Faktor Risiko Obesitas pada Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor

ABSTRACT
RIKSA ADITYA PRAMUDITA. Risk Factor of Obesity at Elementary School
Children in Bogor. Supervised by FAISAL ANWAR and SRI ANNA MARLIYATI.
The purpose of this study was to find out the influence of food
consumption pattern, physical activity, heredity, infant feeding history, and
dominant risk factors on obesity in elementary school children in Bogor. The
observation was held between May and September 2011 at Insan Kamil
Elementary School. The samples for this study were 80 students of 9 – 11 years
old (40 obese students and 40 normal students) selected from grades IV and V
by random sampling technique. Food consumption pattern, physical activity,
parents nutritional status, and infant feeding history of the students were
identified and measured by using questionnaire and interview technique. The
obtained data then was analyzed by using bivariate and multivariate (logistic
regression) statistics tests. The results of study showed that there were
significant influences of birth weight (r = 0.253, p = 0.023), father nutritional status
(r = 0.408, p = 0.000), energy adequacy level (r = 0.557, p = 0.000), fat
consumption (r = 0.458, p = 0.000), soft drink consumption frequency (r = 0.314,
p = 0.005), fast food consumption frequency (r = 0.311, p = 0.005), fatty food
consumption frequency (r = 0.469, p = 0.000), playing time (r = -0.271, p =
0.015), on obesity of children. The result of logistic regression test showed that
dominant and influential variables on the obesity were father nutritional status

(OR = 1.494), mother nutritional status (OR = 1.446), energy adequacy level (OR
= 1.073), fast food consumption frequency (OR = 4.028), and fatty food
consumption frequency (OR = 9.071).
Keywords: risk factor, obesity, elementary school children

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan nasional khususnya dalam bidang gizi dan
kesehatan, beberapa tahun belakangan ini berdampak baik bagi penurunan
jumlah penderita kasus gizi kurang di Indonesia dan dunia. Namun keberhasilan
tersebut diikuti oleh peningkatan prevalensi gizi lebih pada masyarakat.
Berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003, tidak
kurang dari 1,2 miliar penduduk dunia mengalami obesitas. Data survei yang
dikumpulkan oleh WHO sejak tahun 1983 hingga 2004 menggambarkan bahwa
17 dari 28 negara di dunia (dua negara di Afrika, satu negara di Amerika Utara,
satu negara di Amerika Latin, 3 negara di Asia, 8 negara di Eropa, dan dua
negara di Oceania), mengalami peningkatan prevalensi obesitas (Nishida &
Mucavale 2005).

Obesitas merupakan suatu keadaan terjadinya kelebihan berat badan
melebihi 20% dari berat badan normal. Obesitas ditandai dengan penimbunan
lemak yang berlebihan pada berbagai bagian tubuh, terutama pada pinggang,
pinggul, dan lengan atas (Siagian 2004). Obesitas mulai menjadi masalah
kesehatan di seluruh dunia, bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas sudah
merupakan suatu epidemi global, sehingga obesitas sudah merupakan suatu
masalah kesehatan yang harus segera ditangani (WHO 2000).
Prevalensi obesitas meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju
maupun negara yang sedang berkembang. Berdasarkan data Kementerian
Kesehatan tahun 2007, prevalensi obesitas pada anak-anak usia 6 dan 14 tahun
mencapai 9,5% untuk pria, sedangkan pada perempuan mencapai 6,4%. Kondisi
ini meningkat dari tahun 1990-an yang berkisar 4% (RISKESDAS 2007).
Menurut RISKESDAS (2010) secara nasional masalah kegemukan pada
anak umur 6-12 tahun masih tinggi yaitu 9,2% atau masih di atas 5,0%.
Prevalensi kegemukan pada anak laki-laki umur 6-12 tahun lebih tinggi dari
prevalensi pada anak perempuan yaitu berturut-turut sebesar 10,7% dan 7,7%.
Berdasarkan tempat tinggal prevalensi kegemukan lebih tinggi di perkotaan
dibandingkan dengan prevalensi di perdesaan yaitu berturut-turut sebesar 10,4%
dan 8,1%.
Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas di masa

dewasa dan berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif
di kemudian hari. Profil lipid darah pada anak obesitas menyerupai profil lipid

