Perencanaan Lanskap Pantai Lampuuk Berbasis Mitigasi Tsunami untuk Pengembangan Kawasan Wisata di Lhoknga Aceh Besar

PERENCANAAN LANSKAP PANTAI LAMPUUK BERBASIS
MITIGASI TSUNAMI UNTUK PENGEMBANGAN
KAWASAN WISATA DI LHOKNGA
ACEH BESAR

MUHAMMAD RIZKI MULYA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Lanskap
Pantai Lampuuk Berbasis Mitigasi Tsunami untuk Pengembangan Kawasan di
Lhoknga Aceh Besar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 2013
Muhammad Rizki Mulya
NRP A44080002

ABSTRAK
MUHAMMAD RIZKI MULYA. Perencanaan Lanskap Pantai Lampuuk Berbasis
Mitigasi Tsunami untuk Pengembangan Kawasan Wisata di Lhoknga Aceh Besar.
Dibimbing oleh AFRA DN MAKALEW.
Perencanaan lanskap daerah rawan bencana, seperti di Pantai Lampuuk
dapat dipandang sebagai bagian dari mitigasi. Penggunaan vegetasi lokal
merupakan elemen perencanaan sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup yang
berkelanjutan. Pada umumnya studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak
bencana tsunami dan meningkatkan ruang di lokasi tersebut. Khususnya penelitian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi aspek biofisik, lingkungan, sosial dan
ekonomi yang berkaitan dengan mitigasi tsunami di Pantai Lampuuk,
menganalisis potensi dan kendala dan membuat perencanaan lanskap kawasan
wisata berbasis mitigasi bencana tsunami. Metode penelitian yang digunakan

adalah proses perencanaan yang dikemukakan oleh Gold (1980). Metode ini
terdiri dari lima tahap, yaitu: persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan
perencanaan. Penelitian dilakukan di Pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga,
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Penelitian dimulai dari Februari hingga
April 2012. Hasilnya adalah konsep dasar sebagai pengembangan kawasan wisata
berbasis mitigasi tsunami yang berfungsi sebagai evakuasi, mitigasi dan wisata.
Konsep dan perencanaan terdiri dari dua kondisi, kondisi normal atau biasa
sebagai tempat wisata, dapat beralih fungsi menjadi evakuatif ketika terjadi
tsunami. Disimpulkan bahwa tapak dibagi menjadi tiga zona, (1) zona utama:
terdiri dari ruang wisata, mitigasi, evakuasi, (2) zona semi utama: pengembangan
ruang, dan (3) zona penyangga: budidaya, konservasi tumbuhan pantai,
perkebunan dan pertanian. Perencanaan berupa rencana tapak yang terbagi dalam
rencana aktivitas, fasilitas, sirkulasi dan vegetasi.
Kata kunci: bencana alam, mitigasi, Pantai Lampuuk, perencanaan lanskap,
tsunami
ABSTRACT
MUHAMMAD RIZKI MULYA. Landscape Planning of Lampuuk Beach Based
on Tsunami Mitigation for The Development of Tourism Area at Lhoknga in
Aceh Besar. Supervised by AFRA DN MAKALEW.
Landscape planning in disaster-prone areas, such as on the beach at

Lampuuk could be viewed as part of disaster mitigation in the region. The use of
local vegetation as part of the planning element can be a part of the environmental
conservation efforts that are expected to create a sustainable environment. In
general this study was aimed to identify the impact of the tsunami disaster and
increase the space in that location. In particular this research was aimed to identify
the biophysical aspects, environmental, social, and economic issues in coastal
areas that relate to the Lampuuk tsunami disaster mitigation, to analyze the
potential and constraints in that location and to make the landscape planning of
tourism area based on tsunami disaster mitigation. Research methods used is a

recreation area approach expressed by Gold (1980). This method consists of five
stages, including preparation, inventory, analysis, synthesis and planning. The
research was carried out at the landscape of Lampuuk Beach in Lhoknga, Aceh
Besar Regency, Aceh Province. This study started from February to April 2012.
As the result found that the basic concept of landscape planning is developing the
tourist area based on tsunami mitigation which can serve as evacuation, mitigation
and tourism space. The concept and plan consisting of two conditions. The first
condition during normal conditions or as a regular tourist area, can be turned into
evakuatif function when tsunami happen. It was concluded that the site is divided
into three zones, (1) primary zone: consisting of space tourism, mitigation,

evacuation; (2) semi primary zone: is development spaces; and (3) support zone:
the cultivation, conservation of coastal vegetation, plantations and farm. The plan
consist of siteplan which is devided into activity, facilities, circulation and
vegetation plans.
Key words: Lampuuk Beach, landscape planning, mitigation, natural disasters,
tsunami

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau
menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

PERENCANAAN LANSKAP PANTAI LAMPUUK BERBASIS
MITIGASI TSUNAMI UNTUK PENGEMBANGAN
KAWASAN WISATA DI LHOKNGA
ACEH BESAR


MUHAMMAD RIZKI MULYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi :

Nama
NRP


:
:

Perencanaan Lanskap Pantai Lampuuk Berbasis Mitigasi
Tsunami untuk Pengembangan Kawasan Wisata di
Lhoknga Aceh Besar
Muhammad Rizki Mulya
A44080002

Disetujui oleh

Dr Ir Afra D N Makalew, MSc
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :


PRAKATA
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini. Penelitian
dengan judul Perencanaan Lanskap Pantai Lampuuk Berbasis Mitigasi Tsunami
untuk Pengembangan Kawasan Wisata di Lhoknga Aceh Besar ini merupakan
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Arsitektur
Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mendapat masukan, arahan dan
bimbingan serta kritik dan saran dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta ayah dan mama, serta adikku Maya Riska dan
Sarah Tiara yang memberikan doa, kesempatan, kepercayaan, arahan,
nasehat, dukungan penuh serta kasih sayang;
2. Dr. Ir. Afra D. N. Makalew, M.Sc selaku Dosen Pembimbing yang telah
sabar membimbing dan memberikan ilmu yang sangat berguna selama
masa penelitian tugas akhir ini;
3. Prof. Dr. Ir. Wahyu Qamara Mugnisjah, M.Agr selaku Pembimbing
Akademik, atas nasehat dan bimbingannya;
4. Segenap dosen Departemen Arsitektur Lanskap atas ilmu dan

bimbingannya; segenap staf kependidikan Departemen Arsitektur Lanskap
atas bantuan dan kemudahan administrasi yang telah diberikan kepada
penulis;
5. Segenap jajaran PEMDA Kabupaten Aceh Besar, Kota Banda Aceh,
BMKG Provinsi Aceh, pusat riset mitigasi tsunami Aceh (TDMRC) atas
bantuan dan kemudahan pengambilan data serta masukan, kritik dan saran
yang telah diberikan kepada penulis terkait judul penelitian;
6. Alfin, kamil, ikhsan, dayat, faisi, dimas, tjut, moko, afnan, andi, bang
yasar, bang husnul, bang fahrul, endang, sayed, aris, sabrun, oki, subki,
bukhari, dan teman-teman seperjuangan dalam perantauan; dan temanteman IMTR (Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong);
7. Teman-teman ARL 45 untuk pahit-manisnya pertemanan serta
pertualangan dan perjuangan di ARL yang telah memberi makna dan
warna dalam kehidupan;
8. Keluarga besar ARL dari semua angkatan dan semua pihak yang telah
memberikan bantuan dan dukungan pada penulis, yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, permohonan maaf dan rasa terimakasih untuk
semuanya.
Penulis menyadari masih terdapatnya kekurangan dalam penulisan skripsi
ini, penulis terbuka terhadap berbagai masukan, saran dan kritik untuk
kelengkapan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.


