS 2 (Cry 46) yang diperoleh dari galur

B.thuringiensis TK-E6. Sampel protein Par 11 memiliki bobot molekul 33 kDa,

sehingga diprediksi sebagai PS 2 (Cry 46). Sampel protein Kem 22 dengan bobot

molekul 88 kDa diprediksi sebagai PS 3 (Cry 41), sedangkan Pm 23, Par 9 dan

Kem 7 dengan bobot molekul 31 kDa diprediksi sebagai PS 4 (Cry 45). Hal ini

didasarkan pada penelitian Kitada et al. (2005) yang mengidentifikasi parasporin

dan sel kanker sasarannya, parasporin dengan bobot molekul 88 kDa digolongkan

sebagai PS 3 (Cry 41) dan parasporin dengan bobot molekul 31 kDa digolongkan

sebagai PS 4 (Cry45).

Berdasarkan hasil-hasil SDS PAGE, terlihat bahwa dari beberapa isolat

yang menghasilkan protein toksin, memiliki karakteristik bobot molekul yang

berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena B.thuringiensis dapat memproduksi satu

atau lebih protein toksin selama proses sporulasi (Hofte dan Whiteley, 1989).

Namun untuk mengkonfirmasi hal tersebut perlu dilakukan pengujian in vitro (bio


(63)

47

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:

1. Terdapat 30 isolat B.thuringiensis yang ditemukan dari 8 sampel tanah di

Kabupaten Tangerang.

2. Ke 30 isolat B.thuringiensis tersebut menghasilkan 8 tipe protein Cry dan 1

protein Cyt dengan bobot molekul 27 dan 28 kDa (Cyt A), 29 kDa (Cry 23),

31 kDa (Cry 45/ PS-4), 33 kDa (Cry 46/ PS-2), 34 kDa (Cry 15), 35 kDa (Cry

30), 44 kDa (Cry 35), 88 kDa (Cry 41/ PS-3), dan 100 kDa (Cry 25).

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan agar dilakukan

perlakuan lebih lanjut, antara lain:

1. Perlu dilakukan isolasi protein toksin dengan jumlah biomassa yang lebih

banyak dan dilakukan pemurnian protein toksin.

2. Perlu adanya pengujian secara in vitro (bio assay) untuk mengidentifikasi

aktivitas sebagai anti kanker dan anti serangga dari protein toksin yang


(64)

48

DAFTAR PUSTAKA

Aizawa, K.N., Fujiyoshi., Ohba, M and Yoshikawa, N. 1975. Selection and Utilization of B. thuringiensis Strain of Microbial Control. Poc. 1 st International Congres of IAMS, Vol.2 (Developmental Microbiology, Ecology), h. 597-606.

Apriyanto et al. 1989. Analisis Pangan. Bogor : IPB-Press

Arrieta, G et al. 2004. Diversity of Bacillus thuringiensis Strains Isolated from Coffee Plantations Infested with the Coffee Berry Borer Hypothenemus hampei. Jurnal Biol. Trop., Edisi 52 (3), h. 757-764

Balaraman, K. 2005. Occurrence and Diversity of Mosquitocidal Strains of Bacillus thuringiensis. Jurnal Vect Borne, Edisi No. 42, h. 81-86.

Bel, Y et al. 1997. Distribution, Frequency, and Diversity of Bacillus thuringiensis in Olive Environments in Spain. J. Biolchem. Edisi N0. 20, h. 652-658.

Bernhard, K. and Urtz, R. 1993 Production of Bacillus thuringiensis for Experiment and Commercial Use in Bacillus thuringiensis, an Environmental Biopesticide: Theory and Practice. (Enwistle P.F., Cory J.S., Bailey M.J. & Higgs S. eds.). Bristol: John Walley & Sons.

Brown, K. L., dan H. R. Whiteley. 1992. Molecular Characterization of Two Novel Crystal Protein Genes from Bacillus thuringiensis Subsp. Thompsoni. Jurnal Bacteriol, Edisi No. 174, h. 549–557.

Crickmore, N et al. 1998. Revision of the nomenclatur for Bacillus thuringiensis pesticidal crystal protein. Microbiol and Molecular Biology Review 62 : 807 – 813.

Dini, Y. W. 2005. Profil Protein Kristal dan DNA Genom Total Galur-Galur

Bakteri Bacillus thuringiensis. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan, Bogor.

Ernest, S. H et al. 2005. Characterization of Cry 34/35 Binary Insecticidal Protein from Diverse Bacillus thuringiensis Strain Collections. Jurnal Enviromental Microbiology, Vol. 71, No.4.

Feldmann F., Dullemans., Wallwijk, C. 1995. Binding of The Cry IVD Toxin of Bacillus thuringiensis and Implications of Membrane Pore Formation. J. Biol, Vol 10(27), h.1-2768.


(65)

49 Goldberg, L.J. and J. Margalit 1977 a Bacterial Spore Demonstrating Rapid Larvacidal Activity Againts Anophels sergenti, Uranotaenia unguiculata, Culex univitatius, Aedes aegypti and Culex pipiens. Mosq. News 37 : 355 – 358.