2

pada penyakit kardiovaskuler dan anak yang obesitas mempunyai risiko
hipertensi lebih besar. Penelitian Syarif (2003) menemukan hipertensi pada 20–
30% anak yang obesitas, terutama obesitas tipe abdominal. Ancaman obesitas di
kalangan anak-anak juga melanda Indonesia (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Faktor utama terjadinya obesitas adalah adanya ketidakseimbangan
asupan energi dengan keluaran energi. Asupan energi tinggi bila konsumsi
makanan berlebihan, sedangkan keluaran energi menjadi lebih rendah bila
metabolisme tubuh dan aktivitas fisik rendah (IOTF 2004). Hal tersebut banyak
dialami oleh golongan masyarakat tingkat menengah ke atas. Di Indonesia,
terutama di kota-kota besar, dengan adanya perubahan gaya hidup yang
menjurus ke westernisasi dan sedentary berakibat pada perubahan pola makan
atau konsumsi masyarakat yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, tinggi
lemak, dan kolesterol, terutama terhadap penawaran makanan siap saji (fast
food) yang berdampak meningkatkan risiko obesitas (Heird 2002).
Salah satu penyebab obesitas pada anak dapat terjadi karena faktor

genetik. Hal ini merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari.
Bila ayah atau ibu memiliki kelebihan berat badan, hal ini dapat diturunkan pada
anak. Selain itu kebiasaan makan anak yang gemar terhadap makanan cepat saji
(fast food) yang umumnya mengandung lemak dan minuman ringan (soft drink)
yang mengandung gula yang tinggi juga merupakan penyebab obesitas pada
anak.
Selain karena masalah konsumsi pangan, aktivitas fisik pada anak juga
mempengaruhi terjadinya obesitas pada anak. Dulu permainan anak yang
umumnya dilakukan adalah permainan fisik yang mengharuskan anak berlari,
melompat, atau gerakan lainnya, namun kini digantikan dengan permainan anak
yang kurang melakukan gerak badannya seperti game elektronik, komputer,
internet, atau televisi yang cukup dilakukan dengan hanya duduk di depannya
tanpa harus bergerak. Kegemukan tidak hanya disebabkan oleh kebanyakan
makan dalam hal karbohidrat, lemak, maupun protein, tetapi juga karena
kurangnya aktivitas fisik (Almatsier 2003). Dengan demikian obesitas pada anak
memerlukan perhatian yang serius dan pananganan yang sedini mungkin,
dengan melibatkan peran serta orang tua. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di
atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai faktor risiko
obesitas pada anak sekolah dasar di Kota Bogor.


3

Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor risiko
obesitas pada anak sekolah dasar obes di Kota Bogor serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Tujuan Khusus
1. Mempelajari karakteristik anak dan karakteristik keluarga anak sekolah
dasar obes di Kota Bogor.
2. Mengidentifikasi riwayat makan dan kebiasaan makan anak sekolah
dasar obes di Kota Bogor.
3. Mempelajari pola konsumsi anak sekolah dasar obes di Kota Bogor.
4. Mengukur aktivitas fisik anak sekolah dasar obes di Kota Bogor.
5. Menganalisis faktor risiko obesitas pada anak.
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan informasi kepada
masyarakat mengenai faktor risiko pada anak sekolah dasar yang dapat
dijadikan acuan untuk mencegah kejadian obes pada anak. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan informasi kepada orangtua anak sekolah obes

untuk mengubah perilaku gizinya dengan meningkatkan aktifitas fisik dan
mengatur pola konsumsi anak sehingga dapat mengubah status gizi obes pada
anak. Selain itu, informasi ini dapat menjadi masukan bagi pihak sekolah untuk
memberikan materi dan praktek gizi seimbang dalam pengajaran sehingga dapat
membina perilaku gizi anak menjadi lebih baik.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Obesitas
Pengertian kegemukan sering kali disamakan dengan obesitas, padahal
kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda, kegemukan (overweight)
adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas
adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, untuk pria dan
wanita masing-masing melebihi 20% dan 25% dari berat tubuh. Dijelaskan lebih
lanjut bahwa kegemukan dan obesitas bisa terjadi pada berbagai kelompok usia
dan jenis kelamin. Juvenil obesity adalah obesitas yang terjadi pada usia muda
(anak-anak) (Rimbawan & Siagian 2004).
Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu
penyakit multifaktoral yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan

oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain
aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi, dan gizi yaitu prilaku makan dan pemberian
makanan padat terlalu dini pada bayi (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Obesitas pada anak, disebabkan oleh masukan makanannya yang
berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air
susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan pakai susu formula dalam botol, padahal anak
yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai ketentuan berat badan bayi
(Darmono 2006). Beberapa faktor penyebab obesitas diuraikan di bawah berikut:
Karakteristik Anak
Menurut WHO (2000), perempuan cenderung mengalami peningkatan
penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung
mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas,
sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein.
Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) menyatakan bahwa
laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau
obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih
bayak waktu untuk santai saat akhir minggu atau waktu senggang.
Berat badan pada saat lahir sangat berpengaruh pada berat badan anak
kemudian. Bayi yang lahir dengan berat badan lebih atau rendah berisiko
menjadi obesitas di kemudian harinya. Bayi yang di dalam kendungan menderita

kekurangan gizi akan membutuhkan asupan energi dan lemak yang tinggi
setelah berada di luar kandungan. Bayi-bayi ini akan melalui proses

5

pertumbuhan cepat, hingga mencapai ukuran tertentu. Setelah tumbuh lebih
besar, sistem tubuh meraka adalah sistem dengan “gaya hemat”. Istilah ini
berarti janin yang kekurangan makanan pada saat berada dalam kandungan
akan tumbuh sebagai individu yang mengatur tubuhnya untuk menyimpan lemak
lebih banyak dan lebih efesien dalam penggunaannya (Parson et al. 2001).
Seorang anak yang terlahir akan memiliki kriteria berat badan saat
dilahirkan. Bayi dikatakan lahir dengan berat normal jika berat badannya antara
2500-3800 gram. Bayi dikatakan lahir dengan BBLR jika berat badannya kurang
dari 2500 gram. Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang
signifikan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat lahir lebih dengan
risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan
bahwa berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi
obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl
95%: 0,32-0,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat
hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas

pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih
tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,2,78) dan anak laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010).
Faktor Keturunan
Parenteral fatness merupakan faktor genetik yang berperan besar, bila
kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang
tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak
obesitas, prevalensi menjadi 14% (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang gemuk pula. Faktor
genetik turut menentukan jumlah sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar
dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi
selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel
yang relatif sama besar (Zainun 2002).
Effendi (2003) menyatakan bila kedua orang tua mengalami kegemukan,
maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas mencapai 66–80%. Bila salah
satu orang tua mengalami kegemukan maka kemungkinan anak mengalami
obesitas sekitar 20–51%. Bahkan bila kedua orangtuanya memiliki status gizi
normal, anak memiliki kemungkinan gemuk sebesar 7-14%.
Penelitian yang dilakukan Badan Internasional Obesity Tak Force (IOTF)
dari badan WHO yang mengurusi masalah kegemukan pada anak menyebutkan


6

hasil yang berbeda, bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian
obesitas pada anak, sedangkan 99% disebabkan faktor lingkungan (Darmono
2006).
Karaktersitik Keluarga
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang

atau

masyarakat

untuk

menyerap

informasi


dan

mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan
wanita mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita & Fallah 2004).
Pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi
keluarga, karena pendidikan orang tua berhubungan dengan tingkat pendapatan
orang tua. Tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap kuantitas
dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya. Makin tinggi tingkat pendidikan
maka pendapatan pun akan semakin tinggi. Pendapatan keluarga yang tinggi
berarti kemudahan dalam membeli dan mengonsumsi makanan enak dan mahal
yang mengandung energi tinggi seperti fast food (Padmiari & Hadi 2001).
Perubahan pengetahuan sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan,
serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah
makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukkan bahwa beberapa tahun
terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan
aktifitas fisik, seperti ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktivitas
bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anakanak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer atau
games, menonton televisi atau video dibanding melakukan aktivitas fisik. Selain
itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan
berisiko menimbulkan obesitas (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Menurut Soekirman (2000), Bannet menemukan bahwa peningkatan
pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas
konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya.
Peningkatan pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan
dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
Selain itu, menurut Nasoetion dan Riyadi (1994) keluarga yang
berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pemilihan
bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat pendapatan