Bogor, 2013
Muhammad Rizki Mulya

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pikir
TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan Lanskap
Wisata Pantai
Bencana Alam
Tsunami
Mitigasi Bencana
Mitigasi Tsunami
METODOLOGI

Waktu dan Tempat Studi
Metode Penelitian
Inventarisasi
Analisis
Sintesis
Perencanaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data dan Analisis
Keadaan Umum
Keadaan Pra-Pasca Tsunami
Aspek Fisik
Iklim
Tanah dan Topografi
Hidrologi dan Drainase
Penutupan dan Penggunaan Lahan
Vegetasi
Visual
Aspek Wisata
Jenis Wisata
Fasilitas

Aspek Sosial
Potensi Pengunjung
Keadaan Sosial
Sintesis
Konsep
Konsep Ruang
Konsep Aktivitas
Konsep Sirkulasi
Konsep Vegetasi
Perencanaan

i
ii
1
1
2
2
2
4
4
5
5
6
13
18
27
27
29
29
29
31
31
32
32
32
33
37
37
37
38
39
39
44
45
45
45
51
51
51
55
55
55
58
59
59
60

Rencana Tata Ruang
Rencana Aktivitas
Rencana Fasilitas
Rencana Jalur Sirkulasi
Rencana Vegetasi
Rencana Daya Dukung
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

60
69
71
75
76
82
90
90
90
92
95

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Intensitas tsunami
Jenis data dan indikator pengamatan
Klasifikasi kemiringan untuk kawasan wisata dan evakuasi
bencana
Jenis tanaman di lokasi penelitian
Konsep vegetasi
Rencana ruang, aktivitas dan fasilitas
Rencana jalur sirkulasi
Kapasitas daya dukung Pantai Lampuuk

12
28
38
44
59
60
75
82

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29

Kerangka pikir
Model terjadinya tsunami akibat pergerakan sesar atau
gempa bumi
Sistem peringatan dini tsunami
Peta lokasi gempa bumi yang mengakibatkan tsunami
di Indonesia (tahun 1600-2004)
Hubungan panjang, tinggi dan kecepatan tsunami di laut
Jenis patahan (fault atau sesar) dan mekanisme terjadinya
tsunami
Ilustrasi pemecah gelombang tsunami
Berbagai bentuk tetrapod
Shelter di Shirahama dan Prefektur Tokushima, Jepang
Tanggul di Okushiri, Jepang
Contoh hutan di sepanjang Pantai Sanriku, Jepang
Contoh pintu air di Okushiri, Jepang
Ilustrasi inovasi penahan tsunami
Ilustrasi zonasi pada kawasan pesisir
Lokasi Studi
Peta administrasi Kemukiman Lampuuk Kecamatan Lhoknga
Peta lokasi studi Pantai Lampuuk
Sebelum dan sesudah tsunami di lokasi studi
Kawasan Pantai Lampuuk setelah diterjang tsunami, Mei 2005
Tinggi gelombang tsunami di Lampuuk
Peta topografi Kemukiman Lampuuk Kecamatan Lhoknga
Peta topografi Pantai Lampuuk Kecamatan Lhoknga
Peta kemiringan lahan Pantai Lampuuk Kecamatan Lhoknga
Peta penutupan lahan Pantai Lampuuk Kecamatan Lhoknga
Good view Pantai Lampuuk
Bad view pada lokasi studi
Peta kualitas visual
Pondok wisata kuliner ikan bakar
Fasilitas wisata Pantai Lampuuk

3
7
15
16
17
17
19
20
20
20
21
21
22
26
27
34
35
36
36
37
40
41
42
43
45
45
46
47
48

30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59

Tsunami Escape Building
Peta fasilitas Pantai Lampuuk Kecamatan Lhoknga
Peta hasil analisis bahaya
Peta hasil analisis potensi wisata
Peta komposit kesesuaian lahan
Diagram konsep ruang
Rencana blok
Matriks hubungan antar ruang
Diagram hubungan antar ruang
Diagram konsep sirkulasi
Diagram konsep vegetasi
Strategi mitigasi
Gaya-gaya pada bangunan akibat tsunami dan solusi desain
untuk pengaruh tsunami
Rencana tapak
Segmen wisata
Segmen evakuasi
Ilustrasi rumah anti gempa dan tsunami
Bangunan terapung anti gempa dan tsunami
Potongan bangunan terapung anti gempa dan tsunami
Kegiatan evakuasi horizontal dan vertikal
Menara sirene
Lokasi rambu pelarian
Contoh rambu evakuasi
Rencana sirkulasi
Ilustrasi vegetasi pelindung
Ilustrasi vegetasi penaung
Ilustrasi vegetasi pengarah
Ilustrasi perspektif evakuasi
Ilustrasi perspektif mitigasi
Ilustrasi perspektif wisata

48
50
52
53
54
55
56
57
57
59
60
62
62
63
64
65
66
67
68
70
73
74
75
78
84
85
86
87
88
89

