Pertumbuhan Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii pada Berbagai Media serta Infektivitasnya terhadap Kutudaun Kedelai Aphis glycines Matsumura (Hemiptera: Aphididae)

PERTUMBUHAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN
Lecanicillium lecanii PADA BERBAGAI MEDIA SERTA
INFEKTIVITASNYA TERHADAP KUTUDAUN KEDELAI
Aphis glycines Matsumura (HEMIPTERA: APHIDIDAE)

LUTFI AFIFAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ii

ABSTRAK

LUTFI AFIFAH. Pertumbuhan Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii
pada Berbagai Media serta Infektivitasnya terhadap Kutudaun Kedelai Aphis
glycines Matsumura (Hemiptera: Aphididae). Dibimbing oleh TEGUH
SANTOSO.

Kedelai (Glycine max) merupakan tanaman pangan penting sebagai
sumber gizi protein nabati utama. Salah satu hama penting yang menyerang
kedelai adalah kutudaun Aphis glycines Matsumura (Hemiptera: Aphididae).
Mikoinsektisida L. lecanii telah ditunjukkan efektif terhadap beberapa hama
kedelai, tetapi belum diteliti pengaruhnya terhadap kutudaun A. glycines.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari infektivitas cendawan entomopatogen
L. lecanii untuk menekan perkembangan hama kutudaun kedelai A. glycines dan
mempelajari produksi konidia cendawan L. lecanii yang ditumbuhkan pada media
PDA, jagung, dan beras. Media PDA merupakan media yang paling baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan cendawan L. lecanii karena menghasilkan
kerapatan konidia tertinggi dan daya kecambah yang tinggi jika dibandingkan
dengan media jagung dan beras. Cendawan L. lecanii dengan kerapatan konidia
109 ,108, 107, 106, 105 konidia/ml yang disemprotkan pada tubuh serangga mampu
menginfeksi kutudaun kedelai A. glycines dan menyebabkan mortalitas pada
kutudaun. Perbedaan kerapatan konidia L. lecanii yang digunakan berpengaruh
terhadap tingkat mortalitas A. glycines. Semakin banyak atau rapat konidia yang
digunakan, maka semakin cepat cendawan tersebut menginfeksi dan mematikan
A. glycines. Selain itu, penyemprotan L. lecanii pada kutudaun kedelai A. glycines
menyebabkan menurunnya jumlah anakan kutudaun yang dihasilkan. Dengan
demikian, L. lecanii sebagai agens hayati A. glycines layak untuk dikembangkan

lebih lanjut.
Kata kunci: Lecanicillium lecanii, Aphis glycines, mortalitas, daya kecambah,
anakan.

iii

PERTUMBUHAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN
Lecanicillium lecanii PADA BERBAGAI MEDIA SERTA
INFEKTIVITASNYA TERHADAP KUTUDAUN KEDELAI
Aphis glycines Matsumura (HEMIPTERA: APHIDIDAE)

LUTFI AFIFAH
A34070039

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

iv

LEMBAR PENGESAHAN

Judul

:

Nama Mahasiswa :
NRP
:

Pertumbuhan Cendawan Entomopatogen Lecanicillium
lecanii pada Berbagai Media serta Infektivitasnya terhadap
Kutudaun Kedelai Aphis glycines Matsumura (Hemiptera:

Aphididae)
Lutfi Afifah
A34070039

Disetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA
NIP. 19570907 198003 1 006

Diketahui,
Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc
NIP. 19640204 199002 1 002

Tanggal lulus:

v


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 6 Agustus 1989 sebagai anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Drs. H. Ahmad Mujiono dan
Susilowati. Tahun 2007 penulis menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas
di SMAN 02 Ponorogo. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih
Mayor Proteksi Tanaman dan Minor Komunikasi dari Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB.
Selama kuliah penulis memiliki pengalaman organisasi sebagai pengurus
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM-A) pada tahun 2008,
Pengurus Himpunan Profesi Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) pada
tahun 2010, dan pengurus Entomology Club pada tahun 2010. Pengalaman kerja
penulis yaitu menjadi Asisten praktikum di beberapa mata kuliah di Departemen
Proteksi Tanaman antara lain: Mata kuliah Biologi Patogen Tumbuhan, Ilmu
Hama Tumbuhan Dasar, Entomologi Umum, Hama & Penyakit Tanaman
Tahunan, dan Klinik Tanaman. Selain itu penulis pernah menjadi Asisten dosen
pada mata kuliah Dasar-dasar Komunikasi, Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia selama tiga periode
semester pada tahun 2010-2011.

Penulis juga pernah magang di Balai Penelitian Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian (BALITKABI) Malang, Jawa Timur pada tahun 2009 dan
pengalaman magang di Laboratorium Nematologi Departemen Proteksi Tanaman
IPB pada tahun 2010. Selain itu, penulis juga berkesempatan mengikuti Program
Syngenta Connection 2 yang merupakan program pendidikan masyarakat
pedesaan yang disupport oleh PT. Syngenta Indonesia dan PT. Syngenta
Singapore bersama Mahasiswa Indonesia dan Mahasiswa Australia di Malang,
Jawa Timur pada tahun 2011. Berbagai beasiswa yang pernah diterima oleh
penulis yaitu Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik dan Beasiswa Yayasan
Goodwill International. Selain itu, penulis pernah lolos dalam Program
Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian yang berjudul “Prospek Buah Pinang
(Areca catechu L.) sebagai Nematisida Botani pada Tanaman Kedelai (Glycine
max (L) Merril)”. Penulis juga meraih peringkat kedua sebagai Mahasiswa
Berprestasi Tingkat Departemen pada tahun 2011.

vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertumbuhan Cendawan Entomopatogen
Lecanicillium lecanii pada Berbagai Media serta Infektivitasnya terhadap
Kutudaun Kedelai Aphis glycines Matsumura (Hemiptera: Aphididae)”, sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Banyak pihak yang terlibat dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
Ucapan terima kasih penulis kepada:
1. Ayah, ibu, dan Adik Zulfa Permata Suri yang selalu memberi semangat dan
dukungannya.
2. Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA selaku dosen pembimbing skripsi yang banyak
memberi masukan dan saran dalam pembuatan skripsi ini. Dr. Ir. Abdjad Asih
Nawangsih, M.Si yang telah menjadi penguji tamu dan Ir. Djoko Prijono,
MAgrSc yang telah menjadi moderator dalam seminar tugas akhir penulis.
Selain itu penulis juga ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Abdul Muin
Adnan, MS yang selaku pembimbing akademik yang senantiasa memberi
semangat dan dukungannya terhadap penulis.
3. Teman-teman seperjuangan di Departemen Proteksi Tanaman khususnya
Dolpina Antonia Ratissa SP., Nelly Nailufar SP., Mohamad Eldiary Akbar
SP., Ellyta Sariani Tarigan SP., Agus Setiawan SP., Ahmad Faishol SP., Reka

Pradana SP., Rita Kurnia Apindiati SP., Irma Utami Siagian SP., Gamatriani
Markhamah SP., dan Ida Parida SP. yang telah banyak membantu penelitian
penulis dan juga telah memberi persahabatan dan dukungan. Penulis ucapkan
terima kasih kepada saudari Tuti Purwaningsih S. Stat dan Retno Kusuma
Dewi S. Stat yang telah membantu penulis dalam mengolah data penelitian.
Selain itu ucapan terima kasih kepada Fauziah crew yaitu Resa Pratika Sari
S.Si dan Turasih S.Kpm yang telah membantu penulis mencari kutudaun di
lapangan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
peningkatan yang lebih baik. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat dan menjadi
acuan untuk penelitian berikutnya. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan
terima kasih.