7

merupakan faktor yang menuntukan kualitas dan kuantitas makanan yang
dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan menigkatkan daya beli sehingga
keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya
berdampak positif terhadap status gizi.
Menurut hasil penelitian Yueniwati dan Rahmawati (2001), terdapat
hubungan antara pendidikan terakhir ibu dengan pengetahuan ibu tentang
obesitas pada anak. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting
dalam tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang baik maka
orangtua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara
pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak dan
sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut pengetahuan ibu tentang obesitas pada anak
juga berhubungan dengan status pekerjaan ibu, yaitu apakah ibu bekerja atau
tidak.
Riwayat Makan Anak
Menurut Darmono (2006), obesitas pada anak disebabkan oleh masukan
makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan
mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan mengonsumsi susu formula
dalam botol. Padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai
dengan kebutuhannya. Anak yang biasa meminum susu dalam botol, jumlah
masukan makanan pada anak tidak dapat dihitung dengan tepat, bahkan para
orang tua cenderung memberikan susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi
yang dibutuhkan anak.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kries dan Rudiger (1999) yang
melibatkan 9357 anak sekolah di Bavaria Jerman ditemukan prevalensi kejadian
obesitas lebih tinggi pada anak yang tidak pernah mendapat ASI, yakni sekitar
4,5%, tidak setinggi prevalensi obesitas pada anak yang pernah mendapat ASI
pada masa bayinya yakni hanya 2,8%. Anak yang diberi ASI pada masa bayinya
akan memiliki kemungkinan 0,75 kali (yang berarti lebih kecil) untuk menjadi
obes dibandingkan anak yang tidak diberi ASI pada masa bayinya. Ini berarti
pemberian ASI sejak bayi memiliki faktor protektif pada kejadian obesitas pada
masa anak. Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian ASI
pada masa bayi dapat menurunkan risiko anak menjadi obes, baik pada masa
kanaknya ataupun setelah ia menjadi dewasa.
Penelitian Bogen, Hanusa, dan Whitaker (2004) menyebutkan bahwa
pembenan ASI pada anak bisa menurunkan risiko obesitas pada anak 0,70 (95%

8

Cl 0,61-0,80). Peranan faktor gizi dimulai sejak dalam kandungan di mana jumlah
lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat
badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama kali mendapat makanan
padat, asupan tinggi energi dari karbohidrat dan lemak, serta kebiasaan
mengonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi (Hidayati, Irawan,
Hidayat 2009).
Kebiasaan Makan
Kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh dari pola yang terjadi
berulang-ulang. Sedangkan kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku
konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Kebiasaan
makan juga dikaitkan dengan cara-cara individu dan kelompok individu memilih,
mengonsumsi, dan menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan
pada faktor-faktor psikologi, fisiologi, sosial, dan budaya di mana ia hidup
(Suhardjo 2003). Selain itu, menurut Khumaidi (1989) kebiasaan makan adalah
tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya
akan makan meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan.
Kebiasaan makan yang tergesa-gesa, termasuk kurang mengunyah akan
membawa

efek

yang

kurang

menguntungkan

bagi

pencernaan

dan

mengakibatkan cepat merasa lapar kembali. Rasa lapar yang sering muncul
akan befakibat pada konsumsi makan yang tidak pada waktunya dan berlebihnya
intake makanan. Begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur. Jarak antara dua
waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk
makan labih banyak dan melebihi batas (Wirakusumah 1994).
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk
dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah kelebihan energi yang
selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar obesitas
terjadi akibat makan yang berlebihan. Pola makan tidak teratur, sering ngemil
atau makan camilan, sementara aktivitas kurang (Hartoyo 2007).
Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok
dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan 12 kali,
selain itu peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas
sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak
mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai efek pembakaran
dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung
protein dan karbohidrat (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

9

Dijelaskan lebih lanjut, makanan berlemak juga mempunyai rasa yang
lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi
yang berlebihan. Selain itu, kapasitas penyimpanan makronutrien juga
menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan
sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino
diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan
akan dioksidasi, sedangkan karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan
dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Bila cadangan lemak tubuh
rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan
karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak
mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan
lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan
disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Menurut Popkin (2007), camilan sebenarnya penting bagi anak, sebab
perutnya kecil dan ia perlu ngemil lebih sering. Namun apapun camilannya dalam
sehari, seharusnya hanya memberikan 20 persen dari total energinya. Kebiasaan
mengonsumsi camilan biasanya dilakukan saat anak menonton televisi, bermain
game, dan saat belajar. Ketiga kegiatan tersebut merupakan aktivitas fisik yang
sangat rendah, namun dalam waktu bersamaan anak mengonsumsi makanan
yang mengandung cukup banyak energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi
energi dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab
obesitas pada anak.
Menurut RISKESDAS (2007), penduduk dikategorikan ‘cukup’ konsumsi
sayur dan buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari
selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila konsumsi sayur
dan buah kurang dari ketentuan di atas. Secara keseluruhan, penduduk umur 1014 tahun yang kurang mengonsumsi buah dan sayur sebesar 93,6% (