Pengaruh Kitosan terhadap Penyakit Kerdil Hampa pada Tanaman Padi

1

PENGARUH KITOSAN TERHADAP PENYAKIT KERDIL
HAMPA PADA TANAMAN PADI

VERONICA TIURIDA APRILIANA SIMANJUNTAK

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRAK

VERONICA TIURIDA APRILIANA SIMANJUNTAK. Pengaruh Kitosan
terhadap Penyakit Kerdil Hampa pada Tanaman Padi. Dibimbing oleh SURYO
WIYONO dan GEDE SUASTIKA.
Kitosan merupakan senyawa biopolimer yang dapat memacu respon
biokimia pertahanan tanaman terhadap infeksi patogen. Penelitian ini bertujuan
menguji keefektifan kitosan dalam menekan Rice ragged stunt virus (RRSV).

Perlakuan yang digunakan adalah penyemprotan kitosan dengan konsentrasi 0.1%
dan 1% masing-masing sebelum dan setelah inokulasi. Sebagai pembanding
digunakan tanaman yang tidak diinokulasi dan tanaman diinokulasi tanpa kitosan.
Inokulasi dilakukan dengan menggunakan vektor Nilaparvata lugens pada 21 hari
setelah tanam (HST). Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan dengan tiga
rumpun tanaman padi, disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK).
Parameter pengamatan meliputi pertumbuhan tanaman berupa tinggi dan jumlah
anakan tanaman serta kejadian dan keparahan penyakit. Data yang diperoleh
dianalisis ANOVA pada taraf 5% dan uji lanjut Duncan. Semua perlakuan kitosan
secara umum meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan kontrol positif.
Tanaman yang diberi perlakuan kitosan mempunyai gejala ringan yang meliputi
beberapa daun menggulung dan agak mengeriting, sedangkan tanaman kontrol
positif menunjukkan gejala lebih parah berupa kerusakan sedang sampai berat
yang meliputi sebagian besar helaian daun kasar atau menggulung, pembengkakan
tulang daun, jumlah anakan sedikit, dan kerdil. Kejadian penyakit terendah
ditunjukkan pada perlakuan kitosan 1% yang disemprotkan sebelum inokulasi
(44.44%) sedangkan kejadian penyakit perlakuan lainnya 100%. Perlakuan
kitosan 1% sebelum inokulasi secara nyata menekan keparahan penyakit kerdil
hampa sebesar 40.74%, sedangkan perlakuan lain tidak berpengaruh nyata.
Kata kunci: Padi, RRSV, Kitosan


PENGARUH KITOSAN TERHADAP PENYAKIT KERDIL
HAMPA PADA TANAMAN PADI

VERONICA TIURIDA APRILIANA SIMANJUNTAK
A34070040

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul
Nama
NRP


: Pengaruh Kitosan terhadap Penyakit Kerdil Hampa pada Tanaman
Padi
: Veronica Tiurida Apriliana Simanjuntak
: A34070040

Disetujui,
Dosen Pembimbing 1

Dosen Pembimbing 2

Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc. Agr.
NIP. 19690212 199203 1003

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc.
NIP. 19620607 198703 1003

Diketahui,
Ketua Departemen Proteksi Tanaman


Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
NIP. 19650621 198910 2001

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 13 April 1989 sebagai anak
pertama dari pasangan Lorentz Simanjuntak dan Magdalena Silitonga. Penulis
lulus dari SMA Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2007 dan diterima di IPB
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di
Departemen Proteksi Tanaman pada tahun 2008.
Selama kuliah di IPB penulis pernah bergabung di organisasi Himpunan
Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) tahun 2008 dan pernah magang di
Balai Penelitian Tanaman, Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (BALITKABI),
Malang pada tahun 2009.

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Pengaruh

Kitosan terhadap Penyakit Kerdil Hampa pada Tanaman Padi” dapat diselesaikan.
Skripsi ini merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilakukan pada November 2011 sampai April 2012.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada orangorang yang telah membantu penulis, mulai dari kegiatan penelitian sampai dengan
selesainya tugas akhir ini. Khususnya kepada:
1. Ayah dan ibu serta adik-adik tercinta yang telah memberikan dukungan moral
maupun materi, kasih sayang, dan doa restu kepada penulis.
2. Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc. Agr. dan Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. yang telah
memberikan bimbingan, bantuan, arahan, masukan, serta nasehat kepada
penulis sejak awal penelitian sampai akhir penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Ifa Manzila, M.Si. yang banyak membantu kinerja deteksi virus di
Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) dan pencarian tanaman bergejala
RRSV di daerah Subang.
4. Semua laboran Departemen Proteksi Tanaman khususnya bapak Dadang yang
membantu di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, mbak Tuti yang membantu
di Laboratorium Virologi Tumbuhan, dan bapak Saefuddin serta bapak
Mamat yang membantu penelitian di Rumah Kaca University Farm, Institut
Pertanian Bogor.

5. Teman-teman laboratorium Virologi Tumbuhan: mbak Pipit, Rita Kurnia
Apindiati serta teman-teman Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen)
yang membantu selama proses penelitian sampai penyusunan tugas akhir.
Bogor, Juni 2012

Veronica Tiurida

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI........................................................................................................

vii

DAFTAR TABEL ...............................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................


x

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................

xi

PENDAHULUAN ..............................................................................................

1

Latar Belakang ...........................................................................................
Tujuan Penelitian .......................................................................................
Manfaat Penelitian .....................................................................................

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................


3

Tanaman Padi ............................................................................................
Taksonomi Tanaman Padi.............................................................................
Morfologi Tanaman Padi ..............................................................................
Hama Dan Penyakit Tanaman Padi .............................................................
Virus Kerdil Hampa...................................................................................
Taksonomi Virus Kerdil Hampa ..................................................................
Partikel Virus Kerdil Hampa ........................................................................
Gejala Virus Kerdil Hampa ..........................................................................
Penularan Virus Kerdil Hampa ....................................................................
Wereng Batang Coklat...............................................................................
Taksonomi Wereng Batang Coklat ..............................................................
Morfologi Dan Biologi Wereng Batang Coklat .........................................
Biotipe Wereng Batang Coklat ....................................................................
Kitosan dan Penggunaannya untuk Pengendalian Penyakit Tanaman ......
Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) ................

3


BAHAN DAN METODE ..................................................................................