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan pantai merupakan kawasan yang unik karena kawasan tersebut
terdiri atas komponen daratan dan lautan. Komponen daratannya berubah-ubah
tergantung dari pasang surut demikian juga komponen lautannya. Lanskap adalah
wajah dan karakter lahan atau tapak bagian dari muka bumi beserta yang ada
dalamnya, baik bersifat alami maupun buatan manusia beserta makhluk hidup
lainnya, sejauh mata memandang, sejauh indera dapat menangkap dan sejauh
imajinasi dapat membayangkan. Karakter lahan serta kehidupan pantai sangat
unik. Oleh karena keunikan tersebut, lanskap kawasan pantai sangat cocok
dikembangkan untuk obyek wisata (Rachman, 1984)
Wisata dalam perencanaan lanskap kawasan pantai perlu memahami
keinginan atau naluri manusia (keharmonisan dalam memanfaatkan pantai) dan
karakter lanskapnya. Karakter lanskap merupakan wujud dari keharmonisan atau
kesatuan yang muncul diantara elemen-elemen alam pantai tersebut. Tipe karakter
lanskap kawasan pantai meliputi hutan bakau, tambak dan gumuk pasir. Alam
pantai tersebut memiliki sifat, bentuk dan kekuatan yang berbeda-beda. Sifat alam
pantai meliputi penguapan, suhu musiman dan salinitas estuarinya. Bentuk
lanskap kawasan pantai antara lain: dataran pantai, danau, tambak dan
topografinya. Sedangkan kekuatan alam pantai meliputi angin, pasut, ombak, arus
laut, radiasi matahari, serta sinar bulan. Keindahan lanskap pantai dari bervariasi
mulai yang halus, seperti hembusan angin laut. hingga yang dinamis dan keras
seperti ombak.
Kerasnya ombak juga harus diperkirakan agar dapat menanggulangi
kawasan pantai dari ombak besar (tsunami) akibat gempa vulkanik atau tektonik.
Pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu terjadi tsunami yang merusak kawasan
pantai di Provinsi Aceh, khususnya di daerah Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar.
Pantai Lampuuk merupakan kawasan yang terkena tsunami, sehingga mitigasi
bencana di kawasan pantai dapat dilakukan dengan melakukan usaha
perlindungan pantai, salah satunya dengan perencanaan lanskap kawasan pantai.
Daerah Pantai Lampuuk awalnya tidak memiliki tutupan lanskap yang dapat
menghalangi gelombang tsunami ke arah daratan. Sehingga perlu dibangun jalurjalur evakuasi dan penanaman beberapa jenis vegetasi tertentu.
Perencanaan lanskap pada daerah rawan bencana seperti pada kawasan
Pantai Lampuuk dapat dipandang sebagai bagian dari mitigasi bencana pada
kawasan tersebut. Penggunaan vegetasi lokal sebagai bagian dari elemen
perencanaan dapat merupakan bagian dari usaha konservasi lingkungan yang
diharapkan dapat menciptakan sebuah lingkungan yang berkelanjutan (sustainable
environment). Berdasarkan masalah di atas maka penataan lanskap Pantai
Lampuuk perlu direncanakan dengan berbasis mitigasi tsunami. Di samping itu,
perencanaan dibuat untuk pengembangan kawasan wisata.

2

Tujuan Penelitian
Studi perencanaan kawasan pantai berbasis mitigasi bencana tsunami
bertujuan mengidentifikasi dampak dari bencana tsunami dan meningkatkan tata
ruang di lokasi tersebut secara umumnya. Secara khusus penelitian ini bertujuan:
1. mengidentifikasi aspek biofisik, lingkungan, sosial dan ekonomi pada
kawasan Pantai Lampuuk yang berhubungan terhadap mitigasi bencana
tsunami.
2. menganalisis potensi dan kendala di lokasi tersebut
3. membuat perencanaan lanskap pantai sebagai kawasan wisata berbasis
mitigasi bencana tsunami.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan
kawasan wisata pantai yang fungsional, aman, nyaman, indah, dan berguna bagi
instansi terkait sebagai pertimbangan perencanaan maupun perancangan.
Kerangka Pikir
Pantai Lampuuk merupakan daerah rawan tsunami yang membutuhkan
ruang mitigasi dalam upaya mengurangi resiko kerugian akibat bencana.
Disamping itu, kebutuhan akan tersedianya kawasan wisata juga menjadi harapan
masyarakat. Pantai Lampuuk juga merupakan salah satu kawasan wisata alam
berupa pantai yang dipengaruhi oleh aspek wisata dan aspek mitigasi. Dalam
aspek mitigasi terdapat variabel yang berpengaruh yaitu topografi, penutupan
lahan, dan penggunaan lahan. Sedangkan dalam aspek wisata terdapat variabel
yang berpengaruh yaitu tipe pantai dan variasi kegiatan. Kedua aspek tersebut
dispasialkan dalam dua zona, yaitu zona mitigasi dan zona wisata untuk
mengetahui kesesuaian wisata pantai berbasis mitigasi tsunami di Pantai
Lampuuk. Sehingga dapat direncanakan lanskap pantai berbasis mitigasi bencana.
Alur kerangka pikir penelitian perencanaan lanskap Pantai Lampuuk berbasis
mitigasi tsunami untuk pengembangan kawasan wisata di Kemukiman Lampuuk,
Kecamatan Lhoknga Aceh Besar ini dapat dilihat pada Gambar 1.

3

Pantai Lampuuk, Aceh Besar
Daerah rawan bencana tsunami

Kebutuhan ruang mitigasi

Aspek mitigasi

Topografi
dan ketinggian

Aspek wisata

Penutupan
lahan

Penggunaan
lahan

Zona mitigasi

Objek
wisata

Atraksi/kegiatan
wisata

Zona wisata

Lanskap wisata pantai berbasis mitigasi
bencana

Perencanaan lanskap Pantai Lampuuk berbasis mitigasi tsunami untuk
pengembangan kawasan wisata di Kemukiman Lampuuk,
Kecamatan Lhoknga Aceh Besar
Gambar 1. Kerangka Pikir

TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan Lanskap
Perencanaan Lanskap adalah alat untuk mengelola dan mengendalikan
pemanfaatan kawasan untuk pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
manusia secara berkelanjutan berdasarkan azas kelestarian lingkungan hidup.
Penyusunan perencanaan pengembangan wilayah adalah instrumen perencanaan
pengelolaan sumber alam dan lingkungan dengan menetapkan kawasan yang
berfungsi lindung dan daya tampung atau carrying capacity kawasan budidaya, dalam
menghadapi pertambahan penduduk dan penyebaran penduduk yang tidak merata
serta kondisi permintaan (kebutuhan) yang terus meningkat. Maka perencanaan harus
memperhatikan upaya pengelolaan lingkungan hidup yang lestari (Subroto, 2003).
Langkah-langkah yang dilakukan dalam perencanaan lanskap adalah:
1. identifikasi potensi ruang;
2. identifikasi faktor penghambat pengembangan ruang;
3. identifikasi kebutuhan dan kepentingan pengembangan;
4. identifikasi spesifikasi kegiatan pembangunan dan dampaknya terhadap
komponen lanskap;
5. identifikasi koneksitas antar kegiatan dengan daya dukung ruang;
6. identifikasi dan analisis kebijakan dan peraturan yang relevan mendukung
pemanfaatan ruang secara sustainable (Subroto, 2003).
Perencanaan sebagai suatu kegiatan dasar manusia. Banyak orang yang
memandang perencanaan sebagai suatu kegiatan dasar yang terkandung dalam
tingkah laku manusia pada semua tingkatan masyarakat. Perencanaan adalah suatu
proses, pemikiran dan tindakan manusia berdasarkan pemikiran tersebut dalam
kenyataannya, pemikiran ke masa depan yang merupakan suatu kegiatan manusia
yang sangat umum (Subroto, 2003).
Perencana dapat dilihat sebagai kemampuan untuk mengendalikan konsekuensi
masa depan daripada tindakan-tindakan yang dilakukan sekarang. Semakin banyak
yang dapat dikendalikan, semakin besar sukses perencanaan. Maksud (perencanaan)
adalah untuk membuat masa depan yang berbeda daripada yang akan terjadi tanpa
perencanaan itu (Anthony dan James 1986).
Menurut Simonds (2006), proses perencanaan merupakan suatu alat sistematik
yang digunakan untuk menentukan saat awal, keadaan yang diharapkan dan cara
terbaik untuk mencapai penggunaan terbaik dari suatu lanskap.
Begitu pula dengan Gold (1980), perencanaan lanskap merupakan penyesuaian
program dengan suatu lanskap untuk menjaga kelestariannya. Proses tersebut terdiri
atas enam tahap, yaitu: pesiapan, inventarisasi, analisis, sintesis, perencanaan dan
perancangan. Dalam perencanaan lanskap suatu daerah dimana didalamnya terdapat
aktivitas rekreasi, membutuhkan informasi yang mengintegrasikan manusia dengan
waktu luang dimana pengalokasian sumber daya dilakukan untuk menghubungkan
waktu luang dengan kebutuhan masyarakat dan areal perencanaan. Proses
perencanaan lanskap tersebut dapat didekati melalui empat cara, yaitu:

