Pengaruh Level Penggunaan Cassabio dalam Konsentrat terhadap Fermentabilitas dan Kecernaan Ransum Ruminansia (In Vitro)

ABSTRACT
The Effect of Cassabio Usage Levels in Concentrate on Ruminant
Fermentability and Digestion (In Vitro)
S, Amalia, A.D. Lubis, L. Khotijah
Onggok is a tapioca industry by-product that has low in crude protein, however, high
in soluble carbohydrate (BETN). Due to some literatures, fermentation technologies
would able to enhance the nutritional content of onggok. The objective of this
research was to evaluate the levels of fermented onggok-urea-zeolite (cassabio) by
Aspergillus niger on rumen performance of ruminant (in vitro). Concentrate was
made up with mixing some levels of cassabio (10, 20, and 30%) and some other feed
ingredients. Ration consisted of forage and concentrate with ratio of 40%:60%.
Parameters that observed were ammonia (NH3), Volatile Fatty Acid (VFA), Dry
Matter Digestibility (DMD) and Organic Matter Digestibility (OMD). The results
showed that levels of cassabio were significantly increase (p < 0.05) ruminal NH3
concentration i.e from 6.55 to 10.21 mM. Increasing the levesl of cassabio on
rations up to 30% (P3) did not affect VFA, DMD, and OMD ration.
Key words : amonia, cassabio, dry matter digestibility, in vitro, organic matter
digestibility
.

3


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakan merupakan hal yang paling penting dalam industri peternakan. karena
itu, pakan menjadi hal utama untuk dikembangkan, salah satunya adalah pakan
ternak ruminansia. Masalah yang sering dihadapi oleh peternak ruminansia adalah
keterbatasan penyediaan pakan baik secara kuantitatif, kualitatif, maupun
kesinambungannya sepanjang tahun. Salah satu upaya untuk menanggulangi masalah
tersebut adalah dengan mencari bahan pakan alternatif yang relatif murah, tidak bersaing
dengan

kebutuhan

manusia,

mudah

didapat,

dan


tersedia

sepanjang

tahun.

Pengembangan pakan alternatif dapat dilakukan dengan menggunakan sumberdaya
lokal yang harus dimulai dari pengetahuan akan ketersediaan dan pengaruhnya
terhadap kebutuhan nutrisi ternak, berupa limbah pertanian atau hasil sampingan dari
pengolahan bahan hasil tanaman pangan. Salah satu alternatif yang menjanjikan adalah

onggok yang merupakan limbah agroindustri tepung tapioka yang berasal dari ubi
kayu (Manihot esculenta Crantz).
Indonesia merupakan negara penghasil singkong terbesar ke lima di dunia.
Indonesia menghasilkan singkong sekiktar 24 juta ton per tahun (Biro Pusat Statistik,
2011). Singkong di Indonesia tersebar di berbagai kawasan dengan pusat
perkembangan di Jawa dan Lampung yang meliputi 85% singkong nasional sebagai
daerah penghasil singkong di pulau antara lain Jawa Timur (Jember, Kediri,
Madiun), Jawa Tengah (Banyumas, Yogyakarta, Wonogiri), dan Jawa Barat (Bogor

dan Tasikmalaya), daerah penghasil lainnya adalah Sulawesi Selatan, NTB, dan NTT
(Mangunwidjaja, 2003). Menurut Hidayat (2010), dalam pengolahan ubi kayu
menjadi tepung tapioka dihasilkan limbah kulit ubi kayu sekitar 16% dari total bobot
ubi kayu dan onggok sekitar 11,4% dari total bobot ubi kayu. Berdasarkan
pernyataan Hidayat (2010), maka jumlah onggok untuk tahun 2011 dapat mencapai
2,736 ribu ton.
Onggok sebagian kecil digunakan oleh perusahaan asam sitrat sebagai
substrat dalam fermentasi asam sitrat, selebihnya dibuang tanpa perlakuan yang bisa
menjadi pencemaran

lingkungan seperti udara (bau) dan pencemaran air.

Keunggulan yang dimiliki onggok sebagai hasil sampingan pembuatan tepung tapioka

13

selain harganya murah, tersedia cukup, mudah didapat, juga tidak bersaing dengan
kebutuhan manusia sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ternak, akan
tetapi onggok masih memiliki persoalan dalam kandungan nutrisi. Menurut Rasyid et al.
(1996), onggok merupakan bahan sumber energi yang mempunyai kadar protein kasar

rendah (kurang dari 3%) serta serat kasar yang tinggi, tetapi kaya akan karbohidrat yang
mudah dicerna (BETN) bagi ternak serta penggunaannya dalam ransum mampu
menurunkan biaya ransum, oleh karena itu perlu adanya teknologi pengolahan pakan

untuk meningkatkan kandungan nutrisi onggok terutama protein seperti fermentasi
onggok oleh kapang Aspergillus niger.
Menurut Tarmudji (2004), penggunaan onggok fermentasi sampai dengan
10% dalam formulasi pakan ayam pedaging masih aman dan tidak menimbulkan
dampak negatif, artinya kinerja ayam pada semua kelompok selama percobaan cukup
baik dan tidak dijumpai adanya kematian pada ayam, serta aman untuk dikonsumsi.
Wijaya dan Fajrinnalar (2010) menggunakan cassabio (onggok fermentasi dengan
menambahkan urea, zeolit dan amonium sulfat) hingga 40% tanpa menyebabkan
kelainan pada performan dan kesehatan ayam broiler. Pada ruminansia sejauh ini
belum ada penelitian mengenai pemberian cassabio, oleh karena itu melalui penelitian
ini diharapkan dapat diketahui pengaruh rasio penggunaan cassabio dalam konsentrat
terhadap kecernaan ransum ruminansia secara in vitro.
Menurut metode Tilley dan Terry (1963) yang dimodifikasi oleh Makkar (2004)
metode in vitro merupakan proses metabolisme dalam rumen dan abomasum. Metode ini
sering digunakan untuk mengetahui kecernaan bahan pakan dari hasil proses pencernaan
dalam saluran pencernaan ternak. Teknik in vitro memberikan hasil analisa yang cepat