3
3
5

6
6
7
7
8

10
10
11
12

13
15
17


Waktu dan Tempat Penelitian....................................................................
17
Bahan dan Alat ..........................................................................................
17
Metode Penelitian ......................................................................................
17
Penyediaan Tanaman Sumber Inokulum ....................................................
17
Deteksi Virus Kerdil Hampa pada Tanaman Sumber Inokulum dengan Metode
RT-PCR ...........................................................................................................
18
Penanaman Tanaman Uji ..............................................................................
19
Perbanyakan Wereng Batang Coklat ...........................................................
19
Periode Makan Akuisisi ................................................................................
20
Inokulasi ..........................................................................................................
20

Pembuatan Larutan Kitosan ..........................................................................
20
Perlakuan .........................................................................................................
20
Parameter Pengamatan ..............................................................................
21
Pertumbuhan Tanaman ..................................................................................
22
Analisis Data..............................................................................................
22

viii
HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................
Hasil ...........................................................................................................
Gejala ...............................................................................................................
Pengaruh Perlakuan Kitosan terhadap Kejadian Penyakit dan Keparahan
Penyakit ...........................................................................................................
Pengaruh Perlakuan Kitosan terhadap Pertumbuhan Tanaman ...............
Deteksi RRSV dengan RT-PCR...................................................................
Pembahasan Umum ...................................................................................

23

23
23
23
24
28

28

KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................................

32

Kesimpulan ................................................................................................
Saran ..........................................................................................................

32
32

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................

33

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Pengaruh perlakuan kitosan terhadap kejadian dan keparahan
penyakit kerdil hampa pada 35 HSI.....................................................

25

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Gejala serangan RRSV pada sumber inokulum …………………………
2. Tinggi tanaman akibat perlakuan kitosan pada 0-7 HSI, 7-14 HSI, 14-21
HSI, 21-28 HSI, dan 28-35 HSI …………………………………………
3. Pengaruh kitosan terhadap tinggi tanaman…………………...…………
4. Perbandingan tinggi tanaman antara perlakuan ch sb 1 dan kontrol
negatif……………………………………...……………………………

23

25
26

26

5. Jumlah anakan pada 7 HSI, 14 HSI, 21 HSI, 28 HSI, dan 35 HSI.…..…

27

6. Pengaruh kitosan terhadap jumlah anakan...……………………………

27

7. Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR
menggunakan pasangan primer spesifik untuk RRSV...……..…………

28

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Pengaruh kitosan terhadap tinggi tanaman …………………………

37

2

Pengaruh kitosan terhadap jumlah anakan tanaman ………………..

38

3.

Pengaruh kitosan terhadap persentase kejadian penyakit (KP) …….

39

4.

Pengaruh kitosan terhadap persentase keparahan penyakit (P) …….

40

5.

Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 0 HSI …….

41

6.

Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 7 HSI …….

41

7.

Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 14 HSI …...

42

8.

Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 21 HSI …...

42

9.

Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 28 HSI …...

43

10. Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 35 HSI …...

43

11. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 0 HSI …………………

44

12. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 7 HSI …………………

44

13. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 14 HSI ………………..

45

14. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 21 HSI ………………..

45

15. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 28 HSI …………………

46

16. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 35 HSI ………………..

46

17. Data hasil pengamatan ……………………………………………...

47

18. Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 0 HSI ………………... 47
19. Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 7 HSI ………………... 47
20. Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 14 HSI ………………. 48
21. Hasl analisis ragam kejadian penyakit pada 21 HSI ……………….. 48
22. Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 28 HSI ………………. 49
23. Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 35 HSI ………………. 50
24. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 0 HSI …………….... 50
25. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 7 HSI ……………… 50
26. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 14 HSI …………….. 51
27. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 21 HSI …………….. 51
28. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 28 HSI …………….. 52
29. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 35 HSI …………….. 52

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rice ragged stunt virus (RRSV) dapat menyebabkan pertumbuhan
terhambat, tepi daun tidak rata, berlekuk-lekuk atau sobek-sobek dan terjadi
pembengkakan tulang daun atau pembentukan puru yang berwarna kuning pucat
sampai coklat serta terjadi pembelitan daun, malai tidak dapat keluar dengan
sempurna, dan gabah hampa. RRSV pertama kali dilaporkan terdapat di Indonesia
pada tahun 1976 yaitu di daerah Pandeglang, Jawa Barat (Hibino et al. 1977).
Setahun kemudian virus ini dilaporkan terdapat di Cotabato Utara, Mindanau,
Filipina. Saat ini, penyakit kerdil hampa dilaporkan telah menyebar di negaranegara Asia termasuk China, India, Jepang, Malaysia, Filipina, Sri Langka,
Taiwan, dan Thailand (Ling et al. 1978).
Sampai saat ini belum ada laporan tentang varietas padi yang tahan terhadap
RRSV. Varietas yang tahan terhadap wereng coklat belum tentu tahan terhadap
serangan RRSV yang ditularkan oleh hama ini. Menurut Hibino et al. (1977),
pada tingkat serangan yang tinggi, penyakit kerdil hampa dapat menyebabkan
penurunan produksi sampai 50%. Di India kerugian hasil mencapai 80-100%.
Hasil survei di Indonesia menunjukkan apabila tanaman terinfeksi 34-76% maka
berkurangnya hasil panen mencapai 53-82%.
Beberapa upaya pengendalian dapat dilakukan seperti misalnya melalui
pengendalian vektor virus dan penggunaan bahan-bahan antiviral. Pengendalian
vektor virus dapat dilakukan dengan kultur teknis yaitu membersihkan gulma
serta penggunaan insektisida. Upaya pengendalian virus tanaman yang umum
dilakukan adalah dengan menggunakan varietas yang tahan yang contohnya
adalah varietas Ciherang. Varietas ini banyak ditanam petani di daerah sentra
pertanaman padi Bogor, Karawang dan Subang. Varietas ini sebenarnya
merupakan varietas tahan terhadap wereng batang coklat (WBC) biotipe 2 dan 3
tetapi baru-baru ini dilaporkan sudah mulai terkena serangan WBC biotipe 3 yang
cukup berat (Ratna et al. 2008).
Salah satu teknik baru yang digunakan dalam pengendalian penyakit adalah
dengan menginduksi ketahanan sistemik yang terdapat pada tanaman dengan