Bogor, 14 Oktober 2011

Lutfi Afifah

vii


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................

x

PENDAHULUAN ..............................................................................................

1

Latar Belakang ..............................................................................................
Tujuan Penelitian ...........................................................................................
Manfaat Penelitian.........................................................................................


1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................

3

Permasalahan Hama Kedelai ..........................................................................
Kutudaun Kedelai Aphis glycines ...................................................................
Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii ...........................................
Pengendalian Hama Kedelai ...........................................................................

3
3
5
8

BAHAN DAN METODE ..................................................................................


10

Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................
Bahan ........................................................................................................
Serangga Uji Aphis glycines ......................................................................
Cendawan Lecanicillium lecanii ...............................................................
Metode ........................................................................................................
Penyiapan Suspensi Konidia L. lecanii......................................................
Perlakuan Serangga Uji .............................................................................
Pembuatan Media PDA, Jagung, dan Beras ...............................................
Penghitungan Kerapatan Konidia dan Daya kecambah ..............................
Rancangan Percobaan ...............................................................................

10
10
10
10
11
11
11
12
13
13

HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................................
Pengaruh Jenis Media dan Umur Biakan L. lecanii terhadap
Kerapatan Konidia ......................................................................................
Pengaruh Jenis Media dan Umur Biakan L. lecanii terhadap
Daya Kecambah ..........................................................................................
Mortalitas A. glicines oleh L. lecanii ............................................................
Pengaruh L. lecanii terhadap Jumlah Anakan yang Dihasilkan .....................

14

17
20
25

KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................................

28

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

29

LAMPIRAN ....................................................................................................

34

14

viii

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Kerapatan konidia L. lecanii umur biakan 21 dan 42 hari setelah
Inkubasi ...............................................................................................

14

2 Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap kerapatan konidia
L. lecanii ..............................................................................................

16

3 Daya kecambah L. lecanii umur biakan 21 dan 42 HSI .........................

17

4 Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap daya kecambah
konidia L. lecanii. .................................................................................

18

5 Persentase mortalitas A. glycines akibat perlakuan L. lecanii selama
empat hari pengamatan. ........................................................................

20

6 Persentase mortalitas A. glycines terhadap L. lecanii pada empat hari
pengamatan ..........................................................................................

22

7 Kumulatif jumlah anakan yang dihasilkan A. glycines selama sebelas
hari pengamatan ...................................................................................

26

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Aphis glycines yang sedang menghisap cairan tanaman.........................

5

2 Koloni Lecanicillium lecanii di media PDA (a) dan konidia L. lecanii
yang diproduksi oleh setiap tangkai konidiofor, perbesaran 400x (b) ...

6

3 Tempat pemeliharaan serangga uji A. glycines ......................................

10

4 Cawan petri dengan alas kertas tisu yang berisi serangga perlakuan ......

12

5 Koloni L. lecanii yang ditumbuhkan di tiga media berbeda PDA (a),
jagung (b), dan beras (c) pada umur 42 HSI ..........................................

15

6 Tabung kecambah isolat L. lecanii pada 10 jam setelah inkubasi
(JSI) .....................................................................................................

19

7 Mortalitas kumulatif A. glycines yang terinfeksi cendawan L. lecanii
selama empat hari .................................................................................

21

8 Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas A.glycines
akibat perlakuan cendawan L. lecamii selama empat hari setelah
perlakuan..............................................................................................

23

9 A. glycines bewarna kehitaman mulai menunjukkan gejala terinfeksi (a)
dan A. glycines sudah terkolonisasi oleh cendawan L. lecanii
(warna putih) (b). .................................................................................

24

10 Koloni L. lecanii yang tumbuh pada bangkai kutudaun pada perlakuan
selain kontrol. .......................................................................................

25

11 Nimfa instar satu yang dihasilkan oleh kutudaun dan kutudaun bersayap
(alate) ...................................................................................................

27

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Hasil analisis RAL Faktorial (2 Faktor) in time/repeated measurement
terhadap mortalitas A. glycines ............................................................

34

2. Hasil analisis RAL Faktorial (2 Faktor) in time/repeated measurement
terhadap jumlah anak yang dihasilkan A. glycines.................................

34

3 Hasil RAL Faktorial (2 Faktor) terhadap kerapatan konidia
L. lecanii ..............................................................................................

34

4 Hasil RAL Faktorial (2 Faktor) terhadap daya kecambah L. lecanii .....

34

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Di Indonesia, selain dikonsumsi sebagai sumber gizi protein nabati utama,
kedelai juga dibutuhkan sebagai komponen pakan ternak. Kebutuhan kedelai di
dalam negeri terus meningkat seiring pesatnya perkembangan industri pangan dan
pakan olahan berbahan baku kedelai. Menurut BPS (2010) produksi kedelai tahun
2010 mencapai 908,11 ribu ton biji kering, angka tersebut menurun 66,40 ribu ton
(6,81%) dibanding tahun 2009. Padahal kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai
2,1 juta ton.
Salah satu faktor pembatas utama dalam budidaya kedelai adalah
gangguan hama dan penyakit atau organisme pengganggu tanaman (OPT)
(Tengkano & Soehardjan 1993; Shepard et al. 1997; Baliadi et al. 2008).
Kutudaun Aphis glycines Matsumura merupakan salah satu hama yang
berkembang dalam koloni besar pada tanaman kedelai. Populasi kutudaun yang
tinggi dapat mengurangi produksi kedelai secara langsung melalui beberapa
kerusakan seperti kerdil, distorsi daun, dan mengurangi kualitas polong yang
dihasilkan (Sun et al. 1990). Selain itu, kutudaun pada tanaman kedelai mampu
mentransmisikan potyvirus Soybean mosaic virus (SMV) dan alfamovirus Alfalfa
mosaic virus (AMV) (Wang 2006). Kehilangan hasil oleh SMV yang ditularkan
oleh A. glycines sekitar 94% sedangkan kehilangan hasil akibat AMV sekitar 3248% (Slack 2011).
Dalam penanggulangan hama tersebut sampai kini petani masih
mengandalkan insektisida kimiawi. Padahal penggunaan insektisida kimia secara
terus menerus akan menimbulkan resistensi dan resurgensi pada hama (Rauf et al.
1994). Dengan demikian, pengendalian menggunakan insektisida kimia perlu
ditekan. Salah satu cara untuk menekan penggunaan insektisida kimia adalah
menggunakan bioinsektisida berbahan aktif mikroorganisme. Pemanfaatan
bioinsektisida sebagai agens hayati pada pengendalian hama merupakan salah satu
komponen pengendalian hama terpadu (PHT).