dan proses yang murah, serta dapat digunakan untuk mengevaluasi bahan pakan dalam
jumlah besar, namun metode ini sulit diterapkan pada material seperti jaringan atau
fraksi dinding sel (Makkar, 2004).
Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui level terbaik penggunaan cassabio
dalam konsentrat terhadap fermentabilitas (NH3 dan VFA) serta koefisien cerna
bahan kering dan bahan organik secara in vitro.

14

TINJAUAN PUSTAKA
Onggok sebagai Limbah Agroindustri Ubi Kayu
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) sudah dikenal dan merupakan salah
satu sumber karbohidrat yang penting dalam

makanan. Berdasarkan Biro Pusat

Statistik (2011) terdapat sekitar 24 juta ton singkong segar per tahun. Pengolahan ubi
kayu dapat menghasilkan berbagai produk seperti tepung gaplek, gula cair dan

tepung tapioka. Produk pengolahan ubi kayu yang paling banyak adalah tepung
tapioka. Dalam proses pembuatan tepung tapioka dihasilkan limbah cairan dan
limbah padat. Limbah padat terdiri atas : a) kulit hasil pengupasan ubi kayu; b) sisasisa potongan ubi kayu yang tidak terparut; c) limbah hasil pengendapan air buangan;
dan d) onggok merupakan hasil samping penyaringan/pemerasan ubi kayu yang
terdiri dari serat-serat, pati, dan air (Ciptadi, 1980). Bagan alir proses pengolahan ubi
kayu menjadi tepung tapioka disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pengolahan Ubi Kayu menjadi Tepung Tapioka
Industri Rakyat
Sumber : Halid (1991)

15

Ketersediaan jumlah onggok sangat bergantung pada varietas dan mutu ubi
kayu yang diolah menjadi tapioka, efisiensi proses ekstraksi pati tapioka dan
penanganannya. Pada proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioka diperoleh hasil
sampingan berupa padatan yang disebut onggok dan hasil buangan berupa cairan
disebut sludge. Menurut Hidayat (2010), dalam pengolahan ubi kayu menjadi tepung
tapioka dihasilkan limbah kulit ubi kayu sekitar 16% dari total bobot ubi kayu dan
onggok sekitar 11,4% dari total bobot ubi kayu. Berdasarkan pernyataan Hidayat

(2010), maka jumlah onggok untuk tahun 2011 dapat mencapai 2,736 ribu ton.
Bentuk onggok murni dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Onggok Murni
Sumber : Dokumentasi Penelitian (2011)

Permasalahan dan Potensi Onggok sebagai Bahan Baku Pakan
Onggok merupakan limbah pertanian yang sering menimbulkan masalah
lingkungan, karena berpotensi sebagai polutan di daerah sekitar pabrik. Sebagai
bahan pakan, onggok merupakan sumber energi dengan kandungan karbohidrat
mudah larut (BETA-N) yang cukup tinggi, namun kandungan protein onggok masih
sangat rendah dengan kadar serat kasar yang cukup tinggi (Rasyid, 1996).
Salah satu teknologi alternatif untuk dapat memanfaatkan onggok sebagai
bahan baku pakan ternak adalah dengan cara mengubahnya menjadi produk yang
berkualitas, yaitu melalui proses fermentasi. Komposisi zat makanan onggok
berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 1.

16

Tabel 1. Komposisi Nutrisi Onggok dari Beberapa Literatur Berdasarkan Bahan

Kering
Zat Makanan

1

2

3

Abu

0,85

0,83

1,44

Protein Kasar

2,21


2,04

1,15

Lemak Kasar

0,33

0,36

0,26

Serat Kasar

11,16

9,28

15,06


BETN

85,45

87,49

82,09

Energi Bruto(kal/g)

3558

3426

3472

Sumber: 1. Lubis, et al (2007)
2. Suhartono (2000)
3. Taram (1995)


Hasil analisis zat makanan pada onggok sangat tergantung pada varietas, cara
pengolahan, mutu ubi kayu yang diolah menjadi tepung tapioka, dan cara
penanganan onggok tapioka yang dihasilkan (Halid, 1991).
Phong et al. (2003) melaporkan bahwa onggok yang difermentasi dengan
Aspergillus niger dapat meningkatkan pertumbuhan dan konversi pakan ketika
digunakan dalam ransum babi, baik di laboratorium maupun di lapang. Mereka
menggunakan onggok fermentasi untuk menggantikan dedak padi sebanyak 30%.
Marquest et al. (2005) melaporkan bahwa onggok dapat menggantikan jagung
sebanyak 50% tanpa pengaruh negatif pada performa dan karakteristik karkas pada
ternak sapi dara yang dipelihara di feedlot.
Cassabio (Onggok – Urea – Zeolit Fermentasi)
Cassabio adalah inovasi dalam pembuatan ransum, terbuat dari campuran
onggok, urea, dan zeolit yang difermentasi dengan mikroorganisme tertentu.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa di antara mikroorganisme, Aspergillus niger
sangat baik dalam menggunakan onggok sebagai substrat dan sekaligus
meningkatkan kualitasnya (Iyayi dan Losel, 2001; Lubis et al., 2007; Pandey, 2000).
Keunggulan dari kapang Aspergillus niger adalah dapat menggunakan onggok
sebagai substrat dengan baik dan sekaligus dapat meningkatkan kualitas onggok.
Aspergillus niger dapat menggunakan berbagai macam nutrien dari yang sederhana
hingga komplek, sehingga mudah untuk menumbuhkan dan memeliharanya.