2
bahan tertentu. Ketahanan sistemik dari suatu tanaman dapat diaktifkan dengan
menginduksi gen-gen ketahanan yang terdapat di dalam tanaman. Salah satu agen
yang dapat menginduksi ketahanan tanaman adalah ekstrak tumbuhan (Hersanti
2003) dan kitosan (Vasyukova et al. 2001).
Kitosan merupakan produk turunan dari kitin yang banyak terdapat pada
serangga, krustasea, dan fungi, yang merupakan biopolimer alami kedua
terbanyak di alam setelah selulosa (Sanford & Hutchings 1987). Diperkirakan
lebih dari 109-1010 ton kitosan diproduksi di alam tiap tahun. Indonesia sebagai
negara maritim sangat berpotensi menghasilkan kitin dan kitosan. Data statistik
menunjukkan bahwa negara yang memiliki industri pengolahan kerang
menghasilkan sekitar 56 200 ton limbah/tahun. Limbah tersebut dapat diproses
dan diubah menjadi kitosan. Oligomer kitosan adalah produk yang termahal, yaitu
senilai $ 60 000/ton (Sanford 1989).
Kitosan memiliki banyak kegunaan di antaranya sebagai bahan pengawet
alami dan bahan kosmetik. Selain itu kitosan juga digunakan untuk menekan
perkembangan penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan, bakteri, dan
virus. Wang et al. (2007) melaporkan bahwa pelapisan kitosan dengan konsentrasi
2% pada buah mangga mampu menghambat perkembangan penyakit antraknosa.
Selain itu kitosan dilaporkan juga mampu untuk menekan infeksi Alfalfa mosaic
virus (AMV) (Pospieszny et al. 1991) dan infeksi Potato spindle tuber viroid
(PSTVd) (Pospieszny 1993). Hingga saat ini belum ada penelitian tentang
efektifitas kitosan terhadap RRSV pada tanaman padi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas kitosan untuk
mengendalikan penyakit kerdil hampa pada tanaman padi.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar bagi
pemanfaatan kitosan untuk menekan penyakit kerdil hampa pada tanaman padi.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Padi
Taksonomi Tanaman Padi
Padi (Oryza sativa L.) termasuk dalam famili Gramineae, sub famili
Oryzoideae, suku Oryzeae dan genus Oryza. Padi termasuk golongan tanaman
semusim yaitu tanaman yang biasanya berumur pendek, kurang dari satu tahun
dan hanya satu kali berproduksi, setelah berproduksi akan mati atau dimatikan.
Tanaman padi dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu kelompok Indica
(padi bulu) yang umumnya terdapat di negara-negara tropik seperti Indonesia dan
Japonica (padi cere) yang umumnya terdapat di negara-negara bukan tropik atau
sub tropik seperti Jepang (Nasoetion 2001).
Padi merupakan tanaman pangan berumpun. Tanaman pertanian kuno ini
berasal dari dua benua, yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Bukti
sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai
pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar
Pradesh India sekitar 100-800 SM. Tanaman padi di Indonesia berasal dari
perantau-perantau Malaysia yang membawa tanaman padi sekitar tahun 1.500 SM
(Siregar 1980).
Morfologi Tanaman Padi
Bagian-bagian tanaman padi secara garis besar terdiri atas dua, yaitu bagian
vegetatif (akar, batang, anakan, daun) dan bagian generatif (malai, buah padi).
Akar tanaman padi dapat dibedakan menjadi akar tunggang, akar serabut/adventif,
akar rambut, dan akar tajuk. Akar tunggang ialah akar yang tumbuh pada saat
benih berkecambah. Akar serabut/adventif ialah akar yang tumbuh setelah 5-6
hari terbentuk akar tunggang. Akar rambut ialah bagian akar yang keluar dari akar
tunggang dan akar serabut. Akar tajuk ialah akar yang tumbuh dari ruas batang
terendah. Bagian akar yang telah dewasa/lebih tua dan telah mengalami
perkembangan berwarna coklat, sedangkan akar yang masih baru/masih muda
berwarna putih (Aak 2001).

4
Tanaman padi mempunyai batang yang beruas-ruas. Panjang batang
tergantung jenisnya. Pada ruas batang bawah pendek, semakin ke atas mempunyai
ruas batang yang makin panjang. Ruas pertama dari atas merupakan ruas
terpanjang. Ruas batang padi berongga dan bulat. Di antara ruas batang padi
terdapat buku, tiap-tiap buku duduk sehelai daun. Batang baru muncul pada
ketiak daun. Batang baru dapat disebut batang sekunder apabila batang tersebut
terletak pada buku terbawah (Aak 2001).
Tanaman padi membentuk rumpun dengan anakannya, biasanya anakan
akan tumbuh pada dasar batang. Pembentukan anakan terjadi secara bersusun
yaitu anakan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Setiap tanaman padi
mempunyai jumlah anakan yang berbeda-beda sehingga berpengaruh terhadap
umur penanaman selanjutnya. Anakan tumbuh pada umur 10 hari setelah
penanaman di sawah (Aak 2001).
Ciri khas daun padi adalah sisik dan telinga daun. Hal ini menyebabkan
daun padi dapat dibedakan dari jenis rumput yang lain. Bagian-bagian dari daun
padi yaitu helaian daun yang bentuknya memanjang terletak pada batang padi,
pelepah daun merupakan bagian daun yang menyelubungi batang, lidah daun
yang terletak pada perbatasan antara helaian daun dan upih (Aak 2001).
Sekumpulan bunga padi (spikelet) yang keluar dari buku paling atas
dinamakan malai. Sumbu utama malai adalah ruas buku yang terakhir pada
batang. Panjang malai tergantung pada varietas padi yang ditanam dan cara
bercocok tanam. Jumlah cabang pada setiap malai berkisar antara 15-20 buah,
setiap malai bisa mencapai 100-120 bunga (Aak 2001).
Bunga padi merupakan bunga telanjang yang mempunyai satu bakal buah,
enam buah benang sari, serta dua tangkai putik. Bakal buah mengandung air
(cairan) untuk kebutuhan lodikula, warnanya keunguan/ungu tua. Benang sari
terdari dari tangkai sari, kepala sari, dan kandung serbuk. Tangkai sari padi tipis
dan pendek, sedangkan pada kepala sari terletak kandung serbuk yang berisi
tepung sari (pollen). Lodikula merupakan daun mahkota yang telah berubah
bentuk yang berfungsi mengatur pembukaan bunga (Aak 2001).
Gabah atau buah padi adalah ovary yang telah masak, bersatu dengan
lemma (sekam mahkota terbawah pada bunga tanaman padi) dan palea (sekam