2
Akhir-akhir

ini

mulai

dikembangkan

bioinsektisida

cendawan

entomopatogen Lecanicillium lecanii. L. lecanii (=Verticillium lecanii) (Zimm.)
(Viegas) Zare & Gams merupakan salah satu jenis agens hayati yang sudah
diketahui potensinya untuk mengendalikan berbagai jenis hama (Ahmadi et al.
2004). Menurut Prayogo (2004) L. lecanii diketahui efektif untuk mengendalikan
Riptortus linearis L. (Hemiptera: Alydidae) stadia telur, nimfa, maupun imago.
Keberhasilan pengendalian hama menggunakan cendawan entomopatogen
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu virulensi isolat, kerapatan konidia,
kerentanan stadia inang, dan faktor lingkungan (Wenzel et al. 2007). Aplikasi
cendawan L. lecanii di pertanaman kedelai berpotensi menyerang hama-hama lain
seperti kutudaun A. glycines. Dengan demikian, perlu dilakukan suatu penelitian
mengenai potensi penggunaan cendawan L. lecanii terhadap hama-hama lain yang
menyerang pertanaman kedelai seperti kutudaun A. glycines.
Untuk keperluan praktis aplikasi di lapangan, umumnya cendawan
Hypomycetes entomopatogen termasuk L. lecanii diproduksi secara massal
dengan media alternatif seperti beras dan jagung. Penelitian ini juga bertujuan
untuk mempelajari produksi konidia cendawan apabila ditumbuhkan pada media
tersebut.

Tujuan Penelitian
Mempelajari infektivitas cendawan entomopatogen L. lecanii untuk
menekan perkembangan hama kutudaun kedelai A. glycines dan mempelajari
produksi konidia cendawan L. lecanii yang ditumbuhkan pada media PDA,
jagung, dan beras.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai produksi
massal L. lecanii. Selain itu mengetahui infeksi cendawan entomopatogen L.
lecanii terhadap kutudaun kedelai A. glycines sebagai upaya pengendalian hama
kedelai.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Permasalahan Hama kedelai
Tanaman kedelai secara alami dapat terinfestasi oleh serangga hama
selama pertumbuhan dan penyimpanan (Tengkano & Soehardjan 1993; Jackai et
al. 1990). Secara umum diketahui bahwa serangga arthropoda yang berasosiasi
dengan tanaman kedelai di Indonesia tercatat 266 jenis, 111 di antaranya sebagai
hama, 53 serangga bukan hama seperti polinator dan detritivora, 61 predator, 41
serangga parasitoid (Okada et al. 1988). Tengkano & Soehardjan (1993)
menginformasikan ada sekitar 28 spesies serangga hama yang menggunakan
tanaman kedelai sebagai inang utama. Sedangkan Jackai et al. (1990) melaporkan
ada 56 spesies hama tanaman kedelai. Namun hanya sekitar 12-14 spesies yang
memiliki nilai ekonomis tinggi, yaitu lalat kacang Ophiomyia phaseoli Tryon.,
kumbang daun kedelai Phaedonia inclusa Stal., ulat grayak Spodoptera litura
Fabricius, ulat jengkal semu Chrysodeixis chalcites Esper, Lamprosema indicata
Fabricius, pemakan polong Helicoverpa armigera Hubner, penggerek polong
Etiella zinckenella Treitschke dan Etiella hobsoni Butler, pengisap polong Nezara
viridula Linnaeus, Piezodorus hybneri Gmelin, Riptortus linearis L., dan dua jenis
vektor virus, yaitu kutucabuk Aphis glycines Matsumura, dan kutukebul Bemicia
tabaci Gennadius (Nakasuji et al. 1985; Okada et al.1988 a; Tengkano et al. 1988
b; Ditlintan 1997). Selain itu, serangga vektor virus, A. glycines dan B. tabaci,
perlu mendapat perhatian lebih karena fungsinya sebagai vektor virus-virus utama
kedelai. A. glycines menularkan soybean mosaic virus (SMV), alfalfa mosaic
virus (AMV), soybean stunt virus (SSV), peanut stripe virus (PStV), peanut
mottle virus (PMoV), bean yellow mosaic virus (BYMV), indonesian soybean
dwaef virus (ISDV), blakeye cowpea mosaic virus (BICMV) (Wang 2006).
Sebagian besar virus tersebut ditularkan secara non-persisten atau tular stilet.

Kutudaun Kedelai Aphis glycines
A. glycines telah banyak ditemukan menyerang tanaman kedelai di
Indonesia. Kehadiran kutudaun tersebut pada tanaman kedelai sudah mulai sejak
tanaman berumur tujuh hari setelah tanam (Tengkano 1993). Kehilangan produksi

4
akibat serangan kutudaun pada tanaman kedelai dipengaruhi saat terjadinya
infeksi. Semakin awal terjadi infeksi maka pengurangan produksi semakin tinggi
(Soegiarto et al. 1988).
A. glycines tergolong dalam ordo Hemiptera, superfamili Aphidoidea,
famili Aphididae, subfamili Aphidinae (Blackman & Eastop 2000). Kutudaun
tersebut tergolong serangga yang berukuran kecil. Tubuh betina yang tidak
bersayap bewarna kuning pucat atau kuning kehijauan, panjang tubuh 1.0-1.6 mm,
kornikel hitam dan seringkali dengan dasar kauda yang pucat. Marginal tubercles
kecil, terdapat pada ruas abdomen kesatu dan ketujuh. Antenal tubercles tidak
berkembang. Antena beruas enam dan panjangnya kurang lebih 2/3 panjang
tubuh. Pada kauda terdapat 7-10 seta. Di daerah tropik seperti Indonesia, kutudaun
berkembang biak secara partenogenetik yaitu sel telur dapat menjadi embrio tanpa
mengalami pembuahan dan secara vivipar yaitu serangga dewasa melahirkan
nimfa. Kemampuan kutudaun berkembangbiak secara partenogenetik tersebut
menyebabkan populasi kutudaun dapat meningkat dengan cepat jika dalam
kondisi yang baik.
Menurut Rohajati (1976) siklus hidup A. glycines di Bogor satu minggu
dengan rincian: stadium nimfa instar satu selama satu hari, instar dua, tiga, dan
empat masing-masing dua hari. Nimfa dengan cepat (lebih kurang seminggu)
menjadi dewasa dan siap melahirkan generasi baru. Pada kedelai varietas Orba
rata-rata lama hidup dan keperidian berturut-turut adalah 15 hari dan 21 nimfa.
A. glycines merusak tanaman kedelai dengan cara menghisap cairan
tanaman pada daun, tangkai daun muda, pucuk, dan polong (Gambar 1). Pada
tanaman kedelai yang terserang berat kutudaun mempunyai kenampakan daun
yang menghitam. Hal ini disebabkan oleh ekskret kutudaun yang berupa
embunmadu. Embunmadu tersebut menjadi media pertumbuhan cendawan embun
jelaga atau biasa disebut sooty mold, sehingga permukaan bagian tanaman
terserang mengalami perubahan warna yaitu menghitam.