17

Walaupun demikian, pada proses fermentasi, Aspergillis niger membutuhkan
unsur-unsur utama seperti nitrogen, karbon, fosfor, dan sulfur, serta mineral seperti
Fe, Zn, Mn, Cu, Li, Na, K dan Rb untuk pertumbuhan dan reproduksinya (Hardjo et
al., 1989). Menurut Fardiaz (1992), nitrogen dalam media fermentasi mempunyai
fungsi fisiologis bagi mikroorganisme, yaitu sebagai bahan untuk mensintesis
protein, asam nukleat dan koenzim. Urea merupakan salah satu sumber nitrogen
bukan protein (NBP) yang mengandung 45% nitrogen (Parakkasi, 1995). Garraway
dan Evans (1984) menyatakan, urea di dalam fermentasi akan diurai menjadi amonia
dan karbondioksida. Amonia yang dihasilkan akan digunakan oleh mikroorganisme
untuk pembentukan sel tubuh mereka.
Produksi amonia dari urea mempunyai kecepatan empat kali lebih besar dari
pembentukan sel tubuh mikroorganisme sehingga konsentrasi amonia akan tinggi
yang selanjutnya bisa menjadi racun untuk proses fermentasi itu sendiri (Hendriksen
dan Ahrig, 1991). Oleh karena itu, Parakkasi (1995) menyatakan, pada penambahan
urea sebagai sumber nitrogen bukan protein (NBP) ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi yaitu ketersediaan karbohidrat yang mudah dicerna, harus dicampur dengan
baik dengan bahan pakan lain, diberikan pada waktu adaptasi dua sampai dengan tiga
minggu, tidak memakai urea lebih besar dari 1% dari ransum lengkap atau tidak
lebih besar 5% dari konsentrat serta pemberiannya disarankan disertai dengan
penambahan mineral.
Zeolit dapat digunakan sebagai suatu reservoir untuk menjaga konsentrasi
amonia selama fermentasi. Lubis et al. (2007) menggunakan zeolit alam jenis
Clinoptilolit yang berasal dari Bayah Jawa Barat sebagai sumber mineral yang
murah. Zeolit (jenis Clinoptilolit) mempunyai keistimewaan dalam menyerap ion
yang besar seperti amonia (NH4+), dengan demikian zeolit dapat berperan sebagai
satu

reservoir

amonia

yang

memperlambat

perpindahan

dan

kemudian

melepaskannya berangsur-angsur untuk digunakan oleh mikroorganisme. (Lubis et
al., 2007).
Lubis et al. (2007) melaporkan bahwa onggok-urea-zeolit yang difermentasi
dengan Aspergillus niger meningkatkan protein kasar dari 2% menjadi 14%. Hasil
tersebut jauh lebih tinggi dari hasil penelitian Iyayi dan losel (2001) yang
meningkatkan protein kasar onggok dari 3.6% menjadi 7.8 % setelah difermentasi

18

dengan Aspergillus niger. Sofyan et al. (1999) bahkan bisa meningkatkan protein
kasar onggok hingga mencapai 25% setelah difermentasi dengan Aspergillus niger,
namun untuk mencapai protein kasar setinggi itu mereka menggunakan campuran
mineral seperti yang disarankan oleh Ramos et al. (1983) yaitu campuran (NH4)2SO4
75 gram; urea 40 gram; NaH2PO4 15 gram; MgSO4. 7H2O 5 gram; KCl 1,5 gram;
CaCl2 0,5 gram; dan FeSO4. 7H2O 0,75 gram. Larutan mineral tersebut biayanya
relatif mahal, sehingga akan meningkatkan biaya produksi.
Konsentrasi protein kasar dalam penelitian tersebut (Iyayi dan Losel, 2001;
Lubis et al., 2007) belum optimal karena diduga adanya komponen yang sangat
diperlukan dalam pembentukan asam amino bersulfur tidak tersedia. Penambahan
sulfur diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi protein dalam fermentasi. Phong
et al. (2003) melaporkan bahwa penambahan sulfur dalam bentuk amonium sulfat
sebanyak 1.5% dapat meningkatkan protein dari 4,6 % menjadi 9,4% dengan
menggunakan Aspergillus niger. Perbandingan hasil analisis proksimat onggok dan
cassabio berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Onggok dan Cassabio Berdasarkan Bahan Kering
Zat Makanan
Abu

Kandungan (% BK)
Onggok Kering
Cassabio
1,18
2,73

Protein Kasar

2,80

11,61

Lemak Kasar

0,76

0,31

Serat Kasar

4,26

2,82

BETA-N

91,00

82,53

TDN1)

85,99

79,23

Keterangan: 1)Sumber Perhitungan TDN: Harris et al., (1972); Hasil Analisis Laboratorium Teknologi
Pengolahan Pakan Fakultas Peternakan, IPB (2011).

19

Perbandingan bentuk fisik antara onggok murni dan cassabio dapat dilihat
pada Gambar 3.