5
mahkota yang letaknya di atas lemma pada bunga tanaman padi). Buah ini
merupakan hasil penyerbukan dan pembuahan yang mempunyai bagian-bagian
antara embrio yang terletak pada bagian lemma, endosperm yang merupakan
bagian dari buah atau biji padi yang besar dan bekatul merupakan bagian buah
padi yang berwarna coklat (Aak 2001).
Pertumbuhan tanaman padi terdiri dari fase vegetatif, fase reproduktif, dan
masa pemasakan. Lama fase vegetatif adalah 60-70 hari, terdiri dari fase bibit
berkecambah (kurang dari 21 hari) dan fase pertunasan sampai tercapai jumlah
maksimum.
Lama fase reproduksi adalah 36 hari, terdiri dari fase primordia (60-70 hari
setelah tabur benih, fase pemanjangan ruas dan bunting (kurang lebih 75 hari
sesudah tabur benih), fase heading diikuti keluarnya malai dari pelepah daun
benderadan fase berbunga kira-kira 100 hari sesudah telur.
Fase pemasakan berlangsung 25-35 hari meliputi fase masak susu, fase
masak tepung, fase masak gabah, dan fase lewat masak yaitu setelah gabah masak
ditandai dengan mengeringnya daun dari bawah secara berangsur-angsur yang
akhirnya kering dan mati.
Pemupukan dilakukan untuk memenuhi nutrisi yang diperlukan tanaman
padi. Pupuk yang digunakan sebaiknya kombinasi antara pupuk organik dan
pupuk buatan. Pupuk organik yang diberikan berupa pupuk kandang atau pupuk
hijau dengan dosis 2-5 ton/ha. Pupuk organik diberikan saat pembajakan/cangkul
pertama. Selain pupuk organik diberikan juga pupuk kimia dengan dosis 200 kg
urea/ha, 75-100kg SP-36/ha, dan 75-100 kg KCl/ha. Urea diberikan 2-3 kali yaitu
14 HST, 30 HST, dan menjelang primordia bunga. Pupuk SP-36 dan KCl
diberikan saat tanam atau 14 HST. Jika digunakan pupuk majemuk dengan
perbandingan 15-15-15, dosisnya 300 kg/ha. Pupuk majemuk diberikan setengah
dosis saat tanaman berumur 14 HST, sisanya menjelang primordial bunga (50
HST).
Hama Dan Penyakit Tanaman Padi
Hama yang umum menyerang tanaman padi antara lain: penggerek batang
padi (Scirpophaga incertulas (penggerek batang kuning), S. innotata (penggerek
batang putih), Chilo suppressalis (penggerek batang bergaris)), wereng batang

6
coklat (Nilaparvata lugens Stal), wereng hijau (Nephottetix virescens), kepinding
tanah (kepinding tanah Malaya Scotinophara coarctata dan kepinding tanah
Jepang Scotinophara lurida), walang sangit (Leptocorisa oratorius Fabricius),
tikus (Rattus argentiventer) , ganjur (Orseolia oryzae Wood-Mason), hama putih
palsu (Cnaphalocrocis medinalis), hama putih (Nymphula depunctalis), ulat
grayak (Spodoptera mauritia acronyctoides), ulat tanduk hijau (Melanitis leda
ismene Cramer), ulat jengkal palsu hijau (Naranga aenescens), orong-orong
(Gryllotalpa orientalis Burmeister), lalat bibit (Hydrellia philippina Ferino),
keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck), burung (Lonchura spp., Ploceus
sp.).
Beberapa patogen yang menginfeksi tanaman padi antara lain: hawar daun
bakteri

(Xanthomonas

campestris

pv.

oryzae),

bakteri

daun

bergaris

(Xanthomonas campestris pv. oryzicola), blast (Pyricularia grisea), hawar
pelepah daun (Rhizoctonia solani Kuhn), busuk batang (Magnaporthe salvinii,
Helminthosporium sigmoideum var. irregulare), busuk pelepah (Sarocladium
oryzae (Sawada) Gums dan Hawksworth), bercak coklat (Helmintosporium
oryzae), bercak Cercospora (Cercospora oryzae), hawar daun jingga, tungro
(virus tungro), kerdil rumput, dan kerdil hampa yang ditularkan oleh wereng
batang coklat.

Virus Kerdil Hampa
Taksonomi Virus Kerdil Hampa
Virus kerdil hampa adalah virus yang relatif baru ditemukan, termasuk
kelompok Reovirus (Shikata et al 1978 dalam Ling 1978) dan dimasukkan dalam
sub kelompok Acanthovirus (Ling et al. 1978). Nama lain virus ini adalah
Infectious gall virus. Virus kerdil hampa (Rice Ragged Stunt Virus) disebabkan
oleh virus yang ditularkan oleh wereng coklat (Nilaparvata lugens). Umumnya
virus kerdil hampa menyerang tanaman padi usia 30 hari dan serangan tidak
terjadi secara cepat. Kejadian penyakit kerdil hampa tersebut baru muncul jika
wereng sudah berada di lahan sejak lama.

7
Penyakit kerdil hampa merupakan penyakit yang sudah lama dikenal pada
tanaman padi sawah dan pertama kali ditemukan di Pandeglang, Jawa Barat tahun
1976. Kemudian pada tahun 1977 ditemukan di beberapa daerah Jawa Tengah,
Jawa Timur, Bali Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi, dan Lombok
(Hibino et al. 1977).
Virus ini sebelumnya mungkin telah terdapat di Indonesia tetapi gejalanya
tertutup gejala kerdil rumput. Kenyataannya, di daerah-daerah yang banyak
ditanam kultivar padi yang resisten terhadap kerdil rumput maka kerdil hampa
akan banyak terlihat. Hasil survei di Indonesia menunjukkan bila tanarnan
terinfeksi 34-76%, maka berkurangnya hasil panen mencapai 53-82%.
Partikel Virus Kerdil Hampa
Virus kerdil hampa mempunyai partikel yang berbentuk polihedral dengan
ukuran antara diameter 50-70 nm. Partikel ini banyak terdapat pada sel-sel floem
dan sel-sel puru (Shikata et al. 1978). Hibino et al. (1977) melaporkan bahwa
penyakit kerdil hampa disebabkan oleh virus yang berbentuk bulat dengan ukuran
60 nm. Sifat fisik virus kerdil hampa adalah sebagai berikut: ketahanan suhu 4◦C
adalah 7 hari, batas pengenceran 10-5 (daun) dan 10-6 (serangga), panas inaktivasi
60◦C dan stabil pada pH 6-9.
Gejala Virus Kerdil Hampa
Gejala penyakit yang ditimbulkan virus kerdil hampa berbeda pada setiap
tahap perkembangan tanaman. Gejala muncul atau terlihat lebih kurang 3-4
minggu setelah inokulasi virus pada tanaman. Gejala pada tanaman muncul 10-36
hari setelah inokulasi. Sedangkan Hibino et al. (1977) melaporkan bahwa kirakira 2 minggu setelah inokulasi gejala pertama muncul. Tanaman terlihat kerdil
dan daun berwarna hijau tua. Satu bulan setelah inokulasi, terlihat daun memilin
dan robek-robek pada tepinya. Kira-kira dua bulan setelah inokulasi, gejala tidak
jelas pada daun-daun yang baru. Tanaman menjadi lebih kerdil dan daun-daun
lebih pendek.
Kekerdilan merupakan gejala yang sangat jelas pada awal pertumbuhan dan
jelas terlihat dari kejauhan (Ling et al. 1978). Pada awal pertumbuhan, daun-daun
yang robek belum dominan tapi tepi daun jelas tidak beraturan. Kerusakan dapat
dilihat sebelum helai daun membuka. Bagian daun yang robek biasanya menjadi