5

1. Pendekatan sumber daya, dimana dalam hal ini sumber daya fisik atau alami
akan menentukan tipe dan jumlah aktivitas pada tapak. Pertimbangan terhadap
lingkungan akan menentukan perolehan dan penyelamatan ruang dimana
kebutuhan pemakai atau sumber dana tidak terlalu dipertimbangan.
2. Pendekatan aktivitas, dimana aktivitas yang ada pada masa lampau dan saat
ini dijadikan dasar pertimbangan perencanaan sarana dan prasarana dalam
tapak di masa yang akan datang. Perhatian difokuskan pada permintaan
dimana faktor sosial lebih dipertimbangkan dari pada faktor lainnya.
3. Pendekatan ekonomi, dimana tingkat ekonomi dan sumber finansial
masyarakat digunakan untuk menentukan jumlah, tipe dan lokasi yang
potensial untuk dikembangkan. Dalam hal ini faktor ekonomi merupakan
pertimbangan utama.
4. Pendekatan perilaku, dimana dalam hal ini yang menjadi pusat perhatian
adalah rekreasi sebagai pengalaman, alasan berapresiasi, bentuk aktivitas yang
diinginkan dan dampak aktivitas tersebut terhadap seseorang.
Wisata Pantai
Kriteria kawasan sempadan pantai adalah wilayah daratan sepanjang tepian laut
yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimum 100
meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Dan untuk kriteria kawasan pantai
berhutan bakau adalah wilayah yang minimal mempunyai 130 kali nilai rata-rata
perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut
terendah ke arah darat (Subroto, 2003).
Wilayah pantai merupakan badan air alami yang dilindungi oleh bantuan pasir
yang terbentuk oleh pemukulan dan pencucian ombak yang dikendalikan oleh angin
(Simonds, 1983). Wilayah pantai dapat menjadi tempat tinggal bagi spesies amfibia
dan organisme-organisme laut yang bersifat bentik (tinggal di permukaan atau di
dalam tanah). Bagi manusia, lanskap pantai dimanfaatkan untuk rekreasi, penelitian,
dan edukasi. Masyarakat banyak memanfaatkan daerah pantai sebagai tempat tinggal
(Molles, 2005).
Bencana Alam
Bumi adalah planet yang aktif, dengan berbagai sumber energi sebagai bahan
bakarnya. Bencana alam terjadi bilamana manusia dan segala bangunan buatan
manusia diatas bumi terpengaruh oleh proses energi bumi. Proses alami bumi ini
berupa pengumpulan energi dan melepaskan energi tersebut, lalu menyebabkan
kematian dan kehancuran dipermukaannya. Disebut bencana karena berkaitan dengan
energi yang mempengaruhi manusia dengan dampak negatif dan merugikan (Abbot,
2004).
Menurut Abbot (2004), terdapat empat sumber utama energi yang menjadikan
bumi suatu badan yang aktif: (1) tabrakan benda asing, (2) gravitasi, (3) panas

6

internal bumi dan (4) panas eksternal matahari. Perut bumi mengandung energi panas
besar yang berasal dari tabrakan yang telah membentuk bumi dan dari panas tersebut
terlepas elemen radioaktif. Energi panas internal dari perut bumi mengalir ke
permukaan dan membentuk energi berupa ledakan gunung berapi dan gempa bumi.
Abbot (2004) menambahkan, Banyak bagian bumi yang menunjukkan tandatanda yang jelas akan bahaya (hazard), tapak-tapak tersebut memiliki natural
hazards. Sebagai contoh, manusia berpindah tempat dan membangun rumah di dekat
sungai yang dapat mengalami banjir, bermukim di garis pantai yang dapat mengalami
badai besar atau tsunami, dan bermukim di lereng gunung yang suatu saat akan
meletus. Puluhan atau bahkan ratusan tahun akan berlalu tanpa bencana alam namun
bahaya alam akan selalu ada. Tapak dengan bahaya alam harus dipelajari dan
dipahami lebih dalam. Resikonya harus dievaluasi terlebih dahulu agar dapat
merencanakan dan merancang tindakan untuk mencegah bahaya alam berubah
menjadi bencana alam, atau sering disebut proses mitigasi bencana. Dalam proses
mitigasi kita dapat merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengurangi
ancaman kematian dan kehancuran dikemudian hari ketika bahaya alam meningkat
dan menjadi ancaman besar. Mitigasi ini perlu pula dilaksanakan setelah bencana
terjadi, karena penduduk biasanya kembali membangun bangunan yang sama
(rekonstruksi) di atas tapak yang telah hancur akibat bencana tersebut. Upaya mitigasi
pra bencana dan pasca bencana memerlukan data dan informasi spasial yang akan
mempermudah pemantauan dan analisa tindakan prefentif maupun rekonstruksi.
Tsunami
Tsunami (bahasa Jepang: 津波; tsu = pelabuhan, name = gelombang,
secara harafiah berarti "ombak besar di pelabuhan") adalah perpindahan badan air
yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba.
Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat
di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau
hantaman meteor di laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala
arah. Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi
ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat
dengan kecepatan 500-1000 km/jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang.
Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju
gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika
mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per
jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter.
Hantaman gelombang tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai.
Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena tsunami bisa diakibatkan karena
hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami (Hanim
U, 2012).
Pusat gempa dengan skala 9.2 Skala Richter pada 26 desember 2004 yang
terjadi di Aceh terletak di bawah laut Pulau Simeuleu. Penyebab terjadinya tsunami
adalah Lempeng Australia yang bergerak dengan kecepatan rata-rata 7 cm/tahun
menabrak lempeng Eurasia, sehingga terjadi stran accumulation atau terjadi tegangan

7

karena desakan lempeng Australia yang bergerak ke utara menabrak pulau Sumatera
atau disebut rebound yang mengakibatkan gempa dibawah laut dan mengakibatkan
tsunami atau dalam bahasa Aceh di sebut smong.
Tsunami adalah suatu sistem gelombang gravitasi yang terbentuk akibat tubuh
air laut mengalami gangguan dalam skala besar dan dalam jangka waktu yang relatif
singkat. Ketika gaya gravitasi berperan dalam proses air laut mencapai kembali
kondisi equilibrium, suatu seri gerakan osilasi tubuh air laut terjadi baik pada
permukaan laut maupun di bawahnya dan tsunami terbentuk dengan arah rambat
keluar dari daerah sumber gangguan (Gambar 2).
Kebanyakan tsunami dihasilkan oleh gempa bumi, yakni pada saat pergeseran
tektonik vertikal dasar laut di sepanjang zona rekahan pada kulit bumi menyebabkan
gangguan vertikal tubuh air. Sumber mekanisme lainnya adalah letusan gunung api
yang berada di dekat atau di bawah laut, perpindahan sedimen dasar laut, peristiwa
tanah longsor di daerah pesisir yang bergerak ke arah air laut, ledakan buatan
manusia dan tumbukan benda langit atau meteor yang terjadi di laut.