(a)

(b)

Gambar 3. Bentuk Fisik (a) Onggok Murni dan (b) Cassabio
Sumber: Dokumentasi Penelitian (2011)

Kecernaan Ransum secara In Vitro
Salah satu metode penentuan fermentabilitas (kandungan NH3 dan VFA)
serta kecernaan ransum yang lazim digunakan di laboratorium adalah teknik in vitro.
Teknik in vitro merupakan suatu kegiatan yang dilakukan di luar tubuh ternak
dengan mengikuti keadaan yang sesungguhnya pada ternak tersebut. Sehingga secara
tidak langsung kita dapat mengamati kegiatan yang terjadi di dalam rumen dengan
cara in vitro (Makkar, 2002). Menurut McDonald et al. (2002), kecernaan pakan
pada ruminansia dapat diukur di laboratorium dengan perlakuan cairan rumen
(pertama) yang dilanjutkan dengan pemberian pepsin, metode ini dikenal juga
dengan two stage in vitro. Menurut Maryanto (1995), kombinasi cassabio dengan
2,5% zeolit dan 3% urea menghasilkan kompleks onggok-urea-zeolit (cassabio)
terbaik ditinjau dari hasil analisis in vitro (NH3 dan VFA).
Konsentrasi Amonia
Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena
amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk
sintesis protein mikroba (Arora, 1995). Sekitar 3,5-14mM amonia digunakan oleh
mikroba rumen sebagai sumber N untuk proses sintesis selnya. Enzim proteolitik
mikroba rumen akan menghidrolisis protein menjadi oligopeptida yang kemudian
menjadi asam amino dan diserap melalui dinding rumen yang secara cepat

20

mengalami deaminasi menjadi amonia, metan, dan CO2 (Sutardi, 1979). Proses
metabolisme protein pada rumen ternak dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Proses Metabolisme Protein dalam Rumen Ternak Ruminansia
Sumber: Mc. Donald et al. (2002).

Amonia hasil fermentasi tidak semuanya disintesis menjadi protein mikroba,
sebagian akan diserap ke dalam darah. Amonia yang tidak terpakai dalam rumen
akan dibawa ke hati diubah menjadi urea, sebagian dikeluarkan melalui urin dan
yang lainnya dibawa ke kelenjar saliva. Konsentrasi amonia yang optimum untuk
menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi berkisar
antara 6-21mM (McDonald et al., 2002).
Kelarutan nitrogen asal protein di dalam larutan buffer menunjukkan
ketahanan protein tersebut terhadap degradasi mikroba rumen. Umumnya proporsi
protein yang didegradasi dalam rumen sekitar 70-80% atau 30-40% untuk protein
yang sulit dicerna dan ini merupakan protein by pass yang akan dimanfaatkan oleh
ternak ruminansia (McDonald et al., 2002).
Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan NH3 adalah ketersediaan
karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai energi untuk pembentukan protein
mikroba. Menurut Sutardi (1977), agar NH3 dapat dimanfaatkan oleh mikroba
penggunaannya perlu disertai dengan sumber energi yang mudah difermentasi.
Kekurangan N yang dibutuhkan oleh mikroba rumen akan menimbulkan efek negatif

21

pada perombakan komponen pakan lainnya, khususnya dinding sel yang kaya akan
selulosa. Aktivitas fermentasi mikroba yang optimum perlu lebih banyak konsentrasi
amonia daripada yang dibutuhkan untuk produksi maksimum protein mikroba
(Oosting et al., 1989).
Konsentrasi VFA
Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari
karbohidrat. Di dalam rumen, polisakarida dihidrolisa menjadi monosakarida oleh
enzim-enzim mikroba rumen. Kemudian monosakarida tersebut, seperti glukosa,
difermentasi menjadi VFA (Volatile Fatty Acid) berupa asetat, propionat dan butirat,
serta gas-gas CH4 dan CO2. VFA yang terbentuk akan diserap melalui dinding rumen dan
gas CH4 serta CO2 akan hilang melalui eruktasi (McDonal et al., 2002). Proses ini
disebut juga glukoneogenesis yaitu diserapnya VFA ke dalam sistem peredaran darah
yang kemudian VFA diubah oleh hati menjadi gula darah. Gula darah inilah yang akan
mensuplai sebagian besar kebutuhan energi bagi ternak ruminansia (Lehninger, 1991).
Proses fermentasi karbohidrat pada rumen ternak dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia
Sumber: Mc. Donald et al. ( 2002)

22

Menurut Arora (1995), peranan VFA sangat penting sebagai sumber energi bagi
ternak dan merupakan produk akhir fermentasi gula. Namun, selain itu VFA juga
merupakan sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba. Konsentrasi
VFA tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonal et al., 2002). Ransum
dengan komposisi 40% hijauan : 60% konsentrat, akan menghasilkan VFA total sebesar
96mM dengan perbandingan 61% asetat, 18% propionat, dan 8% butirat pada sapi,
sedangkan pada domba akan menghasilkan VFA total sebesar 76mM dengan
perbandingan 52% asetat, 34% propionat, dan 12% butirat (McDonal et al., 2002),
sedangkan konsentrasi VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal mikroba
rumen, yaitu 80-160mM (Sutardi, 1979).
Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur
fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan
adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan,
serta pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak
(Sakinah, 2005). produksi VFA total menunjukkan jumlah pakan (terutama karbohidrat
yang merupakan prekusor produksi VFA total) yang difermentasikan oleh mikroba
rumen. Sakinah (2005) menambahkan, semakin sedikit produksi VFA yang dihasilkan
maka semakin sedikit pula protein dan karbohidrat yang mudah larut. Penurunan VFA
diduga berhubungan dengan peningkatan kecernaan zat makanan, dimana VFA tersebut
digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein mikroba dan
digunakan untuk pertumbuhan sel tumbuhnya.

Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik (KCBK dan KCBO)
Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami pakan dalam alat
pencernaan. Perubahan tersebut berupa penghalusan pakan menjadi butir-butir atau
partikel kecil atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil (Sutardi, 1980).
Kecernaan pakan didefinisikan sebagai bagian pakan yang tidak diekskresikan di
dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut terserap oleh tubuh hewan.
Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002). Setiap
jenis ternak ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan yang berbedabeda dalam mendegradasi pakan (Sutardi, 1979). Tingkat kecernaan zat-zat makanan
dari suatu pakan menunjukkan kualitas dari pakan tersebut, dengan demikian KCBK
dan KCBO dapat dijadikan salah satu indikator untuk menentukan kualitas pakan.
Nilai dari KCBK dan KCBO menunjukkan seberapa besar zat makanan dalam pakan

23

dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen (Sutardi, 1977). Kecernaan bahan organik
merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai pakan (McDonald et
al.,2002).
Kecernanan bahan organik sama seperti kecernaan bahan kering sangat
dipengaruhi oleh kandungan serat kasar. Serat termasuk komponen dari bahan
organik pakan. Apabila kandungan serat kasar semakin tinggi maka bahan organik
yang tercerna akan semakin rendah karena pencernaan serat kasar sangat tergantung
pada mikroba rumen. Produksi amonia dan VFA pada rumen dapat menunjukkan
nilai kecernaan bahan organik pakan yang dikonsumsi, semakin tinggi produksi
amonia dan VFA dalam rumen menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik
semakin tinggi pula (Rahmawati, 2001). Sebagian besar komponen bahan kering
terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya koefisien cerna bahan kering (KCBK) akan mempengaruhi juga tinggi
rendahnya koefisien cerna bahan organik (KCBO) pakan.
Kecernaan in vitro dipengaruhi oleh pencampuran ransum, cairan rumen, pH,
pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sample, dan
larutan penyangga (Selly, 1994). Sedangkan faktor yang mempengaruhi degradasi
pakan di dalam saluran pencernaan ruminansia adalah struktur makanan, ruminasi,
produksi saliva, dan pH optimum (Kaufman et al., 1980). Penambahan karbohidrat
mudah terdegradasi dan protein secara bersamaan mampu meningkatkan degradasi
bahan organik pakan dan miningkatkan pertumbuhan mikroba rumen yang
berimplikasi terhadap peningkatan produktifitas ternak.
Amonium Sulfat
Amonium sulfat mempunyai rumus molekul (NH4)2SO4 termasuk garam
anorganik. Amonium sulfat mengandung 21% kation amonium dan 24% sulfur
sebagai anion sulfat. Nama lain dari amonium sulfat adalah diamonium sulfat,
sulfuric acid diamonium salt, maskagnit, aktamaster dan dolamin. Bahan ini sering
digunakan dalam meningkatkan kesuburan tanah dengan menurunkan pH tanah.
Dalam tanah, ion sulfat dihasilkan dalam bentuk bisulfat sehingga dapat menurunkan
keseimbangan pH tanah serta berkontribusi menyediakan nitrogen esensial untuk
pertumbuhan tanaman. Menurut Tisdale et al. (1990), diperkirakan 90% sulfur dalam
tanaman ditemukan sebagai asam amino yang salah satu fungsi utamanya dalam

24

protein adalah dalam pembentukan ikatan disulfida antara rantai-rantai peptida.
Dalam bidang pertanian, bahan ini digunakan sebagai larutan untuk insektisida,
herbisida dan fungisida.
Amonium sulfat dapat dibuat dengan mereaksikan amonium sintetis dengan
asam sulfat (2 NH3 + H2SO4

(NH4)2SO4). Campuran antara gas amonia dan air

dimasukkan ke dalam reakto yang mengandung larutan yang larut dalam amonium
sulfat dan 2% - 4% asam sulfat bebas dalam oven 60°C. Konsentrasi asam sulfat
ditambahkan untuk menjaga keasaman larutan dan untuk mengurangi level asam
sulfat bebas. Reaksi pemanasan tersebut tetap berada dalam oven 60°C (George,
1971).
Menurut Phong et al. (2003), penambahan amonium sulfat sebanyak 1% pada
onggok yang difermentasi dengan Aspergillus niger selama 6 hari dapat memberikan
hasil yang optimal yaitu dapat meningkatkan kandungan protein kasar dan protein
murni onggok yaitu sekitar 8,9% dan 5,1% yang mengalami peningkatan kandungan
protein kasar sebesar 6,1%.

25

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan bulan September - Oktober 2011 di Laboratorium
Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Alat

Satu unit alat analisa in vitro seperti, tabung fermentor, cawan porselen,
cawan Conway, erlenmeyer, oven 105°C, tanur listrik 600°C, water shaker bath,
tabung gas CO2, alat-alat destilasi, kertas saring Whatman No.41, dan alat-alat titrasi.
Bahan
Asam borat berindikator, larutan Na2CO3 jenuh, bahan yang dibutuhkan
untuk analisis in vitro antara lain, larutan mikro mineral, larutan buffer rumen,
larutan makro, larutan resazurin, larutan pereduksi, larutan McDougall dengan
temperatur 39°C dengan pH 6,5 – 6,9 (pH diturunkan dengan cara mengocok dengan
gas CO2), bahan untuk analisis nitrogen, cairan rumen segar dengan suhu 39°C,
plastik kemasan, label, serta sampel ransum yang akan digunakan.
Cairan Rumen. Cairan rumen yang digunakan adalah cairan rumen yang berasal
dari rumen sapi potong yang dipotong di rumah pemotongan hewan Elders, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Komposisi Ransum. Bahan baku ransum yang dipakai dalam penelitian ini antara
lain rumput gajah, onggok (untuk campuran konsentrat pada taraf cassabio 0%),
bungkil kedelai, bungkil kelapa, tetes, pollard, mineral premix, dan cassabio (sebagai
pengganti onggok pada campuran konsentrat yang diberikan dengan taraf tertentu).
Level penggunaan komposisi bahan baku pada masing-masing konsentrat perlakuan
tidak sama jumlahnya, karena ingin dilihat rasio penggunaan cassabio yang optimal
dalam beberapa macam level penggunaan komposisi bahan baku konsentrat.
Komposisi dan level pemakaian bahan baku konsentrat perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 3.