8
klorotik kemudian keputih-putihan dan bagian daun yang putih menjadi kuning
atau kuning kecoklatan. Daun-daun yang robek lebih banyak terdapat pada helai
daun apabila dibandingkan dengan pada pelepah daun. Pada helai daun, bagian
yang robek lebih banyak terdapat pada satu sisi (Ling et al. 1978).
Daun yang memilin terjadi pada ujung helai daun. Pertama-tama terlihat
satu putaran, kemudian putarannya menjadi bayak sampai berbentuk seperti
spiral. Keadaan ini disebabkan oleh pertumbuhan daun yang tidak seimbang pada
kedua sisi daun yang terinfeksi (Ling et al. 1978).
Gejala lain yang tampak dari penyakit kerdil hampa adalah pembengkakan
tulang daun. Pembengkakan ini disebabkan oleh perkembangan sel-sel floem
dalam berkas jaringan. Bagian yang membengkak (puru) ini lebih banyak terdapat
pada pelepah daun apabila dibandingkan dengan pada helai daun. Ukuran panjang
puru adalah 0.1 mm sampai 1 mm. Warna puru bervariasi, kira-kira 82% kuning
muda atau putih, 2% coklat muda, 6% coklat tua dan 10% kombinasi. Warna puru
tidak mengalami perubahan seperti daun mati. Pada helai daun bagian atas dan
pelepah daun bagian bawah banyak ditemukan puru (Ling et al. 1978).
Pada tahap lanjut dari pertumbuhan tanaman, daun bendera tanaman sakit
menjadi lebih pendek, seringkali terlihat terpilin dan robek-robek pada tepi
daunnya. Malai juga menjadi lebih pendek dan keluarnya malai tidak sempurna
(Hibino et al., 1977; Ling et al. 1978). Selain itu pembungaan juga terlambat
(Ghosh & John 1980).
Pada tanaman sakit seringkali dihasilkan percabangan dari buku-buku
batang bagian bawah. Percabangan semakin bertambah dengan bertambahnya
umur tanaman. Akibat percabangan, malai yang dihasilkan seringkali lebih kecil
dan lebih banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan tanaman yang tidak
bercabang. Pada tanaman sakit hanya sedikit ditemukan bulir yang berisi atau
bulir pada umumnya kosong (Ling et al. 1978). Tanaman sakit dapat bertahan
hidup lama sesudah pembungaan, yaitu lebih dari 6 bulan di rumah kaca IRRI
(Ling 1977).
Penularan Virus Kerdil Hampa
Virus kerdil hampa tidak dapat ditularkan secara mekanik, melalui biji atau
melalui organisme dalam tanah tetapi hanya dapat ditularkan oleh wereng batang

9
coklat. Wereng batang coklat (Nilparvata lugens Stal) merupakan salah satu
serangga hama penting pada tanaman padi karena selain dapat merusak secara
langsung, juga dapat sebagai penular penyakit virus kerdil rumput dan kerdil
hampa (Hibino et al. 1977). Serangga tersebut dapat menularkan penyakit virus
kerdil hampa sampai akhir masa hidupnya, tetapi tidak dapat menularkan kepada
keturunannya lewat telur (Ling et al. 1978).
Ketiga biotipe wereng batang coklat dapat menularkan virus ini dengan
efektivitas yang sama. Hubungan virus dengan vektornya adalah secara persisten.
Nimfa dan imago dapat menularkan virus (Ling et al. 1978). Menurut Ghosh dan
John (1980), nimfa lebih efisien daripada imago dalam menularkan virus kerdil
hampa. Persentase penularan nimfa instar pertama 19.3%, instar kedua 25.8%,
instar ketiga 29%, instar keempat 27.6% dan instar kelima 21.4%.
Periode makan akuisisi terpendek lebih kurang delapan jam dan periode
latennya rata-rata lebih kurang sembilan hari (2-33 hari). Periode makan inokulasi
minimum lebih kurang satu jam dan bila periode makan inokulasinya
diperpanjang sampai satu hari maka tanaman yang terinfeksi akan bertambah
banyak. Periode retensinya berkisar antara 3-35 hari (rata-rata 15 hari) atau 1335% dari lama hidupnya. Penularan virus adalah transtadial tetapi tidak
transovarial. Periode inkubasinya dalam tanaman 2-3 minggu, sedangkan inkubasi
virus dalam tubuh serangga berkisar 5-18 hari. Hibino et al. (1977) melaporkan
bahwa tanaman yang terserang kerdil hampa menunjukkan suatu penyembuhan
sementara, karena gejala dapat hilang tetapi akan timbul kembali.
Persentase tertinggi serangga yang infektif dapat menularkan virus adalah
pada hari kesembilan setelah makan akuisisi. Jumlah hari untuk menularkan virus
berkisar dari 3-100% atau rata-rata 41% dari sejak serangga mulai efektif sampai
kematiannya. Makin tua serangga tersebut makin menurun kemampuan
menularkan virus (Ling et al. 1978). Kemampuan menularkan virus kerdil hampa
oleh wereng batang coklat biotipe 1, 2, dan 3 tidak berbeda nyata (Ling &
Aguiero 1977).
Menurut Ling et al. (1977), wereng batang coklat yang aktif menularkan
virus kerdil hampa berkisar dari 14-76%. Antara serangga betina dan jantan,
persentase yang aktif sebagai penular hampir sama (46% dan 42%), begitu juga