Hames, B. D. 1998. Gel Electrophoresis of Proteins. UK: Oxford University Press

Hayakawa, T., Kanagawa, R et al. 2007. Parasporin 2Ab, a Newly Isolated Cytotoxic Crystal Protein from Bacillus thuringiensis. Jurnal Microbiol, Edisi No. 55, h. 78-83.

Herlambang, W. 2007. Profil Plasmid Bacillus thuringiensis Isolat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Skripsi Jurusan Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Hermanto, Sandra. 2008. Praktikum Biokimia II. Jakarta: Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah.

Hofte H dan Whiteley. 1989. Insecticidal Crystal Protein of Bacillus thuringiensis. Jurnal Microbial, Edisi No. 53(2), h. 245-255.

Ikmalia. 2008. Analisa Profil Protein Isolat Eschericia coli S1 Hasil Iradiasi Sinar Gamma. Skripsi Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayaullah, Jakarta.

Johson, C dan Bishop, A. H. 1996. A Technique for The Effective Enrichment and Isolation of Bacillus thuringiensis. J. Microbiology, Vol. 142, h. 173-177.

Jusuf, E. 2009. Exploration of Bacillus thuringiensis δ-endotoksin Protein Distributed Around Jabodetabek Region. J. Microbiology Indonesia. Vol. 3(2), h. 51-55.

Jusuf, E. 2010. Menyiasati Manfaat Protein Kristal Bakteri Bacillus thuringiensis Untuk Pengobatan Penyakit Kanker. Biotrens, Vol. 5, No. 1.

Kitada, S et al. 2005. Molecular Identification and Cytocidal Action of Parasporin a Protein Group of Novel Crystal Toxins Targetting Human Cancer Cells. Conferense on the Biotechnology of Bacillus thuringiensis and its Enviromental Impact, h. 23-27.

Laemmli, U.K.1970. Nature. 227: 680-685.

Lehninger, L. Albert. 1982. Principles of Biochemistry. USA: Worth Publisher, Inc.


(66)

50 Martin, P. A. W dan Travers, R. S. 1989. Worldwide Abundance and Distribution of Bacillus thuringiensis Isolates. Apllied and Enviromental Microbiology, Vol. 55, No. 10.

Mizuki, E et al. 2000. Parasporin, a Human Leukemic Cell-Recognizing Parasporal Protein of Bacillus thuringiensis. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology. Vol. 7, No.4.

Mulyono , H. A. M. 2000. Membuat reagen Kimia di Laboratorium. Jakarta: Bumi Aksara.

Nur et al. 1992. Elektroforesis. Bogor: IPB.

Ohba, M dan Aizawa, K. 1979. Distribution of Bacillus thuringiensis Serotype in Echime Prefecture. Japan, App. Ent. Zoll, Edisi No. 14(3), h. 340-345’

Ohba, N dan Aizawa, K. 1985. Distribution of Bacillus thuringiensis in Soil of Japan. Journ. of Invert. Pathol.I Edisi No. 47, h. 277-283.

Ohba, M., Mizuki, E., Uemori, A. 2009. Parasporin, a New Anticancer Protein Group from Bacillus thuringiensis. Anti Cancer Research Vol. 29, h. 427-434.

Okumura, S., Akao T., et al. 2004. Bacillus thuringiensis Serovar shandongiensis

Strain 89-T-34-22 Produces Multiple Cytotoxic Proteins with Similar Molecular Masses Against Human Cancer Cells. Jurnal Microbiol, Edisi No. 39, h. 89–92.

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI-Press.

Salaki, C. L., Situmorang, J., Sembiring, L. 2009. Isolation and Characterization of Indonesian Indigenous Bacteria (Bacillus thuringiensis) which are Potential for Biological Control Agent Against Cabbage Heart Caterpillar (Crocidolomia binotalis Zell). Jurnal Eugenia, h. 1-6.

Travera, M. S et al. 1987. Selective Process for Efficient Isolation of Soil Bacillus sp. J. Environ.Microbiol. Edisi No.53, h.1263-1266.

Uemori, A et al. 2008. Parasporin-1Ab, a Novel Bacillus thuringiensis Cytotoxin Preferentially Active on Human Cancer Cells in Vitro. Anticancer Res, Vol.28, h. 91-96.

Wilson, K dan Walker, J. M. 1994. Protein and Enzyme Techniques in Practical Biochemistry. Cambridge University Press.

Yamagiwa, M et al. 2002. Cytotoxicity of bacillus thuringiensis crystal protein againts mammalian cells. J. Biochem. Vol. 36, h. 61-66.


(67)

51 Yokohama, Y et al. 1988 Potentiation of The Cytotoxic Activity of Anti-Cancer Drugs Againts Cultured L1210 Cells by Bacillus thuringiensis Subsp. isrelensis Toxin. J. Chem. Pharm. Bull. 36 (11) : 4499 – 4504.