26

Tabel 3. Komposisi dan Level Pemakaian Bahan Baku Konsentrat
Bahan Pakan
Pollard
Bungkil Kedele
Bungkil Kelapa
Tetes
DCP
Onggok
Cassabio

P0
56,61
5
11,23
5
1
21,16
0

Perlakuan Konsentrat (%BK)
P1
P2
35,22
27,85
1
1
33,5
35,5
19,28
14,65
1
1
0
0
10
20

P3
20,49
1
37,49
10,02
1
0
30

Keterangan: (P0) = cassabio 0%; (P1) = cassabio 10%; (P2) = cassabio 20%; (P3) = cassabio 30%;
dengan acuan TDN = 72% dan PK= 16%; sumber: Aplikasi Winfeed 2.8.

Prosedur
Pembuatan Cassabio
Onggok diperoleh dari industri tapioka di sekitar Bogor kemudian
dikeringkan dan digiling. Zeolit (klinoptilolit) dalam bentuk tepung digunakan
sebanyak 2,5% dari bahan kering onggok. Kedua bahan tersebut dicampur hingga
homogen kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoklap dengan suhu 120°C
dan tekanan 250 psi selama 15 menit. Setelah dingin dicampur dengan urea sebanyak
3% dari bahan kering onggok. Amonium sulfat kemudian ditambahkan sebanyak
1,5% dari bahan kering onggok. Seluruh bahan tersebut dicampur secara merata dan
kemudian ditambahkan aquades untuk mencapai kadar air sekitar 75%. Selanjutnya
starter Aspergillus niger ditambahkan sebanyak 2% dari bahan kering Onggok.
Campuran kemudian dimasukkan kedalam ruang fermentasi dan diinkubasikan pada
suhu 28–32°C selama 6 hari. Setelah waktu inkubasi selesai dilakukan pemanenan
dengan menghentikan aktifitas kapang dengan cara dikeringkan di oven pada suhu
60°C selama 48 jam.
Pengambilan Cairan Rumen
Termos diisi dengan air panas disiapkan dan air tersebut dibuang sebelum
cairan rumen dimasukkan. Cairan rumen diambil dari rumah pemotongan hewan
Elders, kandang Fakultas Peternakan, IPB. Cairan diperas dan disaring dengan
menggunakan kain kasa. Kemudian dimasukan ke dalam termos hangat, lalu segera
dibawa ke laboratorium.

27

Pembuatan Larutan McDougall
Air destilasi sebanyak 5 liter dimasukkan ke dalam labu takar yang
bervolume 6 liter dan bahan-bahan dimasukkan ke dalam labu takar dengan proporsi
seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Larutan McDougall
Bahan
Na HCO3

Jumlah (g)
58,8

Na2HPO4.7H2O

42,0

KCl

3,42

NaCl

2,82

MgSO4.7H2O

0,72

CaCl2

0,24

Sumber: Tiley and Terry (1966).

CaCl2 ditambahkan paling akhir, setelah bahan lain terlarut semua. Kemudian
leher labu dicuci dengan air destilasi hingga permukaan air mencapai tanda tera, lalu
dikocok dengan gas CO2 dengan cara dialirkan perlahan-lahan dengan tujuan
menurunkan pH hingga mencapai pH 6,8. Kemudian pH diperiksa dan larutan yang
sudah dibuat dihangatkan sebanyak yang diperlukan hingga 37°C. Labu takar
dikocok kembali jika perlu dengan gas CO2 hingga pH 6,8.
Pembuatan Larutan Pepsin 0,2%
Pepsin sebanyak 2 gr ditimbang dengan perbandingan 1 : 10000. Kemudian
pepsin dilarutkan dalam 850 ml air bebas ion. Kemudian HCl pekat ditambahkan
sebanyak 17,8 ml. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam labu takar dan
ditambahkan air hingga permukaannya mencapai tanda tera.
Pembuatan Asam Borat Berindikator
Pembuatan Larutan A. Asam Borat (H3BO3 kristal) ditimbang sebanyak 4 gr.
Kemudian dilarutkan dalam aquadest sebanyak 70ml. Kemudian dipanaskan di atas
penangas air hingga larut sempurna. Kemudian larutan didinginkan lalau dimasukkan
ke dalam labu takar 100 ml.