5

Gambar 1 Aphis glycines yang sedang menghisap cairan tanaman.

Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii
Cendawan Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams
digolongkan divisi Deuteromycotina kelas Hyphomycetes yang tergolong
imperfect fungi atau cendawan yang memiliki siklus tidak sempurna. L. lecanii
merupakan cendawan entomopatogen yang pertama kali ditemukan oleh
Zimmermann pada tahun 1898 dengan nama Chephalosporium lecanii. Pada
tahun 1939, Viegas mengubah nama menjadi Verticillium lecanii berdasarkan
studi kisaran inang (Kouvelis et al. 1999). Pengamatan lebih lanjut terhadap sifat
morfologi dan analisis molekuler, cendawan tersebut berubah nama menjadi L.
lecanii sampai sekarang (Zare & Gams 2001). Cendawan L. lecanii dapat
digunakan untuk mengendalikan serangga hama terutama Hemiptera dengan
tingkat mortalitas yang sangat bervariasi (Prayogo 2004).
Karakteristik L. lecanii adalah koloni cendawan bewarna putih pucat
dengan diameter berkisar 4,0-7,3 cm setelah 20 hari inokulasi pada media PDA
(potato dextrose agar). Konidiofor berbentuk fialid (whorls) seperti huruf V,
setiap konidiofor memproduksi 5-10 konidia yang terbungkus dalam kantong
lendir. Konidia berbentuk silinder hingga elips, terdiri dari satu sel, tidak bewarna
(hialin), dan berukuran 1,9-2,2 x 5,0-6,1 µm (Gambar 2).

6

(a)

(b)

Gambar 2 Koloni Lecanicillium lecanii di media PDA (a) dan konidia L. lecanii
yang diproduksi oleh setiap tangkai konidiofor, perbesaran 400x (b).
Cendawan entomopatogen memerlukan kelembaban yang tinggi untuk
tumbuh dan berkembang, hal tersebut diperlukan selama proses pembentukan
tabung kecambah (germ tube), sebelum terjadi penetrasi ke integumen serangga.
Cendawan L. lecanii tumbuh baik pada suhu 18-30ºC dan kelembaban minimal
80%. Pada kelembaban lebih dari 90% cendawan tumbuh sangat baik (Cloyd
2003). Cendawan L. lecanii mampu hidup pada bahan organik yang mati dalam
rentang waktu yang sangat panjang (Tanada & Kaya 1993).
Keefektifan cendawan emtomopatogen terhadap serangga dipengaruhi
oleh antara lain asal isolat, kerapatan konidia, umur dan stadia perkembangan
inang, dan juga waktu aplikasi (Prayogo 2009). Salah satu faktor lain yang
mempengaruhi keefektifan cendawan entomopatogen dalam mengendalikan hama
adalah tingkat virulensi isolat. Virulensi antar isolat cendawan entomopatogen
disebabkan karena adanya keragaman intraspesies. Hal ini disebabkan isolat yang
diperoleh dari lokasi yang sama tetapi dari jenis serangga yang berbeda atau
sebaliknya, yaitu isolat dari lokasi yang berbeda tetapi dari jenis serangga yang
sama dimungkinkan memiliki karakter yang berbeda baik secara fisiologis
maupun genetis.
Cendawan

entomopatogen

sebagai

agens

biokontrol

akan

dapat

mengurangi populasi hama dan kerusakan yang ditimbulkan di agrosistem yang
berbeda (Inglis et al. 2001). Kesuksesan agens hayati seperti cendawan
entomopatogen harus mempunyai kemampuan untuk memproduksi inokulum

7
dalam jumlah yang besar (Gothel & Robbert 1992). Perbedaan media
pertumbuhan yang digunakan untuk produksi massal tergantung pada kebutuhan
nutrisi cendawan entomopatogen yang digunakan. Metarhizium anisopliae
(Metschnikoff) dapat ditumbuhkan pada media beras (Kaay & Hassan 2000), bulir
padi atau jagung (Shashi et al. 1999). Media yang digunakan akan mempengaruhi
produksi konidia dari cendawan entomopatogen.
Menurut Moore dan Prior (1993) karakteristik yang digunakan untuk
produksi massal harus mempunyai sporulasi yang tinggi pada media buatan,
virulensi yang tinggi dalam melawan organisme target, dan kemampuan untuk
bertahan pada lingkungan tempat hama tersebut berada. Indikator virulensi
cendawan entomopatogen yang baik antara lain perkecambahan yang tinggi,
pertumbuhan dan sporulasi yang tinggi pula (Chandler 1993). Telah dilaporkan
bahwa sumber nutrisi (media) berperan sebagai faktor yang menentukan bagi
pertumbuhan dan virulensi cendawan entomopatogen (Shah et al. 2005). Nutrisi
merupakan substansi yang digunakan sebagai biosintesis dan energi pembebasan
yang menyajikan faktor utama dalam viabilitas, kelangsungan hidup, dan
keberlanjutan organisme. Selain itu, pertumbuhan miselia dan spora pada media
buatan tergantung pada isolat cendawan yang digunakan dan komponen yang
digunakan dalam media.
Pada umumnya, untuk menyelesaikan secara lengkap siklus hidup
cendawan entomopatogen, maka kebanyakan patogen harus kontak dengan
inangnya, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih
jaringan inang dan mempunyai propagul untuk kontak dan menginfeksi inang
baru. Dalam biologi patogen terdapat proses yang meliputi kontak dengan inang,
penetrasi inang, reproduksi, keluarnya propagul patogen dari inang dan
penyebaran dan persistensi propagul patogen di lingkungan (Anonim 2007).
Kontak dengan inang dilakukan secara pasif pada berbagai stadia dari
patogen seperti spora cendawan oleh angin, hujan, atau oleh serangga. Setelah
terjadi kontak dengan inang maka cendawan masuk tubuh inang dan melakukan
penetrasi langsung ke kutikula. Penetrasi dilakukan oleh hifa yang memproduksi
enzim yang mampu menghancurkan kutikula serangga. Jaringan inang yang
terserang akan mempengaruhi jumlah propagul patogen yang diproduksi per berat

8
inang. Proses setelah reproduksi adalah spora patogen harus melakukan kontak
dengan inang lainnya untuk melanjutkan siklus hidupnya. Keberlanjutan populasi
patogen di alam tergantung sekali pada kontaknya dengan inang baru (Anonim
2007).