10
antara bentuk-bentuk bersayap pendek dan panjang (42% dan 48%). Di Indonesia
menurut Hibino et al. (1977) rata-rata 11% populasi wereng batang coklat aktif
menularkan virus kerdil hampa, sedangkan di Jepang menurut Shikata et al.
(1978) rata-rata 28%. Lamanya makan akuisisi mempengaruhi banyaknya
serangga yang aktif sebagai penular yaitu dengan makan akuisisi yang lamanya
berkisar dari 5-26.7%.
Jumlah bibit yang terinfeksi dipengaruhi oleh lamanya makan inokulasi
serangga dan banyaknya serangga tersebut. Terdapat kecendrungan bahwa makin
lama makan inokulasi dan makin banyak jumlah serangga vektor wereng batang
coklat makin tinggi persentase bibit padi yang terinfeksi (Hibino et al. 1977).
Mekanisme pertahanan inang terhadap patogen terdiri dari pertahanan
struktural melalui hambatan fisik yang menekan patogen saat masuk ke dalam
tanaman dan pertahanan biokimia sel serta jaringan tanaman dengan
memproduksi substansi yang bersifat toksin terhadap patogen (Agrios 2005).
Matthews (1991) juga melaporkan bahwa mekanisme reaksi ketahanan tanaman
terhadap infeksi virus dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu tanaman resisten,
tanaman toleran, dan tanaman rentan. Tanaman resisten menunjukkan reaksi
hipersensitif dengan mematikan sel-sel terlokalisasi pada tempat yang diinfeksi
tanpa penyebaran virus lanjut sehingga pertumbuhan patogen dapat dibatasi. Pada
tanaman toleran, virus dapat bereplikasi dan menyebar ke dalam tanaman tetapi
pengaruhnya terhadap hasil hanya sedikit. Pada tanaman rentan, virus bereplikasi
dan menyebar ke dalam tanaman yang mengakibatkan pengaruh terhadap hasil
yang signifikan bahkan kematian pada tanaman.

Wereng Batang Coklat
Taksonomi Wereng Batang Coklat
Wereng batang coklat termasuk dalam ordo Hemiptera, subordo
Auchenorrhyncha,

infraordo

Fulgoromorpha,

family

Delphacidae,

genus

Nilaparvata, dan spesies Nilaparvata lugens. Anggota genus Nilaparvata
mempunyai ciri berupa antena pendek dengan terminal arista, tarsi terbagi tiga
ruas, pada ujung tibia tungkai belakang terdapat taji yang besar dan pada
pertemuan sayap depan terdapat titik hitam atau ptero-stigma. Wereng coklat

11
menusukkan stiletnya ke dalam ikatan pembuluh vaskular tanaman inang dan
menghisap cairan tanaman dalam jaringan floem. Wereng batang coklat tersebar
di wilayah Palaeartik (Cina, Jepang, dan Korea), wilayah Oriental (Bangladesh,
Kamboja, India, Malaysia, Serawak, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Indonesia, dan
Filipina), serta wilayah Australian (Australia, Kepulauan Fiji, Kaledonia,
Mikronesia, Kepulauan Solomon, dan Papua Nugini) (Baehaki 1993).
Morfologi Dan Biologi Wereng Batang Coklat
Morfologi suatu serangga dapat dilihat dari bentuk tubuh, ukuran, dan
warna dari masing-masing fase perkembangan. N. lugens membutuhkan waktu
sekitar 50 hari untuk menyelesaikan siklus hidupnya yang diawali dengan
peletakan telur oleh imago betina (Rismunandar 1993). N. lugens menghasilkan
telur berbentuk lonjong dan diletakkan berkelompok seperti sisiran pisang di
dalam jaringan pelepah daun yang menempel pada batang. Warna telur transparan
keputihan dengan panjang 1.3 mm. Kemudian telur akan menetas 7–10 hari
setelah diletakkan dan berkembang menjadi nimfa (Harahap & Tjahjono 1997).
Nimfa terdiri dari 5 fase perkembangan (instar) yang berlangsung selama
12-15 hari. Setiap instar dapat dibedakan dari ukuran tubuh dan bakal sayap yang
semakin membesar. Nimfa instar pertama berwarna putih keabu-abuan dengan
panjang 0,6 mm, sedangkan instar kelima berwarna coklat dengan panjang 2.0
mm. Perubahan warna tubuh dari putih keabu-abuan lalu menjadi coklat terjadi
secara bertahap sesuai dengan perkembangan instar. Waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan periode nimfa yaitu 12.82 hari (Harahap & Tjahjono 1997).
Mochida et al. (1977) mengungkapkan bahwa siklus hidup wereng batang
coklat relatif pendek, tergantung pada temperatur dan ketersediaan makanan. Pada
suhu 25°C siklus hidupnya adalah 28-32 hari dan pada suhu 28°C siklus hidupnya
23-25 hari. Lama siklus hidup wereng batang coklat dari telur sampai menjadi
dewasa diperlukan waktu antara 21-24 hari, dengan rata-rata 22.5 hari.
Setelah imago warna tubuhnya coklat kekuningan sampai coklat tua.
Panjang tubuh imago jantan 2-3 mm dan imago betina 3-4 mm. Imago betina
mempunyai abdomen yang lebih gemuk daripada imago jantan. Seekor imago
betina dapat berkopulasi lebih dari sekali selama hidupnya, sedangkan yang jantan
dapat mengawini paling banyak 9 ekor betina selama 24 jam (Mochida et al.

12
1977). Pada fase imago N. lugens siap berkopulasi dan meletakkan telur. Seekor
imago betina dalam masa hidupnya selama 10-24 hari mampu meletakkan telur
sebanyak 300-350 butir (Harahap & Tjahjono 1997).
N. lugens dewasa mempunyai 2 bentuk sayap yaitu makroptera (bentuk
yang bersayap panjang) dan brakhiptera (bentuk yag bersayap pendek).
Makroptera yaitu wereng batang coklat yang mempunyai sayap depan dan sayap
belakang secara normal, sedangkan brakhiptera yaitu wereng batang coklat yang
mempunyai sayap depan dan sayap belakang yang tumbuh tidak normal (Mochida
1977). Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kedua bentuk sayap ini
diantaranya adalah kepadatan populasi, ketersediaan inang, dan umur tanaman
(Baehaki 1993).
Biotipe Wereng Batang Coklat
Ketahanan varietas padi terhadap wereng batang coklat dianggap sama
karena adanya penolakan rasa oleh serangga. Pada varietas tahan, wereng coklat
dapat menghisap cairan sel tanaman dari pembuluh tapis dengan stiletnya tetapi
tidak terus menerus. Hal ini diduga karena adanya bahan kimia yang menghalangi
penghisapan itu. Hambatan ini mengakibatkan angka kematian nimfa tinggi dan
kesuburan wereng coklat menurun.
Populasi wereng coklat sebelum varietas tahan digunakan disebut biotipe
satu. Varietas tahan seperti IR 26, yang tahan terhadap wereng coklat biotipe satu,
ternyata di Sumatera Utara dalam waktu lima musim sudah tidak tahan lagi,
karena populasi wereng coklat sudah menjadi biotipe dua. Pada waktu ini di
Indonesia pada umumnya populasi wereng coklat terdiri dari biotipe dua, dan di
Sumatera Utara serta di tempat lain ada yang sudah menjadi biotipe tiga. Secara
morfologi, wereng coklat biotipe baru ini sama dengan wereng coklat biotipe
sebelumnya. Perbedaannya hanya secara fisiologi dan biokimia, karena wereng
coklat biotipe baru ini dapat makan dan berkembang pada varietas yang dulunya
tahan.
Menurut Ling et al. (1978), semua biotipe wereng coklat dapat menularkan
virus kerdil hampa. Tidak terdapat perbedaan dalam hal persentase serangga yang
aktif, periode laten, jumlah tanaman yang terinfeksi per serangga dan periode
retensi.