Sumber: www.geocities.ws

Gambar 2. Model terjadinya tsunami akibat pergerakan sesar atau gempa bumi
Tsunami bergerak keluar dari daerah sumber sebagai suatu seri gelombang.
Kecepatannya tergantung pada kedalaman air, sehingga gelombang tersebut
mengalami percepatan atau perlambatan ketika melintasi kedalaman yang berbedabeda. Proses ini juga menyebabkan perubahan arah rambat sehingga energi
gelombang dapat menjadi fokus atau de-fokus. Pada laut dalam, gelombang tsunami
dapat bergerak dengan kecepatan sekitar 500 hingga 1000 km/jam. Ketika mendekati
pantai, rambatan tsunami menjadi lebih lambat hingga hanya beberapa puluh km/jam.
Ketinggian gelombang tsunami juga tergantung pada kedalaman air. Gelombang
tsunami yang ketinggian hanya satu meter pada laut dalam bisa berkembang menjadi
puluhan meter pada garis pantai. Tidak seperti gelombang laut yang umumnya
digerakkan oleh angin yang hanya mengganggu permukaan laut, energi gelombang
tsunami mampu mencapai dasar laut. Pada daerah dekat pantai, energi tersebut
terkonsentrasi pada arah vertikal akibat berkurangnya kedalaman air dan pada arah
horizontal akibat pemendekan panjang gelombang karena perlambatan gerak
gelombang. Tsunami memilik rentang periode (waktu untuk satu siklus gelombang)
dari hanya beberapa menit hingga lebih dari satu jam.

8

Pada daerah pesisir, tsunami dapat memiliki berbagai bentuk ekspresi
tergantung pada ukuran dan periode gelombang, variasi kedalaman dan bentuk garis
pantai, kondisi pasang-surut dan faktor-faktor lainnya. Pada beberapa kasus tsunami
dapat berupa gelombang pasang naik yang terjadi sangat cepat yang langsung
membanjiri daerah pesisir rendah. Pada kasus lainnya tsunami dapat datang
sebagai bore yaitu suatu dinding vertikal air yang bersifat turbulen dengan daya rusak
tinggi. Arus laut yang kuat dan tidak lazim biasanya juga terdapat pada tsunami
berskala kecil. Berdasarkan jarak sumber penyebab tsunami dan daerah yang
terancam bahaya, tsunami dapat dikelompokkan menjadi dua: tsunami lokal (jarak
dekat) dan tsunami distan (jarak jauh). Daya hancur tsunami tergantung pada tiga
faktor: inundasi (penggenangan), kekuatan bangunan atau struktur dan erosi. Tsunami
dapat menyebabkan erosi pada fondasi bangunan, menghancurkan jembatan
dan seawall (struktur penahan gelombang yang sejajar garis pantai). Daya apung dan
daya seret dapat memindahkan rumah dan membalik mobil-mobil. Kebakaran bisa
pula terjadi sebagai bahaya sekunder dan meyebabkan kerugian yang lebih besar lagi.
Kerusakan sekunder lainnya adalah polusi fisik atau kimia akibat kerusakan yang
telah terjadi.
Menurut Beni (2006), Tsunami adalah istilah yang berasal dari bahasa Jepang
yang kini telah menjadi istilah internasional. Tsunami adalah istilah untuk
menyatakan gelombang besar luar biasa yang datang menyerang tiba-tiba
menghempas ke pantai dan mampu menjalar dengan kecepatan hingga lebih dari 900
km/jam, terutama diakibatkan oleh gempa bumi yang terjadi di dasar laut. Istilah
tsunami berasal dari bahasa Jepang. Tsunami sangat dikenal oleh bangsa Jepang,
karena Jepang adalah Negara yang daerahnya rawan terkena tsunami. Tsunami telah
dikenal sejak abad ke-18. Hal itu tampak dari lukisan paling terkenal tentang tsunami
yang dibuat pada abad ke-18 oleh pelukis Jepang bernama Hokusai, yang
menggambarkan tsunami dengan latar belakang Gunung Fuji. Dalam literatur bahasa
inggris, tsunami kadang-kadang disebabkan pula sebagai tidal wave dan sering
diterjemahkan secara harfiah sebagai gelombang pasang. Istilah ini sebenarnya tidak
tepat karena tidak memiliki hubungan dengan pasang surut air yang ditentukan oleh
gaya tarik menarik benda-benda astronomi.
Berbeda dengan gempa tektonik yang hingga kini belum dapat diprediksi waktu
kejadiannya, tsunami dapat diperkirakan kedatangannya beberapa saat sebelumnya
dengan melihat gejala alam di daerah pantai. prediksi tsunami dapat dilakukan
dengan menerapkan sistem Tremors (Tsunami Risk Evaluation through Seismic
Moment from Realtime System) dan pengukuran pasang surut air laut analisis gempa
dan tsunami. Jika terpasang lima sistem Tremors yang terintegrasi dengan sistem
pemantauan lainnya itu maka dalam waktu 15 menit prediksi akan datangnya tsunami
dapat dikeluarkan. Saat ini, BMG hanya memiliki satu sistem Tremors yang
terpasang di Tretes Jawa Timur. Selain itu dari segi jumlah dan kemampuan stasiun
pengamat gempa yang dimiliki BMG masih jauh dari ideal. Jumlah sistem pengamat
gempa baik yang manual maupun telemetri di seluruh Indonesia hanya berjumlah 57,
namun seharusnya dua kali lipat dari itu.
Dengan sistem pemantauan yang canggih, prediksi terjadinya tsunami di Jepang
dapat dikeluarkan dalam waktu 3 menit. Namun selain teknologi modern, gejala alam