Zeigler, D. R. 1999. Bacillus Genetic Stock Center of Strains, Part 2; Bacillus

thuringiensis dan Bacillus cereus. USA: The Ohio State University.


(68)

52 Lampiran 1. Pembuatan buffer fosfat pH 6,8 (Mulyono, 2000)

Larutan A

Dibuat larutan KH2PO4 0,1 M dengan menimbang 0, 805 g KH2PO4, lalu

dilarutkan dengan 500 mL aquades.

Larutan B

Sebanyak 22,4 mL NaOH 0,1 M ditambah 22,6 mL Aquades.

Diambil 50 mL larutan A, kemudian ditambahkan larutan B. setelah itu


(69)

53 Lampiran 2. Pembuatan medium T-3 1 L

3 g trypton

+

19 g Na3PO4

+ 1,5 g yeast

extract + 2 g tryptose + 0,989 g MnCl2 +

Gelas ukur 1000 mL yang berisi 500 mL aquadest

Dimasukka

Ditepatkan dengan aquades hingga 990 mL

495 mL Campuran (Gelas ukur 1000 ml)

495 mL Campuran (Gelas ukur 500

Dimasukka Dimasukka

Erlenmeyer yang berisi 6 g agar bacto

Erlenmeyer yang berisi 6 g agar bacto

Dihomogenka Dihomogenkan

Disterilisasi dengan autoklaf


(70)

54 Lampiran 3. Pembuatan medium LB 500 mL

5 g trypton + aquades

2,5 g yeast extract

+ aquades

5 g NaCl + aquades

Dimasukka

Gelas ukur 500 mL yang berisi 250 mL aquadest

Ditepatkan dengan aquades hingga 490 mL

Dimasukka

Erlenmeyer yang berisi 7,5 g agar bacto

Dihomogenka

Disterilisasi dengan autoklaf


(71)

55 Lampiran 4. Pembuatan medium 2xSG 1 L

16 g nutrient broth +

aquades

2 g KCl + aquades

0,5 g MgSO4.7H2O +

aquades

Dimasukkan

Gelas ukur 1000 mL yang berisi 500 mL aquadest

Ditepatkan dengan aquades hingga 990 mL

495 mL Campuran (Gelas ukur 1000

495 mL Campuran (Gelas ukur 500 ml)

Dimasukkan Dimasukkan

Erlenmeyer yang berisi 8,5 g agar

bacto Erlenmeyer yang

berisi 8,5 g agar

bacto Dihomogenkan

Disterilisasi dengan autoklaf

Dituang pada cawan petri + 2 mL Glukosa 50 % + 1 mL Ca(NO3) 1 M + 1 mL FeSO4 + 1 mL MnCl2 0,1 M’ Dihomogenkan


(1)

61 Lampiran 9. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Kem 6,

Par 18, Par 11, Kos 16, Par 9, Pm 19 dan Pm 10.

Tabel nilai Rf dan Log Mr pada marker protein

rf log Mr

0.081 2.322 0.207 2.096 0.324 2.004 0.505 1.749 0.736 1.554 0.967 1.462

y = ‐0.973x + 2.322 R² = 0.959

0 0.5 1 1.5 2 2.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

Lo

g

B

M


(2)

62 Lampiran 10. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Cdk 3,

Kem 22, Ch 7, Cdk 4, Ch 3 Pm 14, Cdk 14, Kem 3, dan Cdk 9.

Tabel nilai Rf dan Log Mr pada marker protein

rf log Mr

0.068 2.322 0.229 2.096 0.419 2.004 0.585 1.749 0.736 1.554 0.827 1.462

y = ‐1.122x + 2.400 R² = 0.985

0 0.5 1 1.5 2 2.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Lo

g

B

M


(3)

63 Lampiran 11. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Pm 6,

Kos 15, Kem 24, Kem7, Par 16, dan Kem 5.

Tabel nilai Rf dan Log Mr pada marker protein

rf log Mr

0.051 2.322 0.202 2.096 0.381 2.004 0.599 1.749 0.766 1.554 0.88 1.462

y = ‐1.020x + 2.354 R² = 0.991

0 0.5 1 1.5 2 2.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Lo

g

B

M


(4)

64 Lampiran 12. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Pm 23,

Pet 9, Kem 10, dan Kem 18.

Tabel nilai Rf dan Log Mr pada marker protein

rf log Mr

0.059 2.322 0.302 2.096 0.392 2.004 0.545 1.749 0.742 1.554 0.949 1.462

y = ‐1.031x + 2.378 R² = 0.975

0 0.5 1 1.5 2 2.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Lo

g

B

M


(5)

65 Lampiran 13. Hasil uji mikroskop perbesaran 50 x 10.

Isolat Kem 7 Isolat Cdk 4


(6)

66 Lampiran 14. Isolasi 24 koloni terpilih

Pamulang (1-8) Pamulang (9-16)

Pasar Kemis (1-8) Kosambi (9-16)