Pengendalian Hama Kedelai
Dalam penanggulangan hama kedelai sampai kini petani Indonesia masih
mengandalkan insektisida kimia sebagai upaya pengamanan produksi usaha tani
kedelai dari serangan hama (Shepard et al. 1987). Faktor yang mempengaruhinya
antara lain insektisida tersebut mudah diperoleh, aplikasinya mudah, keuntungan
hasil akibat aplikasi insektisida lebih cepat tampak. Oleh karena itu, dalam
pertanian modern, penggunaan insektisida kimia tetap sulit untuk dihindarkan
(Norris et al. 2003). Peningkatan penggunaan insektisida kimia akan berdampak
langsung pada penambahan biaya oleh petani. Selain itu, aplikasi insektisida
kimia sejenis mempunyai daya racun insektisida yang luas sehingga penggunaan
dalam kurun waktu tertentu insektisida tersebut akan kehilangan keefektifannya
(Hardy 1996).
Dalam konsep PHT, pemanfaatan musuh alami sebagai agens hayati dalam
mengendalikan hama dan penyakit perlu dikedepankan dalam menekan
penggunaan pestisida kimia yang berlebihan (Rauf et al. 1994). Agens hayati
merupakan bagian dari suatu ekosistem yang sangat penting peranannya dalam
mengatur keseimbangan ekosistem tersebut. Secara alamiah, agens hayati
merupakan

komponen

utama

dalam

pengendalian

alami

yang

dapat

mempertahankan semua organisme pada ekosistem tersebut berada dalam keadaan
seimbang.
Menurut Marwoto & Suharsono (1999) terdapat beberapa kelebihan
pemakaian agens hayati antara lain: (1) menurunkan resiko resistensi hama dan
penyakit tanaman dan ketahanannya terhadap perlakuan, (2) tidak mematikan
musuh-musuh alami lainnya, (3) menurunkan resiko ledakan hama sekunder, (4)
tidak berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan ternak, (5) tidak
merusak lingkungan dan sumber air, (6) menurunkan biaya produksi. Beberapa
jenis agens hayati yang sudah dapat dikembangkan antara lain parasitoid,

9
predator, dan patogen serangga terdiri dari virus, bakteri, dan cendawan. Contoh
yang telah dilakukan yaitu pengendalian hama Riptortus linearis dengan
menggunakan cendawan L. lecanii (Prayogo & Suharsono 2005).
Menurut Prayogo (2009) cendawan entomopatogen L. lecanii efektif untuk
pengendalian hama penghisap polong kedelai R. linearis. Laporan lain
menyebutkan bahwa L. lecanii juga mampu menginfeksi telur Bemisia tabaci, B.
argentifolii, dan Trialeurodes vaporariorum (Hemiptera Aleyrodidae) (Gindin et
al. 2000). Menurut Marwoto (2003) pemanfaatan parasitoid telur menggunakan T.
bactrae-bactrae sebagai agen hayati hama penggerek polong kedelai E.
zinckenella mempunyai prospek yang baik dalam pengendalian hama kedelai.
Dalam aplikasinya, parasitoid telur T. bactrae-bactrae dilepas ke lapangan dengan
perantaraan telur hama gudang Corcyra cephalonica (Stt.) (Lepidoptera:
Pyralidae). Penelitian Kurniawan (2010) menunjukkan bahwa ternyata cendawan
L. lecanii dapat menyerang telur C. cephalonica. Karena L. lecanii mempunyai
kemampuan yang tinggi untuk menginfeksi berbagai jenis serangga, potensi
cendawan ini untuk menginfeksi serangga kedelai lain, misalnya A. gossypii perlu
diteliti.

10

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan
Februari sampai bulan September 2011.

Bahan
Serangga uji Aphis glycines
Hama kutu daun kedelai didapat dari eksplorasi pada pertanaman kedelai
di Kelurahan Situ gede, Bogor Barat. Kutu daun kemudian diidentifikasi
menggunakan buku identifikasi oleh Blackman (2000). Pembiakan kutu daun
kedelai A. glycines dilakukan pada sangkar pemeliharaan. Tanaman kedelai
varietas Wilis yang berumur 3 minggu setelah tanam ditutup dengan sangkar yang
terbuat dari kain kasa (Gambar 3). Kutu daun dikembangbiakkan dalam sangkar
tersebut.

Gambar 3 Tempat pemeliharaan serangga uji A. glycines.

Cendawan Lecanicillium lecanii
Isolat murni cendawan L. lecanii diperoleh dari Laboratorium Patologi
Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Isolat murni
cendawan kemudian ditumbuhkan dalam media potato dextrose agar (PDA).
Komposisi media PDA adalah kentang, agar, dextrose, ditambah chloramphenicol
1 gram/liter aquades. Cendawan ditumbuhkan dalam incubator pada suhu 25ºC

11
selama 21 hari setelah inokulasi sehingga siap digunakan untuk penelitian lebih
lanjut.

Metode

Penyiapan suspensi konidia L. lecanii
Inokulum cendawan L. lecanii ditumbuhkan pada media PDA di dalam
cawan petri diameter 9 cm. Setelah berumur 21 hari konidia cendawan yang
terbentuk dikerok dengan spatula steril yang dibasahi dengan air kemudian
ditumbuk dengan mortar hingga halus. Kemudian gerusan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang berisi air steril yang telah dicampur Tween 20 (0,05%)
sebanyak 0,025 ml per 50 ml air. Selanjutnya, suspensi konidia dikocok dengan
menggunakan vortex selama 60 detik dan kerapatan konidianya dihitung
menggunakan haemocytometer Neubauer-improved hingga diperoleh kerapatan
konidia 10Ͽ/ml. Pengamatan kerapatan konidia dilakukan di bawah mikroskop
compound dengan perbesaran 40x10. Setelah didapatkan kerapatan konidia 10Ͽ/ml
maka untuk mendapatkan kerapatan konidia 10Ͼ/ml, 10Ͻ/ml, 10ϼ/ml, 10ϻ/ml
dilakukan pengenceran bertingkat.

Perlakuan serangga uji
Aplikasi cendawan L. lecanii terhadap A. glycines dilakukan pada lima
kerapatan konidia berbeda yaitu 10ϻ/ml, 106/ml, 107/ml, 108/ml, 109/ml , dan
kontrol (hanya menggunakan air steril). Masing-masing perlakuan diulang
sebanyak empat kali. Dalam satu cawan petri berukuran diameter 150 mm x tinggi
25 mm diaplikasikan 20 ekor kutu daun instar 2, sehingga dalam satu perlakuan
diperlukan 80 ekor kutu daun (Gambar 4). Penentuan instar perkembangan
serangga didasarkan pada ukuran tubuh. Suspensi konidia L. lecanii yang sudah
dihitung kerapatan konidianya disemprotkan ke nimfa A. glycines. Aplikasi
penyemprotan menggunakan sprayer tangan dengan volume semprot ± 1 ml.
Aplikasi diulang sebanyak dua kali.

12

Gambar 4 Cawan petri dengan alas kertas tisu yang berisi serangga perlakuan.