28

Pembuatan Larutan B. Brom Cresol Green (BCG) ditimbang sebanyak 66 mg lalu
Methyl Red (MR) ditimbang juga sebanyak 33 mg. Kemudian bahan-bahan tersebut
dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dengan ditambahkan alkohol 95% sedikit
demi sedikit hingga larutan melarut sempurna. Kemudian alkohol ditambahkan lagi
hingga mencapai tanda tera.
Pencampuran Larutan A dan Larutan B. Larutan B dipipet sebanyak 20 ml,
dimasukkan ke dalam larutan A yang sudah dingin di dalam labu takar. Kemudian
aquadest ditambahkan hingga mencapai tanda tera.
Fermentasi In Vitro
Tabung fermentor yang telah diisi dengan 0.5 g sampel, ditambahkan 40 ml
larutan MC Dougall. Tabung dimasukan ke dalam shaker bath dengan suhu 39oC,
kemudian diisi cairan rumen 10 ml, tabung dikocok dengan dialiri CO2 selama 30
detik, cek pH ( 6,5 – 6,9 ) dan kemudian ditutup dengan karet berventilasi, dan
difermentasi selama 4 jam. Setelah 4 jam, buka tutup karet tabung fermentor
kemudian diteteskan 2-3 tetes HgCl2 untuk membunuh mikroba. Tabung fermentor
dimasukkan ke dalam centrifuge, lalu dilakukan centrifuge dengan kecepatan 3.500
rpm selama 10 menit. Substrat akan terpisah menjadi endapan dibagian bawah dan
supernatant yang bening berada di bagian atas. Kemudian supernatan diambil untuk
berbagai analisa berikut ( NH3 dan VFA ). Supernatan dimasukkan ke dalam botol
film, apabila tidak dilakukan analisis segera, sampel disimpan dalam freezer.
Analisis NH3 (Metode Mikrodifusi Cawan Conway). Satu ml supernatan
ditempatkan pada salah satu sisi sekat cawan Conway yang diletakkan miring ke arah
sekat. Sebelumnya cawan Conway telah diberi vaselin pada kedua permukaan
bibirnya. Pada sisi yang lain ditempatkan satu ml larutan Na2CO3 jenuh, sedangkan
bagian tengah cawan Conway ditempatkan 1 ml asam borat berindikator kemudian
cawan Conway ditutup rapat sehingga kedap udara. Cawan Conway yang telah
ditutup rapat digoyang – goyangkan agar supernatan dan Na2CO3 jenuh bercampur,
bentuk cawan conway dapat dilihat pada (Gambar 4). Kemudian cawan Conway
dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah itu tutup cawan Conway dibuka,
asam borat berindikator dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai warnanya kembali
merah muda. Kadar NH3 dengan rumus :

29

NNH 3 (Mm)

mlH 2 SO4 NH 2 SO4 1000
( g ) sampel BK sampel

Gambar 6. Cawan Conway
Sumber : Dokumentasi Penelitian (2011).

Analisis VFA (Steam Destilation Method). Lima ml supernatan dimasukkan ke
dalam tabung destilasi dan ditambahkan satu ml H2SO4 15 % kemudian ditutup.
Sebelumnya telah disiapkan erlenmeyer yang berisi NaOH 0,5 N sebanyak lima ml
untuk menangkap VFA yang teruapkan. Tabung destilasi dihubungkan dengan labu
yang berisi air mendidih dan dipanaskan terus selama proses destilasi. Uap air panas
akan mendesak VFA dan akan berkondensasi dalam pendingin. Air yang terbentuk
akan ditampung dalam elemeyer yang telah berisi NaOH sampai volume mencapai
300 ml. Setelah itu ditambahkan indikator phenolpthatein sebanyak dua sampai tiga
tetes dan kemudian dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna titran berubah dari
merah jambu menjadi bening. Produksi VFA total dihitung dengan rumus :

mMVFAtotal

(a b)ml NHCl 1000 / 5ml
( g ) sam pel BK sam pel

Keterangan
a : Volume HCl blanko pereaksi ( hanya H2SO4 dan NaOH saja, tanpa sampel)
b : Volume HCl sampel
Analisis Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO).
Tabung fermentor yang telah diisi dengan 0.5 gr sampel, ditambahkan 40ml larutan
MC Dougall. Tabung dimasukan ke dalam shaker bath dengan suhu 39oC, kemudian
diisi cairan rumen 10 ml, tabung dikocok dengan dialiri CO2 selama 30 detik, cek pH
( 6,5 – 6,9 ) dan kemudian ditutup dengan karet berventilasi, dan difermentasi selama
48 jam. Setelah 48 jam tutup karet tabung fermentor dibuka dan diteteskan 2-3 tetes
HgCl2 untuk membunuh mikroba, Tabung fermentor dimasukkan ke dalam
centrifuge lalu dilakukan centrifuge dengan kecepatan 4.000 rpm selama 10 menit.

30

Substrat akan terpisah menjadi endapan di bagian bawah dan supernatant yang
bening berada di bagian atas. Supernatan dibuang dan endapan hasil sentrifuge pada
kecepatan 4.000 rpm selama 10 menit ditambahkan 50 ml larutan pepsin-HCl 0.2%.
Campuran ini lalu diinkubasi kembali selama 48 jam tanpa tutup karet. Sisa
pencernaan disaring dengan kertas saring whatman no 41 (sudah diketahui bobotnya)
dengan bantuan pompa vakum. Endapan yang ada dikertas saring dimasukkan ke
dalam cawan porselen, setelah itu dimasukkan ke dalam oven 105⁰C selama 24 jam.
Setelah 24 jam, cawan porselen yang berisi kertas saring dengan residu di dalamnya
dikeluarkan, dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang untuk mengetahui kadar
bahan keringnya. Selanjutnya bahan dalam cawan dipijarkan atau diabukan dalam
tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450 – 600oC, kemudian ditimbang untuk
mengetahui kadar bahan organiknya. Sebagai blanko dipakai residu asal fermentasi
tanpa bahan pakan.