9

yang muncul sebelum terjangan tsunami dapat menjadi petunjuk bagi penduduk di
pantai untuk menyelamatkan diri dari bencana itu. Ketika terjadi gempa tektonik yang
terasa getarannya di kawasan itu penduduk hendaknya bergegas menjauhi pantai.
Demikan pula jika air laut di pantai tiba-tiba surut. Jika topografi di dasar laut berupa
lereng, sebelum tsunami sampai ke pantai akan terdengar bunyi ledakan seperti bom.
Adapun jika strukturnya landai, suara gelombang yang muncul seperti gendering. Bau
garam yang terbawa angin dan udara yang dingin juga pertanda datangnya tsunami.
Gelombang tsunami biasanya akan datang dua hingga tiga kali. Gelombang pertama
masih relatif kecil, namun 10 hingga 15 menit kemudian akan datang gelombang
yang lebih besar.
Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), gempa bumi tektonik yang
terjadi di Aceh terjadi Minggu, 26 Desember 2004 berkekuatan 8.8 Scala Richter
(SR). pusat gempa tersebut berada pada 2.9 LU-95.6 BT dan kedalaman 20 km di
laut, kurang lebih 149 km sebelah selatan Meulaboh. Survey Geologi AS
menyatakan, gempa bumi yang terjadi di sebelah barat pulau Sumatera itu
berkekuatan 8.9 SR. Bencana yang mengakibatkan ribuan orang tewas, hilang dan
luka-luka itu juga melanda sejumlah Negara di Asia, seperti Sri Langka, India,
Bangladesh, Maladewa, Thailand dan Malaysia. Tsunami, menurut Kementrian
Ristek, merupakan gelombang laut yang disebabkan oleh gempa bumi atau letusan
gunung api atau longsoran di dasar laut, namun sebagian besar atau 90 persen
tsunami disebabkan oleh gempa bumi.
Kementrian Ristek mengatakan, sejumlah program untuk mengurangi akibat
(mitigasi) bencana tsunami sudah dilakukan di Indonesia. Program yang baik
setidaknya didukung oleh riset komprehensif tentang tsunami, sistem pemantau
gempa, sistem peringatan dini tsunami, pengembangan peta zonasi tsunami,
pengembangan teknologi proteksi pantai dan sosialisasi pada masyarakat. Namun
masih banyak hal yang perlu ditingkatkan agar program tersebut memperoleh hasil
yang optimal. Mengacu pada kemampuan yang dimiliki oleh sumber daya manusia,
sarana dan institusi di Indonesia, program mitigasi bencana tsunami agar diarahkan
pada pembuatan peta zonasi tsunami yang lebih representatif, membangun sistem
peringatan dini yang lebih baik dan meningkatkan tingkat kesiapan masyarakat
dengan melakukan program pelatihan dan sosialisasi.
Sistem GPS (Global Positioning System) yang dipasang di Kepulauan Batu dan
Mentawai di perairan sebelah barat Sumatera berupa antena GPS. Antena ini akan
mengeluarkan sinyal. Sinyal kemudian ditangkap dan dicatat oleh satelit GPS.
Dengan data yang tercatat dari waktu ke waktu dapat diukur pergerakan muka bumi
dengan akurat. Rekaman sistem ini menunjukkan bahwa pulau-pulau di barat
Sumatera mengalami proses tenggelam atau penurunan permukaan dan bergerak
mendekat ke arah pulau Sumatera. Hal ini berarti kita berada dalam masa
pemampatan bumi yang dimulai setelah kejadian gempa besar dimasa lalu.
Daratan yang lebih tinggi dari pantai merupakan tempat yang aman untuk
menghindari terjangan gelombang tsunami yang biasa menyertai gempa bumi.
Bangunan yang terbuat dari kayu dan material bangunan yang ringan lainnya akan
lebih aman daripada yang terbuat dari bahan berat seperti beton, jika sampai roboh
atau runtuh akibat gempa dan diterjang tsunami. Untuk menghambat serangan

10

tsunami, sepanjang pantai hendaknya ditanami pohon bakau. Keberadaan hutan bakau
sedikitnya akan memecah gelombang tsunami sehingga gelombang tidak akan
langsung mencapai daratan.
Suatu jaringan sensor yang mampu mendeteksi gempa bumi bawah laut dan
kehadiran tsunami di Samudra Hindia bukanlah hal yang sulit dipasang, kata para
ahli. Akan tetapi, sistem itu tidak ada gunanya jika tidak didukung infrastruktur
komunikasi yang memadai. Seperti diketahui, jumlah korban dan besarnya kerusakan
akibat tsunami 26 Desember 2004 lalu telah membuat banyak pihak menyerukan
adanya sistem peringatan dini di daerah-daerah rawan bencana. Indonesia sebagai
Negara yang daerahnya rawan bencana dan penduduknya menjadi korban paling
banyak sudah menyetujui dibangunnya sistem seperti itu. Negera-negara korban lain
serta Negara pendonor juga telah membicarakan sistem peringatan dini dalam suatu
konferensi di Jakarta.
Sistem peringatan dini tsunami sudah diterapkan di Samudra Pasifik. Sistem ini
terdiri atas rangkaian seismograf dan pengukur gelombang yang terhubung dengan
satelit. Seismograf adalah senjata paling depan dalam sistem. Ia akan
memperingatkan adanya gempa bumi bawah laut yang bisa menimbulkan tsunami.
Karena tidak tiap gempa menghasilkan gelombang besar, untuk memastikan telah
terbentuknya tsunami digunakanlah pengukur gelombang yang mampu mendeteksi
perubahan ketinggian air. Permasalahan sistem ini adalah banyaknya kekeliruan
sinyal. Tiga dari empat peringatan yang dikirimkan oleh sistem ternyata bukan
tsunami. Padahal evakuasi yang dilakukan karena kasus seperti ini membutuhkan
banyak biaya dan bisa membuat orang menjadi kurang percaya lagi jika tsunami
benar-benar muncul.
Sebuah sistem monitor yang lebih akurat telah dikembangkan oleh National
Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) AS yang dimulai digunakan tahun
2003. Sensor bernama Deep Ocean Assessment and Reporting (DART) ini
menggunakan detektor tekanan laut dalam yang bisa mengukur perubahan kedalaman
air ketika tsunami lewat di atasnya. Sensor ini kemudian mengirim informasi ke
sebuah pelampung di permukaan yang kemudian meneruskannya ke stasiun
pengawas lewat satelit. DART dianggap lebih tahan menghadapi guncangan gempa
dibanding pengukur gelombang, namun para ilmuwan bersikeras untuk juga
menggunakan sistem lama selain yang baru agar data lebih meyakinkan.
Pada peristiwa tanggal 26 Desember 2004 lalu, para petugas di Pasific Tsunami
Warning Center di Hawaii mendeteksi sinyal gempa, namun tidak mengetahui kapan
atau dimana tsunami akan menerjang. Setelah mendengar laporan media bahwa
tsunami menggempur Sri Langka, mereka bisa memperingatkan Madagaskar dan
Kepulauan Mauritius. Banyak kota-kota di sekitar Pasifik, terutama di Jepang dan
juga Hawaii, mempunyai sistem peringatan tsunami dan prosedur evakuasi untuk
menangani kejadian tsunami. Bencana tsunami dapat diprediksi oleh berbagai
institusi seismologi di berbagai penjuru dunia dan proses terjadinya tsunami dapat
dimonitor melalui satelit. Namun, sebesar apapun bahaya tsunami, gelombang ini
tidak datang setiap saat. Janganlah ancaman bencana alam ini mengurangi
kenyamanan menikmati pantai dan lautan.