Pengamatan dilakukan pada dua hari setelah aplikasi. Variabel yang diamati
yaitu jumlah kematian/mortalitas kutu daun yang terinfeksi cendawan L. lecanii
dan jumlah anak yang dihasilkan. Kutu daun yang terkolonisasi oleh cendawan
dicek ulang kebenaran patogennya dengan cara mengisolasi cendawan dari
bangkai serangga mati (cadaver). Cadaver direndam di dalam larutan hipoklorit
1-5% selama 3 menit untuk mematikan mikrob kontaminan. Masing-masing
cadaver kemudian direndam di dalam air steril selama 1 menit. Perendaman
dalam air steril diulang tiga kali kemudian dikeringkan menggunakan kertas
saring sebelum ditumbuhkan pada media PDA.

Pembuatan media PDA, jagung, dan beras
Jagung digiling sehingga ukurannya menyerupai ukuran butiran beras.
Beras dan jagung kemudian dicuci sampai bersih. Setelah dicuci bersih, maka
beras dan jagung dikukus selama ±15 menit sampai agak lunak. Kemudian
masing-masing media sebanyak 100 gram dimasukkan ke dalam plastik tahan
panas, dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit. Setelah
media beras dan jagung steril kemudian media tersebut dipindahkan ke dalam
cawan petri 150 mm x 25 mm. Media PDA steril dibuat dari media PDA murni
(DifcoTM) sebanyak 39 gram yang dilarutkan dalam satu liter aquades dan
ditambahkan

chloramfenikol

1gram/liter.

Setelah

media

dingin,

maka

ditambahkan suspensi L. lecanii dengan kerapatan konidia 4,69 x 10Ͻ/ml,

13
sebanyak 3 ml (jagung dan beras). Pada media PDA ditambahkan suspensi
konidia sebanyak 0,3 ml dan kemudian diratakan menggunakan spreader. Semua
media yang telah ditulari suspensi cendawan ditaruh dalam inkubator pada suhu
25ºC selama 21 dan 42 HSI.
Dalam percobaan ini terdapat 3 perlakuan yaitu media PDA, jagung, dan
beras. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak lima kali. Pengamatan
dilakukan pada dua waktu berbeda yaitu pada 21 dan 42 hari setelah inokulasi
(HSI). Dua ulangan diamati pada 21 HSI dan tiga ulangan berikutnya diamati
pada 42 HSI.

Penghitungan kerapatan konidia dan daya kecambah
Setelah cendawan berumur 21 dan 42 HSI, media diambil dan dihancurkan
dalam aquades 250 ml dengan menggunakan blender tanpa ditambahkan perata
Tween 20. Penghitungan kerapatan konidia dan daya kecambah dilakukan secara
langsung menggunakan haemocytometer Neubauer-improved. Sebanyak 5 ml
suspensi L. lecanii dari masing-masing media dipindahkan ke dalam tabung
reaksi. Untuk masing-masing media, perhitungan dilakukan dari dua tabung reaksi
dan dari tiap tabung reaksi dilakukan dua kali penghitungan.
Pengamatan daya kecambah dilakukan setelah suspensi L. lecanii
diinkubasi di dalam aquades steril selama 10 jam pada suhu kamar. Pengamatan
kerapatan konidia dan pengamatan daya kecambah dilakukan di bawah mikroskop
compound dengan perbesaran 40x10. Pengambilan contoh daya kecambah sama
dengan pengambilan contoh pada penghitungan kerapatan konidia.

Rancangan percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Keragaman
data diolah dengan menggunakan Microsoft excel 2007 dan dianalisis dengan
program SAS dengan uji lanjut Pengujian Jarak Berganda Duncan (DMRT) atau
uji t dengan taraf nyata 5%.

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Jenis Media dan Umur Biakan L. lecanii terhadap
Kerapatan Konidia
Secara umum media PDA menghasilan kerapatan konidia tertinggi jika
dibandingkan dengan media jagung dan beras (Tabel 1). Hal ini mungkin
disebabkan oleh adanya faktor-faktor perbedaan nutrisi dan kadar oksigen dalam
ruang tumbuh. Cendawan ini bersifat aerob sehingga dalam pertumbuhan dan
perkembangannya membutuhkan oksigen. Pertumbuhan hifa pada media juga
menentukan kecepatan pertumbuhan dan perkembangan cendawan dalam media
tumbuh. Semakin cepat pertumbuhan hifa dalam media maka akan semakin cepat
pertumbuhan dan perkembangan cendawan. Kondisi ini menyebabkan timbulnya
perbedaan pertumbuhan pada media PDA, jagung, dan beras. Hifa pada media
PDA lebih cepat tumbuh daripada media jagung dan beras (Gambar 5).

Tabel 1 Kerapatan konidia L. lecanii umur biakan 21 dan 42 hari setelah inkubasi
Media

Ulangan

Beras

Jagung

PDA

Kerapatan konidia/ml
21 HIS

42 HSI

1

8,32x10ϼ

8,98x10ϼ

2

6,92x10ϼ

1,11x10Ͻ

3

-

1,25x10Ͻ

1

1,55x10Ͻ

2,16x10Ͻ

2

2,15x10Ͻ

1,87x10Ͻ

3

-

2,31x10Ͻ

1

1,85x10Ͻ

1,95x10Ͻ

2

1,85x10Ͻ

2,66x10Ͻ

3

-

2,71x10Ͻ

15

(a)

(b)

(c)
Gambar 5 Koloni L. lecanii yang ditumbuhkan di tiga media berbeda PDA (a),
jagung (b), dan beras (c) pada umur 42 HSI
Jenis media berpengaruh signifikan terhadap kerapatan konidia pada taraf
nyata 5%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rata-rata kerapatan konidia L.
lecanii yang dihasilkan oleh media PDA tidak berbeda nyata dengan kerapatan
konidia L. lecanii yang dihasilkan oleh media jagung. Kerapatan konidia L.
lecanii yang dihasilkan oleh media beras berbeda nyata dengan kerapatan konidia
yang dihasilkan oleh media PDA dan jagung (Tabel 2).

16
Tabel 2 Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap kerapatan konidia L.
lecanii
Kerapatan konidia/ml ± SD (x10ϼ)¹
Media

21 HSI

42 HSI

Beras

7,62x10ϼ ± 1,82b

Jagung
PDA

Jumlah konidia total²
t hitung

21 HSI

42 HSI

1,08x10Ͻ ± 1,84b

1,91x10Ͽ

2,70x10Ͽ

-3,90

1,85x10Ͻ ± 3,50a

2,11x10Ͻ ± 3,98a

4,62x10Ͽ

5,27x10Ͽ

-1,53

1,85x10Ͻ ± 2,21a

2,44x10Ͻ ± 4,08a

4,62x10Ͽ

6,10x10Ͽ

-3,73

1

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan
=0,05.
² Analisis umur biakan terhadap kerapatan konidia L. lecanii menggunakan uji t dengan =0,05.