13

Kitosan dan Penggunaannya untuk Pengendalian Penyakit Tanaman
Kitosan adalah poli –(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) dengan
rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan
juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme.
Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun
enzimatik. Proses kimiawi menggunakan basa, misalnya NaOH dan dapat
menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 8593% (Tsigos et al. 2000). Namun, proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan
bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga sangat acak (Martinou et al.
1995; Tsigos et al. 2000), sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam.
Selain itu, proses kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sulit
dikendalikan, dan melibatkan banyak reaksi samping yang dapat menurunkan
rendemen (Chang et al. 1997; Tokuyasu et al. 1997). Proses enzimatik dapat
menutupi kekurangan proses kimiawi. Pada dasarnya deasetilasi secara enzimatik
bersifat selektif dan tidak merusak struktur rantai kitosan sehingga menghasilkan
kitosan dengan karakteristik yang lebih seragam agar dapat memperluas bidang
aplikasinya (Tokuyasu et al. 1997).
Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan
dengan rotasi spesifik [α]D11 -3 hingga -10° (pada konsentrasi asam asetat 2%).
Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar 4.0, tetapi
tidak larut pada pH lebih besar dari 6.5, juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol,
dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada
konsentrasi 0.15-1.1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Kitosan tidak larut
dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan di dalam H3PO4 tidak larut
pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0.1% sedikit larut. Perlu
diketahui bahwa kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat
deasetilasi, dan rotasi spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan
metode isolasi serta transformasinya.
Kitosan sendiri adalah kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya dan
hanya menyisakan gugus amina bebas yang menjadikannya bersifat polikationik
dan merupakan polimer rantai linier glukosamin. Berat molekul kitosan sekitar

14
1.036 x 105 dalton tergatung proses pembuatannya. Kitosan mudah mengalami
degradasi secara biologi dan tidak beracun (Kurt et al. 1991).
Kitosan merupakan polimer yang diperoleh dari kulit terluar dari krustacea
seperti kepiting dan udang (Sanford & Hutchings 1987; Sanford, 1989). Kitosan
mempunyai muatan positif dengan banyak polimer yang secara fisiologis dan
biologis unik dan digunakan dalam berbagai bidang industri seperti tat alias
(lotion dan krim wajah), makanan (pengawet, antioksidan, antimikroba),
bioteknologi, farmakologi, dan obat-obatan serta pertanian (fungisida, elisitor)
(Ren et al. 2001).
Penelitian menggunakan kitosan dalam pengendalian berbagai jenis patogen
seperti cendawan, bakteri, dan virus saat ini telah banyak dilakukan. Kitosan
bukan hanya efektif dalam menghentikan pertumbuhan patogen, tetapi juga
merubah morfologi, struktur, dan disorganisasi molekul dari sel jamur (Benhamou
1992).
Pertumbuhan miselium dapat dihentikan atau menjadi lambat ketika media
pertumbuhan jamur menggunakan kitosan. Peningkatan konsentrasi kitosan
mengakibatkan

pertumbuhan

Alternaria

alternate,

Botrytis

cinerea,

Colletrotichum gloeosporioides, dan Rhizopus stolonifer, menurun (El Ghaouth et
al. 1992). Hal yang sama dilaporkan pada Sclerotinia sclerotiorum saat
konsentrasi kitosan ditingkatkan dari 1% sampai 4% (Cheah et al. 1997).
Penelitian lain menunjukkan penurunan pertumbuhan linier dari Rhizoctonia
fragariae dengan konsentrasi kitosan yang meningkat secara bertahap 0.5-6.0
mg/ml (Wade & Lamondia 1994). Pertumbuhan miselium Fusarium solani f.sp.
phaseoli dan F. solani f.sp pisi dapat dihambat dengan kitosan pada konsentrasi
rendah, masing-masing 12 mg/ml dan 18 mg/ml (Hadwiger & Beckman 1980;
Kendra & Hadwiger 1984). Kitosan mempunyai sifat anticendawan dan lebih baik
dari kitin. Jika kitosan ditambahkan pada tanah, maka akan menstimulir
pertumbuhan mikroba yang dapat mengurai cendawan. Selain itu kitosan dapat
merangsang akumulasi fitoaleksin jaringan tanaman inang, kitinase, β glukanase
dan lipoksigenase yang berguna untuk menghambat infeksi cendawan pada
jaringan tanaman (Vasyukova et al. 2001).

15
Kitosan juga dapat memberikan pengaruh hambatan pada penyakit tanaman
yang disebabkan oleh virus dan viroid dengan meningkatkan respon hipersensitif
inang terhadap infeksi virus (Pospieszny et al. 1991). Sebagai contoh, pada daun
kacang, infeksi lokal yang disebabkan oleh Alfalfa mosaic virus (AMV) dapat
ditekan dengan penyemprotan kitosan 0.1% atau ditambahkan pada inokulum
(Pospieszny et al. 1991). Hal tersebut juga dilaporkan pada daun tomat yang
terinfeksi Potato spindle tuber viroid (PSTVd) dan diberi perlakuan dengan
kitosan pada konsentrasi yang sama (Pospieszny 1997).

Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Teknik RT-PCR ini sangat berguna untuk mendeteksi ekspresi gen,
amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan analisis, maupun diagnosis
agensia infektif maupun penyakit genetik (Yuwono 2006). Teknik

RT-PCR

merupakan teknik yang digunakan untuk mendeteksi virus yang memiliki genom
RNA seperti sebagian besar virus tumbuhan sehingga diperlukan modifikasi
teknik PCR karena molekul sasarannya adalah RNA. RT-PCR merupakan teknik
PCR yang dapat menggandakan RNA menjadi DNA. Teknik RT-PCR terdiri atas
dua reaksi

yaitu reaksi transkripsi balik (reverse transcription) yang

menggunakan genom RNA virus sebagai cetakan dan menghasilkan cDNA primer
(untai tunggal) serta reaksi penggandaan PCR. Primer yang digunakan sesuai
dengan virus yang akan dideteksi (Akin 2006). PCR merupakan teknik yang
relatif sederhana dan merupakan teknik penggandaan (amplifikasi) dengan
menggunakan DNA primer yang memiliki runutan nukleotida khas untuk molekul
asam nukleat yang akan dideteksi. Primer merupakan molekul oligonukleotida
yang disintesis in vitro dan runutan nukleotidanya disesuaikan dengan genom
virus yang akan dideteksi. PCR hanya akan menggandakan asam nukleat yang
sesuai dengan primer.
RT-PCR menggunakan sepasang primer yang berkomplemen dengan
sikuen yang jelas dari masing-masing dua untai cDNA. Primer tersebut kemudian
diperpanjang dengan bantuan enzim DNA polymerase dan akan menghasilkan
sebuah untai ganda pada setiap siklusnya dan seterusnya mengikuti amplifikasi
logaritmik. RT-PCR meliputi tiga tahap utama. Tahap pertama adalah reverse
transcription (RT) atau transkripsi balik, RNA ditranskrip balik menjadi cDNA

16
menggunakan enzim reverse transcriptase dan primer. Tahap ini sangat penting
dalam kaitannya dengan proses PCR untuk amplifikasi DNA dengan bantuan
DNA polymerase sebab DNA polymerase hanya dapat bekerja pada template
yang berupa DNA. Tahapan RT dapat dilakukan dalam tabung yang sama dengan
PCR (one-step PCR) atau pada tabung yang terpisah (two-step PCR)
menggunakan suhu berkisar 40°C sampai 50°C, tergantung pada karakteristik
reverse transcriptase yang digunakan.

Tahap berikutnya adalah denaturasi

dsDNA pada 95°C, pada tahap ini dua untai DNA akan terpisah dan primer dapat
mengikat pada untai tersebut jika temperaturnya diturunkan kemudian yang
selanjutnya akan dimulai rantai reaksi baru. Kemudian suhu diturunkan hingga
mencapai suhu annealing yang bervariasi tergantung primer yang digunakan.
Temperatur annealing dipilih untuk PCR tergantung langsung pada panjang dan
komposisi dari primer tersebut. Hal ini merupakan hasil dari perbedaan ikatan
hidrokarbon antara A-T (2 ikatan) dan G-C (3 ikatan). Temperatur annealing
biasanya berkisar 5 derajat di bawah Tm (melting temperature) terendah dari
pasangan primer yang digunakan. Tahap akhir adalah amplifikasi PCR yang
merupakan proses dilakukannya perpanjangan DNA menggunakan primer yang
memerlukan Taq DNA polymerase yang termostabil, biasanya pada suhu 72°C,
yang merupakan suhu optimal untuk aktivitas enzim polymerase. Lamanya masa
inkubasi tiap temperatur, perubahan suhu, dan jumlah siklus dikontrol secara
terprogram menggunakan programmable thermal cycler. Analisa produk PCR
tergantung pada kebutuhan PCR (Addy 2009). Indikasi adanya virus dengan
teknik ini diamati dengan elektroforesis menggunakan gel Agarosa (Akin 2006).

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai November 2011 hingga April 2012,
bertempat di Laboratorium Mikologi Tumbuhan dan Laboratorium Virologi
Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Rumah Kaca University Farm, Institut Pertanian Bogor, serta
Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian (BB Biogen), Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini berupa inokulum bergejala
RRSV asal Situ Gede, Bogor, tanaman padi sehat varietas Ciherang, wereng
batang coklat (WBC) Nilaparvata lugens biotipe 2, kitosan Di-Maak konsentrasi
2% (produksi PT. Saha Bhojana Paripurna, Jakarta, Under License of chitosan
Thailand), air, tanah, pupuk NPK, satu set Qiagen RNeasy Plant Mini Kits,
komponen RT PCR, komponen PCR, dan primer RRSV.
Alat yang digunakan adalah baki plastik berukuran 33 cm x 25 cm, ember
plastik besar diameter 25 cm dan tinggi 17.5 cm, aspirator plastik, kurungan
plastik untuk ember besar berdiameter 20 cm dan tinggi 70 cm yang pada bagian
permukaan atasnya ditutup kain kasa, gelas ukur, label nama, tabung reaksi,
phmeter, hand sprayer, pipet mikro, pistil, mortar, mesin PCR, dan kamera
digital.

Metode Penelitian
Penyediaan Tanaman Sumber Inokulum
Sumber inokulum yang memiliki gejala kerdil, daun berwarna hijau tua,
daun memilin, robek-robek pada tepinya, diambil dari Subang; Sawah Baru,
Dramaga, Bogor; dan Situ Gede, Cikarawang, Bogor. Tanaman padi yang
bergejala tersebut diambil dan ditanam kembali di ember agar tanaman tetap segar
sampai akan digunakan untuk inokulasi dan deteksi RRSV.

18
Deteksi Virus Kerdil Hampa pada Tanaman Sumber Inokulum dengan
Metode RT-PCR
Jaringan daun padi sumber inokulum sebanyak 0.1 g didinginkan dengan
nitrogen cair, kemudian dilumatkan dengan mortar sampai menjadi tepung halus
dan RNA total diekstraksi menggunakan RNeasy Plant Mini Kits (Qiagen). RNA
hasil ekstraksi disintesis menjadi cDNA dengan menggunakan teknik RT. Reaksi
RT dibuat dengan total volume 10 µl yang mengandung 2 µl RNA total, 2 µl
buffer RT 10X, 0.35 µl 50 mM DTT (dithiothreitol), 0.5 µl 10 mM dNTP
(deoksiribonukleotida triphosphat), 0.35 µl M-MuLV Rev, 0.35 µl RNase
inhibitor, 0.75 µl oligo (dT), dan 3.7 µl H2O. Reaksi RT dilakukan dalam sebuah
Automated Thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; PE Applied Biosystem,
USA