11

Sebagai salah satu Negara yang paling rawan gempa, Jepang mempunyai
banyak pengalaman menghadapi tsunami. Latihan menghadapi gempa bumi dan
tsunami. Di salah satu universitas di Jepang bahkan terdapat fakultas khusus yang
mempelajari tsunami. Selain itu terdapat Jasa Peringatan Tsunami yang dibentuk pada
tahun 1952 oleh Masyarakat Meteorologi Jepang (JMA). Enam kantor regional
menghubungkan 300 sensor di seluruh Kepulauan Jepang, temasuk 80 sensor di
dalam air yang secara terus menerus memantau getaran bumi. Kalau sebuah gempa
bumi terlihat mempunyai potensi menimbulkan tsunami, dalam waktu tiga menit
JMA akan mengeluarkan peringatan. Peringatan itu disiarkan di semua stasiun radio
dan televisi, dan jika perlu peringatan evakuasi akan diberikan. Target JMA adalah
memberi waktu 10 menit bagi masyarakat yang berada dalam jalur tsunami untuk
melakukan evakuasi. Pemerintah lokal, pemerintah pusat dan organisasi bantuan juga
mendapat peringatan lewat saluran khusus agar bisa cepat memberi tanggapan.
Jaringan JMA ini begitu canggih sehingga mampu meramal ketinggian,
kecepatan, tujuan dan waktu datangnya tsunami di wilayah Jepang. Dasar dari sistem
peringatan mutakhir ini adalah izin pendirian bangunan yang ketat sebagai
perlindungan dari tsunami dan gempa bumi. Selain itu terdapat perencanaan anti
bencana alam yang bagus, sehingga korban bencana alam di Jepang relatif kecil.
Ketika tsunami setinggi 30 meter menghantam pulau Hokkaido di Jepang Utara
pada tahun 1993, hanya 293 orang meninggal akibat tsunami dan gempa bumi. Warga
Jepang telah membangun tembok tsunami, bangunan-bangunan yang kokoh dan
kesadaran atas bahaya tsunami. Pada bencana tahun 1993, meski JMA sudah
mengeluarkan peringatan dalam waktu lima menit, gempa bumi itu sangat dekat
sehingga begitu peringatan dikeluarkan, gelombang sudah menghantam. Sistem
peringatan di Jepang diperbaiki terus-menerus. Pada tahun 1999, Negara itu
memperkenalkan model prakiraan tsunami yang baru. Sistem baru ini memang
mahal, biaya pemakaiannya sekitar $20 juta per tahun.
Di Prefektur Shizuoka yang terletak di Pantai Timur Jepang yang rawan
tsunami, terdapat 258 tempat perlindungan anti tsunami dan gempa di sepanjang
pantai. Kota-kota pesisir lainnya sudah membangun tanggul anti banjir agar air dari
tsunami tidak masuk ke pedalaman melalui sungai dan menimbulkan kerusakan.
Tembok-tembok tsunami juga mengelilingi bagian pantai lainnya untuk mencegah
timbulnya kerusakan. Akan tetapi, tembok-tembok ini biasanya hanya beberapa meter
tingginya sehingga tidak akan melindungi sepenuhnya dari tsunami seperti terjadi di
Lautan Hindia 26 Desember 2004 lalu. Jadi, meski Jepang memiliki segala macam
sistem perlindungan dan peringatan, Negara itu tetap menghadapi resiko tsunami.
Menurut perkiraan pemerintah, dalam skenario terburuk di mana terjadi tiga gempa
bumi kuat secara simultan, 12.700 orang bisa tewas akibat tsunami yang timbul
kemudian. Karena sebagian gempa bumi bawah laut terjadi hanya beberapa kilometer
dari lepas pantai, tsunami bisa menghantam daratan hanya dalam waktu lima menit.
Sistem yang tercanggih sekarang tidak akan bisa berbuat apa-apa menghadapi
kejadian semacam itu.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6/PRT/M/2009, Secara
tipikal tsunami terbagi atas:
1. Tsunami lokal

12

Tsunami lokal berhubungan dengan episentrum gempa tsunami di sekitar
pantai, sehingga waktu tempuhnya mulai dari awal sumber ke tempat masyarakat
pantai dapat berlangsung antara 5 sampai 30 menit. Lokasi di atas daerah episentrum,
akan menerima peringatan tsunami kira-kira 5 menit setelah kejadian gempa, yang
merupakan waktu peringatan paling sesuai dengan teknologi terkini. Korban jiwa dan
yang terluka akan berkurang, jika masyarakat dapat lari berevakuasi ke tempat yang
lebih tinggi segera setelah merasakan gempa tanpa menunggu peringatan dari petugas
setempat. Oleh karena itu, diperlukan informasi dan program pelatihan masyarakat
secara efektif.
2. Tsunami berjarak
Tsunami berjarak adalah jenis tsunami yang paling umum terjadi di sepanjang
Pantai Pasifik dari Amerika Serikat. Contohnya gelombang di daerah Pasifik yang
melintasi lautan sehingga energinya agak berkurang sebelum menghempas pesisir
pantai Amerika Serikat. Dampak gabungan dari gempa dan tsunami regional yang
berpusat di kepulauan Filipina pada tanggal 16 Agustus 1976 telah menewaskan kirakira 8000 korban jiwa. Namun di Jepang pada tahun 1983 dan 1993 tidak
menimbulkan gelombang yang lebih besar ke daerah Lautan Pasifik. Jarak untuk
mencapai pantai bervariasi antara 5.5 jam sampai 18 jam, bergantung pada pusat
tsunami, magnitudo tsunami, jarak sumber dan arah pendekatan.
Skala intensitas yang sering digunakan adalah skala intensitas magnitudo
tsunami Abe (1993). Abe memperkenalkan suatu cara empirik untuk menaksir
magnitudo tsunami berjarak (distant tsunami) dengan data tsunami yang terjadi di
Samudera Pasifik dan Jepang. Skala intensitas tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Intensitas tsunami

I

Tinggi
run-up
(m)
0,5

II

1

III

2

Intensitas

Frekuensi
kejadian di Laut
Pasifik
Amat kecil. Gelombang sangat lemah dan 1 kali tiap 4 bulan
hanya terdeteksi pada catatan pasang surut
Kecil. Gelombang terlihat oleh orang yang 1 kali tiap 4 bulan
tinggal disekitar pantai dan mengenal
keadaan laut. Pada gelombang tersebut
mudah terlihat
Agak besar Jenis data dan indikator
pengamatan. Pada pantai yang landai terjadi
banjir. Perahu kecil terdorong ke pantai.
Kerusakan ringan dialami oleh bangunan
dekat pantai. Pada daerah muara arus
sungai berbalik hingga beberapa jauh
kearah daratan
Deskripsi tsunami