%KCBK

% KCBO

BK sam pel( g )

BK residu ( g ) BK blanko( g )
BK sam pel( g )

BOsam pel( g )

100%

BOresidu ( g ) BOblanko( g )
BOsam pel( g )

100%

Keterangan :
KCBK : Koefisien Cerna Bahan Kering
KCBO : Koefisien Cerna Bahan Organik
BK

: Bahan Kering

BO

: Bahan Organik
Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perlakuan
Penelitian ini menggunakan ransum dengan campuran hijauan dan konsentrat
40:60 dan terdiri dari 4 perlakuan, yaitu :
P0 = Rumput gajah + Konsentrat (cassabio 0%)
P1 = Rumput gajah + Konsentrat (cassabio 10%)
P2 = Rumput gajah + Konsentrat (cassabio 20%)
P3 = Rumput gajah + Konsentrat (cassabio 30%)

31

Komposisi konsentrat (cassabio 0%) terdiri dari onggok, pollard, bungkil
kelapa, bungkil kedelai, tetes, dan mineral premix, sedangkan untuk konsentrat
dengan cassabio bertaraf (cassabio 10%, 20%, dan 30%) komposisi sama seperti
konsentrat (cassabio 0%) hanya saja bahan baku onggok diganti dengan cassabio
sesuai taraf perlakuan. Kandungan nutrisi konsentrat penelitian dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Perhitungan Kandungan Nutrisi Konsentrat Penelitian Berdasarkan
Bahan Kering
Kandungan Nutrisi Perlakuan

Perlakuan
PK

SK

LK

Abu

BETA-N

TDN

Ca

P

P0

16,22

7,71

4,51

5,54

66,01

72,99

0,50

0,96

P1

16,15

8,68

5,19

7,36

62,63

72,66

0,54

0,80

P2

16,34

8,59

5,20

6,91

62,97

73,51

0,50

0,74

P3

16,33

8,38

5,13

6,38

63,78

73,48

0,45

0,65

Keterangan: P0 = Konsentrat (cassabio 0%), P1 = Konsentrat (cassabio 10%), P2 = Konsentrat
(cassabio 20%), P3 = Konsentrat (cassabio 30%), BK = Bahan Kering, PK = Protein
Kasar, SK = Serat Kasar, Beta-N= Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen, TDN = Total
Digestable Nutrient, Ca = Calsium, P = Phospor, Kandungan nutrisi adalah hasil
perhitungan dengan menggunakan Winfeed 2.8.

Rancangan Percobaan untuk Kecernaan
Rancangan percobaan yang digunakan untuk kecernaan dalam penelitian ini
adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) berdasarkan 4 kali pengambilan cairan
rumen dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Model matematik dari rancangan adalah
sebagai berikut :
Yij = µ + τi + ßj+ εij
Keterangan :
Yij

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= rataan umum

i

= efek perlakuan ke-i

ßj

= efek kelompok ke-j

ij

= eror perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

32

Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati pada penelitian adalah produksi NH3 rumen, produksi VFA
rumen, Koefisien Cerna Bahan Kering, dan Bahan Organik ransum.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA), dilanjutkan
dengan uji lanjut polynomial ortogonal apabila menunjukkan perbedaan.

33

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Penelitian
Masalah yang sering dihadapi oleh peternak ruminansia adalah keterbatasan
penyediaan pakan baik secara kuantitatif, kualitatif, maupun kesinambungannya
sepanjang tahun. Salah satu upaya untuk menanggulangi masalah tersebut adalah dengan
mencari bahan pakan alternatif yang relatif murah, tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia, mudah didapat, dan tersedia sepanjang tahun. Onggok merupakan limbah

agroindustri tepung tapioka yang berpotensi menjadi bahan baku pakan ternak, namun
onggok memiliki kandungan nutrisi rendah seperti kandungan protein kasar dibawah 3
% dan tingginya serat kasar (Rasyid et al., 1996). Inovasi dalam pengolahan onggok
menjadi ransum diperlukan untuk mengoptimalkan kandungan nutrisi. Salah satu upaya
yang dilakukan adalah fermentasi onggok-urea-zeolit dan penambahan amonium sulfat
dengan kapang Aspergillus niger (cassabio).
Beberapa penelitian seperti Tarmudji (2004), menyatakan bahwa penggunaan
onggok fermentasi sampai dengan 10% dalam formulasi pakan ayam pedaging masih
aman dan tidak menimbulkan dampak negatif, artinya kinerja ayam pada semua
kelompok selama percobaan cukup baik dan tidak dijumpai adanya kematian pada
ayam, serta aman untuk dikonsumsi. Wijaya dan Fajrinnalar (2010) menggunakan
cassabio (onggok fermentasi dengan menambahkan urea, zeolit dan amonium sulfat)
hingga 40% tanpa menyebabkan kelainan pada performan dan kesehatan ayam broiler.
Pada ruminansia sejauh ini belum ada penelitian mengenai pemberian cassabio
dengan kandungan amonium sulfat, baru hanya pada unggas saja. Oleh karena itu,
dilakukan analisis in vitro untuk mengetahui kecernaan dari bahan pakan cassabio
tersebut dalam campuran konsentrat dengan penambahan beberapa bahan pakan lain
seperti pollard, bungkil kedele, bungkil kelapa, tetes, dan DCP serta hijauan berupa
rumput gajah dengan perbandingan 60 % konsentrat : 40 % hijauan. Data hasil analisis
in vitro dapat dilihat pada Tabel 6.

22

Tabel 6. Kandungan Amonia (NH3) Rumen, VFA Rumen, KCBK, dan KCBO Ransum
pada Taraf Cassabio Berbeda
Parameter

Perlakuan

NH3 (mM)

P0
6,55±0,92c

P1
7,62±1,20c

P2
8,31±1,30b

P3
10,21±2,42a

VFA (mM)

170,51±27,03

110,26±27,53

87,39±26,28

130,64±26,67

KCBK (%)

69,67±4,19

66,63±4,14

67,47±6,11

67,88±3,67

KCBO (%)

69,14±4,20

65,41±3,97

66,95±6,34

67,20±3,15

Keterangan:

Superskrip pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P