Pada 42 HSI dapat dihasilkan 2,70x10Ͽ konidia pada 100 gram media
beras, 5,27x10Ͽ konidia pada 100 gram media jagung, dan 6,10x10Ͽ konidia dalam
100 gram media PDA. Perbedaan kandungan nutrisi sangat mempengaruhi
produksi konidia, oleh karena itu, pemilihan bahan media substrat untuk
perbanyakan cendawan entomopatogen harus dilakukan secara tepat, terutama
memilih bahan yang memiliki kemampuan memproduksi konidia secara
konsisten. Kardin dan Priyatno (1996 dalam Prayogo 2005) menyatakan bahwa
cendawan entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang
tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan
meningkatkan virulensi cendawan entomopatogen.
Selain pengaruh jenis media terhadap kerapatan konidia L. lecanii, juga
bisa dilihat pengaruh umur biakan terhadap kerapatan konidia yang dihasilkan.
Dari hasil t hitung yang didapat pada media beras dan PDA < |t tabel| yaitu 2,44
(Tabel 2) yang berarti rata-rata kerapatan konidia media pada 21 HSI berbeda
nyata dengan rata-rata kerapatan konidia pada 42 HSI pada taraf nyata 5%.
Kerapatan konidia pada media jagung > |t tabel| yaitu 2,44 yang berarti kerapatan
konidia media jagung pada 21 HSI tidak berbeda nyata dengan kerapatan konidia
pada 42 HSI. Rata-rata konidia pada 42 HSI lebih tinggi daripada 21 HSI.
Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa umur cendawan mempengaruhi jumlah
konidia yang dihasilkan. Menurut Wahyunendo (2002) pertumbuhan dan
perkembangan cendawan menunjukkan peningkatan jumlah konidia sebanding
dengan

lamanya

pertumbuhan.

waktu

inkubasi,

sampai

menunjukkan

titik

stasioner

t tabel

2,44

17
Pengaruh Jenis Media dan Umur Biakan L. lecanii terhadap
Daya Kecambah
Daya kecambah cendawan entomopatogen merupakan awal dari stadia
pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integumen serangga.
Pada umumnya, semakin tinggi daya kecambah suatu cendawan entomopatogen
maka tingkat virulensinya juga tinggi dalam pengendalian hama. Menurut Altre et
al. (1999) virulensi cendawan entomopatogen berkaitan dengan ukuran konidia,
kecepatan perkecambahan konidia, dan produksi enzim yang berfungsi sebagai
pendegradasi kutikula inang. Data yang diperoleh menunjukkan persentase
perkecambahan pada tiga media antara 76%-90% (Tabel 3).

Tabel 3 Daya kecambah L. lecanii umur biakan 21 dan 42 HSI
Media

Ulangan

Beras

Jagung

PDA

Daya kecambah (%)
21 HIS

42 HSI

1

76,74

77,00

2

80,05

78,82

3

-

81,26

1

83,23

83,73

2

80,94

81,82

3

-

80,58

1

89,19

82,98

2

80,52

90,43

3

-

88,80

Jenis media berpengaruh signifikan terhadap daya kecambah pada taraf
nyata 5%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa daya kecambah L. lecanii yang
dihasilkan oleh media PDA tidak berbeda nyata dengan daya kecambah pada
media jagung. Daya kecambah pada media jagung juga menunjukkan tidak
berbeda nyata dengan daya kecambah pada media beras. Akan tetapi, daya
kecambah pada media PDA berbeda nyata dengan daya kecambah pada media
beras (Tabel 4). Perbedaan tersebut berlaku baik untuk umur 21 HSI maupun 42
HSI.

18
Tabel 4 Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap daya kecambah konidia
L. lecanii
Rata-rata daya kecambah (% ± SD)¹

Media

21 HSI

42 HSI

t hitung²

Beras

78,39 ± 5,10b

79,02 ± 4,98b

-0,28

Jagung

82,08 ± 2,33ab

82,04 ± 2,66ab

0,04

PDA

84,85 ± 5,28a

87,40 ± 4,65a

-1,14

t tabel

2,44

1

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan
= 0,05.
² Analisis umur biakan terhadap kerapatan konidia L. lecanii menggunakan uji t dengan =0,05.

Daya kecambah konidia L. lecanii umur 42 HSI pada tiga media dinilai
masih cukup tinggi yaitu PDA (87,40%), jagung (82,04%), dan beras (79,02%).
Daya kecambah mengekspresikan kemampuan konidia yang dapat tumbuh dan
berkembang apabila faktor lingkungan mendukung. Daya kecambah konidia
mempunyai peran yang cukup besar bagi keberhasilan konidia dalam proses
penetrasi dan infeksi ke serangga inang (Sitch & Jackson 1997; Alovo et al.
2002). Semakin tinggi daya kecambah konidia maka semakin besar pula peluang
agens hayati tersebut dapat menginfeksi serangga inang sehingga kolonisasi dan
proses epizooti di lapangan cepat terjadi (Wagner & Lewis 2000). Menurut Kassa
(2003), daya kecambah konidia cendawan entomopatogen yang digunakan
sebagai agens hayati minimal harus 80%. Liu et al. (2003) menyarankan bahwa
daya kecambah konidia cendawan yang akan digunakan sebagai agens hayati
harus diatas 90%. Samuels dan Coracini (2004) menegaskan bahwa proses infeksi
akan mencapai optimal apabila daya kecambah konidia isolat yang digunakan
mencapai 99%.
Selain pengaruh jenis media terhadap daya kecambah L. lecanii, juga bisa
dilihat pengaruh umur biakan terhadap daya kecambah yang dihasilkan. Dari hasil
t hitung yang didapat pada ketiga media > |t tabel| yaitu 2,44 (Tabel 4) yang
berarti daya kecambah pada semua media pada umur 21 HSI tidak berbeda nyata
dengan umur 42 HSI (taraf nyata 5%).
Media jagung memiliki kandungan lemak, hal ini diduga merupakan faktor
meningkatnya jumlah konidia dan perkecambahan jika dibandingkan media beras.
Berdasarkan penelitian Prayogo (2009) konsentrasi dan jenis minyak nabati selain

19
berpengaruh terhadap pertumbuhan juga berpengaruh pada perkembangan L.
lecanii. Jumlah konidia yang terbentuk lebih banyak pada minyak nabati jika
dibandingkan kontrol (tanpa minyak). Penambahan minyak nabati ke dalam media
tumbuh meningkatkan daya kecambah konidia L. lecanii.

Gambar 6 Tabung kecambah L. lecanii pada 10 jam setelah inkubasi (JSI).
Tabung kecambah yang terbentuk pada 10 JSI berbentuk memanjang dari
ukuran konidia sebelumnya (Gambar 6). Konidia dapat dianggap hidup (viable)
apabila tabung kecambah telah mencapai dua kali diameter konidia (Goettel &
Inglis 1997). Tabung kecambah yang terbentuk akan berkembang membentuk
apresorium yang berfungsi untuk menempelkan organ infektif pada permukaan
inang. Semakin cepat tabung kecambah terbentuk dan semakin besar ukurannya
diduga akan semakin besar pula peluang inang dapat dipenetrasi oleh cendawan
karena permukaan inang lebih cepat dihidrolisis oleh cendawan (Prayogo 2009).