13

Tabel 1. Intensitas tsunami (lanjutan)
IV

4

V

8

VI

16

Besar. Terjadi banjir di daerah pantai.
Penggerusan ringan pada tanah. Tanggul
rusak. Bangunan ringan dekat pantai rusak.
Bangunan permanen mengalami kerusakan
kecil. Perahu besar terhempas kedaratan
atau terbawa ke laut. Pantai terkotori oleh
debris yang mengapung
Amat besar. Seluruh pantai tergenang.
Dermaga dan struktur berat dekat laut
rusak.
Bangunan
ringan
hancur.
Penggerusan dahsyat pada tanaman di
darat. Pantai dikotori oleh benda
mengapung, ikan dan binatang-binatang
laut. Dengan pengecualian kapal besar,
semua perahu terdampar ke daratan atau
terhempas ke lautan. Muara mengalami
pengikisan berat. Manusia tenggelam dan
gelombang disertai suara gemuruh
Menghancurkan. Semua struktur bangunan
mengalami kerusakan total atau sebagian
untuk jarak yang jauh dari daratan. Banjir
di pantai cukup dalam. Kapal-kapal besar
mengalami
kerusakan.
Pohon-pohon
tercabut atau hancur oleh gelombang.
Jumlah kematian pada penduduk pantai luar
biasa banyak

1 kali per tahun

1 kali per 3 tahun

1 kali per 10
tahun

Sumber: Menpu, 2009

Mitigasi Bencana
Mitigasi adalah suatu tindakan untuk mengurangi kerusakan dan kehilangan
nyawa dengan cara memperkecil dampak dari bencana. Hal ini diperoleh melalui
analisis resiko yang menghasilkan berbagai macam informasi sebagai bahan acuan
untuk tindakan mitigasi dalam mengurangi resiko (FEMA, 2000).
Tujuan dari mitigasi adalah untuk mencegah berkembangnya bahaya menjadi
bencana atau untuk mengurangi dampak bencana ketika terjadi. Proses mitigasi
berlangsung dalam suatu program jangka panjang untuk mengurangi atau
menghilangkan resiko. Implementasi dari strategi mitigasi dapat dianggap sebagai
bagian dari proses pemulihan pasca bencana. Mitigasi dapat berbentuk struktural dan
non-struktural. Secara struktural mitigasi dapat berupa penggunaan solusi teknologi
seperti misalnya pembuatan banjir kanal. Sedangkan mitigasi secara non-struktural
dapat berupa peraturan atau undang-undang, perencanaan tata guna lahan dan
asuransi. Mitigasi merupakan metode yang paling efisien dari segi biaya untuk
mengurangi resiko yang ditimbulkan bahaya atau hazard. Juga dapat dimasukan ke
dalam proses mitigasi adalah regulasi mengenai tata cara evakuasi, sanksi bagi

14

pelanggar peraturan tersebut dan informasi serta komunikasi pada publik mengenai
resiko yang mungkin terjadi.
Dalam mengukur penaggulangan tsunami, alat sederhana untuk mengukur
tsunami dirancang dan disebarkan ke Ho’okena oleh Dr. Dan Walker yang terdiri atas
pipa dan kaleng-kaleng diikat ke pohon kelapa. Pada tahun 1946 terjadi tsunami di
Hilo, sehingga gagasan untuk membuat dinding pelindung dan tembok penahan
ombak sebagai pertahanan tsunami. Gagasan tersebut menjadi pembangunan yang
efektif di Hilo, walaupun ide tersebut ditinggalkan oleh ide-ide yang baru, dinding
atau tembok penahan tsunami tersebut tetap digunakan secara luas di Jepang.
Pada tahun 1896, dinding penahan tsunami telah direncanakan di daerah Tarou,
tetapi baru dirasakan dampaknya pada tahun 1933 yang menunjukkan daerah yang
diperkirakan terkena tsunami telah menjadi bangunan-bangunan. Dinding tersebut
disempurnakan pada masa perang dunia II dan telah dibangun dengan tinggi 33 kaki
dan panjang 4500 kaki, dikenal dengan “The Great Wall”. Turis dari Jepang
berdatangan untuk melihat detail konstruksinya, namun tidak seorangpun yakin bila
terjadi tsunami dengan gelombang yang melebihi tinggi tembok tersebut.
Pengukuran dan penanggulangan yang lebih terjangkau seperti penanaman
pepohonan rendah berbaris telah dilakukan dan beberapa diantaranya berhasil. Pohon
efektif dalam penyerapan energi dari gelombang tsunami. Dan dilakukan pembuatan
green border yang nyaman untuk komunitas disekitar kawasan pantai.
Jika metode atau cara-cara penaggulangan tsunami di atas gagal, maka pilihan
satu-satunya ialah relokasi atau pemindahan. Seperti yang terjadi di Kamchatka,
semenanjung Rusia, banyak yang di relokasi atau dipindahkan dari Kota
Petropavlovsk ke dataran yang lebih tinggi untuk menghidari kerusakan dimasa yang
akan datang. Di Hilo, setelah hampir rusak total diterjang tsunami dua kali dalan 14
tahun, pusat kota dan kabupaten dibangun kembali lebih jauh dari pinggir pantai.
Daerah yang terkena tsunami kini menjadi ruang terbuka yang besar sebagai taman
umum dan ruang publik. Para turis banyak yang berkomentar dan memuji terhadap
perencanaan kota yang baik dan menjadikan kawasan pantai sebagai ruang terbuka
hijau dan digunakan untuk rekreasi. Sehingga mereka sadar terhadap alasan nyata
dibalik pembukaan ruang terbuka hijau (Walter dan Min Lee, 1989).
Mitigasi bisa diartikan sebagai segala tindakan yang dilakukan untuk
mencegah, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak
suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan karena faktor alam. Mitigasi bencana
harus dilakukan oleh pemerintah dan warga, tidak bisa hanya pemerintah atau warga
sendiri. Mitigasi bencana ini memerlukan perencanaan yang tepat. Hal-hal yang harus
direncanakan adalah: mengatur sumber daya, mempelajari dampak dan resiko,
mengembangkan rencana mitigasi, menerapkan rencana dan memantau proses.
Salah satu upaya untuk mencegah tsunami itu dengan menggunakan TEWS
(Tsunami Early Warning Sistem) yang dipasang di daerah-daerah yang rawan akan
terjadinya tsunami seperti di perairan pertemuan antar lempeng. TEWS adalah sebuah
sistem yang dirancang untuk mendeteksi tsunami dan memberi peringatan dini untuk
menghindari atau meminimalisir jatuhnya korban. TEWS sendiri merupakan suatu
gabungan dari instrumen kelautan seperti Seismometer, Akselerometer, GPS, Buoy
dan Tide gauges serta tsunami database (Gambar 3).

15

Sumber: siskakodong.wordpress.com

Gambar 3. Sistem peringatan dini tsunami
Sistem kerjanya adalah sebagai berikut:
1. Gempa terjadi di dasar laut kemudian air surut secara drastis
2. Hasil pengukuran gempa oleh tsunameter dikirim melalui sinyal acoustiq ke
buoy
3. Buoy meneruskan hasil pengukuran gempa ke satelit
4. Satelit meneruskan data ke Tsunami Warning Center
5. Jika gempa memenuhi syarat