20
Mortalitas A. glycines oleh L. lecanii
Secara umum data yang diperoleh menunjukan bahwa semakin banyak
atau rapat konidia yang digunakan, maka semakin cepat cendawan tersebut
menginfeksi dan mematikan A. glycines. Perbedaan kerapatan konidia L. lecanii
berpengaruh terhadap tingkat mortalitas A.glycines. Pada hari keempat setelah
perlakuan didapatkan mortalitas tinggi pada kerapatan konidia 10Ͽ/ml yaitu
mencapai 100%. Persentase mortalitas berturut-turut pada kerapatan konidia
10Ͼ/ml, 10Ͻ/ml, 10ϼ/ml, dan 10ϻ/ml yaitu 97,5%; 92,5%; 81,25%; dan 82,5%.
Persentase mortalitas kontrol mencapai 77,5% (Tabel 5). Menurut Feng (1990)
pada perlakuan L. lecanii terhadap enam spesies kutudaun pada serealia termasuk
A. glycines, nilai LC50 adalah 4,1x105 konidia/ml.
Tabel 5 Persentase mortalitas A. glycines akibat perlakuan L. lecanii selama
empat hari pengamatan
Mortalitas (%)
Kerapatan konidia/ml

Hari Setelah Perlakuan
1

2

3

4

10ϻ

58,75

68,75

77,50

82,50

10ϼ

52,50

65,00

76,25

81,25

10Ͻ

67,50

76,25

87,50

92,50

10Ͼ

56,25

77,50

95,00

97,50

10Ͽ

70,00

91,25

98,75

100

Kontrol

16,25

42,50

62,50

77,50

21
Kerapatan 10΁ konidia/ml

Kerapatan 10΂ konidia/ml

80

80

% kematian

100

% kematian

mcn 100
60
40
20
0

40
20
0

0

1

2
3
waktu (hari)

4

0

Kerapatan 10΃ konidia/ml

1

100

100

80

80

60
40
20
0

4

60
40
20
0

0

1

2
3
waktu (hari)

4

0

1

2
3
waktu (hari)

4

Mortalitas Kontrol

Kerapatan 10΅ konidia/ml
100

100

80

80

% kematian

% kematian

2
3
waktu (hari)

Kerapatan 10⁸ konidia/ml

% kematian

% kematian

60

60
40

20

60
40
20
0

0
0

1

2
3
waktu (hari)

4

0

1

2
3
waktu (hari)

Gambar 7 Mortalitas kumulatif A. glycines yang terinfeksi cendawan L. lecanii
selama empat hari.
Kematian nimfa menunjukkan peningkatan seiring dengan berjalannya
waktu (Gambar 7). Persentase kematian pada kontrol sampai hari keempat
menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu 77,50%. Diduga perlakuan dengan
penyemprotan air secara mekanik akan mempengaruhi pergerakan kutudaun. Di
samping itu butiran air yang berasal dari penyemprotan diduga menutupi spirakel
serangga, sehingga mengalami kesulitan dalam mengambil oksigen untuk proses

4

22
metabolisme.

Terganggunya

proses

metabolisme

menyebabkan

serangga

mengalami kematian.
Pada umumnya, kutudaun dinilai cukup tahan terhadap infeksi L. lecanii,
ketahanan ini disebabkan oleh proses ganti kulit sesudah perlakuan cendawan.
Menurut Alavo et al. (2002) meskipun stadia inang cukup rentan terhadap infeksi
L. lecanii akan tetapi jika serangga inang tersebut mengalami ganti kulit maka
infektifitas cendawan juga sangat rendah. Hal ini disebabkan konidia akan terlepas
bersama kutikula sebelum menginfeksi inang. Menurut Wiyono (2007) penelitian
di lapang membuktikan bahwa curah hujan yang sangat tinggi dapat mengurangi
bahkan menghilangkan populasi kutudaun dari tumbuhan inang. Kutudaun dapat
terhempas dari tanaman dan hanyut oleh aliran air hujan.

Tabel 6 Persentase mortalitas kumulatif A. glycines terhadap L. lecanii pada
empat hari pengamatan

1

Kerapatan Konidia

Mortalitas (% ± SD)¹

10΁

82,50 ± 2,98b

10΂

81,25 ± 3,37b

10΃

92,00 ± 2,56ab

10΄

97,50 ± 3,92ab

10΅

100,0 ± 2,68a

Kontrol

77,50 ± 4,82c

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan
= 0,05.

Penyemprotan berbagai konsentrasi suspensi konidia cendawan L. lecanii
memberikan pengaruh signifikan terhadap

mortalitas kutudaun,

dengan

probability= 0.0003 < Alpha (5%=0.05). Pada uji lanjut Duncan dapat dilihat
bahwa perlakuan dengan kerapatan konidia 10Ͽ/ml tidak berbeda nyata dengan
perlakuan 10Ͼ/ml dan 10Ͻ/ml, akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan dengan
kerapatan konidia 10ϼ/ml, 10ϻ/ml, dan kontrol (Tabel 6).
Analisis regresi dilakukan berdasarkan data mortalitas sampai dengan hari
keempat, karena pada pengamatan hari keempat, 100% mortalitas serangga sudah
diperoleh pada kerapatan konidia 109/ml (Gambar 8). Analisis probit tidak
dilakukan karena angka mortalitas pada kontrol cukup tinggi

23

Persentase mortalitas

100
80

y = 5,125x + 54,875
R²= 0,898

60
40
20

0
5

Gambar 8

6
7
8
Log kerapatan (konidia/ml)

9

Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas A.glycines
akibat perlakuan cendawan L. lecamii selama empat hari setelah
perlakuan

Persamaan garis regresi menunjukkan hasil yang didapat yaitu y= 5,125x
+ 54,875. Apabila kerapatan konidia L. lecanii meningkat sebesar 101 (satusatuan) maka mortalitas akan meningkat sebesar 5,125% (Gambar 8).
A. glycines yang terinfeksi cendawan dan mati, pada awalnya berwarna
kehitaman. Infeksi cendawan pada kutudaun mulai terjadi pada waktu dua hari
setelah perlakuan (HS

Dokumen yang terkait

PENGARUH FREKUENSI APLIKASI ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana TERHADAP KUTU DAUN (Aphis glycines Matsumura) DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI

2 20 43

PENGARUH FREKUENSI APLIKASI ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN Metarhizium anisopliae TERHADAP KUTU DAUN (Aphis glycines Matsumura) DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI

1 16 46

Infektivitas cendawan entomopatogen lecanicillium lecanii terhadap parasitoid telur trichogrammatoidea bactrae bactrae (Hymenoptera:Trichogrammatidae)

0 2 51

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

3 10 50

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 12

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 2

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 4

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 6

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 6

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 7